Anda di halaman 1dari 17

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

175

KONSTRUKSI AGAMAKIAIPADA
Pluralisme dan Multikulturalisme

M. Turhan Yani, M. Ali Haidar, Warsono, dan FX Sri Sadewo


Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya
Email: muhammadturhan@unesa.ac.id

Abstrak
Realitas kemajemukan dalam konteks kemanusiaan merupakan sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah SWT, dan tugas manusia adalah membina
dan mengembangkan sikap saling menghormati dan menghargai antar
sesama (toleran). Berkaitan dengan hal tersebut, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menggali dan menjelaskan secara tepat
seperti apa konstruksi keagamaan kiai pesantren tentang pluralisme dan
multikulturalisme, dasar rujukan yang digunakan, karena berkaitan
dengan cara pandang kiai dalam menyelesaikan konflik sosial yang
terkadang terjadi. terjadi di masyarakat. Data penelitian dikumpulkan
melalui survei dan wawancara mendalam dengan beberapa kiai
pesantren di Jawa Timur. Analisis data dilakukan dengan narasi kualitatif
dan melalui Forum Group Discussion (FGD).

Realitas pluralitas dalam konteks kemanusiaan merupakan kehendak Allah SWT,


tugas manusialah memelihara dan mengembangkan rasa saling menghargai dan
menghargai sesama (toleran). Dalam hal ini, tujuan penelitian ini mengeksplorasi
dan menjelaskan dengan tepat kiai pesantren tentang pluralisme dan
multikulturalisme, dasar referensi yang digunakan, karena ini terkait dengan
sudut pandang kiai dalam menyelesaikan konflik sosial yang kadang-kadang
terjadi di masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui survei dan wawancara
mendalam dengan beberapa kiai pesantren di Jawa Timur. Analisis data dilakukan
dengan narasi kualitatif dan melalui Forum Group Discussion (FGD). Hasil
penelitian menunjukan bahwa pembangunan

DOI: http://dx.doi.org/10.18860/el.v20i2.5074
176 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

agama Pesantren Kiai di Jawa Timur pada pluralisme dan multikulturalisme dapat
dipetakan menjadi dua, yaitu (1) konstruksi keagamaan dengan kategori inklusif
dan eksklusif dan (2) konstruksi keagamaan dengan kategori eksklusif.

Kata kunci:kiai; kemajemukan; multikulturalisme; konstruksi keagamaan; konflik sosial

pengantar
Kesadaran akan realitas perbedaan suku, agama, budaya, pemahaman, dan
lain-lain diharapkan tumbuh dan berkembang darikiai pesantren, karenakiaimenjadi
figur sentral bagi masyarakat dalam berbagai hal, termasuk dalam proses
transformasi pengetahuan. Kesadaran bahwa perbedaan dan keragaman manusia
dalam berbagai aspek adalah penting atausunnatullah (alam) yang harus dimiliki
oleh seluruh umat manusia agar kehidupan dapat berlangsung secara damai dan
tanpa konflik sosial.
Timbulnya beberapa kasus ketegangan antarumat beragama, bahkan kekerasan
berlabel agama yang terjadi saat ini disebabkan oleh konstruksi keagamaan beberapa
tokoh agama (kiai) yang cenderung tekstual dan simplistis dalam mengkonstruksi
persoalan-persoalan masyarakat. Sebagian masyarakat juga terpengaruh dengan adanya
konstruksi keagamaan, yang pada akhirnya berujung pada sikap dan perilaku yang saling
berhadapan dengan ketegangan.
Sedangkan kasus ketegangan antarumat beragama disebabkan oleh
gejala pengerasan sikap beragama yang tidak diimbangi dengan sikap
kritis-rasional-objektif dan penghormatan terhadap keragaman paham
keagamaan oleh pemeluk lain. (Muqawim, 2004). Pengerasan sikap
beragama ini lebih dimaknai pada pola perilaku beragama yang
menganggap hasil pemahamannya paling benar dan menganggap
pemahaman orang lain salah. Gejala ini tidak hanya ditemukan pada sikap
pemeluk agama yang berbeda. Namun, hal itu juga terjadi pada pemeluk
agama dalam satu agama.
Gambaran kontroversi dalam konstruksi keagamaan kiaidapat
dilihat antara lain respon terhadapfatwaMajelis Ulama Indonesia (MUI)
tentang pluralisme dan multikulturalisme yang diklaim sebagaiharam
dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa darikiai (elit
agama) yang mendukung keputusan ini termasuk Kiai Idris Marzuki dari
pesantren Lirboyo-Kediridan Kiai Abdulloh Faqih daripesantren
Langitan-Tuban. Yang menentang adalah Gus Dur dan Gus Mus (KH

