Anda di halaman 1dari 301

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI

OLAHRAGA

Oki Candra
Tri Prasetyo

PENERBIT CV. EUREKA MEDIA AKSARA

i
PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA

Penulis : Oki Candra


Tri Prasetyo

Desain Sampul : Eri Setiawan

Tata Letak : Nurlita Novia Asri

ISBN : 978-623-487-859-2

Diterbitkan oleh : EUREKA MEDIA AKSARA, MARET 2023


ANGGOTA IKAPI JAWA TENGAH
NO. 225/JTE/2021

Redaksi:
Jalan Banjaran, Desa Banjaran RT 20 RW 10 Kecamatan Bojongsari
Kabupaten Purbalingga Telp. 0858-5343-1992

Surel : eurekamediaaksara@gmail.com

Cetakan Pertama : 2023

All right reserved

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh
isi buku ini dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun,
termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman
lainnya tanpa seizin tertulis dari penerbit.

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan
buku “Pembentukan Karakter Melalui Olahraga” dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah
sulit bagi penulis untuk menyelesaikan buku ini. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu penyusunan buku ini. Sehingga buku ini bisa hadir
di hadapan pembaca.
Adapun buku ini terdiri dari sembilan bab, yaitu : bab 1
tentang tiga pilar dalam olahraga, bab 2 tentang gambaran olahraga
secara umum, bab 3 tentang olahraga dan partisipasi olahraga
mempengaruhi kehidupan, bab 4 tentang nilai nilai karakter dalam
pendidikan jasmani dan olahraga, bab 5 tentang olahraga sebagai
miniatur kehidupan, bab 6 tentang karakter yang muncul dalam
pendidikan jasmani dan olahraga, bab 7 tentang peran guru
pendidikan jasmani kesehatan dan rekreasi dalam perkembangan
olahraga di era society 5.0, bab 8 tentang kontribusi pendidikan
jasmani untuk generasi milenial yang sehat dan bugar, dan bab 9
tentang olahraga sebagai pendidikan: antara martabat dan hak asasi
manusia.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran pembaca demi kesempurnaan buku ini kedepannya. Akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan buku ini
bermanfaat bagi para pembaca.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ iii


DAFTAR ISI ....................................................................................... iv
BAB 1 TIGA PILAR DALAM OLAHRAGA .................................. 1
A. Pendahuluan ...................................................................... 1
B. Olahraga Pendidikan ........................................................ 3
C. Olahraga Prestasi ............................................................. 15
D. Olahraga Rekreasi ........................................................... 23
BAB 2 GAMBARAN OLAHRAGA SECARA UMUM ............... 34
A. Pendahuluan .................................................................... 34
B. Nilai-Nilai Olahraga ........................................................ 39
C. Ruang Lingkup Olahraga ............................................... 45
BAB 3 OLAHRAGA DAN PARTISIPASI OLAHRAGA
MEMPENGARUHI KEHIDUPAN .................................... 47
A. Pendahuluan .................................................................... 47
B. Olahraga dan Kesehatan ................................................. 52
C. Olahraga dan Interaksi Sosial......................................... 58
D. Olahraga dalam Pembangunan Nasional ..................... 64
BAB 4 NILAI NILAI KARAKTER DALAM PENDIDIKAN
JASMANI DAN OLAHRAGA ........................................... 68
A. Pendahuluan .................................................................... 68
B. Konsep Dasar Pendidikan Olahraga ............................. 71
C. Dekonstruksi Nilai-nilai Olahraga ................................. 73
D. Karakter ............................................................................ 75
E. Hakikat Pendidikan Karakter......................................... 77
F. Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Jasmani Dan
Olaraga ............................................................................. 78
G. Makna Pendidikan Jasmani Berbasis Karakter ............. 80
H. Mengapa Perlu Pendidikan Jasmani Berbasis
Karakter ............................................................................ 80
I. Pengembangan Peserta Didik Melalui Penjas
Karakter ............................................................................ 83
J. Strategi dan Rekonstruksi Pembelajaran ....................... 85
K. Evaluasi Pembelajaran Penjas Karakter ........................ 96
BAB 5 OLAHRAGA SEBAGAI MINIATUR KEHIDUPAN ..... 98
A. Pendahuluan .................................................................... 98

iv
B.
Fungsi Olahraga dalam Pendidikan............................ 101
C.
Konsep Pendidikan Jasmani di Sekolah ..................... 106
D.
Olahraga dan Keseimbangan Sosial ............................ 113
E.
Fungsi Olahraga dalam Kemasyarakatan ................... 117
F.
Fungsi Olahraga dalam Pelestarian dan Aktualisasi
Budaya ........................................................................... 125
G. Fungsi Olahraga dalam Kemanusiaan ........................ 127
BAB 6 KARAKTER YANG MUNCUL DALAM PENDIDIKAN
JASMANI DAN OLAHRAGA ........................................ 134
A. Pendahuluan ................................................................. 134
B. Karakter ......................................................................... 139
C. Konsep Karakter ........................................................... 144
D. Olahraga dan Karakter ................................................. 146
E. Karakter Dalam Pendidikan Jasmani Dan Olahraga . 147
F. Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Jasmani Dan
Olahraga ........................................................................ 155
G. Implementasi Karakter ................................................. 158
BAB 7 PERAN GURU PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN
DAN REKREASI DALAM PERKEMBANGAN
OLAHRAGA DI ERA SOCIETY 5.0 ............................... 161
A. Pendahuluan ................................................................. 161
B. Nilai-nilai Universal dalam Olahraga ......................... 163
C. Peran Guru dalam Sistem Pembangunan dan
Pembinaan Olahraga di Indonesia .............................. 168
D. Kompetensi Guru Penjas di Era 5.0 ............................. 175
E. Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Penjas 181
F. Kompetensi Olahraga Dalam Era Society 5.0 ............. 185
G. Strategi Olahraga dalam Society 5.0 ............................ 187
H. Keterpurukan Prestasi Olahraga Indonesia................ 190
BAB 8 KONTRIBUSI PENDIDIKAN JASMANI UNTUK
GENERASI MILENIAL YANG SEHAT DAN BUGAR193
A. Pendahuluan ................................................................. 193
B. Siapa Generasi Milenial? .............................................. 195
C. Gaya Hidup Generasi Milenial .................................... 199
D. Manfaat Berolahraga .................................................... 204
E. Tantangan Generasi Millenial ...................................... 213
F. Kontribusi Pendidikan Jasmani ................................... 218

v
BAB 9 OLAHRAGA SEBAGAI PENDIDIKAN: ANTARA
MARTABAT DAN HAK ASASI MANUSIA ................ 224
A. Pendahuluan .................................................................. 224
B. Olahraga Untuk Semua................................................. 227
C. Olahraga Mengangkat Martabat .................................. 231
D. Apakah Olahraga Benar-Benar Mengekspresikan
Martabat Manusia? ........................................................ 238
E. Apakah Olahraga Itu Hak Asasi Manusia? ................. 242
F. Apakah Olahraga Benar-Benar Mempromosikan
Inklusi Sosial .................................................................. 254
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 263
TENTANG PENULIS...................................................................... 292

vi
BAB
TIGA PILAR DALAM

1 OLAHRAGA
TIGA PILAR DALAM OLAHRAGA

A. Pendahuluan
Olahraga memiliki peran penting dalam menunjang
kesehatan tubuh. Dengan berolahraga, tubuh akan tetap sehat
dan bugar. Tidak hanya memberikan manfaat secara fisik,
melakukan aktivitas olahraga juga dapat memberikan manfaat
lain, baik secara mental maupun sosial. Itu sebabnya olahraga
telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Di
sisi lain, meski mengetahui berbagai manfaatnya, masih banyak
yang merasa sulit bahkan menyepelekan dampak olahraga
secara rutin.
Secara umum pengertian olahraga adalah suatu kegiatan
yang melibatkan pengerahan tenaga fisik dan mental untuk
melatih tubuh manusia, baik jasmani maupun rohani. Tujuan
berolahraga adalah untuk meningkatkan status kesehatan
seseorang. Selain meningkatkan kebugaran jasmani, olahraga
dapat meningkatkan dan meningkatkan kinerja otak manusia
sehingga dapat bekerja lebih maksimal. Dengan kondisi fisik
yang lebih bugar dan daya pikir yang lebih baik, pada akhirnya
akan meningkatkan rasa percaya diri seseorang. Bagi sebagian
orang, kegiatan olahraga tidak hanya ditujukan untuk
meningkatkan kesehatan. Banyak orang melakukan kegiatan
olahraga untuk tujuan hobi atau untuk mengurangi stres akibat
rutinitas dan beban kerja sehari-hari.
Sebelum membahas lebih jauh, ada beberapa ranah
olahraga yang dikenal di Indonesia, yaitu: olahraga prestasi,
olahraga pendidikan, dan olahraga rekreasi. Tulisan ini tidak

1
akan mempersoalkan definisi dari masing-masing istilah
tersebut, tetapi akan melihat lebih dekat nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Istilah-istilah tersebut pada dasarnya
adalah olahraga, sehingga didasarkan pada ilmu keolahragaan
dan secara yuridis mengacu pada UU No. 3 Tahun 2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional. Sedangkan ada istilah yang
menggunakan keterangan tambahan “education”, yaitu sport
education. Pokok bahasan istilah ini adalah pendidikan, namun
tetap berpijak pada Ilmu Pendidikan dan secara yuridis
mengacu pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Ayat 4 Pasal 1 Bab I Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
Tentang Sistem Keolahragaan Nasional menyebutkan bahwa
olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk
mendorong, membina, dan mengembangkan potensi jasmani,
rohani, dan sosial. Selanjutnya pasal 17 Bab VI menyatakan
bahwa ruang lingkup olahraga meliputi kegiatan (a) olahraga
pendidikan, (b) olahraga rekreasi, (c) olahraga prestasi.
Kemudian, dalam pasal 4 Bab II disebutkan bahwa olahraga
nasional bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia,
menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas,
disiplin, memperkokoh dan membina persatuan dan kesatuan
bangsa, memperkokoh ketahanan, serta mengangkat harkat,
martabat, dan kehormatan bangsa. Olahraga nasional sendiri
dijelaskan dalam ayat 2 pasal 1 Bab I adalah olahraga
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
keolahragaan, budaya bangsa Indonesia, dan tanggap terhadap
tuntutan pembangunan olahraga. Untuk mencapai tujuan
keolahragaan nasional, perlu dibangun sistem keolahragaan
nasional. Pada ayat 3 disebutkan bahwa sistem keolahragaan
nasional adalah segala aspek keolahragaan yang saling terkait
secara terencana, sistematis, terpadu, dan berkesinambungan
sebagai satu kesatuan yang meliputi pengaturan, pendidikan,
pelatihan, pengelolaan, pembinaan, pengembangan, dan

2
pengawasan untuk mencapai tujuan nasional serta tujuan
berolahraga. Adapun ruang lingkup dari ketiga pilar olahraga
dapat dijabarkan pada pembahasan sebagi berikut:

B. Olahraga Pendidikan
Sebagaimana ruang lingkup olahraga di atas, kita dapat
menentukan definisi yaitu olahraga pendidikan, olahraga
rekreasi, dan olahraga prestasi. Pasal 18 ayat (1) menyatakan
bahwa pendidikan olahraga diselenggarakan sebagai bagian
dari proses pendidikan. Selanjutnya dalam pasal 25 ayat (1)
disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan pendidikan
olahraga dilaksanakan dan diarahkan sebagai satu kesatuan
yang sistematis dan berkesinambungan dengan sistem
pendidikan nasional dan ayat (2) disebutkan bahwa pendidikan
olahraga diselenggarakan melalui pembelajaran. Prosesnya
dilakukan oleh guru/dosen olahraga yang berkualitas dan
memiliki sertifikat kompetensi serta didukung sarana dan
prasarana olahraga yang memadai. Dalam sistem pendidikan,
pendidikan olahraga merupakan salah satu mata pelajaran yang
disebut Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK).
Menurut kurikulum 2013 disebutkan bahwa pendidikan
jasmani, olahraga dan kesehatan merupakan bagian integral dari
pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk
mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak,
keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran,
kestabilan emosi, moral, tindakan, aspek gaya hidup sehat dan
pengenalan lingkungan yang bersih melalui kegiatan jasmani,
olahraga, dan kesehatan terpilih yang terencana secara
sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa olahraga pendidikan
adalah olahraga yang mengembangkan potensi jasmani, rohani,
dan sosial peserta didik (pelajar) melalui proses pembelajaran
yang dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi secara baik dan
benar dengan tujuan utama mengoptimalkan kemampuan
psikomotorik, sehat, bugar dan terampil), kognitif (cerdas) dan
afektif (karakter).

3
Kata pendidikan berasal dari kata kerja didik yang artinya
menjaga dan mendidik. Ajaran, arahan, dan kepemimpinan
tentang moral dan kecerdasan diperlukan saat mengasuh dan
memberikan pelatihan. Pengertian lebih lanjut tentang
pendidikan yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang
atau kelompok dalam usaha membantu orang dewasa melalui
pengajaran dan latihan. Pendidikan (education) berasal dari kata
mendidik (educate), yang berarti meningkatkan (to elicit, to give
rise to), dan to develop (berkembang, to develop) dalam bahasa
Inggris. Dalam pengertian ini, Damsar (2012) menyatakan
bahwa melalui pendidikan, manusia mengalami perubahan
sikap dan perilaku; dua, manusia dalam proses menjadi dewasa,
menjadi dewasa dalam sikap dan perilaku; ketiga, proses
pematangan ini dilakukan melalui usaha pengajaran dan latihan
Pendidikan juga diartikan sebagai proses, cara, dan perbuatan
mendidik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, serta keterampilan yang dibutuhkan oleh individu,
masyarakat, dan negara Berdasarkan undang-undang sesuai
dengan tujuan pendidikan dan pembenaran yang diberikan oleh
Sulo dan Tirtarahardja (2005) yang menyatakan bahwa tujuan
pendidikan mengandung gambaran tentang nilai-nilai yang
baik, mulia, pantas, benar, dan indah bagi kehidupan. Karena
pendidikan mempunyai dua tujuan, yaitu memberi arah pada
semua kegiatan pendidikan dan dilaksanakan oleh semua
kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah salah satu dari
banyak elemen yang membentuk pendidikan, dan mereka
memegang tempat yang signifikan dalam hierarki ini. Dapat
dikatakan bahwa setiap aspek dari setiap kegiatan pendidikan
dilaksanakan dengan tujuan tersebut sebagai fokus utamanya.

4
Menurut Aripin dalam Kholik (2014), “upaya
pengembangan dan peningkatan mutu dalam
penyelenggaraannya tidak lepas dari pendidikan olahraga
sebagai salah satu ruang lingkup kegiatan olahraga. Pasal 25
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang
Olahraga Sistem Keolahragaan Nasional yang menyatakan
bahwa pembinaan olahraga pendidikan dilakukan dan
diarahkan sebagai satu kesatuan yang sistemik dan
berkesinambungan dengan sistem pendidikan nasional relevan
dengan hal tersebut Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Organisasi Olahraga menyatakan
lebih lanjut bahwa pembinaan dan pengembangan pendidikan
olahraga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan,
kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani
serta mengembangkan minat dan bakat di bidang olahraga.

Gambar 1.Ilustrasi Pembelajaran Olahraga Di Sekolah


Sumber. PWMU.CO

Pendidikan adalah proses ajar yang dilakukan guru atau


orang tua dalam mendidik peserta didik untuk menumbuh
kembangkan kemampuan keterampilan peserta didik, baik
menumbuh kembangkan sikap perilaku, akhlak, pola pikir,
mental, dan keterampilan gerak peserta didik. Menurut Bisri

5
Mustofa (2015) menjelaskan bahwa Dalam pengertian yang
sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses
perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Berdasarkan
penjelasan di atas bahwa pendidikan merupakan salah satu
bentuk dalam proses untuk memperoleh sesuatu pengalaman
dalam mendapatkan ilmu baru atau pendidikan merupakan
proses yang dilakukan sebagai usaha dalam menemukan
pengalaman hidup baik berupa pengalaman gerak atau ilmu
yang baru didapatkan berdasarkan dalam proses pendidikan.
Kemudian dijelaskan kembali oleh George R. Knight
(2008) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah
proses rekayasa tingkah laku. Tugas pendidikan adalah
menciptakan lingkungan belajar yang mengarah pada tingkah
laku yang diinginkan. Dengan demikian, sekolah dan institusi
kependidikan lain dipandang sebagai cara dan sarana
mendesain sebuah kultur. Pada dasarnya Knight
menyampaikan hasil pencapaian hasil dari proses pendidikan
yaitu menciptakan fenomena ideologi dalam sebuah kultur,
artinya pendidikan merupakan awal dari sebuah proses dimana
pemikiran tentang ide-ide muncul dan berkembang sehingga
menghasilkan suatu fenomena baru dan menghasilkan kultur.
Olahraga dan pendidikan merupakan bahan kajian yang
penting, sehingga banyak penelitian dan pembahasan di
dalamnya. Hal ini karena keduanya memiliki keterkaitan dalam
pengembangan sumber daya manusia (SDM), yaitu dalam arti
yang komprehensif, baik yang berkaitan dengan kecerdasan
intelektual, emosional, spiritual, maupun kinestetik. Seperti
yang telah disampaikan pada latar belakang sebelumnya. Bahwa
olahraga memiliki nilai-nilai luhur yang sangat baik bila
diterapkan dalam kehidupan pribadi maupun dalam
masyarakat. Dalam konteks ini yang dikaji adalah: bagaimana
olahraga mempengaruhi pendidikan dan bagaimana olahraga
berperan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Selain itu perlu
disadari juga bahwa pendidikan tidak hanya berfokus pada
kualitas intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ),
kecerdasan spiritual dan kecerdasan kinestetik. Hal ini perlu

6
ditekankan, apalagi bagi bangsa Indonesia yang sangat
majemuk, baik dari segi suku, agama maupun budaya.
Untuk melihat keterkaitan secara langsung antara
olahraga dan pendidikan, maka kita harus melihat konsep dan
tujuan dari pendidikan terlebih dahulu. Seperti yang sudah
tertuang didalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, pada Bab I ketentuan Umum, Pasal 1
dijelaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya pada Bab II, Pasal 3, ditegaskan bahwa: Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha
esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Kemudian pada pada pasal 4 ayat (4) yang terkait dengan
prinsip penyelenggaraan pendidikan dikatakan bahwa: 4
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran.
Dalam pengertian yang agak luas menurut Bisri Mustafa
(2015) menyatakan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai
sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang
memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah
laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengartian yang
representif, pendidikan adalah seluruh tahapan pengembangan
kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia, juga
proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan.
Kemudian dijelaskan kembali menurut Nasution (2014) yang
menyatakan “pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan

7
perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian dengan
transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan
aspek-aspek kelakuan lainya kepada generasi muda. Pendidikan
adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia
menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat. Kelakuan
manusia pada hakikatnya hampir seluruhnya bersifat sosial,
yang dipelajari dalam interaksi manusia lainya. Melalui
pendidikan terbentuklah kepribadian seseorang. Aspek aspek
yang sama terdapat dalam kelakuan semua orang dalam
masyarakat dapat disebut kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Sedangkan pendapat tentang pendidikan jasmani
menurut Green (2008) menyatakan bahwa “a number of
educational philosophers have argued that the starting point
fordebating the purposes of education and thus physical education
should not be the concept of education as such, precisely because there
is no conceptual essence or ‘nature’ to education and therefore no
essential criteria by which to measure it. Rather, the starting point
should be the preparation of young people for adult life in their society.
Then, what we will want to achieve in educating will be determined by
what we think desirable in adult human beings. This is an account of
education based on the notion of a worthwhile life rather than
identifying those activities that ostensibly inform and develop the mind,
although the latter may well be an aspect of the former”. Banyak filsuf
pendidikan berpendapat bahwa karena tidak ada esensi
konseptual alami dari pendidikan dan oleh karena itu tidak ada
kriteria yang signifikan untuk mengukur kemampuan manusia
itu sendiri, pembahasan tentang tujuan pendidikan dan
akibatnya pendidikan jasmani tidak perlu dimulai dengan
konsep pendidikan jasmani itu sendiri. Oleh karena itu,
mempersiapkan kaum muda untuk kehidupan dewasa dalam
masyarakat mereka harus menjadi langkah pertama. Tujuan
pendidikan kemudian akan menghentikan orang dewasa
mengendalikan bagaimana orang hidup.
Begitu pula pendapat Johnson dan Connel (2010) yang
menyatakan bahwa: Physical education significantly contributes to
student well-being; therefore, it is an instructional priority for
California schools and an integral part of the educational experience of

8
our students. High-quality physical education instruction contributes
to good health, develops basic and advanced motor skills, increases
student self-confidence, and provides opportunities to increase the level
of physical fitness associated with high academic achievement. The
Physical Education Model Content Standards for California Public
Schools, Kindergarten through Grade Twelve defines the standing of
physical education; rigor is critical to achievement, and participation is
not the same as education. Kesejahteraan siswa secara signifikan
dipengaruhi oleh pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani
adalah komponen penting dari pengalaman pendidikan siswa
dan oleh karena itu merupakan mata pelajaran prioritas untuk
sekolah umum California. Selain meningkatkan kesehatan dan
kepercayaan diri siswa, instruksi pendidikan jasmani membantu
mereka mempelajari keterampilan fisik dasar serta keterampilan
teknologi yang lebih kompleks. Memberikan kesempatan
kepada siswa untuk meningkatkan tingkat kebugaran
jasmaninya, yang berkorelasi dengan prestasi akademik yang
tinggi. Dari pembenaran di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemerintah California menempatkan pendidikan jasmani dalam
bidang pendidikan sebagai prioritas tinggi untuk menjaga
kesehatan, membina keterampilan motorik siswa, dan
meningkatkan kepercayaan diri mereka. Pemerintah California
menerapkan ini sebagai sarana untuk meningkatkan karakter
moral dan kebugaran fisik siswa.
Sejalan dengan Baesler (2015) yang menyatakan bahwa:
“to be a responsible and productive member of today’s society, a student
needs to have a broad, connected, and useful knowledge of physical
education and wellness. A consistent and regularly offered high-quality
physical education program is essential for all students, providing a
foundation for intelligent and precise thinking. Physical education
should also provide every student with the opportunity to choose among
a full range of future career paths and to contribute to society as an
informed and active citizen”. Siswa perlu memiliki pengetahuan
yang mendalam, relevan, dan praktis tentang pendidikan
jasmani dan kesehatan agar menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab dan produktif saat ini. Semua siswa
membutuhkan akses ke program pendidikan jasmani

9
berkualitas tinggi yang ditawarkan secara konsisten dan teratur
karena program ini meletakkan dasar untuk berpikir kritis.
Setiap siswa harus memiliki kesempatan untuk memilih dari
berbagai jalur karir masa depan dan memberikan kontribusi
positif kepada masyarakat sebagai warga negara yang
terinformasi dan terlibat melalui pendidikan jasmani. Setiap
peserta siswa dapat melihat dan memikirkan karir masa depan
mereka sebagai hasil dari ini.
Dalam pengaplikasiannya untuk merencanakan aktivitas
fisik dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti yang
ungkapkan O’Sullivan dan Macphail (2010) yang menyatakan:
“while physical activity is inclusive of planned activities such as sport
and exercise along with leisure activities and physical forms of
transport, we are also concerned with physical culture, as the social
practices involved with maintaining, representing and regulating or
socially constructing the body, in and through various forms of
institutionalized practices such as sport, physical recreation and
exercise. In providing a supplementary way in which to locate physical
activity within young people’s lives, the concept of physical culture is
pivotal to a social understanding of young people’s engagements with
sport and physical activities. The key point of focus is the consideration
of ‘the embeddedness of the physical in social and cultural
practices”.Sementara aktivitas fisik yang dijelaskan di atas oleh
O'sullivian dan Mac Phail mencakup kegiatan terencana seperti
olahraga dan latihan bersama dengan kegiatan rekreasi dan
transportasi bentuk fisik, itu juga berkaitan dengan budaya fisik,
sebagai praktik sosial yang terlibat dalam pemeliharaan,
representasi, dan pengorganisasian atau membangun tubuh
interaksi sosial, serta melalui berbagai praktik yang
dilembagakan seperti aktivitas fisik, olahraga, dan rekreasi.
Gagasan budaya fisik sangat penting untuk memahami
keterlibatan sosial remaja dengan olahraga dan aktivitas fisik
karena menawarkan kesempatan tambahan untuk aktivitas fisik
dalam kehidupan remaja. Fokus utamanya adalah analisis
mendalam tentang bagaimana fungsi fisik dalam praktik sosial
dan budaya.

10
Pernyataan tersebut telah ditelaah lebih lanjut dalam
penelitian yang dilakukan Pemerintah Sandburg yang
disampaikan menurut Taylor dan Lafayette (2010) menyatakan
“physical education programs have developed a Health Related Physical
Fitness Test battery in conjunction with the American Alliance of
Health, Physical Education, Recreation and Dance and the President’s
Council of Physical Fitness and Sports. The testing program places a
major emphasis on health-related physical fitness including
Cardiovascular Endurance, Muscular Endurance, Muscular Strength,
Flexibility and Body Composition”. Dalam hal ini Laffayette
menjelaskan bahwa program pendidikan jasmani dengan
bertujuan dalam pembentukan daya tahan kardiovaskular, daya
tahan otot, kekuatan otot, kelentukan dan komposisi tubuh yang
ideal pada setiap peserta didik.
Berdasarkan standar Departemen Pendidikan Louisiana
menurut Coloum (2007) terdapat beberapa keterampilan yang
harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Komunikasi: Sebuah proses dimana informasi dipertukarkan
dan konsep "Berarti" dibuat dan dibagi antara individu
melalui sistem umum simbol, tanda-tanda, atau perilaku.
Mahasiswa harus mampu berkomunikasi dengan jelas,
lancar, strategis, teknologi, kritis, dan kreatif dalam
masyarakat dan dalam berbagai tempat kerja. Proses ini
terbaik dapat dicapai melalui penggunaan keterampilan
berikut: membaca, menulis, berbicara, mendengarkan,
melihat, dan mewakili visual.
2. Pemecahan Masalah: Identifikasi hambatan atau tantangan
dan aplikasi proses pengetahuan dan pemikiran yang
meliputi penalaran, pengambilan keputusan, dan
Permintaan untuk mencapai solusi menggunakan beberapa
jalur, bahkan ketika tidak ada rutinitas jalur jelas.
3. Akses Sumber Daya dan Pemanfaatan: Proses
mengidentifikasi, menemukan, memilih, dan menggunakan
alat sumber daya untuk membantu dalam menganalisis,
mensintesis, dan berkomunikasi untuk mendapatkan
informasi. Identifikasi dan pekerjaan dari alat yang tepat,
teknik, dan teknologi sangat penting dalam semua proses

11
pembelajaran. Sumber daya ini termasuk pena atau pensil
dan kertas; audio/materi video, pengolah kata, komputer,
interaktif perangkat, telekomunikasi, dan teknologi lainnya.
4. Menghubungkan dan Pembangkit Pengetahuan:
Penggunaan efektif proses kognitif untuk menghasilkan dan
menghubungkan pengetahuan di seluruh disiplin ilmu dan
dalam berbagai konteks untuk terlibat dalam prinsip-prinsip
perbaikan. Siswa harus mampu mentransfer dan
menguraikan proses ini. "Transfer" mengacu pada
kemampuan untuk menerapkan strategi atau pengetahuan
konten secara efektif dalam pengaturan atau konteks selain
itu di yang awal belajar. "Elaborasi" mengacu pada
pemantauan, menyesuaikan, dan memperluas strategi dalam
konteks lain.
5. Kewarganegaraan: Penerapan pemahaman tentang cita-cita,
hak, dan tanggung jawab partisipasi aktif dalam republik
demokratis yang mencakup bekerja hormat dan produktif
bersama-sama untuk kepentingan individu dan masyarakat;
akuntabel untuk sipil, konstitusional, dan hak-hak hukum
seseorang; dan mentoring orang lain untuk menjadi warga
negara yang produktif dan pembelajar seumur hidup.

Dari perspektif tradisional, pendidikan jasmani secara


tradisional tidak melibatkan banyak membaca dan menulis,
menurut James dan Manson (2015). Siswa biasanya akan
membaca kartu tugas, menulis jawaban singkat pada kuis, atau
meninggalkan kelas pada tingkat membaca dan menulis.
Meskipun pendidik jasmani belum banyak menggunakan
keterampilan membaca dan menulis dalam pendidikan jasmani,
mereka dapat memberikan dampak yang signifikan baik pada
perolehan keterampilan gerak maupun pertumbuhan
keterampilan literasi. Pendidikan jasmani memiliki banyak
potensi untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik secara keseluruhan, hal ini dapat dilihat dari
beberapa faktor. Kesimpulannya menurut Achmad Paturusi
(2012) menyatakan “pendidikan jasmani dan olahraga pada
hakekatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan

12
kegiatan jasmani (jasmani) dan olahraga untuk menghasilkan
perubahan kualitas individu secara holistik, baik dari segi fisik,
mental maupun emosional. Menurut pemaparan ini, pendidikan
jasmani memiliki sejumlah keuntungan, termasuk memberikan
kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam berbagai
kegiatan yang membantu mereka mencapai potensi penuh
dalam hal perkembangan fisik, mental, sosial, emosional, dan
moral. Sederhananya, ketiga ranah atau ranah pembelajaran
kognitif, afektif, dan psikomotorik itu menjadi tujuan
pendidikan jasmani.
Penjabaran ketiga domain tersebut menurut Sugiyanto
(1998) menyatakan bahwa:
1. Domain kognitif adalah salah satu klasifikasi tujuan
pendidikan yang berkenaan dengan aktivitas berfikir: yaitu
meliputi ingatan, pengenalan pengetahuan, serta
perkembangan kemampuan dan kecakapan intelektual.
2. Domain afektif adalah klasifikasi ke 2 tujuan pendidikan
yang dibuat oleh Bloom dkk. Domain ini berkenaan dengan
perilaku perasaan atau emosi. Perilaku afektif juga bisa
diklasifikasi ke dalam kategori-kategori dari yang sifatnya
sederhana sampai yang sifatnya kompleks. Krathwohl,
Bloom, dan Masia (1964) mengklasifikasikanya menjadi 5
kategori, yaitu: 1) Menerima atau memperhatikan, 2)
Menanggapi 3) Menilai, 4) Mengorganisasi, (5). Karakterisasi
nilai-nilai.
3. Domain Psikomotor berkenaan dengan gerakan atau kontrol
tubuh. Aktivitas psikomotor terutama berorientasi pada
gerakan dan menekankan respon-respon fisik yang nampak.
Istilah “Domain Psikomotor” dikatakan juga “Domain
Motor”. Domain ini meliputi berbagai macam perilaku gerak.
Dalam sistem klasifikasi domain psikomotor yang
dikembangkan oleh beberapa ahli menunjukkan keragaman
dalam cara pendekatan maupun konsepnya. Pendekatanya
ada yang bersifat taksonomi. Pendekatan yang bersifat
taksonomik adalah sistem klasifikasi yang mengategorikan

13
karakteristik perilaku dari yang paling sederhana sampai
yang paling mompleks.

Terdapat beberapa pendapat tentang tujuan dari beberapa


ilmuwan yang meneliti tentang pendidikan jasmani yang dapat
dipahami maksud dan maknanya, antara lain:
1. Randolph W. Webster (1965) menyatakan “as interpreted by
pragmatism, is to develop the whole individual mentally, morally,
socially, and physically in terms of human experience through the
physical and not of the physical”. Pendidikan jasmani untuk
mengembangkan seluruh individu mental , moral , sosial ,
dan fisik. Hal yang dipertimbangkan dalam konsep ini
adalah pada fase pendidikan.
2. John E. Nexon dan Lance Flanagan (1967) menyatakan
“organized physical education should aim to make the maximum
contribution to the optimum development of the individuals
potentialities in all phases of life, by placing him in an environment
as favorable as possible to the promotion of such muscular and
related responses or activities as will best contribute to this
purpose”. Pendidikan jasmani dilakukan bertujuan membuat
kontribusi maksimal untuk pengembangan optimal potensi-
potensi individu dalam semua tahap kehidupan, dengan
menempatkan lingkungan yang menjelaskan kemampuan
otot terkait atau kegiatan yang memberikan kontribusi pada
suatu kegiatan. Dalam hal ini pendidikan jamani berperan
sebagai medan pengembangan kebudayaan dimana
pendidikan jasmani turut membantu dalam meningkatkan
kualitas pribadi manusia yang berada dalam kelompok
masyarakat
3. Soenardi Soemosasmito (1988) menyatakan secara
tradisional, tujuan pendidikan jasmani yang telah disepakati
adalah sejalan dengan tujuan pendidikan pada umumnya,
yaitu pendidikan yang menggunakan medium jasmani.
4. Charless Bucher (1972) mengutarakan bahwa pendidikan
jasmani adalah bagian yang terpadu dari proses pendidikan
yang menyeluruh; bidang dan sasaran yang diusahakan
adalah perkembangan jasmaniah, mental emosional, dan

14
sosial bagi warga negara yang sehat, melalui medium
kegiatan jasmaniah.
5. Dini Rosdiani (2012) menyatakan tujuan pendidikan jasmani
adalah mengembangkan aspek jasmani dan rohani, dalam
rangka mengembangkan manusia sutuhnya”.

Manfaat pendidikan jasmani yang dikemukakan oleh


John E. Nexon dan Lance Flanagan (1967) menyatakan “Physical
education aims to make people healthy,” dalam bentuk lain,” physical
education aims to promote healthful living”. Pendidikan jasmani
membuat orang sehat yang disebabkan oleh aktivitas gerak yang
dilakukan sehingga kebutuhan tubuh dalam unsur gerak
terpenuhi dan pendidikan jasmani bertujuan untuk
mempromosikan tentang hidup sehat. Dapat kita simpulkan
tujuan pendidikan jasmani sesuai dengan dengan penjabaran di
atas adalah sebagai berikut: 1) Mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan kepada peserta didik berkaitan dengan
aktivitas jasmani 2) Mengembangkan domain kognitif, afektif,
dan psikomotor 3) Mengembangkan mental individu 4)
Menjadikan manusia yang bersosial 5) Membentuk ketahanan
fisik dan kebugaran jasmani.
Hal ini tentunya tidak dapat kita pungkiri bahwa
pendidikan menambah pengetahuan, memperluas wawasan
seseorang, meningkatkan dan mempertajam persepsi seseorang
terhadap sesuatu yang kemudian mempengaruhi perilaku baik
dalam berpikir maupun bertindak. Semakin baik pendidikan
seseorang maka semakin baik pula cara pandangnya dalam
melihat peluang pengembangan olahraga. Hal ini tentunya juga
sejalan dengan tingkah laku atau tindakan seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, hal ini dapat berupa
dukungan perkembangan, pembinaan, dan alasan dalam
melakukan kegiatan olahraga.

C. Olahraga Prestasi
Olahraga prestasi menurut Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional adalah
olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan

15
secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui
kompetisi untuk mencapai prestasi pada tingkat daerah,
nasional, dan internasional dalam rangka meningkatkan harkat
dan martabat bangsa dengan dukungan ilmu pengetahuan dan
teknologi keolahragaan. Prestasi dari olahraga prestasi adalah
kinerja terbaik. Kinerja terbaik dari suatu kejuaraan adalah
sebagai juara, baik pada tingkat daerah atau nasional atau
internasional. Pertanyaannya adalah bagaimana melahirkan
sang juara? Jawaban sederhananya adalah lakukan pelatihan
(training) secara terarah, terukur, dan terpantau.
Menurut tulisan-tulisan Bompa (1999), yang terdapat
dalam buku Periodisasi: teori dan metodologi pelatihan, edisi
ke-4, pelatihan adalah olahraga yang dipraktikkan dalam jangka
waktu yang lama secara sistematis sementara juga ditingkatkan
secara individual. Tujuan dari proses latihan, menurut Coutts
dan Stuart Cormack (2014) dalam bukunya High-performance
Training for Sports, adalah untuk memastikan atlet berada dalam
kondisi fisik yang prima sehingga mereka dapat bertanding
dengan sukses. Jawaban untuk pertanyaan berikut, "Bagaimana
proses pelatihan menghasilkan juara, dapat dilihat dari beberapa
aspek, antara lain 1) atlet, 2) pelatih, 3) sarana prasarana, 4)
pertandingan, 5) periode latihan.
Selanjutnya, tentang ruang lingkup olahraga prestasi
pada pasal 20 ayat (1) menyebutkan olahraga prestasi
dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan
dan potensi olahragawan dalam rangka meningkatkan harkat
dan martabat bangsa. Kemudian pada pasal 27 ayat (1)
disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga
prestasi dilaksanakan dan diarahkan untuk mencapai prestasi
olahraga pada tingkat daerah, nasional, dan internasional dan
dipertegas pada ayat (2) bahwa pembinaan dan pengembangan
olahraga prestasi dilakukan oleh induk organisasi cabang
olahraga dan ayat (3) dilakukan oleh pelatih yang memiliki
kualifikasi dan sertifikat kompetensi yang dapat dibantu oleh
tenaga keolahragaan dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Setelah kita memahami konsep olahraga dalam

16
tataran perundangan, maka diharapkan kita akan lebih
mengerti, dapat melihat, menilai, dan juga melaksanakan
kegiatan olahraga apa
Mengutip tulisan Bompa (1999) dalam buku Periodisasi:
teori dan metodologi latihan, edisi ke-4 bahwa latihan adalah
kegiatan olahraga yang dilakukan secara sistematis dalam
waktu yang lama, yang ditingkatkan secara progresif dan
individual. Aaron J. Coutts dan Stuart Cormack (2014) dalam
buku High-performance training for sports menulis bahwa tujuan
dari proses latihan adalah untuk memastikan atlet berada dalam
kondisi puncak untuk tampil sukses selama kompetisi.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana proses pelatihan bisa
menghasilkan juara. Jawabannya dapat dilihat dari beberapa
faktor yaitu 1) atlet, 2) pelatih, 3) sarana prasarana, 4)
pertandingan, 5) periode latihan.
Atlet yang digadang-gadang menjadi juara adalah mereka
yang berbakat dan memiliki motivasi kuat untuk berlatih dan
menjadi juara. Untuk itu diperlukan proses identifikasi dan
pencarian bakat. Istvan Balyi, Richard Way, dan Colin Higgs
(2013) dalam buku Long Term Athlete Development menyebut
tahap ini sebagai tahap literasi fisik yaitu mulai aktif (bergerak),
gerakan dasar, dan belajar berlatih. Tahap selanjutnya adalah
berlatih untuk berlatih, berlatih untuk bertanding/bersaing, dan
berlatih untuk menang. Tahap ini disebut tahap superior atau
kinerja tinggi. Semua tahapan ini memakan waktu 8-12 tahun.
Banyak juara dunia mencapai performa tertingginya dalam
rentang waktu ini.
Atlet yang bertalenta dan memiliki motivasi untuk
menang akan lahir sebagai juara jika dilatih oleh pelatih yang
handal. Pembina yang handal adalah yang memiliki kepribadian
yang baik dan menguasai berbagai ilmu yang menunjang tugas
kepelatihannya. Kepribadian pelatih berkaitan dengan gaya
kepelatihannya, caranya berkomunikasi dengan atlet. Di zaman
sekarang ini seorang pelatih harus memiliki dan mampu
menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga dalam
proses latihannya. Dukungan ilmu dan teknologi keolahragaan

17
dalam proses latihan akan menentukan tingkat pencapaian hasil.
China berhasil menunjukkan prestasinya di Olimpiade Beijing
didukung ribuan kajian yang hasil penelitiannya
diimplementasikan dalam proses latihan. Jika ingin menjadi
juara di tingkat internasional, maka ikutilah standar
internasional yang berlaku pada cabang olahraga tersebut. Jika
ingin menjadi juara di tingkat nasional (misalnya PON), maka
ikuti standar nasional (bahkan internasional karena mungkin
ada juara internasional yang mengikuti PON) yang berlaku
untuk cabang olahraga tersebut. Atlet berbakat dan pelatih
handal tidak akan mencapai hasil yang optimal jika proses
latihan dan latihan tidak didukung dengan sarana dan prasarana
yang baik. Tuntutan sarana dan prasarana latihan harus sesuai
dengan tingkat kejuaraan yang menjadi target latihan. Jika ingin
menjadi juara nasional, maka sarana prasarana dan sarana
latihan harus berstandar nasional. Begitu juga jika ingin juara
internasional, maka sarana prasarana dan sarana latihan harus
berstandar internasional. Prasarana dan sarana tersebut harus
standar, aman, nyaman digunakan baik selama proses latihan
maupun saat pertandingan/pertandingan. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi
perkembangan sarana dan prasarana olahraga, bahkan dapat
mempengaruhi peraturan/regulasi dalam olahraga.
Komponen yang juga sangat penting dalam upaya
mengkondisikan lahirnya seorang juara adalah kecukupan
kompetisi. Persaingan adalah implementasi dari kemampuan
atlet untuk menunjukkan tingkat prestasinya. Kecukupan
kompetisi akan membuat atlet beradaptasi dengan situasi
kejuaraan (balapan/pertandingan). Kemampuan atlet dalam
menyesuaikan diri dengan situasi kejuaraan ini berpeluang
baginya untuk menampilkan performa/prestasi terbaiknya
selama pertandingan puncak, baik secara fisik, teknik, taktik,
maupun mental. Pentingnya peran kecukupan kompetisi ini
bagi para atlet sebagai bekal menghadapi persaingan puncak
sering dijadikan alasan untuk membenarkan hasil yang dicapai,
baik menang atau lebih-lebih jika mengalami kekalahan.

18
Minimnya persaingan dijadikan kambing hitam atas kekalahan
tersebut.
Latihan terarah adalah latihan yang dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan cabang olahraga untuk menghasilkan
juara. Untuk itu diperlukan kemampuan pelatih
mengidentifikasi berbagai kebutuhan yang harus dipersiapkan
untuk kejuaraan. Analisis kebutuhan fisik, tuntutan
keterampilan teknis, ketepatan strategi dan taktik, serta
penguasaan mental pertandingan. Pelatih handal dapat melihat,
menyusun, menampilkan dan menjelaskan program dan
kegiatan yang akan dilakukan menuju terciptanya/tercapainya
target (juara) yang telah ditentukan. Program pelatihan terdiri
dari jangka panjang, menengah dan pendek. Selanjutnya dalam
penyusunan program jangka pendek sebagai program
operasional tahunan dibagi menjadi 3 periode yaitu periode
persiapan (umum dan khusus), periode kompetisi (prakompetisi
dan kompetisi utama), dan periode transisi. Konsep utama masa
persiapan adalah menyiapkan atlet (fisik, teknik, taktis, mental)
untuk memasuki masa kompetisi. Konsep utama periode
kompetisi adalah mempersiapkan atlet untuk kompetisi utama
(puncak). Termasuk dalam periode ini adalah berbagai kegiatan
try out. Konsep utama masa transisi adalah mempersiapkan atlet
untuk kembali ke masa persiapan setelah relaksasi dari
pertandingan utama.
Pelatihan yang terukur adalah pelatihan yang dilakukan
berdasarkan sasaran/target yang ditetapkan sebagai
implementasi dari pelatihan yang terarah. Pelatihan yang
terukur ini untuk menjamin keterlaksanaan program pelatihan
secara efektif dan efisien sesuai standar yang ingin dicapai baik
aspek fisik, teknik, taktik, maupun mental. Keterukuran akan
merefleksikan prediksi sasaran/target yang sudah ditentukan.
Komponen pelatihan yang perlu diperhatikan secara cermat
adalah manipulasi dari frekuensi, volume, intensitas, durasi, dan
kepadatan latihan. Semua komponen ini akan menentukan
tingkat pencapaian adaptasi pelatihan. Siklus superkompensasi
(kinerja tertinggi/prestasi terbaik) dalam buku The Physiology of

19
training (2006) akan dicapai melalui proses perlatihan (exercise),
kelelahan (fatigue), pulih asal (recovery), dan adaptasi (adaptation).
Proses adaptasi ini menjadi sangat penting karena dari sinilah
bermula bertambah meningkatnya prestasi atlet.
Pelatihan yang dipantau adalah kontrol operasional
program. Tahapan tertentu (siklus makro) dan periodisasi
(persiapan, kompetisi, transisi) dalam suatu program pelatihan
akan menunjukkan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu,
tahapan tujuan akan selalu dipantau. Tujuan yang dapat dicapai
menunjukkan bahwa program pelatihan dapat dilanjutkan dan
tujuan yang belum tercapai harus segera diperbaiki dan direvisi
agar target kinerja selalu dalam kendali program pelatihan.
Untuk melahirkan juara-juara cabang/nomor olahraga
diperlukan proses jangka panjang dengan proses pembinaan
yang sistematis dan didukung oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi olahraga modern. Pengalaman menunjukkan
prestasi/juara tingkat internasional diraih setelah berlatih 8-12
tahun. Jika pelatihan telah dilakukan secara terus menerus,
namun hasilnya belum mencapai tingkat yang diharapkan, hal
ini menandakan bahwa ada sesuatu yang salah. Diperlukan
kajian yang cermat agar pembinaan olahraga yang akan
dilaksanakan tidak membuang-buang tenaga, uang, pikiran, dll.
Juara akan mampu mengangkat harkat dan martabat individu,
keluarga, masyarakat, daerah, bangsa dan negara. Di tingkat
nasional juara bisa mengibarkan bendera daerahnya dan di
tingkat internasional juara akan bisa mengibarkan bendera
merah putih untuk mengharumkan nama bangsa di mata dunia.
Olahraga dapat dilakukan secara individu atau bersama-
sama sebagai tim. Ada banyak jenis-jenis olahraga di dunia.
Beberapa olahraga terpopuler di dunia seperti sepak bola,
basket, voli atau tennis tentu sudah dikenal luas. Ada juga
macam-macam olahraga air seperti renang, polo air dan surfing,
serta olahraga atletik seperti lari, lompat jauh dan lempar
lembing. Sebuah cabang olahraga bisa diperlombakan secara
individu atau kelompok. Contoh olahraga secara individu
adalah tinju, lari, anggar atau balap motor. Sedangkan olahraga

20
tim misalnya sepak bola, basket, hoki atau baseball. Ada juga
olahraga berupa permainan mini, kartu atau papan, misalnya
seperti catur, bowling, bridges dan billiard. Selain itu jenis-jenis
olahraga juga dibedakan menjadi olahraga terukur dan tidak
terukur. Cabang olahraga terukur memiliki skor pasti,
sedangkan cabang olahraga tidak terukur menggunakan sistem
skor dan penilaian dari dewan juri, misalnya seperti loncat indah
atau senam irama.
Cabang-cabang olahraga ini dipertandingkan di berbagai
event olahraga dunia, misalnya Olimpiade (tingkat dunia),
Asian Games (tingkat Asia), SEA Games (tingkat Asia Tenggara)
serta PON atau Pekan Olahraga Nasional (tingkat nasional di
Indonesia). Tiap olahraga juga memiliki induk olahraga masing-
masing, baik induk organisasi olahraga nasional maupun secara
internasional. Lembaga ini mengatur regulasi dan kompetisi
pada tiap-tiap nama cabang olahraga yang dibawahinya. Berikut
ini nama-nama cabang olahraga di dunia yang dikenal, dari
berbagai jenis olahraga yang ada:

Cabang-Cabang Olahraga Di Dunia


1. Aero sport 53. Lompat jangkit
2. Anggar 54. Lompat galah
3. Angkat besi 55. Lompat jauh
4. Arung jeram 56. Lompat tinggi
5. Atletik 57. Lontar martil
6. Balap mobil 58. Marathon
7. Balap motor 59. Memancing
8. Balap sepeda 60. Menembak
9. Balap sepeda BMX 61. Muay Thai
10. Balap sepeda gunung 62. Panahan
11. Bandy 63. Panjat tebing
12. Baseball 64. Paralayang
13. Basket 65. Parasut
14. Basket 3 on 3 66. Parkour
15. Berkuda 67. Pencak silat
16. Berlayar 68. Pentathlon
17. Binaraga 69. Perahu naga

21
18. Billiard 70. Polo
19. Bobsleigh 71. Polo air
20. Bola tangan 72. Renang
21. Bowling 73. Renang indah
22. Bridge 74. Rugbi
23. Bulu tangkis 75. Sambo
24. Bungee jumping 76. Selam
25. Catur 77. Selancar
26. Curling 78. Seluncur es
27. Dansa 79. Senam
28. Dayung 80. Senam irama
29. Dodgeball 81. Senam lantai
30. E-Sports 82. Sepak bola
31. Futsal 83. Sepak bola pantai
32. Futbol Amerika 84. Sepak takraw
33. Golf 85. Sepatu roda
34. Gulat 86. Shorinji kempo
35. Hoki 87. Skateboard
36. Hoki lapangan 88. Ski
37. Jalan cepat 89. Slamball
38. Jet ski 90. Sofbol
39. Judo 91. Squash
40. Jujitsu 92. Sumo
41. Kabaddi 93. Taekwondo
42. Kano/kayak 94. Tarung derajat
43. Karambol 95. Terjun payung
44. Karate 96. Tenis
45. Kasti 97. Tenis meja
46. Kriket 98. Tinju
47. Kurash 99. Tolak peluru
48. Lari 100. Trampolin
49. Lari estafet 101. Triathlon
50. Lari gawang 102. Voli
51. Lempar cakram 103. Voli pantai
52. Lempar lembing 104. Wushu
Sumber. Infoakurat.com

22
D. Olahraga Rekreasi
Ruang lingkup selanjutnya adalah olahraga rekreasi.
Dalam pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa olahraga rekreasi
dilakukan sebagai bagian dari proses pemulihan kesehatan dan
kebugaran dan dalam pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa
pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dilakukan dan
diarahkan mendalilkan olahraga sebagai upaya untuk
mengembangkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan
kesehatan, kebugaran, kegembiraan, dan hubungan sosial dan
ayat (4) menyatakan bahwa olahraga rekreasi dilakukan secara
bermasyarakat dengan memperhatikan asas mudah, murah,
menarik, bermanfaat dan massal (5 M). Olahraga rekreasi adalah
olahraga yang mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan
sosial pelakunya melalui proses kegiatan/pelatihan jasmani
dengan tujuan utama sehat, bugar, dan produktif, gembira,
membina hubungan sosial yang positif dengan orang lain, serta
mampu melestarikan budaya dengan kegiatan olahraga
tradisional.
Berpedoman pada Undang-Undang Sistem Keolahragaan
Nasional Nomor 3 Tahun 2005 bahwa dalam konsep dan
pengertian olahraga rekreasi adalah olahraga/kegiatan jasmani
yang dilakukan oleh perorangan, kelompok atau masyarakat
dengan tujuan memperoleh kesehatan, kebugaran jasmani,
kegembiraan, membina hubungan sosial, memelihara dan
meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional. Richard
(2013) dalam bukunya Recreational sport programming
menyebutkan olahraga rekreasi meliputi aktivitas fisik, program
rekreasi, olahraga intramural, rekreasi fisik, dan olahraga.
Selanjutnya disebutkan bahwa ada 4 mata pelajaran kunci dalam
olahraga rekreasi yaitu kesehatan, waktu luang, rekreasi, dan
olahraga. Olahraga rekreasi disebut juga olahraga untuk semua
yang dilakukan dengan berbagai tujuan, terutama untuk
bersenang-senang dan hiburan di waktu luang.

23
Menurut Gratton dan Taylor (2002), yang telah
melakukan banyak penelitian dengan topik, "Olahraga adalah
bagian dari berbagai aktivitas yang kita sebut waktu luang",
olahraga dianggap sebagai olahraga rekreasi atau olahraga
komunitas. Aktivitas serupa mungkin menjadi waktu luang
untuk satu orang tetapi tidak untuk orang lain, menurut
argumen tersebut. Nyatanya, definisi waktu luang, rekreasi, dan
olahraga dapat dengan mudah menjadi pokok bahasan seluruh
buku menjelaskan bahwa alasan orang melakukan olahraga
adalah karena mereka memiliki waktu luang untuk
melakukannya. Olahraga pendidikan, olahraga komunitas atau
rekreasi, dan olahraga prestasi adalah semua komponen dari
acara olahraga ini.
Pengertian rekreasi menurut Gayle Jennings (2007) adalah
“Any action that refreshes the mental attitude of an individual is
recreation. Recreation is a wholesome activity that is engaged in for
pleasure; therefore, it is play. Recreation may take various routes, but
the results are the same. Recreation revitalizes the spirit. It restores a
person’s vitality, initiative, and perspective of life, thereby preparing
the individual to return to his ‘sic’ toil”. Setiap tindakan yang
menyegarkan sikap mental seorang individu adalah rekreasi.
Rekreasi adalah aktivitas sehat yang bergerak dalam kesenangan
seperti bermain. Rekreasi dapat mengambil berbagai rute, tetapi
hasilnya sama rekreasi merevitalisasi semangat. Memulihkan
vitalitas seseorang, inisiatif, dan perspektif hidup, dengan
demikian mempersiapkan individu untuk kembali ke aktivitas
sebelumnya.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan karena
pelakunya memiliki waktu luang dan keinginan untuk
melakukannya. Olahraga rekreasi dipraktikkan masyarakat saat
ini sebagai akibat dari kebosanan akibat kesibukan pekerjaan
kantor. Ini memicu minat dan memotivasi individu untuk
terlibat dalam olahraga rekreasi untuk kesenangan pribadi dan
alasan kesehatan. Menurut Karageorghis dan Terry (2011),
“suasana hati dapat digambarkan sebagai sekumpulan perasaan

24
yang terus berubah yang bervariasi dalam hal kekuatan dan
durasi. Biasanya, lebih dari satu emosi hadir dalam suasana hati
kita. Akibatnya, sebuah suasana hati adalah hasil dari kumpulan
perasaan sebagai respons terhadap peristiwa biasa. Gagasan
bahwa suasana hati dapat dianggap sebagai kumpulan perasaan
yang terus berubah yang bervariasi dalam intensitas dan
kegigihan dijelaskan oleh pernyataan bahwa pola pikir ini
bertahan hingga diubah oleh peristiwa berikutnya. Suasana hati
seringkali mengandung banyak emosi. Oleh karena itu, suasana
hati adalah hasil kumpulan reaksi emosional terhadap kejadian
biasa yang bersatu untuk menciptakan pola pikir. Mentalitas ini
bertahan hingga diubah oleh peristiwa berikutnya.
Giulianotti (2004) menulis bahwa olahraga
memungkinkan orang untuk sepenuhnya mengalami sensasi
perjuangan tanpa risiko dan bahayanya. Meskipun tidak
sepenuhnya hilang, komponen ketakutan dari kegembiraan
sangat berkurang, yang secara signifikan meningkatkan
seberapa banyak menyenangkan kegembiraan pertempuran itu
Nyatakan secara eksplisit bahwa olahraga memungkinkan
individu untuk sepenuhnya menikmati perjuangan tanpa risiko
atau bahaya Meskipun tidak sepenuhnya hilang, komponen
ketakutan dari kegembiraan sangat berkurang, yang sangat
meningkatkan kenikmatan pertempuran.
Dalam kegiatan olahraga rekreasi atau masyarakat pada
masyarakat tradisional tentunya berbeda, karena kegiatan
masyarakat tradisional kebanyakan olahraga yang dilakukan
berasal dari aktivitas fisik yang dilakukan sesuai dengan adat-
istiadat kebudayaan masyarakat itu sendiri. Dalam kegiatan
masyarakat tradisional kebanyakan adat-istiadat di Indonesia
membuat aktivitas fisik dijadikan kesenangan untuk dilakukan.
Banyak macam contoh permainan tradisional yang sering
dimainkan dan dipertandingkan dalam acara adat seperti balap
karapan sapi, permainan bola api, takraw, pacu jalur, lompat
batu, dan lain-lain. Permainan tradisional dikemas semenarik
mungkin sehingga menjadi menarik untuk dimainkan dan
menjadi olahraga rekreasi versi masyarakat tradisonal

25
sebagaimana disampaikan Mallen dan Adams (2008)
menyatakan “each traditional event is considered to be a sport event
staged for recreational Traditional events exhibit two key
characteristics. The first characteristic is a governing body. The second
characteristic is that the activity is a recognizable and time-honoured
sport”. Menjelaskan bahwa setiap acara tradisional dianggap
sebagai acara olahraga yang dipentaskan untuk acara olahraga
rekreasi. Acara tradisional menunjukkan dua karakteristik
kunci. Karakteristik pertama adalah badan. Karakteristik kedua
adalah bahwa aktivitas yang dilakukan adalah olahraga yang
dipahami dan dihormati sesuai kebudayaan olahraga tersebut.
Seperti halnya pada awal mula Pacu Jalur diadakan di
kampung-kampung sekitar Sungai Kuantan untuk
memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri
dan Tahun Baru Islam. Namun, setelah masuknya Belanda ke
Indonesia, pacu jalur berubah fungsi yaitu untuk memperingati
HUT Ratu Wihelmina. Dan pada saat ini menjadi salah satu daya
tarik wisatawan untuk datang sekedar berekreasi dan
menyaksikan event olahraga itu.

Gambar 2.Olahraga Tradisional Indonesia Pacu Jalur


(Taluk Kuantan) Riau
Sumber. Mediapijar.Com

Nilai-nilai keolahragaan yang mengajarkan pentingnya


pembentukan karakter manusia suatu masyarakat baik secara
kelompok maupun individu dari faktor fisik, mental, sosial, dan

26
komunikasi, berperan penting dalam pembangunan
kebudayaan yang berkelanjutan. Menurut pernyataan Mangan
dan Richie (2004) bahwa “minat terhadap studi olahraga di
seluruh dunia sedang tumbuh dan akan terus demikian”, hal ini
menghasilkan suatu produk budaya yang dihasilkan dari
pemikiran manusia itu sendiri. Seri khas ini menggabungkan
berbagai aspek dari bidang studi olahraga yang berkembang
dalam masyarakat kontemporer, menawarkan kelengkapan dan
perbandingan di bawah sayap editorial tunggal. Dengan studi di
bidang budaya, ekonomi, etnografi, geografis, politik, sosial,
antropologis, dan sosiologis, ini sangat tepat waktu
menguraikan bagaimana kajian olahraga merupakan bidang
yang luas yang mencakup banyak bidang akademik, antara lain
ilmu pengetahuan, budaya, ekonomi, etnografi, politik, sosial,
antropologi, dan sosiologi.
Budaya menanamkan aturan-aturan penting, seperti cara
melakukan ritual atau cara hidup, dari cara yang paling
sederhana hingga cara yang paling rumit. Selain itu, budaya
menentukan apa yang harus dikatakan dan dilakukan dalam hal
pakaian, makanan, bahasa, cara melayani tamu, dan bahkan
ruang lingkup pesta. Ada banyak ritual dan tabu yang
melingkupi olahraga, seperti yang terjadi pada bentuk kompetisi
atletik lainnya, menurut Graham Sclamber (2005). Upacara
pembukaan dan penutupan, upacara medali dan penghargaan,
kebiasaan berjabat tangan dengan atau membungkuk kepada
lawan, seragam, simbol keunggulan, dan ruang piala untuk
menghormati kemenangan sebelumnya dan pahlawan/
pahlawan wanita semuanya mengarah pada kesucian olahraga,
menurut penulis, yang juga mencatat bahwa ada banyak ritual
dan tabu yang terkait dengannya. Kesucian olahraga
ditunjukkan dengan upacara pembukaan dan penutupan,
penyerahan medali dan penghargaan, kebiasaan membungkuk
atau berjabat tangan dengan lawan, pakaian yang dikenakan,
simbol kecemerlangan, dan ruang piala untuk menghormati
kemenangan dan pahlawan masa lalu.

27
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa ada beberapa
kaitan antara kajian budaya dan kegiatan olahraga, termasuk
komponen ritual dan praktik pelaksanaan upacara yang
dijunjung tinggi oleh keduanya. Karena baik budaya tradisional
maupun tradisi budaya kontemporer merupakan bagian dari
kehidupan setiap orang, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Seperti tradisi yang hanya dilakukan oleh laki-laki suku Nias.
Tradisi Lompat Batu biasanya dilakukan para pemuda dengan
cara melompati tumpukan batu setinggi 2 meter untuk
menunjukkan bahwa mereka sudah pantas untuk dianggap
dewasa secara fisik. Kegiatan ini menggambarkan antara
olahraga dan budaya merupakan suatu keutuhan yang tidak
bisa dipisahkan.

Gambar 3. Olahraga Tradisional Indonesia Lompat Batu


(Nias) Sumatera Utara
Sumber. Idntimes

Berbeda dengan olahraga pendidikan dan olahraga


prestasi. Pendidikan olahraga erat kaitannya dengan satuan
pendidikan, misalnya ada peserta didik dan tenaga pendidik
dengan tujuan utama sehat dan bugar serta terampil, cerdas dan
berakhlak mulia. Olahraga prestasi sangat erat kaitannya
dengan tujuan akhir menjadi juara. Berdasarkan tujuan
utamanya, terdapat perbedaan konsep dan definisi olahraga
pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Di

28
Indonesia induk organisasi olahraga rekreasi ini adalah Federasi
Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI = Indonesia
Sport for All Federation) dan sudah menjadi anggota TAFISA (The
Association for International Sport for All).
Selain aktivitas fisik, olahraga rekreasi juga dapat
dilakukan dengan olahraga tradisional. Dengan melakukan olah
raga tradisional berarti masyarakat juga ikut serta dalam
melestarikan budaya daerah dan nasional. Achmad Paturusi
menyebutkan keunggulan sebagai berikut: 1) kebugaran, 2)
kesehatan, 3) keterampilan fisik, 4) penguasaan prinsip gerak, 5)
keterampilan berpikir, 6) kepekaan terhadap rasa, 7)
keterampilan sosial, dan 8) kepercayaan diri dan citra diri.
Deskripsi ini memperjelas bagaimana olahraga telah
mempengaruhi bagaimana orang yang berpartisipasi dalam
olahraga berkembang sebagai individu. Manfaat utama
pendidikan jasmani dan atletik adalah peningkatan kemampuan
gerak (psikomotorik).
Olahraga rekreasi ini dapat diselenggarakan dalam
bentuk festival dari tingkat daerah hingga nasional seperti
Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS). Jadi, selain
bertujuan untuk kebugaran jasmani, olahraga rekreasi juga
bertujuan untuk melestarikan budaya daerah dan nasional, serta
menjalin dan mempererat hubungan sosial dan keceriaan.
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga melalui Deputi
Bidang Kewirausahaan Pemuda dan Industri Olahraga sebagai
lembaga pengembangan industri olahraga di Indonesia
mencanangkan gagasan untuk mengembangkan industri
olahraga sebagai industri kreatif yang berdaya saing tinggi di
kancah dunia. Langkah koordinasi dengan berbagai pemangku
kepentingan telah dilakukan, kini Kementerian Negara Pemuda
dan Olahraga melalui Deputi Bidang Kewirausahaan Pemuda
dan Industri Olahraga berupaya lebih jauh untuk
mengembangkan industri olahraga di Indonesia. Salah satu
langkah penting yang sangat mendesak untuk dilaksanakan
adalah mengidentifikasi dan membina sentra industri olahraga

29
yang ada serta mengembangkan berbagai sentra alat olahraga
yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Oleh karena itu, indikator utama keberhasilan
penyelenggaraan olahraga rekreasi (Sport For All) terletak pada
partisipasi/partisipasi dan unsur keceriaan bagi masyarakat.
Gerakan olahraga rekreasi yang dulunya dikampanyekan
dengan memajukan olahraga dan membangun masyarakat
belakangan ini kembali dihidupkan. Misalnya, kebijakan car free
day, komunitas sepeda bahkan Kementerian Pemuda dan
Olahraga mencanangkan Hari Sepeda Nasional. Berbagai klub
aktivitas fisik bermunculan, baik yang resmi diselenggarakan
maupun yang sekadar sebagai wadah berkumpulnya kegiatan
yang sama dan akhirnya terbentuklah berbagai komunitas. Klub
kebugaran jasmani semakin diminati oleh masyarakat.
Di Indonesia, Sport For All telah dikampanyekan sejak
tahun 1980-an dengan slogan “memasyarakatkan olahraga dan
olah raga masyarakat” dan ditindaklanjuti saat itu dengan
melaksanakan piagam presiden uji kebugaran jasmani
Indonesia. Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui
bahwa olahraga rekreasi dapat dilakukan oleh siapa saja, di
mana saja, kapan saja, dan dengan aktivitas apa saja. Olahraga
rekreasi tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, dan kondisi
seseorang. Olahraga rekreasi dapat dilakukan di dalam maupun
di luar ruangan tanpa terikat waktu tertentu. Sedangkan
aktivitas dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas. Olahraga
rekreasi dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa persyaratan
khusus karena tujuan utamanya adalah untuk membangun dan
mengembangkan kebugaran jasmani.
Kesadaran akan pentingnya kebugaran jasmani menjadi
lebih baik. Kesadaran yang terinternalisasi lahir menjadi
kebutuhan. Kesadaran dan kebutuhan untuk melakukan
aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat diajak
untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan olah raga dan tidak
hanya bergembira sebagai penonton. Agar gerakan
mempopulerkan olah raga dan olah raga di masyarakat menjadi
budaya perlu dikelola dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah

30
Indonesia merasa perlu membentuk divisi yang mengurusnya.
Pada tingkat kementrian pemuda dan olahraga terdapat
kedeputian budaya olahraga yang juga ditindaklanjuti ke dinas
pemuda dan olahraga provinsi dan kabupaten/kota yaitu
bidang budaya olahraga. Untuk menanamkan budaya olahraga
dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah harus
menyediakan prasarana dan sarana olahraga bagi masyarakat
dari desa hingga kota terutama di alam terbuka seperti stadion,
gedung olahraga/arena yang dapat mewadahi berbagai
kegiatan fisik/olahraga, berbagai sarana olahraga yang
menantang tapi mengasyikkan. Tidak kalah pentingnya adalah
tersedianya tenaga olahraga yang dapat membimbing
masyarakat untuk melakukan kegiatan olahraga rekreasi secara
benar sesuai kaidah keilmuan guna memperoleh hasil yang
optimal. Semua sarana olahraga rekreasi juga diusahakan dapat
mengundang sebanyak mungkin orang dan dapat menampung
partisipasi/partisipasi masyarakat. Aktivitas fisik diharapkan
menjadi kebutuhan bagi individu, keluarga dan masyarakat.
Semoga dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Kegiatan olahraga pada dasarnya tidak dapat dipisahkan
dari kegiatan lain maupun kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kegiatan olahraga kini menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi
oleh manusia karena mampu membuat tubuh menjadi lebih
bugar dari sebelumnya. Olahraga akan memberikan dampak
positif bagi pelaku olahraga karena aktivitas gerak yang
diperoleh selama melakukan berbagai aktivitas olahraga akan
memberikan kebugaran jasmani dan kepuasan rohani bagi
tubuh. Kesegaran jasmani yang dimaksud adalah perubahan
kondisi jasmani menjadi lebih baik terutama pada jantung, paru-
paru dan pembuluh darah, sedangkan kepuasan rohani lebih
menekankan pada kepuasan batin selama kegiatan olahraga
dapat memberikan kesenangan bagi diri sendiri. Kegiatan
manusia modern saat ini telah banyak mengalami perubahan
kemajuan, yaitu tidak hanya olahraga yang bertujuan untuk
kebugaran jasmani semata, tetapi olahraga yang bersifat rekreasi
juga berkembang sangat pesat. Di hampir seluruh belahan dunia

31
termasuk di Indonesia, sport tourism kini sudah semakin maju
sehingga kini banyak olahraga yang dijadikan tujuan para
wisatawan, terutama olahraga yang memanfaatkan fasilitas
alam seperti gunung, danau, sungai dan lautan.
Olahraga rekreasi merupakan salah satu jenis kegiatan
pariwisata yang berkembang cukup pesat di Indonesia karena
memiliki pegunungan, lautan, sungai dan danau yang begitu
luas. Karena setiap daerah memiliki karakteristik geografis yang
berbeda, maka pengembangan wisata olahraga sangat
memungkinkan untuk dijadikan alternatif olahraga rekreasi bagi
para pecinta olahraga seperti olahraga gunung (panjat,
berkemah, trekking hutan, bersepeda atau trekking dll),
olahraga air (menyelam), kano, snorkeling, selancar, dan
sebagainya). Hubungan antara olahraga dan pariwisata tidak
dapat dipisahkan karena keduanya dapat saling memberikan
manfaat. Bisa jadi event olah raga diadakan di kawasan wisata
dengan tujuan untuk memberikan hiburan tambahan bagi
wisatawan, atau sebaliknya hanya digunakan secara khusus
untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara
(Danasaputra, 2009). Dengan demikian olahraga pada akhirnya
dapat memicu bisnis baru seperti tempat hiburan rekreasi,
restoran, hotel, pengembangan usaha kecil (aksesoris lokal
semakin berkembang), makanan dan minuman lokal semakin
dikenal, dan pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja.
Indonesia juga memiliki potensi yang sangat baik dalam
pengembangan Active Sport Tourism. Active Sport Tourism juga
memiliki kategori yang luas. Kegiatan olahraga yang bersifat
kompetitif dan non-kompetitif dan dapat dilakukan di dalam
ruangan atau di luar ruangan. Bagi Indonesia, kategori wisata ini
sangat cocok untuk dikembangkan karena terdapat berbagai
daya tarik wisata alam yang dapat dikemas dan diolah untuk
tujuan wisata olahraga aktif. Ada berbagai destinasi yang bisa
dikunjungi dan dilakukan di Indonesia untuk Active Sport
Tourism. Misalnya untuk kegiatan hiking, Anda bisa
mengunjungi destinasi wisata alam seperti Gunung Pangrango
di Jawa Barat yang kondisi alamnya masih asri dan asri. Untuk

32
selancar misalnya, banyak tempat wisata yang sudah mendunia,
bahkan mungkin belum banyak orang Indonesia yang
berkunjung kesana, seperti di Kepulauan Mentawai, Sumatera
Barat atau di pulau Nias dan Riau. Masih banyak lagi daerah
dengan destinasi wisata olahraga di Indonesia yang bisa
dikunjungi wisatawan.

