com
175
KONSTRUKSI AGAMAKIAIPADA
Pluralisme dan Multikulturalisme
Abstrak
Realitas kemajemukan dalam konteks kemanusiaan merupakan sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah SWT, dan tugas manusia adalah membina
dan mengembangkan sikap saling menghormati dan menghargai antar
sesama (toleran). Berkaitan dengan hal tersebut, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menggali dan menjelaskan secara tepat
seperti apa konstruksi keagamaan kiai pesantren tentang pluralisme dan
multikulturalisme, dasar rujukan yang digunakan, karena berkaitan
dengan cara pandang kiai dalam menyelesaikan konflik sosial yang
terkadang terjadi. terjadi di masyarakat. Data penelitian dikumpulkan
melalui survei dan wawancara mendalam dengan beberapa kiai
pesantren di Jawa Timur. Analisis data dilakukan dengan narasi kualitatif
dan melalui Forum Group Discussion (FGD).
DOI: http://dx.doi.org/10.18860/el.v20i2.5074
176 Konstruksi Keagamaan Kiai Tentang Pluralisme
agama Pesantren Kiai di Jawa Timur pada pluralisme dan multikulturalisme dapat
dipetakan menjadi dua, yaitu (1) konstruksi keagamaan dengan kategori inklusif
dan eksklusif dan (2) konstruksi keagamaan dengan kategori eksklusif.
pengantar
Kesadaran akan realitas perbedaan suku, agama, budaya, pemahaman, dan
lain-lain diharapkan tumbuh dan berkembang darikiai pesantren, karenakiaimenjadi
figur sentral bagi masyarakat dalam berbagai hal, termasuk dalam proses
transformasi pengetahuan. Kesadaran bahwa perbedaan dan keragaman manusia
dalam berbagai aspek adalah penting atausunnatullah (alam) yang harus dimiliki
oleh seluruh umat manusia agar kehidupan dapat berlangsung secara damai dan
tanpa konflik sosial.
Timbulnya beberapa kasus ketegangan antarumat beragama, bahkan kekerasan
berlabel agama yang terjadi saat ini disebabkan oleh konstruksi keagamaan beberapa
tokoh agama (kiai) yang cenderung tekstual dan simplistis dalam mengkonstruksi
persoalan-persoalan masyarakat. Sebagian masyarakat juga terpengaruh dengan adanya
konstruksi keagamaan, yang pada akhirnya berujung pada sikap dan perilaku yang saling
berhadapan dengan ketegangan.
Sedangkan kasus ketegangan antarumat beragama disebabkan oleh
gejala pengerasan sikap beragama yang tidak diimbangi dengan sikap
kritis-rasional-objektif dan penghormatan terhadap keragaman paham
keagamaan oleh pemeluk lain. (Muqawim, 2004). Pengerasan sikap
beragama ini lebih dimaknai pada pola perilaku beragama yang
menganggap hasil pemahamannya paling benar dan menganggap
pemahaman orang lain salah. Gejala ini tidak hanya ditemukan pada sikap
pemeluk agama yang berbeda. Namun, hal itu juga terjadi pada pemeluk
agama dalam satu agama.
Gambaran kontroversi dalam konstruksi keagamaan kiaidapat
dilihat antara lain respon terhadapfatwaMajelis Ulama Indonesia (MUI)
tentang pluralisme dan multikulturalisme yang diklaim sebagaiharam
dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa darikiai (elit
agama) yang mendukung keputusan ini termasuk Kiai Idris Marzuki dari
pesantren Lirboyo-Kediridan Kiai Abdulloh Faqih daripesantren
Langitan-Tuban. Yang menentang adalah Gus Dur dan Gus Mus (KH
Mustofa Bisri). Gus Mus, misalnya, mengomentari keputusan MUI dengan menjelaskan
bahwa MUI mengartikan dirinya sebagai konsep yang tidak mereka pahami.
Tanggapan dari beberapakiai pesantrenIsu-isu global yang terjadi kemudian
memunculkan kelompok-kelompok radikal yang menjadikan agama sebagai ideologi politik
untuk menggalang kekuatan bersama.Pesantrentidak dapat dipisahkan dari arus global ini.