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


M Turhan Yani, M Ali Haidar, Warsono, and FX Sri Sadewo 177

Mustofa Bisri). Gus Mus, misalnya, mengomentari keputusan MUI dengan menjelaskan
bahwa MUI mengartikan dirinya sebagai konsep yang tidak mereka pahami.
Tanggapan dari beberapakiai pesantrenIsu-isu global yang terjadi kemudian
memunculkan kelompok-kelompok radikal yang menjadikan agama sebagai ideologi politik
untuk menggalang kekuatan bersama.Pesantrentidak dapat dipisahkan dari arus global ini.
Oleh karena itu sejumlahpesantrenmuncul, mengembangkan visi keagamaan yang eksklusif,
intoleran dan radikal, serta menolak realitas masyarakat pluralis.
Realitas seperti itu menjadi tantangan tersendiri, terutama bagikiai pesantren
dalam mengembangkan visi keagamaan yang inklusif atau moderat, karena visi ini dapat
memberikan ketenangan dan kedamaian bagi semua makhluk, yang dalam terminologi
Islam sering disebut sebagaiRahmatan lil 'Alamin.Namun, ada sebagian umat Islam yang
mengambil posisi konstruksi moralnya secara eksklusif, dan sebagian inklusif, bahkan di
pesantrenjuga, termasuk di antarapesantrenpemimpin (kiai). Dari konteks pesantren,
konstruksi keagamaan yang berbeda tidak lepas dari buku yang dijadikan referensi, dan
dengan siapa seseorang belajar.

Tinjauan Literatur
Dalam konteks penelitian ini, perspektif teoritis yang dikembangkan mengacu
pada konsep Islam tentangRahmatan lil 'Alamin.Rahmatan lil 'Alamin universal
artinya dapat memberikan kedamaian bagi semua makhluk dan kelompok manusia
yang berbeda, baik mengenai agama, budaya, ras, bahasa, maupun perbedaan
dalam aspek lainnya. Perspektif ini menggambarkan betapa Islam sangat
memperhatikan keragaman ciptaan Tuhan dan kesadaran untuk mengakui dan
menghargai perbedaan yang ada.
Sesungguhnya agama diturunkan oleh Tuhan dan telah membawa misi
perdamaian dan merupakan modal untuk hidup rukun. Ajaran agama
mengajarkan kepada umatnya tentang prinsip multikulturalisme dan
pluralisme, yaitu ajaran untuk saling mengenal.ta'aruf) karena perbedaan latar
belakang budaya, suku, bahasa dan gender (Abdullah, 2000). Namun, secara
empiris-historisfaktual, terkadang, apalagi sering, kekerasan dilakukan oleh
sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama.
Cendekiawan Muslim yang kategori konstruksi keagamaannya inklusif seperti
Nurcholish Madjid memandang bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertemuan aktual
keragaman dalam ikatan kesopanan/peradaban.(ikatan kesopanan) (Madjid, 1997). Konstruksi
keagamaan yang inklusif ini pada kenyataannya berdampak positif dalam mewujudkan tatanan
kehidupan masyarakat yang rukun dan toleran.

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


178 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

Untuk menggambarkan sikap pengakuan dan penghargaan terhadap berbagai


perbedaan pendapat ataumadzhabDi tengah kehidupan sosial dalam penelitian ini, terdapat
istilah-istilah yang mengiringinya, antara lain Islam inklusif, Islam moderat, dan Islam
wasathiyah. Namun, semua sebenarnya didasarkan pada konsep IslamRahmatan lil 'Alamin,
sebuah konsep universal yang menunjukkan keluwesan ajaran Islam yang sangat penting
sebagai paradigma dalam berbagai kehidupan sosial, termasuk di kalanganpesantren.
Pluralispesantrendapat dilihat dari beberapa aspek: (1)pesantren telah
menjadi pusat studi agama; (2)pesantrenkurikulum (baik kata kurikulum
maupun kurikulum tersembunyi) telah memberikan porsi dan perhatian yang
cukup besar dalam pengembangan hubungan antaragama; (3) itukiai akrab
dengan agama lain serta karakter; (4) ada siswa dari luar agama yang pernah
belajar dipesantren, meskipun mungkin hanya hidup dipesantren; (5) banyak
tamu dari berbagai agama lain yang sering berkunjungpesantren; (6)pesantren
anggota mengenal dan memahami dengan baik istilah-istilah yang terkait
dengan hubungan antaragama seperti pluralisme, inklusivisme, toleransi dan
sebagainya; (7) sifat darisantridanpesantrensering berdialog dan bersosialisasi
dengan non muslim, dengan arti kata memberikan perilaku yang menunjukkan
toleransi beragama; dan (8) munculnya karya-karya yang bersinggungan
dengan toleransi dan hubungan antar umat beragama (Nafis 2014).
Dipesantren, wacana keislaman inklusif ini perlu dikembangkan oleh kiai
dengan meninjau atau menafsirkan ulangKitab Kuning(KK). Dalam literatur KK,
konstruksi fiqh disusun menjadi empat bagian, yaitu ibadah (ajaran ritual), mun
sebuahkahat(aturan keluarga),muamalah(hubungan masyarakat dan sosial), dan
jinayahatau hudud(pidana). Namun, di era modern, fiqh mengalami dekonstruksi
dan perluasan kajian yang menjangkau isu-isu (politik),iqtishadiyah(ekonomi makro
dan mikro),ijtima'iyah(sosial),dawli(antar bangsa),qadha '(peradilan), dan
sebagainya.
Secara historis, khazanah intelektual Islam telah banyak mewariskan
buku-buku karya para ulama yang mencoba menafsirkan kitab suci dari
berbagai aspek antara lain tafsir, hadits, fiqh, filsafat, dan tasawuf. Ketika Islam
masuknusantara, yang semakin intensif pada abad XII dan XIII, terjadi proses
adaptasi secara bertahap atau bahkan pengambilalihan institusi sosial seperti
pesantrenke dalam tradisi Islam (Azra 1994).
Dari berbagai teks keagamaan yang bersumber dari kitab suci melahirkan
berbagai spesifikasi ilmiah antara lain:pesantren, ada beberapapesantren
terkenal karena pendalaman ilmunya di bidang tafsir, ada pula di bidanghadits,
sebagian di bidang fiqh, dan sebagian lagi di bidangtasawuf (tasawuf).