33
BAB
GAMBARAN

2
OLAHRAGA SECARA
UMUM
GAMBARAN OLAHRAGA SECARA UMUM

A. Pendahuluan
Kata olahraga, pendidikan jasmani, olahraga, dan
aktivitas fisik” banyak digunakan dalam masyarakat Indonesia,
menurut Pandjaitan dalam Hanif (2020) yang membahas tentang
sejarah olah raga. Semua kata ini mengacu pada berbagai jenis
aktivitas fisik sukarela yang dilakukan dengan tujuan
membangun otot-otot tubuh. Kata Latin disportate, yang berarti
hiburan dan kesenangan, adalah asal dari kata bahasa Inggris
sport. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berpartisipasi
dalam olahraga memungkinkan seseorang untuk memuaskan
keinginannya sendiri sambil tetap bugar secara fisik. Penjelasan
ini menunjukkan bahwa kata sport berasal dari kata disportate
yang berarti bersenang-senang, terhibur, dan bergembira. Oleh
karena itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa olahraga
adalah tempat di mana orang dapat mengalami kegembiraan
sekaligus sebagai sarana untuk membangun otot dan menjaga
kebugaran, kondisi, dan kesehatan fisik.
Kata atau istilah olahraga di Indonesia sudah sangat akrab
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, berbangsa dan
bertanah air. Dari anak-anak sampai orang tua, dari rakyat biasa
sampai para pejabat, dari desa sampai ke k
Kota, laki-laki dan perempuan, semua kenal olahraga.
Olahraga dianggap sesuatu yang penting dalam kehidupan.
Berbagai slogan diucapkan seperti tiada hari tanpa olahraga,
olahraga menjadikan orang sehat, olahraga membangun
karakter bangsa dan tahun 1980an muncul gerakan

34
memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,
bahkan di media masa, baik cetak maupun elektronik terdapat
ruang khusus berita olahraga. Anggapan pentingnya olahraga
ini ditunjukkan dengan adanya lembaga atau instansi
pemerintah yang mengurusinya dan aturan yang mengikatnya,
yakni Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional.
Menurut International Council on Physical Education and
Sports Education (ICSPE), olahraga adalah setiap aktivitas fisik
yang memiliki ciri permainan dan melibatkan unsur perjuangan
dengan diri sendiri, melawan orang lain, atau perjumpaan
dengan unsur alam. Menurut teknik tertentu, olahraga adalah
kegiatan manusia, dalam pelaksanaannya ada unsur permainan,
kesenangan, dilakukan di waktu luang dan untuk kepuasan
pribadi. Manusia sendiri merupakan makhluk hidup yang
aktivitasnya sangat tinggi. Rutinitas yang sangat tinggi ini harus
didukung oleh kondisi mental dan fisik tubuh yang seimbang.
Keseimbangan antara keadaan fisik dan mental dapat dicapai
melalui usaha manusia melalui kegiatan olahraga dan rekreasi,
yang tujuannya adalah untuk menghilangkan ketegangan
mental (penyegaran dan relaksasi). Olahraga pada hakekatnya
adalah proses pendidikan yang menyebabkan perubahan besar
pada kualitas fisik, mental, dan emosional seseorang melalui
aktivitas fisik. Olahraga memperlakukan seseorang secara
keseluruhan, sebagai makhluk utuh, bukan hanya melihat
mereka sebagai individu yang terpisah berdasarkan atribut fisik
dan mental mereka. Padahal, olahraga merupakan bidang studi
yang sangat luas. Kekhawatirannya adalah peningkatan
mobilitas orang. Secara umum olahraga pada dasarnya adalah
salah satu kegiatan jasmani dan rohani seseorang yang berguna
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, yang
melibatkan gerakan tubuh yang berulang-ulang dari seseorang.
Pengertian kesehatan itu sendiri adalah keadaan normal yang
dialami makhluk hidup baik secara fisik maupun mental. Jane
Ruseski (2014) mengatakan bahwa olahraga atau olah raga
teratur dapat mengurangi risiko penyakit kronis, mengurangi

35
stres dan depresi, meningkatkan kesejahteraan mental, tingkat
energi, kepercayaan diri dan kepuasan dengan aktivitas sosial.
Menurut Komite Olahraga Nasional Indonesia, olahraga
adalah setiap kegiatan jasmani yang dilandasi oleh semangat
juang diri sendiri, orang lain, atau unsur alam, yang harus
dilakukan dengan gagah berani untuk menjadi instrumen
pribadi yang kuat. Pendidikan untuk kualitas hidup yang lebih
baik. Jessica Dolland berkata, Olahraga adalah pereda stres yang
hebat. Olahraga dapat mengalihkan pikiran dari bagaimana
tubuh meredakan ketegangan otot. Dengan kata lain olah raga
merupakan pereda stress yang sangat baik, karena olah raga
dapat menghilangkan pikiran dari rasa cemas dengan cara
melepaskan ketegangan otot pada tubuh.Secara lebih spesifik
olah raga adalah tentang hubungan gerak manusia yang
berhubungan dengan perkembangan tubuh fisik dengan pikiran
dan jiwa. Hal ini sejalan dengan Giriwijoyo (2005) mengatakan
bahwa senam adalah rangkaian latihan teratur dan terencana
yang menyadarkan seseorang untuk meningkatkan prestasinya.
Fokus pada dampak perkembangan fisik terhadap
perkembangan pertumbuhan manusia dan aspek lainnya
menjadikannya unik. Pengertian olahraga secara luas dan
sempit menurut Jonasson (2013) menyatakan: Olahraga
mengacu pada semua bentuk aktivitas fisik yang tujuannya,
melalui partisipasi biasa atau terorganisir, untuk
mengekspresikan atau meningkatkan kondisi fisik dan mental,
mengembangkan hubungan sosial atau mencapai hasil pada
semua tingkatan yang ingin dicapai. Pengertian olahraga
sebagai prestasi adalah bentuk partisipasi yang terorganisasi
dalam aktivitas fisik yang bertujuan untuk mengekspresikan
atau meningkatkan kebugaran fisik dan kesejahteraan mental,
mengembangkan hubungan sosial atau mencapai hasil
kompetitif di tingkat mana pun.
Secara definisi, olahraga didefinisikan dengan berbagai
istilah dan idiom. Namun esensinya sama yang singkatnya
memiliki makna yang jelas bahwa olahraga menggunakan
sarana fisik untuk mengembangkan manusia seutuhnya. Toho

36
Cholik Mutohir (2007) menjelaskan bahwa hakikat olahraga
mencerminkan kehidupan masyarakat suatu bangsa. Olahraga
mencerminkan cita-cita dan nilai-nilai luhur masyarakat yang
tercermin dari keinginan untuk mewujudkan diri melalui
prestasi atletik. Kita sering mendengar ungkapan bahwa
kemajuan suatu bangsa dapat tercermin dari prestasi
olahraganya. Olahraga Indonesia diharapkan dapat dijadikan
sebagai penggerak gerakan sosial untuk mencetak manusia-
manusia unggul secara fisik, mental, intelektual dan sosial yang
mampu membentuk manusia seutuhnya. Yang dimaksud dalam
konteks ini adalah aspek fisik, mental dan spiritual juga
dikembangkan dengan penekanan yang cukup mendalam.
Karena efek pendidikan olahraga tidak terbatas pada manfaat
perkembangan fisik atau tubuh, definisinya tidak hanya terkait
dengan konsep gerak tradisional. Douglas Hartman, Christina
Kwauk. (2011) mengatakan bahwa olahraga pada hakekatnya
adalah partisipasi. Olahraga menyatukan individu dan
komunitas, menekankan kesamaan dan menjembatani
perbedaan budaya atau etnis. Olahraga menyediakan platform
untuk mempelajari keterampilan seperti disiplin, percaya diri,
dan kepemimpinan, serta mengajarkan prinsip-prinsip dasar
seperti toleransi, kerjasama, dan rasa hormat.
Konsep pemahaman olahraga harus kita lihat dalam
bidang yang lebih luas dan abstrak, sebagai proses yang
membentuk kualitas jiwa dan raga. Mengutip Robert Gensemer,
olahraga disebut sebagai proses menciptakan tubuh yang baik
untuk pikiran atau jiwa. Artinya di dalam tubuh yang baik
terdapat semoga jiwa yang sehat, sesuai dengan pepatah
Romawi kuno Men sana in corporesano. Boyke Mulyana (2012)
lebih dekat dengan istilah pendidikan jasmani. Namun, melihat
lebih dekat mengungkapkan bahwa olahraga secara tradisional
dikaitkan dengan kegiatan kompetitif. Ketika kita berbicara
tentang olahraga sebagai kegiatan kompetitif yang terorganisir,
yang dimaksud adalah bahwa olahraga itu disempurnakan dan
diformalkan sampai batas tertentu, sehingga memiliki bentuk
dan proses yang pasti. Definisi Olahraga Jay J. Coakley (1978)

37
Disebutkan bahwa “melembagakan kegiatan kompetitif yang
melibatkan partisipasi aktif, yang partisipasinya dimotivasi oleh
kepuasan internal terkait dengan aktivitas itu sendiri dan
imbalan eksternal yang diperoleh melalui partisipasi. Kegiatan
kompetitif yang dilembagakan dengan partisipasi tinggi
dimotivasi oleh kepuasan intrinsik yang terkait dengan aktivitas
itu sendiri dan imbalan ekstrinsik yang diperoleh dari
partisipasi. Batasan yang dikeluarkan oleh Coakley lebih
menekankan kegiatan olahraga kompetitif yang
diselenggarakan berdasarkan timbal balik dari kegiatan
olahraga yang dipraktikkan, seperti Misalnya, baik aturan
tertulis maupun tidak tertulis akan digunakan dalam kegiatan
ini, dan aturan atau prosedur tersebut tidak boleh diubah selama
kegiatan berlangsung tanpa persetujuan semua pihak.
UU No. 3 Tahun 2005, olahraga adalah kegiatan sistematis
yang mengusahakan, memajukan, dan mengembangkan potensi
fisik, mental, dan sosial. Oleh karena itu, olahraga dapat
didefinisikan sebagai kompetisi fisik autotelik (dimainkan untuk
kepentingannya sendiri). Berdasarkan definisi ini, diagram
pohon terbalik sederhana dapat dibangun. Terlepas dari
kejelasan definisi, pertanyaan sulit muncul. Apakah mendaki
gunung termasuk olahraga, Inilah yang terjadi ketika aksi
dipahami sebagai persaingan antara pendaki dan gunung, atau
persaingan antara pendaki untuk menjadi yang pertama
mencapai puncak. Apakah Pembalap Indianapolis 500 Benar-
Benar Atlet. Artinya, jika kita berpikir bahwa kita membutuhkan
setidaknya kecakapan fisik untuk memenangkan persaingan.
Tujuan dari definisi yang jelas adalah untuk memberikan
jawaban yang kurang lebih memuaskan atas pertanyaan
semacam itu. Sulit untuk memahami olahraga tanpa diawali
dengan gambaran kasar tentang apa itu olahraga.
Olahraga adalah kegiatan kompetitif yang pertama dan
terutama. Kita tidak bisa memaknai olahraga tanpa memikirkan
persaingan, sehingga olahraga tanpa persaingan hanya menjadi
permainan atau hiburan. Jadi game langsung jadi sport, tapi di
sisi lain sport tidak pernah sekedar games karena aspek

38
kompetitif pada dasarnya sangat penting. Bermain, olahraga,
dan pendidikan jasmani mencakup bentuk-bentuk aktivitas fisik
dan ketiganya dapat digabungkan secara bermanfaat dengan
pengajaran bila digunakan untuk tujuan pendidikan. Bermain
game bisa membuat rileks dan menghibur tanpa tujuan
pendidikan, seperti halnya olahraga tanpa tujuan pendidikan.
Misalnya, olahraga profesional (sering disebut sebagai atletik di
Amerika) tidak diberikan fungsi pendidikan, tetapi tetap disebut
sebagai olahraga. Olahraga dan permainan bisa ada, baik untuk
bersenang-senang atau untuk tujuan pendidikan, atau
kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak boleh
saling eksklusif, mereka bisa dan harus berjalan bersama.

B. Nilai-Nilai Olahraga
Pengertian nilai menurut Alo Liliweri (2014) Nilai adalah
gagasan tentang apa yang baik, benar, dan adil. Nilai adalah
konsep budaya yang menilai sesuatu sebagai baik atau buruk,
benar atau salah, indah atau jelek, bersih atau kotor, berharga
atau tidak berharga, cocok atau tidak, dan baik atau kejam. Nilai
adalah salah satu komponen fundamental pembentuk orientasi
budaya. Norma dan nilai sosial yang ada dalam masyarakat
(konsensus nilai) berfungsi sebagai mediator utama antara
kompleks struktur sosial. Nilai yang berkaitan dengan akhlak
ada dua macam, nilai terbagi menjadi dua bagian, yaitu nilai
moral dan nonmoral, tegas Husdarta (2011). Nilai mana yang
bermoral dan mana yang tidak bermoral dapat dibedakan.
Moralitas berkaitan dengan bagaimana orang atau makhluk
hidup lainnya bertindak dan berperilaku ketika tindakan dan
perilaku tersebut dimotivasi oleh atau dimaksudkan untuk
mempengaruhi orang lain. Uang, kekuasaan, posisi, ketenaran,
dan kesuksesan olahraga semuanya digunakan sebagai contoh
nilai moral. Sedangkan segala sesuatu dengan motivasi, niat,
atau sifat kepribadian yang berdampak pada orang lain
dianggap tidak bermoral.

39
Menurut Alo Liliweri (2014) nilai-nilai seperti
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, hak-hak
dasar, milik pribadi, cinta tanah air, kesetiaan kepada istri atau
suami, religiusitas (keberagamaan), pengorbanan, memberi
bantuan, kerjasama, individualitas, kesetaraan sosial, privasi,
demokrasi, dan lain-lain yang memandu perilaku manusia
dalam berbagai cara.Menurut pembenaran ini, nilai termasuk
aspek pertimbangan yang mencerminkan keyakinan seseorang
tentang apa yang benar secara moral, mengagumkan, atau
diinginkan. Ada elemen moral untuk kegiatan olahraga, seperti
rasa hormat, tanggung jawab, kepedulian, kejujuran, keadilan,
dan kesopanan. Setiadi dan Hakam (2007) menjelaskan bahwa
pengertian tentang nilai yang telah dikemukakan oleh para ahli
pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan
pemahaman tentang nilai secara holistik, tetapi setiap orang
tertarik pada bagian-bagian yang (relatif tidak tersentuh) oleh
pemikir lain, sehingga mereka menganggap ada ruang kosong
untuk dimasuki, atau ada bagian yang belum dijelaskan oleh
definisi orang lain.Cara berpikir seperti ini bukanlah hal yang
aneh dalam filsafat karena filsafat mencari hakikat dengan
mencari masalah yang belum terpecahkan, sehingga akan
berusaha untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab
tanpa batas.
Kita dapat melihat bahwa pengetahuan yang menjadi
aturan tertentu adalah apa itu nilai. Setiap kebiasaan atau
kegiatan yang dipraktekkan tentunya memiliki nilai yang dapat
dihubungkan dengan maknanya dan dijadikan tolak ukur
ilmiah. Elemen atau makna dari aktivitas yang dilakukan
kemudian dipahami sebagai nilai ini. Menurut Dini Rosdiani
(2012), estetika berkaitan dengan seni lukis, tari, musik sastra,
pendidikan jasmani, dan kesehatan. Ia juga menegaskan bahwa
nilai-nilai sportif termasuk dalam makna fundamental estetika.
Salah satu ahli yang telah melakukan pembagian tentang nilai
non formal menurut Husdarta (2011) menurutnya nilai non
formal terdiri atas.

40
1. Nilai utilitas, yaitu sesuatu dinilai baik karena
kemanfaatanya bagi maksud tertentu; raket bulu tangkis
bernilai karena dengan alat itu dapat bermain bulutangkis.
2. Nilai ekstrinsik, yaitu sesuatu dinilai baik karena merupakan
alat untuk menjadi baik, misal anda dapat menilai tinggi
sesuatu nilai ekstrinsik karena bermanfaat bagi anda.
Kemenangan, merupakan nilai ektrinsik karena bermanfaat
bagi anda. Kemenangan merupakan, merupakan nilai
ekstrinsik, sebab meraih sukses dalam hidup adalah sangat
penting. Melalui kemenangan misalnya, anda dapat meraih
berbagai barang, harga diri, kemasyhuran, dan lain-lain.
3. Nilai inheren, yaitu sesuatu dinilai baik karena pengalaman
yang diperoleh tatkala diresapi, direnungi di dalamnya
terkandung nilai berharga. Memikirkan tercapainya
kemenangan misalnya, anda dapat meraih berbagai barang,
harga diri, kemasyuran dan lain-lain.
4. Nilai instrinsik, yaitu sesuatu dinilai baik di dalamnya atau
baik karena berani, berdedikasi, dan pengorbanan pribadi
merupakan nilai intrinsik. Dikatakan baik, karena di
dalamnya terkandung hal baik.
5. Nilai kontribusi, yaitu sesuatu yang dinilai baik karena
kontribusinya yang baik bagi hidup atau bagian dari hidup.
Uang dinilaiberharga karena kontribusinya bagi hidup.
6. Nilai final, yaitu segala sesuatu atau kombinasi sesuatu
dinilai baik secara keseluruhan. Nilai moral data termasuk ke
dalam kategori tersebut. Sesuatu dapat dikatakan baik
berdasarkan beberapa pemahaman, baik intrinsik maupun
ekstrinsik.

Seperti yang dikemukakan oleh Husdarta (2011) nilai


moral adalah kepatutan relatif yang dikenakan pada berbagai
perilaku baik. Nilai adalah konsep pribadi, tidak berwujud yang
tidak dapat diukur secara objektif. Sifat dari disposisi yang
dinilai atau tidak adalah nilai moral Menurut Mudji Sutrisno
(2005), “nilai adalah sesuatu yang dianggap berharga oleh
seseorang atau sekelompok orang dan digunakan sebagai acuan
tindakan dan penafsir arah kehidupan.

41
Olahraga merupakan media yang positif dalam
mengembangkan nilai-nilai kehidupan dan kehidupan, salah
satunya adalah mengembangkan nilai-nilai sosial. Dalam
praktiknya, olahraga disyaratkan pada kegiatan yang
mencerminkan kehidupan nyata, termasuk kehidupan dalam
kaitannya dengan nilai-nilai sosial. Dalam peranan olahraga
dalam menjalankan peran kehidupan masyarakat, Husdarta
(2011) berpendapat bahwa “nilai-nilai dalam olahraga sangat
erat kaitannya dengan tradisi budaya masyarakat yang
diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh karena
itu, olahraga merupakan cerminan dari nilai-nilai sosial suatu
masyarakat. Misalnya, olahraga digunakan untuk semua jenis
aktivitas fisik, yang dapat dilakukan di darat, air, atau udara.
Olahraga memainkan peran penting dalam kehidupan budaya
seluruh masyarakat. Dalam sistem tatanan sosial tradisional,
aktivitas fisik masih biasa dilakukan dalam aktivitasnya, karena
dalam tatanan sosial tradisional yang belum tersentuh ilmu
pengetahuan dan teknologi, masyarakat masih mandiri dalam
mengerjakan pekerjaan rumah. Dari aktivitas atau aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat, merupakan aktivitas fisik yang
dapat diidentifikasikan sebagai nilai olah raga dalam tradisi ini.
Identifikasi ini sesuai dengan olahraga yang sesuai dengan pola
kegiatan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat. Salah
satu contoh yang dapat kita ambil dari kegiatan mencari ikan di
sungai adalah sekelompok masyarakat tradisional yang masih
berenang atau menggunakan sampan dan jaring sebagai media
untuk menangkap ikan. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa ada
beberapa unsur olahraga yang dapat kita padukan sesuai
dengan cabang olahraganya, seperti renang, dayung, dan
menyelam.
Seperti yang dinyatakan oleh Magdalinski (2009)
pembentukan olahraga sebagai aktivitas dengan signifikansi
budaya di luar lapangan permainan terjadi pada pertengahan
hingga akhir abad ke-19, ketika permainan pedesaan yang tidak
diatur secara bertahap diformalkan dan dimasukkan ke dalam
sistem sekolah umum Inggris. Ada banyak hasil positif dari

42
partisipasi dalam olahraga. Awalnya, ide di balik menawarkan
permainan kepada anak laki-laki yang terdaftar di lembaga ini
adalah untuk mengendalikan perilaku buruk dan
menumbuhkan sifat seperti kepemimpinan dan kerja tim di
generasi politik dan sipil berikutnya elit. Status permainan
sebagai alat pedagogis yang berguna kemudian ditingkatkan
ketika dijadikan komponen formal sistem pendidikan.
Khususnya, bidang permainan berfungsi sebagai tempat untuk
lebih dari sekadar pelatihan fisik.
Partisipasi sistematis dalam aktivitas fisik yang
terorganisasi memberikan keduanya pendidikan jasmani dan
moral yang dapat menciptakan orang Kristen berotot, yang kuat
secara tubuh, pikiran, dan jiwa, according untuk pendidik fisik
pada saat itu. Untuk mempersiapkan peserta untuk peran
kepemimpinan yang tidak diragukan lagi akan mereka pegang,
olahraga dipandang sebagai kegiatan yang bermakna.
Pembangunan olahraga sebagai kegiatan dengan signifikansi
budaya luar lapangan terjadi pada pertengahan hingga akhir
abad kesembilan belas, sebagai permainan yang tidak diatur
secara bertahap diformalkan dan dimasukkan dalam sistem
sekolah umum Inggris. Tujuan pemberian permainan kepada
anak-anak yang tergabung dalam organisasi pada awalnya
adalah untuk mengontrol perilaku yang mengganggu dan untuk
mengenali standar yang tinggi, seperti kerja sama tim dan
komitmen terhadap tujuan politik dan sosial di masa lalu.
Ketinggian selanjutnya dari permainan ke inti sistem
pendidikan menantang statusnya sebagai alat pendidikan yang
mahal. Bukan hanya tubuh yang diturunkan di area permainan.
Menurut para pendidik jasmani saat ini, partisipasi sistematis
dalam kegiatan pendidikan jasmani menawarkan potensi untuk
mengembangkan otot yang kuat dalam tubuh, pikiran, dan jiwa.
Oleh karena itu, olahraga dipahami sebagai kampanye yang
mendorong peserta untuk terlibat dalam pendidikan sosial dan
komunitas sambil menunggu keuntungan yang mereka
harapkan dari pemberi kerja. Magdalinski (2019)

43
mengidentifikasi olahraga sebagai bentuk media kewirausahaan
masyarakat yang lebih efektif.
Dalam pengertian pada dunia olahraga kuno menurut
France (2009) “the exercise boom is not just a fad; it is a return to
‘natural’ activity the kind for which our bodies are engineered and
which facilitates the proper function of our biochemistry and
physiology. Viewed through the perspective of evolutionary time,
sedentary existence, possible for great numbers of people only during
the last century, represents a transient, unnatural aberration”.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa latihan pada suatu cabang
olahraga bukan hanya sekedar iseng-iseng atau mengisi waktu
luang saja, hal ini kembali sifat alami manusia. Jenis aktivitas
tubuh yang direkayasa dan difasilitasi oleh fungsi tubuh yang
tepat dari biokimia dan fisiologi. Dilihat melalui perspektif
waktu evolusi, keberadaan menetap, mungkin bagi sejumlah
besar orang hal ini dilakukan hanya selama abad terakhir,
merupakan sifat yang sementara, sehingga menjadi
penyimpangan yang wajar.
Pada olahraga yang menggunakan kerjasama tim terdapat
beberapa nilai yang dapat diambil seperti yang dijelaskan oleh
Hicks (2014) menyatakan bahwa “Team members share
responsibility. Each member has to do his or her best to contribute.
Every single member of the team impacts the game. If each player tries
to do their best all the time, then your team will have a better chance of
succeeding”. Maksud Hicks adalah anggota tim berbagi tanggung
jawab. Setiap anggota hubungannya harus memberikan
kontribusi yang terbaik pada setiap individu anggota agar
berdampak positif terhadap hasil dari permainan tim. Jika setiap
pemain mencoba untuk melakukan yang terbaik sepanjang
waktu mereka, maka tim Anda akan memiliki kesempatan lebih
baik untuk berhasil. Adapun beberapa nilai yang dapat diambil
dari permainan tim menurut Hicks (2014) adalah sebagai
berikut:
1. Attitude (sikap) perasaan tentang sesuatu yang
mempengaruhi perilaku atau suasana hati.
2. Communicate (komunikasi) untuk berbagi informasi, ide, atau
perasaan dengan orang lain.

44
3. Principles (prinsip) kebenaran, hukum, atau keyakinan dasar.
4. Privilage (hak istimewa) hak khusus yang diberikan kepada
seseorang atau kelompok orang.
5. Respect (hormat) perasaan kekaguman atau menjunjung
tinggi seseorang atau sesuatu.
6. Responsibility (tanggung jawab) pekerjaan atau tugas.
7. Teamwork (kerjasama tim) bekerja sama dengan kelompok
atau tim.
8. Vision (visi) ide atau rencana

Olahraga merupakan alat yang berguna untuk mendidik


generasi muda, khususnya dalam nilai-nilai, menurut
Perserikatan Bangsa-Bangsa (2003), sebagaimana dikutip oleh
Ali Maksum (2009). Nilai-nilai kekompakan, komunikasi, saling
menghargai, berhubungan dengan lingkungan sosial,
kepemimpinan, saling menghormati, toleransi terhadap orang
lain, dan percaya diri hanyalah beberapa yang dapat dipelajari
melalui kegiatan olahraga. Kesimpulannya, olahraga
menjunjung tinggi cita-cita luhur yang sejatinya merupakan ciri
dari hiburan yang kita lakukan sehari-hari. Oleh karena itu,
kemampuan setiap orang untuk memulai kehidupan yang baik
berdasarkan nilai-nilai adalah hal yang paling penting.

C. Ruang Lingkup Olahraga


Merujuk pada Undang-Undang Sistem Keolahragaan
Nasional Nomor 3 tahun 2005 Bab II pasal 4 menetapakan bahwa
keolahragaan nasional bertujuan memelihara dan meningkatkan
kesehatan, kebugaran, prestasi, kualaitas manusia, menanmkan
nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat
dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkokoh
ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan
kehormatan bangsa Selanjutnya pada Bab VI pasal 17
menetapkan ruang lingkup olahraga itu sendiri mencakup tiga
pilar, yaitu: olahraga pendidikan, olahraga prestasi, dan
olahraga rekreasi. Ketiga pilar olahraga tersebut dilaksanakan
melalui pembinaan dan pengembangan olahraga secara
terencana, sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan, yang

45
dimulai dari pembudayaan dengan pengenalan gerak pada usia
dini, pemassalan dengan menjadikan olahraga sebagai gaya
hidup, pembibitan dengan penelusuran bakat dan
pemberdayaan sentra-sentra olahraga, serta peningkatan
prestasi dengan pembinnaan olahraga unggulan nasional
sehingga olahragawan andalan dapat meraih puncak
pencapaian prestasi.

46
BAB OLAHRAGA DAN
PARTISIPASI OLAHRAGA

3 MEMPENGARUHI
KEHIDUPAN
OLAHRAGA DAN PARTISIPASI OLAHRAGA MEMPENGARUHI KEHIDUPAN

A. Pendahuluan
Di era digitalisasi saat ini, manusia selalu dimudahkan
dalam melakukan sesuatu. Tatap muka pun bisa dilakukan
tanpa harus bertemu langsung. Namun, fenomena ini ternyata
tidak menguntungkan secara sosial. Minimnya pertemuan tatap
muka justru dapat berdampak pada menurunnya simpati dan
solidaritas dengan sesama. Untuk mengatasinya, bisa diakali
dengan olahraga. Selain bermanfaat bagi kesehatan jasmani,
olahraga juga bermanfaat secara sosial seperti menumbuhkan
rasa persahabatan, menghargai orang lain dan melatih
kerjasama sosial. Olahraga membangun semangat sportivitas,
kerjasama, persahabatan, saling menghargai, dan sebagainya.
Olahraga pada dasarnya merupakan kebutuhan setiap
manusia dalam hidupnya, agar kondisi fisik dan kesehatannya
terjaga dengan baik. Partisipasi dalam olahraga juga diketahui
dapat mengurangi depresi, stres dan kecemasan, meningkatkan
kepercayaan diri, tingkat energi, kualitas tidur, dan kemampuan
berkonsentrasi. Ada tiga faktor yang mempengaruhi partisipasi
olahraga, yaitu faktor individu, faktor lingkungan, dan faktor
sosial budaya. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan olahraga
mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam indeks pembangunan olahraga
(SDI). Olahraga yang secara khusus dapat meningkatkan derajat
kesehatan pelakunya adalah olahraga kesehatan. Dalam
olahraga, kesehatan tidak hanya melatih aspek fisik saja, tetapi
juga mencakup aspek spiritual dan sosial. Kesadaran

47
masyarakat untuk berolahraga berkontribusi pada
pengembangan individu dan masyarakat yang cerdas, sehat,
terampil, tangguh, kompetitif, sejahtera, dan bermartabat.
Olahraga dan berolahraga merupakan hak asasi setiap
orang tanpa membedakan ras, agama, kelas sosial, maupun jenis
kelamin. Oleh sebab itu Komite Olahraga Internasional (IOC)
sejak tahun 1983 telah mempromosikan program yang disebut
dengan Sport for All, olahraga bagi seluruh masyarakat.
Program ini bertujuan mendorong terwujudnya suatu kondisi di
mana aktivitas olahraga dapat dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat, tanpa mengenal batas usia, pembedaan jenis
kelamin, maupun perbedaan kondisi sosial ekonomi. Di
harapkan melalui program Olahraga untuk Masyarakat akan
lebih menyebarluaskan manfaat kesehatan dan sosial yang bisa
diperoleh oleh semua anggota masyarakat melalui aktivitas fisik
secara teratur.
Olahraga untuk masyarakat juga dapat membantu untuk
mewujudkan dan menempatkan nilai-nilai Gerakan Olimpiade
ke dalam praktek, khususnya dalam hal mempromosikan
kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan melalui kegiatan
olahraga yang dilakukan oleh semua lapisan masyarakat tanpa
mengenal perbedaan. Pengertian lebih lanjut tentang Sport for
All dirumuskan dalam Kongres VIII Dunia Sport for All (Quebec,
2000), yang menurutnya Sport for All harus memiliki ciriciri
sebagai berikut:
1. Dari dan untuk semua kategori orang, pria dan wanita,
dilakukan dari masa kanak-kanak sampai seluruh hidup
mereka.
2. Memberikan perhatian terhadap meningkatnya kebutuhan
olahraga bagi warga usia lanjut, kelompok minoritas dan
mereka yang berkebutuhan khusus.
3. Dapat beradaptasi dengan kondisi lokal dan kemampuan
setiap warga negara.
4. Berperan sebagai pelengkap atau penyempurna program
olahraga elit.

48
Budaya gerak (movement culture) merupakan dasar atau
landasan untuk mendorong terwujudnya masyarakat yang
berolahraga. Pemahaman kritis terhadap budaya gerak suatu
kelompok masyarakat dapat menjadi modal dasar bagi
pengembangan olahraga masyarakat. Menurut Krawczyk
(dalam Cynarski & Obodynski, 2007) secara umum somatic
culture dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Pola Estetik, yang dipengaruhi oleh tren bentuk ideal
keindahan tubuh, sport fashion, dan olahraga sebagai gaya
hidup, yang mencakup keharmonisan bentuk, kekuatan dan
kebugaran jasmani yang secara dominan diikuti oleh
sebagaian besar masyarakat di satu masa.
2. Pola Hedonistik, yang lebih mementingkan impresi kinetik.
Dalam pola ini gerak (movement) merupakan sumber
kesenangan, hiburan dan kepuasan. Ini merupakan salah
satu sebab, mengapa pada masyarakat yang memiliki pola
hedonistik dalam budaya geraknya, mempraktekkan
olahraga beladiri sebagai bentuk rekreasi.
3. Pola Asketik, yang pada dasarnya memiliki makna
mengesampingkan atau menurunnya penghargaan terhadap
tubuh dan kebutuhannya. Pola semacam ini biasanya
berkembang dalam komunitas tertentu yang secara khusus
memiliki sistem idiologi khusus dalam psychophysical self
realization.
4. Pola Higienis, mewujudkan tujuan eksistensial dan utilitarian,
berkat tindakan yang dilakukan oleh pihak sekolah, sistem
pendidikan dan pelayanan kesehatan, dibuat menjadi
layanan yang dapat diakses masyarakat umum. Hal ini
terkait dengan tujuan profilaksis kesehatan ddengan tujuan
mengembangkan kebugaran jasmani generasi pemuda.
5. Pola Kebugaran Jasmani, ini adalah kelanjutan dari tradisi
ksatria dan militer. Saat ini tampaknya menjadi berguna
terutama bagi pasukan militer dan sebagai suatu ide untuk
memberi kompensasi terhadap situasi defisit peradaban
gerakan fisik yang menyebabkan atrofi dan sejumlah
penyakit peradaban.

49
6. Pola Agonis, mewujudkan suatu bentuk keberanian karena
mengekspresikan dirinya melalui pertarungan dan
persaingan dalam olahraga. Pada awalnya perilaku agonis
hanya terbatas pada strata kelas tertentu, yaitu hanya pada
golongan pria aristrokat. Seiring dengan ide murni
amateurship dan prinsip fair play pola ini menyebabkan
benturan aksiologis dari olahraga kontemporer.

Dalam naskah Sport for All yang disusun oleh David


Carmichael (2001) untuk kepentingan The Sport Alliance of
Ontario, dijelaskan bahwa masyarakat di Eropa, melalui Dewan
Eropa telah menyetujui Sport for All Charter (Anggaran Dasar
Olahraga Masyarakat) pada tahun 1999, di mana anggaran dasar
ini memuat beberapa aturan mengenai pelaksanaan Olahraga
Masyarakat, sebagai berikut :
1. Semua individu memiliki hak untuk berpartisipasi dalam
aktivitas olahraga.
2. Olahraga harus didorong sebagai faktor penting dalam
pembangunan manusia dan dukungan yang diperlukan
untuk mewujudkan hal itu harus tersedia melalui dana
publik.
3. Sport, sebagai aspek sosial-budaya pembangunan, baik di
tingkat lokal, regional dan maupun nasional harus terkait ke
area pembuatan kebijakan dan perencanaan seperti
pendidikan, kesehatan, layanan sosial, perencanaan kota,
konservasi, seni pelayanan dan rekreasi.
4. Setiap pemerintah daerah harus mendorong kerjasama yang
permanen dan efektif, antara otoritas publik dan organisasi
sosial, dan harus mendorong pembentukan mesin nasional
untuk pengembangan dan koordinasi Olahraga Masyarakat.
5. Metode yang digunakan harus dapat melindungi olahraga
dan olahragawan dari eksploitasi politik, komersial atau
keuntungan finansial, dan dari praktek-praktek yang kasar
dan merendahkan, termasuk perilaku yang tidak jujur
dengan cara menggunakan obat-obatan.
6. Karena skala partisipasi tergantung, antara lain pada ragam
dan aksesibilitas fasilitas, maka perencanaan fasilitas secara

50
menyeluruh harus menjadi urusan pihak yang berwenang,
harus memperhitungkan kebutuhan lokal, nasional dan
regional, dan harus memasukkan tindakan yang dirancang
untuk menjamin penuh penggunaan fasilitas baru maupun
yang sudah ada.
7. Peraturan, termasuk undang-undang yang relevan, harus
diperkenalkan dan disosialisasikan untuk memastikan
terbukanya akses wilayah negara dan perairan untuk tujuan
rekreasi.
8. Dalam setiap program pengembangan olahraga, untuk
memenuhi kebutuhan personil yang kompeten pada semua
tingkat administrasi dan teknis manajemen, kepemimpinan
dan pembinaan harus selalu dikedepankan.

Masih merujuk pada naskah Carmichael (2001), dijelaskan


bahwa pada Konggres World Sport for All Congress VI tahun 1996
di Seoul, Korea, peserta menyusun dan mendeklarasikan sikap
dan keyakinan peserta terhadap Sport for All, seperti berikut:
1. Harus dijamin untuk semua orang tanpa memandang usia,
jenis kelamin, ras, agama, etnis, status sosial ekonomi dan
fisik atau kemampuan mental.
2. Yang terutama ditujukan bagi kebutuhan kesehatan fisik dan
mental.
3. Bukan merupakan kontradiksi dari olahraga elite.
4. Pada tataran unit keluarga, berfungsi sebagai jejaring sosial
dan merupakan dasar bagi perilaku manusia yang
konstruktif.
5. Mendorong kesatuan keluarga.
6. Sebuah gerakan yang mendorong kualitas pendidikan
jasmani dan kegiatan di sekolah, klub, asosiasi, badan
profesional dan promosi nilai-nilai etika dan moral.
7. Memberikan kontribusi terhadap pemanfaatan waktu luang
secara positif.
8. Memberikan kontribusi terhadap integrasi semua orang dan
mencegah isolasi dan alienasi.
9. Berfungsi sebagai tindakan pencegahan untuk memerangi
perilaku anti-sosial.

51
10. Sebagai alat pendidikan untuk melestarikan lingkungan dan
untuk cadangan ruang terbuka di perkotaan.

B. Olahraga dan Kesehatan


Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi
manusia, karena tanpa kesehatan yang baik, setiap manusia
akan kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
Semakin padat aktivitas yang dilakukan seseorang, semakin ia
mengabaikan masalah berolahraga. Tidak adanya waktu luang
akibat kesibukan bekerja di kantor, di kampus, di perusahaan
menyebabkan seseorang menyempatkan diri untuk berolahraga.
Olahraga pada dasarnya merupakan kebutuhan setiap manusia
dalam hidupnya, agar kondisi fisik dan kesehatannya terjaga
dengan baik. Oleh karena itu manusia ingin berusaha untuk
menjaga kesehatannya dan salah satu cara untuk menjaga
kesehatan adalah melalui olahraga. Dalam kehidupan sehari-
hari untuk menunjang kesehatan perlu dilakukan tindakan atau
usaha. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan
penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan. Hal ini tentunya akan
disadari tidak hanya dari para pembuat kebijakan olahraga yang
menggerakkannya, tetapi bagaimana tingkat kesadaran
masyarakat dalam berpartisipasi dalam olahraga.
Masyarakat Indonesia masih belum sadar akan
pentingnya hidup sehat. Hal ini terjadi karena kurangnya
minat/minat dan apresiasi masyarakat terhadap olahraga. Hasil
Susenas menunjukkan bahwa partisipasi penduduk usia 10
tahun ke atas dalam berolahraga mengalami penurunan dari
waktu ke waktu. Peningkatan partisipasi olahraga hanya terjadi
dari tahun 2000 sebesar 22,6 persen hingga tahun 2003 menjadi
25,4 persen. Selama periode tahun 2003, 2006 dan 2009,

52
partisipasi penduduk dalam olahraga terus menurun, dari 25,4
persen pada tahun 2003, menjadi 23,2 persen pada tahun 2006,
dan terakhir menjadi 21,8 persen pada tahun 2009. Hal ini
berlaku baik di perkotaan maupun pedesaan. Partisipasi
olahraga penduduk perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penduduk pedesaan. Kondisi ini didukung oleh fasilitas
dan jenis olahraga yang lebih banyak berkembang di perkotaan
dibandingkan di perdesaan (Sekretaris Kemenpora, 2010).
Pergeseran gaya hidup dari banyak bekerja dinamis
menjadi jarang bekerja ditengarai menjadi penyebab
menurunnya tingkat kebugaran. Hal ini merupakan dampak
negatif dari pesatnya perkembangan teknologi. Manusia
berlomba-lomba menciptakan berbagai peralatan yang serba
otomatis untuk menggantikan hampir semua pekerjaan
manusia. Masyarakat yang sebelumnya harus bekerja secara
fisik, misalnya jalan kaki dari rumah ke tempat kerja, digantikan
dengan sepeda motor atau mobil sehingga masyarakat
cenderung statis, kurang melakukan pekerjaan fisik dan malas
(sedentary). Kondisi kurang gerak (hipokinetik) dapat
menimbulkan berbagai gangguan kesehatan yang ditandai
dengan semakin banyaknya orang yang terkena penyakit
degeneratif atau non infeksi seperti penyakit jantung koroner,
hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, osteoporosis, nyeri
punggung, kelelahan, dan seterusnya, (Djoko Pekik Irianto,
2004).
Aktivitas olahraga sangat mempengaruhi kebugaran
jasmani seseorang, apalagi kegiatan tersebut memberikan
kontribusi langsung terhadap komponen kebugaran jasmani.
Kegiatan olahraga tetap harus disesuaikan dengan usia
seseorang, misalnya jenis kegiatan, faktor keamanan dan
peralatan yang digunakan. Kegiatan olahraga tidak bisa
dilakukan sembarangan, tetap harus dilakukan dengan teknik
dan aturan yang benar. Meski menyukai olahraga, namun tetap
harus memperhatikan usia dan kondisi fisik agar tetap
terkendali. Ditinjau dari Fisiologi Olahraga, Olahraga adalah
rangkaian gerak jasmani yang teratur dan terencana yang

53
dilakukan secara sadar oleh manusia untuk meningkatkan
kemampuan fungsionalnya, sesuai dengan tujuan dilakukannya
olahraga. Olahraga adalah olah raga untuk menguatkan dan
menyehatkan tubuh, (KBBI, 2007). Berdasarkan beberapa
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa olahraga adalah
rangkaian kegiatan olahraga yang teratur dan terencana yang
dilakukan oleh manusia secara sadar untuk meningkatkan
kemampuan fungsionalnya.
The American College of Sports Medicine (ACSM)
merekomendasikan latihan kardiorespirasi dan ketahanan
untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan fisik, latihan
kelenturan untuk menjaga rentang gerak, latihan neuromotorik
dan berbagai aktivitas untuk menjaga dan meningkatkan fungsi
fisik serta mengurangi risiko jatuh pada lansia, (Carrol Ewing
Garber dkk. 2011). Bort telah menulis pada tahun 1983 dalam
Journal of American Medical Association sebagai berikut: "Tidak
ada obat yang digunakan saat ini atau di masa depan yang
menjanjikan untuk memberikan dan menjaga kesehatan yang
lebih baik daripada gaya hidup olahraga yang kuat."
Berolahraga sampai saat ini cukup memberikan hidup sehat dan
nyaman jika mengikutinya, otot menjadi kuat, jantung menjadi
sehat, tekanan darah menjadi normal, kadar gula dapat
terkontrol dan berat badan menjadi normal, kadar gula dapat
terkontrol dan tubuh menjadi sehat, seimbang semua itu akan
menjadikan badan sehat dan nyaman, (Harsuki, 2003).
Harsuki (2003) mengemukakan bahwa kebugaran yang
berhubungan dengan kesehatan memerlukan tingkat kebugaran
yang cukup baik dari empat komponen dasar kebugaran yang
meliputi: kebugaran jantung-paru dan sirkulasi darah, lemak
tubuh, kekuatan otot, dan kelenturan sendi. Selain itu, Bortz
dalam Harsuki (2003) menyatakan Tidak ada obat-obatan saat
ini atau di masa depan yang digunakan yang menjanjikan untuk
memberikan dan memelihara kesehatan yang lebih baik
daripada kebiasaan untuk selalu berolahraga. Berolahraga
sampai saat ini sudah cukup memberikan hidup sehat dan
nyaman jika sudah dilakukan. Kenapa tidak. Otot menjadi kuat,

54
jantung menjadi sehat, tekanan darah menjadi normal, kadar
gula darah terkontrol untuk segala hal atau masalah yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kualitas
kesehatan manusia. Griwijaya (1997) mengemukakan hubungan
antara kesehatan dan kebugaran jasmani.
Sejalan dengan definisi WHO yang dikemukakan oleh
World Health Organization (WHO), Kementerian Kesehatan
menjelaskan pengertian kesehatan yaitu kesejahteraan jasmani,
rohani dan sosial. Ini tidak hanya bebas dari penyakit, cacat atau
kelemahan. Jadi, kesehatan meliputi tiga aspek yang erat
kaitannya, yaitu: jasmani, rohani, dan sosial. Oleh karena itu
pembinaan kesehatan melalui salah satu aspek, terutama
melalui aktivitas fisik atau olahraga, karena akan
mempengaruhi kedua aspek lainnya. Sedangkan kebalikan dari
sehat adalah sakit. Karena itu sehat memiliki derajat atau
tingkatan yang biasa disebut derajat kesehatan. Dengan
demikian derajat kesehatan harus selalu dibina agar bertambah
dan berkurang bila diabaikan.
All roads lead to Rome, banyak jalan menuju Roma, (Italia).
Pepatah ini mungkin sering terdengar untuk berbagai maksud
dan tujuan, terutama ketika memberikan motivasi bagi
seseorang untuk mencapai cita-cita dan percaya pada
kemampuannya. Bisa juga diasumsikan bahwa mencapai derajat
kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya
dengan melakukan olahraga secara terus menerus, baik dengan
berolahraga di rumah dengan senam, treadmill, bersepeda,
berenang maupun dengan berlari keliling rumah. hal yang
sering dialami oleh setiap orang, dalam olahraga kemalasan
merupakan hal yang cukup umum terjadi, hal ini biasanya
disebabkan oleh 2 hal yaitu pertama takut sakit setelah
melakukan olahraga, rasa pegal yang muncul 1-2 hari
setelahnya. Olahraga biasanya menjadi pengalaman yang
membuat jera, sehingga orang berpikir dua kali untuk diajak
kembali berolahraga. Sesi latihan dengan intensitas terlalu tinggi
yang melebihi kapasitas tubuh menjadi penyebabnya, sama
seperti bayi yang masih merangkak harus dipaksa lari. Kedua,

55
kurangnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan
kebugaran. Orang yang tidak merasa perlu menjadi pintar
biasanya tidak belajar dengan giat. Begitu pula orang yang tidak
menyadari pentingnya kebersihan biasanya akan malas untuk
mandi. Demikian pula orang yang kurang menyadari
pentingnya hidup sehat dan bugar akan malas berolahraga (Ade
Truna, 2010).
Di negara Australia, ada beberapa faktor yang berdampak
pada partisipasi dalam aktivitas fisik, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Individu. Hambatan untuk aktivitas fisik dikarenakan
kurangnya waktu (40 %), dan cedera atau cacat (20 %).
2. Faktor lingkungan. Lingkungan yang dibangun hendaknya
dapat mendukung aktivitas fisik. Beberapa bangunan
didirikan di Australia tetapi masih kurang memperhatikan
aspek dari aktivitas fisik. Pertimbangan seharusnya
diberikan kepada aspek pembangunan yang memiliki
dampak signifikan pada tingkat aktivitas fisik, termasuk
penyediaan jalan setapak, jalan konektivitas, dan ruang hijau
yang dapat dimanfaatkan untuk berolahraga.
3. Faktor Sosial dan Budaya. Biaya berpartisipasi dalam
aktivitas fisik menjadi salah satu faktor penghambat bagi
sebagian keluarga. Hal ini dibuktikan dengan korelasi kuat
antara partisipasi olahraga dan pendapatan keluarga di
Australia. Selain itu, terlihat sekali bahwa masyarakat yang
sudah membudayakan olahraga akan lebih optimal dalam
pekerjaan maupun melangsungkan hidupnya.

Ketika melihat negara tetangga seperti Thailand, The


National Statistics Thailand menemukan bahwa kurang dari
30% orang Thailand secara teratur melakukan aktivitas fisik,
namun fakta yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah
prevalensi obesitas yang sangat tinggi di antara anak-anak
berusia antara 2-18 tahun. Alasan umum ketidakaktifan, seperti
kurangnya waktu untuk berolahraga dan peralatan
menunjukkan temuan yang bertentangan dengan negara
Thailand, karena hampir semua (76 Provinsi) di Thailand
memiliki taman olahraga standar dan taman umum. Basis data

56
yang tersedia menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari 50.768
stadion/taman dan 12.880 taman umum kecil yang saat ini
digunakan. Oleh karena itu, yayasan promosi kesehatan
Thailand (Thai Health) memulai rencana induk untuk
mempromosikan aktivitas fisik dan olahraga untuk kesehatan
yang lebih baik pada tingkat individu dan masyarakat (Thai
Health Promotion Foundation).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fonterra
dalam rangka memperingati hari osteoporosis sedunia,
menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara di Asia Tenggara
yang paling sedikit aktifnya dengan 68 persen responden
menyatakan berolahraga kurang dari tiga kali seminggu. Posisi
kedua ditempati Singapura dengan 66 persen responden yang
berolahraga kurang dari tiga kali seminggu. Posisi ketiga
ditempati Malaysia dengan 59 persen responden. Sementara itu,
negara yang mendapat peringkat terbaik dalam berolahraga
adalah Vietnam dan Filipina dengan 60 persen dan 46 persen
responden menyatakan berolahraga minimal tiga kali seminggu.
Pembangunan kesehatan melalui faktor manusia dan
pembangunan kesehatan melalui faktor lingkungan. Upaya ini
sebenarnya juga termasuk dalam upaya pencegahan (preventif).
Jadi sebenarnya upaya pencegahan ini mempunyai tujuan yaitu:
1) Upaya pencegahan melalui faktor manusia dengan
meningkatkan fungsi dari unsur-unsur tubuh manusia itu
sendiri, seperti melalui olahraga, 2) Upaya pencegahan melalui
faktor lingkungan dengan meningkatkan perbaikan lingkungan
dan mengurangi hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit.
Dari contoh pola pembangunan sarana aktifitas fisik yang ada
diberbagai negara luar, harusnya Indonesia dapat mengambil
kesimpulan dari poin-poin yang memang sesuai dengan kultur,
iklim, dan hal-hal yang jadi bahan pertimbangan. Hal ini
menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya
mewujudkan masyarakat yang sehat dan bugar dengan
membangun fasilitas olahraga dan pusat-pusat kebugaran yang
standar internasional dengan mengedepankan kemanfaatan dari
segala aspeknya.

57
C. Olahraga dan Interaksi Sosial
Olahraga merupakan bagian integral dari kehidupan
sehari-hari masyarakat. Melalui olahraga dapat dilakukan
Pembangunan Karakter Bangsa suatu bangsa, sehingga olahraga
menjadi sarana strategis untuk membangun rasa percaya diri,
jati diri bangsa, dan kebanggaan bangsa. Partisipasi masyarakat
dalam kegiatan olahraga mengalami peningkatan yang
ditunjukkan dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam
indeks pembangunan olahraga (SDI) dari 0,345 pada tahun 2005
menjadi 0,422 pada tahun 2006. Pengukuran SDI sebenarnya
meliputi perkembangan jumlah anggota masyarakat di suatu
daerah yang menyelenggarakan kegiatan olahraga, luasnya
tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan olahraga bagi
masyarakat berupa tanah, bangunan, atau ruang terbuka yang
digunakan untuk kegiatan olahraga dan dapat diakses oleh
masyarakat luas. Kesegaran jasmani mengacu pada kemampuan
tubuh untuk melakukan aktivitas tanpa mengalami kelelahan
yang berarti, serta jumlah pelatih olahraga, guru Penjaskes, dan
instruktur olahraga di suatu wilayah tertentu (Menpora RI,
2010).
Aktivitas fisik dapat meningkatkan kesehatan dan
mencegah penyakit termasuk penyakit jantung, diabetes tipe 2,
dan osteoporosis, salah satu bentuk kanker, obesitas, dan cedera.
Partisipasi dalam aktivitas fisik juga diketahui dapat
mengurangi depresi, stres dan kecemasan, serta meningkatkan
kepercayaan diri, tingkat energi, kualitas tidur, dan kemampuan
berkonsentrasi (VicHealth, 2010). Secara fisiologis, olahraga
dapat digunakan sebagai wahana untuk memberdayakan
kemampuan fungsi fisiologis seperti meningkatkan kesehatan,
kebugaran, serta meningkatkan kualitas komponen kondisi fisik
seperti kerja jantung dan paru, kelincahan, kecepatan, dan
kekuatan. Secara sosial, olahraga dapat dijadikan sebagai media
sosialisasi melalui interaksi dan komunikasi dengan orang lain
atau lingkungan sekitar. Salah satu indikasi meningkatnya
keinginan masyarakat akan derajat kesehatan yang tinggi,

58
penampilan fisik yang proporsional dan aktualisasi diri yang
lebih luas di lingkungannya mencerminkan kebutuhan
masyarakat yang semakin beragam sehingga membutuhkan
tempat atau wahana yang dapat menyalurkan dan memenuhi
kebutuhan tersebut kebutuhan tersebut (Zulkarnaen, 2010).
Selain itu, pemerintah juga berupaya menyiapkan sarana
olahraga yang dapat digunakan oleh masyarakat luas, upaya
tersebut dapat menjadi daya tarik tersendiri dan berdampak
langsung pada kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk
berolahraga secara rutin. Olahraga rutin sudah menjadi
kebutuhan sebagai gaya hidup sehat bagi masyarakat, hal ini
terlihat dalam bentuk senam pagi, jalan sehat, fitnes, futsal, voli,
sepak bola, sepeda santai yang juga sering diadakan oleh
masyarakat. Dengan meningkatnya partisipasi masyarakat
dalam kegiatan olahraga maka terjadi peningkatan status
kesehatan dan kebugaran masyarakat dari tahun ke tahun.
Ketika olahraga telah tumbuh dan berkembang serta
membudaya di masyarakat, pada tahap selanjutnya olah raga
akan menjadi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian,
masyarakat yang sadar akan olahraga, tidak perlu lagi dipaksa
atau disuruh untuk berolahraga. Namun yang terjadi kondisi
masyarakat di Indonesia belum sepenuhnya mencapai level
tersebut (sadar dan perlu berolahraga). Jika masyarakat sudah
menganggap olahraga sebagai kebutuhan, maka masyarakat
akan lebih banyak belajar tentang olahraga, bagaimana cara
berolahraga yang benar untuk tujuan kesehatan, sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatannya. Olahraga yang secara
khusus dapat meningkatkan derajat kesehatan pelakunya
adalah olahraga kesehatan. Olahraga kesehatan sangat
berhubungan langsung dengan masyarakat, karena pada
dasarnya olahraga kesehatan melibatkan masyarakat secara
merata tanpa memandang tingkat usia, jenis kelamin, lapisan
masyarakat tertentu. Selain itu, olahraga kesehatan juga
mencirikan 5M dalam pelaksanaannya yaitu: massal, mudah,
meriah, murah, dan manfaat. Olahraga kesehatan mampu
memelihara dan meningkatkan kemampuan fungsional jasmani

59
peserta dengan beban yang dapat diatur secara bertahap sesuai
rumus FITT (frekuensi, intensitas, waktu, jenis)
Dalam olahraga kesehatan tidak hanya melatih aspek fisik
saja tetapi juga dapat menjangkau aspek spiritual dan aspek
sosial. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta dalam suasana
informal, menimbulkan perasaan gembira yang akan
memberikan pengaruh positif terhadap spiritual dan
mendorong pergaulan yang bebas dari hambatan yang
bersumber dari perbedaan kedudukan sosial dan tingkat
ekonomi.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara
yang masyarakatnya heterogen dan penuh dengan
keberagaman yang memiliki keragaman budaya, adat istiadat,
bahkan agama. Meski dengan latar belakang yang beragam
tersebut, Indonesia tetap menjadi negara yang bersatu dengan
segala perbedaan yang ada di dalamnya, tetap menjadi negara
yang majemuk meski berada di tengah pusaran peradaban yang
berpotensi menimbulkan gesekan dan konflik sosial di tengah
kehidupan masyarakat. Hal ini karena bangsa Indonesia
menjunjung tinggi UUD 1945 yang menjadi dasar bagi
kelangsungan hidup setiap masyarakat dan golongan yang
selalu damai di tengah perbedaan. Selain itu, agama, adat
istiadat, dan budaya merupakan sendi kehidupan masyarakat.
Padahal, inilah kekuatan bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, segala aspek pembangunan di Indonesia tidak
boleh bertentangan dengan prinsip tersebut, termasuk
pembangunan di bidang olahraga. Akan tetapi, selama ini
perkembangan dan perkembangan olahraga di Indonesia secara
jelas dan tegas menjunjung tinggi nilai-nilai agama, adat, dan
budaya. Hal ini bukan sekedar ungkapan, tetapi diperkuat
dengan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Ayat 4: Olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk
mendorong, membina, dan mengembangkan potensi jasmani,
rohani, dan sosial. Selanjutnya dalam Bab III Pasal 5: Olahraga
diselenggarakan dengan prinsip demokrasi, tidak diskriminatif

60
dan menjunjung tinggi nilai agama, nilai budaya, dan
kemajemukan bangsa, keadilan sosial dan nilai kemanusiaan
yang beradab, sportivitas serta menjunjung tinggi nilai etika dan
estetika.
Undang-undang merupakan acuan yang mengarahkan
tindakan dan perilaku bangsa Indonesia terhadap suatu aspek
kehidupan dalam pembangunan, khususnya dalam pembinaan
dan pengembangan olahraga. Dengan kemajuan teknologi dan
luasnya informasi yang menyebar dengan cepat ke setiap lini
kehidupan masyarakat menyebabkan perubahan pola pikir dan
cara menyikapi hal-hal yang terjadi. Khususnya dalam kegiatan
olahraga saat ini banyak kita jumpai wanita yang berkecimpung
di dunia olahraga, sehingga banyak kita jumpai wanita yang
menjadi atlet yang berprestasi, baik di tingkat nasional bahkan
internasional. Hal ini bukan tanpa alasan, pendidikan yang
memberikan pengetahuan tentang manfaat olahraga menjadi
dasar bagi banyak orang yang mulai menyukai olahraga, bahkan
sudah menjadi aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan.
Dengan pluralitas yang rentan terjadi gesekan dalam
kehidupan sosial masyarakat, nampaknya sangat sedikit yang
terjadi dalam dunia olahraga di Indonesia. Mengapa? Tentunya
pengetahuan yang dimiliki masyarakat terkait olahraga
merupakan instrumen yang dapat mempersatukan dan
memperkuat nilai-nilai kebhinekaan. Seperti contoh dukungan
publik terhadap timnas sepak bola Indonesia. Di dalam stadion
kita bisa melihat ribuan penonton dari berbagai latar belakang,
mulai dari agama, umur, suku, gender secara serentak dan
kompak menyuarakan dukungan untuk Timnas Indonesia yang
sedang bertanding, bahkan ekspresi bahagia mereka terlihat
ketika Timnas menang, mereka rayakan keceriaan dengan suka
cita itu dengan memeluk sesama penonton lainnya. Ini adalah
gambaran atau contoh dari banyak contoh lain yang
menggambarkan bahwa olahraga di Indonesia akan maju dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat, sekalipun dengan
segala perbedaannya.

61
Olahraga merupakan salah satu dari sekian banyak
aktivitas yang mengarah pada hidup sehat. Banyak manfaat
yang didapat saat berolahraga, salah satunya adalah
memperpanjang usia harapan hidup, melancarkan aliran darah
ke seluruh tubuh, serta membentuk tubuh yang sehat dan jiwa
yang kuat. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa olahraga
memiliki cabang atau jenis. Namun jika dilihat dari latar
belakang olahraga. Dengan segala prinsip dan ciri yang
membedakan satu dengan yang lain, olahraga juga digunakan
untuk melatih kepribadian, watak dan perilaku. Olahraga akan
meningkatkan energi dan meningkatkan serotonin di otak.
Menurut David Atkinson, direktur Cooper Venture
Development Program, sebuah divisi dari Cooper Aerobic Center di
Dallas, Amerika Serikat. Serotonin adalah hormon di otak yang
berfungsi sebagai modulator kapasitas kerja otak yang meliputi
pengaturan kestabilan emosi, pemahaman dan nafsu makan
(keinginan). Orang yang berolahraga dalam jumlah yang cukup
akan berdampak pada peningkatan produktivitasnya.
Produktivitas seseorang tidak hanya berarti bahwa orang
tersebut dapat memberikan kualitas kerja yang baik, tetapi juga
dapat memberikan suasana bahagia, hal ini tentu saja
berdampak positif bagi kegiatan dan aktivitas lainnya. Karena
dengan berolahraga maka akan meningkatkan hubungan
seseorang dengan orang lain. Jika dilakukan dengan keluarga,
maka seseorang merasa lebih dekat dengan mereka. Hal ini juga
berlaku jika berolahraga bersama teman. Selain itu, sangat
mungkin seseorang akan mendapatkan teman baru melalui
olahraga. Dengan lingkungan yang mendukung, perilaku dan
karakter seseorang akan mengikuti ke arah yang lebih positif.
Pertanyaan yang mungkin kita temukan berkaitan dengan
fenomena ini adalah: Bagaimana olahraga dapat mempengaruhi
perilaku sosial seseorang. Jawaban-jawaban yang relevan
dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya sudah
terjawab dalam pembahasan ini. Olahraga itu adalah miniatur
kehidupan. Dalam olahraga ada perjuangan, persaingan,
persaingan, konflik, komunikasi dan interaksi. Olahraga juga

62
membangkitkan integrasi dan rasa nasionalisme. Dalam
olahraga ada unsur kerjasama dengan peraturan yang mengikat.
Olahraga juga menawarkan dan menjanjikan ketegangan dan
sensasi. Kegiatan olahraga melibatkan ranah kognitif, afektif,
motorik dan emosional sekaligus. Lalu bagaimana
penerapannya dalam kehidupan nyata. Berdasarkan uraian
yang telah disajikan dapat diketahui bagaimana olahraga dapat
mendidik dan melatih perilaku individu atau masyarakat. Saat
kita menyaksikan kedua tim bertanding, ada sorakan, tepuk
tangan, dan teriakan semangat. Ada kegelisahan dan kecemasan
yang dirasakan ketika tim yang mereka dukung berada dalam
tekanan. Penonton memakai atribut tim yang didukungnya,
ketika seseorang bermain sepak bola, dia peka terhadap
ancaman, dia siap membela teman-temannya, dia siap
memposisikan dirinya untuk suatu kepentingan. Mereka dilatih
untuk menganalisis situasi yang berkembang dan mereka dilatih
untuk menghitung suatu situasi.
Selain itu, olahraga juga mempengaruhi perilaku atau
kebiasaan hidup sehat. Setiap individu yang berolahraga pasti
memiliki tujuan untuk hidup sehat, bugar, dan terhindar dari
berbagai penyakit, yang rutin berolahraga pasti merasakan
manfaatnya seperti segar, bugar, dan bersemangat untuk
melakukan aktivitas lainnya. Dengan manfaat yang mereka
dapatkan dari berolahraga, tentunya mereka akan selalu
melindungi diri dari segala hal yang mengganggu
kesehatannya. Karena itu individu atau masyarakat akan
berubah dan mulai menjaga pola makan, kualitas istirahat,
membatasi aktivitas yang tidak penting, mengatur pola hidup
yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Apa yang telah dipaparkan pada bab ini, tentunya kita
dapat menarik kesimpulan bahwa dengan nilai-nilai luhur yang
terkandung didalam olahraga tentunya memberikan kita
jawaban dari pertanyaan bagaimana olahraga dapat
mempengaruhi perilaku masyarakat.

63
D. Olahraga dalam Pembangunan Nasional
Pembangunan adalah upaya terprogram yang dilakukan
secara terus menerus dalam rangka mempertahankan dan
meningkatkan taraf hidup manusia, baik jasmani maupun
rohani. Pada hakekatnya tujuan pembangunan di Indonesia
adalah untuk membangun manusia seutuhnya, serta
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik
materil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan nasional meliputi segala aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan keberhasilan
pencapaian tujuan tersebut memerlukan peran serta seluruh
lapisan masyarakat yang mempunyai tanggung jawab penuh
atas kemajuan bangsa dan negara.
Pada hakekatnya pembangunan olahraga tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan dan sekaligus merupakan
kebutuhan manusia. Oleh karena itu, pembangunan olahraga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
dan pembangunan bangsa dalam rangka meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, terutama diarahkan pada peningkatan
kesehatan jasmani dan rohani, serta bertujuan untuk
membentuk watak dan kepribadian yang disiplin dan sportif.
Selain itu, pembangunan olahraga juga dijadikan sebagai alat
untuk menunjukkan eksistensi bangsa melalui pembinaan
prestasi setinggi-tingginya (Kusnan, 2013).
Di era yang semakin maju, partisipasi masyarakat dalam
pembangunan olahraga akan menentukan postur dan kemajuan
pembangunan olahraga di suatu daerah. Pengembangan
olahraga berbasis partisipasi masyarakat sebelumnya telah
dicoba dalam kemasan gerakan memasyarakatkan olahraga dan
memasyarakatkan olahraga masyarakat. Artinya semua warga
mengetahui dan menyukai berbagai jenis olahraga dan
membiasakan diri untuk berolahraga. Meningkatkan peran serta
seluruh lapisan masyarakat, sehingga menjadi bagian dari
kebiasaan. Dengan demikian tercipta masyarakat yang 1) sehat
jasmani dan rohani, 2) membentuk kepribadian yang meliputi
keberanian, disiplin, kejujuran dan cinta tanah air, bangsa dan

64
negara, 3) mengembangkan taraf hidup, pengetahuan dan
kecerdasan, dan 4) mengembangkan rasa sosial (Direktorat
Olahraga, 1987).
Kesadaran masyarakat untuk berolahraga berkontribusi
pada pengembangan individu dan masyarakat yang cerdas,
sehat, terampil, tangguh, kompetitif, sejahtera, dan bermartabat.
Hal ini mengandung arti bahwa kedudukan olahraga sangat
penting dan strategis posisinya, karena memiliki kompetensi
yang tinggi dalam mempengaruhi keberhasilan pembangunan
sektor lain, terutama yang berkaitan dengan peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan kehidupan masyarakat
(Farhan, 2011).
Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam olahraga
dilatarbelakangi oleh berbagai motif, mulai dari perbedaan
orientasi, tujuan, dan keinginan. Ada kelompok masyarakat
yang berorientasi pada prestasi dan ada yang berorientasi untuk
mendapatkan ketegangan, sensasi, kegairahan, dan ada juga
yang berorientasi pada pergaulan dan menjadikan olahraga
sebagai wadah sosialisasi diri dan sebagainya. Hal ini tentunya
memiliki dasar atau alasan mengapa manusia perlu berolahraga,
apa saja yang didapat dari berolahraga. Seperti yang
dikemukakan oleh seorang sosiolog olahraga dari Jerman, Digel
(1983) mengemukakan bahwa jika manusia bertanya tentang
motif mengapa berpartisipasi dan mengikuti kegiatan olahraga.
Maka manusia akan mendapatkan jawaban yang mengejutkan.
Hal ini dikarenakan motif orang berolahraga berbeda-beda,
karena manusia berasal dari lapisan masyarakat yang berbeda.
Oleh karena itu, motif partisipasi masyarakat dalam
olahraga akan berubah dan terus berkembang. Karena pada
hakikatnya olahraga kaya akan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya seperti kejujuran, disiplin, kerjasama, dan juga
menawarkan keceriaan dan kesenangan yang akan berdampak
pada kesehatan. Dan olahraga juga diminati oleh setiap
kalangan usia, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga
lansia yang juga suka berolahraga. Jika dilihat dari suku, budaya
dan agama, nampaknya olahraga tidak mengkotak-kotakkan

65
masyarakat, sehingga dapat berbaur satu sama lain. Maka tidak
heran jika kita telusuri dengan seksama mengapa pemerintah
mengeluarkan anggaran yang begitu besar untuk membangun
infrastruktur olahraga, alasannya sangat jelas, karena banyak
sekali manfaat dari olahraga ini.
Di tengah keprihatinan bangsa Indonesia yang sedang
menghadapi krisis dalam berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya yang
menyangkut moral, kegiatan olahraga menjadi salah satu solusi
alternatif yang sangat penting dan menentukan dalam rangka
membangun opini publik bagi meletakkan dasar dan sistem
pencerahan publik dalam arti yang sangat luas. Melalui
pembinaan dan pengembangan olahraga, tidak hanya dapat
mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui pergaulan
internasional, tetapi juga sebagai salah satu media yang dapat
menggerakkan ekonomi kerakyatan dan industri olahraga,
menanamkan nilai-nilai kebersamaan, jati diri dan perdamaian
antar bangsa sebagai wujud Nation and Character Building.
Untuk melaksanakan pembinaan olahraga perlu
dilakukan berbagai upaya untuk mengangkat dan menggali
potensi yang ada, baik dalam bidang sistem pembinaan,
lembaga/organisasi, maupun adanya landasan hukum yang
dijadikan landasan pembinaan, pengembangan olahraga. Untuk
mewujudkan tercapainya tujuan tersebut, pembangunan
olahraga harus dijadikan gerakan nasional. Gerakan nasional ini
perlu terus dibangun dan ditingkatkan agar semakin meluas dan
merata di seluruh tanah air agar tumbuh dan tercipta budaya
olahraga yang sehat. Sarana dan prasarana olahraga yang
memadai perlu disediakan baik di lingkungan sekolah, tempat
kerja maupun pemukiman sehingga memungkinkan seluruh
lapisan masyarakat untuk melaksanakan olahraga dan berbagai
aktivitas jasmani. Tidak diragukan lagi peran olahraga dalam
mendukung terciptanya sumber daya manusia yang memiliki
kualitas fisik yang baik. Selain bermanfaat bagi tubuh, olahraga
juga berperan dalam pembangunan karakter bangsa. Olahraga
dapat melahirkan kebiasaan yang baik seperti jujur, disiplin,

66
sportif, tanggung jawab, dan kerjasama (Siti Kosasih, 2013).
Olahraga memegang peranan yang sangat penting bagi
manusia, dan olahraga selalu dibutuhkan sepanjang zaman.

67
BAB NILAI NILAI KARAKTER
DALAM PENDIDIKAN

4 JASMANI DAN
OLAHRAGA
NILAI NILAI KARAKTER DALAM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia saat ini banyak terjadi fenomena sosial,
seperti pelanggaran/penindasan hak asasi manusia, rendahnya
produktivitas dan kreativitas masyarakat Indonesia,
kemiskinan, pengangguran, status sosial ekonomi yang
timpang, lemahnya pelayanan sektor publik, korupsi,
rendahnya kualitas ketaatan pada hukum, lemahnya
nasionalisme anak bangsa dan berbagai masalah sosial lainnya
semakin bermunculan. Sebagian besar fenomena ini terjadi
sebagai akibat dari perilaku kaum terpelajar. Mencermati
perilaku masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada
khususnya dewasa ini, sudah seharusnya bangsa Indonesia
merenung dan mengungkapkan rasa kepedulian yang
mendalam. Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang
santun, toleran dan bersahabat; sekarang ini sepertinya sudah
berubah menjadi bangsa yang suka marah, suka melakukan
kekerasan, dan tidak mentaati aturan main. Berbagai tahapan
kehidupan telah memberikan bukti kepada bangsa ini tentang
hal tersebut, baik dalam skala mikro seperti kekerasan dalam
keluarga maupun dalam level makro seperti penyerangan
terhadap aliran agama, tawuran antar pelajar, anarki mahasiswa
dalam demonstrasi, dan kerusuhan oleh suporter sepak bola.
Apa yang terjadi pada bangsa ini. Mengapa semua ini
harus terjadi. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hal tersebut. Tidak mudah menemukan jawaban atas

68
pertanyaan-pertanyaan tersebut, mengingat banyaknya faktor
yang melingkupinya seperti faktor pendidikan, ekonomi, sosial,
dan kemiskinan. Produk pendidikan melahirkan lulusan yang
minim atau bahkan kehilangan karakter (lost character)
kemanusiaan. Mahasiswa dan lulusannya mengalami
perubahan yang sangat signifikan, karena terlalu mengadopsi
budaya/karakteristik gaya hidup negara-negara maju yang
bebas tanpa menyaring apakah budaya tersebut layak ditiru atau
kita memang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan
zaman dan tuntutan globalisasi dunia. Karakter kini menjadi isu
utama pendidikan, selain sebagai bagian dari proses
pembentukan moral anak bangsa, pendidikan karakter ini juga
diharapkan menjadi pondasi utama dalam mensukseskan
Indonesia Emas 2025.
Dalam konteks pendidikan, ketika sebagian siswa
dianggap tidak lagi memiliki perilaku etis, banyak pihak yang
mengusulkan untuk menghidupkan kembali pendidikan
karakter. Nostalgia masa lalu ketika mendapatkan pendidikan
seperti itu tampaknya menjadi landasannya. Pihak-pihak
tersebut seolah menyimpulkan bahwa anak-anak zaman
sekarang berperilaku buruk karena tidak mendapatkan
pelajaran etika. Banyak pihak menaruh harapan pada
pendidikan olahraga, padahal pendidikan olahraga tidak serta
merta akan menyelesaikan sejumlah masalah di atas. Pendidikan
Olahraga juga bukan segalanya, namun melalui Pendidikan
Jasmani banyak hal yang bisa diajarkan. Misalnya terkait dengan
nilai-nilai persamaan dan kebersamaan, fair play, kompetisi,
toleransi, yang kesemuanya merupakan prasyarat dasar untuk
mewujudkan masyarakat madani. Meski begitu, harus diakui
juga bahwa apa yang dikemukakan di atas tidak seperti yang
diharapkan. Ada kesenjangan yang dalam antara tingkat teoretis
dan empiris. Penelitian yang dilakukan mengenai masalah ini
(misalnya: Kleiber & Robert, 1981; Bredemeier & Shields, 1986)
belum menunjukkan kesimpulan yang konsisten.
Pertanyaannya, bagaimana kondisi seperti itu bisa terjadi?
Bagaimana model pembelajaran yang memungkinkan

69
terbangunnya nilai-nilai moral seperti kejujuran, rasa hormat,
tanggung jawab, dan toleransi dalam diri siswa. Inilah yang
menjadi fokus makalah ini. Uraian akan diawali dengan
memberikan pemahaman dasar tentang pendidikan olahraga,
dilanjutkan dengan dekonstruksi nilai-nilai yang terjadi di
dalamnya. Diskusi akan diakhiri dengan menawarkan solusi
mendasar berupa rekonstruksi pembelajaran olahraga di
sekolah.
Tujuan pendidikan dewasa ini adalah membentuk
karakter yang terwujud dalam kesatuan hakiki subjek dengan
tingkah laku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter adalah
sesuatu yang memenuhi syarat seseorang. Karakter menjadi
identitas yang mengatasi pengalaman hidup yang selalu
berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seseorang
diukur. Karakter ini tidak dapat diperoleh secara instan, tetapi
melalui proses yang panjang mulai dari lahir, jika penerapan
karakter ini baik, yang dicontohkan oleh orang-orang yang
memiliki karakter yang baik, maka akan tumbuh karakter yang
kuat dalam diri seseorang. Banyak cara untuk menanamkan
karakter ini pada anak, terutama melalui pendidikan formal.
Dimana dalam lingkungan tersebut terdapat manusia dewasa
yang sudah memiliki akhlak yang baik, manusia yang dimaksud
adalah guru/tenaga kependidikan pada jalur formal itu sendiri.
Salah satu cara menanamkan karakter pada siswa adalah
melalui pendidikan jasmani dan olahraga. Pendidik (guru) harus
mampu mengimplementasikan pendidikan karakter dengan
baik melalui mata pelajaran yang diajarkannya kepada siswa.
Pendidikan dan pembelajaran dalam berbagai bidang
ilmu di sekolah saat ini terkesan gersang (kering) dari keindahan
hidup, karakter siswa yang sarat dengan hafalan teori dan
sangat minim praktek, terlalu abstrak dan tidak menyentuh
nilai, karakter dan dimensi kemanusiaan. bidang ilmu yang
diajarkan. Pendidikan dan pembelajaran harus menjadi bagian
integral dari budaya manusia dan karena itu memiliki sifat
humanistik. Pendidikan dan pembelajaran yang demokratis dan
humanistik adalah praktik pendidikan yang membawa peserta

70
didik nyaman dalam perbedaan (perbedaan kecerdasan,
budaya, suku dan agama) kebebasan berpikir dan berkreasi,
suasana pendidikan yang kolaboratif dan adaptif terhadap
perubahan dengan orientasi pendidikan akan menghasilkan
insan terdidik yang memiliki karakter/soft skill, life skills dan
survival in life.
Pendidikan karakter di Indonesia masih dipandang
sebagai wacana dan belum menjadi bagian integral dari
pendidikan formal secara keseluruhan. Kemudian dilanjutkan
dengan upaya yang dilakukan guru merancang pendidikan
karakter melalui konsep-konsep yang dipahami oleh guru
sendiri dengan merancang pendidikan karakter sebagai bekal
pembinaan peserta didik, keluarga dan masyarakat. Upaya
tersebut antara lain menetapkan pendidikan karakter sebagai
salah satu rencana strategis sekolah, merencanakan dan
melaksanakan program pendidikan karakter yang tertuang
dalam Unit Program Pembelajaran (SAP) atau Rencana
Persiapan Pengajaran (RPP) di sekolah.