Oleh karena itu sejumlahpesantrenmuncul, mengembangkan visi keagamaan yang eksklusif,
intoleran dan radikal, serta menolak realitas masyarakat pluralis.
Realitas seperti itu menjadi tantangan tersendiri, terutama bagikiai pesantren
dalam mengembangkan visi keagamaan yang inklusif atau moderat, karena visi ini dapat
memberikan ketenangan dan kedamaian bagi semua makhluk, yang dalam terminologi
Islam sering disebut sebagaiRahmatan lil 'Alamin.Namun, ada sebagian umat Islam yang
mengambil posisi konstruksi moralnya secara eksklusif, dan sebagian inklusif, bahkan di
pesantrenjuga, termasuk di antarapesantrenpemimpin (kiai). Dari konteks pesantren,
konstruksi keagamaan yang berbeda tidak lepas dari buku yang dijadikan referensi, dan
dengan siapa seseorang belajar.
Tinjauan Literatur
Dalam konteks penelitian ini, perspektif teoritis yang dikembangkan mengacu
pada konsep Islam tentangRahmatan lil 'Alamin.Rahmatan lil 'Alamin universal
artinya dapat memberikan kedamaian bagi semua makhluk dan kelompok manusia
yang berbeda, baik mengenai agama, budaya, ras, bahasa, maupun perbedaan
dalam aspek lainnya. Perspektif ini menggambarkan betapa Islam sangat
memperhatikan keragaman ciptaan Tuhan dan kesadaran untuk mengakui dan
menghargai perbedaan yang ada.
Sesungguhnya agama diturunkan oleh Tuhan dan telah membawa misi
perdamaian dan merupakan modal untuk hidup rukun. Ajaran agama
mengajarkan kepada umatnya tentang prinsip multikulturalisme dan
pluralisme, yaitu ajaran untuk saling mengenal.ta'aruf) karena perbedaan latar
belakang budaya, suku, bahasa dan gender (Abdullah, 2000). Namun, secara
empiris-historisfaktual, terkadang, apalagi sering, kekerasan dilakukan oleh
sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama.
Cendekiawan Muslim yang kategori konstruksi keagamaannya inklusif seperti
Nurcholish Madjid memandang bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertemuan aktual
keragaman dalam ikatan kesopanan/peradaban.(ikatan kesopanan) (Madjid, 1997). Konstruksi
keagamaan yang inklusif ini pada kenyataannya berdampak positif dalam mewujudkan tatanan
kehidupan masyarakat yang rukun dan toleran.
Hal ini menunjukkan bahwa ragam tradisi keilmuan yang dikembangkan dengan menitikberatkan
pada bidang keilmuan tertentu merupakan cerminan dari keberagamanpesantren.
Sebagai bagian dari dinamika ilmiah, penelitian ini relevan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Tabel 1 menyajikan penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan fokus
penelitian ini:
(ta'aruf) karena
perbedaan
budaya kembali-
tanah, agama,
bahasa, dan
jenis kelamin.
metode
Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur. Dipilihnya Jawa Timur karena
memiliki kurang lebih 50%pesantrendi Indonesia. Mahmuddin Udin dikutip
oleh Amin Haedari, DirekturPesantrenKementerian Agama, menyebutkan
data jumlahpesantrensampai tahun 2005 adalah 14.361pesantrenseluruh
Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 11.664pesantrendi Jawa, 1.381 di
Sumatera, 661 di Bali dan Nusa Tenggara, 294 di Kalimantan, dan 25 di
Papua (Udin, 2005). Sementara itu, data Kanwil Kemenag Jawa Timur
menyebutkan jumlahPesantrendi Jawa Timur adalah 5.220 (Departemen
Agama Jawa Timur, 2005).