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


M Turhan Yani, M Ali Haidar, Warsono, and FX Sri Sadewo 179

Hal ini menunjukkan bahwa ragam tradisi keilmuan yang dikembangkan dengan menitikberatkan
pada bidang keilmuan tertentu merupakan cerminan dari keberagamanpesantren.
Sebagai bagian dari dinamika ilmiah, penelitian ini relevan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Tabel 1 menyajikan penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan fokus
penelitian ini:

Tabel 1. Pemetaan Penelitian Sebelumnya

Tidak Ada Peneliti (Tahun) Fokus Penelitian Mendekati Riset


Temuan
1. Steenbrink PesantrenMadrasah Sejarah Politik Perubahan dalam
(1986) Sekolah. dan Pendidikan pesantrenmasyarakat
Subyek: Kiai dan terjadi lembaga-
Pesantrendari Timur nasionalisasi
Jawa kiaiinstitusi
dalam bentuk
yayasan
pengetahuan
formalisasi
dan pemindahan
legitimasi darikiai

2. Mastuhu PesantrenPendidikan Sejarah Perubahan dalam


(1994) Sistem. Pendidikan dengan pola darikiai
Subjek:Pesantren, sebuah antro- kepemimpinan,
kiai, dansantridi maaf- interaksi dari
jawa timur sosiologis kiai-santri, dan
mendekati pengajaran dari
(simbolis kiai-santri.
interaksi).
3. Abdullah Empiris- Antropologi dari Secara budaya,

(2000) Historis-Faktual Agama ajaran agama


Fenomena dari mengajarkan orang untuk

Masyarakat Indonesia mengetahui satu sama lain

(ta'aruf) karena
perbedaan
budaya kembali-
tanah, agama,
bahasa, dan
jenis kelamin.

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


180 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

4. Rizal TamparisasiSimbol Antropologi dari Klasifikasi dari


(2000) dariWong Jaba, Jeru, Agama kiaididasarkan pada
danMambu-mambu interaksi dengan
Komunitas.

Merujuk pada pemaparan penelitian terdahulu yang relevan seperti yang


dikemukakan, telah banyak penelitian tentangkiai, namun dalam penelitian ini terdapat
hal yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu pada konstruksi religi
kiai pesantrententang pluralisme dan multikulturalisme danKitab Kuningreferensi
sebagai modal dalam menyelesaikan konflik sosial, hal inilah yang menandai kebaruan
dalam penelitian ini karena perlu dieksplorasi lebih jauh.
Isu konstruksi keagamaankiai, terutamakiai pesantrendalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara sangat penting untuk dibahas karena dapat berdampak pada
tatanan sosial. Ketika sebuahkiai pesantren bersifat eksklusif religius (tertutup), dampaknya
adalah pengakuan dan penghormatan terhadap pluralisme dan multikulturalisme sangat
rendah, tetapi sebaliknya, ketika konstruksi keagamaan bersifat inklusif (terbuka), dampaknya
adalah pengakuan dan penghormatan yang tinggi terhadap pluralisme dan multikulturalisme.
Oleh karena itu, rumusan dalam penelitian ini adalah apa yang dimaksud dengan konstruksi
keagamaan?kiai pesantrendi Jawa Timur tentang pluralisme dan multikulturalisme sebagai
modal untuk menyelesaikan konflik sosial adalah? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menggali dan mendeskripsikan serta memetakan konstruksi keagamaankiai pesantrendi Jawa
Timur tentang pluralisme dan multikulturalisme.

metode
Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur. Dipilihnya Jawa Timur karena
memiliki kurang lebih 50%pesantrendi Indonesia. Mahmuddin Udin dikutip
oleh Amin Haedari, DirekturPesantrenKementerian Agama, menyebutkan
data jumlahpesantrensampai tahun 2005 adalah 14.361pesantrenseluruh
Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 11.664pesantrendi Jawa, 1.381 di
Sumatera, 661 di Bali dan Nusa Tenggara, 294 di Kalimantan, dan 25 di
Papua (Udin, 2005). Sementara itu, data Kanwil Kemenag Jawa Timur
menyebutkan jumlahPesantrendi Jawa Timur adalah 5.220 (Departemen
Agama Jawa Timur, 2005).
Mengingat banyaknya jumlah dan varian daripesantren, secara kultural,
studi ini mengklasifikasikanpesantrenberdasarkan wilayahnya, yaitu wilayah
Madura dengan ciri budaya Madura, wilayah pesisir utara Jawa Timur Barat,
mulai dari Kabupaten Bojonegoro sampai Kabupaten Gresik, Kabupaten
Jombang dan sekitarnya, wilayah Kediri, wilayah Madiun (Jawa Mataraman), dan