B. Konsep Dasar Pendidikan Olahraga


Sebelum membahas lebih lanjut, perlu disepakati
beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian, yaitu:
Olahraga, Pendidikan Olahraga, Pendidikan Jasmani,
Pendidikan Olahraga, dan mungkin ada istilah lainnya. Tulisan
ini tidak akan membahas definisi dari masing-masing istilah
tersebut karena penulis tidak ingin terjebak dalam pembahasan
definisi, melainkan memberikan highlight dari beberapa istilah
tersebut. Dua istilah pertama, mata pelajaran dasarnya adalah
olahraga sedangkan kata pendidikan memberikan informasi.
Keduanya berdasarkan ilmu keolahragaan dan secara yuridis
mengacu pada UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional. Sedangkan dua istilah terakhir, pokok
bahasan dasarnya adalah pendidikan sedangkan kata olah raga
hanya memberikan informasi. Keduanya berlandaskan Ilmu
Pendidikan dan secara yuridis mengacu pada UU No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.

71
Dalam pembahasan ini, istilah pendidikan olahraga
sengaja digunakan untuk memberikan kesan yang kuat
terhadap makna pendidikan. Istilah Pendidikan Olahraga dalam
tulisan ini diartikan sebagai usaha sadar dan terencana yang
dilakukan melalui kegiatan jasmani terpilih untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara maksimal, baik
dari segi kepribadian, intelektual, sosial dan keterampilan.
Secara sederhana, pendidikan olahraga dapat diartikan sebagai
pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan olahraga.
Mengingat pendidikan merupakan inti, maka tidak heran jika
nilai-nilai pendidikan dalam kegiatan olahraga sangat penting
untuk ditonjolkan. Sementara itu, nilai dalam makalah ini
didefinisikan sebagai "keyakinan abadi bahwa mode perilaku
atau keadaan akhir keberadaan tertentu secara pribadi atau
sosial lebih disukai daripada mode perilaku atau keadaan akhir
yang berlawanan atau sebaliknya (Schwartz & Bilsky, 1990;
Rokeach, 1973). Perlu ditekankan juga disini bahwa pengertian
nilai dalam tulisan ini lebih menitik beratkan pada nilai moral
(Miller, Roberts & Ommundsen, 2005). Padahal masih banyak
aspek nilai lain yang terkandung dalam kegiatan olahraga
merupakan kepercayaan umum bahwa kegiatan olahraga
dikondisikan oleh nilai-nilai pendidikan seperti kejujuran,
sportifitas, disiplin, dan tanggung jawab, bahkan ada ungkapan
yang menjadi kepercayaan sejarah dari masa ke masa: Olahraga
membangun karakter (Maksum, 2005; 2002). United Nations
(2003) melalui Task force on Sport for Development and Peace
menyatakan bahwa olahraga merupakan instrumen yang efektif
untuk mencerdaskan generasi muda terutama dalam hal nilai-
nilai. Disiplin, kepercayaan diri dan kepemimpinan dan
mengajarkan prinsip-prinsip inti seperti toleransi, kerjasama dan
rasa hormat. Olahraga mengajarkan nilai usaha dan bagaimana
mengelola kemenangan, serta kekalahan. Ketika aspek-aspek
positif dari olahraga ditekankan, olahraga menjadi sarana yang
kuat melalui mana Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat bekerja
untuk mencapai tujuannya. Sejumlah nilai yang ada dan dapat
dipelajari melalui kegiatan olahraga antara lain: Kerjasama,

72
Komunikasi, Menghargai aturan, Pemecahan masalah,
Pemahaman, Hubungan dengan orang lain, Kepemimpinan,
Menghormati orang lain, Nilai usaha, Cara menang, Cara kalah,
Bagaimana mengelola kompetisi, Permainan yang adil, Berbagi,
Harga diri, Kepercayaan, Kejujuran, Harga diri, Toleransi,
Ketahanan, Kerja tim, Garis disiplin, Keyakinan (United
Nations, 2003).
Uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan olah raga
mengandung nilai-nilai yang sangat penting bagi kehidupan
dan kemanusiaan. Dengan bermain sepak bola misalnya, siswa
tidak hanya belajar keterampilan seperti menendang dan
menggiring bola, tetapi juga bagaimana bekerja sama, percaya
dan menghormati orang lain. Tanpa kerja sama yang optimal
antar pemain, sulit mencetak gol ke gawang lawan. Seorang
pemain tidak akan mengoper bola ke rekan setimnya jika dia
tidak mempercayai mereka. Begitu pula melalui sepak bola,
siswa belajar menghargai dan menghormati lawannya, misalnya
saat lawan cedera atau bahkan memenangkan pertandingan.
Sayangnya, meskipun nilai-nilai ini sangat penting dalam
olahraga, namun jauh dari yang diharapkan dalam praktiknya.
Beberapa atlet tidak mau atau tidak dapat menerapkannya.
Manfaat sesaat seperti keuntungan dan prestise lebih ditekankan
daripada penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ini
tentu saja ironis.

C. Dekonstruksi Nilai-nilai Olahraga


Andai saja Baron Pierre de Coubertin sebagai penggagas
Olimpiade modern masih bisa menyaksikan berbagai perhelatan
olahraga akbar seperti SEA Games, ASIAN Games, Com
monwealth Games dan Olympic Games, Baron Pierre de
Coubertin mungkin akan tersenyum karena apa yang sudah
dimulai lebih dari satu abad yang lalu telah berkembang begitu
pesat dengan melibatkan ribuan peserta dari berbagai negara.
Misalnya, pada tahun 1896 ketika Olimpiade pertama diadakan
di Athena, hanya 13 negara yang berpartisipasi dengan 280 atlet.
Sedangkan pada tahun 2008 di Beijing baru, 204 negara

73
berpartisipasi dalam Olimpiade dengan 11.028 atlet. Namun,
senyuman yang merupakan ungkapan kebahagiaan, sangat
mungkin akan berubah menjadi air mata dalam sekejap,
mengingat olahraga telah mengalami distorsi dan pendangkalan
nilai. Olahraga bukan lagi ekspresi homoludens, tetapi sudah
menjadi obyek homo economicus. Panggung olahraga direduksi
menjadi soal “menang-kalah” dan “hadiah” yang pada
gilirannya cenderung tidak menjunjung tinggi sportifitas yang
merupakan ruh dasar dari olahraga itu sendiri. Coba lihat
bagaimana pertandingan sepak bola Liga Indonesia akhir-akhir
ini. Dari sejumlah pertandingan yang digelar, kerusuhan seolah
menjadi peristiwa yang sulit dihindari. Belum lagi kasus lain
seperti pemalsuan umur, ijazah dan suap. Ironisnya, kasus-
kasus tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkup olahraga
prestasi yang notabene menekankan pada kemenangan dan
pencapaian prestasi yang tinggi, tetapi juga pada olahraga di
lingkungan sekolah. Siswa hanya diajarkan bagaimana cara
memenangkan suatu pertandingan dalam olahraga, bukan
mencari poin pembelajaran dari permainan tersebut, misalnya
bagaimana cara bermain secara sportif dan bermartabat.
Nilai-nilai luhur olahraga yang seharusnya diajarkan dan
dijunjung tinggi terdistorsi oleh keinginan untuk menang dan
mengalahkan orang lain. Semangat seperti itu justru semakin
menjauhkan olahraga dari fitrah dasarnya sebagaimana
dinyatakan oleh Coubertin sendiri bahwa tujuan olahraga
bukanlah kemenangan, melainkan partisipasi, persahabatan dan
relasi antar manusia. Hal terpenting dalam pertandingan
Olimpiade bukanlah untuk menang, tetapi untuk ambil bagian;
sama seperti hal terpenting dalam hidup bukanlah kemenangan,
tetapi perjuangan. Masalah distorsi nilai-nilai olahraga pada
dasarnya bukanlah hal baru dan telah menjadi masalah
internasional. Apalagi setelah motif ekonomi demi semakin
hegemoninya dunia olahraga. Faktor lain yang turut
mempengaruhi kondisi ini adalah masalah pendidikan jasmani
di sekolah. Penelitian yang dilakukan di sejumlah negara
menunjukkan bahwa pendidikan jasmani berada dalam keadaan

74
krisis (Hardman, 2003). Posisinya semakin terpinggirkan dalam
struktur kurikulum, perhatian pemerintah relatif kurang
memadai, infrastruktur semakin berkurang, dan model
pembelajaran tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengoptimalkan potensinya, termasuk pengembangan nilai.

D. Karakter
Karakter adalah sifat, budi pekerti, tabiat atau watak dari
seseorang yang tumbuh berkembang dari sejak lahir hingga
akhir hayatnya. Karakter ini akan dengan jelas menunjukkan jati
diri seseorang seperti apa, meskipun tidak dapat di ukur secara
empiric namun bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya,
apakah seseorang itu memiliki karakter yang baik atau tidak.
Karakter merupakan sesuatu yang tidak kelihatan tetapi
terwujud dalam pikiran, persepsi, perilaku dan tindakan
seseorang. Karakter menentukan kualitas dan nilai yang
sesungguhnya dari seseorang. Pendidikan karakter
mengajarkan kebiasaan cara berfikir dan bertindak yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai
keluarga dan masyarakat dan bernegara serta membantu
mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Karakter yang ingin dicapai melalui jalur pendidikan
formal, seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of Character
yang dikeluarkan oleh Character Counts Coalition (a project of the
Joseph Institute of Ethics) adalah sebagai berikut:
1. Thustworthiness, karakter yang membuat seseorang menjadi
berintegritas, jujur dan loyal.
2. Fairness, karakter yang membuat seseorang memiliki
pemikiran terbuka serta tidak akan memanfaatkan orang
3. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki
sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun
kondisi social lingkungan sekitar.
4. Respect, betuk karakter yang membuat seseorang selalu
menghargai dan menghormati orang lain.

75
5. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar
hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan
alam.
6. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang
bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu
dengan sebaik mungkin.

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Amanat UU Sisdiknas tahun 2003 tersebut bermaksud
agar pendidikan tidak hanya membentuk manusia yang cerdas,
tetapi juga berkarakter, sehingga akan tercipta generasi yang
tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafaskan
nilai-nilai luhur Pancasila. Bukan manusia cerdas tapi tanpa
karakter seperti koruptor dan manusia pelanggar hukum,
mereka adalah manusia cerdas tapi tanpa karakter.
Menyadari kondisi karakter masyarakat saat ini,
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional telah
mencanangkan pelaksanaan pendidikan karakter untuk semua
jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan
tinggi. Munculnya gagasan pendidikan karakter dalam dunia
pendidikan disebabkan karena selama ini dirasa proses
pendidikan belum berhasil membangun manusia yang
berkarakter. Banyak yang mengatakan bahwa pendidikan telah
gagal membangun karakter, sehingga banyak lulusan sekolah
dan lulusan yang pandai menjawab soal ujian, memiliki otak
yang cerdas, namun mentalnya lemah, penakut, tidak
bertanggung jawab dan berperilaku tidak terpuji.

76
E. Hakikat Pendidikan Karakter
Pelaksanaan program pendidikan jasmani (Penjas) harus
mencerminkan ciri dari program pendidikan jasmani itu sendiri,
yaitu “Developmentally Appropriate Practice” (DAP). Artinya tugas
mengajar yang disampaikan harus memperhatikan perubahan
kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu
mendorong perubahan tersebut. Dengan demikian, tugas
mengajar disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan
tingkat kematangan siswa yang diajarnya. Perkembangan atau
kematangan yang dimaksud meliputi fisik, psikis, sosial, dan
keterampilan. Tugas mengajar juga harus mampu
mengakomodasi setiap perubahan dan perbedaan karakteristik
individu dan mendorongnya ke arah perubahan yang lebih baik.
Dalam mengintensifkan penyelenggaraan pendidikan sebagai
proses perkembangan manusia yang berlangsung seumur
hidup, peranan pendidikan jasmani sangatlah penting, yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat
langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui kegiatan
jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis.
Pemberian pengalaman belajar diarahkan pada pengembangan
nilai-nilai kesehatan, kebugaran jasmani dan nilai-nilai afektif
sepanjang hayat. Nilai-nilai afektif seperti kejujuran, fair play,
sportivitas, empati, simpati, santun berbicara, sikap mental yang
baik, dapat diakui sebagai bagian integral dari pendidikan
jasmani dan olahraga. Setelah mempelajari buku ini diharapkan:
1) Guru memahami makna dan hakikat pembelajaran
Penjasorkes berbasis karakter, 2) Guru dapat memahami hakikat
pembelajaran Penjasorkes terkait dengan tujuan, karakteristik
materi, kondisi lingkungan, dan evaluasi pembelajaran.
Karakter merupakan nilai-nilai kebaikan yang nyata
dalam kehidupan dan diwujudkan dalam perilaku yang
berdampak baik bagi diri sendiri maupun lingkungan. Karakter
secara runtut terpancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah, dan
olah perasaan dan karsa seseorang atau sekelompok orang.
Karakter adalah ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang
mengandung nilai-nilai, kemampuan, kapasitas moral,

77
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual, ketangguhan, semangat juang, militansi, jiwa karsa,
dan keyakinan akan kekuatan diri sendiri dalam menghadapi
segala tantangan.
Esensi pendidikan karakter dalam pendidikan jasmani
terletak pada ranah afektif. Proses penanaman dan
pemberdayaan ranah afektif dapat terlaksana dengan baik jika
dilakukan pada tingkat satuan pendidikan, keluarga dan
masyarakat. Pada tingkat satuan pendidikan, penanaman nilai-
nilai afektif dilakukan secara terpadu dengan proses kegiatan
belajar mengajar (KBM) pada setiap mata pelajaran, melalui
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, dan melalui kegiatan
ekstrakurikuler sekolah. Salah satu permasalahan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia adalah lunturnya moral dan jati diri
bangsa pada generasi muda. Nilai-nilai afektif pendidikan
lambat laun mulai hilang pada generasi muda akibat pengaruh
globalisasi dan modernisasi. Penanaman nilai-nilai afektif sejak
dini merupakan upaya untuk membangun karakter manusia.
Dalam pendidikan jasmani, pembelajaran ranah afektif
merupakan inti utama dari muatan pendidikan karakter. Fokus
pembelajaran pada ranah afektif terletak pada perasaan, nilai,
perilaku sosial, dan sikap yang berkaitan dengan gerak manusia.
Pelajaran ranah afektif dalam konteks pendidikan jasmani dan
olahraga berarti siswa mempelajari konsep-konsep seperti
sportivitas, fair play, menghargai orang lain, menghargai
peralatan, pengendalian diri, tanggung jawab dan motivasi.

F. Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Jasmani Dan Olaraga


Kita telah menyadari bahwa pendidikan jasmani dan
olahraga adalah laboratorium pengalaman manusia, oleh karena
itu guru pendidikan jasmani harus berusaha mengajarkan etika
dan nilai-nilai dalam proses belajar mengajar yang mengarah
pada peluang untuk membentuk karakter anak. Karakter siswa
yang dimaksud tentunya tidak terlepas dari karakter bangsa
Indonesia dan kepribadian anak secara keseluruhan, selain
harus dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga juga dapat

78
ditempuh melalui pendidikan nilai di sekolah. Saran yang dapat
dikemukakan adalah:
1. Seluruh suasana dan iklim di sekolah itu sendiri sebagai
lingkungan sosial terdekat yang dihadapi sehari-hari, selain
di lingkungan keluarga dan masyarakat luas, perlu
mencerminkan penghayatan yang nyata terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang hendak diperkenalkan dan
dikembangkan oleh siswa penghayatannya. Misalnya, jika
sebuah sekolah ingin menanamkan nilai keadilan pada siswa,
tetapi di lingkungan sekolah mereka secara terbuka
menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan, maka sekolah
tersebut tidak menciptakan iklim dan suasana yang
mendukung keberhasilan pendidikan nilai. (Seperti praktek
jual beli soal, mark up nilai, pemaksaan pembelian buku,
pemaksaan pembelian seragam olahraga, dll).
2. Tindakan dan penghayatan nyata terhadap kehidupan
pendidik atau sikap keteladanannya dalam menghayati nilai-
nilai yang diajarkannya akan mampu secara naluri
mempengaruhi dan mempengaruhi peserta didik secara
efektif. Misalnya, jika guru sendiri bersaksi tentang
kehidupan sebagai orang yang selalu disiplin, maka jika dia
mengajarkan sikap dan nilai disiplin kepada muridnya, dia
akan lebih dihormati.
3. Seluruh pendidik di sekolah khususnya guru pendidikan
jasmani perlu jeli melihat peluang yang ada baik secara
kurikuler maupun non/ekstra kurikuler untuk menyadarkan
mereka akan pentingnya sikap dan perilaku positif dalam
hidup bersama dengan sesama manusia, baik di lingkungan
keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Misalnya,
sebelum pelajaran dimulai, guru menekankan bahwa jika
anak tidak masuk kelas karena membolos, maka akan
diberikan tugas tambahan atau nilai pelajaran akan
dikurangi.

79
G. Makna Pendidikan Jasmani Berbasis Karakter
Pembahasan tentang pendidikan jasmani berbasis
karakter sangat erat kaitannya dengan ranah afektif. Pentingnya
pembinaan karakter ditegaskan dalam tujuan dan sasaran
Standar Kompetensi Nasional Pendidikan Jasmani yang
tertuang dalam kurikulum 2004, dua di antaranya menyatakan
tujuan pendidikan jasmani sebagai berikut: 1) Mewujudkan
landasan karakter moral yang kuat dengan
menginternalisasikan nilai-nilai dalam pendidikan jasmani, 2)
Mengembangkan sportifitas, kejujuran, disiplin, tanggung
jawab, kerjasama, amanah dan demokrasi melalui gerakan
(Depdiknas, 2003). Menurut Pasal 3 Sisdiknas, tugas pendidikan
nasional adalah mengembangkan keterampilan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bernilai dalam rangka
pendidikan kehidupan bangsa, dengan tujuan untuk
mengembangkan kesempatan peserta didik menjadi manusia
yang beriman dalam dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Dengan kata lain, 5 dari 8 siswa potensial yang akan
dikembangkan adalah yang berkarakter lebih dekat. Muatan
karakter adalah upaya untuk mendorong pertumbuhan karakter
anak (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh,
sesuai dengan pembentukan komprehensif antara pengetahuan,
karakter (akhlak, karakter), kreativitas, inovasi. Bagian-bagian
tersebut tidak dapat dipisahkan untuk memajukan
kesempurnaan hidup anak-anak kita (Ki Hajar Dewantoro).
Artinya, pendidikan karakter merupakan bagian yang sangat
penting dalam pendidikan Indonesia.

H. Mengapa Perlu Pendidikan Jasmani Berbasis Karakter


Thomas Lickona menyebut pendidikan karakter sebagai,
“In character education, it’s clear we want our children are able to judge
what is right, care deeply about what is right, and then do what they
believe to be right-even in the face of pressure form without and
temptation from within.” Dengan demikian, bisa diharapkan
muncul nilai-nilai: trustworthiness, respect, responsibility, fairness,

80
caring, honesty, courage, diligence, integrity, citizenship. Secara lebih
detail terdapat 49 nilai-nilai turunan dari karakter (Character
first, 2009), antara lain:

Tabel 1. Nilai-nilai turunan dari karakter

Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, guru


diharapkan dapat mengajarkan berbagai keterampilan gerak
dasar, teknik dan strategi permainan dan olahraga, internalisasi
nilai-nilai (olahragawan, kejujuran, kerjasama, dll) dan
membiasakan pola hidup sehat. Kegiatan yang diberikan di
dalam kelas hendaknya memiliki sentuhan didaktis-metodis,
agar tujuan pendidikan tercapai melalui kegiatan yang
dilaksanakan. Tidak ada pendidikan tanpa tujuan pedagogis,
dan pendidikan tidak lengkap tanpa pendidikan jasmani, karena
gerak sebagai aktivitas fisik merupakan dasar bagi seseorang
untuk secara alami mengenal dunia dan dirinya sendiri.
Menurut Rink (1993), tugas guru dalam proses belajar
mengajar didasarkan pada tujuh kegiatan sebagai berikut:
Mengenali hasil, merencanakan, menyajikan tugas, mengatur
dan mengelola lingkungan belajar, memantau lingkungan
belajar, pengembangan dan evaluasi isi Guru pendidikan
jasmani harus mengembangkan karakter dalam proses
pendidikan. Karakter, menurut David Shield dan Brenda
Bredemeir, adalah empat kebajikan yang dimiliki seseorang:
kasih sayang, keadilan, sportivitas, dan kejujuran. Dengan rasa
kasih sayang, siswa dapat terdorong untuk melihat lawannya
sebagai teman yang sama-sama berharga dan sama-sama patut

81
diapresiasi. Keadilan melibatkan ketidakberpihakan, tanggung
jawab bersama. Dalam olahraga keterampilan, orang berusaha
keras untuk sukses. Kejujuran memungkinkan Anda untuk tidak
melakukan kesalahan. Lima tujuan pendidikan jasmani adalah:
1. Meletakkan landasan karakter yang kuat melalui
internalisasi nilai dalam pendidikan jasmani.
2. Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta
damai, sikap sosial dan toleransi dalam konteks
kemajemukan budaya, etnis dan agama.
3. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung
jawab, kerjasama, percaya diri, dan demokratis melalui
aktivitas jasmani.
4. Mengembangkan keterampilan gerak dan keterampilan
teknik serta strategi berbagai permainan dan olahraga,
aktivitas pengembangan, senam, aktivitas ritmik, akuatik
(aktivitas air) dan pendidikan luar kelas (outdoor education).
5. Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai
informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran dan pola
hidup sehat.

Olahraga merupakan salah satu pilihan yang dapat


dijadikan sebagai sarana untuk pembentukan karakter
seseorang. Olahraga yang slogannya Sport for All merupakan
langkah awal yang strategis menuju karakter. Pembentukan
karakter budaya bangsa juga dibentuk oleh budaya dan
kekhasan olahraga yang dipraktikkan. Banyak karakter positif
yang bisa dibentuk dengan melatih sportifitas. Melalui olahraga,
seseorang memiliki tanggung jawab, rasa hormat dan
kepedulian terhadap orang lain. Olahraga juga mengajarkan
nilai-nilai keteguhan hati, kejujuran dan keberanian dan
tentunya masih banyak lagi lainnya. Ini juga merupakan langkah
pertama untuk memposisikan ulang olahraga dengan cara
membentuk karakter.

82
I. Pengembangan Peserta Didik Melalui Penjas Karakter
Menurut David Atkinson, direktur Cooper Venture
Development Program, sebuah divisi dari Cooper Aerobic Center
di Dallas, Amerika Serikat. Serotonin adalah hormon di otak yang
berfungsi sebagai modulator kapasitas kerja otak yang meliputi
pengaturan kestabilan emosi, pemahaman dan nafsu makan
(keinginan). Orang yang berolahraga dalam jumlah yang cukup
akan berdampak pada peningkatan produktivitasnya.
Produktivitas seseorang tidak hanya berarti bahwa orang
tersebut dapat memberikan kualitas kerja yang baik, tetapi juga
dapat memberikan suasana bahagia, hal ini tentu saja
berdampak positif bagi kegiatan dan aktivitas lainnya. Karena
dengan berolahraga maka akan meningkatkan hubungan
seseorang dengan orang lain. Jika dilakukan dengan keluarga,
maka seseorang merasa lebih dekat dengan mereka. Hal ini juga
berlaku jika berolahraga bersama teman. Selain itu, sangat
mungkin seseorang akan mendapatkan teman baru melalui
olahraga. Dengan lingkungan yang mendukung, perilaku dan
karakter seseorang akan mengikuti ke arah yang lebih positif.
Karakter siswa dapat dikembangkan dengan
meningkatkan dan mengoptimalkan pembelajaran pada mata
pelajaran pendidikan jasmani. Menurut Hansen (2008), domain
afektif cenderung menekankan pada pengalaman belajar
emosional. Seperti sikap, minat, perhatian, kesadaran dan nilai-
nilai yang disalurkan dalam bentuk perilaku afektif. Tommie
dan Wendt (1993) mencatat bahwa beberapa tema umum
muncul dalam penelitian tentang aspek psikososial pendidikan
jasmani. Mata pelajaran ini membentuk tujuan dasar pengajaran
domain afektif. Holt dan Hannon (2006) mengatakan bahwa
fokus sportivitas dalam pendidikan olahraga adalah pada
perasaan, nilai, perilaku sosial dan sikap yang berkaitan dengan
gerak manusia. Pengajaran afektif/psikososial dalam
pendidikan jasmani dan pendidikan jasmani berarti bahwa
siswa mempelajari konsep-konsep seperti sportivitas, fair play,
menghargai orang lain, menghargai peralatan, pengendalian
diri, tanggung jawab dan motivasi. McCallister (2000)

83
mengatakan bahwa partisipasi dalam pembelajaran aktivitas
fisik oleh anak-anak dan remaja bergantung pada banyak faktor.
Mereka terus-menerus mengamati lingkungan dan tindakan
orang lain. Efek sosial dari pendidikan jasmani terlihat pada
siswa, tetapi guru memainkan peran sentral (Pelichkoff, 1993).
Dalam posisi yang sangat sentral dan berpengaruh, guru
pendidikan jasmani harus menyampaikan nilai-nilai dan filosofi
melalui olahraga, karena ini berdampak langsung pada
pengalaman olahraga partisipatif remaja (Steelman, 1995). Gerak
dan Kesehatan (Penjasorkes) merupakan mata pelajaran yang
diperkenalkan di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai
sekolah menengah. Pengalaman bisnis yang diperoleh siswa
dalam pendidikan jasmani merupakan faktor penting dalam
meningkatkan aktivitas fisik dan tingkat partisipasi olahraga.
Menurut Suharjana Darmiyati Zuchdi (2011) Karakter
adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak, yang menjadi ciri
khas seseorang dan menjadi kebiasaan, yang tampak dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan orang yang berkarakter
baik menurut Effendie Tanumiharja dalam Darmiyati Zuchdi
(2011) adalah orang yang dapat mengendalikan diri,
bersemangat, luwes, humoris, jujur, selalu bersyukur, tegar,
pekerja keras, suka tidak membeda-bedakan, rendah hati,
bijaksana dan adil. Pendidikan jasmani berdampak pada
pembentukan karakter anak sejak usia dini yang merupakan
bagian integral dari pendidikan pada umumnya, mempengaruhi
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor siswa melalui
aktivitas jasmani. Melalui aktivitas fisik, anak memperoleh
berbagai pengalaman yang layak dijalani, seperti Kecerdasan,
Emosi, Perhatian, Kerja Sama, Keterampilan, dll. Aktivitas fisik
untuk kelas pendidikan jasmani dapat bersifat atletik atau non-
atletik. Maka perlu kita bicarakan lebih dalam tentang manfaat
olahraga ini bagi pendidikan dan peran pendidikan dalam
olahraga.
Menurut studi tahun (2015) oleh Kaitlyn A. Ferris, Andrea
Vest Ettekal, Jennifer P. Agans, dan Brian M. Burkhard dalam
Pengembangan Karakter Melalui Olahraga Pemuda: Pendapat

84
pelatih sekolah menengah dalam program pendidikan berbasis
karakter menunjukkan bahwa atlet biasanya memiliki status
sosial yang tinggi di sekolah dan acara olahraga sering kali
menyatukan anggota masyarakat. Pengaruh para atlet muda
menggarisbawahi perlunya mengembangkan karakter pada
para pemuda tersebut. Oleh karena itu, moto PCA membangun
"atlet yang lebih baik, orang yang lebih baik" berkaitan dengan
tanggung jawab semua pelatih muda. Banyak program olahraga
pemuda berfokus pada pemberian pelajaran hidup melalui
olahraga (Berlin et al., 2007), Namun hasil penelitian ini
menggarisbawahi bahwa penting untuk memahami pendapat
pelatih tentang program pelatihan berbasis karakter dan
terutama pengetahuan yang mereka hargai dan terapkan dalam
kegiatan pelatihan mereka. Hanya ketika peneliti memahami
proses dimana pelatih mengintegrasikan kurikulum berbasis
karakter program ke dalam praktek pembinaan mereka dan
interaksi sehari-hari dengan atlet dapat penelitian yang tepat
dilakukan pada olahraga sebagai konteks holistik di mana
kekuatan karakter pelatih dan atlet berada dapat beradaptasi
dengan perubahan budaya olahraga. Remaja menjadi "zona
perkembangan" bagi para tokoh. Berdasarkan efek positif
potensial dari partisipasi dalam olahraga pemuda pada
pengembangan karakter, penting bagi peneliti untuk
menyelidiki lebih lanjut proses dimana kekuatan karakter
pelatih ditingkatkan melalui partisipasi dalam program
pendidikan pembinaan berbasis karakter.

J. Strategi dan Rekonstruksi Pembelajaran


Pengembangan karakter terjadi melalui tiga hal yaitu
pengetahuan, tindakan dan kebiasaan. Keberadaan karakter
tidak terbatas pada pengetahuan. Seseorang dengan informasi
yang baik belum tentu dapat bertindak berdasarkan informasi
yang diterima kecuali ia telah dilatih (menjadi kebiasaan) untuk
melakukannya dengan baik. Karakter juga mencapai bidang
emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga
komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan moral

85
(knowledge of morality), moral feeling atau perasaan (emotional
reinforcement) moralitas, dan moral action atau tindakan. Jadi
karakter tidak cukup dikenal, harus berupa perbuatan moral.
Karakter menjadi lebih ringan dan berhasil melalui kebiasaan
hidup, berupa aktivitas sehari-hari, yang akhirnya menjadi
kebiasaan (habit) dan tidak terwakili secara teoritis. Disiplin,
kejujuran, tanggung jawab, dan kerja sama lebih mudah
diterapkan dan dirancang dengan cara yang menyenangkan
daripada ditransmisikan secara teoritis. “Game” menunjukkan
karakter seseorang, disiplin, jujur, tanggung jawab, dan
kooperatif. Kerja sama difasilitasi oleh permainan tim seperti
sepak bola. Pemain sepak bola yang membangun serangan
untuk mencetak gol ke gawang lawan yang bekerja sama dengan
passing dan dribbling (senam) mencapai hasil yang lebih
optimal dibandingkan dengan pemain sepak bola yang
menggiring bola dari gawang sendiri ke gawang lawan.
Sementara itu, olahraga perseorangan seperti pencak silat,
karate, tinju, dan lain-lain melatih rasa percaya diri dan
kemandirian siswa. Kesabaran, tanggung jawab, percaya diri
juga bisa didapat melalui pendidikan seni (estetika).
Menurut Hodge dalam Winarni (2011), secara umum
orang lain hanya meyakini bahwa berpartisipasi dalam program
aktivitas jasmani akan mengembangkan karakter secara
langsung, meningkatkan alasan-moral, dan mengajarkan nilai
dari ciri-ciri olahragawan sejati, tetapi hal tersebut tidak bisa kita
jadikan patokan bahwa berkecimpung didalam aktivitas jasmani
dapat membangun karakter. Tidak mudah mengembalikan
olahraga ke esensi dasarnya. Dari awal hingga akhir, dibutuhkan
upaya luar biasa dari semua pemangku kepentingan yang
terlibat dalam olahraga tersebut. Tanpa bermaksud
menyederhanakan masalah yang tidak sederhana, pembahasan
ini mengajukan solusi mendasar yaitu rekonstruksi olahraga di
sekolah. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa
membangun kembali pendidikan jasmani di sekolah dipandang
sebagai solusi yang efektif. 1) Sebagian besar siswa mengenal
olahraga melalui lembaga pendidikan, 2) Usia sekolah

86
merupakan cara yang efektif untuk mengajarkan nilai-nilai, 3)
Pendidikan jasmani di sekolah lebih mengutamakan
penguasaan keterampilan dan cenderung mengabaikan proses
pembelajaran nilai. Harus diakui bahwa sampai saat ini
pendidikan jasmani di sekolah belum memungkinkan untuk
menanamkan nilai-nilai luhur olahraga dalam persepsi siswa.
Menyelesaikan silabus harus dilakukan dengan
mempertimbangkan kedua aspek ini. Dengan demikian dapat
terbentuk pendidikan karakter yang antara lain melalui
pendidikan jasmani dan olahraga (senam) melalui kegiatan
gerak yang dipraktikkan secara terus menerus menjadi
kebiasaan. Olahraga mempunyai peranan penting dan
memberikan kontribusi yang nyata terhadap pencapaian tujuan
pendidikan nasional yang mendukung pembentukan karakter.
Pendidikan jasmani disajikan di sekolah dengan tujuan; kognitif,
psikomotor dan afektif. Dalam pendidikan jasmani, gerak
merupakan salah satu ciri khusus yang harus menjadi tanda
pendidikan jasmani. Metode Pembelajaran Siswa Aktif (CBSA)
sudah melekat di dalam kelas pendidikan jasmani, jika anak
tidak bergerak berarti belum berolahraga. Pendidikan jasmani
sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan menggunakan
aktivitas jasmani dengan persentase lebih sering digunakan
sebagai sarana pembelajaran, sehingga komponen psikomotorik
lebih banyak pada pendidikan jasmani daripada pada bidang
kognitif dan afektif. Gerakan (fisik) berhasil bila dilakukan
dengan prinsip yang benar, memiliki isi, menggunakan strategi
yang tepat dan membuat penilaian yang tepat. Pencapaian ini
lebih besar bila dilakukan menurut teori belajar gerak, yang
meliputi tiga tahap: 1) kognisi, 2) asosiasi, dan 3) otomatisitas.
Pembentukan karakter berada pada fase asosiasi; Siswa diberi
kesempatan untuk melakukan aktivitas fisik sebanyak mungkin
melalui bermain dan olahraga untuk membangun karakter
mereka. Sehingga dapat dimaklumi jika nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam olahraga tidak dihayati oleh para siswa,
apalagi diterjemahkan ke dalam perilaku.

87
Bagaimana proses pembelajaran nilai dalam pendidikan
jasmani. Diketahui bahwa ada tiga jenis pembelajaran, yaitu:
belajar motorik, belajar afektif dan belajar kognitif. Pembelajaran
motorik mengacu pada pengembangan keterampilan yang
sebenarnya. Pembelajaran afektif mengacu pada pembentukan
nilai, sikap dan perasaan. Sementara itu, pembelajaran kognitif
mengacu pada perolehan pengetahuan dan konsep yang
berkaitan dengan isi materi yang diajarkan. Ketiga jenis
pembelajaran ini saling berkaitan. Pada beberapa tingkat
pembelajaran afektif menjadi dasar pembelajaran motorik dan
dalam beberapa kasus pembelajaran kognitif menjadi dasar
pembelajaran afektif. Ketiga wawasan ini efektif ketika siswa
mengalaminya dalam konteks nyata. Johnson & Johnson (1991)
menyatakan bahwa tujuan pendekatan experiential learning
adalah menyiapkan struktur kognitif, mengubah sikap, dan
meningkatkan keterampilan perilaku siswa. Experiential
learning adalah metode pembelajaran yang menekankan pada
pengalaman langsung dan nyata di lapangan. Di sini peserta
mencoba menemukan sendiri hasil belajar (learning point) dari
kegiatan yang dilakukan untuk refleksi dan pemetaan
pengalaman (revisi). Oleh karena itu, pengalaman dan
keterlibatan dengan pengalaman merupakan komponen yang
sangat penting dalam experiential learning.

Gambar 4. Siklus Pembelajaran melalui Pengalaman

88
Lalu timbul pertanyaan, bagaimana konstruksi nilai itu
bisa terjadi? Pada pembahasan ini menghadirkan model
bernama SportEd, model atlet berdasarkan pendidikan nilai.
Model ini berpendapat bahwa nilai-nilai dibentuk melalui
proses interaktif di mana individu cenderung mengatur
pengalamannya menjadi pola interpretasi yang bermakna dan
pengalaman lingkungan ketika diinformasikan tentang realitas
sosial. Pembentukan nilai dipahami sebagai reorganisasi dan
perubahan struktur dasar pemikiran individu (Maksum, 2007;
Shields, & Bredemeier, 2006). Pembentukan nilai bukan hanya
penemuan aturan yang berbeda dan kualitas yang baik (Popov,
2000), tetapi proses yang membutuhkan perubahan dalam
struktur kognitif dan stimulasi lingkungan sosial. Partisipasi
dalam kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya merupakan
nilai individu, tetapi apa yang dianggap sebagai nilai harus
diatur, dibangun dan diubah menjadi struktur dasar penalaran
para peserta (Stornes & Ommundsen, 2004). Stutz & Weiss,
2003). Secara khusus, tiga langkah harus dilakukan, yaitu 1)
mengidentifikasi nilai, 2) mempelajari nilai, dan 3) menyediakan
cara untuk menerapkan nilai tersebut.
1. Identifikasi Nilai
Identifikasi nilai terkait dengan nilai-nilai moral apa
saja yang sekurangkurangnya harus dimiliki oleh individu.
Dalam realitas kehidupan, ada sejumlah nilai yang
terkonstruksi di dalam masyarakat, yang antara masyarakat
yang satu dengan yang lain berbeda. Ada kalanya konstruksi
nilai dipengaruhi oleh kultur di mana nilai tersebut dibentuk.
Karena itu, untuk menghindari pemahaman yang berbeda
atas suatu nilai, perlu diidentifikasi nilainilai yang berlaku
universal. Dari beberapa literatur, setidaknya ada enam nilai
moral yang perlu dimiliki oleh individu, yaitu: respect,
responsibility (Lickona, 1991); caring, honesty, fairness, dan
citizenship (Martens, 2004).

89
Tabel 2. Beberapa Indikator Nilai dalam Praktek Olahraga
dan Kehidupan

2. Pembelajaran Nilai
Setelah proses identifikasi nilai dilakukan dan
ditemukan enam nilai moral yang berlaku universal, maka
keenam nilai moral tersebut selanjutnya diajarkan kepada
peserta didik melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menciptakan lingkungan yang memungkinkan nilai-nilai
moral tersebut diterapkan. Peran ini demikian penting
dilakukan oleh guru pendidikan olahraga dalam rangka
membangun kesamaan wawasan mencapai tujuan,
menciptakan iklim moral bagi peserta didik.
b. Adanya keteladanan atau model perilaku moral.
Menunjukkan perilaku bermoral memiliki dampak yang
lebih kuat daripada berkatakata tentang moral. One man
practicing good sportsmanship is better than fifty others
preaching it.

90
c. Menyusun aturan atau kode etik berperilaku baik. Peserta
didik perlu mengetahui apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan. Artinya, ada pemahaman
yang sama terkait dengan perilaku moral.
d. Menjelaskan dan mendiskusikan perilaku bermoral.
Ketika usia anak-anak, peserta didik belajar perilaku
moral dengan cara imitasi dan praktik tanpa harus
mengetahui alasan mengapa hal itu dilakukan atau tidak
dilakukan. Memasuki usia remaja, kemampuan
bernalarnya telah berkembang. Karena itu, perlu ada
penjelasan dan bila perlu ada proses diskusi untuk sampai
pada pilihan perilaku moral yang diharapkan.
e. Menggunakan dan mengajarkan etika dalam
pengambilan keputusan. Individu acapkali dihadapkan
pada pilihan-pilihan yang harus diambil keputusan.
Mengambil keputusan adalah proses mengevaluasi
tindakan-tindakan dan memilih alternatif tindakan yang
sejalan dengan nilai moral tertentu.
f. Mendorong individu siswa mengembangkan nilai yang
baik. Guru pendidikan olahraga perlu menciptakan
situasi dan menginspirasi peserta didik untuk
menampilkan perilaku moral. A mediocre teacher tells, a
good teacher explains, a superior teacher demonstrates, and the
great teacher inspires.

3. Penerapan Nilai
Setelah pengajaran nilai dilakukan, maka tahap ketiga
yang perlu dilakukan adalah memberikan kesempatan untuk
mengaplikasikannya. Hal terpenting bertalian dengan
penerapan nilai adalah konsistensi antara apa yang diajarkan
dengan apa yang diterapkan. Artinya, apa yang dikatakan
harus berbanding lurus dengan apa yang dilakukan, baik
pada lingkungan sekolah maupun dalam keluarga. Terkait
dengan penerapan nilai, ada dua model yang dapat
diaplikasikan.

91
a. Membentuk kebiasaan rutin yang bermuatan nilai-nilai
moral. Situasi olahraga, sebagaimana dikemukakan di
atas, banyak memberikan peluang terjadinya perilaku
moral. Misalnya berjabat tangan dengan lawan main
sebelum dan setelah bertanding, peduli kepada teman
yang ingin mempelajari keterampilan olahraga tertentu
dengan cara memberikan mentoring, bekerjasama untuk
mencapai tujuan (goal), bermain dengan berpegang pada
aturan, menghormati keputusan wasit, dan sebagainya.
b. Memberikan reward bagi peserta didik yang menampilkan
perilaku bernilai moral. Menanamkan dan membentuk
nilai moral memang tidak secepat mengajarkan
keterampilan seperti menendang atau memukul bola.
Dalam membentuk nilai moral membutuhkan proses
yang relatif panjang, konsisten, dan tidak sekali jadi. Bisa
jadi peserta didik belum sepenuhnya menampilkan
perilaku bernilai moral sebagaimana yang diinginkan.
Karena itu, penghargaan tidak harus diberikan ketika
peserta didik mengakhiri serangkaian kegiatan,
melainkan juga dalam proses menjadi. Penghargaan
dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Misalnya dalam
bentuk sertifikat, stiker, peran tertentu seperti kapten tim,
dan sebagainya.

Pendidikan jasmani di sekolah tidak dengan sendirinya


membentuk nilai-nilai moral siswa. Kekejaman, ekses,
ketidakjujuran dan perilaku menyimpang lainnya juga terjadi
ketika aktivitas olahraga sebatas menang dan kalah. Nilai-nilai
moral yang melekat pada olahraga harus diintegrasikan,
dibangun dan diubah menjadi struktur dasar penalaran siswa.
Tanpa itu, olahraga hampir tidak bisa diharapkan sebagai alat
untuk mengajarkan nilai-nilai. Pendidikan nilai juga tidak bisa
dilakukan hanya dengan berbicara tentang nilai selama
beberapa menit atau dengan slogan-slogan tertentu, tetapi
membutuhkan komitmen bersama, terutama dari guru dan
orang tua, untuk mendidik siswa tentang nilai, untuk terus
mempraktekkannya, untuk selalu mengoreksinya ketika ada

92
yang tidak beres, dan rangkul memberi penghargaan kepada
mereka yang menunjukkan perilaku yang diinginkan. Strategi
atlet berbasis karakter tidak lepas dari peran keempat komponen
tersebut; lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah dan lingkungan kelas sekolah. Menurut
Graham, Holt dan Parker (2001) bahwa "aktivitas fisik
menawarkan banyak kesempatan untuk mengajarkan pelajaran
penting kepada kaum muda tentang kerjasama, menang dan
kalah, dan kerja sama tim. Berikut strategi memasukkan nilai-
nilai karakter ke dalam kegiatan belajar mengajar:

Gambar 5. Integrasi Nilai Karakter ke dalam KBM pada


setiap Mata Pelajaran

Guru atau pelatih yang terlibat dalam pembinaan


olahraga remaja memiliki tugas untuk mengajarkan emosi dan
memperkuat penalaran moral mereka (Lumpkin, 2008). Salah
satu cara agar guru atau pembina tetap menunjukkan
komitmennya dalam menanamkan nilai adalah dengan
mengikuti dan mentaati kode etik yang berlaku. Selain
persahabatan dan kejujuran, rasa hormat dan tanggung jawab
adalah dua nilai dasar fair play. Berikut ini adalah penjelasan
tentang salah satu strategi untuk mengajarkan rasa hormat.

93
1. Strategi Mengajar Rasa Hormat
Menurut Selleck (2003), pelatih atau guru harus
memahami apa itu respek sebelum mengajarkan respek atau
respek kepada anak. Secara umum, rasa hormat berarti
mengakui nilai seseorang, situasi atau benda dan bertindak
sesuai dengan itu. Sangat penting untuk mengembangkan
rasa hormat yang berkembang di kelas. Proses ini dimulai
dengan bagaimana guru menunjukkan rasa hormat kepada
siswa, tanpa memandang suku, ras, jenis kelamin, status
sosial ekonomi, atau karakteristik atau kemampuan individu.
Guru harus fleksibel untuk menanggapi perbedaan
keterampilan dan kemampuan siswa. Conroy mengatakan
kurikulum terbaik bagi seorang guru untuk mengajarkan
rasa hormat kepada siswa adalah dengan selalu waspada dan
menghormati sikap siswa dan segera mengoreksinya kapan
saja, tidak hanya untuk siswa tertentu tetapi untuk seluruh
kelas. Noddings (1992) merekomendasikan bahwa
pendidikan moral didasarkan pada guru dan guru harus
peduli dan memahami bahwa siswa adalah individu yang
unik. Guru yang peduli dan menghargai siswanya peka dan
memperhatikan perasaan siswa. Kesopanan baik di dalam
maupun di luar kelas menuntut guru dan siswa untuk
menunjukkan rasa hormat dan kepedulian terhadap orang
lain.

2. Strategi Mengajar Tanggung Jawab


Tanggung jawab juga merupakan kualitas berharga
yang harus ditanamkan guru pada setiap siswa. Guru harus
menekankan bahwa siswa harus memperhatikan dan
mengikuti arahan, fokus pada apa yang mereka lakukan,
mendengarkan kritik yang membangun, proaktif dan
terbuka, tidak membuat alasan atau menyalahkan orang lain,
menerima konsekuensi dari tindakan mereka dan mencoba
untuk tidak pernah melakukannya. Alasan membiarkan
temannya menjadi cacat (Brown, Lumpkin, 2008). Dengan
kata lain, ketika anak diajarkan tanggung jawab, mereka
belajar untuk patuh dan melakukan apa yang diharapkan

94
dari mereka (yaitu mengikuti aturan tim) (Zeigler, 2009).
Perilaku yang harus dikembangkan guru ketika mengajarkan
tanggung jawab kepada siswa: 1) konsisten dan konsisten, 2)
memberi penghargaan kepada siswa yang berperilaku baik,
3) memberikan contoh perilaku yang bertanggung jawab.
Hellison (2003) menyarankan lima strategi bagi guru untuk
mengimplementasikan model TPSR: 1) memahami
pentingnya berbicara, (2) siswa diberi kesempatan untuk
mendefinisikan perilaku yang mendorong praktik perilaku
di seluruh kelas, 3) Refleksi diri. Siswa diminta untuk
mengevaluasi dirinya sendiri terkait dengan berbagai
aktivitas yang dilakukannya (students do a self-evaluation), 4)
pengambilan keputusan di dalam kelas bagaimana
mengambil keputusan, 5) Pertemuan kelompok. Berikan
kesempatan kepada siswa untuk berbagi ide, perasaan, dan
keputusan tentang program (memecahkan masalah yang
muncul dan membuat segalanya menjadi lebih baik).

Sedangkan menurut Stefan Sikone (2006), dalam


melaksanakan pembentukan karakter, generasi muda memiliki
3 peran penting yaitu:
1. Sebagai pembangun kembali karakter bangsa (charater
builder).
Tugas generasi muda adalah membangun kembali karakter
positif bangsa. Hal ini tentu sangat sulit, namun pada intinya
adalah kemauan dan komitmen yang kuat dari generasi
muda untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral atas
kepentingan saat ini dan upaya kolektif untuk
menginternalisasikannya.
2. Sebagai pemberdaya karakter (character enabler).
Generasi muda harus berperan sebagai enabler. Bentuk
praktisnya adalah kemauan dan keinginan yang kuat dari
generasi muda untuk menjadi teladan dalam pembangunan
karakter bangsa yang positif.
3. Sebagai perekayasa karakter (character engineer).
Peran terakhir membutuhkan pembelajaran berkelanjutan
dari generasi muda. Namun harus diakui bahwa

95
membangun karakter positif suatu bangsa memerlukan
perubahan dan perencanaan yang tepat disesuaikan dengan
perubahan zaman. Dalam hal ini bangsa sangat
mengharapkan peran generasi muda, karena di tangan
mereka pembelajaran dapat berlangsung dalam kondisi yang
paling produktif.

K. Evaluasi Pembelajaran Penjas Karakter


Gallo (2003) menyatakan bahwa keterbatasan evaluasi
ranah moral pada tataran praktis adalah setiap siswa memiliki
dua bentuk evaluasi, yaitu evaluasi diri siswa dan evaluasi
untuk mengevaluasi keduanya. Kriteria evaluasi moral
menyangkut aspek-aspek berikut: Etika, keadilan, komunikasi
dengan teman sebaya dan komunikasi dengan guru atau pelatih.
Holt dan Hannon (2006) mengatakan bahwa guru pendidikan
jasmani perlu menilai moral untuk mengetahui apakah tujuan
telah tercapai. Mengacu pada Cool, Demas, dan Adams (1999),
ada 17 perilaku moral yang diajarkan dan dinilai,
yaitu:Altruisme, Komunikasi, Empati, Komitmen, Kerjasama,
Usaha, Ketaatan, Tujuan, Kejujuran, Inisiatif, Kepemimpinan,
Partisipasi, Refleksi, Apresiasi, Pengambilan Risiko, Keamanan
dan Kepercayaan.
Ada tiga hal tentang pembelajaran karakter yang dapat
dinilai dengan menggunakan alat observasi, yaitu: 1) perilaku
siswa, 2) perilaku guru, dan 3) interaksi guru-siswa (Banville dan
Rikard, 2001). Menurut Guan dan Dohoney (2009), contoh
sederhana untuk mengevaluasi domain afektif partisipasi, usaha
dan perilaku dapat dilakukan dengan kuesioner dan
memberikan skor 0-4 berdasarkan kinerja mereka. Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa bidang afektif untuk evaluasi
dievaluasi dengan menggunakan dua pendekatan yaitu
kuantitatif dan kualitatif yang biasanya menggunakan
instrumen berupa angket dan observasi.

96
Gambar 6. Proses Pembudayaan dan Pemberdayaan Perilaku
Berkarakter

97
BAB
OLAHRAGA SEBAGAI

5 MINIATUR KEHIDUPAN
OLAHRAGA SEBAGAI MINIATUR KEHIDUPAN

A. Pendahuluan
Jika kita melihat lebih dekat, kita dapat melihat bahwa
jutaan, jika tidak ratusan ribu orang berpartisipasi aktif dalam
olahraga setiap hari di seluruh dunia. Mereka merencanakan
waktu mereka sehingga mereka bisa berolahraga, teratur, dan
bersosialisasi. Mereka siap membayar untuk acara olahraga,
kadang-kadang bahkan membayar sejumlah besar uang. Tokoh
olah raga sangat bervariasi, mulai dari anak kecil sampai
dewasa, dari orang miskin sampai orang kaya, dari orang biasa
sampai pejabat. Selain itu, sangat beragam dalam hal ras,
budaya, dan agama. Fenomena ini membuat kami bertanya-
tanya apa yang sebenarnya mereka cari dalam olahraga, apa
yang ingin mereka alami, dan apa yang mereka harapkan dari
bermain. Tubuh dan jiwa setiap orang pada dasarnya adalah
representasi dari potensi mereka. Potensi berarti sesuatu yang
memiliki ruang untuk berkembang. Manusia tidak lagi
memandang dirinya sebagai makhluk yang mandiri, melainkan
sebagai makhluk yang bergantung pada orang lain, sebagai hasil
dari proses mewujudkan potensi dirinya sendiri. Kebahagiaan
dan kemakmuran dapat diantisipasi apabila proses tersebut
dapat berjalan secara optimal dan selaras baik pada tataran
jasmani maupun ruhani (kreativitas, rasa, dan karsa). Tanpa
olahraga, kehidupan manusia tidak akan lengkap. Jika seseorang
berolahraga secara teratur, perkembangan fisiknya akan
mendapat manfaat (Doty, 2006). Olahraga kini diakui secara luas
sebagai fakta sosial yang sangat bermanfaat bagi masyarakat

98
secara keseluruhan. Olahraga telah diintegrasikan ke dalam
proses sosial yang dinamis yang dengan cepat membentuk
seperangkat nilai atau norma yang diyakini berkontribusi secara
signifikan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Di
luar itu, semua aspek kehidupan manusia telah dipengaruhi
oleh dunia olahraga. Olahraga tidak lagi dianggap sebagai cara
untuk meningkatkan kebugaran jasmani.
Olahraga baik untuk pertumbuhan dan perkembangan
fisik seseorang serta untuk mempromosikan interaksi dan
integrasi. Ketentuan umum Pasal 1 Angka 4 Sistem
Keolahragaan Nasional menyebutkan bahwa “Olahraga adalah
segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina,
dan mengembangkan perkembangan jasmani, rohani, dan
sosial, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang RI
Nomor I Bab 3 Tahun 2005. Selanjutnya disebutkan pada poin 11
pembahasan pendidikan olahraga. Bahwa Pendidikan olahraga
adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang diselenggarakan
sebagai bagian dari proses pendidikan yang teratur dan
berkesinambungan untuk memperoleh pengetahuan,
kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.
Menurut Pasal 3, Olahraga nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, dan sosial serta
membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat.
Kemudian Pasal 4 Olahraga nasional bertujuan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran,
prestasi, kualitas manusia , menanamkan nilai-nilai moral dan
akhlak mulia, sportivitas, disiplin, memperkokoh dan memupuk
persatuan dan kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan
nasional, serta mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Olahraga juga memberikan kontribusi yang signifikan
dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya internasional.
Olahraga sangat menekankan pada bagaimana tubuh
digerakkan, yang berhubungan dengan tubuh atau tubuh
manusia secara keseluruhan. Tubuh bergerak, tetapi
melakukannya dengan cara yang telah dipilih untuk tujuan yang
lebih manusiawi. Studi olahraga banyak menekankan pada

99
"gerakan manusia, yang memiliki sifat dan materi pelajarannya
sendiri. Olahraga adalah salah satu jenis perilaku gerak manusia
yang memiliki arah, tujuan, dan dipraktikkan dalam berbagai
cara. France (2009) mengklaim bahwa olahraga telah menjadi
bagian integral masyarakat sejak zaman dahulu dalam bukunya
Introduction to Physical Education and Sport Science. Sekarang
menjadi komponen penting dalam kehidupan sehari-hari.
Olahraga memiliki definisi luas yang mencakup olahraga
kompetitif dan hiburan yang menghilangkan kebosanan dan
mendorong perkembangan fisik. Olahraga adalah salah satu
hiburan yang paling disukai masyarakat, dan dipraktikkan
secara luas baik di tingkat makrososial maupun mikrososial,
menurut Parks dan Zanger (1990). Olahraga juga dapat
dipandang sebagai proses pembinaan dan pembentukan yang
memanfaatkan aktivitas fisik, olahraga, atau pengalaman fisik
lainnya untuk membantu individu dalam mewujudkan
potensinya secara penuh. Pramono (2003) mendefinisikan ilmu
olahraga sebagai kumpulan pengetahuan yang disusun dan
didasarkan pada pemahaman metodis tentang fenomena
olahraga. Informasi ini berasal dari metodologi penelitian ilmiah
dan bidang studi.
Fenomena yang paling tampak dalam objek formal ilmu
keolahragaan menurut Lutan dan Sumardianto (2000) adalah
gerak manusia, khususnya pembelajaran yang berbasis
keterampilan gerak. Gerak manusia dilakukan secara sadar dan
dengan tujuan, yang juga mencerminkan tingginya kreativitas
manusia. Oleh karena itu, orang harus menggerakkan diri
mereka secara sadar melalui pengalaman tubuh untuk mencapai
tujuan tertentu. Agar terciptanya ragam respon yang dapat
diinternalisasi dan memiliki makna yang beragam, lingkungan
tidak lepas dari terwujudnya keterampilan gerak. Hal ini
menyebabkan gerak manusia menjadi objek formal dalam ilmu
keolahragaan, membentuk fenomena sosio-bio-kultural sebagai
akibat dari berbagai aktivitas fisik yang terjadi di tengah
kehidupan sosial, yang diatur oleh nilai dan norma serta
berkaitan langsung dengan kemampuan biologi. Untuk

100
membuktikan otonomi ilmu keolahragaan sebagai bidang studi,
perlu dijelaskan seberapa baik ia dapat memenuhi persyaratan
atau kriteria ilmu yang mandiri. Ontologi, epistemologi, dan
aksiologi masing-masing ilmu akan dibahas dalam uraian.
Sebelum menjelaskan ketiga landasan tersebut, akan diberikan
definisi filosofi olahraga. Dalam esainya Philosophy of Sport,
Osterhoudt menegaskan bahwa studi filsafat olahraga berkaitan
dengan sifat olahraga dan bidang terkait lainnya (seperti
permainan) dan melihat masalah etika, metafisik, dan estetika
yang muncul dalam olahraga dan berhubungan dengan aktifitas
manusia berkaitan dengan aktivitas dan praktek gerak manusia
(Osterhoudt, 2000).

B. Fungsi Olahraga dalam Pendidikan


Pengertian pendidikan sebagaimana yang diberikan oleh
Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia)
adalah sebagai berikut: Pendidikan merupakan suatu kebutuhan
dalam kehidupan perkembangan anak, yang mengandung
pengertian bahwa pendidikan berfungsi untuk mengarahkan
seluruh kekuatan alam yang ada dalam diri anak. Anak-anak ini
sehingga mereka dapat mencapai tingkat keamanan dan
kebahagiaan tertinggi sebagai individu dan sebagai anggota
masyarakat. Pendidikan adalah upaya bersama untuk
memberikan kepada siswa arah, instruksi, dan/atau pelatihan
yang mereka butuhkan untuk berhasil dalam karir masa depan
mereka. Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
lingkungan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, dan akhlak mulia. Keterampilan yang
dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Meskipun
H. Horne menggambarkan penyesuaian yang lebih tinggi
sebagai proses yang berkesinambungan (abadi) bagi orang-
orang yang telah tumbuh secara intelektual, emosional, dan
spiritual, yang bebas, dan yang sadar akan Tuhan. Proses ini

101
terlihat dalam lingkungan intelektual, emosional, dan
interpersonal.
Karena sama-sama berkontribusi dalam pengembangan
sumber daya manusia (SDM), khususnya dalam arti holistik dan
kaitannya dengan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual,
dan kinestetik, maka olahraga dan pendidikan menjadi bahan
kajian yang signifikan seperti yang disebutkan di latar belakang
bahwa jika diterapkan dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat, olahraga memiliki nilai moral yang tinggi. Apa
yang sedang diteliti dalam konteks ini adalah bagaimana
olahraga mempengaruhi pendidikan dan bagaimana olahraga
berkontribusi pada pencapaian tujuan pendidikan. Selain itu,
perlu dipahami bahwa pendidikan tidak hanya menekankan
pada kemampuan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan
emosional (EQ), kecerdasan spiritual, dan kecerdasan kinestetik.
Hal ini perlu ditekankan, khususnya bagi bangsa Indonesia yang
sangat majemuk baik dari segi suku, agama, maupun budaya.
Pertama-tama kita harus mengkaji gagasan dan tujuan
pendidikan agar dapat melihat hubungannya dengan jelas. Bab
I Ketentuan Umum Pasal 1 UU RI Nomor 11 Tahun 2022
menyatakan sebagai berikut:
“Olahraga adalah kegiatan yang melibatkan pikiran, raga, dan jiwa
secara terintegrasi dan sistematis untuk mendorong, membina,
serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, sosial, dan budaya”.

Untuk lebih jelas terkait dengan kontribusi olahraga


terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional, dapat dilihat
dari skema transformasi dibawah ini:

102
Sumber buku“menelusuri dan menguak nilai-nilai luhur olahraga 2018.

Dari rencana transformasi dan kontribusi olahraga dalam


mencapai tujuan pendidikan tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa dengan nilai-nilai luhur yang terdapat
dalam olahraga, maka sudah selayaknya olahraga dijadikan
landasan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 20.
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Pendidikan Nasional,
khususnya: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. , sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Artinya, diperlukan suatu alat atau
formula yang tepat untuk menjalankan sistem ini hingga tujuan
pendidikan tercapai agar untuk mencapai apa yang telah
direncanakan dan apa tujuan pendidikan Dalam hal ini dapat
kita lihat bagaimana olahraga membantu tercapainya tujuan
penyelenggaraan pendidikan, maka penting bagi kita untuk
menjunjung tinggi dan melindungi nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam olahraga agar mewujudkan cita-cita pendidikan
untuk kemajuan bangsa dan negara dengan pendidikan yang
sehat dan berkualitas, baik akademik maupun non akademik .

103
Seorang sosiolog olahraga Jerman menegaskan bahwa jika
kita bertanya tentang mengapa orang terlibat dalam olahraga,
kita akan menemukan wahyu yang mengejutkan: motivasi
orang untuk berolahraga berbeda-beda karena mereka berasal
dari berbagai strata sosial. Konsekuensinya, seiring
berkembangnya alasan partisipasi masyarakat dalam olahraga,
demikian pula olahraga, berubah dan berkembang terus
menerus (Digel: 1983). Fakta yang diketahui bahwa ada banyak
motivasi untuk partisipasi masyarakat dalam olahraga, klaim
Knut Dietrich dan Ernst Dieter Rossman dalam Helmut Digel,
Lehren im Sport, Ein Handbuch für Sportlehrer (1983). Hal ini
disebabkan oleh perbedaan orientasi, tujuan, dan keinginan.
Ada kelompok orang yang berorientasi pada tujuan, ada yang
dimotivasi oleh ketegangan, sensasi, atau kegembiraan, dan ada
pula yang dimotivasi oleh faktor sosial. Ada juga orang yang
memiliki orientasi sosialisasi diri.
Olahraga adalah mikrokosmos kehidupan. Persaingan,
yaitu persaingan yang sehat, ada dalam olahraga. Aktor dalam
olahraga dididik dan dilatih untuk bersaing dalam batasan
aturan. Akan ada sanksi atau hukuman bagi yang melanggar
aturan. Ada nilai kerjasama dalam olahraga. Pendidikan tentang
nilai kerjasama dalam kehidupan sehari-hari sangat penting,
terutama mengingat keadaan saat ini. Tidak ada skill yang bisa
berfungsi dengan sendirinya. Tidak ada profesi yang dapat
berfungsi dalam masyarakat tanpa berkolaborasi dengan orang
lain dalam profesi itu. Tanpa klub atau manajemen untuk
mengawasi dan mendukungnya, bermain profesional akan
berhenti menjadi profesi yang layak. Jika tidak ada
pertandingan, tidak akan pernah ada karir sebagai wasit atau
juri. Prinsip kerja sama memperjelas bahwa orang bergantung
satu sama lain untuk bertahan hidup. Pemahaman seperti itu
juga memungkinkan seseorang untuk menempatkan orang lain
pada peran penting dalam kehidupannya. Olahraga juga
mengajarkan pemain bahwa untuk berhasil, mereka harus aktif,
bergerak dengan baik untuk posisinya, dan berusaha sebaik
mungkin. Kesimpulan dari hal ini adalah partisipasi dalam

104
olahraga mengajarkan seseorang untuk aktif dan produktif
dimanapun dia berada. Agar olahraga dapat dimainkan dengan
baik, aman, jujur, dan adil, terdapat pula aturan-aturan konkrit
yang mengatur bagaimana olahraga itu harus dimainkan.
Artinya, olahraga mengajarkan masyarakat secara keseluruhan
untuk terbiasa hidup dengan seperangkat aturan. Dalam
olahraga, posisi seorang pemain ditentukan oleh tingkat
keterampilan atau tingkat kompetisinya.
Nilai-nilai luhur dan universal yang terdapat dalam
olahraga antara lain kedisiplinan, kejujuran, sportivitas,
kerjasama, ketundukan dan ketaatan pada aturan, persahabatan,
dan interaksi sosial. Olahraga memiliki banyak potensi untuk
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan yang handal dan
efektif karena nilai-nilai luhur yang dijunjungnya. Potensi ini
perlu digali, dikembangkan, dan dikemas sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan sebagai alat pengajaran. Olahraga
merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan
dalam proses perkembangan manusia sehingga dapat
menjadikan dirinya sebagai penunjang fungsi hati, otak dan
indera. Domain kognitif, motorik, afektif, dan emosional
semuanya berperan dalam bagaimana manusia dibangun.
Domain-domain ini terlibat dalam interaksi dan saling
mempengaruhi ketika menunjukkan suatu perilaku atau
tindakan. Berbagai ranah tersebut harus dirangsang dan
diperlakukan secara seimbang agar pertumbuhan dan
perkembangan manusia dapat terjadi secara normal. Dalam
berolahraga, khususnya dalam olahraga, manusia harus
dipandang sebagai gabungan dari berbagai sistem, khususnya
sebagai sistem bio-psiko-sosio-kultural (Mutohir, 2002).
Olahraga berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat dengan
meningkatkan kesejahteraan mental dan fisik peserta. Olahraga
harus menjadi pilar keharmonisan dalam situasi seperti ini,
menyeimbangkan kehidupan yang sehat dan harmonis dengan
kehidupan sosial.

105
Dengan demikian, olahraga juga mengajarkan bahwa
penempatan seseorang pada suatu jabatan harus didasarkan
pada keterampilan dan kompetensinya baik dalam kehidupan
sosial maupun dunia kerja. Dengan cita-cita luhurnya, olahraga
bahkan dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan integratif,
yaitu dapat mengajarkan siswa tentang aspek kognitif, motorik,
afektif, dan emosional. Olahraga secara bersamaan dapat
mengembangkan kecerdasan kinestetik, kecerdasan sosial dan
emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan intelektual
seseorang. Semua orang mengenal dan dapat dengan mudah
menemukan nilai-nilai olahraga tersebut di atas dalam
kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bagaimana olahraga
sebenarnya mewujudkan kebajikan yang mendasar bagi
kemanusiaan dan kehidupan. Mencermati uraian di atas,
semakin jelas bahwa olahraga dapat dimanfaatkan sebagai alat
yang amanah dan berdaya guna dalam proses pembangunan
karakter bangsa.

