TINJAUAN PUSTAKA
1. Menghimpun data dan informasi yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai
taraf perkembangan atau kemajuan yang dialami peserta didik setelah
mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu
2. Mengetahui tingkat efektifitas proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh
pendidik dan peserta didik
Pemahaman konsep merupakan salah satu aspek dari tiga aspek penilaian
kimia. Penilaian pada aspek pemahaman konsep ini bertujuan mengetahui sejauh
mana peserta didik mampu menerima dan memahami konsep dasar kimia yang
telah diterima peserta didik (Kuswana, 2012). Pemahaman terhadap sutau konsep
dapat berkembang baik jika terlebih dahulu disajikan konsep yang paling umum
sebagai jembatan antara informasi baru dengan informasi yang telah ada pada
struktur kognitif peserta didik atau pada pengetahuan peserta didik. Dan
keberhasilan peserta didik dalam memahami konsep yang lebih kompleks
didasarkan pada pemahaman konsep dasar yang dikuasainya (Ulva, 2016).
Di dalam salah satu ranah kognitif yang mengacu pada taksonomi Bloom
adalah pemahaman, yang merupakan kemampuan untuk menangkap arti materi
yang dapat berupa kata, angka, dan menjelaskan sebab akibat. Belajar konsep
merupakan kemampuan seseorang mengembangkan ide abstrak yang
memungkinkannya untuk mengelompokkan/menggolongkan suatu objek. Bahwa
konsep adalah berjenjang, dapat dilihat dari contoh konsep tentang fungsi bijektif
dikembangkan dari konsep relasi dan sebagainya (Setiawan, 2008).
Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan peserta diidk ketika mempelajari sesuatu, sehingga hasilnya dapat
digunakan sebagai dasar tindak lanjut. Tes ini dapat berupa sejumlah pertanyaan
atau permintaan untuk melakukan sesuatu. Tes diagnostik biasanya dilakukan
sebelum tes sumatif (Yeany & Miller, 2006). Tujuan tes diagnostic adalah melihat
kemajuan belajar peserta didik yang berkaitan dengan proses menemukan
kelemahan peserta didik pada materi tertentu. Pendekatan yang dilakukan
pendidik dalam mendiagnosis kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik. Lima
pendekatan tes diagnosis yaitu pendekatan profil materi, pendekatan prasyarat
pengetahuan, pendekatan pencapaian tujuan pembelajaran, pendekatan identifikasi
kesalahan, dan pendekatan pengetahuan berstruktur (Depdiknas, 2002).
a. Mendeteksi kesulitan
b. Dikembangkan berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber kesulitan
c. Menggunakan bentuk soal uraian atau jawaban singkat
d. Jika mneggunakan bentuk soal pilihan ganda disertai alasan pemilihan
e. Disertai rancangan tindak lanjut sesuai dengan kesulitan yang teridentifikasi.
(Rusilowati, 2015)
e. Menulis soal
Setiap butir soal tes memliliki karakteristik dan memiliki fungsi diagnosis
sehingga soal tes diagnostic memberi informasi yang dibutuhkan yaitu
pemahaman konsep peserta didik.
f. Mengulas soal
Butir soal yang baik tentu memenuhi validasi isi, maka soal yang sudah
disusun harus divalidasi oleh seorang pakar di bidangnya.
g. Menyusun kriteria penilaian
Kriteria penilaian memuat rentang skor yang menggambarkan pada rentang
berapa peserta didik dikatakan tuntas atau belum.
2.3.1. Three-Tiers Multiple Choice
Tes diagnostik merupakan tes yang digunakan untuk mengidentifikasi
kelemahan-kelemahan konsep siswa sehingga dapat menentukan penyebabnya.
Instrumen three-tier diagnostic test memiliki tiga tahapan menurut (Türker
(2005), Astari (2012), Scaffer (2013), dan Kirbulut (2014), yaitu :
a. Tahap satu, berupa kalimat soal dan pilihan jawaban.
b. Tahap dua, berupa pilihan alasan atas pilihan jawaban yang telah terpilih pada
tahap satu.
c. Tahap tiga, berupa pertanyaan penegasan yakin atau tidak yakin dari jawaban
yang telah dipilih pada tahap satu dan dua.
Hal ini menjadikan instrumen diagnostik lebih efektif dalam memberikan
pengetahuan sebagai alasan yang mendasari jawaban peserta didik (Marsita,
2010). Tes dengan tiga tahap ini lebih efektif untuk membedakan antara siswa
yang mengalami miskonsepsi dengan yang kurang paham atau tidak paham
konsep (Lemma, 2012).
2.3.2. Computer Based Test
Tes lekat dihubungkan dengan cara pengukuran terhadap penguasaan
materi tertentu. Hasil dari tes salah satunya digunakan untuk membuat keputusan
sekolah atau pendidik terhadap peserta didiknya. Hasil tes dianggap sebagai bukti
yang valid dari individu yang dapat digunakan misalnya untuk kenaikan kelas,
promosi jabatan, dan kelulusan. Sebelum adanya tes berbasis komputer, biasanya
tes dilakukan secara tertulis dalam kertas, tetapi seiring dengan perkembangan
teknologi informasi tes tertulis mulai bergeser digantikan dengan tes berbasis
komputer bahkan internet (Hernawati, 2006).