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


M Turhan Yani, M Ali Haidar, Warsono, and FX Sri Sadewo 181

wilayah pesisir Pantai Utara Jawa Timur di Bagian Timur (Pondok Pesantren di
Probolinggo dan Situbondo, dan Jember). Seperti dipesantrenmasyarakat, setiap
daerah memilikikiaidanpesantrenyang menjadi “referensi”. Sementara itu,kiai
dan lainnyapesantrenmenjadi "anak" atau cabang mereka. Penelitian ini
mengambil informan dariNahdlatul Ulama(NU) atauRabithah Ma'ahid Indonesia
(RMI) atau yang lebih dikenal dengan bahasa IndonesiaPesantrenAsosiasi,
subjek penelitiannya adalahkiaiyang menjadi “tokoh sentral” dalam “rujukan”
pesantren. Itu kiaidimaksud adalah KH. Abdul Haq (Paiton-Probolinggo), KH.
Djazuli Noer (Bangkalan Madura), KH. Islahudin Sarwan Gunawan (Ngawi), KH.
M. Abdul Azis Mansoer (PP Pacul Gowang Jombang), KH. Abdul Matin (Tuban),
dan Gus Zaky (Trenggalek).
Pengumpulan data penelitian ini menggunakan survei dan wawancara
mendalam dengan beberapakiai pesantrenyang menjadi subjek penelitian. Survei
dilakukan untuk memetakanpesantrenberdasarkan wilayah dan karakteristiknya.
Sedangkan wawancara mendalam dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendalami
konstruksi keagamaan masyarakatkiai pesantrententang pluralisme dan
multikulturalisme, serta sumber referensi KK yang digunakan. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan narasi kualitatif dan melalui Forum Group Discussion
(FGD) yang diawali dengan identifikasi konstruksi keagamaan masyarakat.kiaidari
hasil survei dan wawancara, kemudian dilakukan pemetaan konstruksi keagamaan
(analisis kategoris/domain).

Hasil penelitian
Dalam memberikan pandangan tentang pluralisme dan multikulturalisme,kiai
pesantrenmemiliki berbagai pandangan yang berbeda. Setidaknya, keragaman pandangan ini
dapat diamati dari enampesantrenpengasuh di Jawa Timur yaitu limakiaidan satu orang yang
memegang gelarGus(anak darikiai). Keanekaragaman pandangan tersebut secara garis besar
dapat dipetakan menjadi dua, yaitu (1) konstruksi agama dengan kategori antara inklusif dan
eksklusif (tidak bisa dikatakan inklusif secara total), dan (2) konstruksi agama dengan kategori
eksklusif.
Untuk multikulturalisme,kiai pesantrenmenganggap tidak masalah jika
dimaknai sebagai keragaman selain agama, misalnya keragaman suku, bahasa, dan
sebagainya. Memang, Tuhan menciptakan berbagai jenis manusia, mulai dari warna
kulit, bahasa, suku, dan lain-lain. Karena hanya berkaitan dengan kemajemukan
selain agama, dan tidak berhubungan dengan doktrin akidah, maka dianggap
sebagaisunnatullah(sesuatu yang dikehendaki Tuhan) dan bahkan harus diakui.
Namun, ketika membahas masalah pluralisme (keagamaan)

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


182 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

pluralitas), terdapat berbagai konstruksi keagamaan yang berbeda-beda


antara satu kiaidan satu lagi. Hal ini tidak lepas dari pemahaman mereka
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, hadits Nabi, dankitab kuning(kitab kuning)
yang dijadikan rujukan selain juga merujuk kepada para ulama, baik klasik
maupun modern.
Ketika peneliti mencoba mengkonfirmasi ayat-ayat Al-Qur'an, satu pihak
seolah-olah mengakui adanya agama lain selain Islam (pluralisme). Contoh ayat-
ayat yang mengakui keberagaman agama lain, seperti surah Ali Imran ayat 84,
surah al-Maidah ayat 48, dan surah al-Baqarah ayat 62. Di sisi lain, ada juga
ayat-ayat yang seolah-olah tidak mengakui keberadaannya. agama lain seperti
dalam surah Ali Imran ayat 85, dan surah Ali Imran ayat 19,kiaidan para
cendekiawan Muslim berbeda pendapat.
Beberapakiai pesantrenyang konstruksi keagamaannya dikatakan
tidak inklusif dan tidak eksklusif, berdasarkan pemahamannya pada hadits
Nabi yang berbunyi:Man adza dzimmiyan fa ana khosmuhu, wa man kuntu
khasmahu, khosomtuhu yaumal qiyamah.Artinya, siapa pun yang
memusuhidhimmi kafir (kafir yang tidak memusuhi umat Islam), maka aku
(Rasulullah) menjadi musuhnya, dan siapa pun yang aku lawan, aku akan
berperang besok di hari kiamat. Menurut Kiai Abdul Matin, cara pluralisme
diimplementasikan seperti itu. Demikian pernyataan Kiai Matin dari Tuban
(Wawancara 1 Juli 2007). Kategori konstruksi keagamaan ini lebih tepat
berada pada posisi “antara inklusif dan eksklusif”.
Hal senada juga diungkapkan KH. Abdul Haq (Paiton-Probolinggo) yang
mengatakan bahwa kita sendiri tidak boleh merasa benar (Wawancara 13 Juli 2007).
Demikian jugakiaiIslahudin Sarwan Gunawan dari Ngawi mengatakan, pemeluk
yang sama harus menemukan titik temu yang tidak bertentangan dengan ajaran
yang diyakini (Wawancara, 11 Juli 2007), dan juga Gus Zaky, putra KH Zainal Fanani
Trenggalek mengatakan, perlu dicatat bahwa agama selain Islam sama-sama berhak
untuk dihormati, ditinjau dari kerangka kemanusiaannya, dan jika tentang keimanan
masing-masing agama memiliki keimanan (Wawancara, 11 Juli 2007).
Sedangkan untukkiai pesantrenyang konstruksi keagamaannya dari kategori
inklusif dan eksklusif seperti Kiai Azis Mansoer dari Jombang yang mengatakan; memang
setiap umat beragama secara bersama-sama mengklaim bahwa agama yang diyakininya
adalah agama yang paling baik. Bagi Islam, agama yang benar adalah Islam, sedangkan
yang lain tidak, tetapi kita harus menghormati pemeluk agama lain dengan cara hidup
yang toleran (Wawancara, 12 Juli 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh Kiai Djazuli
Noer asal Bangkalan yang mengatakan bahwa toleransi dan kebangsaan