Mengingat banyaknya jumlah dan varian daripesantren, secara kultural,
studi ini mengklasifikasikanpesantrenberdasarkan wilayahnya, yaitu wilayah
Madura dengan ciri budaya Madura, wilayah pesisir utara Jawa Timur Barat,
mulai dari Kabupaten Bojonegoro sampai Kabupaten Gresik, Kabupaten
Jombang dan sekitarnya, wilayah Kediri, wilayah Madiun (Jawa Mataraman), dan
wilayah pesisir Pantai Utara Jawa Timur di Bagian Timur (Pondok Pesantren di
Probolinggo dan Situbondo, dan Jember). Seperti dipesantrenmasyarakat, setiap
daerah memilikikiaidanpesantrenyang menjadi “referensi”. Sementara itu,kiai
dan lainnyapesantrenmenjadi "anak" atau cabang mereka. Penelitian ini
mengambil informan dariNahdlatul Ulama(NU) atauRabithah Ma'ahid Indonesia
(RMI) atau yang lebih dikenal dengan bahasa IndonesiaPesantrenAsosiasi,
subjek penelitiannya adalahkiaiyang menjadi “tokoh sentral” dalam “rujukan”
pesantren. Itu kiaidimaksud adalah KH. Abdul Haq (Paiton-Probolinggo), KH.
Djazuli Noer (Bangkalan Madura), KH. Islahudin Sarwan Gunawan (Ngawi), KH.
M. Abdul Azis Mansoer (PP Pacul Gowang Jombang), KH. Abdul Matin (Tuban),
dan Gus Zaky (Trenggalek).
Pengumpulan data penelitian ini menggunakan survei dan wawancara
mendalam dengan beberapakiai pesantrenyang menjadi subjek penelitian. Survei
dilakukan untuk memetakanpesantrenberdasarkan wilayah dan karakteristiknya.
Sedangkan wawancara mendalam dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendalami
konstruksi keagamaan masyarakatkiai pesantrententang pluralisme dan
multikulturalisme, serta sumber referensi KK yang digunakan. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan narasi kualitatif dan melalui Forum Group Discussion
(FGD) yang diawali dengan identifikasi konstruksi keagamaan masyarakat.kiaidari
hasil survei dan wawancara, kemudian dilakukan pemetaan konstruksi keagamaan
(analisis kategoris/domain).
Hasil penelitian
Dalam memberikan pandangan tentang pluralisme dan multikulturalisme,kiai
pesantrenmemiliki berbagai pandangan yang berbeda. Setidaknya, keragaman pandangan ini
dapat diamati dari enampesantrenpengasuh di Jawa Timur yaitu limakiaidan satu orang yang
memegang gelarGus(anak darikiai). Keanekaragaman pandangan tersebut secara garis besar
dapat dipetakan menjadi dua, yaitu (1) konstruksi agama dengan kategori antara inklusif dan
eksklusif (tidak bisa dikatakan inklusif secara total), dan (2) konstruksi agama dengan kategori
eksklusif.
Untuk multikulturalisme,kiai pesantrenmenganggap tidak masalah jika
dimaknai sebagai keragaman selain agama, misalnya keragaman suku, bahasa, dan
sebagainya. Memang, Tuhan menciptakan berbagai jenis manusia, mulai dari warna
kulit, bahasa, suku, dan lain-lain. Karena hanya berkaitan dengan kemajemukan
selain agama, dan tidak berhubungan dengan doktrin akidah, maka dianggap
sebagaisunnatullah(sesuatu yang dikehendaki Tuhan) dan bahkan harus diakui.
Namun, ketika membahas masalah pluralisme (keagamaan)
Diskusi
Kitab Kuning(KK) penelitian yang dijadikan acuan untukpesantren elite agama
dapat mengenali dan menemukan benih pemahaman pluralisme dan
multikulturalisme yang sudah ada. Epistimologi fiqh sendiri mengakui perbedaan
madzhab dan umat Islam diperbolehkan mengikuti salah satu madzhab. Namun,
tradisi pengajaran KK dipesantrenhanya menekankan buku-buku tertentu. SEBUAH
kiaiterus-menerus mungkin menjadi faktor penentu munculnya eksklusivitas yang
tidak menghargai perbedaan dan pada gilirannya melahirkan ekstremitas dan
absolutisme yang memandang hanya satu kebenaran.
Jenis konstruksi keagamaan yang ekstrem seperti itu tidak mampu memberikan
kontribusi wacana negara-bangsa terhadap penghidupan perdamaian dan toleransi,
bahkan dapat mewujudkan sikap intoleran yang menjadi salah satu pemicu dan sumber
konflik sosial suku, agama, ras, antar golongan (SARA). Oleh karena itu, dalam konteks
temuan penelitian ini, tipe konstruksi keragaman sedang yang menghargai keragaman
tampak dari sebagian besar masyarakatkiai pesantren. Dengan demikian, dapat
berkontribusi pada kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultural,
yang jauh dari prasangka dan kecemburuan. Konstruksi keagamaan jenis inikiaidapat
menjadi modal penting dalam menyelesaikan konflik sosial.