C. Konsep Pendidikan Jasmani di Sekolah


Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional
menyebutkan pendidikan olahraga sebagai salah satu
komponen proses pendidikan yang berlangsung melalui
pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang
pendidikan. Sedangkan Undang-Undang Sisdiknas mengatur
bahwa pendidikan jasmani dan olahraga (PJO) yang bahan
kajiannya untuk membentuk watak peserta didik agar sehat
jasmani dan rohani serta menumbuhkan rasa sportifitas, harus
masuk dalam mata pelajaran dasar dan dasar. Kurikulum
pendidikan menengah. Selain itu, PJO ditetapkan sebagai salah
satu mata pelajaran di sekolah dengan nama Pendidikan Jasmani
Olahraga dan Kesehatan (PenJasOrKes = PJOK) sesuai dengan
peraturan Menteri Pendidikan Nasional (kurikulum 2006) dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (kurikulum 2013).
Menurut kurikulum 2006 dan 2013, PJOK merupakan komponen
pendidikan yang sangat penting secara keseluruhan dan
bertujuan untuk mempromosikan gaya hidup sehat dan

106
pengenalan lingkungan yang bersih melalui kegiatan fisik,
olahraga, dan kesehatan yang dipilih dengan cermat yang
direncanakan secara metodis untuk memenuhi tujuan
pendidikan nasional.
Dalam menginterpretasikan isi PJOK, pendidikan
nasional menggunakan tiga konsep utama: 1) PJOK adalah
pendidikan, 2) PJOK bertujuan untuk mengembangkan potensi
psikomotor-kognitif-afektif, dan 3) pembelajaran PJOK terjadi
melalui kegiatan jasmani olahraga kesehatan yang
diselenggarakan. Sebagai bagian dari pendidikan, PJOK
diselenggarakan dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri. , dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. Tercapainya tujuan kurikulum PJOK akan
menghasilkan terwujudnya tujuan pendidikan nasional
tersebut. Dengan kata lain, tujuan PJOK adalah tujuan utama
dari kurikulum PJOK dan berfungsi sebagai tujuan sementara
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Jika tujuan PJOK
tidak tercapai, tujuan pendidikan nasional juga tidak akan
terpengaruh. Gagasan ketiga menggambarkan perlunya
aktivitas fisik sebagai bagian dari proses pembelajaran PJOK.
Hal ini sejalan dengan temuan teori pendidikan jasmani yang
dikemukakan dalam buku David L. Gallahue Development
physical education for today’s children yang menyatakan bahwa
psikomotorik, kognitif, dan perilaku afektif merupakan aspek
perkembangan siswa yang harus dikembangkan dalam program
pendidikan jasmani, yaitu belajar bergerak dan belajar melalui
gerak. Pola gerak dasar (lokomotor, stabilitas, dan manipulatif)
dan kebugaran jasmani merupakan bagian dari belajar gerak
(dimensi psikomotor). Pesan kognitif dan afektif disampaikan
selama pembelajaran berbasis gerakan.
Standar nasional pendidikan harus menjadi pedoman
pelaksanaan PJOK di dalam kelas. Di Indonesia, ada 8 standar
yang dijadikan pedoman: (1) standar kompetensi lulusan, (2)

107
standar isi, (3) standar proses, (4) standar penilaian, (5) standar
guru dan tenaga kependidikan, (6) standar sarana dan
prasarana, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar pengelolaan.
Kedelapan standar ini (standar 1 sampai 5) adalah satu-satunya
yang melibatkan guru secara langsung. Dengan kata lain, jika
ingin meningkatkan kualitas PJOK, tingkatkan kompetensi para
guru. Menurut Permendiknas nomor 16 tahun 2007, ada empat
jenis kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional (tergantung bidang studi).
Kompetensi profesional guru PJOK ada sembilan, antara lain
kemampuan menjelaskan (1) filosofi pendidikan jasmani,
termasuk etika sebagai aturan dan profesi (2) sejarah pendidikan
jasmani (3) anatomi manusia (4) kinesiologi (5) fisiologi manusia
dan pengaruh kinerja latihan (6) psikologi (7) sosiologi (8) teori
perkembangan gerak (9) teori pembelajaran gerak. Kesembilan
kompetensi profesi tersebut pada hakekatnya merupakan
pondasi/pondasi keilmuan PJOK, yang proses
pembelajaran/penguasaannya telah dilalui di bangku kuliah
atau berbagai pelatihan/pendalaman materi sebagai guru PJOK,
sesuai dengan berbagai sumber pelatihan dan materi. Selain itu,
menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen, guru PJOK diwajibkan menguasai kurikulum yang
bersangkutan, yang menjadi pedoman bagi mereka dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendidik, antara lain mengajar,
mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, mengevaluasi,
dan menilai.
Perhatian dan pengetahuan ilmiah yang berkaitan dengan
studi PJOK itu sendiri diperlukan untuk prinsip-prinsip
sistematik dalam pembelajaran PJOK. Hasil penerapan prinsip
sistematis ini pada tingkat makro adalah adaptasi. Siswa yang
mengadaptasi dan menginternalisasikan pembelajaran PJOK
yang meliputi dimensi psikomotorik, kognitif, dan afektif, akan
menghasilkan siswa yang sehat, bugar, dan terampil, pemikir
cerdas-kreatif-kritis, dan berkarakter (berbudi pekerti/moral).
Sangat penting bahwa guru PJOK memilih dan memutuskan
bahan ajar. Perencanaan dan penyusunan rencana pelaksanaan

108
pembelajaran (RPP), pelaksanaan proses pembelajaran
(termasuk kebutuhan sarana prasarana), dan penilaian
semuanya akan dipengaruhi oleh kesalahan dalam memilih dan
menentukan materi pembelajaran. Memasuki dunia olahraga
prestasi di PJOK (olahraga pendidikan) merupakan peluang dan
tantangan terbesar yang memungkinkan terjadinya kesalahan.
Topik yang diangkat adalah pendidikan olahraga (PJOK),
namun olahraga prestasi cenderung mendominasi.
Tujuan pendidikan jasmani sudah tercakup dalam
pemaparan diatas yaitu memberikan kesempatan kepada anak
untuk mempelajari berbagai kegiatan yang membina sekaligus
mengembangkan potensi anak, baik dalam aspek fisik, mental,
social, emosional dan moral. Singkatnya, pendidikan jasmani
bertujuan untuk mengembangkan potensi setiap anak setinggi-
tingginya. Dalam bentuk bagan, secara sederhana tujuan penjas
meliputi tiga ranah (domain) sebagai satu kesatuan, sebagai
berikut:

Gambar 7. Cakupan Ranah Pendidikan Jasmani

8 Tujuan Pendidikan Jasmani tersebut di atas menjadi


pedoman bagi guru-guru pendidikan jasmani dalam
menjalankan tugasnya. Tujuan ini harus dipenuhi melalui
kegiatan pendidikan yang dipikirkan secara matang yang
diinformasikan oleh ilmu pendidikan. Oleh karena itu, hal yang
paling penting untuk dipahami oleh seorang guru pendidikan

109
jasmani adalah bahwa ia harus menganggap dirinya sebagai
seorang pendidik, bukan hanya sebagai pelatih atau perencana
kegiatan. Tujuan pembelajaran pendidikan jasmani meliputi
misi pendidikan jasmani dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Perkembangan pengetahuan atau sifat sosial
terjadi bukan hanya efek samping dari keterampilan gerak.
Tujuan ini harus dimasukkan ke dalam skenario perencanaan
dan instruksi. Tujuan pembelajaran untuk pengembangan ranah
psikomotor menempati posisi yang sama. Dalam situasi ini, guru
harus terbiasa mengajar anak-anak tentang apa yang akan
dipelajari berdasarkan pemahaman prinsip-prinsip yang
mendasarinya untuk mencapai tujuan tersebut. Interaksi yang
terjadi dalam adegan pendidikan dimaksudkan untuk
mengembangkan kesadaran emosional dan sosial anak dengan
berbagai cara. Akibatnya, anak akan tumbuh secara holistik,
mendukung perkembangan berbagai keterampilan.
Oleh karena itu konsep ruang lingkup olahraga harus
dipahami oleh para guru PJOK. Walaupun ketiga cabang
olahraga tersebut saling berhubungan, namun olahraga
pendidikan berbeda dengan olahraga prestasi dan olahraga
rekreasi. Fondasi yang kuat untuk memasuki olahraga prestasi
disiapkan melalui pendidikan olahraga (PJOK). Membangun
dan mengembangkan prestasi olahraga secara bertahap dan
berkesinambungan dengan memperkuat pondasi. Akan sulit
untuk maju ke tingkat yang lebih tinggi, seperti nasional atau
bahkan internasional, jika kesuksesan awal dalam olahraga
dibuat tanpa dasar yang kuat. Diharapkan dengan memahami
dan menguasai pengertian keolahragaan, kita semua khususnya
guru PJOK akan dibimbing oleh pemahaman dan penguasaan
keilmuan (PJOK), kemampuan membaca dan memahami
kebijakan pemerintah (UU, Peraturan Menteri), serta sebagai
kapasitas dan keterampilan untuk melaksanakan tugasnya
dalam mempraktekkan kebijakan. Berdasarkan sains. Ketika ia
terlibat dalam kegiatan intra dan ekstrakurikuler, ia berstatus
guru. Namun, ketika dia terlibat dalam kegiatan yang
berhubungan dengan minat dan bakat (terutama yang

110
dimaksudkan untuk mendorong prestasi), dia berstatus sebagai
pelatih olahraga. Kedua kompetensi profesional sebagai pelatih
olahraga dan kompetensi profesional sebagai guru PJOK
diperlukan. Kedua kompetensi tersebut memiliki tuntutan yang
sangat berbeda pada penguasaan, kewajiban, dan tujuannya.
Menurut John Dewey, sekolah bukanlah persiapan untuk
hidup, tetapi hidup itu sendiri (Zamroni, 2000: 103) menjadi
inspirasi tulisan ini. Alih-alih berfungsi sebagai tempat untuk
mempersiapkan siswa, sekolah adalah tempat mereka menjalani
kehidupan nyata mereka. Gagasan bahwa sekolah harus
didirikan sedemikian rupa sehingga secara akurat
mencerminkan kehidupan nyata para siswa itu sendiri
ditekankan oleh pernyataan tersebut. Akibatnya, dalam proses
pendidikan di sekolah (student-based learning), siswa berperan
sebagai mata pelajaran. Karena itu, sekolah harus fokus pada
bagaimana siswa memainkan peran yang lebih penting dalam
pendidikan daripada guru karena pengalaman kehidupan nyata
siswa cenderung lebih terbatas. Pendidikan di sekolah
menyerupai miniatur kehidupan masyarakat dunia nyata.
Ketika siswa pertama kali mulai bersekolah, mereka
seharusnya tidak merasa seolah-olah sedang memulai
kehidupan baru yang berbeda dari apa yang sebenarnya
dibutuhkan oleh masyarakat. Siswa mempelajari hal-hal yang
dapat mereka gunakan di dunia nyata di sekolah, bukan hanya
hal-hal yang diajarkan di kelas dan tidak memiliki penerapan
praktis di luarnya. Anggapan bahwa pendidikan merupakan
miniatur dari kegiatan sehari-hari masyarakat menyebabkan
lebih ditekankannya pengetahuan praktis dalam pelajaran yang
diajarkan di sekolah.
Komponen penting dari semua pendidikan adalah
pendidikan jasmani. Undang-undang yang mengatur sistem
pendidikan nasional di Republik ini menetapkan bahwa
pendidikan jasmani dan olahraga harus diajarkan dalam
kurikulum sekolah dasar dan menengah. Kemajuan pendidikan
jasmani dalam pendidikan nasional baru dimulai dengan
pengakuan keberadaannya dalam pendidikan jasmani (dan

111
olahraga). Guru pendidikan jasmani menghadapi tantangan
dalam menunjukkan keterlibatan mereka dalam pendidikan
nasional. Mata pelajaran unik di sekolah adalah pendidikan
jasmani. Ditekankan sebagai komponen penting pendidikan
secara keseluruhan, namun pelaksanaannya masih jauh dari
harapan. Ada celah dalam pernyataan tersebut karena
menggunakan teori sebagai penutup tetapi tidak sepenuhnya
dibandingkan dengan implementasi (praktek). Jika
dibandingkan dengan mata pelajaran lain, pendidikan jasmani
dipandang sebagai pelajaran yang menekankan pada jasmani,
sehingga identik dengan penggunaan otot tanpa berpikir atau
merasakan (yaitu tanpa menggunakan otak atau hati). Mereka
mengatakan (yang tidak paham pendidikan jasmani) bahwa
pendidikan jasmani hanya bersifat jasmani (motorik) saja tanpa
mempertimbangkan aspek kognisi dan afeksi, apalagi
dibandingkan dengan mata pelajaran Ujian Nasional.
Pemerintah Indonesia melarang siapapun untuk menghapus
pendidikan jasmani dari kurikulum, sehingga pelajaran harus
dilanjutkan.
Dalam proses pembelajaran, pendidikan jasmani juga
membutuhkan guru dan sarana prasarana. Dari sisi
infrastruktur terlihat jelas bagaimana sekolah memenuhi syarat
penyelenggaraan pendidikan jasmani. Banyak dari kita
menjumpai sekolah tanpa area terbuka untuk bermain dan
peralatan yang digunakan. Masih ada guru kelas atau guru
agama yang diperbantukan yang mengajar pendidikan jasmani;
namun, mereka bukanlah guru yang dilatih khusus untuk
mengajarkan pembelajaran pendidikan jasmani. Tetapi karena
pendidikan jasmani masih diajarkan di sekolah, itu
menimbulkan pertanyaan mengapa mereka tidak dapat
menghapusnya sama sekali tanpa mengorbankan guru dan staf
pendukung.

112
D. Olahraga dan Keseimbangan Sosial
Hal terbaik yang ditinggalkan olahraga adalah
persahabatan, komunikasi, interaksi dan integrasi sosial, dan
rasa kebersamaan. Di tengah masyarakat yang majemuk dan
kehidupan sosial yang semakin aktif, nilai-nilai luhur ini
memegang peranan penting. Konflik dan ketegangan sosial
dapat muncul di tengah masyarakat yang majemuk dan
kehidupan sosial yang terus berkembang. Antar suku, suku, dan
kelompok sosial tertentu semuanya dapat mengalami konflik
dan ketegangan sosial. Konflik atau ketegangan sosial dalam
masyarakat dapat dihindari atau diminimalisir (dikurangi)
dengan fungsi penyeimbang.
Olahraga sendiri, menurut Lutan dan Sumardianto (2000),
pada hakekatnya adalah netral; namun, masyarakat membentuk
aktivitas olahraga dengan memberi makna dan
menempatkannya pada penggunaan khusus. Olahraga kadang-
kadang disebut sebagai mewujudkan jalur persaingan dalam
kehidupan, dan mengembangkan pemahaman tentang olahraga
di masyarakat dapat menjadi tantangan tanpa memperhatikan
subjek persaingan. Manusia terkadang lupa bahwa persaingan
ada dalam berbagai bentuk, rupa, dan hubungan interpersonal,
serta berbagai tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada
tingkat kepentingan dan kepedulian terhadap persaingan
tersebut. Olahraga sekarang mencakup berbagai tingkat
persaingan dengan berbagai kemungkinan hasil. Persaingan,
menurut Luschen, dapat dipahami baik sebagai hubungan
interpersonal maupun motivasi dan orientasi seseorang. Untuk
memahami bagaimana persaingan dalam acara olahraga
beroperasi, seseorang harus memiliki pemahaman ini (Coakley,
1978).
Orientasi kooperatif dicirikan oleh kecenderungan untuk
mendefinisikan penghargaan dalam tugas-tugas yang
memungkinkan penerapan universal. Kecenderungan untuk
melihat imbalan dalam situasi sebagai independen dari sikap
peserta lain adalah apa yang mendefinisikan orientasi tindakan
paralel. Penting untuk dipahami bahwa dinamika situasi dan

113
setiap orang yang terlibat, termasuk struktur situasi,
membentuk semua proses sosial. Peserta dalam olahraga harus
menyeimbangkan kerja tim dan persaingan. Olahraga adalah
bagian penting dari proses kehidupan. Orang secara keliru
percaya bahwa olahraga itu penting sebagai pelatihan
partisipatif dan juga sangat mirip dengan kehidupan sehari-hari.
Faktanya, banyak program olahraga remaja yang selaras dengan
olahraga sekolah, yang dapat menjadi pengalaman yang
membantu mereka memahami cara kerja dunia nyata. Seseorang
dapat memperoleh peluang dan keuntungan untuk aktualisasi
diri dalam konteks masyarakat melalui olahraga.
Sementara ini berlangsung, kita dapat melihat dari sisi
lain bahwa modernisasi sedang berjalan. Profesionalisasi dan
spesialisasi adalah kebutuhan di dunia yang maju secara
teknologi di abad kedua puluh satu. Karena manusia digantikan
oleh mesin atau teknologi lain untuk tugas yang pernah
dilakukan oleh manusia, interaksi secara bertahap menurun.
Persaingan global di tempat kerja semakin meningkat. Mirip
dengan ini, tuntutan dan spesialisasi profesional tumbuh dan
tunduk pada peraturan yang ketat. Individualisme adalah tema
umum dalam kehidupan. Karena keadaan interaksi semakin
terbatas, interaksi sosial mulai mengendur. Interaksi sangat
penting bagi manusia karena mereka adalah makhluk sosial.
Waktu dan ruang diperlukan untuk interaksi. Efek selanjutnya
adalah peningkatan bertahap dalam tingkat stres. Dalam
keadaan ini, orang membutuhkan tempat untuk melakukan
aktivitas, melepaskan ketegangan, dan mengurangi stres. Di sini,
pentingnya olahraga sebagai fungsi keseimbangan meningkat
karena tidak hanya membantu menghilangkan kebosanan,
ketegangan, dan stres, tetapi juga memiliki efek positif yang
signifikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan interaksi
sosial.
Momen unik yang terjadi setelah final pencak silat Asian
Games 2018 menjadi gambaran utama bagaimana olahraga
dapat berperan sebagai stabilisator sosial. Pesilat Hanifan
Yudani Kusumah yang keluar sebagai juara dipeluk erat

114
Presiden RI Joko Widodo dan Ketua Umum Ikatan Pencak Silat
Seluruh Indonesia (IPSI), Prabowo Subianto. Hanifan Yudani
Kusumah, petarung Indonesia, meraih medali emas usai
mengalahkan Nguyen Thai Linh, petarung Vietnam, untuk
menciptakan momen tersebut. Saat Hanifan sedang
merayakannya, ia mendatangi area tempat duduk VVIP dan
serentak memeluk Jokowi dan Prabowo sambil membawa
bendera Indonesia. Kejadian ini disambut tepuk tangan meriah
di venue. Ini jelas menyampaikan gagasan bahwa olahraga
menyatukan orang. Karena situasi politik di tanah air yang
memanas antara pendukung Jokowi dan Prabowo menjelang
pemilihan presiden 2019.

Sumber Nasional Tempo.co

Selain itu, kita bisa menyaksikan pertandingan timnas


Indonesia secara langsung di televisi atau bahkan langsung di
stadion yang menjadi tuan rumah pertandingan. Jutaan orang
menyaksikan, mendoakan, dan mendukung timnas Indonesia
saat bertanding. Padahal, meski bangsa kita beragam baik dari
segi ras, suku, jenis kelamin, bahkan budaya dan budaya, kita
seolah bersatu dalam mendukung timnas. Tak jarang, kita bisa
menyaksikan momen para suporter timnas saling berpelukan
menyaksikan timnya mencetak gol dan kemenangan. Tentu saja,
kita dapat menarik kesimpulan bahwa olahraga dapat menjadi
alat yang ideal untuk mengurangi atau bahkan mencegah

115
perpecahan dan bahkan berfungsi sebagai penyeimbang
kehidupan sosial dari gambaran kedua fenomena tersebut.

Sumber: Tribun news.com

Tujuan akhir pendidikan jasmani dan olahraga, menurut


De Coubertin (orang Prancis yang memulai kebangkitan
olimpiade modern), mengatakan pendidikan jasmani sebagai
sarana pengembangan karakter dan untuk mendorong
pengembangan kebajikan moral (Lutan, 2001). Kelas olahraga
dan pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan bagian dari
pendidikan umum. Seperti yang sering dijelaskan oleh UNESCO
(United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization),
misalnya, pendidikan memiliki arti yang lebih luas dalam
konteks ini dari sekedar persekolahan. Pendidikan mencakup
semua kegiatan yang mempengaruhi pembentukan dan
perkembangan kepribadian, termasuk modifikasi perilaku.
Kriteria fisik yang menekankan keterampilan, ketangkasan, dan
kinerja "kemampuan" karenanya selalu digabungkan dengan
komponen sosial dalam pendidikan jasmani dan olahraga.
Secara umum, Rijsdorp menekankan ciri fenomena olahraga
sebagai gerak gerak dan perilaku gerak manusia dalam konteks
agogik (perpaduan antara pedagogi dan andragogi dalam
bentuk pergaulan pendidikan) (Lutan, 2001).

116
Olahraga dapat menjadi alat untuk mempromosikan
perilaku sosial. Oleh karena itu, olahraga dapat dijadikan
sebagai sumber informasi dan rujukan bagi para pemain,
pelatih, dan perwakilan baik lembaga pemerintah maupun
swasta. Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan
ekspresi yang unik untuk anggota budaya tertentu. Olahraga
berfungsi sebagai jembatan antara nilai dan norma sosial. Nilai
adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan suatu
permainan yang dapat diterima dengan baik di dalamnya dan
mengacu pada aturan main dalam olahraga. Di sisi lain norma
mengacu pada nilai-nilai yang dianggap penting. Misalnya,
orang harus bermain dengan standar permainan yang baik
karena dengan begitu, permainan bisa bermakna dan
menyenangkan bagi semua orang. Jika tidak ada mekanisme
tambahan untuk membangun dan mempertahankan kohesi,
solidaritas, dan keteraturan, internalisasi nilai dan regulasi
emosional saja tidak menjamin bahwa anggota sistem sosial
dapat menciptakan hubungan antarpribadi yang diperlukan
untuk mengoordinasikan aktivitas.
Olahraga dapat dianggap berfungsi sebagai alat integrasi
dalam situasi ini karena dirancang untuk memperhitungkan
subsistem sosial seperti perbedaan kelas, pencapaian
pendidikan, dan masyarakat. Para penggemar olahraga juga
memperjelas hal ini. Olahraga berfungsi sebagai alat untuk
mengintegrasikan peserta serta mereka yang diwakili dalam
sistem sosial yang disebutkan di atas, yang disebutkan di atas,
dan yang disebutkan di atas, yang disebutkan di atas, dan yang
disebutkan di atas, masing-masing. Interaksi semacam itu dapat
berfungsi sebagai titik awal pembentukan ikatan sosial tidak
resmi yang mendukung hubungan resmi dalam struktur
organisasi kelompok.

E. Fungsi Olahraga dalam Kemasyarakatan


Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan status
pengawasan kepada Komite Olimpiade Internasional (IOC)
dalam melaksanakan sidang umum. Untuk membantu IOC

117
bekerja menuju pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium
PBB, keputusan ini dibuat. IOC dan mitranya telah melakukan
sejumlah prakarsa di seluruh dunia dengan menggunakan
olahraga sebagai media di berbagai bidang seperti bantuan
kemanusiaan, misi perdamaian, pendidikan, kesetaraan gender,
isu lingkungan, dan perang melawan HIV/AIDS. Olahraga
berkontribusi untuk mencegah konflik sosial, meskipun khusus
untuk isu perdamaian dunia. Olahraga adalah alat yang ampuh
untuk menjaga perdamaian di wilayah pascakonflik, menurut
Ban Ki Moon, Sekretaris Jenderal PBB saat itu, yang menekankan
hal tersebut. Misalnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengimbau
setiap warga negara pascakonflik untuk menyelenggarakan
kompetisi olahraga beregu, yang bisa melibatkan sepak bola,
bola voli, atau olahraga lainnya.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan semua ingatan
yang disesali, terutama mentalitas orang-orang yang terkena
dampak konflik perang, dan untuk membangun interaksi sosial
seperti kerja sama dan komunikasi. Di antara banyak program
olahraga strategis lainnya, inilah salah satu tujuan yang dimotori
oleh UNOSDP (Perserikatan Pembangunan Olahraga dan
Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa) (Yosua Praditya,
2016). Negara secara aktif mempromosikan olahraga dan
menyebarkan visi kemanusiaan bersama dalam konteks ini, di
mana PBB ingin menggunakan olahraga sebagai alat untuk
pembangunan dan perdamaian internasional. Dalam
perkumpulan tersebut, ditekankan pada kegiatan olah raga yang
menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas. Olahraga dipandang
penting sebagai magnet untuk menyatukan orang-orang dari
berbagai negara dalam jumlah besar. Dalam forum
internasional, olahraga berfungsi sebagai duta negara dan
digunakan untuk perayaan diplomasi pencapaian perdamaian
dunia. Olahraga memiliki arti yang sangat jelas yang meliputi:.
1. Olah hati, untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan,
meningkatkan akhlak mulia, budi pekerti, atau moral,
membentuk kepribadian unggul, membangun
kepemimpinan dan entrepreneurship.

118
2. Olah pikir untuk membangun kompetensi dan kemandirian
ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Olah rasa untuk meningkatkan sensitifitas, daya apresiasi,
daya kreasi, serta daya ekspresi seni dan budaya.
4. Olah raga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, daya
tahan, dan kesiapan fisik serta ketrampilan kinestetis.

Gambar 8. Desain Promosi Olahraga


Sumber: Buku Olahraga Untuk Indonesia (2018)

IOC memiliki hak untuk berpartisipasi dalam semua


Sidang Umum PBB dalam arti yang lebih luas sebagai pengawas
yang bertugas memajukan olahraga di berbagai tingkatan.
Menurut Presiden IOC Jacques Rogge, ini adalah pengakuan
luar biasa atas peran olahraga dalam mempromosikan
perdamaian dunia. “Tidak ada keraguan bahwa filosofi PBB dan
nilai-nilai Olimpiade sejalan. Keputusan yang dibuat hari ini
meningkatkan kemitraan antara IOC dan PBB, lanjutnya. Untuk
membantu kaum muda dan komunitasnya, IOC telah bekerja
sama dengan PBB melalui anak perusahaannya dan asosiasi
lainnya di seluruh dunia. "Olahraga memiliki potensi untuk

119
memengaruhi perubahan global. Kekuatan olahraga untuk
memotivasi. Tidak ada aktivitas lain yang memiliki kemampuan
untuk menyatukan orang seperti olahraga. Bagian pidato Nelson
Mandela ini, yang dia sampaikan dalam pidatonya pada malam
Laureus Penghargaan Olahraga tahun 2000, dapat ditemukan
dalam pidatonya. Mandela adalah sosok legendaris di Afrika
Selatan. Pada saat itu, Mandela ingin menegaskan bahwa
olahraga dapat menyatukan orang terlepas dari perbedaan
mereka dan juga dapat digunakan untuk memerangi
diskriminasi, yang mana melemahkan fondasi kehidupan sosial.
Ada sejarah panjang olahraga yang menyatukan orang.
Sebanyak 14 negara berhasil berkumpul di satu lokasi dan
periode waktu untuk Olimpiade pertama yang berlangsung
pada tahun 1896. Olimpiade didirikan dengan prinsip
menyatukan orang melalui olahraga. Ketika Olimpiade
diadakan pada tahun 1920, setelah Perang Dunia I, olahraga
tercatat sebagai sarana untuk mempromosikan perdamaian.
Keadaan serupa terjadi dengan Olimpiade pada tahun 1948
setelah Perang Dunia II. Di medan perang, negara-negara yang
sebelumnya saling tembak kini bisa berdiri berdampingan dan
mengibarkan bendera di lokasi yang sama. Pada "Gencatan
Senjata Natal", atau gencatan senjata Malam Natal, pada tahun
1914, di tengah Perang Dunia I, kedua kubu tentara Jerman dan
Inggris dapat meletakkan senjata mereka dan bermain sepak
bola bersama. Mirip dengan bagaimana Didier Drogba
membantu Pantai Gading lolos ke Piala Dunia 2006, dia berperan
penting dalam mengakhiri perang saudara di negara itu.
Olahraga berfungsi sebagai platform untuk mengibarkan
bendera nasional hari ini. Jadi, bukannya unggul melalui
olahraga, bangsa-bangsa dipertemukan. Bahkan sebelum
kemerdekaan, olahraga sudah didokumentasikan sebagai sarana
untuk membina kohesi bangsa. Pendirian PSSI pada 19 April
1930 menjadi buktinya. Anggota pendiri yang berasal dari
berbagai penjuru Indonesia bersumpah untuk menjunjung
tinggi tujuan mempromosikan persatuan melalui sepak bola.
Humanisme dalam olahraga bertahan bahkan beberapa dekade

120
kemudian. Ngurah Nanak, Yabes Roni, dan Miftahul Hamdi,
tiga pemain Bali United merayakan gol di tahun 2017 dengan
agama masing-masing.

Gambar 9. Selebrasi lintas Agama (Humanisme) oleh Pemain


Bali United
Sumber: BBC

Olahraga merupakan proses penting dalam proses


kehidupan. Orang percaya bahwa pelatihan berbasis partisipasi
dalam olahraga itu penting dan tidak hanya terkait erat dengan
kehidupan sehari-hari. Faktanya, banyak program olahraga
remaja yang selaras dengan olahraga sekolah, yang dapat
menjadi pengalaman yang membantu mereka memahami cara
kerja dunia nyata. Seseorang dapat memperoleh manfaat dan
menemukan peluang melalui olahraga untuk menjadi diri
mereka yang seharusnya di dunia. Olahraga jika disajikan
dengan cara yang benar, dapat menjadi wadah berkumpulnya
generasi, suku bangsa, wilayah geografis, dan suku bangsa,
memfasilitasi dan mendorong interaksi, komunikasi, dan
integrasi. Nilai-nilai positif yang penting untuk membangun
masyarakat dapat ditemukan dalam olahraga. Untuk mencegah
konflik dan ketegangan sosial serta untuk menumbuhkan rasa
kebersamaan dan solidaritas, sangat penting untuk membangun

121
komunikasi, interaksi, dan integrasi. mengatasi pengucilan
sosial melalui olahraga adalah hal lain.
Menurut artikel tahun Abi Ichsan Cevy dan Ali
Noorzaman (2021) berjudul Peran Olahraga Sebagai Alat
Diplomasi Penyelesaian Konflik di Semenanjung Korea Tahun
2018, olahraga dapat dijadikan sebagai alat diplomasi untuk
meredam ketegangan antara kedua negara dan keparahan
konflik Semenanjung Korea pada tahun 2018. Dalam rangka
mempromosikan peluang reunifikasi Semenanjung Korea,
artikel ini berupaya mendeskripsikan dan menganalisis peran
olahraga, khususnya Olimpiade yang diselenggarakan oleh
Komite Olahraga Internasional. Di sisi lain, Presiden Korea
Selatan Moon Jae In sangat mendorong Kim Jong Un untuk
menghadiri Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang.
Teori diplomasi publik atau diplomasi olahraga digunakan
untuk meneliti dan menganalisis sejauh mana olahraga efektif
dalam menyelesaikan konflik di semenanjung Korea. Karena
situasi semenanjung saat ini tidak sepenuhnya mencerminkan
cita-cita reunifikasi kedua negara, maka teori diplomasi publik
dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mendukung berkurangnya intensitas perang dingin di
semenanjung Korea. Merupakan faktor yang berkontribusi
bahwa penggunaan olahraga sebagai alat diplomasi publik telah
memfasilitasi peluang penyelesaian konflik yang dapat
mengarah pada kesepakatan damai antara kedua pihak dan
akhirnya reunifikasi.
Selain itu, Sanaa Ali Ahmed Alrashid menulis tentang
"Manajemen Konflik di Zona Ketegangan Etnis: Kontribusi
Olahraga dalam Koeksistensi dan Inklusi Keragaman
Kewarganegaraan: Studi Kasus di Alexandria, Irak dalam
artikelnya yang diterbitkan pada tahun 2020. Temuan analisis
tersebut menunjukkan bahwa olahraga dapat membantu
mengurangi ketegangan rasial dengan mempromosikan resolusi
konflik yang efektif dan strategi penyelesaian, penyembuhan
trauma, dan penggunaan intervensi konflik penting yang dapat
menghentikan dan mengubah kekerasan. Temuan penelitian ini

122
membantu menentukan peran alat manajemen konflik olahraga
dalam mendorong perkembangan masyarakat yang damai dan
langgeng dan mengatasi masalah terkini di bidang ketegangan
rasial, yang sering digunakan secara bermanfaat untuk
mendorong kesopanan dan keragaman di antara warga negara.
Pembuat kebijakan, organisasi internasional, dan prakarsa
masyarakat sipil harus bekerja sama secara erat untuk
mengubah strategi manajemen konflik. Menjembatani
kesenjangan antara pembuatan kebijakan dan realitas di
lapangan serta menampilkan budaya olahraga sebagai
komponen manajemen konflik diperlukan untuk
menghubungkan olahraga dengan agenda pembangunan
perdamaian.
Olahraga adalah alat yang sangat ampuh untuk mobilisasi
massa dan penggalangan dana. Dalam pengertian ini, olahraga
memiliki potensi untuk berfungsi sebagai wahana sosialisasi dan
komunikasi berbagai isu yang berkaitan dengan masalah
masyarakat. Saat ini olahraga berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan dalam masyarakat modern. Olahraga dapat
membantu membawa perubahan sikap dan orientasi yang
konsisten dengan perubahan tersebut. Aktor olahraga
menekankan keadilan dan kesetaraan dalam pengaturan ini,
sementara di pengaturan lain mereka lebih menekankan
keterampilan pencapaian. Berdasarkan pemaparan di atas,
tampak bahwa olahraga telah berkembang menjadi komitmen
bersama yang dianggap sebagai salah satu alat untuk
mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik di masa depan.
Ingatlah selalu bahwa masa depan adalah sekarang.
Partisipasi olahraga bertujuan untuk menggugah dan
menggerakkan masyarakat agar masyarakat lebih memahami
dan merasakan secara langsung hakikat dan manfaat olahraga
sebagai kebutuhan hidup, khususnya olahraga yang 6M
(Mudah, Murah, Menarik, Meriah, Bermanfaat, dan Masif).
Sehubungan dengan itu, penting untuk memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
melakukan kegiatan olahraga yang didukung oleh proses

123
pemahaman, penyadaran, dan penghayatan terhadap makna,
fungsi, manfaat, dan khususnya nilai-nilai olahraga agar untuk
mengembangkan moral yang tinggi dalam kehidupan manusia.
Olahraga adalah alat untuk mendorong perubahan sosial dan
budaya. Olah raga diisi oleh individu-individu yang telah
mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan manusia, menghargai
sesama, dan fair play. Fair play dikatakan sebagai dasar olahraga
dalam pernyataan singkatnya (Ditjen Olahraga dan Pemuda,
1972). Dengan kata lain, fair play juga disebut sebagai esensi
olahraga. Adanya regulasi keolahragaan yang menumbuhkan
jiwa sportifitas dan fair play menjadi hakekatnya secara khusus.
Olahraga memang memiliki unsur kompetitif bagi mereka, yang
mana artinya selain mengasah keterampilan dan
mengembangkannya, juga melatih cara mengecoh dan
mengungguli lawan.
Ini lebih lanjut menyiratkan bahwa persimpangan penting
olahraga dan eksklusi sosial dalam kebijakan publik
mengungkapkan tiga tema utama: akses ke olahraga,
lingkungan olahraga yang inklusif, dan penggunaan olahraga
sebagai alat untuk mencapai tujuan kebijakan sosial. Dengan
membina budaya olahraga yang aman, ramah, dan inklusif,
kebijakan dan program yang ditujukan untuk membina
lingkungan olahraga inklusif berupaya meningkatkan kualitas
pengalaman yang diperoleh melalui partisipasi dan kegiatan
olahraga. Meskipun ada korelasi antara kebijakan ini dan yang
berkaitan dengan akses, kebijakan pada tema kedua berbeda
karena lebih menekankan pada peningkatan kualitas
pengalaman olahraga melalui inklusivitas daripada peningkatan
tingkat partisipasi atau jumlah keanggotaan. Misalnya, mereka
menawarkan panduan kebijakan tentang keselamatan,
pencegahan cedera, perlindungan anak, dan pencegahan
kekerasan berbasis gender. Terakhir, eksklusi sosial dalam
masyarakat secara keseluruhan disebabkan oleh isu-isu yang
diangkat dalam kebijakan dan program yang menekankan
penggunaan olahraga sebagai wahana untuk tujuan kebijakan

124
sosial, atau setidaknya untuk meringankan sebagian dari
gejalanya.

F. Fungsi Olahraga dalam Pelestarian dan Aktualisasi Budaya


Informasi sekarang bergerak dengan kecepatan yang
sangat cepat, dapat membawa sejumlah besar data, dan
melakukannya di area yang sangat luas berkat kemajuan
teknologi informasi. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi
transformasi ide, pemikiran, gagasan, bahkan ideologi dan
budaya secara simultan, yang berfungsi sebagai katalis atau
pendorong munculnya ide, pemikiran, dan gagasan baru dari
satu belahan ke belahan lainnya. Globalisasi seperti yang kita
kenal sekarang muncul sebagai akibat dari interaksi masyarakat
dunia yang berlangsung begitu cepat.
Dunia olahraga juga mengalami perubahan tersebut
dimana olahraga telah mendarah daging dalam masyarakat
luas. Olahraga telah menyatu dengan budaya. Bagi sebagian
orang, berolahraga secara profesional dan sehari-hari sudah
menjadi gaya hidup. Dari menjadi kebutuhan sekunder,
olahraga menjadi kebutuhan primer. Statistik menunjukkan
bahwa jutaan, bahkan ratusan ribu orang berolahraga setiap hari
di seluruh dunia. Semua kelompok umur telah dipengaruhi oleh
populasi pelaku olahraga. Politik, ekonomi, dan pariwisata
semuanya dipengaruhi oleh olahraga. Efek dari pendidikan
yang lebih baik dan ekonomi lokal terkait erat dengan keadaan
seperti itu. Perkembangan dan perluasan pendidikan telah
memperluas cara pandang masyarakat terhadap manfaat dan
arti penting olahraga baik bagi individu maupun masyarakat.
Perkembangan olahraga tersebut di atas telah menimbulkan
pergeseran paradigma mengenai tumbuh dan berkembangnya
olahraga.
Olahraga bukan lagi sekedar cara untuk tetap sehat.
Olahraga tidak lagi hanya berfungsi sebagai wadah
pengembangan budaya dan pribadi. Olahraga tidak lagi hanya
sarana pengajaran. Bagi negara-negara di mana ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan keunggulannya,

125
olahraga telah dimasukkan sebagai sumber kekuatan ekonomi.
Di antara negara-negara yang telah mengubah cara berpikir
mereka tentang pertumbuhan dan perkembangan olahraga
adalah Amerika Serikat (AS), Cina, Inggris, Prancis, Jerman, dan
Korea Selatan. Mereka telah mengubah cara berpikir tentang
pembangunan olahraga dan kekuatan ekonomi.
Olahraga telah berasimilasi dengan masyarakat global
dan berkembang menjadi budaya dan profesi. Dari menjadi
kebutuhan sekunder, olahraga menjadi kebutuhan primer.
Jumlah atlet telah tumbuh di semua kelompok umur. Politik,
ekonomi, dan pariwisata semuanya dipengaruhi oleh olahraga.
Efek perbaikan dan peningkatan pendidikan ekonomi
masyarakat tidak dapat dipisahkan dari situasi seperti itu.
Perluasan dan peningkatan pendidikan telah memperluas
perspektif masyarakat tentang manfaat dan pentingnya olahraga
baik bagi individu maupun masyarakat. Ekonomi lokal tumbuh,
yang meningkatkan daya beli masyarakat dan kemampuan
membayar untuk peningkatan pilihan dan permintaan barang
olahraga. Perkembangan ini dipercepat oleh peran media masa,
khususnya media elektronik. Berbagai informasi terkait olahraga
telah dimobilisasi dan disebarluaskan oleh media masa.
Kita dihadapkan pada dunia yang bergantung pada
konten teknologi saat kita pergi abad ke-20 dan memasuki abad
ke-21. Wilayah yang sangat luas dipengaruhi oleh arus informasi
dan transformasi budaya yang terjadi begitu cepat. Informasi
menyebar dalam berbagai dimensi dan kepentingan. Sama
berlaku untuk budaya. Fakta menunjukkan bahwa mengubah
perilaku juga merupakan proses yang sederhana. Keadaan
seperti itu menjadi peringatan bagi masyarakat internasional
bahwa suatu kebudayaan dapat merosot akibat disingkirkan
oleh budaya lain atau berbeda. Di sisi lain, realitas juga
menunjukkan bagaimana budaya baru bisa muncul dan tumbuh
di tengah masyarakat. Mengingat keadaan ini, menjadi jelas
bahwa olahraga berperan penting dalam memelihara dan
memajukan budaya. Olahraga seperti Pencak Silat, Sepak
Takraw, layar, dayung, sumo, kano, kayak, lompat batu (di

126
Pulau Nias), panahan (dengan panah), dan masih banyak lagi
adalah contoh bagaimana olahraga yang berbeda lahir dari
budaya atau akar budaya suatu masyarakat sebagai bagian dari
fungsi pelestarian. Olahraga ini adalah divisi kompetisi yang
berkisar dari tingkat regional hingga internasional. Organisasi
untuk olahraga ini berkisar dari tingkat regional hingga
internasional.
Dengan cara ini, budaya suatu daerah dapat bertahan dari
pengaruh globalisasi. Di sinilah olahraga berfungsi sebagai alat
pelestarian budaya. Sementara itu, dari sisi lain, pertandingan
atau perlombaan yang diselenggarakan dalam berbagai bentuk
event, baik di tingkat regional maupun internasional,
merupakan kegiatan atau wadah sosialisasi olahraga yang pada
hakekatnya merupakan dakwah budaya kepada masyarakat
global. Sosialisasi ini dapat terjadi dengan cepat dan menyebar
ke berbagai belahan dunia dengan bantuan media massa dalam
skala lokal maupun global, baik cetak maupun elektronik yang
didukung oleh perkembangan teknologi di bidang komunikasi
dan informasi. Suatu hal yang luar biasa dan tanpa disadari,
perlombaan atau perlombaan tersebut diselenggarakan dengan
baik, bahkan menjadi kalender tetap, mulai dari tingkat
daerah/lokal hingga internasional, seperti Pekan Olahraga
Daerah (PORDA), Pekan Olahraga Nasional (PON), Sea Games,
Asean Games dan Olympic Games, selain kejuaraan dunia yang
diselenggarakan oleh masing-masing cabang. Hal ini
menunjukkan bahwa upaya pelestarian dan penyebaran budaya
berlangsung secara terorganisir dan menurut penanggalan yang
telah ditetapkan, mulai dari tingkat lokal hingga ke tingkat
global. Akibatnya, budaya terus dilestarikan, disosialisasikan,
dan diaktualisasikan dari generasi ke generasi.

G. Fungsi Olahraga dalam Kemanusiaan


Secara umum, olahraga tidak hanya membantu menjaga
kesehatan tubuh tetapi juga membantu menanamkan prinsip-
prinsip moral yang sangat membantu dalam kehidupan sehari-
hari. Karena melibatkan tidak hanya keterlibatan pribadi tetapi

127
juga partisipasi dari komunitas yang lebih besar. Bidang ini
sudah memiliki koneksi dengan kehidupan sehari-hari banyak
orang, memberikan ruang lingkup sosial dan praktis yang
sangat luas. Olahraga memiliki tujuan praktis dengan
menyehatkan tubuh, tetapi juga memiliki tujuan sosial dengan
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang harus
diikuti dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai luhur tersebut
sebenarnya diperlukan sebagai landasan bersama dan sumber
inspirasi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
kontemporer.
Penting bagi kita untuk menengok kembali berbagai
momen dan cara hidup masa lalu di tengah ancaman pengikisan
nilai-nilai kebangsaan dewasa ini. Dalam rangka memperkokoh
persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bidang
olahraga sebagai salah satu bidang yang berkontribusi dalam
pembangunan nasional memiliki peran strategis dalam
mewujudkan nilai-nilai positif yang ada di sana. Padahal, cita-
cita olahraga memiliki sisi positif yang sangat bermanfaat yang
dapat digunakan untuk membantu keutuhan negara. Prinsip-
prinsip olahraga terkait erat dengan inisiatif pembangunan
nasional dalam banyak hal. Kehidupan berbangsa dan bernegara
dapat ditingkatkan dengan berbagai cara, baik secara positif
maupun konstruktif. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua
bidang tersebut memiliki hubungan yang saling
menguntungkan, meskipun terdapat perbedaan tingkatan
antara bidang olahraga dengan aspek kebangsaan.
Olahraga menawarkan lensa yang menarik untuk
memeriksa penyebab, mekanisme, dan efek eksklusi sosial serta
sarananya, menjadikan hubungan antara olahraga dan eksklusi
sosial penting dari perspektif kebijakan atau tindakan sosial
serta dari perspektif penelitian akademik bagaimana
menyiasatinya. Akibatnya, olahraga menawarkan kesempatan
untuk mempertimbangkan kompleksitas kehidupan sosial,
budaya, dan ekonomi dalam konteks lokal, nasional, dan
internasional. Dengan demikian, dapat meningkatkan
pemahaman kita tentang sebab dan akibat dari eksklusi sosial

128
dalam skala yang lebih besar. Dan penekanan utama di sini
adalah bagaimana olahraga terjerat dengan kekuatan sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan organisasi yang mereproduksi,
mengganggu, atau mengurangi pembagian dan ketidaksetaraan
sosial. Tidaklah salah untuk merebut kembali unsur nilai
kehidupan yang terbaik di tengah pesatnya perubahan
kehidupan modern yang ditandai dengan munculnya nilai-nilai
baru dan arus kehidupan yang semakin mengglobal yang
cenderung meminggirkan identitas lokal untuk bertindak
sebagai manual untuk hidup komunal dalam masyarakat.
Olahraga biasanya dipandang sebagai "baik" oleh
masyarakat secara keseluruhan. Dan akrab dengan retorika
seputar klaim moral bahwa permainan yang adil, karakter, dan
olahraga bersifat universal. Tak heran jika tokoh masyarakat
seperti Presiden Swiss Adolf Ogi mengatakan, “Olahraga
mengajarkan kita kecakapan hidup. Sekolah kehidupan adalah
olahraga. Keterampilan hidup yang berharga melalui olahraga,
seperti bagaimana menangani kemenangan dengan adil,
menerima kekalahan, bekerja dengan baik dalam tim,
menghormati lawan dan hukum, dan mengenali kelemahan dan
kekuatan diri sendiri. Olahraga mengajarkan pelajaran hidup
yang berharga dan menanamkan prinsip-prinsip moral. Karena
fakta bahwa olahraga sering digambarkan dengan baik dan
sebagai obat universal untuk semua. Olahraga memiliki
kemampuan untuk menyatukan orang-orang yang tidak dapat
dilakukan oleh hal lain. Olahraga mengolok-olok prasangka.
Olahraga berbicara kepada tipe orang yang berbeda dalam
bahasa yang dapat mereka pahami, menurut Nelson Mandela
(dikutip dalam Muir, 2007).
Kofi Annan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa dari tahun 1997 hingga 2006, menyatakan hal yang sama
di Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2006: “Olahraga adalah
bahasa global yang mampu menjembatani kesenjangan sosial,
budaya, dan agama. alat yang efektif untuk memajukan
toleransi, perdamaian, dan pengertian Kerja tim dan permainan
yang adil adalah pelajaran yang dapat diajarkan olahraga

129
kepada kita Harga diri dan peluang meningkat melalui olahraga
Komunitas dan bangsa secara keseluruhan akan mendapat
manfaat sebagai hasilnya. Bahkan penyebutan Gencatan Senjata
Olimpiade terbaru mengutip Presiden IOC Jaques Rogge, yang
mengatakan bahwa "olahraga memupuk toleransi antar bangsa,
memupuk pengertian antar individu, dan memfasilitasi
komunitas yang beragam.
Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU
SKN) di Indonesia baru saja disahkan, menjadikan olahraga
sebagai hak asasi manusia yang diakui. Hak dan kewajiban
berbagai pemangku kepentingan olahraga diuraikan dalam
Pasal 6 sampai 11 undang-undang ini. Secara alami, apa yang
baru saja dikatakan itu benar. Ini mungkin beberapa “nilai-nilai”
dalam olahraga yang dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan
kepedulian terhadap hak asasi manusia. Namun, esai ini
berusaha untuk tidak selalu melihat masyarakat sebagai sesuatu
yang harmonis dan fungsional. Namun, olahraga pada dasarnya
tidak selalu bermanfaat. Olahraga berpotensi dijadikan sebagai
alat untuk mengembangkan ideologi, nasionalisme, militerisme,
dan perilaku tidak adil terkait gender, ras, dan berbagai bentuk
ketidakberdayaan. Olahraga kompetitif, misalnya, didasarkan
pada prinsip pengucilan sosial. Olahraga adalah konstruksi
sosial dan karenanya dikonseptualisasikan secara lebih luas
dalam diskusi ini.
Richard von Weizsacker (2000), dalam sambutannya pada
kongres Menschen im Sport 2000, 1988, menyampaikan:
1. Keluarga menginginkan untuk berolahraga bersama dengan
anggota keluarga. Dengan cara yang demikian, maka
penggunaan waktu senggang dengan berolahraga dapat
mempererat dan memperindah hubungan keluarga.
2. Para orang tua dan manusia lanjut usia, melihat olahraga
sebagai suatu Aktifitas penolong. Melalui aktifitas olahraga,
mereka tidak hanya menginginkan kondisi fisik mereka tetap
baik, tetapi lebih dari itu mereka juaga mengharapkan selalu
bersama dengan anggota masyarakat yang lain, sehingga,
mereka tidak terasingkan.

130
3. Anak-anak muda tidak hanya berolahraga untuk prestasi,
melainkan mereka juga mengharapkan bahwa melalui
aktifitas olahraga di waktu senggang, mereka memperoleh
teman dan kegembiraan.
4. Anggota masyarakat yang berkebutuhan khusus,
memandang olahraga sebagai suatu bantuan bagi mereka
untuk membangun interaksi sosial, dan pengakuan dalam
masyarakat. Hal ini merupakan tantangan yang besar bagi
aktifitas olahraga.
5. Anggota masyarakat sebagai pendatang dari berbagai negara
lain, juga memandang olahraga sebagai suatu bantuan bagi
mereka untuk dapat menyatu dengan warga Jerman dan
warga negara lainnya yang ada di Jerman. Melalui aktifitas
olahraga secara bersama tersebut, maka berbagai problem
dapat dikurangi seperti persolaan bahasa dan etnis.

Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah melalui


sumber “nilai” berupa reaktualisasi cita-cita luhur bangsa dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam hal ini, secara khusus,
kita dapat mengambil nilai-nilai yang secara historis berlaku
dalam dunia olahraga dan mentransformasikannya atau
mentransmisikannya. Selaras dengan nilai-nilai kebangsaan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka nilai-nilai
olahraga sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Sangat
tepat dikatakan bahwa nilai-nilai dalam olahraga dapat
ditransmisikan dalam kehidupan berbangsa karena bidang
olahraga merupakan representasi dari dunia atau lingkungan
yang lebih luas di sekitarnya. Hal ini terlihat dari rencana untuk
mengintegrasikan prinsip-prinsip olahraga yang mengagumkan
ke dalam kehidupan sehari-hari.

131
Gambar 10. Skema Transformasi nilai-nilai luhur dalam
olahraga
Sumber : buku Menelusuri dan menguak nilai-nilai luhur olahraga

Olahraga telah menjadi terkenal di masyarakat modern.


Saat ini, olahraga telah mendarah daging dalam budaya manusia
dan dilakukan oleh orang-orang dari semua lapisan masyarakat.
Olahraga adalah jenis aktivitas fisik yang dianggap dapat
diakses oleh semua orang terlepas dari kemampuan,
kesenangan, atau kesempatan, dan tidak membedakan kelas
sosial, latar belakang budaya, atau hak yang berbeda dalam
masyarakat. Aspek positif dari nilai-nilai keolahragaan
sebenarnya sangat membantu dan dapat digunakan untuk
membantu keutuhan negara. Nilai-nilai yang terdapat dalam
dunia olahraga sangat erat kaitannya dengan upaya
pembangunan nasional dalam banyak hal. Kehidupan
berbangsa dan bernegara dapat ditingkatkan dengan berbagai
cara, baik secara positif maupun konstruktif.
Olahraga harus mendukung gaya hidup yang seimbang
dan sehat. Perkembangan olahraga pendidikan, olahraga
rekreasi, dan olahraga prestasi mempengaruhi olahraga sebagai

132
penunjang tujuan akhir olahraga dan pencapaian pendidikan
kebugaran dan karakter anak di seluruh tanah air. Siapapun
dapat meningkatkan kesempatannya untuk menyalurkan energi
positif melalui olahraga dalam suasana persaudaraan dan
persahabatan, sehingga menghasilkan persatuan yang bahagia,
intim dan hidup seimbang yang memenuhi tujuan dari
keberadaan yang benar-benar humanis, yaitu kemakmuran
tubuh dan pikiran serta batin.

133
BAB KARAKTER YANG
MUNCUL DALAM

6 PENDIDIKAN JASMANI
DAN OLAHRAGA
KARAKTER YANG MUNCUL DALAM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA

A. Pendahuluan
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia saat ini, banyak terjadi fenomena social, seperti
pelanggaran/penindasan HAM, produktifitas dan kreatifitas
manusia Indonesia rendah, kemiskinan, pengangguran, status
social ekonomi yang timpang, lemahnya layanan sector publik,
korupsi, kualitas ketaatan terhadap hukum rendah, lemahnya
nasionalisme anak bangsa dan berbagai permasalahan social
lainnya semakin banyak bermunculan. Sebagian besar fenomena
tersebut terjadi akibat dari pola tindak kaum terdidik. Produk
pendidikan melahirkan lulusan yang minim bahkan kehilangan
karakter (lost character) kemanusiaannya. Peserta didik dan
lulusannya mengalami perubahan yang sangat signifikan,
karena terlampau mengadobsi kebudayaan/karekter pola hidup
negara maju yang bebas tanpa memfilter apakah budaya
tersebut layak untuk ditiru atau kita memang tidak mampu
beradaptasi terhadap perubahan zaman dan tuntutan globalisasi
dunia.
Degradasi moral merupakan salah satu fenomena yang
tidak pernah berhenti diperbincangkan dalam dunia
pendidikan, apalagi di era globalisasi ini dimana perkembangan
zaman juga dibarengi dengan kecanggihan teknologi yang
menyebabkan permasalahan ini semakin kompleks. Hadisi
(2015) menyatakan bahwa krisis identitas dan karakter bangsa
Indonesia telah dibuktikan dengan terjadinya penyimpangan
yang sering terjadi sebagai bentuk degradasi moral yang

134
semakin banyak terjadi di era globalisasi. Hal ini relevan dengan
pernyataan sebelumnya yang dikemukakan oleh Budimansyah
(2010) yang menjelaskan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat telah membawa
perubahan signifikan yang tidak mengenal batas antar negara
dan budaya. Muncul suatu kondisi dimana penerapan unsur-
unsur karakter bangsa bertolak belakang dengan perkembangan
yang terjadi di era globalisasi tidak ada batas antara negara dan
budaya satu sama lain sehingga kekuatan penerapan unsur-
unsur karakter bangsa bertentangan dengan perkembangan
yang terjadi di era globalisasi ini. Perkembangan tersebut
berdampak pada paradigma dan perilaku masyarakat
Indonesia.
Fenomena ini membuat pendidikan karakter semakin
ditekankan dalam sistem pendidikan Indonesia. Saat ini,
pendidikan karakter masih diyakini sebagai upaya
pengembangan nilai-nilai etis dalam pola pikir generasi muda.
Pendidikan karakter tidak lepas dari sistem pendidikan yang
sejalan dengan era globalisasi yang memunculkan istilah baru
yang dikenal dengan pendidikan karakter pembelajaran abad
21. Pendidikan karakter di abad ke-21 adalah upaya yang
disengaja untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
etika dan kinerja inti pada kaum muda yang secara luas
ditegaskan dan diterima di semua budaya (Prasetio, dkk 2019).
Implementasi nyata terkait pentingnya pendidikan karakter bagi
masyarakat Indonesia ditunjukkan melalui kurikulum yang
digunakan sebagai landasan dalam melakukan proses
pembelajaran. Sholekah (2020) menyatakan bahwa pendidikan
karakter bagi peserta didik dikembangkan melalui integrasi
antara mata pelajaran dan jenjang pendidikan dimana tiga aspek
perlu diperhatikan dalam integrasi tersebut, yaitu; kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Selanjutnya, nilai-nilai karakter yang
terkandung dalam kurikulum 2013 dimaksudkan untuk
menyiapkan warga negara yang beriman, produktif, kreatif,
inovatif, efektif, dan mampu berkontribusi dalam kehidupan
sosial. Apalagi Kurikulum 2013 merupakan rancangan konsep

135
dasar yang dijadikan acuan dalam proses pembelajaran dimana
pendidikan karakter dilakukan melalui mata pelajaran dan
jenjang pendidikan yang dipadukan sebagai satu unsur.
Karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan,
selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak
bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu
menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas
2025. Tujuan pendidikan saat ini adalah untuk pembentukan
karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek
dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi.
Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman
kehidupan yang selalu berubah. Dari kematangan karakter
inilah kualitas seorang pribadi diukur. Karakter ini tidak dapat
diperoleh secara instan, tetapi melalui proses yang panjang
mulai dari sejak lahir, bila penerapan karakter ini baik, yang di
contohkan oleh orang-orang yang memiliki karakter baik maka
hasilnya akan tumbuh karakter yang kuat dalam diri seseorang.
Banyak cara dan jalan untuk menanamkan karekter ini bagi anak
terutama melalui jalur pendidikan formal. Dimana dalam
lingkungan ini terdapat manusia-manusia dewasa yang telah
memiliki karakter yang baik, manusia dimaksud adalah guru/
tenaga pendidik di jalur formal itu sendiri. Salah satu cara
menanamkan karakter kepada anak didik adalah melalui
pendidikan jasmani dan olahraga. Pendidik (guru) harus
mampu mengimplemantasikan pendidikan karakter melalui
mata pelajaran yang di ajarkannya kepada siswa dengan baik.
Pendidikan dan pembelajaran berbagai bidang ilmu di
sekolah saat ini terkesan gersang (kering) dari keindahan hidup,
karakter peserta didik dijelali dengan hafalan teori dan sangat
minim praktek, terlalu abstrak dan kurang menyentuh value,
karekter dan dimensi kemanusiaan dari bidang ilmu yang
diajarkan. Seyokyanya pendidikan dan pembelajaran sebagai
bagian integral dari kebudayaan manusia dan oleh karenanya
mempunyai karakteristik yang bersifat humanistis. Pendidikan
dan pembelajaran yang demokratis dan humanistis adalah

136
praktek pendidikan yang mambawa paserta didik nyaman
dalam perbedaan (beda dalam kecerdasan, budaya, suku dan
agama) kebebasan berfikir dan berkreasi, suasana pendidikan
yang kolaboratif dan adaptif terhadap perubahan dengan
orientasi pendidikan akan menghasilkan manusia terdidik yang
memiliki karakter/soft skill, life skill dan survive dalam hidup.
Pembentukan karakter generasi muda merupakan hal
yang sangat penting bagi suatu bangsa, karena masa depan
suatu bangsa terletak di tangan generasi muda. Untuk itu di
butuhkan generasi muda yang berjiwa sehat dan berkarakter.
Pembentukan karakter dapat di lakukan salah satunya melalui
olahraga. Dengan olahraga karakter bisa di kembangkan karena
di dalam olahraga terdapat hal-hal positif yang akan
membentuk karakter generasi muda yang lebih baik bagi dirinya
dan bangsa. Anak-anak Indonesia sebaiknya memiliki karakter
yang kuat dalam menghadapi zaman yang makin modern dan
canggih. Paling tidak ada lima karakter yang sebaiknya di
terapkan di kehidupan sehari-hari. Religius, nasionalis,
integritas, mandiri, dan gotong royong itu adalah karakter yang
sebaiknya anakanak Indonesia miliki.
Berdasarkan observasi di sekolah banyak ditemukan
permasalahan yang terjadi. Seiring berjalannya waktu generasi
muda saat ini justru lebih mudah terpengaruh oleh arus
globalisasi yang melunturkan sikap dan jiwa kebangsaan
mereka, justru yang terpaparkan adalah sikap arogan yang tidak
perduli dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya, apabila di
berikan tugas mereka enggan untuk melaksanakan, dan tidak
bertanggung jawab atas segala bentuk perbuatan yang mereka
lakukan. Aturan sekolah yang seharusnya menjadi tata tertib
bagi siswa malah di langgar dengan sengaja, seperti contoh:
Tidak menggunakan dasi dan topi saat upacara bendera, datang
terlambat, bolos disaat proses pembelajaran sedang
berlangsung, membuang sambah sembarangan, berkata kasar
dan berkelahi sesama teman.Bahkan seringkali terjadi tindak
kekerasan, kasus asusila di dunia pendidikan yang terjadi
kepada siswa bahkan guru juga menjadi korban yang mana

137
pelakunya adalah siswa. Sebagai salah satu contoh kekerasan di
dunia pendidikan yang di lakukan oleh siswa terhadap guru
dipukul siswanya karena pelaku tak terima ditegur saat
menggunakan handphone untuk bermain games di tengah
pelajaran berlangsung. Ini adalah salah satu contoh dari sekian
banyak kasus-kasus yang terjadi di dunia pendidikan tanah air.
Padahal ilmu yang di berikan baik di sekolah maupun kampus
tergolong semakin berat dan mulai bersaing dengan ilmu yang
berada di luar sana. Harusnya ada keseimbangan diantara
keduanya maka akan di peroleh generasi muda cerdas dan
bermartabat yang siap memajukan bangsa.
Begitu juga masalah utama dan konsisten dalam olahraga
saat ini, di semua tingkatan, adalah prevalensi perilaku yang
tidak pantas dan karakter yang buruk. Skandal curang, narkoba,
kekerasan, tidak hormat, dan perilaku tidak pantas lainnya
dalam olahraga, hampir menjadi hal yang diharapkan atau
menjadi norma. Brenda Bredemeier (percakapan pribadi,
Februari 2005) menjelaskan bahwa cara atlet berperilaku dalam
acara olahraga berbeda dari yang mereka lakukan dalam
kehidupan "nyata" sebuah istilah yang disebut sebagai
"moralitas kurung". Moralitas yang dikurung berarti bahwa
dalam pertandingan olahraga, apapun boleh. Atlet akan sering
menampilkan perilaku pro-sosial (cara mereka berpikir mereka
harus bertindak) dalam konteks olahraga
Pendidikan karakter di Indonesia masih dipandang
sebagai wacana dan belum menjadi bagian yang terintegrasi
dalam pendidikan formal secara keseluruhan. Kemudian
dilanjutkan dengan usaha-usaha yang dilakukan guru untuk
merancang pendidikan karakter melalui konsep-konsep yang di
mengerti oleh guru itu sendiri dengan merancang pendidikan
karakter sebagai persiapan pembinaan anak didik, keluarga dan
masyarakat. Usaha tersebut antara lain penetapan pendidikan
karakter sebagai salah satu rencana strategis sekolah,
perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan karakter
yang tertuang dalam Satuan Acara Pembelajaran (SAP) atau
Rancangan Persiapan Pengajaran (RPP) di sekolah.

138
B. Karakter
Karakter adalah sebuah istilah yang selalu digunakan
secara berbeda namun memiliki arti yang sama dengan
kepribadian. Pakar psikologi dari Eropa lebih sering
menggunakan istilah karakter, sementara para ahli psikologi
dari Amerika lebih suka menggunakan istilah kepribadian.
Sebagai contoh Freud sering menggunakan istilah character
dalam berbagai karya tulisnya, dan jarang menggunakan istilah
personality. Namun istilah karakterologi juga sangat umum
digunakan di eropa, tapi sangat jarang di Amerika. Banyak ahli
psikologi di Amerika menulis buku dengan judul personality,
dan amat jarang yang menggunakan judul character. Disini
terlihat bahwa penggunaan kedua istilah tersebut bersangkutan
dengan sebuah konsep yang bersifat kewilayahan.
Karakter adalah sifat, budi pekerti, tabiat atau watak dari
seseorang yang tumbuh berkembang dari sejak lahir hingga
akhir hayatnya. Karakter ini akan dengan jelas menunjukkan jati
diri seseorang seperti apa, meskipun tidak dapat di ukur secara
empiric namun bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya,
apakah seseorang itu memiliki karakter yang baik atau tidak.
Karakter merupakan sesuatu yang tidak kelihatan tetapi
terwujud dalam pikiran, persepsi, perilaku dan tindakan
seseorang. Karakter menentukan kualitas dan nilai yang
sesungguhnya dari seseorang.
Scholars sering mengambil perspektif yang lebih teoretis
dalam mendefinisikan karakter. Beberapa menyebut karakter
sebagai keadaan internal yang diwujudkan dalam perilaku
(Bredemeier & Shields, 1995). Keadaan internal ini memandu
keputusan dan tindakan sambil menentukan kualitas yang
membentuk sifat seseorang (Marrella, 2001). Bredemeier dan
Shields (1995) menunjukkan bahwa karakter adalah dimensi
batin seseorang di mana proses tindakan moral menjadi perilaku
seseorang. Brody dan Siegel (1992) mendefinisikan karakter
sebagai penjumlahan dari kualitas moral seseorang. Olahraga
Membangun Karakter. Cara terpendek dan paling pasti untuk

139
hidup terhormat di dunia adalah dengan menjadi seperti apa
kita kelihatannya. Semua kebajikan manusia meningkat dan
memperkuat diri mereka sendiri dengan praktik dan
pengalaman mereka. Marrella (2001) percaya bahwa seseorang
yang berkarakter mencari kebenaran, memutuskan apa yang
benar, dan memiliki keberanian serta komitmen untuk bertindak
sesuai dengan itu. Menurut beberapa penelitian, cara yang
efektif dan umum untuk membahas karakter, dan apa itu, adalah
dari pendekatan kebajikan dan/atau sifat (Bredemeier & Shields,
1995).
Orang-orang dengan karakter moral yang baik datang
untuk memiliki berbagai macam kebajikan dan bersedia
bertindak atas mereka baik untuk kepentingan jangka panjang
mereka sendiri maupun kepentingan orang lain (Arnold, 2001).
Misalnya, seseorang yang berkarakter menampilkan sifat-sifat
hormat, integritas, kejujuran, tanggung jawab, keberanian, kasih
sayang, keadilan, dan kesopanan. Bredemeier dan Shields (1995)
menggambarkan karakter olahraga dalam empat kebajikan:
kasih sayang, keadilan, sportivitas, dan integritas, dan percaya
bahwa memiliki kualitas atau kebajikan ini memfasilitasi
tampilan tindakan moral yang konsisten dalam olahraga
(Bredemeier & Shields, 1995).
Dalam dunia olahraga, banyak pelatih sukses yang telah
lama mempersonifikasikan dan mengajarkan nilai-nilai karakter
dalam olahraga. Pelatih bola basket legendaris di UCLA, John
Wooden (Wooden & Jamison, 1997), menyampaikan pentingnya
karakter dan apa yang dilakukan karakter bagi seseorang
dengan menyatakan bahwa “kemampuan mungkin membawa
Anda ke puncak, tetapi dibutuhkan karakter untuk
mempertahankan Anda di sana". Dia juga berkata, lebih peduli
dengan karakter Anda daripada reputasi Anda, karena reputasi
Anda adalah apa yang orang pikirkan tentang Anda, sedangkan
karakter Anda adalah siapa Anda sebenarnya. Mike Krzyzewski
(2001) percaya bahwa karakter seseorang tercermin dalam
bagaimana dia bereaksi terhadap situasi yang sulit dan
mencoba. Dean Smith, John Thompson, dan Joe Paterno adalah

140
pelatih sukses lainnya di tingkat antar perguruan tinggi yang
menekankan pengembangan karakter dalam program mereka.
Dalam militer, karakter didefinisikan sebagai bagaimana
seseorang bertindak ketika tidak ada yang melihat. Dalam
praktiknya, ini diterjemahkan menjadi apa yang dilakukan
seseorang bagaimana dia bertindak. Angkatan Darat Amerika
Serikat menggunakan tujuh ciri berikut sebagai standar perilaku
dan perilaku minimum yang dapat diterima yang menentukan
karakter seseorang: kesetiaan, kewajiban, rasa hormat,
pelayanan tanpa pamrih, kejujuran, integritas, dan keberanian
pribadi. Untuk mendefinisikan karakter secara lebih akurat,
akan sangat membantu untuk memecahnya (seperti konstruksi
psikologis lainnya) ke dalam ciri-ciri laten yang mencerminkan
konstruksi tersebut (lihat Gambar 1). Bahwa seseorang yang
berkarakter menampilkan perilaku yang menunjukkan rasa
hormat dan integritas dalam lingkungan olahraga (atau
kurangnya karakter jika perilaku tersebut tidak sopan atau
kurang integritas).

Gambar 11. Model Konstruksi Karakter


Sumber Journal of College & Character 2006

Definisi Sifat Laten. Sederhananya, kami tidak


menghormati mereka, dan Anda tidak dapat melakukannya.
Seperti contoh (Vladislav Tretiak, penjaga gawang untuk tim
hoki es Uni Soviet 1980, berkomentar setelah kalah dari Tim AS
di Olimpiade Musim Dingin 1980, "The Miracle On Ice."
Kemenangan Tim USA ini dianggap sebagai salah satu
kekecewaan terbesar dalam sejarah olahraga dan sebagian

141
dikaitkan dengan Tim USSR yang tidak menghormati Tim USA
atau bahkan memberi mereka peluang menang yang jauh.)
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berfikir
dan bertindak yang membantu individu untuk hidup dan
bekerja bersama sebagai keluarga dan masyarakat dan
bernegara serta membantu mereka untuk membuat keputusan
yang dapat dipertanggung jawabkan. Karakter yang ingin
dicapai melalui jalur pendidikan formal, seperti yang terdapat
dalam The Six Pillars of Character yang dikeluarkan oleh Character
Counts Coalition (a project of the Joseph Institute of Ethics) adalah
sebagai berikut:
1. Thustworthiness, karakter yang membuat seseorang menjadi
berintegritas, jujur dan loyal.
2. Fairness, karakter yang membuat seseorang memiliki
pemikiran terbuka serta tidak akan memanfaatkan orang.
3. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki
sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun
kondisi social lingkungan sekitar.
4. Respect, betuk karakter yang membuat seseorang selalu
menghargai dan menghormati orang lain.
5. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar
hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan
alam.
6. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang
bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu
dengan sebaik mungkin.

Menurut Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional, pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan generasi yang
tumbuh dan berkembang berkarakter dan bernafaskan nilai-
nilai luhur Pancasila, UU Sisdiknas tahun 2003 mengamanatkan
bahwa pendidikan tidak hanya membentuk manusia yang

142
cerdas tetapi juga berkarakter. Seperti pejabat yang korupsi dan
melanggar aturan sehingga harus terjerat hukum, mereka adalah
orang yang cerdas tetapi tidak berkarakter, bukan orang yang
cerdas.
Melihat kondisi karakter masyarakat saat ini, pemerintah
mulai melaksanakan pendidikan karakter di semua jenjang
pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi,
melalui Kementerian Pendidikan Nasional. Pendidikan karakter
menjadi konsep populer dalam dunia pendidikan karena selama
ini dirasakan bahwa proses pendidikan belum berhasil
mencetak individu yang bermoral. Banyak yang mengklaim
bahwa karena pendidikan gagal mengembangkan karakter,
banyak lulusan dan lulusan SMA dan perguruan tinggi yang
pandai menjawab soal-soal ujian dan memiliki otak yang cerdas
tetapi mentalnya lemah, penakut, tidak bertanggung jawab, dan
berperilaku tidak terhormat.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan untuk
menanamkan nilai-nilai moral pada siswa. Sekolah merupakan
sarana pembinaan karakter generasi bangsa karena selain
keluarga dan masyarakat, pembangunan karakter masyarakat
dan keluarga tidak cukup. Pelaksanaan pendidikan karakter
khususnya di Indonesia diharapkan dapat sedikit mengurangi
permasalahan karakter di era sekarang ini. Pendidikan karakter
hadir sebagai solusi dari permasalahan moralitas dan karakter
itu sendiri. Karena individu (peserta didik) mengalami kebutaan
moral, maka pendidikan karakter tidak dapat berfungsi secara
optimal atau bahkan gagal. Maka perlu dilakukan tindakan
penyadaran melalui reformasi atau revolusi yang signifikan
terhadap sistem pendidikan dan setiap orang yang bertanggung
jawab atas moralitas negara. Menurut Zuriah (2020),
peningkatan pembangunan pendidikan dan peningkatan
kesejahteraan manusia sama-sama berkaitan langsung dengan
pembangunan moral dan karakter bangsa. Pemerintah telah
menegaskan akan menjadikan pendidikan sebagai pilar utama
untuk membina, memperluas, dan mengembangkan karakter
positif bangsa.

143
Menurut pandangan di atas, karakter dipandang sebagai
cara berpikir setiap orang untuk memasukkan nilai-nilai
kebaikan ke dalam tindakan atau perilaku sehingga menjadi ciri
khas setiap orang. Orang yang berkarakteristik adalah mereka
yang memiliki kapasitas untuk membuat pilihan dan kemauan
untuk menerima tanggung jawab atas segala konsekuensi dari
pilihan tersebut. Hal ini sesuai dengan argumen Lickona dalam
Hidayat dkk. (2020), yang berpendapat bahwa pengetahuan
moral, moral perasaan, dan perilaku moral adalah tiga
komponen karakter yang saling terkait yang dipahami.

C. Konsep Karakter
Karakter menggambarkan etika atau sistem nilai pribadi,
yang penting bagi keberadaan pribadi seseorang dan dalam
hubungannya dengan orang lain. Menurut Cole (2004), karakter
terdiri dari dimensi intelektual dan dimensi perilaku. Dalam
konsep ini terdapat nilai-nilai inti dan sistem kepercayaan, serta
perilaku atau tindakan yang mendukung sistem inti tersebut.
Dimensi intelektual karakter menyangkut etika, yaitu sistem
nilai (apa yang penting atau kritis) dan moral (apa yang baik
atau benar), yang berkaitan dengan tanggung jawab pribadi dan
sosial, sedangkan dimensi perilaku adalah cara hidup yang
menunjukkan tindakan yang konsisten dan berkesinambungan
dengan kualitas dimensi intelektual. Menempatkan karakter
sebagai bagian dari proses pendidikan berarti mengadopsi
pembentukan karakter sebagai hasil dari proses pembelajaran.
Ketika karakter dijadikan sebagai hasil dari proses
pembelajaran, maka karakter menjadi hasil atau produk dari
proses pendidikan. Menurut Ngara (2001), beberapa
kemungkinan hasil karakter adalah kepekaan sosial, kepekaan
terhadap identitas budaya, penghargaan terhadap pandangan
atau pendapat yang berbeda, semangat pelayanan, dan nilai-
nilai spiritual.

144
Meskipun selalu ada perdebatan tentang nilai apa yang
membentuk karakter seseorang, tampaknya ada beberapa sifat
yang bersifat universal. The Institute for Global Ethics pada tahun
1996 melakukan survey yang melibatkan 250 partisipan,
mewakili 40 negara dan dari berbagai agama. Survei tersebut
menemukan bahwa kebenaran, tanggung jawab, kebebasan, dan
penghargaan terhadap kehidupan dianggap sebagai nilai-nilai
yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
konteks olahraga, pertandingan tidak dapat dimainkan jika
tidak ada harapan yang mendasari bahwa peserta akan
mengikuti aturan olahraga tersebut.
Seseorang dengan karakter positif akan menampilkan
perilaku yang menunjukkan rasa hormat dan integritas. Rest
(1986) dalam Joseph (2006) tidak percaya bahwa penilaian moral
dan moralitas berkorelasi dengan karakter. Dia percaya bahwa
perilaku ditentukan oleh sejumlah faktor kompleks dan
penilaian dan penilaian moral hanya memainkan peran kecil
dalam menjelaskan perilaku moral. Lickona (1991) dalam Joseph
(2006)) berpendapat bahwa karakter positif terbentuk sebagai
hasil dari proses perasaan dan kognitif. Namun, dalam olahraga,
perilaku para peserta seringkali bersifat naluriah dan spontan.
Olahraga sangat emosional, stres fisik dan psikologis,
melibatkan situasi yang tidak pasti, dan seringkali agresif.
Waktu untuk penilaian moral dan pemrosesan kognitif
seringkali tidak ada dalam olahraga. Atlet seringkali hanya
berakting, sementara pertimbangan atas perilaku mereka sangat
berlebihan. Namun ketika mereka mengambil tindakan,
perilaku tersebut merupakan cerminan dari siapa mereka
sebenarnya. Skinner (1971) dalam Joseph (2006) percaya bahwa
seseorang bertanggung jawab atas perilakunya karena mereka
adalah konsekuensi dari perilaku baik dan buruk. Individu
dapat dan harus mengendalikan diri mereka sendiri dalam
membentuk seperangkat nilai. Ada tingkat tanggung jawab
moral yang signifikan terhadap karakter seseorang, yang
ditunjukkan dalam perilakunya. Jika tingkah laku seseorang
tidak mencerminkan karakternya, maka individu tersebut

145
dikatakan berkarakter lemah. Sikap dan keyakinan individu
memang penting, tetapi tindakan lebih penting. Perilaku
individu adalah pilihannya dan dia tidak boleh mengalihkan
tanggung jawabnya ke tempat lain. Dalam olahraga, ini berarti
karakter positif diterapkan baik di dalam game maupun di luar
game, karena itu adalah karakternya.