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


M Turhan Yani, M Ali Haidar, Warsono, and FX Sri Sadewo 183

perlu dikembangkan tetapi tidak dengan mencampurkan ajaran beberapa


agama (Wawancara, 13 Juli 2007). Untuk detail lebih lanjut tentang peta
konstruksi keagamaankiai pesantrendi Jawa Timur danKitab Kuning(KK) yang
biasa dijadikan acuan dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2: Peta Konstruksi Religikiai pesantrendi Jawa Timur tentang Pluralisme dan
Multikulturalisme beserta KK sebagai Rujukan

Tidak. Riset Keagamaan Kitab Kuning IkhtisarkiaiParadigma


Subjek (kiai) Konstruksi Fokus (KK)
Klasifikasi
1. KH. Abdul Di antara Mengacu Kita harus saling menghormati,
Haq (Paiton- Inklusif dan tulisan-tulisan saling berbagi, dan memberikan
Probolinggo) Eksklusif dari S ayyid pengertian kepada pemeluk agama
Qutuband itu masing-masing, memahami bahwa
penafsiran ada perbedaan dalam agama, tidak
dariF i akan ada ekspresi saling
Dhilalil Qur'an menyerang, kita tidak boleh
menghujat, dan kita tidak bisa
merasa benar oleh diri kita sendiri.
Mungkin dengan cara ini, kita tidak
akan mengalami konflik.

2. KH. Djazuli Di antara diaK itab Toleransi anak dan negara


Noer Inklusif dan kuning perlu dikembangkan tetapi
(Bangkalan Eksklusif membahas tidak dengan
Madura) pluralisme mencampuradukkan ajaran
madzhab di agama. Toleransi terhadap
Islam pemeluk agama lain menurut
Islam berupa penghormatan
terhadap dzimmi kafir, yaitu
melindungi non muslim yang
tidak mengganggu kita.

3. KH.Islahudin Di antara Belum menemukan Kita harus melakukanAhlakul


Sarwan Inklusif dan rupanya di Karimah (Perbuatan Terpuji)
Gunawan Eksklusif KK (hanya dengan mereka (Non Muslim)
(Ngawi) berdasarkan sebagaimana dicontohkan oleh
memahami Nabi dalam bergaul dengan
dari A l - pemeluk agama lain, dan
ayat alquran sebaliknya, mencari titik temu
hanya) yang tidak bertentangan
dengan ajaran yang diyakininya

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


184 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

4. KH. M . Di antara diaK itab Memang setiap umat beragama


Abdu l Az adalah Inklusif dan kuning mengklaim bahwa agama yang
Mansoer (PP Eksklusif membahas diyakininya adalah agama yang
Pacul Gowang Pluralisme, tapi paling baik. Bagi Islam, agama
Jombang) pluralisme yang paling baik adalah Islam,
darimadzhabdi sedangkan yang lain tidak, tetapi
Islam kita harus menghormati pemeluk
agama lain dengan cara hidup
yang toleran.
5. KH. Abdu l Di antara SemuaK itab Menurut Nabi, Islam
Matin (Tuban) Inklusif dan kuningada mengakui adanya
Eksklusif pluralisme, meskipun diakui
ada, ia harus memeluk
kebenaran, yaitu Islam.
Meski tangan kanan
dipegang, tetap tidak boleh
memusuhi agama lain,
bahkan dalam hadits nabi
disebutkan: Man adza
dzimmiyan fa ana
khosmuhu, khosomtuhu
yaumal qiyamah.Artinya,
meski pluralisme tidak
boleh bermusuhan, siapa
pun yang memusuhidhimmi
kafir, maka aku (Rasulullah)
menjadi musuhnya besok di
hari kiamat. Ini adalah cara
untuk menerapkan
pluralisme.

6. Gus Zaky Di antara Fathul Wahab, Pluralisme hanya dibahas


(Trenggalek) Inklusif dan buku dari secara substansi. Kami tidak
Eksklusif Bijairomidalam setuju bahwa agama itu
bab terakhir, membingungkan. Kami sepakat
dan Shahih bahwa tidak semua agama
buku bukhari dianggap benar kecuali Islam,
tetapi perlu dicatat bahwa
agama selain Islam sama-sama
berhak untuk dihormati.

