Anda di halaman 1dari 5

Tugas Artikel Opini: Ancaman Abrasi Akibat Perubahan Iklim di

Daerah Pesisir Sumatera Barat

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Drs. Mahmud Mustain, M.Sc.,Ph.D

DISUSUN OLEH:
Sahila Jasmin Ramadini Harahap (5020211107)

DEPARTEMEN TEKNIK KELAUTAN


FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2023
Pendahuluan Tentang Wilayah Pesisir Sumatera Barat
Pesisir memainkan peran penting sebagai tempat pertemuan daratan dan lautan. Daerah ini
sering menjadi pusat bisnis, wisata, permukiman, dan pangkalan militer karena keunggulan
karakternya yang cocok untuk aktivitas perkapalan, budidaya sumber daya alam, dan pertahanan
strategis. Pulau-pulau kecil, meskipun sempit, memiliki peran penting dalam keseimbangan
ekosistem pesisir dan lautan.

Permasalahan Wilayah Pesisir Sumatera Barat


Namun, pesisir Sumatera Barat menghadapi tantangan serius seperti abrasi dan dampak
perubahan iklim. Abrasi yang cepat dapat mengancam keberlanjutan daerah pesisir dan pulau-
pulau kecil, sementara perubahan iklim memicu cuaca ekstrem dan kenaikan muka air laut.
Provinsi ini mengalami kemunduran pesisir hingga 6 meter per tahun di beberapa daerah. Pulau
Pagai Utara di Kepulauan Mentawai memiliki tingkat kerentanan pesisir yang tinggi. Dampak
perubahan iklim meliputi banjir bandang, kebakaran hutan, dan bahkan badai siklon di wilayah
yang seharusnya tidak terjadi.

Observasi di Kota Padang dan Pulau Sipora menunjukkan dampak nyata. Pantai Muara
Lasak mengalami kemunduran yang cepat, dengan infrastruktur seperti Tugu Merpati Perdamaian
terancam roboh akibat abrasi. Masjid Al-Hakim juga rentan, dan sejumlah upaya perlindungan
telah dilakukan, meskipun belum sepenuhnya efektif. Di Pulau Sipora, Pantai Mappadega dan
Pantai Jati mengalami abrasi parah, dengan pengaruh tambahan dari aktivitas pertambangan pasir
dan karang. Upaya perlindungan, seperti sea wall dan kubus beton, belum sepenuhnya berhasil.

Penanganan serius diperlukan dari pemerintah daerah untuk melindungi pesisir dan pulau-
pulau kecil. Upaya-upaya ini harus mencakup infrastruktur keras penahan abrasi, konservasi
lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Upaya yang Telah Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat Sekitar Serta Hasil yang
Didapatkan dari Pengupayaan
Diketahui bahwa usaha untuk melindungi pantai dan pulau-pulau kecil di Sumatera Barat
oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) masih belum terkoordinasi dengan baik. Upaya ini terlihat
sporadis dan tidak berkelanjutan, mengakibatkan kurangnya efektivitas dalam pencapaian tujuan
perlindungan. Pemprov juga terlihat kurang memiliki konsensus dan motivasi yang kuat dalam
menangani masalah abrasi. Pendekatan perlindungan pantai dan pulau-pulau kecil umumnya
melibatkan pembangunan infrastruktur keras, pendekatan lunak dengan penanaman vegetasi
penahan abrasi, dan penyuluhan masyarakat.
Pembangunan infrastruktur keras, seperti groin/grip, dianggap efektif untuk kondisi pantai
di Sumatera Barat, tetapi seringkali terkendala oleh biaya tinggi. Pemprov kurang konsisten dalam
mempercepat pembangunan groin, dan anggaran yang dialokasikan tidak selalu mencerminkan
kebutuhan mendesak. Sebagai contoh, pada tahun 2018, pembangunan groin tidak dianggarkan,
dan baru pada tahun 2019 dialokasikan Rp 5 milyar dari total anggaran Rp 130 milyar. Pada
beberapa proyek, seperti Pantai Muara Lasak, digunakan karung pasir yang terbukti tidak cukup
kuat menahan gelombang.

Meskipun Sumatera Barat memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk pencegahan
abrasi, seperti deposit pasir vulkanik dan bebatuan gunung, distribusi yang tidak merata menjadi
kendala. Di Kabupaten Kepulauan Mentawai, masyarakat terpaksa menggunakan pasir laut dan
karang sebagai bahan bangunan karena pasir dari Padang harganya jauh lebih tinggi. Meskipun
kualitas bangunan dengan pasir laut lebih rendah, hal ini menjadi pilihan akibat kurangnya dan
mahalnya bahan baku di daerah tersebut. Pendekatan lunak, seperti penanaman mangrove,
cenderung tidak konsisten dengan kondisi lapangan. Perubahan substrat tanah di pantai barat
Sumatera membuat wilayah yang cocok untuk mangrove semakin sedikit. Program penanaman
mangrove lebih dominan daripada penanaman cemara laut, yang sebenarnya lebih cocok dengan
kondisi tertentu. Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah mengakibatkan
distribusi bibit mangrove yang tidak sesuai dengan kondisi substrat tanah yang ideal.