D. Olahraga dan Karakter


Suatu kegiatan dan sejumlah karakter yang dapat
dikembangkan melalui kegiatan olahraga membentuk konsep
olahraga dan karakter. Tetapi penting untuk diperhatikan
bahwa, jika dibandingkan dengan aktivitas lain, olahraga lebih
berharga dan menawarkan banyak keuntungan. Salah satu
aktivitas yang sangat disukai adalah olahraga. Orang yang
mengikuti kegiatan olahraga akan menjadi lebih bugar dan sehat
karena olahraga membutuhkan banyak gerak dari tubuhnya.
Olahraga melibatkan pelatihan untuk lebih dari sekedar
komponen fisik. Pengembangan prinsip-prinsip moral dan
karakter yang baik tidak kalah pentingnya dengan pertumbuhan
fisik.
Menurut Jabar dalam Abbas (2014), aktivitas fisik atau
olahraga yang dikaitkan dengan istilah gerakan manusia
merupakan landasan dari segala istilah yang memiliki arti
sangat luas yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan
dengan gerak tubuh, seperti olahraga prestasi, olahraga
pendidikan, olahraga rekreasi, olahraga kesehatan, olahraga
adaptif, olahraga rehabilitasi, termasuk pendidikan jasmani dan
pendidikan olahraga. Pendidikan kesehatan olahraga sangat erat
kaitannya dengan kesehatan jiwa dan raga, serta kejujuran,
kedisiplinan, kreativitas dan inovasi, kepemimpinan, kejujuran,
dan sportifitas. Faktor afektif meliputi prinsip moral, perilaku,
sopan santun, keramahan, akhlak mulia, dan lain-lain. Oleh
karena itu, untuk mempelajari pendidikan jasmani, olahraga,
dan kesehatan perlu menggunakan strategi yang tepat sesuai
dengan kebutuhan dan hukum yang berlaku serta tiga faktor:
kognitif, psikomotorik, dan afektif.

146
Menurut Harta (2019) ada banyak ciri karakter yang dapat
diterapkan dalam situasi kehidupan nyata maupun dalam
olahraga. Melalui olahraga seseorang dapat menanamkan
prinsip-prinsip moral dalam dirinya sehingga dapat menjadi
teladan yang positif bagi orang lain. Untuk menjamin
pembangunan karakter bangsa, pendidikan karakter harus
dilaksanakan secara terus menerus dan tanpa henti. Berbagai
jenjang pendidikan perlu terus dilaksanakan untuk mencapai
karakter bangsa sesuai dengan sasaran yang diantisipasi. Karena
proses pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan
dilaksanakan di lapangan (bisa di luar atau di dalam kelas)
sampai dengan 75% waktu, maka kebugaran jasmani siswa
merupakan prasyarat pelaksanaan proses pembelajaran
karakter. Melalui pendidikan jasmani dan olahraga kesehatan,
pendidikan karakter ditanamkan dan dikembangkan, dan
pemahaman serta dorongan peserta didik untuk berperilaku
terpuji menjadi landasannya. Ketulusan merupakan prinsip
utama dan landasan pendidikan karakter, yang bila diterapkan
akan membantu siswa mempelajari nilai-nilai yang akan
berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut uraian di atas, pendidikan jasmani dan olahraga
sarat akan nilai dan dapat membantu membentuk karakter
seseorang. Olahraga juga terkait dengan kemauan dan
kreativitas, yang tercermin dalam kepedulian. Mengembangkan
jati diri melalui pendidikan akhlak bertujuan untuk memperkuat
karakter diri sendiri, tetapi juga menguatkan karakter negara
secara keseluruhan.

E. Karakter Dalam Pendidikan Jasmani Dan Olahraga


Tujuan utama pendidikan yang dirancang untuk
mengembangkan karakter adalah untuk mengembangkan
karakter bangsa sehingga dapat mewujudkan nilai-nilai
Pancasila yang terpuji. Instruksi praktis dalam karakter; 1
memupuk kemampuan mendasar untuk perbuatan baik,
penilaian yang sehat, dan perilaku yang benar, 2 penguatan dan
pengembangan perilaku multikultural bangsa, 3 Peradaban

147
bangsa semakin kompetitif dalam urusan global. Pendekatan
sistematis dan komprehensif digunakan untuk mengembangkan
karakter, melibatkan keluarga, lembaga pendidikan,
pemerintah, masyarakat sipil, media, bisnis, dan industri.
Namun, karena pendidikan diperlukan untuk semua orang,
pendekatan ini sangat layak dan akan efektif di semua tingkatan.
Pendidikan karakter selalu ditanamkan kepada siswa dalam
dunia pendidikan disamping mata pelajaran pendidikan
jasmani dan olahraga di setiap mata pelajaran, baik di sekolah
menengah maupun di perguruan tinggi.
Penjasorkes memiliki peran yang sangat penting dalam
pembentukan karakter peserta didik dalam mempersiapkan diri
menjadi warga negara Indonesia seutuhnya karena merupakan
komponen penting dalam pendidikan secara keseluruhan.
Kurikulum pendidikan jasmani Indonesia yang ditawarkan di
semua jenis sekolah bertujuan untuk mewujudkan bangsa yang
sehat jasmani dan rohani dengan menyeimbangkan kebutuhan
jasmani dan perkembangan jiwa. (UU no 4 tahun 1950, tentang
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pasal IV
pasal 9). Berikut ini adalah tujuan pendidikan pendidikan
jasmani:
1. Perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan
kesehatan dan kebugaran jasmani.
2. Perkembangan neuro muskuler.
3. Perkembangan mental emosional.
4. Perkembangan sosial.
5. Perkembangan intelektual.

Tujuan akhir pendidikan jasmani dan olahraga adalah


sebagai sarana khusus pembinaan watak, sebagai sarana
pembinaan kepribadian yang tangguh, budi pekerti yang baik,
dan akhlak mulia. Penjelasan di atas memperjelas bahwa
pendidikan jasmani dan olahraga adalah alat pendidikan,
sekaligus penanaman budi pekerti yang sekarang kita sebut
sebagai budi pekerti. Pendidikan jasmani dan olahraga selalu
melibatkan komponen sosial di samping kriteria jasmani yang
menekankan keterampilan, ketangkasan, dan penampilan

148
kemampuan. Pendidikan adalah segala usaha yang
mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian,
termasuk perubahan tingkah laku. Hubungan antar manusia,
termasuk antar siswa yang bertindak sebagai fasilitator atau
sutradara, merupakan bagian dari dimensi sosial.
Etika dan moral bangsa telah “memudar”, budaya luhur
bangsa perlahan terkikis, dan situasi kehidupan bangsa
Indonesia saat ini tidak lepas dari persoalan-persoalan tersebut.
Banyak anak tidak menghormati guru mereka atau bahkan
orang tua mereka. Banyak anak yang enggan mengikuti kelas
pendidikan jasmani karena dianggap membosankan dan
melelahkan, yang merupakan fenomena terkini di lapangan.
Karena kesempatan yang ditawarkannya untuk
mendemonstrasikan pengembangan karakter, pendidikan
jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman
manusia. Paling sering, perilaku atau contoh digunakan untuk
mengajarkan etika dalam pendidikan jasmani. Jika seorang guru
tidak memperlakukan muridnya dengan adil, dia akan
menyuruh muridnya untuk memperlakukan orang lain dengan
adil. Selain itu, pendidikan jasmani dan olah raga sarat dengan
pengalaman emosional. Ada beberapa emosi berbeda yang
berperan.
Kegiatan olahraga dan pendidikan jasmani berbasis
permainan, keterampilan, dan ketangkasan menuntut
pengeluaran energi untuk menghasilkan hasil yang terbaik.
Sudah sepantasnya kita sepakat berpendapat bahwa pendidikan
jasmani dan olahraga merupakan landasan atau alat pendidikan
dalam mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotorik serta perilaku dalam pembentukan manusia yang
berkarakter. Bagaimana pendidikan jasmani dan olahraga dapat
digunakan untuk mengajarkan karakter di sekolah. Seperti kata
pepatah, tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata, jadi
pendidikan karakter harus lebih dicontoh. Nilai-nilai karakter
dari pendidikan jasmani dan olahraga berikut juga tercakup
dalam pembahasan esai tentang Enam Pilar Karakter ini:

149
1. Jujur (Dapat dipercaya)
Kata jujur digunakan untuk menunjukkan bahwa
seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu tanpa ada
mengubah dari realita yang sebenarnya. Sesuatu atau
fenomena yang di hadapi dapat berada pada diri sendiri atau
di luar diri sendiri. Bagi seorang guru dan siswa, memperoleh
kepercayaan salah satunya sangat ditentukan oleh kejujuran
dalam mengatakan sesuatu apa adanya. Seorang guru Penjas
dengan jiwa yang matang berani mengatakan bahwa ia tidak
dapat mendemonstrasikan (mencontohkan) suatu gerak
keterampilan senam lantai (handspring) ia hanya mampu
menjelaskan cara melakukannya, tanpa perasaan bahwa
prestisenya akan jatuh di depan siswanya. Seorang siswa
dengan jujur mengatakan ia meniru pekerjaan temannya
karena kesulitan dalam penyelesaiannya. Siswa tidak curang
saat ujian teori, dengan menyontek/ meniru jawaban teman
atau cacatan. Siswa tidak bertindak curang saat praktek
olahraga bolavoli dengan mengatakan pointnya bertambah
padahal belum terjadi pemambahan angka, dan memprotes
wasitnya. Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan
kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan
tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud
dalam tindak dan perkataan. Semua pihak percaya bahwa
wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan
membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena
keputusannya mencerminkan kejujuran. Kejujuran ini sangat
penting, karena jika tidak ada kejujuran dalam diri seseorang,
maka tidak hanya orang disekitarnya saja yang semakin
rusak, melainkan seluruh aspek-aspek lain juga bobrok, yang
mengakibatkan bangsa semakin hancur. Oleh sebab itu
pembentukan karekter jujur adalah sangat penting
ditanamkan bagi peserta didik melalui pendidikan jasmani
dan olahraga.

150
2. Berlaku Hormat (respect)
Menghormati adalah "merasa atau menunjukkan rasa
hormat untuk orang lain" (American Heritage Dictionary,
1982). Ini adalah penghormatan terhadap nilai dan martabat
mendasar setiap manusia (Marrella, 2002). Banyak orang
menyebut rasa hormat sebagai Aturan Emas. Rasa hormat
bukanlah sesuatu yang dapat ditiru, tetapi sesuatu yang
harus diwujudkan seseorang memiliki kecenderungan untuk
bertindak dengan hormat, hanya dalam tindakan hormat
individu kualitas menjadi aktual rasa hormat dipertahankan
oleh tindakan hormat individu (Lawrence-Lightfoot, 2000).
Definisi ini termasuk menghormati rekan tim, lawan,
penggemar, pelatih, dan wasit. Contoh perilaku hormat
termasuk berjabat tangan, membantu rekan satu tim atau
lawan, dan mendengarkan. Perilaku yang menunjukkan
kurangnya rasa hormat termasuk mengejek, mengoceh,
meneriaki pelatih atau wasit, berbuat curang, atau
menaikkan skor melawan lawan yang lebih rendah.
Selain itu. Hormat, bukan berarti menghormati seperti
kita hormat kepada bendera merah putih pada setiap upacara
bendera atau menghormati Pembina upacara pada saat
perayaan hari-hari besar kenegaraan. Namun hormat disini
maksudnya adalah sopan dan menghargai orang lain. Dalam
pengamatan sehari-hari sikap hormat itu dapat dilihat
berdasarkan bahasa tubuh seseorang dari cara mereka
bersalaman dengan orang yang lebih di tuakan apalagi
kepada orang tua atau guru. Anak atau siswa selalu
meletakkan tangan guru kekeningnya. Sikap hormat ini juga
tercermin dari keakraban antara siswa yang berbeda budaya
dan agama. Bukan hanya dengan bersalaman, dengan
tersenyum dan sedikit menundukkan kepala juga sudah
tercermin bahwa berlaku hormat itu telah tertanam dalam
diri seseorang. Perilaku hormat ini juga penting dalam
menjaga kestabilan hubungan baik dengan seseorang,
bayangkan jika seorang pemain dalam suatu pertandingan
cabang olahraga, tidak menghargai keputusan wasit dimana

151
wasit telah berlaku jujur dan adil atau tidak menghormati
keputusan pelatihnya ketika menentukan pemain inti atau
cadangan maka akan terjadi perselisihan diantara mereka
dan hasilnya akan terjadi perpecahan bahkan perkelahian.

3. Tanggung jawab (Responsibility)


Tanggung jawab berarti berani menanggung resiko
atas perbuatan yang dilakukan. Seorang siswa yang
bertanggung jawab berarti ia telah menunjukkan perilaku
yang benar, melakukan yang terbaik, disiplin dan
menghadapi resiko dari perbuatannya. Pada kalangan siswa
karakter bertanggung jawab ini dapat dikembangkan dalam
mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga dan
kegiatan ekstrakurikuler. Siswa dibiasakan memakai pakaian
olahraga ketika praktek lapangan, mengumpulkan tugas
tepat waktu, masuk dan keluar kelas tepat waktu,
membereskan dan merapikan peralatan olahraga bersama-
sama yang dipergunakan saat praktek. Mengumpulkan dan
membariskan teman-teman sekelas secara bergantian juga
akan menanamkan rasa tanggung jawab bagi anak.
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah
pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus
bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada
permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai
moral terpenting dalam olahraga.

4. Kepedulian (Caring)
Salah satu karakter yang penting untuk dikembangkan
dan ditanamkan bagi anak didik adalah kepedulian atau
perhatian karena dalam kepedulian ini tertanam rasa kasih
sayang dan senang membantu orang lain. Rasa perduli
terhadap sesama teman dapat ditanamkan dengan cara
mengajak anak-anak sekelasnya mengunjungi/ menjenguk
salah satu siswa yang sakit. Diingatkan agar saling
membantu dalam mengerjakan tugas sekolah, terutama bagi
siswa yang mengalami kesulitan belajar. Membatu teman

152
yang ditugaskan guru penjas mengumpulkan perlengkapan
praktek lapangan.

5. Keadilan
Keadilan sangat sulit diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Umumnya manusia akan berlaku adil kepada
orang lain, namun menuntut lebih untuk dirinya. Lebih
buruk lagi, mengurangi keadilan pada orang lain, dan
menambah jumlah pada diri sendiri. Seorang guru
pendidikan jasmani dan olahraga harus mampu bersikap adil
kepada anak-anak didiknya, terutama dalam memberikan
penghargaan atau penilaian, jangan sampai anak yang
kurang mampu dalam psikomotoriknya lebih baik
penghargaan atau nilai yang diberikan dari pada anak yang
lebih baik darinya, hal ini akan menimbulkan rasa
diperlakukan tidak adil terhadap dirinya. Kemungkinan hal
ini juga akan dilakukannya dikemudian hari. Keadilan ada
dalam beberapa bentuk; distributif, prosedural, retributif dan
kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang
mencakup pembagian keuntungan dan beban kerja secara
relatif. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap
prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan
hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair
sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi
pelanggar peraturan yang berlaku. Keadilan kompensasi
mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan
yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu
sebelumnya.
Dalam dunia olahraga keadilan ini sangat penting
terutama bagi seorang yang berperan sebagai pengadil
(wasit). Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain
penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia
minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang
akan protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika
misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman
tendangan penalti akibat pemain bertahan menyentuh bola
dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah

153
penalti. Tentu saja ia berusaha berbuat seadil mungkin. Bila
ia kurang yakin, mungkin cukup dengan memberikan
hukuman berupa tendangan bebas.

6. Kedamaian
Kedamaian mengandung pengertian: a) tidak akan
menganiaya, b) mencegah penganiayaan, c). menghilangkan
penganiayaan, dan d) Berbuat baik. Bayangkan bila ada guru
yang menyakiti anak didiknya, kemungkinan anak tersebut
tidak akan mau lagi kesekolah untuk belajar, ia lebih memilih
dirumah atau yang lebuh buruknya lagi, anak berangkat dari
rumah tetapi tidak masuk ke sekolah, malah pergi ketempat-
tempat yang tidak sepantasnya di jam-jam sekolah, hal ini
disebabkan karena anak tidak merasa nyaman dan damai
disekolah. Seorang anak yang merasa damai dan nyaman
bersama temannya, mereka akan selalu bersama dan
perselisihan itu kecil kemungkinan terjadi, mereka saling
mengunjungi, saling mengiangatkan dan saling membantu,
bayangkan bila hal ini terjadi dalam lingkub yang lebih besar
dan terjadi dalam segala aspek, maka damainya kehidupan
ini.. Pendidik jasmani dan olahraga dalam proses pendidikan
sebaiknya mengembangkan karakter, karakter menurut
David Shield dan Brenda Bredemeir adalah empat kebajikan
dimana seseorang mempunyai karakter bagus menampilkan;
compassion (rasa belas kasih), fairness (keadilan), sportsmanship
(ketangkasan) dan integritas. Dengan adanya rasa belas
kasih, murid dapat diberi semangat untuk melihat lawan
sebagai kawan dalam permainan, sama-sama bernilai,
samasama patut menerima penghargaan. Keadilan
melibatkan tidak keberpihakan, sama-sama tanggung jawab.
Ketangkasan dalam olahraga melibatkan berusaha secara
intens menuju sukses. Integritas memungkinkan seseorang
untuk membuat kesalahan pada yang lain, sebagai contoh
meskipun tindakannya negatif penerimannya oleh wasit,
teman satu tim ataupun fans.

154
F. Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Jasmani Dan
Olahraga
Karakter tidak dikembangkan melalui latihan. Dalam
lingkungan olahraga, moral dapat diajarkan dan diperoleh.
Hanya lingkungan yang terstruktur dengan tujuan yang
dinyatakan dengan jelas dan terencana dengan baik untuk
mengembangkan karakter yang memungkinkan pengembangan
karakter selama pengalaman olahraga. Setiap orang (pelatih,
manajemen, orang tua, peserta, dll.) harus menjadi bagian dari
lingkungan tersebut yang menjadi peserta dalam lingkungan
olahraga. Coakley (2001) telah mengadvokasi lingkungan
olahraga di mana pemain dihargai lebih untuk bagaimana
mereka bermain dengan sportivitas daripada menang dan kalah.
Ciri-ciri karakter positif (seperti tanggung jawab sosial dan
pribadi) dapat dan harus diajarkan dan dipelajari dalam
lingkungan olahraga atau aktivitas fisik, menurut Hellison
(2003), Parker (2003), dan Stiehl (2004). Program olahraga di
semua tingkatan dapat dibuat secara khusus untuk
mempromosikan gaya hidup aktif dan karakter yang baik
(Alberts, 2003). Maksud dalam konteks ini adalah agar nilai dan
perilaku yang dipelajari dalam kelas pendidikan jasmani dan
olahraga dapat diterapkan di luar sekolah, di rumah, dan di
masyarakat (Parker dan Stiehl, 2004).
Selain itu, Bredemeier dan Shields (1995) menunjukkan
bagaimana pengembangan karakter dapat ditekankan melalui
pengembangan karakter dalam olahraga dan aktivitas fisik
ketika metode pengajaran dan pembinaan sesuai. Karena guru
pendidikan jasmani harus berusaha untuk mengajarkan etika
dan nilai-nilai selama proses belajar mengajar, yang
menciptakan peluang untuk membentuk karakter anak, maka
pendidikan jasmani dan olahraga harus dianggap sebagai
laboratorium untuk pengalaman manusia. Selain harus
dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga, karakter anak
didik yang bersangkutan tentunya tidak dapat dipisahkan dari
karakter bangsa Indonesia dan keseluruhan anak. Bisa juga

155
ditempuh melalui pendidikan nilai di sekolah. Berikut ini adalah
beberapa saran yang mungkin:.
1. Bersama dengan keluarga dan komunitas yang lebih besar,
sekolah adalah lingkungan sosial terdekat yang dihadapi
siswa setiap hari. Dengan demikian, suasana dan iklim
sekolah secara keseluruhan harus mencerminkan
penghargaan yang tulus terhadap nilai-nilai kemanusiaan
yang ingin diperkenalkan dan ditumbuhkan oleh siswa.
Misalnya, jika suatu sekolah ingin menanamkan nilai
keadilan pada siswa, tetapi siswa secara terbuka
menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan di lingkungan
sekolah, maka iklim dan suasana di sekolah tersebut tidak
kondusif bagi keberhasilan pendidikan nilai. (Misalnya
kebiasaan jual beli soal ulangan, pemberian nilai,
mewajibkan siswa membeli buku atau seragam olah raga,
dll).
2. Siswa akan menanggapi tindakan nyata dan penghargaan
pendidik terhadap kehidupan mereka atau sikap
keteladanan mereka dalam menegakkan nilai-nilai yang
mereka ajarkan secara naluriah. Guru akan lebih dihormati
jika, misalnya, mencontohkan disiplin dalam kehidupannya
sendiri dan mengajarkan siswanya untuk memiliki sikap dan
nilai yang sama.
3. Semua guru di sekolah, terutama yang mengajar pendidikan
jasmani, harus aktif dalam melihat peluang yang muncul
untuk memberi tahu siswa tentang pentingnya melalui
kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Di dalam keluarga,
di sekolah, atau di masyarakat, tunjukkan sikap dan perilaku
yang positif saat berinteraksi dengan orang lain.

Untuk menyelaraskan antara saran dengan metode yang


dapat dilakukan dalam proses pendidikan dalam pembentukan
karakter, dapat kita pahami alur atau skema dibawah ini:

156
Gambar 12. Peranan Proses Pendidikan Dalam Pembentukan
Karakter
Sumber Buku Implementasi Pendidikan Karakter 2018

Pada paparan sebelumnya telah diuraikan pengertian


karakter dan juga pendidikan jasmani dan olahraga, yaitu upaya
mengembangkan kecerdasan dalam berpikir dan penghayatan
bentuk sikap, serta pengalaman yang didapatkan dalam
berolahraga untuk mengembangkan karakter peserta didik
secara optimal. Hal ini tentunya sejalan dengan pendapat
(Wiyani, 2012) bahwa, Pendidikan karakter adalah proses
pemberian sebuah tuntunan kepada peserta didik untuk
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi
hati, pikir, raga serta rasa dan karsa.
Pendidikan untuk membentuk kepribadian peserta didik
dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan watak,
pendidikan budi pekerti, dan pendidikan moral yang bertujuan
untuk menuntun peserta didik membuat keputusan baik-buruk,
memelihara yang baik dan mewujudkan kebaikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, (Zubaedi, 2015)
mengartikan pendidikan karakter sebagai “The deliberate us of all
dimensions of school life to foster optimal character development “

157
G. Implementasi Karakter
Olahraga selama ini sering disebut-sebut sebagai salah
satu cara untuk mengembangkan karakter. Salah satu cara untuk
meningkatkan kebugaran dan meningkatkan kinerja organ
tubuh adalah melalui olahraga dan aktivitas fisik. Seseorang
atau sekelompok orang dapat menggunakan olahraga dan
aktivitas fisik, selain tujuan tersebut di atas, sebagai cara untuk
mengembangkan karakternya sendiri. Olahraga diketahui
membuat karakter seseorang lebih mudah diketahui dan
menempatkannya pada situasi yang lebih baik. Partisipasi
olahraga adalah komponen penting dari gaya hidup sehat. Usia
peserta olahraga bervariasi dari muda hingga tua, dan tingkat
keterampilan mereka berkisar dari amatir hingga profesional.
Partisipasi olahraga dapat dilakukan untuk berbagai alasan,
termasuk sosialisasi, pengembangan karakter, kesehatan, dan
kebugaran. Olahraga dapat membawa kebahagiaan dan
pemenuhan diri bagi banyak orang. Tidak dapat disangkal
bahwa partisipasi dalam olahraga membantu banyak anak
muda mengembangkan kepribadiannya. Namun, keadaan
terkait olahraga memiliki dampak signifikan pada
pengembangan karakter positif.
Upaya pendidikan yang bertujuan untuk
memperkenalkan prinsip-prinsip moral dalam konteks
hubungan interpersonal kepada anak usia dini adalah
pengembangan moral dan karakter anak. Tidak mungkin
mempelajari karakter tanpa mempelajari nilai, sikap, norma dan
moral. Sikap dan perilaku merupakan komponen dari karakter
seseorang. Perilaku individu mencerminkan sikap mereka, dan
karena orang lain dapat melihat perilaku ini, mereka dapat
menggunakannya untuk menilai karakter individu tersebut.
Upaya ini tidak hanya selaras dengan kehidupan budaya, tetapi
juga penting bagi pembaharuan peradaban dalam rangka
menjaga moralitas, aturan, dan cita-cita tinggi kehidupan
manusia sejak dini. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengembangkan pendidikan moral dan karakter sebagai
inisiatif pendidikan yang strategis dan tepat. Pendidikan

158
karakter sedang dilaksanakan, dan budaya khas masing-masing
sekolah inilah yang membuatnya unik. Untuk mencegah
masalah dengan moral siswa, sekolah memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap bagaimana pendidikan moral dan karakter
diimplementasikan di lembaga mereka. Penanaman prinsip-
prinsip moral dan karakter dapat dilakukan melalui pengenalan
nilai-nilai, penjelasan maknanya dalam kehidupan sehari-hari,
penanaman pemahaman akan pentingnya nilai-nilai tersebut,
dan penanaman komitmen untuk menghayati prinsip-prinsip
tersebut.

Gambar 13. Pengembangan Karakter Melalui Olahraga Sejak


Dini
Sumber :dblacademy.com

Karena anak adalah masa depan negara, maka pendidikan


karakter diprioritaskan dimulai dari pendidikan anak usia dini.
Anak-anak diajarkan bagaimana bertindak dalam situasi sehari-
hari di pendidikan anak usia dini, yang dianggap sebagai kunci
untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan pada setiap orang.
Perkembangan karakter sejak dini memiliki dampak yang
signifikan terhadap bagaimana orang berperilaku dalam situasi
sosial (Gunawan, 2017). Menurut Yuniarni (2012), karakter yang
baik mengacu pada seperangkat sifat psikologis unik yang
memengaruhi kapasitas dan kecenderungan seseorang untuk
bertindak secara moral. Diyakini bahwa karakter yang baik
harus ditanamkan dalam pikiran anak-anak sejak usia dini.

159
Menurut Khaironi (2017), pendidikan karakter sangat penting
untuk pendidikan anak usia dini karena anak usia dini masih
kurang memiliki keterampilan sosial yang memadai. Hal ini
mungkin diperlukan karena anak kecil membutuhkan stimulasi
dan pengawasan langsung orang dewasa. Gagasan bahwa
pendidikan anak usia dini dapat dipandang sebagai pengantar
pendidikan pada jenjang berikutnya kemudian diperhitungkan.
Di sini pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang sudah
dimiliki anak ditransformasikan menjadi prinsip dasar, dan
prinsip tersebut dapat dibentuk dan ditanamkan melalui
kerangka dasar pendidikan anak usia dini (Sintia et al., 2019).
Safitri (2020) menegaskan bahwa jenis pendidikan yang
paling mendukung pertumbuhan anak di segala bidang kognisi,
kesehatan jasmani, kesejahteraan sosial-emosional, kreativitas,
dan spiritualitas adalah pendidikan yang mengintegrasikan
pendidikan karakter. Orientasi anak untuk menjadi manusia
seutuhnya dapat dibentuk dengan model pendidikan seperti ini.
Anak unggul bukan hanya dari segi kemampuan kognitif, tetapi
juga karena setiap anak memiliki karakter yang lebih baik secara
keseluruhan. Oleh karena itu, agar pendidikan karakter berhasil
dilaksanakan di lembaga pendidikan, tenaga kependidikan
sekurang-kurangnya harus melakukan perbaikan dan perbaikan
manajemen sekolah, antara lain melihat kalender pendidikan
atau sekolah, menyusun program sekolah, perencanaan
kelembagaan, mengalokasikan waktu, menyusun jadwal kerja,
dan menyusun visi, misi, dan program. Pekerjaan terkait
manajemen tambahan untuk sekolah. Kejujuran, percaya diri,
semangat belajar, semangat bekerja, dan menghargai keragaman
adalah beberapa karakter yang dianggap penting untuk
ditanamkan pada siswa di sekolah. Sifat-sifat tersebut
diperlukan untuk mengatasi fenomena kerusakan karakter
bangsa agar dapat berkembang menjadi pribadi yang
berkualitas dan efektif yang dapat mengharumkan nama bangsa
Indonesia yang bermartabat.

160
BAB PERAN GURU PENDIDIKAN
JASMANI KESEHATAN DAN

7
REKREASI DALAM
PERKEMBANGAN OLAHRAGA
DI ERA SOCIETY 5.0
PERAN GURU PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI DALAM PERKEMBANGAN OLAHRAGA DI ERA SOCIETY 5.0

A. Pendahuluan
Pada masa ini, dunia pendidikan berkembang pada masa
yang sangat penting. Pengembangan ini merupakan upaya
untuk memberikan layanan pelatihan yang berkualitas dan
optimal, selain penentuan sendiri keberlangsungan pelatihan.
Dalam perkembangan yang semakin maju saat ini, tantangan
muncul dari kebutuhan untuk mempersiapkan dan berpikir
serius tentang perubahan yang cepat dan tidak linier. Hal ini
mungkin karena berakhirnya era Revolusi 4.0, dimana teknologi
secara otomatis menggunakan internet sebagai pendukung
utamanya. Era revolusi 4.0 merupakan kelanjutan dari revolusi
industri sebelumnya, dan memanfaatkan revolusi 4.0
memungkinkan otomatisasi di segala bidang. Menurut
(Tjandrawinata, 2016), revolusi industri keempat dibangun di
atas revolusi industri ketiga atau disebut juga dengan revolusi
digital yang ditandai dengan penyebaran komputer dan
otomatisasi pencatatan di semua sektor.
Pesatnya perkembangan revolusi industri 4.0 ke 5.0
membawa dampak positif dan negatif. Dampak pembangunan
yang pesat seharusnya bukan menjadi tantangan yang
mengerikan melainkan menjadi peluang, terutama dalam
pembangunan berbagai sektor yang ada. Seperti halnya olah
raga yang dikembangkan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman dengan menggunakan teknologi yang
ada agar olah raga tidak ketinggalan zaman. Dalam hal ini
olahraga dapat menjadi aktivitas gaya hidup yang dinikmati

161
masyarakat, baik untuk pendidikan, rekreasi, aktivitas maupun
kesehatan. Perkembangan olahraga di Indonesia saat ini selalu
diwarnai dengan segala aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat sesuai dengan minatnya. Masyarakat menggunakan
olahraga sebagai cara hidup aktif, agar kesehatan dapat tercapai,
sehingga masyarakat dapat hidup sehat. Pada dasarnya
olahraga hadir untuk memberikan banyak informasi dan
aktivitas yang dapat menyehatkan tubuh. Olahraga di seluruh
dunia selalu dipraktikkan dengan berbagai kegiatan yang juga
dilakukan di Indonesia. Di Indonesia, olahraga rekreasi
dipraktekkan di masyarakat untuk menyalurkan gaya hidup
aktif guna memperbaiki kondisi masyarakat. Semua kegiatan
dilakukan, mulai dari olahraga sederhana hingga olahraga yang
dipraktikkan secara eksklusif oleh masyarakat dalam bentuk
pola hidup sehat. Namun, kenyataannya pola hidup sehat
melalui olahraga disadari oleh orang-orang yang sangat
memahami pentingnya olahraga bagi masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat yang saat ini memasuki usia lanjut
akan terbuai dengan teknologi canggih sehingga membuat
masyarakat malas berolahraga dan tidak menjadikan olahraga
sebagai gaya hidup sehat setiap hari. Saat ini semua bidang
bergerak ke arah yang lebih modern, yang berkontribusi pada
munculnya pembangunan di semua bidang tersebut, sehingga
olahraga perlu berkembang untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan yang ada. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
dengan berkembangnya olahraga di masa depan, olahraga akan
semakin menjadi gaya hidup masyarakat untuk memudahkan
masyarakat berolahraga di tengah serangan saat ini. Olahraga
sebagai gaya hidup dengan banyak aktivitas yang dapat dipilih
masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat, olahraga
dengan waktu hadir dalam berbagai jenis, bentuk dan kemasan
baru untuk mengisi waktu. Salah satu perkembangan dalam
olahraga telah mempengaruhi penggunaan perkembangan
teknologi yang ada. Dalam perkembangan teknologi digital,
menyediakan berbagai lingkungan aplikasi untuk
pengembangan olahraga. Dalam hal ini lingkungan aplikasi

162
berperan sebagai sarana dalam pembinaan olahraga agar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, yang dikemas sebagai hasil ide
kreatif penggunanya. Program olahraga yang banyak digunakan
dalam pembinaan olahraga antara lain program fitnes, program
kesehatan melalui olahraga, dan program video di YouTube.
Munculnya kreativitas dalam mengembangkan olahraga
dengan menggunakan teknologi yang ada merupakan salah satu
cara untuk menjawab tantangan zaman sekarang.
Mempertimbangkan hal tersebut, adanya fenomena
olahraga, dalam rangka melanjutkan perkembangan yang ada
saat ini, menciptakan peluang dan tantangan yang dapat
diimplementasikan. Olahraga khususnya tidak boleh tertinggal
oleh masyarakat sehingga harus mengikuti perkembangan
zaman, yaitu tidak ada alasan bagi olahraga untuk tidak
berkembang dalam waktu yang begitu cepat sehingga dengan
perkembangan zaman terbuka luas peluang untuk
pengembangan olahraga. Fenomena olahraga yang berkembang
saat ini merupakan peluang bagi para pecinta olahraga untuk
menerapkannya di masa kini dan merangkul perkembangan
olahraga di masa mendatang.

B. Nilai-nilai Universal dalam Olahraga


Di semua negara, olahraga telah mendapat dukungan luas
dari data penelitian sebagai alat pendidikan untuk membimbing
pesertanya, tidak hanya dalam memperoleh keterampilan fisik
dan motorik, tetapi juga dalam membangun sumber daya
manusia (SDM) yang kuat dengan kepemimpinan, dan diyakini
memiliki dampak positif. Kemampuan mempengaruhi
perkembangan kecakapan hidup seseorang. Dampak dari
perbincangan ini sungguh luar biasa karena begitu banyak orang
yang saat ini terlibat dalam berbagai klub olah raga di seluruh
dunia mengingat olah raga merupakan lingkungan belajar yang
paling efektif untuk mengintervensi pembentukan karakter
manusia. David Shield dan Brenda Bredemeier (1995), dalam
buku mereka Character Development and Physical Activity,
berpendapat bahwa meskipun masalah baru-baru ini meningkat

163
dalam olahraga kompetitif, olahraga memiliki banyak peluang
untuk menemukan, mempelajari, mengubah, dan menjalankan
nilai-nilai moral. Ketegangan moral yang sering dialami para
partisipan, misalnya antara standar fair play dan keinginan
untuk menang, merupakan ketegangan yang nilainya sama di
hampir semua situasi konflik moral. Perbedaan terbesar antara
olahraga dan kehidupan sehari-hari adalah bahwa pengalaman
moral dalam olahraga sangat padat dan terbuka dan merupakan
konteks yang berharga dalam pendidikan moral. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2004 menegaskan bahwa
setidaknya ada 23 nilai universal dalam olahraga yang dapat
diajarkan dan diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata. Nilai-
nilai tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Cooperation, bahwa kegiatan olahraga mengandung muatan
yang dapat mengembangkan budaya gotong
royong/gotong royong Untuk memiliki kehidupan yang
berkualitas, masyarakat perlu membiasakan diri dengan
kerjasama, dan olah raga merupakan arena yang dalam
suasana ringan memiliki kepentingan yang paling utama,
bahagia dan terbuka.
2. Communication, bahwa kegiatan olahraga dapat dijadikan
sebagai ajang untuk mengkomunikasikan kemampuan dan
kemauan berkomunikasi, baik secara pribadi maupun
kelompok, dalam artian olahraga ditempatkan sebagai alat
transportasi dan perlunya latihan untuk mencapai tujuan
kelompok.
3. Respect for the rules, bahwa setiap atlet dikelilingi oleh aturan
yang selalu menjadi acuan dan aturan yang harus diikuti
karena mengatur jalannya kegiatan olahraga. Adat istiadat
sistem hukum masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
ditransmisikan melalui pendidikan jasmani secara teratur
dan berkesinambungan.
4. Problem solving, setiap kegiatan olahraga mengandung
unsur-unsur penting yang memerlukan kemampuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Pertandingan
olahraga, baik permainan maupun cabang olahraga yang

164
sifatnya adanya kontak fisik yang biasanya mengandung
masalah yang merangsang berpikir kritis dan dapat
mengajarkan individu untuk mengambil keputusan yang
tepat dan bijaksana.
5. Understanding, kegiatan olahraga banyak mengandung
informasi melalui olah raga. Kegiatan olahraga memiliki
banyak prinsip gerak, prinsip hidup, bahkan banyak
peristiwa kehidupan, dan memiliki sejarah yang panjang.
Kajian ilmiah bahkan menemukan bahwa keterampilan
motorik erat kaitannya dengan beberapa hal lain, seperti:
spiritual, moral, sosial dan lain-lain.
6. Connection with others, dengan orang lain berarti bahwa
kegiatan olahraga mengandung unsur-unsur yang dapat
menciptakan koneksi (hubungan) antara individu dengan
orang lain. Hubungan yang dihasilkan terus berlanjut dan
menjadi aset berharga untuk menciptakan komunikasi
sosial di kemudian hari, bahkan di luar konteks olahraga.
7. Leadership, kegiatan olahraga mengantarkan seseorang
pada penguasaan dan sekaligus kepemimpinan.Kunci
kepemimpinan adalah pilihan atau kompetisi dan
pengambilan keputusan. Dalam dunia olahraga, nilai
belajar kompetisi dan pengambilan keputusan sangatlah
kaya.
8. Respect to others, dalam olahraga adalah menghormati atlet
lain, baik rekan satu tim maupun lawan. Saling menghargai
kelebihan dan kekurangan lawan atau rekan satu tim
merupakan wujud nyata yang harus dikuasai setiap cabang
olahraga guna menjunjung tinggi rasa saling menghargai
antar sesama.
9. Value of effort, kegiatan olah raga meliputi nilai
kepahlawanan, kepeloporan, perjuangan dan keteladanan,
pantang menyerah dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut
harus ditekankan agar atlet terinspirasi dengan nilai-nilai
yang seharusnya dimiliki. Dampak dari nilai-nilai bela diri
tersebut dapat berkembang melampaui batas lingkungan
olahraga, sehingga setiap warga negara memiliki keinginan

165
yang besar untuk menjadi pahlawan di berbagai bidang
kehidupan.
10. How to win, kegiatan olahraga melibatkan unsur strategi
dan taktik untuk memenangkan permainan, yang selalu
disertai dengan kerja keras dan nilai yang tulus. Persiapan
jangka panjang, sistem pelatihan modern harus
diperkenalkan dan elemen perencanaan matang, maka
Anda dapat mengandalkan kemenangan. Oleh karena itu,
memenangkan pertandingan merupakan konsekuensi logis
dari taruhan, yaitu bukan kemenangan olahraga instan.
11. How to Lose, kegiatan olahraga termasuk unsur belajar
memahami kekalahan; Bukankah setiap pemain atau tim
memiliki peluang yang sama untuk menang dan kalah.
Dalam dunia olahraga, kekalahan dan kemenangan adalah
dua sisi mata uang yang sama, yang tentunya lebih
dominan sangat bergantung pada usaha. Olahraga yang
baik juga mengajarkan pemain untuk menerima kekalahan
tanpa kehilangan harga diri.
12. How to manage competition, kegiatan olahraga mengandung
unsur pembelajaran manajemen persaingan yang
dirumuskan melalui penerapan prinsip-prinsip manajemen
tertentu. Pada saat yang sama, atlet harus belajar
bagaimana mengarahkan kompetisi yang sebenarnya
sehingga mereka belajar memimpin dan mengelola pada
saat yang bersamaan.
13. Fair play, kegiatan olahraga menyampaikan nilai-nilai fair
play, dimana setiap pelaku memiliki kesempatan yang
sama. Sikap ini akan melatarbelakangi etika fundamental
olahraga, yang mengisyaratkan bahwa yang paling serius
mencapai hasil yang lebih baik. Etika fair play dengan
demikian diwujudkan dalam sikap yang terkait dengannya.
14. Sharing, sering-seringlah membagikan atau menambah
kegiatan olahraga, baik antar teman (kelompok) maupun
antar lawan. Keadaan hidup yang harus diselesaikan
meningkatkan kesadaran bahwa tidak ada seorangpun
yang dapat hidup sendiri. Kehadiran teman dibagi. Begitu

166
pula kehadiran lawan di lapangan pada hakekatnya ada
untuk saling melengkapi dan membantu.
15. Self-esteem, setiap kegiatan olahraga berpeluang untuk
membentuk pribadi yang menghargai dan mengevaluasi
diri secara benar. Tidak terlalu banyak dan tidak cukup.
Ketika harga diri anak berkembang dengan baik, tingkat
kepercayaan diri yang tinggi tumbuh dan berkembang,
yang menjadi dasar perkembangan anak di semua bidang
kehidupan.
16. Trust, setiap kegiatan olahraga mengandung peristiwa
belajar agar bisa dipercaya orang lain dan dipercaya orang
lain. Peristiwa yang berulang ini merupakan sarana untuk
membentuk identitas yang jelas, termasuk kemampuan
bersosialisasi yang baik dengan orang lain, sehingga ia
berani keluar rumah demi pengembangan diri dan
kepribadiannya.
17. Honest, Olah raga yang jujur juga memiliki kemampuan
untuk membentuk orang yang jujur. Nilai-nilai integritas
tersebut dapat ditransmisikan dengan mengikuti aturan-
aturan ketika olahraga menghadirkan rintangan-rintangan
yang menjadi norma universal. Tentunya jika standar
tersebut dilanggar, hal ini berkaitan langsung dengan
pengenaan sanksi.
18. Self-respect, kegiatan olahraga yang penuh dengan harga
diri, yang juga menjadi dasar untuk menghargai orang lain.
Mengenal diri (eksistensi) secara utuh, serta kelebihan dan
kekurangan, dapat dicapai melalui olahraga.
19. Tolerance, setiap kegiatan olahraga mengandung unsur-
unsur yang dapat menumbuhkan sikap toleran terhadap
orang lain, bahkan terhadap mereka yang berbeda.
Mengembangkan nilai-nilai tersebut sangat penting,
terutama dalam masyarakat dengan nilai-nilai pluralisme
yang tinggi (agama, suku, ras, golongan, suku, dll). Dalam
olahraga terdapat banyak elemen untuk mengembangkan
sikap toleran, dimana hambatan atas keragaman dapat
dihancurkan.

167
20. Resilence, setiap kegiatan olahraga selalu bersinggungan
dengan nilai-nilai berjuang dan mudah menyerah. Secara
fisik, sikap tidak terburu-buru ini berhasil meningkatkan
skor kebugaran, dan secara psikologis menciptakan
stamina mental yang luar biasa.
21. Team Work, setiap kegiatan olahraga mengandung unsur
kerjasama, termasuk olahraga perorangan. Kerja tim dan
sikap kooperatif mendapat tempat yang baik dalam
olahraga, bukan hanya elemen kompetitif.
22. Dicipline, kegiatan olahraga melibatkan unsur kedisiplinan,
ketepatan waktu, kepatuhan terhadap jadwal dan
keinginan untuk kemajuan yang serius. Nilai-nilai tersebut
harus didukung dengan melatih berpikir positif tentang
konsekuensi logis dan hasil positif dari proses pendidikan.
Oleh karena itu, pengembangan disiplin memiliki tempat
yang baik dalam olahraga.
23. Confidence, kegiatan olahraga tidak terlepas dari postur dan
performa dari waktu ke waktu, semakin kita sadar bahwa
kita bisa melakukan ini, semakin berkembang rasa percaya
diri secara mental. Banyak nilai-nilai dalam kegiatan
olahraga yang membangun rasa percaya diri serta
meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri dalam
menghadapi rintangan dan tantangan.

C. Peran Guru dalam Sistem Pembangunan dan Pembinaan


Olahraga di Indonesia
Sistem adalah suatu kesatuan yang kompleks atau
terorganisir, atau satuan yang merupakan kumpulan atau
gabungan dari bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan
yang kompleks atau terpadu. Sistem adalah sekumpulan elemen
yang saling berhubungan. Pembinaan olahraga pada
hakekatnya merupakan implementasi dari suatu sistem.
Indikatornya adalah terwujudnya prestasi olahraga. Prestasi
olahraga merupakan gabungan dari berbagai aspek usaha dan
kegiatan yang dicapai melalui sistem pembinaan. Tingkat
keberhasilan pembangunan olahraga sangat bergantung pada

168
efektifitas olahraga tersebut. Sistem operasi. Semakin efisien
sistem bekerja, semakin baik kualitas yang dihasilkan dan
sebaliknya. Konseling dan pengembangan pada hakekatnya
adalah pekerjaan pendidikan baik formal maupun informal
yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah, terorganisasi
dan bertanggung jawab untuk memperkenalkan, memelihara,
membimbing dan mengembangkan basis kepribadian yang
seimbang, holistik dan harmonis.
Pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan sesuai
dengan keterampilan, kecenderungan/keinginan dan
keterampilan sebagai usulan untuk berkembang di masa yang
akan datang atas prakarsa sendiri dan untuk meningkatkan dan
mengembangkan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya
menuju manusia yang bermartabat, berkualitas dan memiliki
kemampuan manusia yang optimal serta mandiri. Abdul Gafur,
1983). Kajian sistem pembangunan olahraga Indonesia pada
hakekatnya adalah pembangunan sumber daya manusia
Indonesia. Dengan kata lain, kerja pembinaan ini tidak lepas dari
upaya membentuk kepribadian Indonesia yang seutuhnya.
Niemen (1993) mengemukakan bahwa hasil yang signifikan
diharapkan dari pembinaan olahraga yang sistematis, teliti dan
berkesinambungan. Proses pembinaannya memakan waktu
lama, dimulai sejak bayi atau anak usia dini, hingga anak
mencapai tingkat daya saing tertinggi. Pelatihan dimulai dengan
program pelatihan dasar umum yang mengarah ke
pengembangan kinerja olahraga yang komprehensif, dan
kemudian dengan pelatihan khusus untuk olahraga tertentu.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa sistem pembinaan
dan pengembangan olahraga yang digunakan di Indonesia
adalah skema piramida, dari sisi lain skema piramida juga dapat
mencakup tiga tahapan yaitu 1) Pemassalan, 2) Pembibitan dan
3) meningkatkan prestasi.

169
Gambar 14. Pembinaan prestasi olahraga ditinjau dari Teori
Piramida, Usia Berlatih, Tingkat Atlet Dan Tingkat
Pertumbuhan Dan Perkembangan Atlet (M. Furqon H., 2005)

Promosi olahraga adalah keahlian multifaset dan model


kebugaran dan dasar spesialisasi. Promosi olahraga bertujuan
untuk mendorong dan menggerakkan masyarakat agar lebih
memahami dan merasakan secara langsung hakekat dan
manfaat olahraga sebagai kebutuhan vital, khususnya olahraga
yang mudah, murah, menarik, bermanfaat dan massal. Tujuan
dari pijatan adalah untuk melibatkan sebanyak mungkin atlet
dalam meningkatkan performa atletiknya. Pemasaran massal
olahraga adalah dasar dari teori piramida dan pada saat yang
sama menjadi dasar promosi dan pencarian bakat olahraga.
Mempromosikan kegiatan olahraga untuk meningkatkan
kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat Indonesia untuk
membangun manusia yang terampil dengan menjadikan
olahraga sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, dalam pembangunan olahraga selalu
diperlukan peningkatan dan perluasan mass-market masyarakat
Indonesia, pembangunan kesehatan dan kebugaran jasmani,
mental dan rohani masyarakat, serta pembentukan watak dan
kepribadian, serta disiplin dan sportivitas yang tinggi, yang
merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas penduduk
Indonesia. Iklan juga bisa digunakan untuk mencari bibit-bibit

170
untuk melatih atlet-atlet hebat. Sosialisasi olahraga dan
pembinaan masyarakat merupakan salah satu bentuk promosi
olahraga. Dalam olahraga kompetitif, pemijatan harus dimulai
sejak dini, dalam hal tumbuh kembang anak, sangat baik jika
dimulai sejak masa kanak-kanak, terutama di akhir masa kanak-
kanak (6-12 tahun) merupakan tahap perkembangan
keterampilan gerak dasar.
Pedagogi olahraga adalah upaya untuk menemukan dan
menemukan individu-individu yang memiliki potensi untuk
mencapai prestasi olahraga masa depan seperti olahraga
populer tingkat atau tinggi. Ibarat seorang petani menanam
padi, ia tidak mengambil cangkul untuk mencari benih di hutan,
ia menabur benih atau membuat benih dengan cara tertentu,
misalnya dengan menggarap sebidang tanah sebagai tempat
menabur benih. Penyemaian dapat dilakukan dengan
identifikasi bakat (Talent) Identifikasi, selanjutnya masuk ke fase
pengembangan bakat (Talent Development). Dengan cara ini,
proses taman kanak-kanak seharusnya berjalan lebih baik.
Mengenai pertumbuhan dan perkembangan gerak anak
merupakan kelanjutan dari akhir masa kanak-kanak yaitu masa
remaja (M. Furqon H dan Muchsin Doewes, 2000).
Penyelenggaraan dan pembibitan olahraga ini menjadi
tanggung jawab direktur olahraga tingkat manajerial dan juga
bertanggung jawab terhadap pembinaan di tingkat yang lebih
rendah yaitu fase olahraga beregu. Adanya kejuaraan reguler
merupakan salah satu cara untuk merangsang dan mendorong
para atlet berlatih lebih giat untuk meningkatkan prestasinya.
Prestasi olahraga adalah prestasi puncak yang dicapai oleh
seorang atlet dalam suatu pertandingan atau pertandingan
setelah berbagai latihan atau tes. Permainan/kompetisi
diselenggarakan secara teratur dan tepat waktu. Pencapaian
tertinggi merupakan puncak dari semua proses pelatihan, baik
melalui mass marketing maupun melalui pembibitan. Dari hasil
proses reproduksi tersebut, terpilih atlet-atlet yang semakin
menunjukkan prestasi olahraga yang diusungnya. Peran
pengelola olahraga di tingkat politik dan strategis bertanggung

171
jawab untuk mempromosikan atlet-atlet tersebut dengan
penampilan berkualitas di tingkat nasional. Oleh karena itu,
dalam penyelenggaraan program pelatihan jangka panjang
dapat dikatakan bahwa: (1) masa kanak-kanak berisi program
latihan pemula (junior awal) yang merupakan usia mulai
berolahraga dalam tahap pemassalan; (2) masa adolesensi berisi
program latihan junior lanjut yang merupakan usia spesialisasi
dalam tahap pembibitan; dan (3) masa pasca adolesensi berisi
program latihan senior yang merupakan usia pencapaian
prestasi puncak dalam tahap pembinaan prestasi.
Peran seorang guru pendidikan jasmani dalam sistem
pembinaan dan pelatihan olahraga di Indonesia sebenarnya
bukanlah hal yang mudah, namun juga tidak sulit. Melihat
sistem pembinaan dan pembinaan olahraga Indonesia yang
mengikuti model piramida, maka peran guru pendidikan
jasmani sangat besar dengan program pendidikan jasmaninya di
tingkat massa, juga di taman kanak-kanak dengan program klub
olahraganya, peran jasmani guru pendidikan dalam
pengembangan sistem dan pendidikan olahraga ini adalah
sebagai berikut:
1. Dalam memberikan pengabdian kepada masyarakat sebagai
penggerak dalam olahraga, guru pendidikan jasmani dapat
berperan antara lain: a) Motivasi, guru penjasorkes harus
mampu memotivasi siswa dan warga masyarakat untuk mau
berolahraga, b) Penyelenggara, guru penjasorkes harus
mampu mengorganisasikan siswa dan warga masyarakat
untuk mengikuti kegiatan olahraga sehingga dapat
terlaksana dengan baik, sistematis dan lancar, dan c) sumber
belajar. Seorang guru pendidikan jasmani diharapkan dapat
menjadi panutan bagi siswa dan masyarakat khususnya
dalam bidang olahraga itu sendiri.
2. Upaya guru pendidikan jasmani untuk memenuhi perannya
sebagai penggerak olahraga adalah sebagai berikut. a) Tujuan
guru pendidikan jasmani dalam memenuhi perannya sebagai
motivator agar siswa dan warga masyarakat mau
berolahraga adalah untuk membangkitkan motivasi pada

172
siswa dan warga. Jelaskan manfaat olahraga sejelas mungkin,
misalnya olahraga membuat tubuh sehat, memiliki daya
tahan tubuh yang baik, lebih produktif, dll. Metode mediasi
terdiri dari pertemuan tatap muka dengan orang tua siswa
dan tokoh masyarakat, baik secara individu maupun
kelompok besar, b) Upaya guru pendidikan jasmani dalam
peran organisasinya dapat diwujudkan dengan
mengorganisasikan siswa dan warga masyarakat ke dalam
beberapa kelompok olahraga sesuai dengan kesukaan dan
keinginannya, selain membentuk pengurus masing-masing
kelompok olahraga ini, c) Upaya guru pendidikan jasmani
dalam perannya sebagai sumber belajar dapat diwujudkan
melalui kerjasama dengan pengawas jasmani kecamatan dan
melalui kerjasama dengan dinas olahraga.

Pendidikan jasmani memegang peranan penting dalam


pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Peserta didik
dapat mempelajari tentang materi pembelajaran (aspek
kognitif), gerak belajar (aspek psikomotorik) dan kepedulian,
sikap dan tanggung jawab (aspek afektif). Kelas pendidikan
jasmani dapat direncanakan untuk memberikan siswa inisiatif
untuk menikmati aktivitas fisik. Latihan dapat menyegarkan
karena siswa lelah belajar di kelas lain yang berlangsung setelah
atau sebelumnya. Karena olahraga pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan dan sekaligus kebutuhan manusia.
Oleh karena itu olahraga merupakan bagian integral dari
pembangunan dan pembangunan bangsa untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, terutama kesehatan fisik dan
mental, serta bertujuan untuk mengembangkan watak dan
kepribadian yang disiplin tinggi dan sportif.
Selain itu, pembangunan olahraga juga dijadikan sebagai
alat untuk membuktikan eksistensi suatu bangsa dengan
mengedepankan keunggulan. Untuk melaksanakan pembinaan
dan pembinaan olahraga, diperlukan berbagai upaya untuk
mengangkat dan memetakan potensi yang ada sesuai dengan
sistem piramida yang selama ini diterapkan. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah penguatan peran guru pendidikan

173
jasmani khususnya dalam memajukan pendidikan jasmani dan
jenjang pembibitan melalui kelas pendidikan jasmani di sekolah
dan di masyarakat. Peran guru pendidikan jasmani dalam sistem
pembinaan dan pengembangan olahraga di Indonesia dapat
diwujudkan sebagai penggerak olahraga, berperan sebagai
motivator, penyelenggara dan sumber belajar bagi seluruh siswa
dan lapisan masyarakat untuk melakukan olahraga dan
berbagai aktivitas jasmani.
Untuk menerapkan fungsi rekreatif dalam pembelajaran,
guru dapat menggunakan permainan untuk membuat siswa
merasa tertantang dan terhibur. Barus (2019) menyatakan bahwa
guru diharapkan mengetahui bagaimana menerapkan model
pembelajaran terbaik yang sesuai dengan kondisi, lingkungan
belajar dan ketahanan anak. Kaum muda biasanya menyukai
permainan kelompok karena kompetisi kelompok, kerja tim, dan
emosi positif. Saat ini terdapat era baru pendidikan, dimana
sumber belajar tidak hanya buku, tetapi juga teknologi seperti
internet dan robot untuk pembelajaran. Gumilar (2021)
menjelaskan apa pentingnya menjaga kualitas pembelajaran
melalui perbaikan terus-menerus, sehingga kesenjangan dalam
pembelajaran dapat diminimalkan dan ditingkatkan. Oleh
karena itu, guru harus mampu merancang pembelajaran yang
menarik dengan kolaborasi teknologi untuk mendukung
keberlangsungan pembelajaran dengan segala cara yang
memungkinkan untuk mendukung pembelajaran tersebut. Agar
tujuan pedagogik tercapai, jika pemanfaatan teknologi dan
kemampuan guru memadukannya sudah tepat.
Saat ini, siswa dapat membawa perangkat seperti laptop,
smartphone, dan tablet ke sekolah untuk keperluan belajar.
Membandingkan pembelajaran masa lalu dengan pembelajaran
saat ini adalah inti dari pembelajaran mindfulness. Di masa lalu,
guru benar-benar menjadi pusat perhatian murid-muridnya. Ini
juga bisa disebut (Teacher Centris). Hal ini dikarenakan guru
dikatakan memiliki pengetahuan yang luas terhadap materi
yang dipelajari dari buku. Sesuatu yang berbeda dengan saat ini,
ketika kita telah memasuki Age of Society 5.0, dimana terdapat

174
hubungan yang luas antara sumber daya manusia dan teknologi.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi
menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Fenomena yang terlihat adalah siswa dapat
belajar tentang perangkat untuk menambah referensi bahan
belajar yang digunakan untuk tugas sekolah. Pembelajaran di
mana siswa menjadi fokus perhatian belajar juga populer akhir-
akhir ini.
Rini (2019) menyatakan bahwa pembelajaran saat ini tidak
hanya menggunakan model pembelajaran sepihak dimana guru
menjelaskan dan siswa mendengarkan, tetapi pembelajaran
yang efektif harus melibatkan siswa dalam proses pembelajaran.
Perkembangan teknologi yang begitu besar tentunya harus
disikapi dengan bijak dengan bantuan sumber daya manusia.
Disini tugas guru adalah menunjukkan kepada siswa contoh
pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan pemahaman
mereka terhadap materi pelajaran. Mardhiyah (2021)
menjelaskan bahwa di era revolusi 4.0, di mana teknologi
digunakan di mana-mana, aspek manusia juga harus
diperhatikan seperti pendidikan dan kehidupan kerja, terutama
dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai panutan bagi siswa, guru
dituntut untuk merespon derasnya arus informasi saat belajar
dengan bantuan teknologi dengan keteladanan moral dan
pembentukan karakter. Rahayu (2021) menjelaskan bahwa
perkembangan teknologi yang pesat dan masif menuntut sektor
pendidikan mampu beradaptasi dengan digitalisasi sistem
pendidikan yang sedang berkembang.

D. Kompetensi Guru Penjas di Era 5.0


Era Society 5.0 merupakan proses kolaborasi antara manusia
sebagai pusat (human centered) dan teknologi sebagai basis
(technology based). Itu berarti. Pendidikan di era 5.0 merupakan
proses pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan
manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, pengetahuan dan
etika yang didukung oleh perkembangan teknologi modern saat
ini. Berbicara realita pendidikan kita adalah berbicara masalah

175
dan solusinya. Masalah pendidikan kita tentunya mencakup
banyak hal, mulai dari ketersediaan guru yang memadai,
kompetensi guru, sarana dan prasarana pendukung serta
keterlibatan orang tua dalam mendukung proses pendidikan
anaknya. Kita bisa merasakan solusi dari pemerintah untuk
masalah ini. Di sisi lain, pendidikan mengalami masalah besar
yang harus dipecahkan secara kolaboratif antara guru, siswa,
dan orang tua. Masalah besarnya adalah transformasi
pendidikan dari era 4.0 menuju era masyarakat 5.0. Tentu kita
akan terburu-buru menghadapi era ini, dimana kita masih
beradaptasi dengan era 4.0. Meski terburu-buru menyambut era
society 5.0, tampaknya pemerintah telah menyiapkan konsep
belajar mandiri, guru penggerak, dan sekolah penggerak sebagai
jawaban atas datangnya era society 5.0.
Merdeka belajar yang digaungkan pemerintah
merupakan upaya mengubah mindset teacher-centric menjadi
collaboration-centric. Artinya guru tidak hanya sebagai sumber
informasi, tetapi siswa juga dapat melengkapi apa yang
disampaikan guru melalui sumber belajar lain yang dimilikinya.
Sehingga guru dan siswa akan bersama-sama menjadi pemecah
masalah dalam proses pendidikan. Kehadiran era society 5.0 yang
merupakan penyempurnaan dari era 4.0 merupakan masalah
besar sekaligus peluang besar bagi wajah pendidikan kita. Guru
yang menjadi penggerak pendidikan di era society 5.0 harus
memiliki kompetensi yang memadai. Ia harus mahir dalam
memberikan materi pelajaran dan mampu menggerakkan siswa
untuk berfikir kritis dan kreatif. Selain penyiapan kurikulum
dan fasilitas pendidikan yang memadai di era society 5.0, guru
diharapkan mampu memastikan kurikulum berjalan dengan
optimal, oleh karena itu guru harus memiliki beberapa
kompetensi utama dan penunjang seperti kompetensi
pendidikan, kompetensi komersialisasi teknologi, kompetensi
dalam globalisasi, kompetensi dalam strategi masa depan serta
kompetensi konselor. Guru juga perlu memiliki sikap ramah
teknologi, kolaboratif, berani mengambil risiko, memiliki selera
humor yang baik, dan mengajar secara keseluruhan. Baik atau

176
buruknya wajah pendidikan kita di era society 5.0 salah satunya
ditentukan oleh guru sebagai agen perubahan yang memiliki
peran utama yang sangat strategis. Inilah tantangan terbesar
bagi guru untuk segera mempersiapkan diri beradaptasi di era
society 5.0 dengan segala permasalahan yang akan dihadapi.
Era Society 5.0 dalam dunia pendidikan menekankan pada
pendidikan budi pekerti, moral dan keteladanan. Hal ini
dikarenakan pengetahuan yang dimiliki dapat digantikan oleh
teknologi sedangkan penerapan soft skill dan hard skill yang
dimiliki oleh setiap siswa tidak dapat digantikan oleh teknologi.
Dalam hal ini diperlukan kesiapan dalam hal pendidikan
berbasis kompetensi, pemahaman dan pemanfaatan IoT (Internet
of Things), pemanfaatan virtual atau augmented reality dan
penggunaan dan pemanfaatan AI (Artificial Intelligence).
Disinilah letak kerjasama antara guru dan siswa dalam proses
pembelajaran. Proses kolaboratif ini diharapkan dapat
mengakhiri kemarau panjang sistem pembelajaran yang selama
ini berpusat pada guru. Meskipun model pembelajaran di era
society 5.0 tidak bersifat teacher centric, namun fungsi guru tetap
menjadi fungsi utama sebagai penggerak konsep kolaborasi.
Maka ada tiga hal yang harus dimanfaatkan oleh guru di era
society 5.0 seperti yang sudah dijelaskan di atas antara lain
Internet of Things dalam dunia pendidikan (IoT),
Virtual/Augmented Reality dalam dunia pendidikan,
Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) ) yang dapat digunakan
untuk membantu mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran
yang dibutuhkan oleh guru dan siswa tentunya. Selain ketiga hal
tersebut, guru juga harus memiliki keterampilan dan
keterampilan kepemimpinan, literasi digital, komunikasi,
kewirausahaan, dan pemecahan masalah. Semua kriteria dan
kompetensi tersebut di atas menjadi tantangan bagi guru kita
dan pemerintah untuk mempersiapkan secara matang,
sistematis, dan terukur untuk pola pembelajaran masa depan
yang ramah dan relevan dengan era masyarakat 5.0.

177
Pendidikan jasmani merupakan salah satu pembelajaran
yang terstruktur dan sistematis untuk memperoleh
pengetahuan, meningkatkan sikap kepribadian, dan
keterampilan melalui aktivitas jasmani. Ada nilai-nilai penting
yang terkandung dalam pendidikan jasmani seperti sportivitas,
tanggung jawab, kerjasama, kejujuran, dan sebagainya.
Dibutuhkan peran dari seorang guru untuk menerapkan nilai-
nilai pendidikan jasmani kepada siswa agar menjadi bekal
perilaku, kepribadian, dan kebermanfaatan di masyarakat
seperti memberi contoh yang baik, membuat peraturan dalam
proses pembelajaran, menghargai perilaku siswa yang baik, dan
seterusnya. Dalam menerapkan nilai-nilai pada pendidikan
jasmani, guru diharapkan menetapkan seperangkat nilai inti
yang dapat ditanamkan melalui pembelajaran proaktif, sehingga
memberikan kebebasan kepada siswa untuk memiliki
kesempatan dan refleksi diri dalam memahami pembelajaran
(Vickerman & Maher, 2018). ). Dari sinilah, guru memiliki peran
penting untuk menerapkan nilai-nilai yang ada kepada siswa
agar menjadi manusia yang memahami norma, agama, dan adat
istiadat di lingkungan masyarakat. Ada beberapa peran penting
guru atau praktisi seperti yang disebutkan oleh (Whitehead et
al., 2014), antara lain:
1. Apresiasi perilaku yang baik.
Aspek menghargai guru lebih tepatnya adalah memberikan
penghargaan atau pujian kepada siswa yang memiliki
perilaku yang baik seperti dapat menghormati guru dan
teman lainnya, memiliki sikap yang baik seperti santun dan
sebagainya. Dari hal-hal kecil tersebut siswa merasa
diperhatikan sehingga ketika guru memberikan
pembelajaran siswa senang dan mengamati dengan seksama
dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Dengan begitu,
nilai-nilai yang diajarkan akan mudah tersampaikan kepada
siswa.

178
2. Mengabaikan, atau mungkin menghukum, perilaku yang
tidak diinginkan.
Peran guru dalam menghukum lebih tepatnya adalah
memberikan teguran atau ketegasan kepada siswa yang
melanggar peraturan dan menekankan bahwa peraturan itu
untuk dipatuhi dan tidak dilanggar. Dengan demikian akan
ditanamkan nilai-nilai pendidikan jasmani khususnya
menghormati dan mentaati peraturan yang ada pada siswa,
sehingga akan terbawa ke masyarakat untuk mentaati
peraturan setempat.
3. Teladan perilaku yang baik.
Guru adalah sosok yang ditiru oleh siswa. Sebagai seorang
guru, Anda harus memberi contoh hal-hal baik yang
membuat siswa lebih memperhatikan guru. Profesionalisme
guru merupakan hal yang penting, baik dalam perilaku
maupun saat mengajar. Ketika guru berhasil dalam hal ini,
siswa akan mengagumi dan meniru perilaku yang
ditunjukkan oleh guru.

Harapan masyarakat terhadap guru pendidikan jasmani


harus mampu menguasai tumbuh kembang anak sesuai dengan
pembelajaran pendidikan jasmani. Pada setiap karakteristik
anak berbeda-beda langkah dan porsinya dalam perkembangan
anak. Sehingga dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani
guru mampu mengarahkan siswa sesuai dengan hakikat
pendidikan jasmani, sedangkan tuntutan profesi guru adalah
pedagogik, profesional, sosial, disiplin. Profesionalisme tenaga
pengajar merupakan suatu keharusan yang perlu ditingkatkan.
Kreativitas merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan
guru yang profesional. Salah satu guru profesional harus
mampu mengajar dengan baik dengan menggunakan
pendekatan teori, praktis, pengetahuan, mampu dekat dengan
siswa, memahami tumbuh kembang anak. Namun pada
kenyataannya, dalam mengajar kelas berapapun, hasilnya sama
dengan prosesnya. Hal ini akan mengakibatkan siswa tidak
dapat menerima pelajaran sesuai dengan porsi usia anak. Ketika
profesionalitas guru tidak sesuai dengan harapan ideal, maka

179
masyarakat di luar sekolah akan meragukan kualitas guru
penjasorkes, dan tidak menutup kemungkinan guru penjasorkes
akan tergeser oleh guru asing di era persaingan bebas saat ini.
Untuk itu dalam proses pembelajaran guru perlu meningkatkan
profesionalisme dalam menghadapi era 5.0 agar mampu
beradaptasi dengan sistem pendidikan yang baru.
Keterbatasan sarana dan prasarana di sekolah menjadi
masalah serius dalam proses pembelajaran di sekolah
khususnya pendidikan jasmani, karena tuntutan hasil belajar
yang maksimal yang ingin dicapai oleh siswa. Selama ini guru
pendidikan jasmani hanya dituntut untuk mampu memodifikasi
pembelajaran agar proses pembelajaran tetap berjalan. Namun
saat ini di era 5.0 seperti yang kita ketahui, guru harus memiliki
kompetensi yang memadai. Ia harus mahir dalam memberikan
materi pelajaran dan mampu menggerakkan siswa untuk
berfikir kritis dan kreatif. Beberapa kompetensi utama dan
penunjang seperti kompetensi pendidikan, kompetensi
komersialisasi teknologi, kompetensi globalisasi, kompetensi
strategi masa depan dan kompetensi konselor. Guru juga perlu
memiliki sikap ramah teknologi, kolaboratif, berani mengambil
risiko, memiliki selera humor yang baik, dan mengajar secara
keseluruhan. Baik atau buruknya wajah pendidikan kita di era
society 5.0 salah satunya ditentukan oleh guru sebagai agen
perubahan yang memiliki peran utama yang sangat strategis.
Inilah tantangan terbesar bagi guru untuk segera
mempersiapkan diri beradaptasi di era society 5.0 dengan segala
permasalahan yang akan dihadapi. Untuk itu diperlukan kajian
mendalam terkait peran guru pendidikan jasmani di era 5.0 agar
mampu bersaing dengan kualitas pendidikan dunia dan
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh
karena itu diperlukan pendidikan mengenai kecakapan hidup
abad 21 atau yang lebih dikenal dengan 4C (Creativity, Critical
Thinking, Communication, Collaboration).