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


M Turhan Yani, M Ali Haidar, Warsono, and FX Sri Sadewo 185

Diskusi
Kitab Kuning(KK) penelitian yang dijadikan acuan untukpesantren elite agama
dapat mengenali dan menemukan benih pemahaman pluralisme dan
multikulturalisme yang sudah ada. Epistimologi fiqh sendiri mengakui perbedaan
madzhab dan umat Islam diperbolehkan mengikuti salah satu madzhab. Namun,
tradisi pengajaran KK dipesantrenhanya menekankan buku-buku tertentu. SEBUAH
kiaiterus-menerus mungkin menjadi faktor penentu munculnya eksklusivitas yang
tidak menghargai perbedaan dan pada gilirannya melahirkan ekstremitas dan
absolutisme yang memandang hanya satu kebenaran.
Jenis konstruksi keagamaan yang ekstrem seperti itu tidak mampu memberikan
kontribusi wacana negara-bangsa terhadap penghidupan perdamaian dan toleransi,
bahkan dapat mewujudkan sikap intoleran yang menjadi salah satu pemicu dan sumber
konflik sosial suku, agama, ras, antar golongan (SARA). Oleh karena itu, dalam konteks
temuan penelitian ini, tipe konstruksi keragaman sedang yang menghargai keragaman
tampak dari sebagian besar masyarakatkiai pesantren. Dengan demikian, dapat
berkontribusi pada kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultural,
yang jauh dari prasangka dan kecemburuan. Konstruksi keagamaan jenis inikiaidapat
menjadi modal penting dalam menyelesaikan konflik sosial.
Para pemikir agama mencoba merumuskan formula yang tepat bagaimana
meredam konflik yang berbasis agama, tidak hanya Islam tetapi juga Kristen, Hindu,
Budha, Yudaisme dan agama lainnya (Amar, 2010). Oleh karena itu, formula yang tepat
memunculkan gagasan toleransi, kerukunan, pluralisme, dan sejenisnya sebagai upaya
mencegah/mengurangi konflik agama yang terkadang begitu dahsyat, brutal dan
berdarah. Upaya menciptakan kehidupan yang pluralistik, namun tetap rukun, damai dan
toleran sangat penting.
Terkait dengan hasil penelitian di atas, tokoh-tokoh yang menjadi acuan
kiai pesantrenyang konstruksi keagamaannya “antara inklusif dan eksklusif”
adalah para ulama yang menjadi reformis pluralis seperti Muhammad Abduh,
Rashid Ridha, Fazlur Rahman, dan at-Thabathabai. At-Thabathabai mengatakan
Allah tidak memandang agama tertentu, tetapi yang terpenting adalah
substansi dan esensi yang terkandung dalam agama tersebut (Shihab, 1999).

Cendekiawan Muslim Indonesia yang sejalan dengan pandangan tersebut


antara lain Abdurahman Wahid, Nurcholis Madjid, dan Amin Abdullah.
Sementara itu kiaiyang konstruksi keagamaan eksklusifnya mengacu pada
penafsir terkenal abad ke-10 M, yaitu al-Tabari, Fakhrudin al-Razi (abad ke-12),

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


186 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

dan Ibn Katsir (abad ke-14). Untuk tokoh Indonesia yang dirujuk
terkait masalah ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sementara itu, isu pluralisme dan multikulturalisme merupakan tantangan utama
yang dihadapi oleh agama-agama di dunia saat ini, mengingat setiap agama muncul dari
lingkungan agama dan budaya yang pluralistik (Jaenuri 2005). Pada saat yang sama, para
pemeluk agama telah membentuk wawasan eksklusif dan bertentangan dengan
semangat pluralisme dan multikulturalisme.
Keberagaman atau multikulturalisme merupakan realitas signifikan yang dialami
masyarakat dan budaya pada masa lalu, masa kini dan masa depan (Azra, 2005).
Multikulturalisme dapat dipahami semata-mata sebagai pengakuan bahwa suatu negara
atau masyarakat itu beragam dan plural (baik suku, agama, budaya, dan lainnya).
Sebaliknya, tidak ada satu negara pun yang hanya berisi satu budaya nasional.
Multikulturalisme adalah komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri
dan ciri utama masyarakat dan suku dan ras. Pada saat yang sama, terdapat pula
berbagai simbol, nilai, struktur dan institusi dalam kehidupan sehari-hari yang mengikat
berbagai keragaman.
Pada kenyataannya, berbagai agama dan kepercayaan
berkembang di masyarakat (Yasin, 2014). Pluralitas agama, kepercayaan,
dan pedoman hidup manusia merupakan fakta sosial yang tidak dapat
disangkal. Semua pihak harus menyadari bahwa di muka bumi ini
terdapat keragaman identitas, baik multietnik, multibahasa, multi
agama, multiras maupun multikultural, yang memiliki corak yang
berbeda-beda dan tidak akan setara. Dalam multi kehidupan, termasuk
multi agama, setiap pemeluk agama berhak memiliki pandangan yang
berbeda satu sama lain, dan mereka berhak untuk tetap hidup dan
dihormati dengan pandangan hidup yang telah dipilihnya. Oleh karena
itu, setiap orang dan setiap kelompok agama harus mau mengakui
keberadaan pihak lain dan mau menghargai perbedaan.
Secara normatif dan empiris pengakuan keragaman dalam Al-Qur'an telah ditegaskan
sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan
Aku menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal” (QS al-
Hujurat, ayat 13). Dengan demikian, Tuhan menjadikan plural dan multikultural, dan tugas manusia
adalah menjaga keragaman dengan mengedepankan toleransi, agar kehidupan dapat berlangsung
secara damai. Konstruksi keagamaan seperti itu dapat mengatasi terjadinya konflik sosial ketika
terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Konstruksi agama darikiai pesantren, secara umum merupakan acuan bagi masyarakat
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang disampaikan olehkiai, khususnya