Model tes berbasis komputer dan internet yang dikembangkan menurut
Bartram (2001) ada empat bentuk, yaitu:
a. Model terbuka
Tes dengan model terbuka seperti ini, dapat diikuti siapapun dan tanpa
pengawasan siapapun, contohnya tes yang dapat diakses secara terbuka di
internet. Peserta tes tidak perlu melakukan registrasi peserta.
b. Model terkontrol
Tes dengan model seperti ini, sama dengan tes dengan model terbuka yaitu
tanpa pengawasan siapapun, tetapi peserta tes hanya yang sudah terdaftar,
dengan cara memasukkan nama pengguna dan kata sandi.
c. Model terawasi
Model ini terdapat supervisor yang mengidentifikasi peserta tes untuk
diotentikasi dan memvalidasi kondisi pengambilan tes. Tes di internet mode
ini menuntut administrator tes untuk meloginkan peserta dan mengkonfirmasi
bahwa tes telah diselesaikan dengan benar pada akhir tes.
d. Model terkelola
Model ini biasanya tes dilaksanakan secara terpusat. Organisasi yang
mengatur proses tes dapat mendefinisikan dan meyakinkan unjuk kerja dan
spesifikasi peralatan di pusat tes. Mereka juga melatih kemampuan pegawai
untuk mengontrol jalannya tes.
Reaksi oksidasi:
Perkaratan logam, misalnya besi
4Fe(s) + 3O2(g) → 2Fe2O3(s)
Pembakaran senyawa karbon
CH4(g) + 2O2(g) → CO2(g) + 2H2O(g)
Reaksi reduksi:
Fotosintesis pada tanaman hijau dengan bantuan sinar UV
6CO2(g) + 6H2O(g) → C6H12O6(aq) + 6O2(g)
Reduksi besi(III) oksida oleh atom karbon menghasilkan logam besi dan gas
karbon dioksida
Fe2O3(s) + 3C(s) → 2Fe(s) + 3CO2(g)
b. Konsep Perpindahan Elektron
Reaksi oksidasi: reaksi yang mengalami pelepasan elektron
Contoh: Cu(s) → Cu2+(aq) + 2e
Reaksi reduksi: reaksi yang mengalami penerimaan elektron
Contoh: Cl2(s) + 2e → 2Cl-(aq)
c. Konsep Perubahan Bilangan Oksidasi
Pengertian reaksi redoks selanjutnya berkembang menjadi lebih luas.
Konsep reaksi redoks yang terakhir dan masih digunakan sampai sekarang adalah
berdasarkan perubahan bilangan oksidasi (biloks). Atom-atom dalam suatu
senyawa mengemban muatan listrik tertentu. Hal itu sangat jelas dalam senyawa
ion, misalnya dalam NaCl, natrium bermuatan positif (Na+) dan klorin bermuatan
negatif (Cl-). Dalam senyawa kovalen, atom-atom juga mengemban muatan listrik
parsial karena adanya polarisasi ikatan, misalnya dalam HCl, atom hidrogen
mengemban muatan positif, sedangkan klorin mengemban muatan negatif
(keelektronegatifan klorin lebih besar daripada hidrogen). Besarnya muatan yang
diemban oleh suatu atom dalam suatu senyawa, jika semua elektron ikatan
didistribusikan kepada unsur yang lebih elektronegatif, disebut bilangan oksidasi
(Purba, 2006). Bilangan oksidasi merujuk pada jumlah muatan yang dimiliki suatu
atom dalam molekul (senyawa ionik) jika elektron-elektronnya berpindah
seluruhnya.
Aturan penentuan bilangan oksidasi:
a) Biloks unsur bebas adalah 0. Contoh: Fe, Cu, Zn.
b) Biloks H dalam senyawa= +1 (kecuali dalam senyawa hidrida).
Contoh: Biloks H dalam H2O, NH3, dan HCl = +1.
Biloks H dalam hidrida NaH dan CaH2 = -1
Alasan: karena NaH terionisasi menjadi Na+ dan H- (berdasarkan
ionisasinya)
c) Biloks O dalam senyawa= -2 (kecuali dalam senyawa peroksida, superoksida
dan senyawa biner dengan F). Contoh:
Biloks O dalam H2O = -2
Biloks O dalam H2O2 = -1 (peroksida)
Biloks O dalam KO2 = -1/2 (superoksida)
Alasan: karena dalam senyawa H2O2 dan KO2 keelektronegatifan O lebih
besar daripada H dan K (berdasarkan pembentukan ikatan kovalen)
Biloks O dalam OF2 = +2
Alasan: karena keelektronegatifan F lebih besar daripada O (berdasarkan
pembentukan ikatan kovalen)
d) Jumlah biloks dalam senyawa= 0, dalam ion= muatan.