180
E. Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Penjas
Di zaman sekarang ini atau yang sering kita sebut era
modern, banyak sekali perkembangan teknologi saat ini yang
tidak bisa dihindari. Kehidupan remaja pada masa lalu sangat
berbeda dengan kehidupan remaja saat ini. Pembelajaran hari ini
sangat berbeda dengan sebelumnya. Kini teknologi digital telah
menjangkau seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan.
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di era
globalisasi saat ini tidak dapat dihindari, dampaknya terhadap
dunia pendidikan tidak dapat dihindari. Derasnya arus
informasi di era digital tidak dapat dihindari karena tidak
mudah dikendalikan. Perkembangan teknologi dalam dunia
pendidikan juga membawa banyak inovasi baru untuk
mendukung pembelajaran. Salah satunya adalah semakin
beragamnya lingkungan belajar akibat pesatnya perkembangan
teknologi. Telah terjadi perubahan dalam dunia pendidikan,
bahkan perubahan mendasar pada tataran filosofi, arah dan
tujuan.
Tuntutan global menuntut dunia pendidikan untuk selalu
dan terus menerus mengadaptasi perkembangan teknologi
dengan upaya peningkatan mutu pendidikan terutama dengan
menyesuaikan penggunaannya dalam dunia pendidikan
khususnya dalam pembelajaran. Teknologi digital juga dapat
bermanfaat dalam mengubah perilaku masyarakat, termasuk
pendidikan dan peserta didik, dengan cara mencari,
mengumpulkan, mendokumentasikan, mengolah, dan berbagi
bahan ajar sesuai kebutuhan. Penggabungan bahan ajar dengan
teknologi digital dalam proses pembelajaran dapat lebih
menarik dan memberikan motivasi belajar, karena pencampuran
bahan ajar tidak monoton dalam bentuk teks, tetapi dapat
diramu lebih kreatif dan menarik, karena menggabungkan
gambar, suara, video dan animasi, sehingga sehingga dapat
mempengaruhi perubahan perilaku belajar menjadi lebih baik.
Teknologi digital bukanlah hal baru dan datang secara tiba-tiba,
namun telah berkembang sejak tahun 80-an, oleh karena itu
disebut era digital hingga abad ke-21. Selama ini penggunaan

181
teknologi digital sudah menjadi kebutuhan. Dengan bantuan
pengembangan ilmu ini, seharusnya dapat memudahkan dunia
pendidikan. Namun, tidak demikian halnya, kecepatan
informasi tidak selalu berdampak positif. Semuanya memiliki
implikasi positif dan negatif, termasuk kemajuan teknologi
informasi di era digital ini.
Di abad ke-21, teknologi digital menjadi semakin penting
dalam hal pembelajaran keterampilan dan inovasi. Padahal,
teknologi pembelajaran akan berkembang seiring berjalannya
waktu. Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari juga sering
kita jumpai pemanfaatan perkembangan teknologi dalam dunia
pendidikan, seperti yang sering dilakukan oleh guru yaitu
pengintegrasian alat-alat teknis ke dalam pembelajaran. Namun,
teknologi tidak hanya membawa manfaat positif, tetapi juga
dapat membawa dampak negatif. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah memberikan dampak positif
terhadap keterbukaan dan penyebaran ilmu pengetahuan dan
informasi ke seluruh penjuru dunia melintasi batas ruang dan
waktu. Keberadaan teknologi informasi dalam dunia
pendidikan dapat memecah jarak antara guru dan siswa.
Teknologi informasi menawarkan cyber teaching atau
pengajaran virtual dimana proses pengajaran berlangsung
melalui internet. Sekarang ada banyak situs web yang
menawarkan pendidikan dunia maya. Dengan teknologi ini,
tidak ada alasan untuk tidak belajar. Dengan perkembangan
teknologi yang pesat, terdapat perangkat dan aplikasi yang
sangat mudah dipelajari dan digunakan sebagai lingkungan
belajar. Alat teknologi yang sangat familiar bagi masyarakat
adalah perangkat yang memiliki banyak fungsi aplikasi yang
mudah digunakan untuk mencari informasi kajian, Gadget
sudah memiliki banyak aplikasi sosial media yang dapat
digunakan untuk mencari bahan kajian yang akan dicari dan
sangat mudah menggunakan. Hasil penelitian dilakukan oleh
Fellyson Titting, Taufik Hidayah, Harry Pramono. (2016)
mengatakan bahwa produk pengembangan pembelajaran
berbasis Android untuk pendidikan jasmani dan olahraga SMA

182
dinilai sangat efektif untuk digunakan guru dan siswa,
khususnya pembelajaran berbasis praktik. Hal ini tentunya
menggambarkan bagaimana kemajuan teknologi yang mudah
diakses melalui internet membuat informasi sangat mudah
untuk digunakan dan disebarluaskan. Apalagi teknologi ini
memungkinkan guru dan siswa untuk menerapkan apa yang
telah mereka pelajari tanpa pertemuan tatap muka atau lebih
dikenal dengan pembelajaran online. Hal ini menunjukkan
bahwa peran teknologi dalam pembelajaran kontemporer
sangatlah penting. Seperti halnya penelitian yang dilakukan
oleh Maranthika dan Setyantoko (2017) mengatakan bahwa
terdapat perbedaan hasil belajar berbasis media (aplikasi) yang
digunakan dan berhasil meningkatkan minat dan motivasi
belajar siswa.
Pendidikan di era globalisasi berarti integrasi pendidikan
nasional menuju pendidikan modern. Siswa harus memiliki
keterampilan yang memadai untuk memungkinkan siswa
berkembang di era digital yang sangat kompetitif. Dalam dunia
pendidikan di era digital terdapat beberapa permasalahan dan
tantangan seperti: mutu pendidikan, profesionalisme tenaga
pengajar, budaya, strategi pembelajaran, tantangan peningkatan
manajemen, dan tantangan pengembangan iptek. Teknologi
dalam dunia pendidikan merupakan suatu sistem yang
mendukung pembelajaran untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Perkembangan teknologi informasi dan digital
berdampak besar terhadap bagaimana manusia melakukan
proses belajar, memperoleh, menggunakan, pengetahuan dan
informasi. Senada dengan penelitian Diny Anggraini Adnas,
Jevin Tan. (2022) mengatakan bahwa dengan media
pembelajaran siswa dapat belajar lebih luas dan lebih banyak,
sehingga mendapatkan pembelajaran yang menarik.
Pembelajaran yang dilakukan saat ini tidak sama dengan
pembelajaran yang dilakukan di masa lalu. Saat ini dengan
bantuan internet seseorang dapat mengakses dan menggunakan
informasi dan pengetahuan dari berbagai sumber. Teknologi
pendidikan merupakan bidang yang menitikberatkan pada

183
upaya menciptakan program dan kegiatan pembelajaran yang
efektif dan efisien.
Program pembelajaran yang efektif dan efisien pada
dasarnya dapat membantu siswa memperoleh keterampilan
yang mereka butuhkan. Selain itu, program pembelajaran yang
efektif dan efisien dapat meningkatkan motivasi belajar.
Program pembelajaran yang efektif dan efisien juga dapat
memperpanjang retensi isi atau materi yang dipelajari. Terakhir,
program pembelajaran yang efektif dan fungsional memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang telah mereka pelajari. Di bidang teknologi
pendidikan, tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas
program pembelajaran melalui proses perencanaan,
pengembangan, penggunaan, pengelolaan, dan evaluasi yang
sistematis dan sistematis. Seperti halnya penggunaan
multimedia dalam proses penilaian digital yang diteliti oleh
Penney, Jones Newhouse, Campbell. (2012) Dimana penilaian
berbasis komputer berbasis program dirancang untuk
digabungkan untuk menilai kemampuan fisik, kognitif dan
afektif siswa. Sehingga guru dapat melakukan penilaian
autentik dan mencatatnya dengan rapi. Selain itu pemanfaatan
multimedia sebagai alat untuk mengumpulkan data interaksi
guru-siswa dalam pendidikan jasmani. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sato, Haegel (2017)
menunjukkan bahwa multimedia dapat menjadi sarana untuk
mempelajari gejala sosiologis interaksi guru-siswa dalam
kaitannya dengan keberhasilan pelaksanaan pendidikan
jasmani. Konten multimedia yang digunakan adalah video
tentang pelajaran pendidikan jasmani yang diunggah ke You
Tube dan forum diskusi online. Penggunaan website untuk
menyelenggarakan kursus online jarak jauh di bidang
pendidikan olahraga adaptif dapat menjadi solusi bagi guru
pendidikan jasmani yang ingin mengembangkan kemampuan
pedagogik dan profesionalnya.

184
Dalam perkembangan pendidikan jasmani, multimedia
harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik di
era modern seperti saat ini. Di era ini, guru bertanggung jawab
atas pendidikan siswa/i. Guru tidak dapat memantau siswa 24
jam sehari dengan tambahan. Kekhawatiran guru bahwa siswa
dapat terkena dampak negatif penggunaan gadget dapat
diminimalisir dengan penguasaan teknologi media
pembelajaran. Hasil penelitian Rosen (2011) menyimpulkan
bahwa guru dapat menggunakan kecintaan siswa terhadap
teknologi untuk fokus pada pencapaian tujuan pendidikan.
Dengan cara ini, guru tidak hanya lebih melibatkan siswa dalam
proses pembelajaran, tetapi juga membebaskan waktu kelas
untuk membantu siswa menemukan makna dalam informasi
yang mereka akses dari teknologi.

F. Kompetensi Olahraga Dalam Era Society 5.0


Perkembangan Revolusi Industri 1.0 hingga saat ini telah
membawa tantangan yang nyata bagi manusia di segala bidang
yang ada, khususnya di bidang olahraga. Tantangan-tantangan
tersebut harus diselesaikan dan dicari solusinya agar lapangan
dapat menyesuaikan dengan zaman agar tidak hilang begitu
saja. Dengan kemajuan teknologi yang muncul sebagai dampak
dari era baru ini yaitu society 5.0, masyarakat olahraga dapat
memanfaatkannya untuk mengembangkan dan
mengintegrasikan olahraga sebagai kegiatan yang digunakan
oleh masyarakat. Olahraga merupakan kegiatan yang merawat
tubuh secara fisik dengan tujuan menjadikan tubuh sehat.
Integrasi olah raga dengan kecanggihan teknologi dalam
masyarakat 5.0, olah raga dapat dengan mudah dimanfaatkan
oleh masyarakat dimanapun dan kapanpun berada. Karena
olahraga merupakan kegiatan yang digemari oleh masyarakat
karena jika dilakukan secara terencana akan mendapatkan
kebugaran jasmani. Dengan begitu, pemanfaatan olahraga
dengan teknologi di masyarakat 5.0 dapat lebih bermanfaat dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

185
Dalam forum terbuka antar dunia merumuskan sepuluh
keterampilan yang harus dimiliki guna menghadapi masyarakat
super cerdas. Menurut (Santoso, 2019) tiga kemampuan tertinggi
yang dibutuhkan adalah kemampuan memecahkan masalah
yang kompleks, berpikir kritis, dan kreativitas. Tiga kemampuan
untuk memecahkan masalah kompleks dalam masyarakat 5.0
menjadi tanggung jawab manusia dalam olahraga. Masyarakat
yang saat ini menjadikan olahraga sebagai gaya hidup harus
terus dipertahankan di masa mendatang, dan hal ini menjadi
tantangan bagi para pelaku olahraga, dalam hal ini para
ilmuwan atau pemikir olahraga, agar kedepannya semakin
berkembang dalam dunia olahraga. Orang-orang olahraga tidak
cukup dibekali dengan kekayaan pengetahuan, tetapi juga cara
berpikir. Cara berpikir yang harus selalu dikenalkan dan
dibiasakan adalah cara berpikir beradaptasi di masa depan,
yaitu analitis, kritis, dan kreatif. Menurut (Santoso, 2019) cara
berpikir tersebut disebut berpikir tingkat tinggi (HOTS: Higher
Order Thinking Skills), cara berpikir HOTS bukanlah berpikir
biasa, melainkan berpikir kompleks, berjenjang, dan sistematik.
Kemampuan HOTS dapat diterapkan dalam dunia olahraga
antara lain dengan memberikan ruang bagi insan olahraga untuk
menemukan konsep pengembangan olahraga berbasis aktivitas.
Hal ini dapat mendorong insan olahraga untuk membangun
kreatifitas dan berpikir kritis untuk mengembangkan olahraga
dimasa yang akan datang dan insan olahraga dapat memilih
berbagai kegiatan olahraga. Semua kegiatan tersebut diterapkan
pada perkembangan saat ini dengan penalaran kritis agar
olahraga dapat dinikmati oleh masyarakat di masa yang akan
datang. Dalam hal ini insan olahraga berperan sebagai fasilitator
bagi masyarakat luar untuk memberikan arahan dalam mencari
solusi perkembangan olahraga di era society 5.0. Harapannya,
solusi yang muncul bukan solusi lama atau bahkan daur ulang
saja. Namun solusi yang memiliki nilai kebaruan dalam konteks
situasi baru adalah kreativitas dan inovasi.

186
Perkembangan olahraga di masyarakat 5.0 meningkatkan
aktivitas masyarakat dalam berolahraga. Pembinaan olahraga di
masyarakat 5.0 dapat dilakukan dengan menggunakan
handphone, tablet atau laptop beserta koneksi internet yang
dapat digunakan untuk pembinaan olahraga, sehingga kegiatan
olahraga dapat dilakukan dan dimanfaatkan kapanpun dan
dimanapun. Pencarian kebutuhan olahraga sebagai suatu
kegiatan yang dilakukan oleh manusia dapat dengan mudah
dilakukan, misalnya masyarakat dapat memanfaatkan teknologi
video olahraga yang diperoleh dari internet untuk melakukan
kegiatan olahraga sesuai kebutuhan berdasarkan rekomendasi
atau program yang dibuat oleh para pelaku olahraga, sehingga
videonya benar-benar cocok untuk kegiatan olahraga
masyarakat itu. Olahraga dapat membuat video atau aplikasi
olahraga yang baik dan benar untuk orang yang melakukan
aktivitas fisik. Sehingga dengan sinergi olahraga dan teknologi
di masyarakat 5.0, olahraga sangat bermanfaat dan olahraga bisa
dilakukan kapanpun dan dimanapun.

G. Strategi Olahraga dalam Society 5.0


Era globalisasi kini terasa tak terbendung sehingga masuk
ke Indonesia. Dengan kemajuan perkembangan teknologi yang
semakin canggih, dunia telah memasuki era Society 5.0 yang
dikembangkan oleh Jepang yang menekankan pada
penyeimbangan kemajuan teknologi dengan tetap
mempertimbangkan aspek humaniora. Sebelumnya dunia telah
memasuki era 4.0 kemudian disusul dengan society 5.0.
Menghadapi tantangan tersebut, olahraga dituntut untuk
beradaptasi dengan masyarakat 5.0 Masyarakat yang
berkecimpung di dunia olahraga harus mempersiapkan diri
untuk menghadapi era society 5.0 Ketentuan ini untuk
menghubungkan olahraga dengan big data dan Internet of Things
yang merupakan kecerdasan buatan yang ada, yang kemudian
dimanfaatkan melalui olahraga. Pemanfaatan tersebut antara
lain membekali masyarakat yang berkecimpung di bidang
olahraga untuk menggunakan teknologi secara baik dan bijak

187
disertai dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan
diterapkan pada masyarakat luar, sehingga mampu melakukan
penyesuaian terhadap tantangan zaman dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat 5.0.
Perkembangan olahraga dari tahun ke tahun semakin
pesat, hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat yang
melakukan olahraga sebagai gaya hidup. Olahraga banyak
digunakan untuk belajar, rekreasi, kesehatan, dan prestasi,
membuat olahraga digunakan dimana-mana dan sangat
dibutuhkan oleh manusia saat ini. Olahraga sebagai kebutuhan
menurut (Khamdani, 2010) mengatakan olahraga merupakan
kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi dengan
berolahraga seseorang telah memenuhi kebutuhan fisiknya,
banyak manfaat yang dapat diperoleh melalui olahraga.
Olahraga adalah kegiatan fisik yang teratur, kompetitif, dan
terampil yang dilakukan oleh manusia. Alasan melakukan
olahraga saat ini selain dari gaya hidup sehat antara lain
menurut (Seippel, 2006) mengatakan bahwa alasan melakukan
olahraga selain untuk menjaga kebugaran adalah untuk
bersenang-senang dan meningkatkan hubungan sosial yang
berkaitan dengan konteks olahraga.
Kecenderungan masyarakat terhadap olahraga saat ini
menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat yang
berkecimpung di dunia olahraga sehingga olahraga selalu
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Permasalahan yang
ada di era yang semakin maju saat ini, olahraga dituntut untuk
berkembang agar tidak ketinggalan. Perkembangan olahraga
menjadi tantangan bagi manusia untuk melakukan terobosan di
bidang olahraga dengan menyesuaikan diri dengan era saat ini.
Saat ini kita sudah memasuki era yang sangat maju dengan
memanfaatkan teknologi IT, dengan memanfaatkan IT dengan
olah raga diharapkan kedepannya olah raga tidak ketinggalan di
masa yang akan datang, yang dipersiapkan untuk menghadapi
masyarakat 5.0. Society 5.0 bukanlah hal baru saat ini, meski
beberapa negara maju masih bergelut dengan Revolusi Industri
4.0, bukan berarti tidak ada negara yang sudah menuju era IR

188
5.0, salah satunya Jepang. Konsep society 5.0 merupakan
pengembangan dari dampak yang ditimbulkan dari Revolusi
Industri 4.0 yang merupakan era yang akan kembali ke masa pra
industri. Kerjasama antara manusia dan teknologi digital
semakin nyata. Robot yang dikembangkan sudah mulai
diarahkan untuk berkolaborasi dan bersentuhan langsung
dengan manusia (Ostergaard, 2017). Namun, di era society 5.0,
banyak ahli sepakat bahwa era pra industri menjadi bagian
penting penanda munculnya society 5.0. Bisa dibayangkan jika
era society 5.0 dapat dimanfaatkan dalam ranah olah raga,
manusia dan teknologi berkolaborasi dalam proses
pembelajaran, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Manusia yang melakukan olahraga mungkin dihadapkan
pada teknologi canggih yang dapat dimanfaatkan oleh olahraga
yang diciptakan oleh para pelaku olahraga dan dimanfaatkan
oleh komunitas olahraga untuk mendapatkan keuntungan
darinya. Atau bagaimana kemudian olahraga dengan
memanfaatkan teknologi yang berkembang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat dengan menggunakan konsep natural language
processing dengan perkembangan teknologi berupa robot
asisten berbasis software yang mampu melakukan pengenalan
suara. Jadi olahraga tidak hanya bisa dilakukan kapan saja dan
dimana saja, tapi juga bisa dilakukan meski tanpa pemandu agar
masyarakat bisa berolahraga dengan baik dan nyaman.
Kolaborasi antara mesin cerdas dengan manusia bukan
lagi hal yang asing, namun sudah menjadi kebutuhan dimana
mesin yang dikembangkan untuk membantu memudahkan
setiap aktivitas manusia harus terus disesuaikan dengan
kebutuhan nyata yang sebenarnya. Sehingga kedepannya
manuver di society 5.0 diharapkan insan olahraga mampu
mengembangkan ilmu keolahragaan agar dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat yang saat ini memasuki era modern. Sebagai
contoh, saat ini masyarakat yang menggunakan media internet
untuk konten video senam atau jenis olahraga lainnya dapat
dikembangkan untuk membuat video yang lebih canggih lagi
dengan memanfaatkan personal trainer yang benar-benar

189
memahami olahraga untuk membuat konten video langsung
dari tempat lain dan digunakan oleh masyarakat dengan hanya
mengakses internet di rumah masing-masing dan melaksanakan
petunjuk latihan yang diberikan. Selain itu, Anda juga dapat
membuat aplikasi pengobatan melalui pijat atau terapi fisik
melalui internet dengan kekhususan menyesuaikan dengan
pasien yang membutuhkan. Dan masih banyak lagi manuver-
manuver olahraga di society 5.0 yang dapat dilakukan oleh para
insan olahraga agar masyarakat dapat memanfaatkan era yang
serba canggih ini.

H. Keterpurukan Prestasi Olahraga Indonesia


Olahraga merupakan budaya sekaligus bahasa universal
bagi umat manusia. Melalui olahraga, banyak negara kecil
menjadi besar. Melalui olahraga, kesehatan manusia dijanjikan.
Olahraga bisa menjadi alat pemersatu, karena tidak ada
perbedaan ras dan golongan. Olahraga juga dapat memberikan
kontribusi bagi pembangunan mentalitas dan karakter bangsa,
melalui filosofi yang lahir dari jenis olahraga apapun yaitu fair
play. Belum lagi nilai-nilai lainnya, seperti disiplin, semangat
pantang menyerah, bangkit dari kekalahan, semangat korps
yang tinggi, kerjasama, sportifitas berkompetisi, dan memahami
aturan yang berlaku. Pada masa Orde Baru, pernah ada
semboyan, “berolahraga masyarakat dan memajukan olahraga”.
Namun, penerapannya hingga saat ini sepertinya semakin jauh,
karena semakin banyak orang yang malas berolahraga. Tidak
punya waktu sering menjadi alasan. Selain itu, pembangunan
melalui pendidikan masih belum optimal. Penurunan prestasi
olahraga Indonesia juga semakin mengkhawatirkan. Ketimbang
berbicara di tingkat dunia seperti perhelatan olimpiade atau
kejuaraan dunia olahraga, bahkan di tingkat regional seperti Sea
Games dan Asian Games, bangsa Indonesia tidak bisa banyak
bicara (Abdulkadir Ateng, 1993).
Masalah utama yang muncul terkait keterpurukan
olahraga di Indonesia terletak pada kesalahan dalam
pengelolaan sistem pembinaan olahraga itu sendiri. Selama ini

190
proses pembangunan olahraga di Indonesia lebih banyak
diwarnai dengan crash program sehingga tidak pernah
menunjukkan hasil yang konsisten. Kemajuan mungkin masih
ada, tetapi sulit untuk menjaga konsistensi. Yang bisa dipahami
adalah komunitas olahraga di Indonesia masih salah
menerapkan pola pembinaan yang seharusnya mengikuti pola
piramida.

Gambar 15. Model Konseptual Hubungan antara Penjas dan


Olahraga (Agus Mahendra, 2005)

Fenomena di atas harus dibagikan kepada para pelaku


olahraga di Indonesia, termasuk para guru pendidikan jasmani.
Guru pendidikan jasmani memiliki tanggung jawab yang besar
untuk dapat memberdayakan olahraga di sekolah maupun di
masyarakat dan di seluruh pelosok tanah air. Guru pendidikan
jasmani hendaknya memiliki peran yang jelas dalam
memberdayakan olahraga baik pendidikan, prestasi maupun
rekreasi guna mencapai tujuan pembangunan dan pembinaan
olahraga yaitu peningkatan prestasi olahraga Indonesia.
Model pengembangan bentuk segitiga atau sering disebut
dengan pola piramida seharusnya berporos pada proses
pengembangan yang berkelanjutan. Dikatakan

191
berkesinambungan (continuum) karena pola tersebut harus
didasarkan pada cara pandang (paradigma) yang utuh dalam
memaknai program masal dan pembibitan dengan program
pengembangan prestasinya. Artinya, program tersebut
mempertimbangkan arti penting dari masal dan pembibitan
yang dapat berlangsung dalam program pendidikan jasmani
yang baik. Selain itu diperkuat dengan program
pengembangannya dalam kegiatan klub olahraga sekolah,
dimatangkan dalam berbagai kegiatan kompetisi intramural dan
idealnya dididik dalam program kompetisi antarsekolah.
Dengan demikian pola ini dapat dipastikan agak berbeda
dengan yang dianut dalam pembinaan olahraga di Indonesia
pada umumnya, misalnya program PPLP dan Ragunan yang
biasanya melupakan pentingnya program pendidikan jasmani
dan program olahraga rekreasi, tetapi langsung berorientasi
pada puncak tertinggi dari model piramida. Yang ada bukan
gambar pola piramida, melainkan gambar pensil (orang lebih
suka menyebutnya model tiang bendera, yang berarti model
tiang bendera).
Secara tradisional, program pengajaran pendidikan
jasmani digambarkan sebagai lantai dasar segitiga sama kaki,
atau yang sering disebut sebagai bentuk piramida. Tepat di
atasnya adalah program olahraga rekreasi, juga dikenal sebagai
program klub olahraga. Sedangkan di bagian atas segitiga
terdapat program olahraga prestasi. Berdasarkan konsep pola
pembinaan piramida, program pengajaran pendidikan jasmani
merupakan wadah untuk mengajarkan keterampilan, strategi,
konsep, dan pengetahuan esensial yang berkaitan dengan
hubungan antara aktivitas fisik dengan perkembangan fisik, otot
dan saraf, kognitif, sosial dan emosional anak. Artinya program
pendidikan jasmani yang baik berperan sebagai landasan yang
kokoh dan kokoh bagi semua program olah raga dan kegiatan
jasmani di sekolah dan masyarakat.

192
BAB KONTRIBUSI PENDIDIKAN

8
JASMANI UNTUK
GENERASI MILENIAL YANG
SEHAT DAN BUGAR
KONTRIBUSI PENDIDIKAN JASMANI UNTUK GENERASI MILENIAL YANG SEHAT DAN BUGAR

A. Pendahuluan
Dalam sejarah peradaban bangsa, pemuda adalah aset
bangsa yang sangat mahal dan tidak ternilai harganya. Pemuda
adalah tonggak bagi kemajuan dan pembangunan bangsa.
Generasi muda menjadi komponen penting yang perlu
dilibatkan dalam pembangunan sebuah bangsa. Hal ini
dikarenakan generasi muda memiliki fisik yang kuat,
pengetahuan yang baru, inovatif dan juga memiliki tingkat
kreatifitas yang tinggi. Tanpa adanya peran pemuda sebuah
bangsa akan sulit mengalami perubahan. Sebagai generasi
penerus bangsa, peran pertama pemuda dapat dilihat dari peran
pemuda sebagai agen perubahan. Hal ini dapat dicapai dengan
melibatkan generasi muda dalam mendukung perubahan
lingkungan masyarakat di tingkat nasional dan daerah menuju
masa depan yang lebih baik. Kemajuan suatu bangsa tercermin
dari keberhasilan generasi mudanya dalam melakukan
perubahan positif dan mengatasi segala tantangan yang
menghadang.
Peran pemuda tidak hanya sebagai agen perubahan,
tetapi juga agen pembangunan, dengan pemuda Indonesia
memiliki peran dan tanggung jawab di berbagai bidang, dan
pembangunan nasional dan daerah, dalam memulai atau
melaksanakan berbagai proyek pembangunan. Faktor
perkembangan tidak terbatas pada perkembangan fisik dan non
fisik, tetapi juga menyangkut kemampuan untuk memenuhi
potensi yang dimiliki oleh generasi muda lainnya. Potensi dan

193
produktivitas generasi muda harus dikembangkan untuk
mencapai tujuan pembangunan bangsa Indonesia. Begitu
besarnya peranan pemuda dalam melakukan perubahan sejalan
dengan jargon Presiden Soekarno untuk membangkitkan
semangat para pemuda yaitu “ Beri aku 1000 orang tua , niscaya
akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya akan
kuguncang dunia”.
Peran selanjutnya adalah menjadi agen pembaharuan
bangsa Indonesia. Artinya, pemuda Indonesia harus mampu
menganalisis perubahan zaman sehingga dapat memutuskan
siapa yang akan diubah dan siapa yang harus dipertahankan.
Melihat kondisi akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, kita
menghadapi dunia yang bergantung pada konten teknologi.
Arus informasi dan perubahan budaya terjadi begitu cepat dan
menyebar ke wilayah yang sangat luas. Informasi menyebar
dalam berbagai dimensi dan kepentingan. Sama halnya dengan
budaya. Fakta juga menunjukkan bahwa perubahan perilaku
juga mudah digulirkan. Kondisi seperti itu mengirimkan sinyal
kepada masyarakat dunia bahwa suatu budaya bisa musnah
karena menindas budaya lain atau budaya baru. Kecemasan ini
diperparah dengan situasi perkembangan teknologi yang pesat
dan situasi dampaknya yang menjadi perhatian utama untuk
mengubah sifat dan perilaku generasi milenial.
Di tengah ancaman pengikisan nilai-nilai kebangsaan
akhir-akhir ini, kita harus menghadapi berbagai momen dan
cara hidup yang ada. Sebagai bagian dari pembangunan
nasional, bidang olahraga mempunyai peran strategis untuk
mewujudkan nilai-nilai positif yang dikandungnya, untuk
ditransformasikan ke dalam kehidupan berbangsa untuk
memperkokoh persatuan NKRI. Nilai-nilai olahraga sebenarnya
memiliki dimensi positif yang sangat bermanfaat yang dapat
diterapkan untuk memperkuat keutuhan bangsa. Dalam banyak
hal, nilai-nilai industri olahraga pada dasarnya selaras dengan
upaya pembangunan bangsa. Banyak aspek positif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat ditangkap dan
diubah.

194
Pada dasarnya olahraga memiliki manfaat tidak hanya
untuk menyehatkan tubuh, tetapi juga untuk menanamkan
nilai-nilai luhur yang sangat berguna dalam kehidupan. Karena
ini bukan hanya tentang partisipasi individu, tetapi juga tentang
partisipasi masyarakat luas. Bidang ini sudah memiliki
keterkaitan dalam kehidupan banyak orang sehingga memiliki
dimensi sosial dan fungsional yang sangat luas. Secara
fungsional olahraga memiliki peran atau tugas dalam
menyehatkan tubuh, sedangkan dalam dimensi sosial olahraga
memiliki peran dalam mendorong nilai-nilai dan standar hidup
yang harus dipraktikkan dalam kehidupan. Dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, nilai-nilai luhur
tersebut sangat diperlukan sebagai landasan bersama dan
sumber inspirasi, terutama untuk menciptakan generasi muda
ideal yang sehat jasmani, rohani, kreatif, inovatif dan mampu
menjawab segala kekhwatiran bangsa terkait krisis SDM yang
berkualitas dan siap akan segala tantangan perubahan seperti
pada saat ini.

B. Siapa Generasi Milenial?


Pengelompokan generasi dalam kehidupan kerja muncul
seiring berkembangnya manajemen sumber daya manusia.
Manheim (1952) adalah orang pertama yang mempelajari
perbedaan generasi. Menurut Manheim, generasi adalah
konstruksi sosial yang dibentuk oleh sekelompok orang dengan
usia dan pengalaman sejarah yang sama. Orang yang termasuk
generasi yang sama adalah mereka yang memiliki tahun lahir
yang sama dalam 20 tahun dan berada dalam dimensi sosial dan
sejarah yang sama. Definisi ini secara khusus dikembangkan
oleh Ryder (1965) yang mengatakan bahwa generasi adalah
agregasi dari sekelompok individu yang mengalami kejadian
yang sama dalam kurun waktu yang sama.
Teori gap generasi dipopulerkan oleh Neil Howe dan
William Strauss pada tahun 1991. Howe dan Strauss membagi
generasi berdasarkan kesamaan periode kelahiran dan
kesamaan peristiwa sejarah. Peneliti lain juga membagi generasi

195
dengan label yang berbeda, tetapi biasanya memiliki arti yang
sama. Selain itu, menurut peneliti Kupperschmidt (2000),
generasi adalah sekelompok individu yang mengidentifikasi
kelompoknya berdasarkan tahun kelahiran, usia, tempat dan
kesamaan peristiwa kehidupan kelompok orang tersebut yang
secara signifikan mempengaruhi fase pertumbuhan kehidupan
mereka.
Menemukan generasi milenial memerlukan kajian
pustaka dari berbagai sumber yang mencerminkan pendapat
beberapa peneliti berdasarkan rentang tahun kelahiran. Istilah
milenial pertama kali dicetuskan oleh William Strauss dan Neil
dalam buku mereka Millennials Rising: The Next Great
Generation (2000). Mereka menciptakan istilah tersebut pada
tahun 1987 ketika anak-anak yang lahir pada tahun 1982 mulai
masuk prasekolah. Saat itu, media mulai menyebut mereka saat
lulus SMA tahun 2000 sebagai grup yang terkait dengan
milenium baru. Pendapat berbeda, menurut Elwood Carlson
dalam bukunya The Lucky Few: Between the Greatest
Generation and the Baby Boom (2008), generasi milenial lahir
antara tahun 1983 dan 2001. Berdasarkan teori generasi yang
diperkenalkan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi
milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 hingga
2000. Generasi milenial disebut juga sebagai Generasi Y. Istilah
ini mulai dikenal dan digunakan dalam editorial surat kabar
Amerika pada Agustus 1993.
Putra (2016), dalam kajian teorinya tentang perbedaan
generasi, menyajikan pengelompokan generasi (salah satunya
adalah generasi milenial) dari berbagai pendapat peneliti dari
berbagai negara. Tabel 3 di bawah memberikan beberapa
pemikiran tentang perbedaan generasi ini:

196
Tabel 3. Pengelompokkan Generasi

Tabel 4 menunjukkan enam pendapat tentang generasi


milenial sejak lahir. Penyebutan istilah generasi milenial juga
berbeda-beda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya.
Tapscott (1998) menyebut generasi milenial sebagai generasi
digital yang lahir antara tahun 1976-2000, dan Zemke et al. (2000)
menyebut generasi millennial nexters, yang lahir antara tahun
1980-1999. Oblinger (2005) menyebut generasi milenial sebagai
generasi Y/NetGen, yang lahir antara tahun 1981 hingga 1995.
Terakhir, Howe dan Strauss, Lancaster dan Stillman (2002), serta
Martin dan Tulgan (2002) merujuk pada istilah Generasi
Milenial/Generasi Y/Milenial seperti yang dikenal saat ini,
walaupun panjang tahun kelahiran masing-masing berbeda.
Masih dalam pembahasan yang sama, Putra
menambahkan hasil penelitian Benesik, Csiko dan Juhekse
(2016). Saat baby boomer memudar, mereka menambahkan
Generasi Z, yang mulai mengisi tenaga kerja dalam kelompok
generasi. Benesik, Csikos dan Juhes (2016) mengidentifikasi
mereka yang lahir antara tahun 1980 dan 1995 sebagai generasi
milenial.

197
Tabel 4. Perbedaan Generasi Menurut Benesik, Csikos, dan
Juhes

Lebih banyak referensi untuk bekerja dengan Gen X dan


Y saat Gen Z: Managing different generation in business (Sezin
Baysal Berkup, Gediz University, İzmir, Turki, 2014)
menyatakan bahwa generasi milenial atau Generasi Y adalah
mereka yang lahir antara tahun 1980 dan 2001. Pendapat ini
senada dengan pendapat Stafford dan Griffis (2008), yang
menyatakan bahwa generasi milenial adalah penduduk yang
lahir antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2000. Sedangkan
menurut US Census Bureau (2015), generasi milenial adalah
mereka yang lahir antara tahun 1982 sampai dengan tahun 2000.
Hal ini berbeda dengan sudut pandang The Millennial Generation
Research. Review NCF (2012) generasi milenial lahir sesuai Tabel
5.
Tabel 5. Pengelompokan Generasi Menurut National Chamber
Foundation

Selain peneliti mancanegara, ada beberapa pendapat


tentang generasi milenial dari peneliti dalam negeri.
Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi (2017) dalam bukunya

198
Milenial Nusantara menyatakan bahwa generasi milenial
mengacu pada mereka yang lahir antara tahun 1981 dan 2000.
Sementara itu, ilmuwan sosial pribumi lainnya menggunakan
tahun kelahiran dari tahun 1980-an hingga 2000-an untuk
mendefinisikan milenium. Generasi (Mengenal Generasi
Milenial, Sindonews.com, 2015).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dari berbagai


negara dan profesi, penentuan siapa generasi milenial dapat
ditarik kesimpulan bahwa generasi milenial adalah mereka yang
dilahirkan antara tahun 1980 sampai dengan 2000.

C. Gaya Hidup Generasi Milenial


Berasal dari teori generasi, banyak referensi yang harus
disatukan untuk memahami karakteristik suatu generasi.
Berbagai karakteristik yang menggambarkan generasi dicampur
seperti yang dijelaskan. Pengertian teori generasi sebenarnya
dapat didasarkan pada beberapa interpretasi. Namun, banyak
yang kemudian memilih untuk menggunakannya dengan fungsi
yang berasal dari beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Lain
halnya dengan generasi Y yang lahir antara tahun 1981 hingga
1994, kita berbicara tentang generasi milenial. Generasi ini
banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email,
SMS, pesan instan, dan media sosial seperti Facebook dan Twitter.

199
Komunikasi mereka berlangsung jauh lebih intensif di dunia
maya, sehingga perilaku mereka seakan tidak mengenal batas
ruang dan waktu. Nilai-nilai sosial juga berubah secara
signifikan dibandingkan generasi sebelumnya.
Fitur utama dari teknologi generasi 4.0 adalah setiap
orang memiliki akses pribadi terhadap informasi yang ada
dalam genggaman. Kecepatan data yang cakupannya
sepenuhnya berbasis aplikasi membuat orang semakin kesulitan
dalam mengimplementasikan opsi yang tersedia. Kemungkinan
buruknya adalah mereka "terjebak di lubang yang sama dan
mengulangi kehidupan mereka di era teknologi sebelumnya,
yang menjadi malas karena terhipnotis oleh permainan dan
program virtual yang dapat mereka lakukan dengan sangat
mudah tanpa meninggalkan kamar tidur.
Masyarakat global tidak boleh mengabaikan munculnya
penyakit degeneratif (tidak menular) sebagai kondisi yang
terjangkau, puas dengan kemajuan teknologi. Di sisi lain, ketika
gaya hidup nyaman muncul, muncul kecenderungan penyakit
degeneratif/tidak menular yang disebabkan oleh gaya hidup
yang tidak sehat dan kepasifan masyarakat. Tren penyakit
seperti: penyakit hipertensi, obesitas, diabetes, penyakit jantung
koroner dan lain-lain tentunya harus memacu urgensi untuk
meningkatkan pola hidup sehat dibalik perkembangan
teknologi yang mempermudah hidup.
Pada dimensi gaya hidup sehat, kegemaran Gen Y
terhadap teknologi informasi Gen 4.0 menangkap banyak
penggunaan konten olahraga, yang mungkin tidak memiliki
nilai perilaku. Program teknologi menempatkan generasi
milenial dalam latihan seolah-olah, memerankan emosi mereka,
tetapi hanya di dunia maya. Tantangan terberat adalah
mendidik masyarakat kolektif agar bisa menikmati kemajuan
teknologi secara bersama-sama tanpa harus menyerah menjadi
masyarakat miskin mobilitas. Keberadaan teknologi seharusnya
tidak membuat kita punah, tetapi karena kita tidak dapat
berubah untuk keluar dari keadaan kita yang korup dan berpuas
diri sebagai teknologi yang pasif.

200
Gaya hidup generasi milenial merupakan fenomena yang
dibentuk oleh berbagai faktor yang sangat berbeda. Namun
secara umum karakteristiknya dapat dipahami secara khas
seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Untuk gaya hidup sehat dalam olahraga atau gaya hidup sehat
melalui olahraga, indikator deskriptif esensial ini perlu
digunakan. Partisipasi kolektif dan skor kebugaran kolektif
adalah dua hal yang dapat dijadikan sebagai fungsi refleksi gaya
hidup sehat. Partisipasi merupakan bentuk perilaku yang ada
dan menggambarkan gaya hidup yang dipilih oleh generasi
milenial. Pada saat yang sama, kebugaran fisik generasi milenial
menjadi penanda kualitas dan fungsi fisik yang valid karena
partisipasi mereka dalam gaya hidup sehat.
Di awal tahun 2016, Ericsson meluncurkan 10 Trends of
Consumer Lab untuk memprediksi keinginan konsumen yang
berbeda. Laporan Ericsson dibuat berdasarkan wawancara
dengan 4.000 responden di 24 negara di seluruh dunia. Beberapa
dari 10 tren ini memiliki fokus khusus pada perilaku milenial.
Era milenial identik dengan teknologi. Revolusi teknologi dan
perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan respon
yang sama dari generasi ke generasi di setiap era. Apa peran dan
tantangan generasi milenial ini?
Dalam laporan tersebut, Ericsson mencatat bahwa produk
teknologi mengikuti gaya hidup masyarakat milenial. Ini karena
seiring dengan perubahan teknologi, begitu pula perubahan
perilaku. “Produk teknologi baru akan muncul untuk memenuhi
perubahan teknologi, kata Thomas Jul, CEO Ericsson Indonesia.
Tahun ini, beberapa prediksi Ericsson ternyata berhasil. Salah
satunya adalah perilaku native streaming yang kini mulai
populer. Jumlah remaja yang menggunakan layanan video
streaming masih tak terbendung. Ericsson menyatakan bahwa
pada 2011, hanya sekitar tujuh persen remaja berusia antara 16
dan 19 tahun yang menonton video di YouTube. Mereka
menghabiskan rata-rata tiga jam sehari di depan layar ponsel.
Empat tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 20
persen. Waktu yang disediakan untuk menonton streaming

201
langsung juga meningkat tiga kali lipat. Fakta ini membuktikan
bahwa perilaku milenial tidak terlepas dari kebiasaan buruk
bermalas-malasan dan menghabiskan waktu menonton video
online. Teknologi juga mengakibatkan generasi internet
mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi.
Meski memiliki banyak keuntungan, media sosial (gadget)
juga memiliki banyak dampak negatif. Selain itu, seiring dengan
media sosial, segelintir orang lebih mudah berinteraksi dengan
gawai daripada bertatap muka. Kondisi ini menyebabkan
perubahan psikologis pada generasi milenial, karena mereka
menjadi tidak nyaman di tengah aula yang ramai dan akibat dari
gaya hidup sedentary karena lebih dominan berdiam diri di
depan layar komputer dalam waktu yang lama. akan
mempengaruhi kesehatan mereka. Ancaman yang ditimbulkan
oleh proses pertumbuhan penduduk di puncak piramida (level
4) diagram latihan ini patut diperhatikan oleh semua pihak,
seperti terlihat pada Gambar 16 di bawah ini:

Gambar 16. Diagram Aktivitas Fisik


Sumber:
(http://www.fitnessforlife.orgHighSchoolstudent44index.cfm.
png)

202
Kecocokan generasi milenial modern atau kekinian
menjadi kajian yang tidak boleh dianggap enteng. Pertanyaan
strategis saat ini terkait dengan datangnya Revolusi Industri 4.0
(RI 4.0). Ancaman gagalnya generasi yang memadai, aktif, dan
produktif tidak berlebihan jika dikaitkan dengan berbagai faktor
pendukung yang semakin dipandang merugikan. Disrupsi
teknologi akan berimbas pada berkurangnya ruang publik dan
infrastruktur olahraga, penyempitan ruang olahraga dan taman
bermain secara signifikan, ruang olahraga publik, perangkat
yang membuat orang malas, dan isu makanan cepat saji. Gaya
hidup hedonis dengan istirahat fisik yang kurang aktif dan
segala hal lainnya terabaikan membuat sebagian besar generasi
milenial memilih untuk meminimalkan olahraga. Dalam jangka
panjang ini menjadi masalah besar. Kita patut prihatin bahwa
generasi penerus akan menjadi generasi “ahli malas duduk dan
duduk santai.
Transisi ke gaya hidup yang lebih modern menyebabkan
penurunan tingkat kebugaran. Hal ini merupakan efek negatif
dari perkembangan teknologi yang semakin pesat. Orang-orang
berlomba untuk mengembangkan berbagai perangkat yang
sepenuhnya otomatis yang akan menggantikan hampir semua
pekerjaan manusia. Orang yang awalnya harus melakukan
pekerjaan fisik, berjalan kaki dari rumah ke tempat kerja, dan
biasanya interaksi sosial di lingkungannya tergantikan oleh
sepeda motor atau mobil, sehingga masyarakat cenderung
bermalas-malasan (sedentary). Duduk (hipokinetik) dapat
menyebabkan berbagai gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh penyakit degeneratif atau tidak menular seperti penyakit
jantung koroner, hipertensi, aterosklerosis, diabetes,
osteoporosis, nyeri punggung, kelelahan, dll. Tentu menjadi
masalah yang sangat serius ketika peristiwa ini terjadi pada
generasi muda yang saat ini dicap sebagai (agent of change) ketika
terpapar penyakit non-regeneratif/tidak menular di usia muda
akibat gaya hidup yang tidak sehat dan gaya hidup yang kurang
gerak (sedentary lifestyle) tidak aktif, yang pada akhirnya upaya
dalam menciptakan generasi unggul jauh dari harapan.

203
Masalah umum budaya sedenter dan perilaku sedenter
telah menjadi penelitian modern terkait dengan tumbuh
kembang generasi muda (generasi milenial) sebagai mekanisme
penyesuaian. Generasi milenial merupakan generasi yang
sangat berkomitmen terhadap kemajuan teknologi. Di antara
mereka, adaptasi mereka terhadap teknologi menjadi fakta
simbolik status sosial mereka di era Revolusi Industri 4.0.
Teknologi memiliki misi luhur untuk membuat hidup lebih
mudah, tetapi perbedaan dalam respons individu dan kolektif
masyarakat tidak diragukan lagi merupakan pernyataan negatif
yang dibesar-besarkan untuk budaya menetap yang semakin
meluas pada masanya.
Peradaban manusia terus berubah. Perubahan dapat
berupa perkembangan positif, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa perubahan negatif juga dapat terjadi.
Perubahan negatif dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan
yang disengaja atau tidak disengaja dan sebagai efek samping
dari upaya manusia untuk mencapai tujuan yang positif.
Perkembangan peradaban manusia ditandai dengan
berkembangnya produk-produk budaya untuk mempermudah
hidup, memberikan kenyamanan dan makna hidup.

D. Manfaat Berolahraga
Olahraga adalah fenomena budaya global yang
melibatkan orang-orang dari semua lapisan masyarakat. Semua
bangsa di dunia terlibat dalam budaya olahraga. Olahraga
mempengaruhi berbagai kelompok pria dan wanita, anak-anak,
remaja, dewasa muda, menengah dan tua, dengan sehat dan
sakit dan normal dan cacat. Sebagai fenomena budaya global,
orang berolahraga secara individu, berpasangan, berkelompok,
bahkan secara massal. Olahraga sengaja dikejar untuk tujuan
yang berbeda, menggunakan nilai intrinsik atau manfaat
langsung dan nilai ekstrinsik berupa manfaat tidak langsung.
Manfaat olahraga bagi atlet, masyarakat, bangsa dan kehidupan
manusia semakin dikenal dan diakui di berbagai pihak atau
kalangan. Beberapa organisasi dunia telah mendeklarasikan

204
pentingnya olahraga dalam kehidupan. PBB, UNESCO, WHO
dan IOC adalah institusi olahraga yang paling diminati di dunia.
Organisasi-organisasi dunia ini memiliki praktik khusus terkait
tata kelola Olahraga untuk Kehidupan Manusia. Agar olahraga
benar-benar bermanfaat bagi umat manusia, maka kegiatan
olahraga harus dilaksanakan menurut prinsip-prinsip
kebenaran yang harus disepakati.
Pembangunan olahraga merupakan bagian integral dari
proses pembangunan nasional, khususnya upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia, sehingga menghasilkan:
1. Peningkatan kesehatan jasmani masyarakat,
2. Kualitas mental dan spiritual masyarakat,
3. Pembentukan watak dan kepribadian bangsa,
4. Disiplin dan sportivitas, dan
5. Peningkatan prestasi yang dapat membangkitkan rasa
kebanggaan nasional. Ini adalah tonggak filosofis hukum
yang memotivasi perilaku kolektif manusia. Padahal,
pembangunan olahraga secara sistematis diupayakan untuk
memperkokoh kesejahteraan rakyat dan kehormatan bangsa
dengan segala kedinamisannya. Kata kuncinya olahraga
hadir untuk memanusiakan, agar manusia mampu,
berkarakter, cakap dan sukses dalam olahraga dan segala
bidang.

Aktivitas fisik memiliki pengaruh yang besar terhadap


kebugaran jasmani seseorang, selain itu aktivitas ini secara
langsung mempengaruhi komponen kebugaran jasmani.
Aktivitas fisik tetap harus disesuaikan dengan usia seseorang,
misalnya jenis aktivitas, faktor keamanan dan peralatan yang
digunakan. Kegiatan olahraga tidak bisa dilakukan
sembarangan, tetap harus dilakukan dengan teknik dan aturan
yang benar. Meski senang berolahraga, Anda tetap perlu
memperhatikan usia dan kondisi fisik agar tetap terkendali. Dari
sudut pandang fisiologi olahraga, olahraga adalah rangkaian
gerak jasmani yang teratur dan terencana yang dilakukan secara
sadar oleh manusia untuk meningkatkan prestasinya sesuai
dengan tujuan olahraga tersebut. Olahraga adalah olahraga yang

205
menguatkan dan menyehatkan tubuh (KBBI, 2007). Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa olahraga
adalah suatu rangkaian latihan atau kegiatan fisik yang
dilakukan secara teratur dan terencana yang dilakukan secara
sadar oleh manusia untuk meningkatkan prestasinya.
Memperoleh manfaat bagi dirinya, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Manfaat atau nilai-nilai bagi
setiap orang dalam melakukan aktivitas fisik menggerak-
gerakkan tubuh yang disebut olahraga ternyata sangat beragam.
Dalam keragaman manfaat yang dapat diperoleh pelaku, bila
didalami dapat diidentifikasi manfaat esensial sebagai berikut:
1. Memperoleh kenyamanan rasa tubuh, misalnya melalui
gerakan pemanasan tubuh di pagi hari, peregangan untuk
menghilangkan kekakuan otot-otot dan sendi, serta
melancarkan peredaran darah untuk persiapan aktivitas
keseharian.
2. Memperoleh kesenangan atau kegembiraan, misalnya
melalui: bermain-main bola atau menggunakan alat-alat
olahraga lain yang bersifat rekreatif.
3. Memelihara dan/atau meningkatkan kualitas diri secara
fisik, mental, emosional, spiritual, dan/atau sosial, misalnya
melalui: pendidikan jasmani; latihan kesehatan, rehabilitasi,
dan fitnes serta latihan untuk kompetisi dan prestasi.
4. Memperoleh sensasi fisik dan psikologis yang luar biasa, dan
menggetarkan jiwa, misalnya melalui: aktivitas fisik
petualangan, dan aktivitas fisik ekstrim.

Keempat manfaat esensial tersebut adalah nilai-nilai


intrinsik olahraga atau nilai-nilai yang diperoleh secara
langsung dari aktivitas gerak tubuh yang dilakukan. Sedangkan
manfaat lainnya yang berkenaan dengan nilai-nilai ekstrinsik
olahraga atau nilai-nilai ikutan yang diperoleh secara tidak
langsung dari aktivitas gerak tubuh, dapat diidentifikasi
misalnya sebagai berikut:
1. Mencapai pertumbuhan dan perkembangan individu yang
optimal sesuai potensi yang dimiliki.

206
2. Mencapai keunggulan kompetitif atau prestasi yang tinggi
sebagai hasil dari peningkatan kualitas fisik, mental,
emosional, spiritual, dan/atau sosial.
3. Memperoleh kenyamanan dan kebagahiaan dalam menjalani
hidup.
4. Memperoleh penghasilan sebagai atlet yang memiliki
keunggulan kompetitif tinggi. Olahraga sebagai aktivitas
yang dapat melibatkan masyarakat secara lokal, nasional,
regional, dan internasional dapat memberikan manfaat
sebagai sarana atau alat untuk pembangunan kehidupan
bersama yang dilandasi nilai-nila friendship, solidarity, dan
fair play, serta perdamaian dalam kehidupan umat manusia.

Meskipun pendidikan jasmani termasuk dalam


kurikulum nasional Indonesia, namun tetap penting untuk
mendorong olahraga yang didukung oleh seluruh keluarga
Indonesia. Karena tubuh yang sehat berasal dari olahraga yang
teratur dan tepat. Keluarga yang sehat pasti menghasilkan
masyarakat yang sehat yang berujung pada bangsa yang sehat
dan kuat.
Olahraga penting untuk diajarkan kepada anak-anak
sejak usia dini. Penelitian telah menunjukkan bahwa seseorang
yang terbiasa berolahraga sejak kecil juga terbiasa melakukan
hal yang sama di masa dewasa. Sebuah penelitian yang
dilakukan di Iowa, AS, menunjukkan bahwa anak yang aktif
bermain memiliki pertumbuhan dan perkembangan tulang yang
optimal. Banyak penelitian lain menunjukkan bahwa bermain
aktif mencegah anak-anak menjadi kelebihan berat badan dan
obesitas. Bagaimanapun, olahraga adalah permainan. Tujuan
dari permainan ini adalah untuk memberikan kegiatan yang
menyenangkan bagi anak-anak. Sebagai langkah awal dalam
mengajarkan olahraga kepada anak, ajaklah mereka untuk
berlari, melompat, melempar, menangkap, menyelam,
berenang, dll. Lakukan ini agar mereka tahu olahraga itu
menyenangkan, yang akan memudahkan mereka berolahraga.
Sehingga seiring berjalannya waktu manfaat olahraga yang

207
dialami anak memberikan alasan untuk terus bergerak dan
olahraga menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Selain manfaat kesehatan yang didapat dari olahraga
teratur. Namun, juga dapat meningkatkan prestasi akademik.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Pediatrics
menyatakan bahwa anak-anak dan remaja yang rutin
berolahraga cenderung berprestasi lebih baik di sekolah. Karena
olahraga dapat mengembangkan kemampuan motorik anak,
antara lain kecepatan, kelincahan dan koordinasi tangan ke
tangan. Dan semua keterampilan tersebut berkaitan erat dengan
kemampuan berpikir dan kreativitas anak, kemampuan anak
dalam mengasimilasi informasi dan simulasi menjadikan
olahraga sebagai cara untuk memulainya sedini mungkin. Hal
ini tentunya juga menjadi landasan bagi generasi muda yang
menghadapi perubahan tatanan dunia yang semakin modernis,
yang hanya dapat dikelola oleh generasi yang memiliki
kapasitas berpikir kreatif dan kemampuan bersaing dengan
dunia luar, dan tentunya hanya orang yang sehat jasmani dan
rohani saja yang dapat melakukannya. Di sini terlihat kaitan
antara olahraga dengan kesehatan dan kebugaran diri sendiri,
yang tentunya memberdayakan generasi milenial untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan bahwa pemuda adalah
harapan bangsa. Pertanyaannya bisa seperti ini: Pemuda seperti
apa yang menjadi harapan bangsa. anak yang sehat tentunya.
Karena kesehatan adalah aset terpenting dalam pembangunan
bangsa. Bisa dibayangkan betapa sulitnya melaksanakan
berbagai program pembangunan jika pelaksana teknis
pembangunan (dalam hal ini pemuda) sakit. Kesehatan sendiri
memiliki dua komponen penting yaitu kesehatan mental
(pikiran) dan kesehatan fisik (tubuh). Oleh karena itu, kedua
komponen kesehatan ini harus diperhatikan sejak dini. Jiwa
generasi muda harus selalu diisi dengan nilai-nilai agama dan
pendidikan. Di saat yang sama, tubuh juga perlu dibiasakan
untuk berolahraga dan mengisi kembali dengan nutrisi yang
baik agar dapat tumbuh menjadi generasi muda yang kuat dan
sehat. Penting untuk dicatat bahwa olahraga adalah cara yang

208
efektif dan hemat biaya untuk mendukung tujuan
pembangunan dan perdamaian. Banyaknya manfaat olahraga
dan aktivitas fisik sudah diketahui tidak hanya oleh individu
tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu,
sangat penting bagi badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
pemerintah, dan pemangku kepentingan terkait untuk
mengintegrasikan olahraga dan aktivitas fisik ke dalam strategi
dan program di berbagai sektor, termasuk kesehatan,
pendidikan, serta pembangunan ekonomi dan sosial. Potensi
olahraga sebagai instrumen pembangunan dan perdamaian
dapat dimanfaatkan sepenuhnya melalui promosi olahraga yang
strategis, sistematis, dan konsisten.
Olahraga dipraktikkan dengan cara yang adil dan
bermakna secara budaya. Program olahraga didasarkan pada
model "sport for all", yang memastikan bahwa semua kelompok
mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi, terutama yang
memiliki keunggulan tambahan seperti perempuan,
penyandang disabilitas, dan pemuda. Program latihan juga
harus dirancang khusus untuk mengembangkan kompetensi inti
dan nilai-nilai yang dipelajari melalui olahraga. Dengan
memaksimalkan aspek positif olahraga, olahraga menjadi cara
yang efisien dan hemat biaya untuk mendukung pembangunan
dan perubahan tujuan.
Olahraga adalah bagian penting untuk menjaga kesehatan
remaja. Mendorong gaya hidup sehat pada anak-anak dan
remaja penting untuk saat mereka tumbuh dewasa. Gaya hidup
yang dipelajari di masa kanak-kanak lebih cenderung bertahan
bersama anak hingga dewasa. Beberapa perubahan gaya hidup
bisa lebih sulit dilakukan seiring bertambahnya usia
seseorang. Cara terbaik untuk mempromosikan gaya hidup
sehat adalah melibatkan seluruh keluarga. Selanjutnya Sadoso
(1988) mengemukakan, kesegaran jasmani lebih menitik
beratkan pada Physilogical Fitness yaitu kemampuan tubuh
untuk menyesuaikan fungsi alat-alat tubuhnya dalam batas
fisiologis terhadap keadaan lingkungan (ketinggian,
kelembaban, suhu, dan sebagainya). Berdasarkan beberapa

209
pengertian kesegaran jasmani yang dikemukakan dapat
diungkapkan kaitan antara kesegaran jasmani dengan kesehatan
aktivitas fisik sesuai dengan gambar di bawah ini:

Gambar 17. Hubungan Antara Kesegaran Jasmani, Kesehatan


Dan Aktivitas Fisik. (Bouchard, 1990)

Beberapa definisi pengaruh kondisi fisik terhadap


kesehatan dapat dilihat dari gambaran di atas, antara lain
kesehatan yang baik, morbiditas dan mortalitas. Pencapaian
kondisi fisik yang baik dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan
waktu istirahat. Selain itu, kondisi fisik juga dipengaruhi oleh
faktor keturunan, gaya hidup, kondisi lingkungan dan
kebiasaan. Kesegaran jasmani harus dilihat sebagai sesuatu yang
berkesinambungan dan mendatar dari tingkat yang sangat
rendah ke tingkat yang paling tinggi. Kesegaran jasmani yang
rendah mengacu pada kemampuan untuk melakukan tugas
sehari-hari tanpa kesulitan dan menderita kelelahan dan
kekurangan energi. Oleh karena itu, pola hidup sehat harus
dikenalkan sejak dini. Hal ini penting karena kesehatan mental
dan fisik memungkinkan orang dewasa muda untuk menjelajahi
dunia, menggali potensi mereka dan memanfaatkan peluang
untuk menciptakan sesuatu yang unik, mengejar impian dan
menghadapi tantangan di fase perkembangan selanjutnya.
World Health Organization (WHO) merupakan
organisasi kesehatan dunia. WHO (2010) menerbitkan dokumen
yang menekankan pentingnya aktivitas fisik bagi kesehatan

210
semua orang. Judul dokumen tersebut adalah Rekomendasi
Global tentang Aktivitas Fisik untuk Kesehatan. Aktivitas fisik
yang dimaksud disini adalah aktivitas fisik yang meliputi
bermain, permainan, olah raga, olah raga, rekreasi, aktivitas
fisik, atau aktivitas fisik terencana yang dilakukan sebagai
bagian dari kegiatan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pentingnya aktivitas fisik untuk kesehatan dan bukti hasil
penelitian diilustrasikan. Antara lain, dijelaskan bahwa kurang
olahraga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penyebab
utama kematian keempat di dunia, yang sesuai dengan 6%
kematian di seluruh dunia.
Dijelaskan pula bahwa olahraga teratur dapat
menurunkan risiko serangan jantung dan stroke, diabetes,
tekanan darah tinggi, kanker usus besar, kanker payudara dan
depresi. Penyakit ini disebut penyakit tidak menular (PTM).
Selain itu, aktivitas fisik merupakan penentu penting dari
pengeluaran energi dan dengan demikian menjadi dasar
keseimbangan energi dalam pengelolaan berat badan. Karena
aktivitas fisik penting untuk kesehatan, orang harus berolahraga
secara teratur dan terprogram. WHO (2010) merekomendasikan
aktivitas fisik untuk kesehatan, yang secara garis besar berbunyi
sebagai berikut:
1. Aktivitas fisik untuk usia 5-17 tahun
Untuk anak-anak dan orang muda kelompok usia ini
aktivitas fisik mencakup bermain, permainan, olahraga,
transportasi, rekreasi, pendidikan jasmani atau latihan yang
direncanakan, dalam konteks keluarga, sekolah, dan kegiatan
masyarakat. Untuk meningkatkan kebugaran kardiorespirasi
dan otot, kesehatan tulang, kardiovaskular dan metabolisme
biomarker kesehatan dan mengurangi gejala kecemasan dan
depresi direkomendasikan:
a. Anak-anak dan remaja yang berusia 5–17 tahun harus
mengakumulasikan setidaknya 60 menit aktivitas fisik
dengan intensitas sedang setiap hari.
b. Aktivitas fisik lebih dari 60 menit setiap hari akan
memberikan manfaat kesehatan tambahan.

211
c. Sebagian besar aktivitas fisik sehari-hari harus bersifat
aerobik. Aktivitas intensitas kuat harus dimasukkan,
termasuk yang memperkuat otot dan tulang, setidaknya 3
kali per minggu.

2. Aktivitas fisik untuk usia 18–64 tahun


Untuk orang dewasa kelompok usia ini, aktivitas fisik
mencakup aktivitas fisik rekreasi atau waktu luang,
transportasi (misalnya berjalan atau bersepeda), pekerjaan,
kerja rumah tangga, bermain, permainan, olahraga atau
latihan yang direncanakan, dalam konteks sehari-hari,
keluarga, dan kegiatan komunitas. Untuk meningkatkan
kebugaran kardiorespirasi dan otot, kesehatan tulang dan
mengurangi risiko NCD dan depresi, direkomendasikan:
a. Orang dewasa berusia 18-64 tahun harus melakukan
setidaknya 150 menit aktivitas fisik aerobik intensitas
sedang sepanjang minggu, atau melakukan setidaknya 75
menit aktivitas fisik aerobik intensitas tinggi sepanjang
minggu, atau kombinasi setara dengan moderat - dan
aktivitas intensitas kuat.
b. Aktivitas aerobik harus dilakukan dalam durasi minimal
10 menit.
c. Untuk manfaat kesehatan tambahan, harus meningkatkan
aktivitas fisik aerobik intensitas sedang mereka hingga
300 menit per minggu, atau terlibat dalam 150 menit
aktivitas fisik aerobik intensitas tinggi per minggu, atau
kombinasi yang setara dari aktivitas intensitas sedang dan
kuat.
d. Kegiatan penguatan otot harus dilakukan dengan
melibatkan kelompok otot besar pada 2 hari atau lebih
dalam seminggu.

3. Aktivitas Fisik untuk usia 65 tahun ke atas


Untuk orang dewasa kelompok usia ini, aktivitas fisik
termasuk aktivitas fisik rekreasi atau waktu luang,
transportasi (misalnya berjalan atau bersepeda), pekerjaan,
kerja rumah tangga, bermain, permainan, olahraga atau

212
latihan yang direncanakan, dalam konteks kegiatan sehari-
hari, keluarga, dan masyarakat. Untuk meningkatkan
kebugaran kardiorespirasi dan otot, tulang dan kesehatan
fungsional, dan mengurangi risiko NCD, depresi dan
penurunan kognitif, direkomendasikan:
a. Orang dewasa berusia 65 tahun ke atas harus melakukan
setidaknya 150 menit aktivitas fisik aerobik intensitas
sedang sepanjang minggu, atau melakukan setidaknya 75
menit aktivitas fisik aerobik intensitas tinggi sepanjang
minggu, atau kombinasi setara dengan moderat - dan
aktivitas intensitas kuat.
b. Aktivitas aerobik harus dilakukan dalam durasi minimal
10 menit.
c. Untuk manfaat kesehatan tambahan, harus meningkatkan
aktivitas fisik aerobik moderat hingga 300 menit per
minggu, atau terlibat dalam 150 menit aktivitas fisik
aerobik intensitas tinggi per minggu, atau kombinasi yang
setara dari aktivitas intensitas sedang dan kuat.
d. Orang dewasa kelompok usia ini dengan mobilitas yang
buruk harus melakukan aktivitas fisik untuk
meningkatkan keseimbangan dan mencegah jatuh pada 3
atau lebih hari per minggu.
e. Kegiatan penguatan otot harus dilakukan dengan
melibatkan kelompok otot utama, pada 2 hari atau lebih
dalam seminggu.
f. Ketika orang dewasa dari kelompok usia ini tidak dapat
melakukan jumlah aktivitas fisik yang disarankan karena
kondisi kesehatan, mereka harus aktif secara fisik seperti
yang dimungkinkan oleh kemampuan dan kondisi
mereka.

E. Tantangan Generasi Millenial


Globalisasi menuntut manusia untuk selalu siap
menghadapi perubahan dan persaingan di tingkat internasional.
Jika Anda tidak bisa beradaptasi, maka akan kalah. Untuk
bertahan di era globalisasi, manusia perlu meningkatkan

213
kapasitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia
suatu bangsa memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
pembangunan bangsa tersebut. Bangsa yang maju didukung
oleh sumber daya yang berkualitas terbukti sebagai bangsa yang
mampu melahirkan berbagai jenis kreativitas untuk membantu
pembangunan bangsanya. Indikator yang menentukan kualitas
sumber daya manusia terdapat pada tingkat pendidikan rata-
rata anggota masyarakat, dan juga pada kualitas pendidikan.
Saat ini kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat jauh jika
dibandingkan dengan perkembangan negara-negara lain di
dunia, bahkan negara tetangga sekalipun. Menurut Indeks
Pengembangan Sumber Daya Manusia, Indonesia berada di
belakang negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura,
Thailand, Brunei Darussalam, Filipina, bahkan Vietnam, yang
telah bangkit dari resesi.
Karena saat ini kita tertinggal dalam kualitas sumber daya
manusia kita, kita juga harus berjuang keras menghadapi
persaingan global yang semakin ketat. Jika kita tidak bisa
melanjutkan, kita akan turun sendirian. Di Indonesia,
pendidikan nasional yang diselenggarakan melalui jalur formal,
nonformal, dan informal diharapkan dapat meningkatkan
sumber daya manusia. Dengan demikian, kualitas sumber daya
manusia yang dihasilkan dapat menjawab tantangan era
globalisasi. Di antara beberapa aspek positif dari modal besar
bangsa Indonesia, perlu dicatat bahwa jumlah penduduk yang
besar merupakan aset yang paling penting, karena maju
mundurnya bangsa sangat bergantung pada faktor manusia
(SDM). SDM juga dapat memecahkan masalah politik, ekonomi
dan sosial budaya. Namun untuk mengatasi permasalahan
tersebut dan menghadapi berbagai persaingan yang sangat
beradab untuk mencapai Indonesia yang lebih maju, perlu
dilakukan revitalisasi dan penguatan kodrat sumber daya
manusia yang tangguh. Salah satu aspek yang dapat digunakan
untuk menghasilkan angka SDM yang kuat adalah pendidikan.

214
Pelatihan adalah proses pendampingan dan pembelajaran
terencana bagi individu untuk berkembang dan tumbuh jasmani
dan rohani menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab,
kreatif, berilmu, sehat dan bermoral. Manusia yang berakhlak
mulia dan berakhlak mulia sangat dibutuhkan untuk
pendidikan atau pembinaan. Bangsa Indonesia tidak hanya
memancarkan pentingnya pendidikan, tetapi juga bagaimana
bangsa Indonesia dapat mengimplementasikan konsep
pendidikan dengan memajukan, melatih dan memberdayakan
sumber daya manusia Indonesia secara berkelanjutan dan
berkeadilan. Inilah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Sisdiknas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
“menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, cakap, kreatif,
orang yang merdeka dan demokratis serta bertanggung jawab
akan menjadi pribadi warga negara.
Futurolog terkenal Alvin Tofler menggunakan istilah
kejutan masa depan untuk menggambarkan situasi saat ini di
mana orang berada di bawah tekanan kejutan dan hilangnya
orientasi individu karena terlalu banyak perubahan dalam
waktu yang terlalu singkat. Situasi inilah yang sedang dialami
oleh masyarakat Indonesia. Ternyata bangsa ini lamban dalam
merespon perubahan yang besar dan cepat. Dalam bidang
pendidikan Indonesia jauh dari negara-negara Asia, Indonesia
tertinggal dari Malaysia, Vietnam dan India yang beberapa
tahun lalu kehilangan kualitas pendidikan Indonesia. Era
globalisasi menuntut kualitas manusia yang bertakwa dan
produktif, sebagaimana telah dikatakan tentang trend
kehidupan abad ke-21, sumber daya manusia yang unggul
memiliki peluang untuk menaklukkannya. Orang yang
diinginkan adalah orang yang sehat, saleh jasmani dan rohani,
serta produktif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk meningkatkan taraf hidup.

215
Kondisi masyarakat Indonesia yang terbelakang jelas
menunjukkan bahwa ini masih merupakan krisis multidimensi.
Bersamaan dengan itu, diproklamasikan suatu periode yang
disebut globalisasi atau milenium atau abad ke-21.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
peningkatan materialisme, persaingan global dan bebas.
Persaingan bebas tanpa ampun adalah ciri yang paling terlihat.
Efek negatifnya adalah melemahnya dan memudarnya nilai-
nilai moral, adab, karakter bangsa dan kesehatan. Dalam
keadaan ini, masyarakat harus siap menghadapi globalisasi dan
keinginan untuk bersaing secara bebas. Mengenai persiapan
tentunya dimulai dengan penerapan sumber daya manusia
unggul yang mencakup segala aspek, dalam hal ini mewujudkan
masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.
Di era globalisasi, generasi milenial menghadapi berbagai
tantangan yang hidup di mana-mana, baik di kota besar maupun
di pedesaan, seperti: meningkatnya kebutuhan sekolah, akses
komunikasi/internet yang bebas dan media penyiaran cetak dan
elektronik. Pubertas merupakan fase kritis dalam siklus
perkembangan seseorang. Milenial atau remaja telah mengalami
banyak perubahan sebelum memasuki usia dewasa, baik secara
biologis, psikologis maupun sosial. Situasi tanggung jawab ini
seringkali menimbulkan konflik antara anak muda dengan diri
mereka sendiri (konflik internal), yang jika tidak diselesaikan
dengan baik akan berdampak negatif terhadap perkembangan
masa depan anak muda tersebut, terutama pematangan karakter
mereka, dan seringkali menimbulkan masalah psikologis.
Kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana individu
mengenali kemampuannya, mampu mengatasi tekanan hidup
secara normal, bekerja secara produktif dan bermanfaat, dan
berkontribusi pada masyarakat.
Generasi milenial sering mengalami burnout, yang
menurut The Health of America Report merupakan hal nyata yang
mempengaruhi generasi milenial terutama secara mental dan
emosional. Kondisi ini juga bisa memicu masalah psikologis
seperti depresi. Kesehatan mental menjadi bagian yang

216
berkembang dari beban penyakit global. Dimensi psikologis,
sosial, dan spiritual generasi milenial pada masa Revolusi
Industri 4.0 sangat dipengaruhi oleh teknologi media sosial.
Revolusi industri yang membutuhkan pemikiran cepat,
kesadaran dan realisasi diri masyarakat terlihat jelas di jejaring
sosial, sehingga generasi milenial mau tidak mau harus
berpartisipasi dalam pengembangan teknologi ini. Indonesia
memasuki era demografis baru yang lebih dikenal dengan Era
Demografi Premium. Hal ini disebabkan adanya perubahan
struktur umur penduduk yang ditandai dengan penurunan
rasio antara penduduk non produktif (usia di bawah 15 tahun
dan di atas 65 tahun) dengan penduduk produktif (usia 15-64
tahun), yang disebut ketergantungan. Perbandingan
Pertumbuhan penduduk merupakan fenomena langka karena
hanya terjadi satu kali dalam sejarah suatu bangsa. Karena
pertumbuhan penduduk terjadi bila proporsi penduduk usia
kerja lebih dari 2/3 dari jumlah penduduk, yaitu pertumbuhan
penduduk terjadi bila rasio ketergantungan lansia di bawah 50
penduduk sangat besar, sedangkan rasio muda orang menurun
dan proporsi orang tua rendah. Menurut Gribble dan Bremner
(Hayes, 2015) bonus demografi dapat menjadi peluang untuk
mempercepat percepatan pertumbuhan ekonomi suatu negara,
dimulai dari perubahan demografi yang ditandai dengan
penurunan angka kelahiran dan angka kematian penduduk.
Sumber daya manusia memiliki pengaruh yang besar terhadap
pembangunan ekonomi negara, khususnya Indonesia sebagai
negara berkembang, dan modal dasar pembangunan adalah
manusia yang berkualitas.
Akan sangat bermanfaat jika mayoritas penduduk
merupakan usia produktif untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan, karena Presiden
Jokowi mengatakan bahwa bonus demografi ibarat pedang
bermata dua, bisa menjadi berkah atau bencana bagi bangsa
Indonesia. Itu berarti kita harus kembali ke Sumber Daya
Manusia karena pertumbuhan demografis. Sumber daya

217
manusia yang sehat, cerdas, dan produktif akan membawa
keberkahan dan kemakmuran bagi penduduk. Semakin
melimpahnya sumber daya manusia usia produktif akan
berdampak positif bagi bangsa Indonesia, karena akan semakin
banyak tenaga kerja yang masuk ke sektor manufaktur. Hal ini
bermuara pada peningkatan pendapatan daerah dan nasional
yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun jika sebaliknya, akan terjadi bencana demografi yang
akan membuat penduduk usia kerja menganggur, karena
kesempatan kerja akan terbatas dan persaingan antar pencari
kerja akan meningkat. Jika tidak dikelola dengan baik, akan
menimbulkan pengangguran massal dan menambah beban
negara. Akibatnya, kemiskinan meningkat dan pada akhirnya
dapat meningkatkan kejahatan dan mengancam keamanan
nasional. Sebagai demografis terbesar, generasi milenial tentu
memiliki peran penting dalam bonus demografi usia. Generasi
ini akan menguasai roda pembangunan, khususnya di bidang
ekonomi, yang diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia
menuju pembangunan yang lebih maju dan dinamis. Pada
dasarnya, generasi milenial merupakan sumber daya yang
sangat baik untuk mewujudkan kemandirian bangsa dalam
segala aspek. Sebagai sumber daya yang besar bagi
pembangunan bangsa, generasi milenial diharapkan memiliki
potensi yang unggul dibandingkan generasi sebelumnya.