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


M Turhan Yani, M Ali Haidar, Warsono, and FX Sri Sadewo 187

itukiai pesantren, komunitas atau orang akan mengikutinya. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan jauh dari konflik, konstruksi keagamaan
yang mengedepankan toleransi menjadi sangat penting, dan idealnya tercermin dalam
konstruksi keagamaan suatu masyarakat.kiaiyang dikenal sebagai panutan masyarakat
karena rakyat akan mengikuti jejaknya.
sikap daripesantrendalam menyikapi pluralisme adalah: (1)
menjelaskan posisi Islam di tengah keragaman agama dan budaya,
sehingga toleransi beragama hanya berkisar pada moral danmuamalah,
dan tidak masuk ke alamaqidahdansyariah. (2) Mendirikan pusat studi
dan diskusi serta kelompok diskusi antarpesantrenwarga pada topik
pembahasan terkait paham liberalisme dan pluralisme agama, sehingga
mahasiswa terbiasa menjawab permasalahan tersebut dengan
argumentasi yang kuat (Ismail, 2013).
ItuKitab Kuning(KK) yang sering dijadikan acuan olehkiai pesantren telah
menggambarkan adanya konstruksi keagamaan yang mencerminkan
pluralisme dan multikulturalisme. Eksistensi konstruksi keagamaan ditandai
dengan pengakuan atas perbedaanmadzhabdan perbedaan dalam mengajar.
Perbedaan tersebut jika ditelusuri juga dipengaruhi oleh perbedaan budaya di
mana situasi dan kondisi ulama atauimamdarimadzhabberada dalam
lingkungan budaya dan sosial yang berbeda.
Penjabaran dari konstruksi keagamaankiai pesantren tentang
pluralisme dan multikulturalisme yang tercermin dari pengakuan atas
perbedaanmadzhabdan perbedaan dalam pengajaran telah menjadi modal
penting dalam mengatasi beragam masalah umat. Di sinilahkiai pesantren
telah teruji dalam memecahkan masalah-masalah umat, termasuk konflik-
konflik sosial.
Nilai toleransi terutama diletakkan olehpesantren ulamadalam berbagai ilmu,
misalnya,saka tasawufdanfiqh(Nafis, 2014). Dibutuhkan pemahaman dan
pemaknaan secara komprehensif dan integratif untuk dapat digali dan kemudian
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh konseprahmatan lil
al-'alaminyang belum begitu banyak menyentuh keragaman manusia. Konsepnya
sudah lama dipahami olehsantri, namun selama ini belum mendapatkan porsi yang
tepat terkait perbedaan agama.santrihanya disuguhkan dengan konsep saling
menghargai antar sesama mukmin, tanpa ada upaya bagaimana menghargainya
dalam kehidupan nyata. Apresiasi terhadap orang lain akan semakin kuat ketika
memang dihadapkan pada konteks dan kondisi yang berbeda.santriharus sering
diperkenalkan secara nyata dengan adanya “berbeda” (Nafis, 2014).

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


188 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

Klasifikasi darikiai pesantrenkonstruksi keagamaan di Jawa Timur sebagaimana


temuan-temuan yang dipaparkan dalam penelitian ini telah memberikan gambaran
tentang tipologi dan pemetaan konstruksikiai pesantren, ituKitab Kuningyang dijadikan
acuan, dan afiliasi tokoh danmadzhabdiadopsi. Meskipun ada klasifikasi yang berbeda
dari konstruksi agama di antarakiai pesantren, semangat toleransi tetap terlihat dalam
sikap dan perilaku yang ditunjukkan, dan ini adalah contoh yang sangat baik dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di antara pesantren yangkiaisedang membuatKitab Kuningsebagai salah satu
acuan penting dalam mentransformasikan keilmuan kepada mahasiswanya, mereka
cenderung memiliki sikap moderat dan toleransi yang lebih tinggi. Terlebih lagi, itu jelas
jika dibandingkan denganpesantrenyang buku-buku referensinya berasal dari buku-buku
yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang dikenal fundamentalis, meskipun pemahamannya
tekstual. Perbedaan referensi atau buku referensi dalampesantrendan tokoh-tokoh yang
berafiliasi juga mewarnai perbedaan konstruksi keagamaan di antarakiai pesantren.
Dalam konteks hari ini,pesantrendituntut proaktif, merespon budaya
masyarakat dengan terlebih dahulu tampil kreatif dalam berdialog dengan budaya
lokal dan budaya luar, serta memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat
diterima masyarakat setempat dan mengikuti nilai-nilai agama. Kedua,
mengembangkan budaya toleransi, sehingga dalampesantrenmasyarakat akan
tumbuh pemahaman yang inklusif untuk mengharmoniskan agama di tengah-
tengah kehidupan masyarakat (Mahfudhoh & Azhari 2015). Itupesantrenharus
menjadi garda depan dalam memerangimadzhabfanatisme karenaImam Madzhab
sendiri melarang pengikutnya untuk mengikutinya. Tanpa strategi seperti ini,
pesantren hanya akan berfungsi sebagai budaya tandingan yang kontraproduktif
dan seringkali memiliki nilai dan norma yang berbeda dengan budaya lain.
Dalam konteks masyarakat yang plural dan multikultural seperti bangsa Indonesia,
konstruksi keagamaan yang mengedepankan toleransi menjadi prioritas untuk disosialisasikan
dan dikembangkan karena merupakan parameter utama dalam mewujudkan kehidupan sosial
yang harmonis. Konstruksi keagamaan darikiai pesantrensebagai panutan bagi bangsa atau
masyarakat Indonesia dalam bidang keagamaan akan menjadi acuan dalam menyikapi
berbagai permasalahan kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam menyelesaikan konflik
sosial.