Contoh: Jumlah biloks atom Cu dan O dalam CuO adalah 0
Jumlah biloks atom O dan H dalam ion OH- adalah -1
e) Biloks logam (golongan IA dan IIA= elektron valensi).
Contoh: Biloks K dalam KCl, dan KNO3 = +1
Biloks Mg dalam MgSO4 dan Ca dalam CaSO4 = +2
Berdasarkan konsep perubahan biloks, suatu zat dikatakan mengalami reaksi
oksidasi apabila dalam reaksi tersebut zat ini mengalami kenaikan bilangan
oksidasi, sedangkan reaksi reduksi adalah reaksi yang mengalami penurunan
bilangan oksidasi. Contoh reaksi redoks berdasarkan konsep perubahan biloks
adalah reaksi antara logam seng (Zn) dengan larutan CuSO 4. Reaksi yang
terjadi dapat dituliskan sebagai berikut.
Cu2+(aq) + Zn(s) → Cu(s) + Zn2+(aq)
Pada reaksi tersebut, baik Zn maupun Cu mengalami perubahan biloks. Atom
Zn mengalami penambahan biloks dari 0 menjadi +2, sedangkan atom Cu
mengalami penurunan biloks dari +2 menjadi 0. Ini dapat disimpulkan bahwa
Zn mengalami reaksi oksidasi menjadi Zn2+, sedangkan Cu2+ mengalami
reaksi reduksi menjadi Cu.
b.4.2. Oksidator Reduktor
Oksidator atau pengoksidasi adalah zat yang menyebabkan zat lain
mengalami reaksi oksidasi dan zat itu sendiri mengalami reduksi, sedangkan
reduktor atau pereduksi adalah zat yang menyebabkan zat lain mengalami reaksi
reduksi dan zat itu sendiri mengalami oksidasi. Contohnya pada reaksi berikut.
Cu2+(aq) + Zn(s) → Cu(s) + Zn2+(aq)
Pada reaksi tersebut, Zn berfungsi sebagai reduktor karena menyebabkan zat lain
(Cu) mengalami reaksi reduksi, sedangkan Cu berfungsi sebagai oksidator karena
menyebabkan zat lain (Zn) mengalami oksidasi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
oksidator adalah zat yang mengalami reduksi, sedangkan reduktor adalah zat yang
mengalami oksidasi.
b.4.3. Autoredoks
Pada beberapa reaksi redoks, zat-zat bertindak sebagai oksidator dan
reduktor merupakan zat yang sama. Reaksi redoks seperti itu disebut dengan
reaksi autoredoks (reaksi disproporsionasi), sedangkan kebalikannya disebut
dengan reaksi konproporsionasi. Contoh reaksi disproporsionasi adalah pada
reaksi berikut.
3I2(g) + 6KOH(aq) → 5KI(aq) + KClO3(aq) + 3H2O(l)
I2 dalam reaksi di atas mengalami oksidasi sekaligus mengalami reduksi. Ini
berarti atom I mengoksidasi atom I yang lain dan sebaliknya mereduksi yang lain.
Contoh reaksi konproporsionasi adalah pada reaksi berikut.
H2S(g) + SO2(g) → 3S(s) + 2H2O(l)
H2S dalam reaksi di atas mengalami oksidasi menjadi belerang (S) dan SO 2
mengalami reaksi reduksi menjadi belerang (S). Belerang dalam reaksi di atas
merupakan zat hasil oksidasi dan reduksi sehingga reaksi tersebut disebut dengan
reaksi konproporsionasi.
b.4.4. Tatanama Senyawa
b.4.4.1. Penamaan Senyawa Ion Biner yang Unsur Logamnya Berbiloks
Lebih dari Satu
Penamaan senyawa yang mengandung unsur logam berbiloks lebih dari
satu macam didasarkan pada sistem stock. Caranya dengan membubuhkan angka
Romawi yang sesuai dengan bilangan oksidasi logam dalam tanda kurung di
belakang nama logam dan diikuti dengan nama unsur nonlogam, lalu diberi
akhiran –ida.
b.4.4.2. Penamaan senyawa ion poliatomik yang unsur non logamnya
berbiloks lebih dari satu
Senyawa ion poliatomik pada umumnya tersusun atas logam yang
berbiloks satu jenis dan ion poliatomik yang salah satu unsurnya berbiloks lebih
dari satu jenis. Penamaan senyawa seperti itu juga menggunakan sistem stock,
yaitu bubuhkan angka Romawi yang sesuai dengan bilangan oksidari unsur dalam
tanda kurung di belakang nama anion poliatomik.
b.4.4.3. Penamaan senyawa kovalen biner yang unsur non logamnya
berbiloks lebih dari Satu
Penamaan senyawa kovalen yang mengandung unsur nonlogam berbiloks
lebih dari satu macam juga didasarkan pada sistem stock. Caranya adalah dengan
menuliskan unsur nonlogam bermuatan positif diikuti oleh angka Romawi yang
sesuai dengan bilangan oksidasinya dalam tanda kurung, sedangkan unsur
nonlogam yang bermuatan negatif diletakkan dan diberi akhiran –ida.