F. Kontribusi Pendidikan Jasmani


Berbicara Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
(PJOK), tidak lepas dari bagaimana mempelajari manusia
seutuhnya. Salah satunya adalah pengembangan dan
pembelajaran gerak manusia. Mulai dari gerakan sederhana
hingga gerakan kompleks. Pendidikan jasmani dan pendidikan
kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan umum
yang menekankan pada olah raga dan peningkatan hidup sehat
untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani,
mental, sosial dan emosional yang serasi, serasi, dan seimbang.
PJOK tidak hanya bergerak dan bermain, namun dibalik semua

218
itu terdapat berbagai ilmu pendukung. Dari kinesiologi ke
fisiologi ke psikologi, semuanya tentang manusia. Baik tentang
mobilitas, kesehatan fisik maupun kesehatan mental.
Mustafa (2020) mengatakan bahwa pendidikan jasmani
dan pendidikan kesehatan adalah proses pendidikan di mana
aktivitas fisik dan kesehatan digunakan untuk menyebabkan
perubahan besar pada kualitas individu, baik fisik, mental, dan
emosional. Pendidikan jasmani merupakan satu-satunya mata
pelajaran di sekolah dimana anak memiliki kesempatan untuk
mempelajari keterampilan motorik dan memperoleh
pengetahuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
jasmani. Dengan pemahaman seperti itu, olahraga dapat
menawarkan pengalaman dan konteks individu dalam
hubungan manusia. Olahraga bukan hanya aktivitas fisik, tetapi
juga substansi pembentuk karakter. Singkatnya, olahraga
berpotensi mempengaruhi pembentukan karakter masyarakat
yang berpartisipasi di dalamnya
Menurut Wawan Suherman (2004) Olahraga dan
kesehatan Pendidikan Jasmani adalah proses pembelajaran yang
dilakukan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk
meningkatkan kondisi jasmani, mengembangkan keterampilan
motorik, pengetahuan dan perilaku pola hidup sehat dan aktif,
serta kecerdasan atletis dan emosional. Peran PJOK sangat nyata
dalam menciptakan generasi sumber daya manusia yang unggul
untuk mencapai Indonesia yang maju. Pembelajaran PJOK tidak
dibuang dan hanya berfungsi sebagai pelengkap. Di era digital
khususnya, ada ancaman yang jelas. Ancaman apa ini, yang jelas
kesehatan generasi muda Indonesia tertarik dengan kemudahan
teknologi saat ini, sehingga minim aktivitas fisik.
Frekuensi gerak yang rendah mempengaruhi kondisi fisik
dan kesehatan siswa. Selain karena perkembangan teknologi
terkait dengan kesehatan fisik, juga mengancam kesehatan
mental generasi muda dengan efek negatifnya. Ini adalah tugas
pekerjaan rumah yang sangat menakutkan dan umum. PJOK
bisa menjadi solusi untuk mengatasi hal tersebut. Perlu
dipahami bagaimana peran PJOK saat ini untuk menjadi

219
generasi Indonesia yang sehat dan produktif di masa depan.
Menumbuhkan keterampilan kerja yang baik tentunya sangat
membantu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dengan
dinamika yang serba guna, yang merupakan aset yang sangat
baik jika Anda memiliki keterampilan kerja yang baik.
Koordinasi gerak, keadaan kekuatan otot pada tubuh dan
kemampuan tubuh dalam melakukan gerakan membuat
aktivitas menjadi lebih mudah dan efisien dan tentunya lebih
efektif.
Pembelajaran gerak sederhana seperti gerak motorik,
nonlokomotor dan manipulatif berperan sangat penting dalam
mengembangkan keterampilan motorik halus. Hal ini tentu ada
dasarnya, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Prasetyo
(2012). Mengingat olahraga merupakan sarana yang ampuh
untuk pembentukan fisik dan mental manusia, maka dengan
berolahraga seringkali membuat aktivitas sehari-hari menjadi
lebih mudah. Tujuan dari suatu kegiatan atau pelaksanaan suatu
kegiatan adalah untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
Gerak yang efektif dan efisien melalui olahraga tentu
mendukung pertumbuhan, perkembangan dan pematangan.
Penguatan pendidikan karakter harus sejalan dengan revolusi
spiritual untuk menciptakan SDM unggul dan Indonesia maju,
PJOK memegang peranan penting. Pembelajaran PJOK tidak
hanya bersifat psikomotor dan kognitif tetapi juga afektif.
Atletik, kejujuran, saling menghargai dan persahabatan menjadi
nilai penting dalam kerja pembangunan karakter di PJOK. Nilai-
nilai luhur kejujuran sangat perlu ditanamkan sejak dini.
Gangguan teknologi dengan efek negatifnya semakin terlihat.
Pemecahan ini membutuhkan perhatian khusus. Perhatian
harus diberikan pada kesehatan dan karakter siswa dan generasi
muda
United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) merupakan organisasi internasional
yang berurusan dengan Olahraga Pendidikan. Pada tahun 1978
UNESCO menerbitkan dokumen kebijakan tentang Pendidikan
jasmani dan Olahraga yang dinamai: International Charter of

220
Physical Education and Sport. Dokumen tersebut diperbaharui
secara berkala, dan terakhir diperbaharui pada tahun 2015
dengan nama International Charter of Physical Education, Physical
Activity and Sport. Dalam nama baru ini ada tambahan kata
Physical Activity. Penambahan kata Physical Activity
menunjukkan bahwa terjadi perkembangan konsep pentingnya
aktivitas fisik secara umum dalam kehidupan manusia.
International Charter of Physical Education, Physical Activity and
Sport, pada dasarnya berisi kebijakan yang mendorong
perkembangan Pendidikan Jasmani, Aktivitas Jasmani, dan
Olahraga di semua Negara. Kebijakan tersebut berupa
prinsipprinsip yang dituangkan dalam preambul yang berisi 13
(tiga belas) butir, dan pasalpasal (article) yang berjumlah 12 (dua
belas) pasal. Dalam setiap pasal berisi butir-butir. Sesuai dengan
pasal-pasal dalam dokumen tersebut, hal-hal penting yang
harus disadari dan dilakukan sebagai langkah strategis adalah
sebagai berikut:
1. Praktek pendidikan jasmani, aktivitas fisik dan olahraga
adalah hak fundamental bagi semua.
2. Pendidikan jasmani, aktivitas fisik dan olahraga dapat
memberikan berbagai manfaat bagi individu, komunitas,
dan masyarakat luas.
3. Semua pemangku kepentingan harus berpartisipasi dalam
menciptakan visi strategis, dan mengembangkan kebijakan
pilihan dan prioritas.
4. Program pendidikan jasmani, aktivitas fisik dan olahraga
harus menginspirasi partisipasi sepanjang hidup.
5. Semua pemangku kepentingan harus memastikan bahwa
kegiatan mereka secara ekonomi, sosial, dan lingkungan
dapat berlangsung.
6. Penelitian, bukti dan evaluasi merupakan komponen yang
diperlukan untuk pengembangan pendidikan jasmani,
aktivitas fisik dan olahraga.
7. Pengajaran, pelatihan dan administrasi pendidikan
jasmani, aktivitas fisik dan olahraga harus dilakukan oleh
personel yang berkualifikasi.

221
8. Mementingkan adanya ruang yang memadai dan aman,
fasilitas dan peralatan yang memadai untuk pendidikan
jasmani, aktivitas fisik dan olahraga yang berkualitas.
9. Keamanan dan manajemen risiko merupakan kondisi
penting dari persyaratan kualitas.
10. Perlindungan dan promosi nilai-nila integritas dan etika
pendidikan jasmani aktivitas fisik dan olahraga harus terus
menjadi perhatian bagi semua.
11. Pendidikan jasmani, aktivitas fisik dan olahraga dapat
memainkan peran penting dalam realisasi tujuan
pembangunan, perdamaian, pasca-konflik dan pasca-
bencana.
12. Melakukan kerjasama internasional merupakan prasarat
untuk meningkatkan cakupan dan dampak dari pendidikan
jasmani, aktivitas fisik dan olahraga.

Penelitian mengenai keterkaitan olahraga dengan


karakter memang menunjukkan kesimpulan yang tidak
konsisten. Sebagai contoh, Kleiber dan Robert (1981) melakukan
studi tentang pengaruh olahraga, khususnya olahraga
kompetitif, terhadap prilaku prososial. Hasil penelitian
membuktikan bahwa anak-anak yang berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga kompetitif menunjukkan penurunan dalam
perilaku prososialnya. Demikian pula penelitian yang di
lakukan Bredemeier & Shields (2008) menyatakan bahwa
kedewasaan penalaran moral bukan atlet pada tingkatan usia
yang sama. Sementara itu penelitian lain membuktikan hal yang
berbeda (B.J & D.L, 1993), seperti yang telah dilakukan oleh. Ia
menyatakan bahwa kegiatan olahraga memberikan dampak
positif terhadap prilaku kerjasama dari individu yang
berpartisipasi di dalamnya.
Menurut Hodge dalam Winarni (2011), secara umum
orang lain hanya meyakini bahwa berpartisipasi dalam program
aktivitas jasmani akan mengembangkan karakter secara
langsung, meningkatkan alasan-moral, dan mengajarkan nilai
dari ciri-ciri olahragawan sejati, tetapi hal tersebut tidak bisa kita
jadikan patokan bahwa berkecimpung didalam aktivitas jasmani

222
dapat membangun karakter. Partisipasi seseorang didalam
pendidikan jasmani dan olahraga tidak secara otomatis akan
menghasilkan orang yang baik atau jahat, sebab karakter tidak
datang dengan sendirinya, tetapi diajarkan dalam program
pendidikan jasmani dan olahraga melalui strategi tertentu yang
sistematis. Telah menjadi keyakinan umum bahwa aktivitas
olahraga identik dengan nilai-nilai karakter seperti: Kejujuran,
Sportivitas, Disiplin, Kepemimpinan.
Kalimat di atas menjelaskan bahwasanya pendidikan
jasmani olahraga dan kesehatan merupakan suatu wadah dalam
membentuk anak baik secara jasmani maupun rohani agar bisa
tumbuh dan berkembang dengan baik serta memiliki
kepribadian yang baik pula. Kemudian bisa dijelaskan bahwa
pendidikan jasmani olahraga kesehatan pada dasarnya
merupakan pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk
mencapai perkembangan individu secara keseluruhan. Namun,
mendapatkan keterampilan dan perkembangan lain yang
bersifat jasmaniah itu juga sekaligus sebagai target dan tujuan
dalam membentuk SDM yang berakarakter dan berakhlak
mulia.

223
BAB OLAHRAGA SEBAGAI
PENDIDIKAN: ANTARA

9 MARTABAT DAN HAK


ASASI MANUSIA
OLAHRAGA SEBAGAI PENDIDIKAN: ANTARA MARTABAT DAN HAK ASASI MANUSIA

A. Pendahuluan
Revolusi di zaman kemerdekaan adalah sebuah
perjuangan fisik, perang melawan penjajah dan sekutunya,
untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kini, 77 tahun setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya
perjuangan itu belum, dan tak akan pernah berakhir. Kita semua
masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang
berbeda. Bukan lagi mengangkat senjata, tapi membangun jiwa
bangsa.
Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang,
pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan
dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa
yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa
lain di dunia. Seperti pada Lagu Kebangsaan Republik Indonesia
"Indonesia Raya" yang diciptakan oleh WR. Supratman, salah
satu bait syairnya berbunyi, "Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya” ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan
bangsa, termasuk pembangunan sumber daya manusia,
ditekankan pada pembangunan jiwa dan raga atau tubuh dan
pikiran. Tentu saja ada hubungan dan sebaliknya. Dimana suatu
bangsa akan maju bila unggul dalam sumber daya manusia,
terutama dalam sistem pembangunan yang berperan sebagai
fasilitator perubahan. Sumber Daya Manusia atau SDM
merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu bangsa
karena berperan penting sebagai promotor pembangunan. Maka

224
SDM menjadi faktor penentu pembangunan nasional dalam
segala aspek.
Berkaitan dengan hal tersebut, dibidang olahraga jugapun
dikatakan bahwasannya prestasi olahraga sebuah negara
merupakan tolok ukur kemajuan suatu bangsa dan negara.
Kemajuan prestasi atlet di kancah dunia juga dapat diartikan
sebagai kemajuan pembangunan bangsa. Dunia olahraga saat ini
dan di masa mendatang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu tugas
pembangunan bangsa Indonesia adalah mewujudkan manusia
Indonesia yang bernilai sebagai bangsa yang besar. Besar
kecilnya suatu bangsa sangat ditentukan oleh seberapa besar
nilai suatu bangsa, dalam kaitannya dengan bangsa lain. Inti
pembangunan olahraga nasional adalah upaya meningkatkan
kualitas hidup manusia secara fisik, mental, dan sosial,
mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, sejahtera,
dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka, bila kita
hubungkan lebih jauh antara tujuan dalam pembangunan
sebuah negara, tentunya tidak terlepas dengan bidang
olahraganya. Karena didalam olahraga memiliki esensi-esensi
yang mendukung upaya negara dalam mewujdukan SDM
unggulan dengan mendorong nilai-nilai moral dan akhlak mulia
yang bertujuan untuk membangun karakter dan kepribadian
yaitu dengan nilai-nilai sportivitas dan disiplin. Bahwa tujuan
olahraga nasional yaitu memperkokoh dan membina persatuan
dan kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan nasional serta
mengangkat nilai dan kehormatan bangsa, diharapkan dapat
terwujud (UUSKN, 2005). Oleh karena itu, jika kita semua ingin
bangsa Indonesia menjadi berharga sebagai hasil dari
pembangunan yang telah dilakukan, kita harus memikirkan
bagaimana membangun kebesaran negara ini dengan
memperkuat fondasi kebesaran negara, dan kita harus
minimalisir semuanya yang menyebabkan terhambatnya proses
pembangunan bangsa yang berharga ini.

225
Pada tatanan internasional, muncul kesadaran baru
bahwa olahraga merupakan instrumen penting bagi
pembangunan. Koffi Annan (Sekretaris Jenderal PBB, 2004)
menyatakan bahwa nilai-nilai olahraga identik dengan nilai-
nilai yang diusung PBB. Pernyataan tersebut dijadikan sebuah
kesadaran dan komitmen yang konkret. Salah satu bentuk
komitmen tersebut adalah diselenggarakannya Konferensi
Internasional mengenai Olahraga dan Pembagunan (Sport and
Development). Hasil penting dari konferensi tersebut adalah
sebuah deklarasi yang diberi nama The Magglingen Declaratioan.
Salah satu butir penting dari deklarasi tersebut adalah Olahraga
dinyatakan sebagai wahana peningkatan kualitas hidup. Selain
itu Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 58/5 yang
berjudul “Sport as a means to Promote Educatiaon Health,
Development Peace. Tujuan utama resolusi ini adalah memberikan
penegasan bahwa olahraga memiliki peran strategis dalam
mancapai tujuan-tujuan pembangunan millenium. (Millenium
Development Goals) Pernyataan ini dipertegas oleh Koffi Annan
yang pada intinya memasukkan olahraga sebagai salah satu
usaha memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Olahraga tidak hanya sebagai kebutuhan untuk menjaga
kebugaran tubuh, akan tetapi telah merasuk dalam semua sektor
kehidupan. Lebih jauh lagi, prestasi olahraga dapat mengangkat
harkat dan martabat manusia baik secara individual, kelompok,
masyarakat, bangsa dan Negara. Namun, yang belum
menggembirakan, prestasi olahraga Indonesia di kancah Asia
maupun dunia seolah merosot. Satu cabang olahraga yang
masih sesekali mempersembahkan prestasi adalah bulu tangkis.
Cabang lain, masih jauh dari espektasi. Olahraga adalah hasil
dari tindakan manusia. Ini adalah konstruksi budaya yang
merujuk pada gagasan antropologis dan aksiologis tertentu
tentang orang tersebut. Perilaku olahraga bukan hanya tentang
atlet yang melakukan olahraga, tetapi setiap orang yang melatih
dan mendidik atlet tersebut. Namun, dapat dikatakan bahwa
atlet dan pendidik berlatih dan berpartisipasi dalam olahraga
dalam berbagai cara di banyak tingkatan.

226
Sebagai konstruksi budaya manusia, olahraga hanya
dapat dipahami secara keseluruhan dan sebagai elemen
pendidikan tertentu dengan merefleksikan hubungannya
dengan martabat manusia dan dengan perluasan, manfaat yang
dapat diperoleh orang dari praktik sosial ini untuk
pengembangan pribadi mereka. Oleh karena itu, olahraga
dipahami sebagai alat pembelajaran sepanjang hayat dan dapat
dilihat sebagai kesempatan bagi setiap individu untuk
berkembang sepanjang perjalanan hidup mereka. Dengan
demikian, olahraga secara keseluruhan tidak mewakili ekspresi
eksklusif dari potensi fisiologis dan fisik individu, melainkan
seperangkat sifat relasional, sosial dan moral yang kompleks dan
sistematis, dan berasal dari kemanusiaan kita bersama. Jika kita
ingin olahraga menjadi nilai positif, kita tidak bisa mengabaikan
keterkaitannya yang tak terpisahkan dengan martabat manusia
Untuk itu, dua konsep "olahraga" dan "martabat manusia" perlu
dianalisis secara terpisah, dan kemudian fokus pada konsep
manusia sebagai kodrat, mencoba memahami
ketidakterpisahannya dari hubungan tripartitnya dengan
pendidikan, budaya, dan jantung gerakan.

B. Olahraga Untuk Semua


Di era seperti saat ini, semua jalur kehidupan tidak
terlepas dari peran teknologi dan ilmu pengetahuan yang
semakin canggih. Sedemikian rupa sehingga hampir semua
aktivitas kehidupan di muka bumi ini didominasi oleh alat-alat
yang cepat dan modern. Hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi manusia, sehingga aktivitas fisik
hampir tidak berdaya, dampaknya sangat mempengaruhi gaya
hidup manusia, sehingga terjadi krisis gerak. Hingga saat ini,
mainstream physical activity sudah tidak lagi digunakan sehingga
sangat berpengaruh terhadap gangguan fisik yang berkaitan
dengan faktor kesehatan dan kebugaran, ditambah lagi dengan
pola makan masyarakat modern khususnya yang tinggal di kota
besar yang berbiaya rendah. Perhatikan berapa banyak kalori
yang anda makan dan berapa banyak kalori yang anda bakar.

227
Sehingga menimbulkan masalah gangguan tubuh dengan akibat
yang sangat mematikan bagi kelangsungan hidup Terkena
berbagai penyakit akibat pola makan dan gaya hidup yang
buruk (ketidakseimbangan). Seperti halnya penyakit jantung,
penyakit jantung merupakan salah satu penyakit mematikan
kedua setelah penyakit infeksi, penyakit ginjal, diabetes,
osteoporosis, osteoporosis dan banyak penyakit lain yang
disebabkan oleh kurangnya olahraga dan pola makan yang tidak
seimbang.
Untuk mengatasi dan mencegah semua masalah tersebut,
beberapa negara bergegas mencari solusi yang tepat sebagai
langkah yang tepat untuk mencari solusi mengatasi krisis
pergerakan yang melanda seluruh lapisan masyarakat, terutama
kaum lanjut usia. Di Indonesia, program penanggulangan krisis
olahraga dimotori oleh olahraga melalui spanduk olahraga
bernama Mempromosikan Olahraga dan Membina Masyarakat.
Kegiatan ini telah direncanakan sejak tahun 1983 dan masuk
dalam GBHN (Garis Besar Kebijakan Nasional), yang
menunjukkan keseriusan masyarakat Indonesia dalam
membangun pola hidup sehat dan bugar melalui aktivitas fisik
di waktu senggang. Para ahli dan semua lapisan masyarakat
sepakat bahwa olahraga merupakan salah satu kebutuhan
manusia dan alat yang paling efektif untuk mencegah timbulnya
penyakit fisik yang mengganggu masyarakat modern. Untuk
memfasilitasi latihan aktivitas fisik melalui olahraga yang
berbeda sebagai alat, setiap orang diundang untuk berlatih
olahraga apa pun sesuai dengan preferensi mereka. Seperti jalan
kaki, lari atau jogging, berenang, tenis, bulu tangkis, sepak bola,
bola voli, basket, bulu tangkis dll, yang terpenting adalah
melakukannya secara rutin dan teratur. Setidaknya tiga kali
seminggu, satu hingga dua jam setiap kali. Namun kegiatan
tersebut harus disesuaikan dengan tingkat usia dan kondisi fisik
individu. Sejarah, pengertian dan perencanaan olahraga untuk
semua itu sendiri akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan
di bawah ini, termasuk implementasinya dalam promosi
kesehatan dan gaya hidup sehat melalui olahraga.

228
Di Indonesia konsep sport for all belum dipopulerkan dan
masih banyak lapisan masyarakat yang belum mengetahui apa
itu sport for all. Untuk itu penulis yang berprofesi sebagai
olahragawan sangat tertarik untuk mensosialisasikan pengertian
dan manfaat olahraga sebagai kegiatan yang positif bagi semua
orang melalui kegiatan fisik untuk mengisi waktu luang. Ini
memainkan peran penting dalam mendorong masyarakat untuk
mempromosikan hidup sehat melalui aktivitas fisik dan bersifat
sukarela untuk semua orang. Oleh karena itu, olahraga untuk
semua sering dikaitkan dengan olahraga rekreasi yang artinya,
olahraga yang dilakukan oleh individu atau kelompok pada
waktu luangnya dengan tujuan untuk mencapai kesehatan,
kebugaran, dan kebahagiaan orang-orang yang mengikuti
olahraga tersebut.
Sejak 1960-an, orang Eropa telah memperkenalkan
gerakan nasional. Sebagian besar dikembangkan dan
dipromosikan oleh orang Norwegia, itu mencapai 40 negara
belum lama ini, tepatnya pada tahun 1965, ketika sebuah
konferensi internasional diadakan di Frankfurt yang disebut
Konferensi Trim dan Kebugaran. Setiap negara memiliki nama
yang berbeda untuk aktivitas fisik bagi setiap orang. Namun,
konsep dibalik kegiatan tersebut pada dasarnya sama yaitu
mengatasi minimnya pergerakan yang melanda masyarakat
internasional akibat kemajuan teknologi canggih atau biasa
disebut dengan krisis pergerakan. Olahraga untuk semua
memiliki arti olahraga nasional, semacam kegiatan olahraga
massal, dengan menggunakan berbagai olahraga sebagai alat
untuk melaksanakan kegiatan olahraga sesuai minat dan
kegemaran sendiri.
Sport for All bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan
kebugaran melalui kegiatan olahraga. memperbaiki. Sport for All
juga merupakan pilihan untuk mempromosikan hidup sehat
melalui aktivitas fisik. Kami menyadari bahwa seiring kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan, kami akan memproduksi alat
yang akan memudahkan aktivitas sehari-hari masyarakat. Di sisi
lain, munculnya berbagai peralatan yang semakin canggih juga

229
akan berdampak buruk bagi kondisi fisik masyarakat. Karena
rendahnya aktivitas fisik yang dilakukan orang, bahkan pakar
olahraga di seluruh dunia mengklaim bahwa di zaman kita krisis
olahraga telah melanda orang-orang, terutama mereka yang
tinggal di kota-kota besar, yang karena kurang olahraga,
menyebabkan terhadap berbagai penyakit. Seperti penyakit
kardiovaskular (jantung), gagal ginjal, diabetes, tulang lemah
dan obesitas. Bahkan penyakit jantung telah menjadi penyebab
kematian kedua setelah penyakit menular. Dalam krisis
kesehatan masyarakat, pengambilan keputusan selalu
menghadapi dilema. Namun, jika kesehatan diakui sebagai
dasar utama terwujudnya harkat dan martabat manusia dan
pelestarian generasi mendatang, maka harus diambil kebijakan
dan langkah konkrit untuk mewujudkan hak atas kesehatan
sebagai hak asasi manusia Untuk mengatasi berbagai penyakit
tersebut, seseorang harus membudayakan hidup sehat dan sehat
melalui aktivitas fisik sebagai pengisi waktu luangnya, setiap
orang dipenuhi dengan olahraga, terutama orang yang berusia
di atas 30 tahun harus melakukan aktivitas fisik secara rutin.
Adapun aktivitas fisik bervariasi dari orang ke orang dan cocok
untuk waktu senggang sendiri, harus dilakukan minimal 3 kali
seminggu, dengan minimal 45 menit sampai 90 menit setiap kali.
Jika kegiatan ini dilakukan secara konsisten sebagai bagian dari
program latihan yang ditargetkan, dapat dipastikan bahwa
mereka akan memiliki tingkat kebugaran yang optimal Karena
kesehatan merupakan dasar pengakuan kualifikasi akademik
seseorang. Tanpa kesehatan, seseorang secara kondisional tidak
setara. Tanpa kesehatan, seseorang tidak dapat memperoleh
hak-hak lain Seseorang dengan kesehatan yang buruk dilahirkan
dengan sedikit hak untuk hidup, untuk mendapatkan dan
mempertahankan pekerjaan yang layak, untuk bergaul, untuk
bertemu dan didengar, untuk dididik untuk masa depan
mereka. Singkatnya, Anda tidak dapat sepenuhnya menikmati
hidup Anda.

230
Kesegaran jasmani penting agar tubuh dapat melakukan
tugas sehari-hari dan bekerja dengan tekun, tanpa kelelahan
yang berarti dan dengan cadangan tenaga yang tersisa untuk
tetap dapat menikmati waktu luang dan menghadapi keadaan
darurat (Sudiana, 2014) Kesehatan merupakan hal terpenting
dalam kehidupan masyarakat, dan kesehatan masyarakat secara
tidak langsung akan mempengaruhi tingkat kemajuan suatu
bidang (Sumaryati, 2019) Kesehatan merupakan hal yang sangat
penting bagi manusia karena tanpa kesehatan yang baik setiap
orang sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Cara
termurah untuk tetap bugar adalah dengan berolahraga (Ilham
et al., 2018) Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia
dan prasyarat bagi terwujudnya hak-hak lainnya diakui secara
internasional. Hak atas kesehatan meliputi hak untuk hidup dan
bekerja secara sehat, hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan hak untuk memberikan perhatian khusus pada
kesehatan ibu dan anak Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (UDHR) menyatakan: Setiap orang berhak atas taraf
hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya, termasuk keadaan lain yang
mengakibatkan kemunduran taraf hidup tersebut. Itu di luar
kendalinya.

C. Olahraga Mengangkat Martabat


Istilah martabat mengacu pada pangkat atau derajat yang
dimiliki orang sebagai manusia. Dengan memiliki martabat ini,
manusia menjadi berbeda dengan makhluk lainnya. Kata
martabat juga memiliki arti pangkat dan harga diri, sedangkan
kata manusia sendiri berarti orang yang berakal. Martabat
manusia adalah dasar dan hak asasi manusia yang dinikmati
setiap orang. Martabat manusia dapat direnggut oleh siapa saja
kapan saja. Martabat manusia tidak hanya dilihat dalam aspek
tertentu, tetapi dalam diri manusia seutuhnya. Tubuh manusia
dan jiwa adalah dua hal yang membentuk manusia yang utuh
Manusia intelektual, berakal, emosional, dan biologis semuanya
menyandang gelar "manusia"; seutuhnya dan ini adalah realitas

231
pribadi. Karisma berarti seseorang adalah orang yang utuh, dan
pesona juga berarti bahwa seseorang adalah individu yang tiada
tara. Persona juga bisa berarti personeita, artinya seseorang yang
mampu melakukan refleksi diri. Dia memiliki kemampuan
untuk membuatnya melihat dirinya sendiri. Manusia selalu
tunduk pada serangkaian hubungan, martabatnya terbentuk
dalam keadaan yang berbeda.
Olahraga adalah satu tindakan yang secara intrinsik
terkait dengan esensi manusia, ekspresi kreativitas, kecerdikan,
dan keseimbangan pikiran dan tubuh. Oleh karena itu, olahraga
memiliki kualitas ontologis, yang menjadi dasar, seperti yang
diajarkan de Coubertin, aktivitas fisik dapat dianggap sebagai
hak asasi manusia universal dan perkembangan sosio-historis.
Merujuk pada berbagai bill of rights internasional, olahraga
dipandang sebagai sarana untuk melindungi kehidupan
manusia, kesejahteraan, dan pada akhirnya hak asasi manusia
merupakan suatu kebanggaan. Untuk alasan ini, seseorang
secara mendasar harus mempertimbangkan olahraga sebagai
praktik yang terkait dengan kebebasan, perawatan, dan
kenikmatan tubuh sendiri. Guardini mengatakan dalam bahasa
lain bahwa manusia adalah manusia yang lengkap dan sangat
diperlukan, dengan semangat dan kreativitas, tidak peduli
kapan dan di mana dia berada, dia tahu di mana harus
menempatkan dirinya. Menurut Marciano Vidal, manusia
adalah realitas kreatif yang dapat menciptakan sesuatu. Tidak
ada yang lebih atau kurang dari yang lain sebagai manusia. Dia
memberi orang lain siapa mereka dari lubuk hatinya dan
menjelajahi kedalaman orang lain di dalam dirinya. Manusia
adalah makhluk dalam hubungannya dengan dirinya sendiri
dan dengan manusia lain. Keberadaan orang seperti itu
menjadikannya orang dengan haknya sendiri. Oleh karena itu,
nilai martabat manusia atau individu dihormati oleh hak asasi
manusia. Penghormatan terhadap kehidupan manusia dalam
kandungan juga didasarkan pada prinsip etika fundamental,
prinsip kerentanan. Prinsip ini menyiratkan bahwa yang kuat
memiliki kewajiban untuk melindungi yang lemah. Deklarasi

232
Hak Asasi Manusia juga memproklamirkan perlindungan hak
dan martabat ini.
Cara tercepat, paling efisien, efektif dan tepat untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia di muka bumi ini
adalah melalui ilmu pengetahuan dan pendidikan. Oleh karena
itu, menuntut ilmu merupakan kewajiban manusia dan jaminan
terpeliharanya martabat merupakan hak fundamental, yang
tentunya sangat dihargai dan dihormati. Pendidikan Jasmani,
Olahraga, dan Kesehatan (selanjutnya disingkat PJOK) pada
hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan
aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam
kualitas individu, baik dalam bentuk fisik, mental, serta
emosional. Sebagai mata pelajaran, PJOK merupakan media
untuk mendorong pertumbuhan fisik, perkembangan psikis,
keterampilan motorik, pengetahuan dan penalaran,
penghayatan nilai-nilai (sikap-mental-emosional-sportivitas-
spiritual-sosial), serta pembiasaan pola hidup sehat yang
berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan
kualitas fisik dan psikis yang seimbang, bertujuan untuk
mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak,
keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran,
stabilitas emosional, serta tindakan moral. Karena dengan ilmu,
manusia akan mengetahui kewajiban mana yang harus dipenuhi
dalam hidup, mana yang harus dihindari dan mana yang harus
diutamakan. Olahraga yang dipahami dalam bentuk mentahnya
mengandung pendidikan yang tersirat. Karena pendidikan
secara khusus dirancang untuk melestarikan dan
menyempurnakan martabat manusia, menjadi kesempatan
belajar bagi orang-orang (Arnold, 1997), olahraga
memungkinkan orang mengendalikan diri, mengekspresikan
diri secara kreatif dan memperoleh keadaan pikiran tertentu.
Kehadiran olahraga sebagai realitas sosial saat ini sangat
diapresiasi oleh masyarakat luas. Olahraga peka terhadap gerak
dinamis proses sosial yang terjadi begitu cepat setelah
terbentuknya nilai atau tatanan normatif yang semakin diakui
pentingnya sebagai sumbangan konstruktif bagi pemajuan

233
harkat dan martabat manusia. Olahraga tidak lagi dipandang
sebagai sarana kebugaran jasmani, namun lebih luas lagi, bidang
olahraga telah merasuk ke seluruh aspek kehidupan manusia.
Kebajikan seperti keadilan dan kejujuran menantang hidup
sebagai pengalaman belajar dengan menekankan pentingnya
keberanian dan kerendahan hati. Olahraga mengarahkan
perempuan dan laki-laki untuk menampilkan diri sebagai
makhluk sosial untuk menguji plastisitas dan perilaku adaptif
mereka dalam arti moral. Dengan menggerakkan tubuh mereka,
laki-laki dan perempuan mengungkapkan dan menunjukkan
kemungkinan mereka menggunakan dan menghayati tubuh
mereka: semakin banyak mereka melakukannya, semakin tinggi
martabat kemanusiaan mereka. Dalam realitas sadar ini,
manusia dapat memiliki dan memutuskan sesuatu dengan bebas
tanpa terikat oleh realitas eksternal, dan manusia ingin mencapai
kebaikan dan keinginan pribadi di dalam hati mereka. Jadi,
kebebasan adalah dasar untuk membuat orang mengikuti
kehendak-Nya sebagai orang yang bebas. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa hak asasi manusia pada dasarnya adalah
apa yang dimiliki manusia sejak lahir, yaitu dalam dirinya
sendiri.
Ambiguitas karakter pendidikan esensial olahraga ketika
mempertimbangkan apakah olahraga benar-benar dilihat
sebagai universal dalam pengertian pendidikan, sehingga
berkontribusi pada perilaku manusia yang "tepat", atau apakah
itu disejarahkan dan tertanam dalam ruang sosial oleh dadanya.
Tampaknya olahraga juga dipahami sebagai sarana untuk
mempromosikan tujuan selain proses humanisasi (Isidori &
Reid, 2011) Ketika olahraga menjadi bagian dari bisnis
pertunjukan, itu sebenarnya bisa menjadi praktik yang tidak
manusiawi. Cara komersial untuk memahami olahraga ini
merusak martabat manusia dalam banyak hal. Misalnya, pemain
dieksploitasi hanya untuk tujuan periklanan. Dalam logika
merkantilisme, bahkan di usia yang sangat muda, mereka
berdagang seolah-olah tidak ada barang atau benda (Redeker,
2002). Selain itu, olahraga merusak martabat dan nilai manusia

234
ketika mengambil nyawa atlet dan menyangkal kesempatan
mereka untuk bentuk pemenuhan pribadi lainnya. Ketika
olahraga menyatukan penonton dan pendukung yang
mendukung tim, pemain, kota tuan rumah, itu juga
mengungkapkan dirinya sebagai alat sosial palsu. Dan itu justru
merusak citra dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalam
olahraga. Oleh karena itu, olahraga merugikan harkat dan
martabat manusia. Olahraga juga dapat mengubah hubungan
antara kebaikan dan kejahatan ketika didasarkan pada konsep
kemenangan sebagai kekuatan dan dominasi atas yang lain dan
sebagai pemenang dengan segala cara, seperti melalui tindakan
kinerja (doping) yang tidak adil (Palmer, Tahun 2009). Dengan
demikian, tidak hanya penghormatan dan perlindungan orang
dan kesehatan mereka yang gagal, tetapi juga menghilangkan
nilai permainan yang mengedepankan asas keadilan dan etika
(Kosiewicz, Obodyński, 2003).
Untuk lebih jelasnya, perlu dipikirkan tentang olahraga
dan nilai pendidikannya (Isidori, 2012) dengan menggunakan
pendekatan metodologis berdasarkan pendekatan dekonstruksi
interpretatif yang bertujuan untuk mempelajari maknanya yang
dalam (Isidori, 2012), dan kemungkinan olahraga sebagai alat
untuk memajukan harkat dan martabat manusia. Penting untuk
fokus pada interpretasi filosofis olahraga untuk
mempromosikan potensi pendidikannya (humanisasi) (Reid,
2012) Filsuf atlet, atau lebih luas lagi, atlet dapat menggunakan
olahraga sebagai cara untuk mengenal diri sendiri dan
bertanggung jawab atas tindakannya, orang lain, dan
olahraganya. Dengan demikian, mereka akan menjaga dan
melindungi nilai-nilai olahraga mereka di masyarakat, dan
mereka yang diberkahi dengan martabat manusia (Farinelli,
2005).
Gerakan yang dilakukan adalah perwujudan dari
kehidupan, hal ini dimaknai sangat dalam bila kita mengartikan
sebuah falsafah “Tiada hidup tanpa bergerak, dan tidak ada
gunanya hidup kalau tidak mampu bergerak, memelihara gerak
adalah mempertahankan kehidupan, meningkatkan

235
kemampuan gerak adalah meningkatkan kualitas kehidupan,
karena itu, bergeraklah untuk hidup dan bukan hanya bergerak
karena masih hidup”. Ada persaingan didalam olahraga, dan
persaingan yang dimaksud adalah persaingan yang sehat.
Pelaku olahraga dididik dan dilatih untuk bermain dengan
aturan tertentu. Pelanggaran terhadap aturan akan
mengakibatkan sanksi atau hukuman. Ada nilai kerjasama
dalam olahraga. Edukasi tentang pentingnya kerjasama dalam
kehidupan sangatlah penting, apalagi dalam situasi saat ini.
Tidak ada keterampilan yang bisa berdiri sendiri. Suatu profesi
tidak dapat eksis dalam masyarakat tanpa bekerja sama dengan
profesi lain. Karier seorang pemain profesional tidak akan ada
tanpa klub atau manajemen yang mengatur dan membayarnya.
Karier wasit/juri tidak akan pernah ada tanpa permainan Nilai
kerjasama memberi makna, dan kita membutuhkan orang lain
dalam hidup. Pemahaman ini sekaligus memberikan
pemahaman yang diperlukan untuk menempatkan orang lain di
garis depan hidup Anda. Gerakan juga mengajarkan bahwa
seseorang harus aktif, bergerak dan berusaha sesuai dengan
posisinya untuk mencapai tujuan. Itu berarti pendidikan jasmani
agar selalu aktif dan produktif dalam hidup, di mana pun anda
berada olahraga juga dipraktekkan dengan aturan-aturan
tertentu, agar kegiatan olahraga tersebut dapat dilaksanakan
dengan benar, tertib, aman, jujur dan adil. Dalam olahraga,
kedudukan seseorang ditentukan oleh kemampuan atau daya
saing yang dimilikinya. Disiplin, jujur, sportif, kerjasama, patuh
dan hormat pada aturan, persahabatan dan kemasyarakatan
adalah nilai-nilai luhur dan universal yang berakar pada
olahraga. Karena tingginya nilai-nilai yang ditanamkan dalam
olahraga, maka olahraga memiliki potensi yang cukup besar
untuk dijadikan sebagai sarana pendidikan yang tepat sasaran.
Potensi tersebut harus dimanfaatkan, dikembangkan dan
dikondisikan sedemikian rupa agar menjadi sarana pendidikan
yang efektif.

236
Pendidikan jasmani merupakan sarana pencapaian tujuan
pendidikan pada masa perkembangan manusia yang dapat
menunjang fungsi jantung, otak, dan sensorik. Manusia terdiri
dari domain seperti kognitif, motorik, dan afektif. Domain-
domain tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi saat
menampilkan suatu perilaku atau gerakan. Agar seseorang
tumbuh dan berkembang secara alami, area yang berbeda ini
harus distimulasi dan disembuhkan secara seimbang. Manusia
bergerak harus dilihat sebagai kesatuan sistem, yaitu manusia
adalah sistem bio-psiko-sosio-kultural (Mutohir, 2002) Olahraga
berkontribusi pada kesehatan masyarakat yang baik, sehingga
meningkatkan kualitas kehidupan mental dan kualitas kinerja
fisik. Dalam konteks ini, olahraga harus dan harus menjadi pilar
kerukunan, titik keseimbangan dalam kehidupan
bermasyarakat untuk kehidupan yang sehat dan harmonis. Pada
akhirnya, ini berarti mereka yang hidup dengan nilai-nilai moral
tertentu yang memungkinkan mereka mencapai tingkat yang
pantas dihormati bukan karena statusnya tetapi karena kualitas
hidupnya.
Oleh karena itu, olahraga juga mengajarkan bahwa
kedudukan seseorang dalam kehidupan sosial dan karier harus
didasarkan pada kemampuannya. Dengan nilainya yang tinggi,
olahraga bahkan dapat menjadi alat pendidikan yang bersifat
integratif, yaitu dapat mencerdaskan serta aspek-aspek yang
berkaitan dengan ranah kognitif, motorik, dan afektif. Gerakan
secara bersamaan dapat membentuk kecerdasan intelektual,
kecerdasan sosial dan emosional, kecerdasan psikologis, dan
kecerdasan kinestetik. Nilai-nilai olahraga tersebut di atas sudah
sangat dikenal dan dapat dengan mudah ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari Hal ini menunjukkan bahwa olahraga
sebenarnya mengandung nilai-nilai yang sangat penting bagi
kehidupan dan kemanusiaan. Berdasarkan uraian di atas,
semakin jelas bahwa olahraga merupakan instrumen yang
efektif dalam pembentukan karakter bangsa dan pada akhirnya
bedarampak pada peningkatan martabat bangsa. Dalam
pembahasan ini, istilah olahraga dimaknani secara luas dan

237
tidak hanya merujuk pada aktivitas fisik dalam permainan atau
kompetisi, tetapi juga sebagai sinonim untuk aktivitas fisik
rekreasi dengan tujuan utama meningkatkan kehidupan
manusia. Hal ini merupakan suatu tugas penting, karena pada
realitas bahwa wacana tentang olahraga sebagai hak asasi
manusia seringkali terdiri dari pernyataan sederhana dan
ambigu yang menutupi kehadiran diskriminasi dan pengucilan
dari pada inklusi sosial. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini,
terdapat pertanyaan-pertanyaan yang mengkerucut dengan
fokus pembahasan seperti berikut: Apakah olahraga adalah hak
asasi manusia? Bisakah olahraga benar-benar mempromosikan
inklusi sosial? Bagaimana olahraga menjadi praktik inklusif?

D. Apakah Olahraga Benar-Benar Mengekspresikan Martabat


Manusia?
Dalam era globalisasi, setiap negara dapat saling
berinteraksi, baik untuk kerja sama dalam mencapai tujuan
tertentu maupun saling berkompetisi satu sama lain. Kompetisi
global menuntut sebuah negara untuk memiliki kemandirian.
Oleh karena itu, diperlukan strategi/kebijakan yang harus
diambil oleh Pemerintah dalam pembangunan nasional adalah
meningkatkan ketahanan nasional, meningkatkan kualitas SDM,
mengubah struktur ekonomi. Di samping itu, Pemerintah juga
melakukan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah
Indonesia. Dalam hal ini tentunya dibutuhkan instrumen yang
tepat dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa agar
mampu menjadi yang terdepan pada setiap kesempatan.“Untuk
mencapai (kemandirian), kita harus memiliki daya saing yang
tinggi dan mampu memenangkan akses terhadap berbagai
peluang yang tercipta dari globalisasi.
Prestasi olahraga suatu negara juga merupakan salah satu
tolak ukur kemajuan bangsa dan termasuk kemajuan prestasi
atletnya di kancah dunia, dan dapat kita artikan juga sebagai
kemajuan pola pembangunan bangsa. Olahraga pada saat ini
sudah menjadi salah satu indikator keberhasilan suatu bangsa
bahkan sudah maju ke industri olahraga itu sendiri, karena

238
sudah mampu menopang tidak hanya banyak orang-orang,
tetapi bahkan jutaan orang di sekitarnya. Misalnya negara-
negara di Eropa, olahraga dalam data statistiknya telah menjadi
sektor yang sangat kooperatif dan menguntungkan, tidak hanya
sepak bola tetapi juga berbagai cabang olahraga lainnya, karena
wajar jika setiap ada event selalu diperebutkan setiap saat. Jika
ditelaah dan direnungkan dalam konsep martabat, dapat
dikatakan bahwa olahraga itu seperti menggambarkan martabat
manusia. Olahraga dipahami sebagai praktik manusia yang
mengekspresikan dan mewujudkan nilai-nilai estetika dan
moral, yang diwujudkan dalam konsep martabat, seperti yang
terlihat dalam fungsi pendidikan dan sosial. Tidak ada martabat
tanpa olahraga, dan sebaliknya. Singkatnya, martabat, sebagai
praktik sosial dan pendidikan yang berakar pada kebebasan,
merupakan inti dari asal mula dan munculnya olahraga. Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwasannya olahraga
dikaitkan dengan konsep 'prepon', 'doxa' dan 'axion',
seperangkat nilai etika dan estetika yang harus selalu dipahami
secara utuh. Kita orang modern masih menganggap olahraga
sebagai praktik manusia yang terkait dengan kecantikan fisik
dan perilaku kita, ketika itu menjadi tindakan moral yang
didasarkan pada penghormatan terhadap aturan dalam
memenangkan atau berpartisipasi pada sebuah permainan (nilai
yang diperkenalkan oleh de Coubertin dalam etika olahraganya)
sesuai dengan peraturan yang membawa kepercayaan,
kehormatan dan kemuliaan; itu adalah hadiah utama bagi atlet.
Doxa diperoleh ketika seseorang mengikuti aturan melalui
perilaku moral dan etika yang baik selama permainan dan
kompetisi. Doxa dihadiahkan berdasarkan kinerja dan
memenangkan permainan di bawah aturan.
Olahraga membuat kita layak mendapatkan kemenangan
dan hadiah, dan kebebasan yang kita miliki sebagai manusia,
dicontohkan dengan hak untuk berpartisipasi dan hal itu juga
membuat kita layak dipandang jujur, layak dipercaya orang lain,
dan layak dilihat sebagai panutan. Beginilah martabat dikaitkan
dengan konsep olahraga sebagai keindahan, kemuliaan, dan

239
prestasi. Harga diri, seperti yang disebutkan sebelumnya, adalah
awal dan akhir dari olahraga Axion adalah konsep lama yang
dianut oleh olahraga dan demokrasi (hanya yang terkuat yang
bersaing dan berpeluang menang) (Miller, 2000; Musti, 1995)
Coubertin tahu itu. Itu sebabnya, baginya, olahraga
mengekspresikan dan mensintesakan konsep demokrasi. Bagi
Coubertin, olahraga adalah alat pendidikan yang
mempromosikan nilai-nilai penyampaian layanan dan
penerimaan sosial. Dia bermimpi untuk menciptakan
masyarakat yang lebih adil dan setara dengan bermain dan
bersaing sesuai aturan dan berbagi kebaikan bersama yang
diungkapkan oleh olahraga sebagai praktik manusia sebuah
masyarakat yang dikenal sebagai Republik Olahraga.
Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3
Tahun 2005 merupakan undang-undang yang mengatur tentang
sistem keolahragaan nasional dan sampai saat ini bidang
olahraga hanya diatur dengan peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang ini, dengan pengaturan sebagian atau
tidak berlaku terhadap semua aspek keolahragaan di tanah air
secara keseluruhan dan tidak mencerminkan tertib hukum di
bidang olahraga. Olahraga merupakan bagian dari proses dan
pencapaian tujuan pembangunan nasional. Keberadaan dan
peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara harus jelas diposisikan dalam sistem hukum nasional.
Standar Olahraga Nasional adalah standar minimum untuk
semua aspek pelatihan dan pengembangan olahraga.
Keolahragaan nasional bertujuan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, prestasi,
kualitas manusia, penanaman nilai-nilai moral dan budi pekerti
yang tinggi, sportivitas, disiplin, memperkokoh dan memajukan
persatuan dan kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan
nasional dan martabat bangsa serta memajukan kehormatan.
Berfungsi untuk mengembangkan kekuatan fisik, kecerdasan
dan kemampuan sosial, serta membentuk karakter dan
kepribadian bangsa yang bernilai tinggi. Olahraga nasional
diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

240
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional menegaskan asas penyelenggaraan olahraga. Prinsip-
prinsip penyelenggaraan olahraga adalah: demokrasi,
nondiskriminasi dan menghargai nilai-nilai agama, nilai budaya
dan keragaman suku, keadilan sosial dan nilai kemanusiaan
yang beradab, sportivitas dan penghargaan terhadap nilai-nilai
moral dan estetika, budaya dan keterbukaan, pembangunan
yang sehat dan aktif kehidupan komunitas. Kebiasaan,
mempromosikan keterlibatan masyarakat, keselamatan dan
keamanan, dan kesehatan fisik dan mental.
Keolahragaan nasional adalah keolahragaan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
keolahragaan, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap
terhadap tuntutan perkembangan olahraga. Keolahragaan
adalah segala aspek yang berkaitan dengan olahraga yang
memerlukan pengaturan, pendidikan, pelatihan, pembinaan,
pengembangan, dan pengawasan. Undang-Undang Sistem
Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005 menggarisbawahi
persoalan keolahragaan nasional yang semakin kompleks yang
melibatkan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan sosial
masyarakat dan negara serta kebutuhan dunia yang terus
berubah. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia membuat
undang-undang. Ini mengatur olahraga secara keseluruhan
dengan mempertimbangkan semua aspek yang relevan untuk
beradaptasi dengan evolusi olahraga dan masyarakat Undang-
undang. Sistem Keolahragaan Nasional No. 3 Tahun 2005 juga
berfungsi sebagai instrumen hukum yang mampu mendukung
pembangunan dan pengembangan olahraga nasional saat ini
dan di masa mendatang. Atas dasar itulah perlu disusun
undang-undang tentang sistem keolahragaan nasional sebagai
landasan hukum penyelenggaraan berbagai kegiatan olahraga
di wilayah negara kesatuan Republik. Menurut pandangan
Yunani kuno dan pendapat de Coubertin, olahraga membuat
kita berharga dengan memberi kita kesempatan untuk

241
memperbaiki diri. Oleh karena itu, olahraga berpotensi untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia Kemungkinan ini
terbuka untuk semua orang. Tidak ada martabat tanpa
kebebasan dan tidak ada alasan untuk menganggap olahraga
sebagai aktivitas manusia. Olahraga adalah cara bagi kita untuk
mengekspresikan kemanusiaan kita, keinginan kita untuk
melampaui tubuh fisik kita. Olahraga sebagai sarana ekspresi
manusia, merupakan hak dan keistimewaan individu yang tidak
dapat dicabut. Olahraga adalah hak asasi manusia dan praktik
bebas yang harus dipromosikan, dikembangkan, dan dilindungi
oleh institusi politik sebagai kebaikan bersama dan kemanusiaan
bersama (Schurmann, 2012).

E. Apakah Olahraga Itu Hak Asasi Manusia?


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan undang-undang. Menurut ketentuan tersebut,
segala aspek kehidupan bermasyarakat, bernegara dan
penyelenggaraan negara, termasuk pemerintahan, harus selalu
berdasarkan hukum. Olahraga merupakan bagian dari proses
dan pencapaian tujuan pembangunan nasional. Keberadaan dan
peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara harus jelas diposisikan dalam sistem hukum nasional.
Selama ini bidang keolahragaan hanya mengatur sebagian
bidang keolahragaan dalam bentuk undang-undang atau belum
mengatur seluruh aspek keolahragaan nasional, yang tidak
mencerminkan tertib hukum di bidang keolahragaan. Persoalan
keolahragaan nasional semakin kompleks dan terkait dengan
dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dan negara
serta tuntutan perubahan global, maka sudah saatnya Indonesia
membuat undang-undang yang mengatur keolahragaan secara
menyeluruh, dengan memperhatikan memperhitungkan semua
tindakan yang relevan.
Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan olahraga dan
sosial, merupakan dokumen hukum yang dapat mendukung
pembangunan dan pengembangan olahraga nasional. Atas

242
dasar itulah perlu adanya undang-undang tentang sistem
keolahragaan nasional sebagai landasan hukum bagi seluruh
kegiatan olahraga diwilayah negara kesatuan Republik
Indonesia. Undang-undang Keolahragaan Nasional ini akan
memberikan kepastian hukum bagi pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat umum untuk melakukan kegiatan
olahraga guna mewujudkan masyarakat dan bangsa yang cinta,
giat, bugar, sehat dan berprestasi di bidang olahraga. Oleh
karena itu, kampanye sosialisasi olahraga dan pembinaan
olahraga masyarakat serta upaya peningkatan prestasi olahraga
dapat meningkatkan martabat bangsa di tingkat internasional
sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan
nasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) secara
tidak langsung mempromosikan hak untuk berlatih olahraga
melalui Pasal 24 (Setiap orang berhak untuk beristirahat dan
bersantai) dan 27 (Hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam
kehidupan budaya masyarakat) Namun, pada tahun 1970-an,
muncul deklarasi internasional yang secara khusus menyatakan
hak untuk berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas fisik.
Negara-negara Eropa memberlakukan Olahraga untuk Semua
(1976), yang pertama menyatakan bahwa "setiap orang berhak
untuk berpartisipasi dalam olahraga". Selanjutnya, pada tahun
1978, Konferensi Umum UNESCO memproklamirkan Piagam
Internasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga, pasal pertama
yang menegaskan bahwa “praktik olahraga adalah hak dasar
semua manusia”. Piagam UNESCO mengidentifikasi olahraga
sebagai "promosi seumur hidup". Pembelajaran peserta dan
sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui
pengembangan program olahraga, pelatih dan fasilitas.
Regulator nasional dan internasional didorong untuk
mempromosikan partisipasi publik dalam olahraga, mengakui
olahraga sebagai barang publik dengan potensi untuk
mempromosikan perdamaian, rasa hormat, dan persahabatan.
Menurut Piagam Olimpiade dan berbagai deklarasi dan
dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa, olahraga
adalah hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas kesehatan,

243
inklusi sosial, dan waktu luang: inilah mengapa organisasi
internasional tersebut menganggap olahraga sebagai sarana
penting untuk mempromosikan hak asasi manusia dan warga
negara, karena olahraga selalu identik dengan praktik sehat dan
aktivitas menyenangkan. Sebagai hak asasi manusia, olahraga
harus dibina dan dikembangkan agar dapat dilakukan oleh
sebanyak mungkin orang setiap hari. Komite Olimpiade
Internasional, PBB, dan Komisi Eropa selalu menekankan bahwa
olahraga terkait dengan tingkat perkembangan suatu
masyarakat atau negara. Karena olahraga adalah budaya dan
pendidikan serta praktik dipengaruhi olehnya, partisipasi
masyarakat dalam olahraga merupakan indikator tingkat inklusi
sosial dan kesejahteraan yang dicapai dalam komunitas tertentu.
Partisipasi dalam olahraga bertujuan untuk mendorong dan
menggerakkan masyarakat agar masyarakat dapat lebih
memahami dan merasakan secara langsung hakikat dan manfaat
olahraga sebagai kebutuhan hidup, khususnya olahraga 6 M
(Mudah, Murah, Menarik, Meriah, Manfaat, dan Masif).
Sehubungan dengan itu, perlu diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas
fisik yang didukung dengan proses pemahaman, pengenalan
dan penghayatan akan makna, fungsi, manfaat dan yang
terpenting adalah nilai olahraga menumbuhkan akhlak mulia
dalam kehidupan manusia.
Untuk sampai pada satu set kriteria yang digunakan
untuk secara ketat mengukur tingkat perkembangan sosial suatu
masyarakat, manusia merumuskan Deklarasi Hak Asasi
Manusia, yang dapat dibagi menjadi empat generasi yang
berbeda. Disini adanya penegasan bahwa olahraga adalah
praktik manusia, yang disebut sebagai hak asasi manusia
“generasi keempat”. Misalnya, banyak deklarasi Uni Eropa dan
Deklarasi Universal terkait Hak Asasi Manusia mendukung
pandangan olahraga sebagai hak asasi manusia Dari semua
dokumen tersebut, terlihat bahwa olahraga adalah hak asasi
manusia dalam segala hal. Misalnya, beberapa pernyataan
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan dan

244
mengakui hak seluruh dunia untuk beristirahat, bersantai, dan
berekreasi. Isu HAM dalam olahraga sangat beragam. Diskusi
ini berhasil mengidentifikasi capaian legalisasi HAM dalam
olahraga, dan apakah ada pelanggaran atau setidaknya
“kewajiban”. Hak-hak tersebut meliputi hak perempuan, hak
disabilitas, hak atlet, hak anak dan hak tenaga kerja.
1. Hak Perempuan
Wanita selalu menjadi perbincangan yang menarik
untuk didengarkan dalam berbagai cara. Perjuangan
diskursif melawan kehadiran perempuan dalam struktur
tatanan sosial sepertinya tidak pernah melemah. Ketegangan
meningkat karena begitu banyak orang berpihak pada
mereka yang diduga terluka. Sebut saja feminin dalam
banyak diskusi perkembangan konstruksi budaya.
Perjuangan kesetaraan gender masih hangat diperdebatkan
di lembaga-lembaga sosial, seperti halnya dunia olahraga.
Perjuangan konsep kesetaraan gender semakin terasa di
dunia olahraga karena hingga saat ini olahraga sangat erat
kaitannya dengan tradisi laki-laki. Ketika kita mencoba
melihat lebih jauh, gerakan dan isu perempuan tetap ada.
Berbagai faktor seperti mitologi, etika, konstruksi budaya
dan interpretasi agama menempatkan perempuan pada
posisi yang tidak biasa untuk dapat berpartisipasi penuh
dalam olahraga.
Konsep penting yang perlu dipahami untuk
membahas perempuan dalam ruang sosial adalah
memahami perbedaan konsepsi gender. Konsep gender
adalah konsep yang memisahkan laki-laki dan perempuan
atas dasar karakteristik yang dibangun secara sosial,
bukannya melekat secara permanen dan dapat
dipertukarkan Contohnya adalah karakteristik feminin yang
cenderung dicap feminin di masyarakat (manis, emosional,
sensitif, cantik, dll.). Pembalikan (Mansour Fakih, 1997) Pada
tahap selanjutnya, konsep gender sering menimbulkan
ketimpangan dan ketidakadilan dalam wacana sosial, salah
satunya dunia olahraga. Perubahan yang paling menonjol

245
dalam olahraga ini adalah peningkatan partisipasi wanita.
Hal ini terjadi di hampir semua negara industri besar.
Perubahan juga terjadi di negara-negara miskin yang
tentunya dalam skala yang lebih kecil.
Pada pertengahan tahun 1970-an, orang menyadari
manfaat olahraga. Kesadaran ini mengarahkan perempuan
untuk mencari peluang berolahraga dan berolahraga Banyak
publikasi tentang gerakan perempuan dipengaruhi oleh
tradisi feminis untuk menjadi kurus dan menarik bagi laki-
laki, sementara yang lain menekankan perkembangan
kekuatan dan kemampuan fisik (Coakley, 2004) Sejak akhir
1970-an, partisipasi perempuan dalam olahraga meningkat
secara dramatis. Ini adalah hasil dari meningkatnya
kesempatan karena undang-undang persamaan hak,
olahraga wanita, kampanye kebugaran, dan peningkatan
advokasi untuk atlet wanita. Kesetaraan gender dalam
olahraga terkait erat dengan isu-isu ideologis dan budaya.
Kesetaraan gender tidak akan pernah tercapai tanpa
mengubah cara masyarakat memandang maskulinitas dan
feminitas serta cara olahraga diatur dan dipraktikkan.
Menerima bahwa ideologi dan olahraga gender dibentuk
oleh nilai dan pengalaman laki-laki, kesetaraan gender yang
sebenarnya bergantung pada perubahan definisi
maskulinitas dan feminitas dan bagaimana kita terlibat
dalam olahraga (Coakley, 2004).
Mengenai hubungan gender dan olahraga, isu yang
diangkat akan menyentuh kesetaraan dan keadilan serta
ideologi dan budaya. Sejarah penggunaan istilah kesetaraan
gender dalam olahraga mulai populer pada tahun 1999,
ketika publikasi media olahraga memasukkan daftar atlet
terbaik abad ke-20. Gender adalah prinsip utama kehidupan
sosial sehingga ideologi gender memengaruhi cara kita
memikirkan dan memengaruhi orang lain, cara kita
berinteraksi dengan orang lain, dan cara kehidupan sosial
diatur di semua tingkatan, dari keluarga hingga masyarakat.
Kecenderungan untuk mengabaikan ideologi adalah masalah

246
serius dalam hal keadilan dan kesetaraan dalam olahraga.
Memang, kesetaraan dan keadilan hanya bisa dicapai jika kita
mengubah ideologi gender yang kita gunakan di masa lalu.
Perlu dicatat bahwa munculnya ideologi gender
mempengaruhi kehidupan kita yang berhubungan dengan
olahraga dan berbagai strategi untuk mengubahnya
(Coakley, 2004)
Di Amerika Serikat, Title IX (1972), Amandemen
Pendidikan atas Undang-Undang Hak Sipil, berdampak
besar pada peningkatan sumber daya atletik wanita di
institusi publik. Di Kanada, Rights and Freedoms Act (1982)
berhasil membawa olahraga ke dalam kode hak asasi
manusia nasional, yang pada gilirannya berhasil mendorong
keberhasilan perempuan dalam olahraga. Kongres Dunia
pertama tentang Wanita dan Olahraga (Brighton, Inggris,
1994) menghasilkan Deklarasi Brighton tentang Wanita dan
Olahraga. Prinsip Pertama Kesetaraan dan Keadilan:
“1) Kesempatan yang sama untuk bermain dan
berpartisipasi dalam olahraga, baik untuk rekreasi,
peningkatan kesehatan atau peningkatan kinerja, adalah
hak setiap wanita tanpa memandang ras, warna kulit,
bahasa, agama, orientasi seksual, usia, status perkawinan,
kecacatan, orientasi atau afiliasi politik, dan asal
kebangsaan atau social, 2) Sumber daya, kekuasaan dan
tanggung jawab harus didistribusikan secara adil, tanpa
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.

Mungkin semua pihak telah membantu memajukan


kesetaraan perempuan dalam olahraga. Namun saat ini,
tampaknya pusat perbaikan masih berada pada level
pemerataan dan belum bergerak sepenuhnya. Kesetaraan
berarti memperlakukan setiap orang dengan sama,
sedangkan kesetaraan berarti mengakui bahwa setiap
individu mungkin memiliki kebutuhan dan kepentingan
yang berbeda dan memberi mereka akses yang adil ke
sumber daya sosial. Dalam metafora olahraga, kesetaraan
memberi setiap orang garis awal yang sama, dan keadilan

247
adalah cara setiap orang mencapai garis finis yang terbaik
untuk semua orang. Oleh karena itu, pendekatan ini harus
membebaskan perempuan dari tirani norma laki-laki dalam
olahraga.

2. Hak Penyandang Cacat (Disabilitas)


Penyandang Disabilitas didefinisikan sebagai setiap
orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental
dan sensorik dalam berinteraksi dengan lingkungannya
dalam jangka waktu yang lama dan dapat mengalami
kecacatan. Negara menetapkan bahwa hak penyandang
disabilitas harus diwujudkan oleh negara, antara lain hak
untuk hidup, perlindungan dari stigma, keadilan,
pendidikan, olah raga, aksesibilitas dan pelayanan publik.
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas
publik yang memadai bagi seluruh warga negara tanpa
terkecuali. Di bidang olahraga, UU No. 1 mendukung
penyandang disabilitas. Pasal 11 Tahun 2022 menentukan
bahwa olahraga harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan olahraga secara tetap, peningkatan mutu serta
relevansi dan efektifitas pengelolaan olahraga. Mengingat
perubahan kebutuhan dan tantangan olahraga yang dinamis,
termasuk perubahan strategis dalam lingkungan
internasional.
Selain itu, Konvensi PBB tentang Hak Penyandang
Disabilitas telah memungkinkan penyandang disabilitas
untuk berpartisipasi dalam olahraga Pasal 30 menentukan
hak penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam
kehidupan budaya, rekreasi, rekreasi dan olahraga.
Organisasi olahraga untuk atlet penyandang disabilitas
(mental dan fisik) telah berhasil menjadi tuan rumah
Olimpiade Khusus dan Paralimpiade, mendorong partisipasi
yang luas. Saat itu, kompetisi olahraga internasional untuk
atlet penyandang disabilitas meliputi ski alpen, ski lintas
alam, biathlon, bersepeda, panahan, dan renang, mirip
dengan olimpiade. Namun, perlengkapan olahraga
Paralimpiade diadaptasi untuk disabilitas tertentu Atlet

248
paralimpiade bersaing dalam enam kelompok disabilitas
yang berbeda: diamputasi, cerebral palsy, tunanetra, cedera
tulang belakang, cacat intelektual dan lain-lain (atlet
penyandang cacat yang tidak termasuk dalam kategori lain).
Dalam kelompok-kelompok ini, atlet akan dibagi lagi
menjadi beberapa kategori berdasarkan jenis dan tingkat
kecacatannya. Jika kondisi fisik seorang atlet berubah,
mereka dapat direklasifikasi untuk kompetisi mendatang.
Pengaturan kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa
kondisi fisik tidak lagi menjadi penghalang atau alasan
partisipasi masyarakat dalam aktivitas fisik, bahkan tidak
menutup kemungkinan penyandang disabilitas juga dapat
berpartisipasi dalam dunia olahraga, baik nasional maupun
internasional. Merangkum lima atlet disabilitas yang telah
berjasa di kancah internasional dan mengharumkan nama
Indonesia. 1) David Jacobs, petenis para-meja Indonesia yang
meraih medali perunggu tunggal putra kategori 10 pada
Paralympic Games 2012 di London, Inggris. (2) Ni Nengah
Widiasih atau alias Widi adalah atlet putri difabel yang
berkompetisi di cabang angkat besi dan hasil terbaiknya
adalah medali perunggu di Paralympic Games Rio 2016. (3)
Eman Sulaeman adalah penjaga gawang terbaik di Street
Football Homeless World Cup 2016 di Glasgow, Skotlandia. (4)
Muhammad Fadli, pebalap sepeda Indonesia peraih medali
emas dan perak Asian Athletics Championships (ATC) 2019. (4)
Jendi Pangabean meraih medali emas renang 200m dengan
catatan waktu 2:33,37 pada ASEAN Paralympic Games 2017
di Malaysia.
Gerakan Paralympic pada awalnya dimulai dengan
penggunaan olahraga untuk hiburan dan rehabilitasi
penyandang cacat, secara bertahap berkembang menjadi
olahraga kompetitif dan akhirnya berkembang menjadi ajang
olahraga tingkat elit (Paralympic Games). Gagasan olahraga
paralimpiade merupakan bentuk realisasi diri melalui
olahraga kompetitif Selama 50 tahun terakhir, olahraga ini
telah berkembang menjadi puncak performa bagi para atlet

249
penyandang disabilitas. Saat ini, olahraga Paralimpiade
diakui sebagai fenomena olahraga global, perayaan aktivitas
fisik kompetitif yang luar biasa yang menginspirasi banyak
orang untuk berpartisipasi dan menjadi yang terbaik Sejak
tahun 2015, pemerintah mengoptimalkan dan mendukung
pembinaan olahraga bagi atlet difabel. Saat itu, pemerintah
dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora) memberikan insentif yang cukup besar untuk
mendukung latihan agar para atlet Paralimpiade tetap tampil
maksimal selama mengikuti semua kompetisi di tingkat
nasional maupun internasional. Dengan adanya dukungan
tersebut, membuktikan bahwa pemerintah telah menerapkan
prinsip kesetaraan antara atlet difabel dan non difabel.

3. Hak Atlet
Perundang-undangan hak asasi manusia juga telah
mengilhami penghormatan yang lebih besar terhadap hak-
hak atlet, mengakui bahwa atlet berhak atas perlindungan
yang sama seperti semua warga negara, termasuk
sehubungan dengan non-diskriminasi, perwakilan pemilihan
tim, pemberian bonus dan hadiah, disiplin dan sanksi.
Misalnya, pengakuan hak atlet mendorong IOC untuk
membentuk Pengadilan Arbitrase Olahraga. Badan yang
pertama kali beroperasi di Olimpiade Atlanta pada 1996 itu
menerima enam dari tujuh pengaduan terkait disiplin atlet
Meskipun ini menggembirakan, beberapa masalah hak asasi
manusia terus menghantui kita. Aktivitas fisik tetap
merupakan pelanggaran mencolok terhadap ketentuan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sebagai contoh:
- Pasal 3 menekankan hak atas keamanan pribadi. Klub dan
organisasi olahraga seringkali kurang peduli untuk
melindungi kesehatan fisik atlet dalam jangka panjang.
- Pasal 4 menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat
dipaksa untuk melakukan perbudakan atau kerja paksa.
Namun, organisasi olahraga tidak memberikan
perlindungan yang memadai bagi atlet junior terkait
kontrak olahraga profesional. Dalam olahraga amatir,

250
dana yang terbatas sering digunakan sebagai tameng
untuk menyembunyikan kehormatan/bonus/hadiah
pemain yang cacat.
- Pasal 18 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai
kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan beragama.
Namun, organisasi olahraga seringkali bersikap keras
terhadap atlet yang membawa politik ke dalam stadion.
- Pasal 19-21 mengatur hak publik atas kebebasan
berekspresi, untuk secara bebas menerima dan
menyampaikan informasi melalui media, untuk
berserikat tanpa hambatan dan untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan atau jabatan publik. Namun,
tampaknya menjadi praktik bagi organisasi olahraga
untuk melarang keras kebebasan berekspresi dengan
memberikan sanksi kepada mereka yang mengkritik
pejabat dan prosedur.
- Pasal 25 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf
hidup dasar, termasuk kesehatan dan keamanan pada
saat menganggur, sakit atau usia tua. Organisasi olahraga
jarang mengambil tindakan organisasi yang efektif untuk
atletnya dalam hal ini.
- Pasal 26 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pendidikan yang ditujukan untuk pengembangan
kepribadian manusia. Memang, secara historis,
profesionalisasi disiplin olahraga atlet muda yang
ditujukan untuk tingkat elit telah menyebabkan
kurangnya kapasitas pendidikan yang seharusnya
mendukung perkembangan pribadi dan sosial mereka.

4. Hak Anak
Karena olahraga dan aktivitas fisik identik dengan
kaum muda dan telah terjadi pergeseran yang mencolok di
kalangan kaum muda menuju olahraga performa tinggi
(seperti penemuan bakat dan profesionalisasi dini) selama 30
tahun terakhir, beberapa pernyataan tentang hak-hak anak
telah muncul di olahraga. Awalnya, ilmuwan olahraga
menyarankan untuk fokus pada hak-hak anak tertentu.

251
Sebagai contoh, Martens dan Seefeldt (1979) menerbitkan
sebuah bill of rights untuk atlet muda yang mencantumkan 10
syarat, dari "hak untuk berpartisipasi hingga hak untuk
bersenang-senang". Galasso (1988) mendefinisikan 6 hak
dasar atlet anak, yang paling mendasar adalah hak untuk
menentukan nasib sendiri. Selain itu, Child Protection
International menyoroti eksploitasi anak-anak dalam olahraga
elit dan jual beli para juara. Organisasi membela 5 hak dasar,
yaitu (1) hak untuk menentukan perawatan tubuh sendiri, (2)
konseling, (3) hak integritas fisik dan mental, (4) hak untuk
berteman dengan siapa pun yang Anda inginkan, dan (5)
Pendidikan.
Berbagai rekomendasi di atas mengangkat isu-isu
penting terkait hak anak dalam olahraga. Namun, nasihat
ahli tetap etis dan tidak legal. Yang lebih mengikat secara
hukum adalah Konvensi Internasional tentang Hak Anak, 18
dari 41 pasalnya mengatur partisipasi olahraga dan
mengidentifikasi hak-hak yang sering dilanggar dalam
olahraga anak-anak. Misalnya, pasal 12 secara khusus
memastikan bahwa anak-anak memiliki hak untuk
didengarkan, yang merupakan masalah penting karena kita
tahu bahwa mereka jarang dimintai pendapat dalam
olahraga.

5. Hak Tenaga Kerja


Berkenaan dengan tumbuhnya industri olahraga
berikut dengan persaingan bisnis telah mendorong produk-
produk semacam Nike, Reebok, Adidas, Umbro untuk
melakukan produksi di negara-negara miskin untuk
menekan biaya produksi. Namun, seringkali upaya
outsourcing/out-producing ini justru melanggar hak asasi
manusia. Misalnya, anak-anak usia 7 tahun di India sudah
mulai dipekerjakan untuk memproduksi peralatan olahraga
seperti bola sepak, kriket, hoki, peralatan pancing dan tinju.
Selain eksploitasi anak, persoalan hak buruh juga
menjangkiti upah rendah produksi peralatan olahraga
(misalnya sepatu Nike). Kampaye international melawan

252
“sweatshop” di negara-negara berkembang merebak sebagai
tanda bahwa hak buruh telah dilanggar oleh industri
olahraga.

Olahraga adalah hak asasi manusia yang menjawab


kebutuhan khusus orang yang hidup dalam masyarakat yang
kompleks saat ini; itu berkontribusi pada pengembangan
manusia sebagai individu dan warga negara. Dari sudut
pandang ini, kita dapat mengatakan bahwa olahraga adalah hak
asasi manusia generasi keempat. Kebebasan milik generasi
pertama hak asasi manusia (yang mencakup hak sipil dan
politik), Hak generasi kedua disusun berdasarkan konsep
kesetaraan (hak ekonomi, budaya dan sosial), Pada hak asasi
manusia generasi ketiga, ada solidaritas (yaitu hak kolektif), Hak
generasi ketiga terutama merupakan seperangkat hak
lingkungan (yaitu pembangunan berkelanjutan), biasanya masih
dalam bentuk hukum yang longgar seperti deklarasi Rio dan
Stockholm. Akhirnya, ada hak asasi manusia generasi keempat
yang positif yang belum didefinisikan secara filosofis. Tujuan
utama dari empat generasi hak asasi manusia ini adalah untuk
melaksanakan hak-hak lain dari tiga generasi di atas. Hak asasi
manusia generasi keempat menanggapi kebutuhan dan tuntutan
baru yang ditentukan oleh perubahan sosial saat ini (termasuk
teknologi) yang terjadi di dunia kontemporer. Hak-hak ini harus
mencakup hak untuk rekreasi, rekreasi dan perjalanan.
Olahraga adalah serangkaian gerakan teratur dan
terencana untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan
kualitas hidup. Pemahaman ini memiliki implikasi filosofis, dan
bila dipelajari bersama akan memberikan wawasan tentang apa
yang diperlukan untuk membangun dan memajukan olahraga
itu sendiri. Nilai-nilai positif dalam olahraga merupakan
mikrokosmos yang menentukan prinsip dasar kehidupan dan
mencerminkan nilai-nilai sosial (Eldon, 1983) Nilai-nilai yang
diungkapkan olahraga pada gilirannya dapat menggambarkan
fungsi olahraga dalam masyarakat. Dengan demikian, undang-
undang generasi keempat ini mengintegrasikan olahraga
sebagai aktivitas manusia. Olahraga adalah hak; ini harus

253
menjadi titik tolak pendidikan jasmani, yang harus menjauh dari
praanggapan filosofis yang menegaskan olahraga sebagai
aktivitas manusia termasuk semua hak asasi manusia Itu karena
gerakan, pertama-tama tubuh, gerakan dan permainan. Secara
alami, yang dimaksud adalah dimensi fisik yang terkait dengan
kesehatan dan kesejahteraan, serta dimensi biologis dan
psikososial setiap individu.