Tantangan lain dalam upaya perlindungan pantai melalui pendekatan lunak adalah
kerusakan bibit mangrove atau cemara laut yang seringkali dimakan ternak milik masyarakat
sekitar. Meskipun ada upaya memberikan pagar pelindung, keterbatasan sumber daya menyulitkan
implementasinya. Adanya resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap program
penanaman juga menjadi hambatan, terutama jika tanah di pesisir dimiliki secara adat.

Secara keseluruhan, kondisi lingkungan alam pantai di Sumatera Barat sangat


memprihatinkan. Luas wilayah mangrove dan terumbu karang relatif kecil, sementara kerusakan
disebabkan oleh pencemaran bahan kimia, pengeboman terumbu karang, praktik trawling, dan
dampak perubahan iklim. Upaya perlindungan pantai melalui konservasi memiliki kendala hukum
dan kurangnya koordinasi antarinstansi. Pengawasan dan pengamanan laut oleh TNI AL juga
terbatas, dengan kapabilitas yang kurang memadai untuk melibatkan wilayah yang luas. Meskipun
terdapat upaya seperti patroli laut dan program bersih pantai, terdapat kendala seperti pencurian
atau vandalisme terhadap buoy pengumpul data oseanografi.

Pemerintah Sumatera Barat perlu melakukan upaya yang lebih terkoordinasi,


berkelanjutan, dan efektif dalam melindungi pantai dan pulau-pulau kecilnya, dengan
memperhatikan berbagai aspek termasuk pendekatan infrastruktur keras, pendekatan lunak, dan
perlindungan lingkungan secara keseluruhan.
Evaluasi Hasil dari Upaya Pemerintah dan Masyarakat Pesisir dalam Menangani Abrasi
Dalam rangka meningkatkan efektivitas upaya perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil
di Sumatera Barat, diperlukan sejumlah penyesuaian. Evaluasi terhadap program perlindungan
yang dijalankan oleh instansi Provinsi Sumatera Barat menunjukkan beberapa hambatan, seperti
kurangnya efektivitas, ketidakberlanjutan, kurangnya koordinasi, dan ketidakinklusifannya dalam
rencana zonasi wilayah pesisir.

Langkah pertama yang perlu diambil adalah mengkaji ulang peraturan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama untuk memasukkan dampak perubahan iklim sebagai
pertimbangan utama. Adanya kesadaran terhadap potensi dampak perubahan iklim menjadi kunci
untuk mengantisipasi risiko dan menjalankan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan, dan
perlindungan sumber daya kelautan secara lebih efektif.

Selanjutnya, perlu dilakukan inisiatif program pengurangan emisi dan polusi sebagai
langkah konkrit dalam memperlambat laju perubahan iklim. Penggunaan energi terbarukan seperti
panel surya dapat diadopsi untuk mengurangi beban penggunaan listrik dan emisi gas. Program ini
juga dapat diperluas ke tingkat masyarakat dengan mengenalkan teknologi ramah lingkungan,
seperti mobil listrik. Pentingnya perizinan eksploitasi sumber daya alam yang terkait dengan
pesisir juga harus diperketat. Perizinan harus mencakup studi kelaikan yang memasukkan aspek
prediksi dampak perubahan iklim. Kerjasama dengan SMM Teluk Bayur perlu ditingkatkan,
terutama dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pembuatan peta rujukan universal
yang memperhitungkan dampak perubahan iklim. SMM Teluk Bayur, sebagai garda terdepan,
perlu diberdayakan dengan peningkatan kapabilitas pengumpulan dan pengolahan data terkait
dampak perubahan iklim. Ketersediaan data yang akurat dan real-time sangat penting untuk
mendukung upaya perlindungan pesisir.

Infrastruktur keras seperti groin dan tembok laut perlu dibangun dan dikelola secara
konsisten dan berkelanjutan. Pentingnya penganggaran dan pembiayaan dari berbagai sumber
harus diutamakan untuk memastikan kelancaran pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur
tersebut. Selain itu, pengembangan teknologi material baru seperti phillipsite dan pendekatan
inovatif seperti submerged breakwater perlu dieksplorasi. Melibatkan masyarakat dalam upaya ini,
seperti penggunaan briket arang dari limbah pertanian, juga dapat membantu mengurangi tekanan
pada ekosistem pesisir. Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir, termasuk mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun, memerlukan pendekatan terpadu. Penyuluhan kepada
masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem laut, bersamaan dengan penegakan hukum
terhadap praktik yang merusak lingkungan, perlu dipertahankan.
Kerjasama antarinstansi seperti DKP, DLH, dan Lantamal II Padang juga perlu diperkuat.
Koordinasi yang baik antar lembaga ini akan membantu mengatasi permasalahan lintas sektoral
dan memastikan implementasi kebijakan yang holistik. Seluruh upaya ini harus diterapkan dengan
memperhatikan aspek adaptasi terhadap perubahan iklim, sehingga keberlanjutan upaya
perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil di Sumatera Barat dapat terjamin.

Anda mungkin juga menyukai