Para pemikir agama mencoba merumuskan formula yang tepat bagaimana
meredam konflik yang berbasis agama, tidak hanya Islam tetapi juga Kristen, Hindu,
Budha, Yudaisme dan agama lainnya (Amar, 2010). Oleh karena itu, formula yang tepat
memunculkan gagasan toleransi, kerukunan, pluralisme, dan sejenisnya sebagai upaya
mencegah/mengurangi konflik agama yang terkadang begitu dahsyat, brutal dan
berdarah. Upaya menciptakan kehidupan yang pluralistik, namun tetap rukun, damai dan
toleran sangat penting.
Terkait dengan hasil penelitian di atas, tokoh-tokoh yang menjadi acuan
kiai pesantrenyang konstruksi keagamaannya “antara inklusif dan eksklusif”
adalah para ulama yang menjadi reformis pluralis seperti Muhammad Abduh,
Rashid Ridha, Fazlur Rahman, dan at-Thabathabai. At-Thabathabai mengatakan
Allah tidak memandang agama tertentu, tetapi yang terpenting adalah
substansi dan esensi yang terkandung dalam agama tersebut (Shihab, 1999).
dan Ibn Katsir (abad ke-14). Untuk tokoh Indonesia yang dirujuk
terkait masalah ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sementara itu, isu pluralisme dan multikulturalisme merupakan tantangan utama
yang dihadapi oleh agama-agama di dunia saat ini, mengingat setiap agama muncul dari
lingkungan agama dan budaya yang pluralistik (Jaenuri 2005). Pada saat yang sama, para
pemeluk agama telah membentuk wawasan eksklusif dan bertentangan dengan
semangat pluralisme dan multikulturalisme.
Keberagaman atau multikulturalisme merupakan realitas signifikan yang dialami
masyarakat dan budaya pada masa lalu, masa kini dan masa depan (Azra, 2005).
Multikulturalisme dapat dipahami semata-mata sebagai pengakuan bahwa suatu negara
atau masyarakat itu beragam dan plural (baik suku, agama, budaya, dan lainnya).
Sebaliknya, tidak ada satu negara pun yang hanya berisi satu budaya nasional.
Multikulturalisme adalah komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri
dan ciri utama masyarakat dan suku dan ras. Pada saat yang sama, terdapat pula
berbagai simbol, nilai, struktur dan institusi dalam kehidupan sehari-hari yang mengikat
berbagai keragaman.
Pada kenyataannya, berbagai agama dan kepercayaan
berkembang di masyarakat (Yasin, 2014). Pluralitas agama, kepercayaan,
dan pedoman hidup manusia merupakan fakta sosial yang tidak dapat
disangkal. Semua pihak harus menyadari bahwa di muka bumi ini
terdapat keragaman identitas, baik multietnik, multibahasa, multi
agama, multiras maupun multikultural, yang memiliki corak yang
berbeda-beda dan tidak akan setara. Dalam multi kehidupan, termasuk
multi agama, setiap pemeluk agama berhak memiliki pandangan yang
berbeda satu sama lain, dan mereka berhak untuk tetap hidup dan
dihormati dengan pandangan hidup yang telah dipilihnya. Oleh karena
itu, setiap orang dan setiap kelompok agama harus mau mengakui
keberadaan pihak lain dan mau menghargai perbedaan.