F. Apakah Olahraga Benar-Benar Mempromosikan Inklusi


Sosial
Di tengah ancaman pengikisan nilai-nilai kebangsaan
akhir-akhir ini, perlu dicermati kembali berbagai momen dan
cara hidup yang ada. Sebagai salah satu bidang pembangunan
nasional, bidang keolahragaan memiliki peran strategis dalam
mewujudkan nilai-nilai positif yang dikandungnya,
menerjemahkannya ke dalam kehidupan berbangsa untuk
memperkokoh persatuan NKRI sebagai integritas nasional.
Nilai-nilai olahraga memang memiliki aspek positif yang sangat
bermanfaat yang dapat digunakan untuk memperkokoh
keutuhan bangsa. Dalam banyak hal, nilai-nilai yang tertanam
dalam olahraga pada hakekatnya selaras dengan upaya
pembangunan nasional.
Ada banyak aspek positif yang bisa diadopsi dan
ditransformasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, terlepas dari perbedaan tinggi dan rendah dalam
bidang olahraga dan kebangsaan, tidak dapat disangkal bahwa
kedua bidang tersebut memiliki status yang saling melengkapi.
Dalam kehidupan modern yang selalu berubah yang ditandai
dengan pergeseran nilai-nilai baru dan cara hidup yang semakin
mengglobal yang cenderung pada identitas lokal yang
terpinggirkan, tidak ada salahnya mempertimbangkan aspek-
aspek terbaik dari nilai-nilai kehidupan sosial, bersama-sama
sebagai pedoman hidup. Olahraga adalah kegiatan manusia
yang berhubungan dengan kesehatan dan kebugaran yang jika
dikembangkan dengan benar, yang tentunya dapat membantu
orang meningkatkan kehidupan dan keberadaannya sebagai

254
manusia dan memungkinkan mereka untuk hidup lebih baik,
menanamkan sehingga memberi orang nilai-nilai sosial biologis
dan psikososial (yaitu kebiasaan) dan kehidupan masyarakat.
Inilah mengapa olahraga dikaitkan dengan konsep-konsep
seperti pendidikan, pembangunan dan inklusi sosial, tiga
konsep yang membentuk hak-hak yang telah dipaparkan
sebelumnya. Pendidikan adalah alat untuk membantu olahraga
meningkatkan nilai intrinsiknya sebagai barang publik global
untuk kepentingan umat manusia. Tetapi gerakan itu sendiri
bukanlah apa-apa, karena ia sendiri bukanlah “baik”, melainkan
“baik”. "untuk melihat". Jelasnya, selalu konteks sosial olahraga
(masyarakat dan institusi pendidikan) yang memutuskan untuk
memastikan bahwa nilai-nilai campuran dari praktik ini tidak
merosot menjadi nilai negatif, tetapi berubah menjadi nilai
murni.
Latar belakang menentukan kesadaran akan hakikat
olahraga dalam segala bentuknya (yang harus selalu pedagogis
dan mendidik, karena bertujuan untuk pengembangan individu
dan pemenuhan spiritualnya). Dapat dikatakan bahwa olahraga
bukanlah nilai murni (yaitu tidak menghasilkan nilai komunitas
atau nilai sosial), melainkan nilai campuran. Itu selalu
pandangan pedagogis pada praktik ini yang menjadikannya
nilai dan memungkinkannya menghasilkan nilai fundamental
lainnya bagi orang-orang. Mengatakan bahwa olahraga adalah
sejenis nilai dan untuk mempromosikan nilai hanyalah omong
kosong dan tidak berarti dari sudut pandang filosofi dan
masyarakat. Dari sudut pandang filosofi olahraga, konsep
olahraga sangat mirip dengan konsep Yunani "pharmakon",
dengan banyak definisi diantaranya mulai dari racun hingga
obat, penawar, dan penyembuhan" Jelasnya, olahraga adalah
obat karena bisa baik atau buruk. Dalam olahraga selalu hidup
berdampingan (seperti yang dikatakan filsuf Prancis Derrida),
"baik" atau "buruk" seperti halnya mungkin konteks di mana itu
ditafsirkan (dan dipromosikan) (Isidori, 2014) Artinya, makna
olahraga tertentu tidak pernah dapat dikaitkan secara apriori,
melainkan dalam konteks di sini dan kini.

255
Oleh karena itu, olahraga bukanlah konsep positif atau
negatif (sehat atau tidak sehat) tetapi bisa positif atau negatif,
tergantung pada konteks di mana itu ditafsirkan dan
penerapannya. Olahraga selalu menjadi konsep yang
kontradiktif dan ambigu, selalu berarti risiko (baik fisik maupun
moral) bagi kehidupan seseorang dan tubuhnya. Inilah sebabnya
mengapa filosofi pendidikan jasmani menekankan tidak hanya
pentingnya mendidik orang secara bertanggung jawab dalam
olahraga dan menyadari semua risiko dan keuntungan yang
selalu ditimbulkan oleh praktik ini, tetapi juga tentang
kebutuhan untuk membantu orang membuat keputusan setelah
evaluasi yang cermat, apakah berolahraga adalah baik atau
buruk (kita bisa mengatakan "beracun" atau "penyembuhan)
bagi mereka dan keberadaan serta pengalaman manusia mereka.
Pendidik, guru pendidikan jasmani, pelatih, dan mereka yang
bekerja di organisasi olahraga adalah mereka yang
mempromosikan olahraga sebagai seperangkat nilai
kemanusiaan. Promosi ini selalu melibatkan tanggung jawab
dan keterlibatan. Memahami olahraga sebagai pengobatan
berarti melampaui retorika sederhana yang sering mencirikan
olahraga sebagai praktik yang sehat dan inklusif yang
mendorong perkembangan manusia.
Karena olahraga tidak hanya baik untuk menyehatkan
tubuh, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang
sangat bermanfaat dalam kehidupan. Karena ini bukan hanya
partisipasi individu, melainkan partisipasi masyarakat yang
lebih luas. Kawasan ini sudah terhubung dengan hajat hidup
orang banyak sehingga memiliki dimensi sosial dan fungsional
yang sangat luas. Dari segi fungsi, olahraga berperan atau
berfungsi memelihara tubuh, sedangkan dalam dimensi sosial,
olahraga berperan menetapkan nilai-nilai dan standar hidup
untuk dipraktikkan dalam kehidupan. Dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat ini, nilai-nilai
luhur tersebut memang dibutuhkan sebagai landasan dan
inspirasi bersama.

256
Bagaimana Olahraga Bisa Menjadi Praktik Inklusif.
Kita perlu memikirkan tentang hubungan antara olahraga
dan pembangunan dari sudut pandang filosofis dan kritis, dan
memikirkan tentang apa arti pembangunan bagi olahraga di
dunia dan masyarakat kapitalis. Analisis filosofis seperti ini
dapat membantu kita mengidentifikasi dan menguraikan
beberapa wacana dan pernyataan ambigu tentang olahraga,
yang dianggap sebagai indikator hak asasi manusia dan
pembangunan sosial, yang diperjuangkan oleh lembaga-
lembaga tersebut yang melihat olahraga sebagai dasar dalam
mencapai kualitas manusia yang sehat dan inklusif serta
mempromosikan gerakan dan Perdamaian (Kreft, 2014) Wacana
mereka tentang olahraga sebagai hak asasi manusia pada
kenyataannya seringkali merupakan pernyataan sederhana dan
ambigu yang menyembunyikan keberadaan wacana yang
menyiratkan diskriminasi dan pengucilan daripada inklusi
sosial. Dari segi filosofis dan etis, jenis olahraga yang dianjurkan
oleh organisasi olahraga tidaklah inklusif dan juga tidak sehat
(baik dalam dimensi fisik maupun psikologis) Olahraga yang
dipromosikan oleh badan olahraga internasional dan sistem
pendidikan perlu menjalani perombakan hermeneutik dan kritis
untuk menghancurkan ideologi, prasangka, stereotip, dan
bentuk-bentuk diskriminasi yang tersirat (Bale & Christensen,
2004). Dengan menggunakan filsafat sebagai alat hermeneutis,
kita perlu memikirkan kembali struktur dasar olahraga seperti
yang dipahami masyarakat kontemporer. Di sini dapat
diidentifikasi beberapa poin yang perlu dianalisis secara kritis
untuk mengubah olahraga kontemporer menjadi praktik yang
inklusif dan sehat berdasarkan prinsip dasar moralitas manusia
atau pribadi (Isidori, Maulini dan López Frias, 2013).
1. Olahraga kompetitif dilarang oleh negara. Kita telah melihat
bahwa konsep seperti tanah air dan bangsa yang lahir dengan
lahirnya masyarakat modern kita tidak lagi memiliki arti bagi
masyarakat post-modern dan post-Pencerahan kita.
Kemanusiaan telah berjuang dan masih berjuang atas nama
Tuhan, Tanah Air dan Bangsa, perang persaudaraan terburuk

257
dan paling merusak yang menghancurkan peradaban dan
melanggengkan kejahatan dan kekerasan yang tidak lurus.
Ini adalah konsep yang menimbulkan kekerasan terburuk di
antara penggemar yang melihat diri mereka sebagai saingan
dan musuh. Konsep bernegara selalu hadir dalam olahraga
kontemporer, membawa kita kembali ke pertempuran besar
nasionalis dalam perang yang telah mendatangkan begitu
banyak malapetaka dalam sejarah Eropa dan dunia.
2. Gagasan bahwa olahraga harus dipahami sebagai praktik
yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, suku atau ras (atau
agama) harus ditolak. Saat ini, olahraga dapat menghasilkan
wacana yang merusak tentang ras dan rasisme (melalui
diskusi tentang genetika kecenderungan seorang atlet untuk
berhasil atau gagal dalam olahraga berdasarkan ras tertentu)
Olahraga adalah aktivitas fisik dan budaya yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor budaya, pendidikan, sosial, psikologis,
dan sejarah perbedaan antar suku tidak dapat dianggap
berdampak pada olahraga dan olahraga dapat menjadi
bentuk diskriminasi dalam bentuk apapun yang harus
dipertahankan.
3. Institusi dan organisasi olahraga internasional harus
mengakui keragaman budaya, olahraga dan nilai budaya
intrinsiknya (semua olahraga adalah ekspresi kreativitas
manusia dengan martabat yang sama) dan menggunakan
sifat multikultural olahraga sebagai alat dan sumber daya
dalam pengembangan kebijakan dan program untuk
mencapai ini.
4. Kita tidak boleh memiliki konsepsi olahraga yang anti positif,
tetapi konsepsi konfrontasi. Musuh bukanlah saingan, bukan
seseorang yang memusuhi dan melawan saya, tetapi saingan,
teman, orang lain yang berkomunikasi dan bekerja dengan
saya untuk tujuan yang sama, yaitu memainkan permainan-
permainan yang sama dan mengikuti aturan yang sama.
5. Penting untuk disadari bahwa kekerasan dalam permainan
dan olahraga selalu merupakan ekspresi kekuatan (menang
dan kalah) Konsep kemenangan tidak boleh dipahami

258
sebagai ekspresi kekuatan pihak lawan dan kehancuran
manusia.
6. Orang harus menganggap kesenangan bermain sebagai inti
dari olahraga. Singkatnya, kita harus mempertimbangkan
konsep olahraga yang sempit tanpa pemenang atau yang
dikalahkah. Pemikiran ini tidak menghalangi orang untuk
memahami konsep olahraga sebagai permainan atau
kegiatan rekreasi yang dicirikan oleh aturan yang mungkin
mencakup konsep tradisional kemenangan dan kekalahan,
tetapi cenderung menggeneralisasikannya sebagai
permainan bebas dan kreatif, serta kepuasan dan kesenangan
batin.
7. Orang perlu melihat olahraga tidak hanya sebagai
pengalaman fisik, tetapi lebih dari sekedar pengalaman fisik.
Misalnya, kita bisa merujuk olahraga sebagai dimensi
pengalaman religius dan intim yang dimiliki setiap orang,
sebagai manifestasi dan anugerah Tuhan, dan sebagai
keterbukaan terhadap kemungkinan memahami makna lain
dalam hidup.

Kita yakini bersama dan percaya bahwa olahraga tidak


akan pernah menjadi praktik yang sehat dan inklusif jika tidak
dipahami berdasarkan prinsip dan pedoman di atas. Tantangan
pendekatan pedagogis ini meliputi langkah-langkah berikut,
yang harus dipraktikkan oleh pendidik dalam strategi berpikir
praktis dan konkret dan dikembangkan bersama siswa atau
atletnya (Isidori & Ramos, 2014).
1. Mengakui bahwa olahraga selalu didasarkan pada saling
menerima kita sebagai orang lain yang selalu berada di
rumah yang sama dengan keramahan yang sama dan
mematuhi aturan yang sama.
2. Mendemonstrasikan pentingnya memahami olahraga
sebagai sebuah kolaborasi, yaitu sebagai praktik kooperatif di
mana orang lain merupakan tantangan yang memungkinkan
kita bersaing dengan diri kita sendiri. Dalam kerangka ini,
pendidik harus menunjukkan bahwa tujuan memahami
olahraga sebagai permainan bukanlah untuk mengalahkan

259
orang lain, tetapi untuk menguji kemungkinan dan
keterbatasan kita.
3. Memahami pentingnya aturan/norma dalam olahraga dan
kehidupan sosial, bukan suatu yang dipaksakan untuk
dipatuhi, tetapi sebagai kombinasi permainan, kita tidak
hanya mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang
keterbatasan kita dalam mengalaminya diri kita sendiri dan
dunia, tetapi juga kerangka kerja untuk berinteraksi dan
terhubung satu sama lain, bukanlah tujuan akhir, tetapi
kemungkinan untuk mengatasi keterbatasan ini.

Singkatnya, aktivitas fisik adalah hak asasi manusia.


Setiap orang harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
dan berolahraga sesuai dengan kebutuhannya Meskipun
aktivitas fisik adalah hak asasi manusia, aktivitas fisik tidak
dapat dilakukan secara terpisah dari hak asasi manusia lainnya,
tentunya tidak rasional untuk berpikir begitu. Pembangunan
sosial adalah istilah luas yang menggambarkan tindakan yang
diambil untuk menetapkan hasil positif dan mencegah hasil
sosial negatif yang dapat merugikan masyarakat Pencegahan
yang baik dimulai dari orang tua: itulah sebabnya keluarga
harus menjadi yang pertama dididik sebagai institusi fisik.
Rumah, dan khususnya sekolah, harus menjadi titik awal
pendidikan jasmani masyarakat kita dan nilai-nilainya.
Olahraga itu sendiri tidak mendidik; olahraga bisa mengajarkan
nilai, tapi bukan nilai Institusi sosial (seperti orang tua, pendidik,
guru, organisasi olahraga, federasi, klub, media, dll.)
Bertanggung jawab atas perubahan ini, yang bisa menjadi
revolusi.
Olahraga telah menjadi bagian penting dalam kehidupan
manusia saat ini, sebagai bagian integral dari budaya manusia,
olahraga telah berkembang di semua bidang kehidupan.
Olahraga sendiri adalah suatu kegiatan fisik, digambarkan
sebagai suatu kegiatan yang terbuka bagi semua orang sesuai
dengan kemampuan, kesenangan dan kesempatannya, tanpa
membeda-bedakan kekuasaan, status, masyarakat, budaya atau
kelas sosial. Nilai-nilai olahraga memang memiliki aspek positif

260
yang sangat bermanfaat yang dapat digunakan untuk
memperkokoh keutuhan bangsa. Dalam banyak hal, nilai-nilai
yang tertanam dalam dunia olahraga secara inheren selaras
dengan upaya pembangunan nasional. Ada banyak aspek positif
yang bisa diadopsi dan ditransformasikan ke dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Olahraga harus menjadi pilar
kerukunan, keseimbangan hidup yang sehat dan harmonis.
Sebagai penunjang pencapaian tujuan akhir olahraga, olahraga
mempengaruhi pencapaian mutu pendidikan jasmani nasional
bagi anak, yang dicapai melalui pengembangan olahraga
pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Melalui
gerakan, siapa pun dapat meningkatkan peluang ideal dalam
lingkungan persaudaraan dan persahabatan, memancarkan
energi positif, menciptakan suasana hubungan yang sehat,
keintiman dan kegembiraan, serta mencapai keharmonisan dan
keseimbangan dalam mewujudkan makna hidup manusia yang
sebenarnya meliputi kemakmuran tubuh (jasmani) dan jiwa
(rohani).
Pada akhirnya muncul sebuah pertanyaan bisakah
olahraga mendidik generasi muda dan membantu menciptakan
dunia yang lebih baik dan lebih damai. Sangat sulit untuk
dijawab. Namun jika kita sebagai pelatih, guru, atlit dan lembaga
keolahragaan percaya bahwa tubuh mengeluarkan endorphin
saat olahraga yang membuat bahagia. Hasilnya, anak-anak
menjadi antusias terhadap pelajaran lain di sekolah dan dalam
kehidupan sehari-hari. Olahraga juga dapat menunjang
kreativitas dan produktivitas dalam aktivitas sehari-hari. Setelah
mempercayainya, mereka secara alami mengembangkan
program tersebut dan menggunakannya sebagai panduan untuk
berbagai aktivitas yang meningkatkan kesadaran umum akan
pentingnya olahraga. Tujuan dari program ini adalah untuk
mendorong terwujudnya suatu keadaan dimana kegiatan
olahraga dapat dilakukan di semua lapisan masyarakat, tanpa
mengenal batas usia, perbedaan jenis kelamin dan perbedaan
kondisi sosial dan ekonomi. Gerakan program komunitas ini
diharapkan dapat terus menyebarkan manfaat kesehatan dan

261
sosial yang dapat diperoleh seluruh lapisan masyarakat dari
olahraga teratur. Selain manfaat olahraga bagi kesehatan,
olahraga masyarakat juga dapat membantu mewujudkan dan
menanamkan nilai-nilai secara nyata, terutama dalam
meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan
melalui kegiatan olahraga yang dilakukan oleh semua lapisan
masyarakat tanpa adanya perebedaan. Kebijakan dan praktik
harus diubah untuk meningkatkan minat pada olahraga sebagai
masalah etika dan pendidikan. Olahraga (baik kompetitif atau
tidak) harus dipahami terutama sebagai sarana untuk
mempromosikan pendidikan, martabat manusia, dan hak asasi
manusia. Menurut teori etika Kantianism yang dirumus oleh
Immanuel Kant dalam Acton (1970), dimana hak dan nilai orang
lain sebagai manusia dan nilai kita sendiri harus selalu menjadi
tujuan tindakan kita dalam olahraga. Akhirnya, tanpa
menghormati prinsip-prinsip ini, tidak akan ada pendidikan
moral, martabat, atau jasmani.

262
DAFTAR PUSTAKA

Acton, H. B. (1970). Kant’s moral philosophy. Macmillan International


Higher Education.

Agus Kristiyanto, 2012. Pembangunan Olahraga: untuk Kesejahteraan


Rakyat dan Kejayaan Bangsa. Surakarta: Penerbit Yuma
Pustaka.

Agus Kristiyanto, Muchsin Doewes, dan Kiyatno, 2017.


”Pengembangan Nilai-nilai Gaya Hidup Aktif dalam Pengayaan
Substansi Matakuliah Pascasarjana Ilmu Keolahragaan)”.
Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana TA 2017.

Agus Kristiyanto, Sapta Kunta Purnama, dan Diffah Hanim, 2018. ”


Formulasi Substansi dan Metodologi Pengembangan Karakter
Unggul, Bugar, dan Berprestasi Berbasis Learning Outcome
Pedagogi Olahraga”. Laporan Penelitian Hibah Penelitian
Unggulan Terapan (PUT) PNBP UNS TA 2018.

Agus Mahendra (2005). Membenahi Sistem Pembinaan Olahraga


Kita. Makalah.FPOK UPI Bandung.

Aisbett, L., & Hoye, R. (2015). Human Resource Management


Practices To Support Sport Event Volunteers. Asia Pacific
Journal of Human Resources, 53(3), 351-369.

Alberts, C. (2003). Coaching issues and dilemmas: Character building


through sport participation. Reston, VA: NASPE Publications.

Alberts, C. L. (2003). Excerpt from: Coaching Issues & Dilemmas:


Character Building Through Sport
Participation. Strategies, 17(2), 6-7.

Ali, H., & Purwandi, L. (2017). Milenial nusantara. Gramedia Pustaka


Utama.

ALLSABAH, M., & Sugito, S. (2019). Peluang Olahraga dalam


Menyongsong Era 5.0. Peluang Olahraga dalam Menyongsong
Era 5.0, 3(1), 396-403.

263
Alrashid, S. A. A. (2020). Conflict Management in Ethnic Tension
Zones: Sport Contribution in Co-existence and Inclusion
Citizenship Diversity: A Case Study in Aleksandria,
Iraq. American Journal of Sports Science, 8(4), 99-104.

Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi. Malang:


Universitas Muhammdiyah Malang.

American Heritage Dictionary. (1982). Boston, MA: Houghton


Mifflin Company.

Anwar, M. H., & Saryono, M. (2007). Kontroversi Citra Perempuan


Dalam Olahraga. Kontroversi Citra Perempuan Dalam Olahraga,
67(6), 14-21.

Arifin, S. (2017). Peran Guru Pendidikan Jasmani Dalam


Pembentukan Pendidikan Karakter Peserta
Didik. Multilateral: Jurnal Pendidikan Jasmani Dan
Olahraga, 16(1).

Arnold, P. (2001). Sport, Moral Development, And The Role Of The


Teacher: Implications For research and moral education.
Quest, 53, 135-150.

Arnold, P. J. (1997). Sport, Ethics And Education. London: Cassell.

Arnold, P. J. (1999). The virtues, moral education, and the practice


of sport. Quest, 51(1), 39-54.

Asih Menanti, dkk. (2012). Pendidikan Karakter. Medan. Unimed.

Astuti, S., & Parulian, T. (2018). Gender Dan Feminisme Dalam


Olahraga. Bimbingan Ferry Hidayat, S. T., & Fil, S. Filsafat-
Filsafat yang Merespon Diskriminasi Gender.

Astuti, Y., & Mardius, A. (2017). Pengembangan Permainan


Kolaboratif dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga di
Sekolah Dasar untuk Optimalisasi Pembentukan Karakter.
Jurnal Pendidikan Jasmani dan Olahraga, 2(2), 79-8

Ateng, Abdulkadir (1993). “Keefektifan Model Pemassalan dan


Kontribusinya terhadap Usaha Pencapaian Prestasi Olahraga

264
Empat Besar Asia Tahun 2002”, dalam MajalahSpirit No. 57,
Oktober 1993. Jakarta: KONI Pusat.

Bailey, R. (2010). Young people's voices in physical education and youth


sport (pp. 1-7). M. O'Sullivan, & A. MacPhail (Eds.). London:
Routledge.

Bailey, R., Armour, K., Kirk, D., Jess, M., Pickup, I., Sandford, R., &
Education, B. P. (2009). The educational benefits claimed for
physical education and school sport: an academic
review. Research papers in education, 24(1), 1-27.

Bale, J., & Christensen, M. (2004) (Eds). Post-Olympism. Questioning


Sport in the Twenty-First Century. Oxford-New York: Berg.

Bale, J., Christensen, M. K., & Pfister, G. (2004). Writing Lives in


Sports: Biographies, Life-Histories and Methods.

Balyi, I., Way, R., & Higgs, C. (2013). Long-Term Athlete Development.
Human Kinetics.

Balyi, I., Way, R., & Higgs, C. (2013). Long-term athlete development.
Human Kinetics.

Bangsbo, J. (2003). Physiology of training. Science and soccer, 2, 47-58.

Bangun, S. Y. (2016). Peran Pendidikan Jasmani Dan Olahraga Pada


Lembaga Pendidikandi Indonesia. Jurnal Publikasi
Pendidikan| Volume Vi No, 157.

Bangun, S. Y. (2016). Peran Pendidikan Jasmani Dan Olahraga Pada


Lembaga Pendidikandi Indonesia. Publikasi Pendidikan, 6(3).

Barus, D. (2019). Model-Model Pembelajaran yang Disarankan untuk


Tingkat SMK dalam Menghadapi Abad 21. In: Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Pendidikan Peran Teknologi Pendidikan
dalam Mengembangkan dan Meningkatkan Keprofesionalan
Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0, 30 November 2019,
Digital Library Universitas Negeri Medan.

Basler, M. (2015). Type VI secretion system: secretion by a contractile


nanomachine. Philosophical Transactions of the Royal Society B:
Biological Sciences, 370(1679), 20150021.

265
Belka, D. E. (1994). Teaching children games: becoming a master teacher.
Human Kinetics Publishers.

Bodei, R. (2013). Immaginare altre vite. Realta, progetti, desideri.


Milano:

Bompa, T. O. (1999). Periodization Training: Theory And Methodology-


4th: Theory And Methodology-4th. Human Kinetics Publishers.

Bompa, T. O., & Buzzichelli, C. (2018). Periodization-: theory and


methodology of training. Human kinetics.

Bouchard, Claude; McPherson, Barry D.; and Taylor, Albert W.


(Eds).1992. Physical Activity Sciences. Champaign: Human
Kinetics Books.

Bredemeier, B. (1995). Divergence in children’s moral reasoning


about issues in Daily life & sport specific contexts.
International Journal of Sport Psychology, 26, 453-463.

Bredemeier, B. (1995). Moral reasoning and the perceived legitimacy


of Intentionally injurious sport acts. Journal of Sport
Psychology, 7, 110-124.

Bredemeier, B., & Shields, D. (1995). Character development and


physical activity. Champaign, IL: Human Kinetics.

Brustad, R.J., Babkes, M., & Smith, A. (2001). Youth in sport:


Psychological considerations. In R.N. Singer, H.A.
Hausenblas, & C.M. Janelle (Eds.), Handbook of spork
psychology (2nd ed., pp. 604-635). New York, NY: Wiley.

Bucher, C. A. (1972). Foundations of Physical Education... With 287


Illustrations.. CV Mosby Company.

Budimansyah. (2010). Strengthening civic education to build national


character. Widya Aksara Press.

Buschner, C. A., & Buschner, C. A. (1994). Teaching children movement


concepts and skills: Becoming a master teacher (pp. 32-38).
Champaign, IL: Human Kinetics.

266
California. Physical Education Curriculum Framework, Criteria
Committee, California. Department of Education, &
California. State Board of Education. (1994). Physical education
framework for California public schools, kindergarten through
grade twelve. Hippocrene Books.

Carmichael, David. 2001. Sport for All: An Overview. On tario: The


Sports Alliance of Ontario.

Chandler, T., Cronin, M., & Vramplew, W. (2002). School Sport and
Physical Education. In Sport and Policy: Issues and Analysis.
Routledge.

Chen, A., & Liu, X. (2009). Task values, cost, and choice decisions in
college physical education. Journal of Teaching in Physical
Education, 28(2), 192– 213.

Cholik, T., & Lutan, R. (2001). Pendidikan jasmani dan


Kesehatan. Bandung: CV Maulana.

Coakley, J. (2011). Youth sports: What counts as “positive


development?”. Journal of sport and social issues, 35(3), 306-324.

Coakley, J. J. (1978). Play group versus organized competitive team:


A comparison. Sport in contemporary society. An anthology, 53-
61.

Coakley, J. J., & Pike, E. (2009). Sports in society: Issues and


controversies.

Coakley, Jay and Dunning, Eric. (Eds). 2006. Handbook of Sport


Studies. London: Sage Publications.

Coakley, Jay J. 1978. Sport in Society. Issues and Controversies.


Missouri: The C. V. Mosby Company.

Coalter, F. (2005). The social benefits of sport (Vol. 17). Edinburgh:


SportScotland.

Corbin, C. B. (2002). Physical activity for everyone: What every


physical educator should know about promoting lifelong
physical activity. Journal of teaching in physical education, 21(2),
128-144.

267
Cynarski, Wojciech J. & Kazimierz Obodyński, “Factors and Barriers
of Development of Far Eastern Martial Arts and Combat
Sports in Poland”, Physical Culture and Sport Studies and
Research 1 Volume (XLV), 2007, pp 139-148.

Damsar, P. M. (2012). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarata: CV Prima


Garfika.

David Shield and Brenda Bredemeier (1995). Character Development


and Physical Activity. New York: Vantage Press, Inc.

De Coubertin, P. (2000). Olympism. Selected Writings, ed. N. Muller.


Lausanne: IOC.

De Leeuw, A., Valois, P., Ajzen, I., & Schmidt, P. (2015). Using the
theory of planned behavior to identify key beliefs underlying
pro-environmental behavior in high-school students:
Implications for educational interventions. Journal of
environmental psychology, 42, 128-138.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003.


Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003.


Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

Dermawan, D. F., Dlis, F., & Mahardhika, D. B. (2019). Analisis


Perkembangan Wanita dalam Olahraga. Jurnal Speed (Sport,
Physical Education, Empowerment), 2(1), 24-29.

Digel, H. (Ed.). (1983). Lehren im Sport: ein Handbuch für Sportlehrer,


Sportstudierende und Übungsleiter. Rowohlt.

Direktorat Keolahragaan. (1987). Petunjuk Penggerak Olahraga


Tingkat Desa: Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan
Masyarakat. Jakarta Depdikbud.

Ditjen Olahraga dan Pemuda. 1972. Fair Play (Semangat Olahragawan


Sejati). Jakarta: Lemlit dan Pengembangan Prasarana Ditjen
Olahraga dan Pemuda.

268
Divinubun, S. (2016). Keberpihakan Pendidkan Jasmani, Olahraga
Dalam Perspektif Gender. Publikasi Pendidikan, 6(3).

Dogra, S., Al-Sahab, B., Manson, J., & Tamim, H. (2015). Aging
expectations are associated with physical activity and health
among older adults of low socioeconomic status. Journal of
aging and Physical Activity, 23(2), 180-186.

Doty, J. (2006). Sports build character?!. Journal of college and


character, 7(3), 1-9.

Doty, J. (2006). Sports build character?. Journal of college and


character, 7(3), 1-9.

Doty, Joseph. 2006. Sports Build Character, dalam Journal of College


& Character. Volume VII, No. 3, April 2006.

Doty, Joseph. 2006. Sports Build Character, dalam Journal of College


& Character. Volume VII, No. 3, April 2006.

Douglas, Hartmann., Christina, Kwauk. (2011). Sport and


development: An overview, critique, and reconstruction.
Journal of Sport and Social Issues 35(3) 284 –305.

Dwiyogo, W. D. (2009). Olahraga dan pembangunan. Wineka Media.

Dwyer, D. A. N. B. D., & Gabret, T. J. (2012). Global Positioning


System Data Analysis: Velocity Ranges And A New
Definition Of Sprinting For Field Sport Athletes. Journal of
Strength and Conditioning Research, 26(3), 818– 824.

Edwards, M. B. (2015). The role of sport in community capacity


building: An examination of sport for development research
and practice. Sport management review, 18(1), 6-19.

Eldon, Snyder dan Etmer Spalitzer. 1983. Social Aspects of Sport. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.

Elly M.Septiandi, Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi,


Pemahaman Fakta Dan Gejalapermasalahan Sosial, Teori, Aplikasi,
Dan Pemecahannya . Jakarta: Prenadamedia.

269
Ennis, Chaterine D., and Weimo Zhu (1991), Value Orientation: A
Descroption of Teachers’ Goals for Student Learning, Research
Quarterly fo Exercise and Sport, 62 (1).

Enright, E., & Gard, M. (2016). Media, digital technology and


learning in sport: a critical response to Hodkinson, Biesta and
James. Physical Education and Sport Pedagogy, 21(1), 40-54.

Erfayliana, Y. (2015). Pendidikan Jasmani Dalam Membentuk Etika,


Moral, dan Karakter. TERAMPIL: Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Dasar, 2(2), 302-315.

Farhan. (2011). Olahraga Berperan Tingkatkan Kualitas SDM.

Farinelli, G. (2005). Pedagogia dello sport ed educazione della persona.


Perugia: Morlacchi.

Feltrinelli. Chionna, A. (2007). Pedagogia della dignita umana.


Educazione e percorsi del rispetto. Brescia: La Scuola.

Ferris, K. A., Ettekal, A. V., Agans, J. P., & Burkhard, B. M. (2015).


Character development through youth sport: High school
coaches’ perspectives about a character-based education
program. Journal of Youth Development, 10(3), 127-140.

Festiawan, R. (2015). Pedagogi Olahraga (Sport Pedagogy). In


Universitas Jenderal Soedirman (pp. 1–23).

Fitriantono, M. R., Kristiyanto, A., & Siswandari, S. (2018,


November). Potensi Alam Untuk Olahraga Rekreasi.
In Prosiding Seminar Nasional Iptek Olahraga (Senalog) (Vol. 1,
No. 1).

France, Robert C. 2009. Introduction to Physical Education and Sport


Science. New York: Cengage Learning.

France, Robert C. 2009. Introduction to Physical Education and Sport


Science. New York: Cengage Learning.

Fraser-Thomas, J. L., Côté, J., & Deakin, J. (2005). Youth sport


programs: An avenue to foster positive youth
development. Physical education & sport pedagogy, 10(1), 19-40.

270
Freire, E. dos S., Marques, B. G., & Miranda, M. L. de J. (2018).
Teaching values in physical education classes: the perception
of Brazilian teachers. Sport, Education and Society, 23(5), 449–
461.

Fukuyama, M. (2018). Society 5.0: Aiming for a New Human-


centered Society. Japan SPOTLIGHT.

Gafur, Abdul (1983). Olahraga Unsur Pembinaan Bangsa dan


Pembangunan Negara. Jakarta: Kantor Menpora.

Gallahue, D. L., & Donnelly, F. C. (2007). Developmental physical


education for all children. Human Kinetics.

Gallego, H. (1983). All our children learning. a primer for parents,


teachers and other educators. Revista de la Universidad de La
Salle, 3(8), 98-98.

Ginting, A. Karakter Dalam Pendidikan Jasmani Dan


Olahraga. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 20(77).

Giriwijoyo, S. dan Sidik, D.Z. (2013). Ilmu Faal Olahraga (Fisiologi


Olahraga): Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga untuk
Kesehatan dan Prestasi. Bandung: Remaja Rosdakar.

Giulianotti, R. (2004). Sport and modern social theorists. Springer.

Gough, R. (1997). Character development and physical


activity. Journal of the Philosophy of Sport, 24(1), 124-128.

Graham, G. (2008). Teaching children physical education: Becoming a


master teacher. Human Kinetics.

Graham, S. (2005). Sport and Society. History, Power, and.

Gunadi, D. (2018). Peran Olahraga Dan Pendidikan Jasmani Dalam


Pembentukan Karakter. Jurnal Ilmiah Spirit, 18(3).

Gunawan, A., Darmawan, D., & Maskur, M. (2017). Pemanfaatan


Multimedia Interaktif Model Tutorial Dalam Meningkatkan
Pemahaman Dan Minat Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran
Pendidikan Jasmani Dan Olahraga Kesehatan Bidang Bola
Basket Di Sman 27 Garut. Teknologi Pembelajaran, 2(2).

271
Gunawan, H. (2012). Pendidikan karakter. Bandung: alfabeta, 2(1).

Gunawan, R. (2017). The role of character education for early


children in early childhood education programs in Happy
Kids Bogor Indonesia.

Hadisi, L. (2015). Character education in early childhood. Journal of


Al-Ta'did, 8(2), 50–69.

Hancock, M., Lyras, A. L. E. X. I. S., & Ha, J. P. (2013). Sport for


development programs for girls and women: A global
assessment. Journal of Sport for Development, 1(1), 15-24.

Hanif, A. Q. F. (2020). Komunikasi Antar Pribadi Pelatih dan Atlet Di


Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Riau Cabang Olahraga
Pencak Silat (Doctoral dissertation, Universitas Islam Riau).

Hanim, M. I. J. (2022, June). Pembelajaran Pendidikan Jasmani


Berorientasi Peserta Didik Pada Era Society 5.0. In Prosiding
Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas Pgri
Palembang.

Hardman, K. (2003). Information Sources for Comparative Physical


Education and Sport (in English) on the International
Level. International Journal of Physical Education, 40(3), 88-92.

Harsuki. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini Kajian Para Pakar.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Harta, L. I. (2019, May). Implementasi Pendidikan Karakter di Era


4.0 Melalui Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Sekolah. In
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Kesehatan dan Sains
(Vol. 1, No. 1).

Harta, L. I. (2019, May). Implementasi Pendidikan Karakter di Era


4.0 Melalui Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Sekolah. In
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Kesehatan dan Sains
(Vol. 1, No. 1).

Hellison, D. (2003). Teaching responsibility through physical activity.


Champaign, IL: Human Kinetics.

272
Hendrayana, Y., Setiawan, E., Fardini, R. I., Mubaraq, R., Jamaludin,
Y., Budiman, A., ... & Nurlalela, W. The International Seminar
on Physical Education and Sport 2016" Optimizing Sport
Development in Asia: New Perspective Interdisciplinary of
Sport Science".

Herlambang, T. (2017, May). Olahraga Tradisional Sebagai Identitas


Budaya Indonesia. In Seminar Nasional KeIndonesiaan II Tahun
2017.

Hidayat, H., & Sukitman, T. (2020). Model Pembelajaran Pendidikan


Karakter di MI Tarbiyatus Shibyan Jadung Dungkek
Sumenep. Autentik: Jurnal Pengembangan Pendidikan Dasar,
4(1), 33-41.

Hidayat, O. (2020). Pendidikan Karakter Anak Sesuai Pembelajaran Abad


ke-21. Jakarta: Edura - UNJ.

Holt, N. L., Deal, C. J., & Pankow, K. (2020). Positive youth


development through sport. Handbook of sport psychology, 429-
446.

Holt-Hale, G. Children moving: A reflective approach to teaching


physical education. Mountain view, CA: Mayfield.

Hurlock. 1978. Child Development. New York: Mc Graw Hill Inc.

Husdarta, J. S., & Saputra, Y. M. (2011). Kinerja Guru Pendidikan


Jasmani Di Sekolah Dasar.

Hylton, K., & Bramham, P. (2009). Models of sports development.


In Management of sports development (pp. 55-72). Routledge.

Hylton, K., & Totten, M. (2006). Developing ‘Sport for


All?’Addressing inequality in sport. In Sports
Development (pp. 51-79). Routledge.

INDONESIA, P. R. (2007). Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Irianto, T. (2020). Olahraga Pendidikan.

273
Isidori, E. (2014). Derrida’s concept about doping and its implications for
sport education. In E. Isidori, F. J. Lopez Frias, & A. Muller
(Eds), Philosophy, sport and education. International perspectives
(103-117). Viterbo: Sette Citta. Isidori,

Isidori, E., & Benetton, M. (2015). Sport as education: Between


dignity and human rights. Procedia-Social and Behavioral
Sciences, 197, 686-693.

Isidori, E., & Ramos, R. (2014). Sport and Philosophy of Hospitality:


Three Questions on How to Rethink Contemporary Sport
Education in Light of Gift and Peace. Physical Culture and
Sport. Studies and Research, 59,(1), 5-10.

Isidori, E., & Reid, H. L. (2011). Filosofia dello sport. Milano: Bruno
Mondadori.

Isidori, E., DE SANTIS, M. G., & Ramos Echazarreta, R. (2014).


Sport, famiglia ed educazione: uno studio pilota sulle
influenze dei genitori nella scelta delle pratiche sportive degli
studenti universitari di scienze motorie. LA FAMIGLIA, 48,
261-279.

Isidori, E., Maulini, C., & Frías, F. J. L. (2013). Sport and Ethics of
Weak Thought: A New Manifesto for Sport
Education. Physical Culture and Sport. Studies and
Research, 60(1), 22-29.

Iyakrus, I. (2018). Pendidikan Jasmani, Olahraga Dan


Prestasi. Altius: Jurnal Ilmu Olahraga Dan Kesehatan, 7(2).

Jane, E. Ruseski., Brad, R. Humphreys., Kirstin, Hallman., Pamela,


Wicker., and Christoph, Breuer. (2014). Sport participation
and subjective well being:Instrumental variable results from
German survey data. Journal of Physical Activity and Health.
Human Kinetics, Inc. pp.396-403.

Jasmani, P., Dan, K., & Yogyakarta, U. N. (2008). Penderita jantung


menjadi bugar melalui olahraga.

Jennings, G. (2007). Water-based tourism, sport, leisure, and recreation


experiences. Routledge.

274
Jewet, A. E. (1994). Curriculum Theory and Research in Sport
Pedagogy, dalam Sport Science Review. Sport Pedagogy, 3(1),
11-18.

John Tomlinson. 1999 Globalization and Culture, Chicago: The


University of Chicago Press.

Jonasson, K. (2013). Sport has never been modern.

Jones, C. (2005). Character, virtue and physical education. European


Physical Education Review, 11(2), 139-151.

Joyce, D., & Lewindon, D. (Eds.). (2014). High-performance training for


sports. Human Kinetics.

Judantama, F. A. (2021). LITERATURE REVIEW:


PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERSKTIF DAN
PENDIDIKAN JASMANI. In Prosiding Seminar & Conference
Nasional Keolahragaan (Vol. 1, No. 1).

Julianto, W., Chaerul, A., & Sumarno, A. (2022). Pengaruh Media


Pembelajaran Pencak Silat Teknik Tendangan Sabit Berbasis
Internet di SMK Texar Klari Karawang. Jurnal Pendidikan dan
Konseling (JPDK), 4(6), 1378-1385.

Karageorghis, C. I., & Terry, P. C. (2011). Inside sport psychology.


Champaign, IL: Human Kinetics.

Kateb, G. (2011). Human dignity. Cambridge, MA: Harvard


University Press.

Kemdikbud (2017). Konsep dan pedoman penguatan pendidikan karakter


tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Jakarta:
Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan.

Kemenkumham (2017). Peraturan Presiden No. 95 tahun 2017


tentang peningkatan prestasi olahraga nasional. Jakarta:
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kementerian Negara Pemuda Dan Olahraga Republik Indonesia.


2005, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

275
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. 2007. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem
Keolahragaan Nasional. Jakarta: Biro Humas dan Hukum.

Khaironi, M. (2017). Early childhood character education.


Hamzanwadi University Golden Age Journal, 01(2), 82–89.

Kholik, A. Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan


Jasmani dan Olahraga. Filsafat Ilmu dalam Perspektif Pendidikan
Jasmani dan Olahraga, 53.

Kiram, H. Y. (2020). Revolusi Olahraga.

Kiram, P. H. Y. (2019). Menelusuri Dan Menguak Nilai-nilai Luhur


Olahraga: Pengantar Sosiologi Olahraga. Prenada Media.

Kiram, P. H. Y. (2019). Menelusuri Dan Menguak Nilai-nilai Luhur


Olahraga: Pengantar Sosiologi Olahraga. Prenada Media.

Kiram, Yanuar. 2018. Menelusuri, Mengungkap Makna Nilai-Nilai


Luhur Dalam Olahraga. Sosiologi Suatu Pengantar.

Kleiber, D. A., & Roberts, G. G. (1981). The effects of sport


experience in the development of social character: An
exploratory investigation. Journal of Sport and Exercise
Psychology, 3(2), 114-122.

Knight, G. R. (2008). Issues and alternatives in educational philosophy.


Andrews University Press.

Kobelev, B. (2017). On The Way From Industry 4.0 to Industry 5.0:


From Digital Manufacturing to Digital Society. International
Scientitic Journal.

Koh, K. T., Ong, S. W., & Camiré, M. (2016). Implementation of a


values training program in physical education and sport:
perspectives from teachers, coaches, students, and
athletes. Physical Education and Sport Pedagogy, 21(3), 295-312.

Komarudin, K. (2015). Peran Guru Pendidikan Jasmani Dalam


Sistem Pembangunan Dan Pembinan Olahraga Di
Indonesia. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 11(1).

276
Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan. 2000. Ilmu Keolahragaan dan
Rencana Pengembangannya. Jakarta: Dewan Pendidikan
Tinggi, Ditjen. Dikti. Depdiknas.

Kosiewicz, J., & Obodynski, K. (2003). Sport in the mirror of the


values. Rzeszow: Podkarpackie Society of Science.

Kreft, L. (2014). Aesthetics of the beautiful game. Soccer &


society, 15(3), 353-375.

Kreft, L. (2014). Sport, Education and Peace. In E. Isidori, F. J. Lopez


Frias, A. Muller (Eds), Philosophy, sport and education.
International perspectives (13-31).Viterbo: Sette Citta.

Kristiyanto, A. (2018). Peluang Dan Ancaman Revolusi Industri 4.0


Bagi Gaya Hidup Sehat Generasi Milenial (Telaah Survey
Indeks Partisipasi Olahraga Dan Kebugaran Generasi
Milenial Di Provinsi Jawa Tengah). “Pengembangan Iptek
Keolahragaan Untuk Memajukan Generasi Milenial, 32.

Krzyzewski, M. (2001). Five point play. New York, NY: Warner


Books.

Kulinna, P. H. (2008). Models for curriculum and pedagogy in


elementary school physical education. The Elementary School
Journal, 108(3), 219-227.

Kusnan. (2013). Olahraga dalam Membangun Kualitas Sumber Daya


yang Sehat dan Bugar.

Kustiawan, A. A. (2018, August). Memajukan Olahraga Rekreasi


Dan Event Olahraga Sebagai Upaya Meningkatkan Penjualan
Produk Industri Olahraga. In Prosiding Seminar Nasional Ilmu
Keolahragaan Unipma (Vol. 1, No. 1, Pp. 74-82).

Laker, A. (2003). The future of physical education: Building a new


pedagogy. In The Future of Physical Education: Building A
New Pedagogy. Routledge.

Lathifah, A., Istikomayanti, Y., & Mitasari, Z. (2021). Kepercayaan


Calon Guru sebagai Faktor Keberhasilan Pembelajaran
Berpusat pada Siswa, Jurnal Intelegensi, 4(1), 9-18.

277
Lauh, W. D. A. (2014). Dimensi Olahraga Pendidikan Dalam
Pelaksanaan Penjasorkes Di Sekolah. Jurnal Pendidikan Olah
Raga, 3(1), 83-93.

Lauritsalo, K., Sääkslahti, A., & Rasku-Puttonen, H. (2015). School


PE through Internet discussion forums. Physical Education and
Sport Pedagogy, 20(1), 17-30.

Lawrence-Lightfoot, S. (2000). Respect. Cambridge, MA: Perseus


Books.

Lengkana, A. S., & Sofa, N. S. N. (2017). Kebijakan Pendidikan


Jasmani Dalam Pendidikan. Jurnal Olahraga, 3(1), 1-12.

Lickona, T. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.

Light Shields, D., Light Bredemeier, B., LaVoi, N., & Power, C.
(2005). The sport behavior of youth, parents and
coaches. Journal of Research in Caracter Education, 1, 43-59.

Liliweri, A. (2014). Sosiologi dan komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi


Aksara.

Lutan, Rusli dan Sumardianto. 2000. Filsafat Olahraga. Jakarta:


Depdiknas.

Lutan, Rusli. 2001. Olahraga dan Etika: Fair Play. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Olahraga,
Direktorat Jenderal Olahraga, Departemen Pendidikan
Nasional.

M. Furqon H. (2005). Menggalang Potensi Bangsa Salah Satu Usaha


Untuk Mencapai Prestasi Olahraga Yang
Membanggakan.Makalah diajukan dalam Rangka Lomba
Karya Tulis Ilmiah Inovatif Keolahragaan HAORNAS
XI/1994 (Juara I Kelompok Umum).

Mackay, H. (2004). The globalization of culture. A Globalized World, 44-


81.

Mackay, H. (2004). The globalization of culture. A Globalized


World, 44-81.

278
Magdalinski, T. (2009). Sport, technology and the body: The nature of
performance. Routledge.

Maksum, A. (2002). Reaktualisasi gagasan Baron Pierre de


Coubertin dalam konteks olahraga kekinian.

Maksum, A. (2005). Olahraga membentuk karakter: Fakta atau


mitos. Jurnal Ordik, 3(1), 23-30.

Maksum, A. (2005). Olahraga Membentuk Karakter: Fakta atau


Mitos. Jurnal Ordik, 3(1), 23-30.

Maksum, A. (2009). Konstruksi Nilai Melalui Pendidikan


Olahraga. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 1(1).

Maksum, A. (2009). Konstruksi Nilai Melalui Pendidikan Olahraga.


Jurnal Cakrawala Pendidikan, 1(1).

Maksum, A., dkk. (2005). Dampak olahraga terhadap peningkatan


kualitas hidup masyarakat ditinjau dari aspek kesehatan, psikologis,
dan sosial. Laporan Penelitian. Jakarta: Kemenpora.

Mallen, C., & Adams, L. J. (2008). Sport, recreation and tourism event
management: theoretical and practical dimensions. Routledge.

Mangan, J. A., Ritchie, A., & Majumdar, B. (Eds.). (2004). Ethnicity,


sport, identity: struggles for status (No. 59). Psychology Press.

Mansour, F. (1996). Analisis gender dan transformasi sosial.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 7-8.

Mardhiyah, R., Aldriani, S., Chitta, F., & Zulfikar, M. (2021).


Pentingnya Keterampilan Belajar di Abad 21 sebagai
Tuntutan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Jurnal Lectura , 12(1), 29-40.

Marrella, L. (2001). In search of ethics—Conversations with men and


women of character. Sanford, FL: DC Press.

Martinek, T., Schilling, T., & Johnson, D. (2001). Transferring


personal and social responsibility of underserved youth to
the classroom. The Urban Review, 33(1), 29-45.

279
McNamee, M. J. 2007. Philosophy, Risk and Adventure Sports. New
York: Routledge.

Menpora RI. (2010). Rencana Strategis Kementerian Pemuda dan


Olahraga Tahun 2010 ± 2014. Jakarta: Kemenpora RI.

Meo, M. (2019). Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan


Dalam Membentuk Nilai–Nilai Karakter. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Citra Bakti, 6(2), 167-176.

Middle States Commission on Higher Education. 2007. American


Student Learning Assessment. Printed in the United States of
America.

Miller, B. W., Roberts, G. C., & Ommundsen, Y. (2005). Effect of


perceived motivational climate on moral functioning, team
moral atmosphere perceptions, and the legitimacy of
intentionally injurious acts among competitive youth football
players. Psychology of sport and exercise, 6(4), 461-477.

Miller, S. G. (2000). Naked Democracy. In P. Flensted-Jensen, T.H.


Nielsen (Eds), Polis and Politics (277-96). Copenhagen:
Festschrift.

Muhlisin, M., Paramitha, S. T., Purnama, Y., & Ramadhan, M. G.


(2021). Sport Of Policy Analysis And Evaluation: A
Systematic Literature Review. Jp. Jok (Jurnal Pendidikan
Jasmani, Olahraga Dan Kesehatan), 5(1), 76-90.

Mujiran. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Padang : Universitas


Negeri Padang (UNP) Press.

Mulya, G. (2018). Peran Pendidikan Jasmani Dalam Penguatan


Pendidikan Karakter Siswa. Jurnal Sains Keolahragaan Dan
Kesehatan, 3(1).

Mulyana, Boyke Rd. (2012). Jurnal Kepelatihan Olahraga. Bandung:


Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga. FPOK UPI.

Mustafa, P. S., & Dwiyogo, W. D. (2020). Kurikulum Pendidikan


Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan di Indonesia Abad 21.

280
Jurnal Riset Teknologi dan Inovasi Pendidikan (JARTIKA),
3(2), 422-438.

Mustafa, P. S., & Dwiyogo, W. D. (2020). Kurikulum Pendidikan


Jasmani, Olahraga, Dan Kesehatan Di Indonesia Abad 21.
Jurnal Riset Teknologi Dan Inovasi Pendidikan (Jartika), 3(2), 422-
438.

Musti, D. (1995). Demokratia: origini di un’idea. Bari: Laterza.


Purna, S. K., Kardiyanto, M. P. D. D. W., Or, S., Angga, M. P.
D. P. D., & Or, S. (2020). Kerangka pembinaan olahraga
disabilitas. Zifatama Jawara.

Mustofa, Bisri 2015. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Parama Ilmu.

Mustoip, S. (2018). Implementasi Pendidikan Karakter.

Mustoip, S. (2018). Implementasi pendidikan karakter.

Mutohir, T. C., & Maksum, A. (2007). Sport development index:


alternatif baru mengukur kemajuan pembangunan bidang
keolahragaan (konsep, metodologi dan aplikasi). Jakarta: Index.

Mutohir, Toho Cholik. 2002. Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan


Olahraga Masyarakat. Jakarta: Depdiknas, Dirjen Olahraga.

Nastiti, F., & Abdu, A. (2020). Kesiapan Pendidikan Indonesia


Menghadapi Era Society 5.0, Edcomtech: Jurnal Kajian
Teknologi Pendidikan, 5(1), 61-66.

National Sporting Goods Association. (2011). versus 2001 youth


sports participation, NSGA.

Neely, K. C., & Holt, N. L. (2014). Parents’ perspectives on the


benefits of sport participation for young children. The Sport
Psychologist, 28(3), 255-268.

Niemen, David C. (1993). Fitness and Your Health. (California: Bull


Publishing Company).

Osterhoudt, Robert G. 2000. Philosophy of Sport. New York: Stipes


Pub Llc.

281
Parker, M., & Stiehl, J. (2004). Personal and Social Responsibility. In
Tannehill, D. & Lund, J. (Eds.). Standards based curriculum.
Boston, MA: Jones and Bartlett.

Parks, Janet B. dan Zanger, Beverly R.K.. 1990. Sport and Fitness
Management. Champaign: Human Kinestics.

Paturusi, A. (2012). Manajemen pendidikan jasmani dan


olahraga. Jakarta: rineka cipta.

Penney, D., Jones, A., Newhouse, P., & Cambell, A. (2012).


Developing a digital assessment in senior secondary physical
education. Physical Education and Sport Pedagogy, 17(4), 383-
410.

Pongutta, S., Suphanchaimat, R., Patcharanarumol, W., &


Tangcharoensathien, V. (2019). Lessons from the Thai health
promotion Foundation. Bulletin of the World Health
Organization, 97(3), 213.

Popov, L. K. (2000). The Virtues Project: Simple ways to create a culture


of character: Educator's guide. Jalmar Press.

Prasetio, PA, Yuniarti, Y., & Nugraha, FF (2019). The


implementation of physical education, sport, and health
learning through sports games in building primary students'
characters. Primary : Journal of Primary Education, 3(1), 1.

Prasetyo, D. E., Damrah, D., & Marjohan, M. (2018). Evaluasi


Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pembinaan Prestasi
Olahraga. Gelanggang Olahraga: Jurnal Pendidikan Jasmani Dan
Olahraga, 1(2), 32-41.

Prasetyo, Y. (2013). Kesadaran masyarakat berolahraga untuk


peningkatan kesehatan dan pembangunan
nasional. Medikora, 11(2).

Prativi, G. O. (2013). Pengaruh Aktivitas Olahraga terhadap


Kebugaran Jasmani. Journal of Sport Science and Fitness, 2(3).

Prayoga, A. S. (2018, August). Memajukan Olahraga Rekreasi Dan


Industri Olahraga Sebagai Bentuk Pembangunan Bangsa.

282
In Prosiding Seminar Nasional Ilmu Keolahragaan Unipma (Vol.
1, No. 1, Pp. 83-90).

Puspita, Y., Fitriani, Y., Astuti, S., & Novianti, S. (2020). Selamat
Tinggal Revolusi Industri 4.0, Selamat Datang Revolusi
Industri 5.0, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Program
Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, 122-130.

Rachman, A. (2020). Olahraga Rekreasi Di Perguruan


Tinggi. Olahraga Rekreasi Di Perguruan Tinggi.

Rahadian, A. (2018). Kebijakan Olahraga dalam Pemerintahan


Lokal: Sebuah Penelitian dalam Merumuskan Rancangan
Induk Pembangunan Olahraga Nasional.

Rahayu, K. (2021). Sinergi Pendidikan Menyongsong Masa Depan


Indonesia di Era Society 5.0, Edukasi: Jurnal Pendidikan Dasar,
2(1), 87-100.

Rais, N. S. R., Dien, M. M. J., & Dien, A. Y. (2018). Kemajuan


Teknologi Informasi Berdampak Pada Generalisasi Unsur
Sosial Budaya Bagi Generasi Milenial. Jurnal Mozaik, 10(2), 61-
71.

Ramadhan, M. G., Ma'mun, A., & Mahendra, A. (2020).


Implementasi Kebijakan Olahraga Pendidikan Sebagai
Upaya Pembangunan Melalui Olahraga Berdasarkan
Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional. Jtikor
(Jurnal Terapan Ilmu Keolahragaan), 5(1), 69-80.

Ramdhani, M. A. (2017). Lingkungan pendidikan dalam


implementasi pendidikan karakter. Jurnal Pendidikan
UNIGA, 8(1), 28-37.

Redeker, R. (2002). Le sport contre les peuples. Paris: Berg International


Editeurs.

Reid H. L. (2011). Athletics and Philosophy in the Ancient World:


Contests of Virtue. New York; Routledge.

Reid, H. L. (2006). Olympic sport and its lessons for peace. Journal of
the Philosophy of Sport, 33,(2), 205-214.

283
Reid, H. L. (2012). Introduction to the philosophy of sport. Lanham, MD:
Rowman & Littlefield Publishers.

Rijsdorp, K. 1980. Gymnologie. Utrecht: Het Spectrum NV.

Rini, W. (2019). Pembelajaran dengan Pendekatan Student Centered


Learning pada Sekolah Minggu, Jurnal Shanan, 3(1), 85-96.

Rodhi, N. A., & Paksi, A. K. (2021). The Role Of The 18th Asian
Game In The Peace Of The Korean Peninsula. Jurnal Ilmiah
Dinamika Sosial, 5(2), 226-239.

Rohendi, A., & Rustiawan, H. (2020). Kebutuhan Sport Science Pada


Bidang Olahraga Prestasi. Journal Respecs, 2(1), 1-16.

Rosdiani, D. (2012). Perencanaan Pembelajaran Dalam Pendidikan


Jasmani dan Kesehatan (Vol. 4). Bandung: CV. Alfabeta.

Sabri, I. (2019). Peran Pendidikan Seni di Era Society 5.0 untuk


Revolusi Industri 4.0, Prosiding Seminar Nasional
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, 342-347.

Safitri, K. (2020). Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Siswa


Sekolah Dasar Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Jurnal
Pendidikan Tambusai, 4(1), 264-271.

Safitri, K. (2020). Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Siswa


Sekolah Dasar Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Jurnal
Pendidikan Tambusai, 4(1), 264-271.

Santosa, Giriwijoyo. 2005. Ilmu Faal Olahraga, Fungsi Tubuh Manusia


Pada Olahraga.

Santoso, K. A. (2019). Pendidikan untuk menyambut masyarakat 5.0.

Sari, S. (2019). Literasi Media Pada Generasi Milenial Di Era


Digital. Professional: Jurnal Komunikasi Dan Administrasi
Publik, 6(2), 30-42.

Sasikirana, V., & Herlambang, Y. (2020). Urgensi Merdeka Belajar di


Era Revolusi Industri dan Tantangan Society 5.0, E-TECH
Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan, 8(2), 1-7.

284
Sato, T., & Haegele, J. A. (2017). Professional development in
adapted physical education with graduate web-based
professional learning. Physical Education and Sport
Pedagogy, 22(6), 618-631.

Schumacher, A., Erol, S., & Sihn, W. (2016). A Maturity Model for
Assessing Industry 4.0 Readiness and Maturity of
Manufacturing Enterprises.

Schurmann, V. (2012). Sports and Human Rights. Journal of the


Philosophy of Sport and Physical Education 34,(2), 143-150.

Seippel, Ø. (2006). The Meanings Of Sport: Fun, Health, Beauty Or


Community? Sport In Society, 9(1).

Sekretaris Kemenpora RI. (2010). Penyajian Data dan Informasi


Statistik Keolahragaan Tahun 2010. Jakarta: Kemenpora RI.

Sennett, R. (2003). Respect in a world of inequality. New York, NY:


Norton.

Setiadi, E. M., Hakam, K. A. & Effendi, R. (2007). Ilmu Sosial &


Budaya Dasar Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Setiawan, I., & Faza, R. U. (2019, October). Pembangunan olahraga


ditinjau dari SDI guna peningkatan kualitas pendidikan
jasmani berwawasan konservasi. In Prosiding Seminar
Nasional IPTEK Olahraga (SENALOG) (Vol. 2, No. 1).

Setiyawan, S. (2017). Visi Pendidikan Jasmani Dan Olahraga. Jurnal


Ilmiah Penjas (Penelitian, Pendidikan Dan Pengajaran), 3(1).

Setyantoko, M. (2017). Pengembangan Media Pembelajaran Mobile


Learning Berbasis Android Dalam Pembelajaran Atletik
Untuk Siswa SMP Kelas VII. Pendidikan Jasmani Kesehatan Dan
Rekreasi, 6(1).

Setyawan, D. A. (2016). Fair Play dalam Olahraga. Jendela


Olahraga, 1(1 Juli).

Shields, D. L. L., & Bredemeier, B. J. L. (1995). Character development


and physical activity. Human Kinetics Publishers.

285
Sholekah, FF (2020). Character education in 2013. Childhood
Education: Journal of Early Childhood Education, 1(1), 1–6.

Siburian, P. (2012). Penanaman dan implementasi nilai karakter


tanggung jawab. Jurnal Generasi Kampus, 5(1), 85-102.

Sidik, D. Z. (2010). Prinsip Prinsip Latihan Dalam Olahraga Prestasi.

Siekmann, R. C., & Soek, J. (Eds.) (2007). The Council of Europe and
Sport: basic documents, La Haya, T.M.C Asser Press.

Sintia, N., Kuswanto, CW, & Meriyati, M. (2019). Improving the


social skills of early childhood with the outbound model.
Journal of CARE (Children Advisory Research and Education),
6(2), 1–10.

Smoll, F. L., & Smith, R. E. (1981). Preparation of youth sport


coaches: An educational application of sport
psychology. Physical Educator, 38(2), 85.

Soan, U. F. (2017). Kebijakan Dan Strategi Pembinaan Olahraga


Prestasi Daerah. Jurnal Sains Keolahragaan Dan Kesehatan, 2(1),
20.

Soegiyanto, K. S. (2013). Keikutsertaan Masyarakat Dalam Kegiatan


Olahraga. Media Ilmu Keolahragaan Indonesia, 3(1).

Soegiyanto, K. S. (2013). Keikutsertaan Masyarakat dalam Kegiatan


Olahraga. Media Ilmu Keolahragaan Indonesia, 3(1).

Soemosasmito, S. (1988). Dasar, proses dan efektivitas belajar


mengajar pendidikan jasmani. Jakarta. Departemen Pendidikan
dan Kebudyaan.

Soundy, A., Roskell, C., Stubbs, B., Probst, M., & Vancampfort, D.
(2015). Investigating the benefits of sport participation for
individuals with schizophrenia: a systematic
review. Psychiatria Danubina, 27(1), 0-13.

Spaaij, R., Magee, J., & Jeanes, R. (2014). Sport and social exclusion in
global society. Routledge.

286
Stuntz, C. P., & Weiss, M. R. (2003). Influence of social goal
orientations and peers on unsportsmanlike play. Research
Quarterly for Exercise and Sport, 74(4), 421-435.

Sudrajat, A. (2011). Mengapa pendidikan karakter?. Jurnal


Pendidikan Karakter, 1(1).

Sugiyanto, (2008). Model-model Pembelajaran Kooperatif. Surakarta :


Depdikbud.

Suherman, A. (2009). Revitalisasi Pengajaran Dalam Pendidikan


Jasmani. UPI.

Sulo, L., & Tirtarahardja, U. (2005). Pengantar Pendidikan. Jakarta,


PT Rineka Cipta.

Susrianto, E. (2019). Tradisi pacu jalur masyarakat rantau kuantan


(Studi nilai-nilai budaya melayu dalam olahraga tradisional
di Kabupaten Kuantan Singingi). JURNAL OLAHRAGA
INDRAGIRI, 4(1), 27-56.

Sutrisno, M. (2005). Teks-teks kunci estetika: filsafat seni. Galangpress


Group.

Taylor, C., & Lafayette, R. (2010). Academic achievement through


FLES: A case for promoting greater access to foreign language
study among young learners. The Modern Language
Journal, 94(1), 22-42.

Taylor, P., & Gratton, C. (2002). The economics of sport and recreation:
an economic analysis. Routledge.

Thompson, J. (2010). Developing winners in sports and life: The


power of double-goal coaching. Portola Valley CA: Balance
Sports Publishing.

Titting, F., Hidayah, T., & Pramono, H. (2016). Pengembangan


Multimedia Pembelajaran Senam Lantai Berbasis Android
Pada Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan Di
Sma. Journal Of Physical Education And Sports, 5(2), 120-126.

Tjandrawinata, R. R. (2016). Industri 4.0: Revolusi Industri Abad Ini


Dan Pengaruhnya Pada Bidang Kesehatan Dan Bioteknologi.

287
Triono, S. D., & Laksono, A. (2017). Ketersediaan Infrastruktur
Olahraga dan Dukungan Pimpinan terhadap Frekuensi
Partisipasi Olahraga. Jurnal Olahraga, 3(2), 51-60.

Tuloli, J., & Ismail, E. D. (2016). Pendidikan Karakter Menjadikan


Manusia Berkarakter Unggul. Gorontalo: Uii Press.

UN – OSDP (2015). Sport and the sustainable development goals: An


overview outlining the contribution of sport to the SDGs.
Genewa: Office on Sport for Development and Peace.

UN Inter-Agency (2003). Sport as a tool for development and peace:


Towards achieving the United Nations Millenium
Development Goals. Genewa: Tas Force on Sport for
Development and Prace.

UN Inter-Agency Task Force on Sport for Development and Peace.


2003. Sport as a Tool for Development and Peace. UN.

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang


Sistem Keolahragaan Nasional. 2005. Jakarta: Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.


International Charter of Physical Education, Physical Activity
and Sport. UNESCO.

United Nations. 2003. Sport for Development and Peace: Towards


Achieving the Millennium Development Goals. Report from the
United Nations Inter-Agency Task Force on Sport for
Development and Peace.

Utama, A. B. (2011). Pembentukan Karakter Anak Melalui Aktivitas


BermainDalam Pendidikan Jasmani. Jurnal pendidikan jasmani
indonesia, 8(1).

Vest Ettekal, A., Agans, J. P., Burkhard, B. M., Syer, T., Lerner, R. M.,
Ferris, K. A., & Gansert, P. K. (2015). Because that’s where the
kids are”: Applying developmental science to understand the

288
role of sport participation in positive youth development.
Medford, MA: Institute for Applied Research in Youth
Development, Tufts University. Unpublished manuscript.

VicHealth. (2010). Participation in Physical Activity. Australia:


Victorian Health Promotion Foundation.

Vickerman, P., & Maher, A. (2018). Teaching Physical Education To


Children With Special Educational Needs And Disabilities. In
Teaching Physical Education To Children With Special Educational
Needs And Disabilities.

Wadey, R., Podlog, L., Hall, M., Hamson-Utley, J., Hicks-Little, C.,
& Hammer, C. (2014). Reinjury anxiety, coping, and return-
to-sport outcomes: A multiple mediation
analysis. Rehabilitation Psychology, 59(3), 256.

Wankel, L. M., & Berger, B. G. (1990). The psychological and social


benefits of sport and physical activity. Journal of leisure
research, 22(2), 167-182.

Webster, R. W. (1965). Philosophy of Physical Education. Dubuque,


Iowa: WM. C. C. Brown.

Whitehead, J., Telfer, H., & Lambert, J. (2014). Values In Youth Sport
And Physical Education. In Sports Coaching Review (Vol. 3,
Issue 2).

Wibawa, Ramadhan Prasetya., D. R. A. (2019). Peran Pendidikan


Berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) Pada Tingkat
Sekolah Menengah Pertama Di Era Society 5.0 Sebagai
Penentu Kemajuan Bangsa Indonesia. EQUILIBRIUM Jurnal
Ilmiah Ekonomi Dan Pembelajarannya, 7(2), 137–141.

Wijayanto, M. A. (2019). Olahraga Sebagai Pencegahan Penyakit


Jantung Koroner.

Winarni, S. (2011). Pengembangan Karakter dalam Olahraga dan


Pendidikan Jasmani. Jurnal Cakrawala Pendidikan, (2).

Winarno, M.E. 2018. “Meningkatkan Prestasi Olahraga Nasional


Melalui Budaya Literasi Digital Di Era Industri 4.0”. Makalah

289
disajikan pada Seminar Nasional Keolahragaan dengan
Tema“Integrasi Keolahragaan dalam Membangun Karakter
Budaya Olahraga Nasional” diselenggarakan oleh FIO UNJ,
Rabu 7 November 2018.

Wiyani, N. A. (2013). Membumikan pendidikan karakter di


SD. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Wohl, A. (1977). Sport and the Quality of Life. International Review of


Sport Sociology, 12(2), 35-48.

Wooden, J., & Jamison, S. (1997). Wooden—A lifetime of observations


and reflections on and off the court. Chicago, IL: Contemporary
Books.

World Health Organization. 2010. Global recommendations on physical


activity for health. Geneva: WHO.

Wuest, D. A., Bucher, C. A., & Fisette, J. (2003). Foundations of physical


education, exercise science, and sport.

Yuliawan, D. (2016). Pembentukan Karakter Anak Dengan Jiwa


Sportif Melalui Pendidikan Jasmani Olahraga Dan
Kesehatan. Jurnal Sportif, 2(1), 101–112.

Yuliawan, D. (2016). Pembentukan Karakter Anak Dengan Jiwa


Sporti Melalui Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan.
Journal Of Sportif, 2(1), 106 112.

Yuniarni, D. (2012). Character education in early childhood. Journal


of Educational Science Vision, 7(1), 129–138.

Yusuf, M. (2012). Membangun Karakter peserta didik melalui


pendidikan Jasmani dan Olahraga. Jurnal Ilmiah Spirit, 12(1).

Zhannisa, U. H. (2015). Implementasi Nilai-Nilai Olahraga dalam


Pembangunan Nilai Kewarganegaraan dan Memperkokoh
NKRI. CIVIS, 5(2).

Zis, S. F., Effendi, N., & Roem, E. R. (2021). Perubahan perilaku


komunikasi generasi milenial dan generasi z di era
digital. Satwika: Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial, 5(1),
69-87.

290
Zubaedi, M. A. (2015). Desain Pendidikan Karakter. Prenada Media.

Zulkarnaen, Z. (2010). Hubungan Motivasi Dengan Partisipasi


Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Olahraga Futsal Di
Kota Bekasi. Motion: Jurnal Riset Physical Education, 1(1), 1-10.

291
TENTANG PENULIS

Oki Candra
Lahir di Baserah 01 Oktober 1988,
anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan
Bapak Anizar dan Ibu Yuliarnis (Alm).
Menikah dengan Putri Wahyuni, S.Pd., M.Pd
dan mempunyai 3 orang anak bernama
Excelia Humaira PC, Queensha Shahia PC
dan Haziq Gibran PC. Menyelesaikan
pendidikan formal di SD, SMP , dan SMA
Baserah di Kecamatan Kuantan Hilir Kab. Kuantan Singingi.
Kemudian tahun 2006 melanjutkan pada program Sarjana
(S1) Pendidikan Jasmani kesehatan dan Rekreasi di Fakultas
Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau dan selesai
tahun 2010. Pada tahun 2011 berkesempatan meneruskan kuliah
pada program Magister (S2) Manajemen Pendidikan Olahraga di
Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang dan pada tahun
2015 meneruskan kuliah pada program Doktor (S3) Pendidikan
Olahraga di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta selesai 2018.
Pengalaman Kerja: Dosen Penjaskesrek di Universitas Islam
Riau (2011-sekarang). Pengalaman berorganisasi yaitu sebagai
pengurus Perbasi Provinsi Riau (2016-2020), Pengurus Olahraga
Petanque Kota Pekanbaru 2019 s/d 2023, Pengurus ISORI Riau
2021-2025 dan Wakil Ketua Cabang Olahraga Woodball Kota
Pekanbaru 2022-2026. Adapun pengalaman melatih bola basket
yaitu dimulai dari tahun 2006- sekarang.

292
Tri Prasetyo
Lahir di Durai Kecamatan Moro, 07
November 1997, anak ketiga dari tiga
bersaudara pasangan Bapak Tukirin dan Ibu
Jamilah (Alm). Menyelesaikan pendidikan
formal di SD, SMP, dan SMA di Kecamatan
Durai Kabupaten Karimun. Kemudian
tahun 2017 melanjutkan pada program
Sarjana (S1) Pendidikan Jasmani kesehatan
dan Rekreasi di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas
Islam Riau dan selesai tahun 2021. Pada tahun 2021 berkesempatan
meneruskan kuliah pada program Magister (S2) Ilmu Keolahragaan
Pascasarjana Universitas Negeri Padang (Sedang masa studi).

293

Anda mungkin juga menyukai