Kesimpulan
Konstruksi agama yang berbeda di antarakiai pesantrendi Jawa Timur secara
garis besar dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu (1) “antara inklusif dan
eksklusif”, dan (2) eksklusif. Bentuk totalitas yang inklusif tidak terlihat di antarakiai

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


M Turhan Yani, M Ali Haidar, Warsono, and FX Sri Sadewo 189

pesantrendi Jawa Timur, hanya sampai di posisi tengah. Adanya perbedaan konstruksi
agama antara satukiaidan lainnyakiaimenggambarkan bahwapesantrentelah
menunjukkan miniatur pluralisme dan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Masing-masing konstruksi keagamaan tersebut berimplikasi pada cara
penyelesaian konflik sosial di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapakiai pesantrendi Jawa Timur yang menjadi subyek dalam penelitian
ini memiliki konstruksi keagamaan yang berbeda tentang isu pluralisme. Perbedaan
tersebut tidak lepas dari pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, hadits
nabi, danKitab Kuningyang dijadikan acuan selain mengacu pada ulama tempat
mereka menuntut ilmu,Kitab Kuningdigunakan sebagai referensi kurang lebih sama.
Dalam realitas sejarah, tidak pernah adakiai pesantrendengan yang lainkiai
pesantrenyang hubungannya tidak harmonis karena perbedaan pendapat. Mereka
masih bisa mengelola perbedaan pendapat dengan baik sehingga orang melihatnya
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.

Saran
Mencermati hasil penelitian tersebut, maka resolusi yang ditawarkan
untuk mengatasi perbedaan konstruksi agama di kalangankiaiadalah sebagai
berikut: (1) perlu dikembangkan pemahaman keagamaan yang komprehensif,
agar wawasan keagamaan lebih terbuka. (2) Perlu saling belajar sisi positif dari
suatu perbedaan, bukan mencari sisi negatifnya. (3) Perlu penguatan sikap
toleransi dalam segala aspek kehidupan, termasuk toleransi karena berbeda
dalam pengamalan ajaran agama karena walaupunkiaiberbeda dalam
konstruksi agama, mereka dapat menjalin hubungan yang menghargai
pendapat satu sama lain. Dalam sejarah, ada contoh hubungan yang harmonis
antara Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Ahmad Dahlan, yang disebut-sebut
bersahabat baik meskipun ada beberapa perbedaan dalam pengamalan ajaran
Islam.

Referensi
Abdullah, Amin. 2000.Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multireligius.Pidato Pengukuhan, Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga 13 Mei.

Amar, Isrofil, 2010. Studi Normatif Pendidikan Islam Multikultural.Jurnal


Islami4 (2), 320-334.

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


190 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme

Azra, Azyumardi. 2005. Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perprektif


Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultur.Jurnal Analisis CSIS. 34 (1).

Azra, Azyumardi.1994.Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara


Abad XVII dan XVIII.Bandung: Mizan.

Ismail, M. Arifin, 2013. Sikap Pesantren dalam Menghadapi Paham Pluralisme.


Jurnal Toleransi,5 (2). 118-125.

Jaenuri, Ahmad. 2005.Pluralisme Agama dan Multikulturalismedalampenemuan kembali


Islam Multikultural.Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur, Data Emis 2005.

Madjid, Nurcholish. 1995. Pluralisme Agama di Indonesia. Jurnal Ulumul


Alquran, 3 (62).

Mahfudhoh, Rif'atul dan Ashari, M. Yahya, 2015. Pesantren Multikulturalisme


di Antara Pendidikan Modern dan Tradisional. Jurnal Studi Islam,6 (1).

Mastuhu, 1994.Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Muqawim, 2004. Mencari Pola Pendidikan Agama dalam Perspektif Multikultural.


Jurnal Kependidikan Multicultural Development Center (MDC)Jatim, 4 (1).

Nafis, Muhantibun, 2014. Pesantren dan Toleransi Beragama.Jurnal Ta'allum


pendidikan islam, 2 (2), 163-178.

Rijal, Tajur. 2000.Tamparisasi Simbol Wong Jaba, Jeru dan Mambu-mambu.


Jakarta: LP3ES.

Shihab, Alwi. 1999.Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.


Bandung: Mizan.

Steenbrink, Kael A. 1986.Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam


Kurun Modern.Jakarta: LP3ES.

Udin, Mahmudin, 2005.Ajaran Terorisme Tidak Berasal dari Pesantren,www.


pandanaran.net.

Yasin, M.Yusuf. 2014. Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural dalam Perspektif


Teori Gestalt. Jurnal Ta'allum Pendidikan Islam, 2 (2), 195-214.

el Harakah Vol. 20 No.2 Tahun 2018


© 2018. Karya ini dilisensikan di bawah
http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/
("Lisensi"). Terlepas dari Syarat dan ketentuan ProQuest,
Anda dapat menggunakan konten ini sesuai dengan
ketentuan Lisensi.

Anda mungkin juga menyukai