Secara normatif dan empiris pengakuan keragaman dalam Al-Qur'an telah ditegaskan
sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan
Aku menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal” (QS al-
Hujurat, ayat 13). Dengan demikian, Tuhan menjadikan plural dan multikultural, dan tugas manusia
adalah menjaga keragaman dengan mengedepankan toleransi, agar kehidupan dapat berlangsung
secara damai. Konstruksi keagamaan seperti itu dapat mengatasi terjadinya konflik sosial ketika
terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Konstruksi agama darikiai pesantren, secara umum merupakan acuan bagi masyarakat
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang disampaikan olehkiai, khususnya
itukiai pesantren, komunitas atau orang akan mengikutinya. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan jauh dari konflik, konstruksi keagamaan
yang mengedepankan toleransi menjadi sangat penting, dan idealnya tercermin dalam
konstruksi keagamaan suatu masyarakat.kiaiyang dikenal sebagai panutan masyarakat
karena rakyat akan mengikuti jejaknya.
sikap daripesantrendalam menyikapi pluralisme adalah: (1)
menjelaskan posisi Islam di tengah keragaman agama dan budaya,
sehingga toleransi beragama hanya berkisar pada moral danmuamalah,
dan tidak masuk ke alamaqidahdansyariah. (2) Mendirikan pusat studi
dan diskusi serta kelompok diskusi antarpesantrenwarga pada topik
pembahasan terkait paham liberalisme dan pluralisme agama, sehingga
mahasiswa terbiasa menjawab permasalahan tersebut dengan
argumentasi yang kuat (Ismail, 2013).
ItuKitab Kuning(KK) yang sering dijadikan acuan olehkiai pesantren telah
menggambarkan adanya konstruksi keagamaan yang mencerminkan
pluralisme dan multikulturalisme. Eksistensi konstruksi keagamaan ditandai
dengan pengakuan atas perbedaanmadzhabdan perbedaan dalam mengajar.
Perbedaan tersebut jika ditelusuri juga dipengaruhi oleh perbedaan budaya di
mana situasi dan kondisi ulama atauimamdarimadzhabberada dalam
lingkungan budaya dan sosial yang berbeda.
Penjabaran dari konstruksi keagamaankiai pesantren tentang
pluralisme dan multikulturalisme yang tercermin dari pengakuan atas
perbedaanmadzhabdan perbedaan dalam pengajaran telah menjadi modal
penting dalam mengatasi beragam masalah umat. Di sinilahkiai pesantren
telah teruji dalam memecahkan masalah-masalah umat, termasuk konflik-
konflik sosial.
Nilai toleransi terutama diletakkan olehpesantren ulamadalam berbagai ilmu,
misalnya,saka tasawufdanfiqh(Nafis, 2014). Dibutuhkan pemahaman dan
pemaknaan secara komprehensif dan integratif untuk dapat digali dan kemudian
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh konseprahmatan lil
al-'alaminyang belum begitu banyak menyentuh keragaman manusia. Konsepnya
sudah lama dipahami olehsantri, namun selama ini belum mendapatkan porsi yang
tepat terkait perbedaan agama.santrihanya disuguhkan dengan konsep saling
menghargai antar sesama mukmin, tanpa ada upaya bagaimana menghargainya
dalam kehidupan nyata. Apresiasi terhadap orang lain akan semakin kuat ketika
memang dihadapkan pada konteks dan kondisi yang berbeda.santriharus sering
diperkenalkan secara nyata dengan adanya “berbeda” (Nafis, 2014).
Kesimpulan
Konstruksi agama yang berbeda di antarakiai pesantrendi Jawa Timur secara
garis besar dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu (1) “antara inklusif dan
eksklusif”, dan (2) eksklusif. Bentuk totalitas yang inklusif tidak terlihat di antarakiai
pesantrendi Jawa Timur, hanya sampai di posisi tengah. Adanya perbedaan konstruksi
agama antara satukiaidan lainnyakiaimenggambarkan bahwapesantrentelah
menunjukkan miniatur pluralisme dan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Masing-masing konstruksi keagamaan tersebut berimplikasi pada cara
penyelesaian konflik sosial di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapakiai pesantrendi Jawa Timur yang menjadi subyek dalam penelitian
ini memiliki konstruksi keagamaan yang berbeda tentang isu pluralisme. Perbedaan
tersebut tidak lepas dari pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, hadits
nabi, danKitab Kuningyang dijadikan acuan selain mengacu pada ulama tempat
mereka menuntut ilmu,Kitab Kuningdigunakan sebagai referensi kurang lebih sama.
Dalam realitas sejarah, tidak pernah adakiai pesantrendengan yang lainkiai
pesantrenyang hubungannya tidak harmonis karena perbedaan pendapat. Mereka
masih bisa mengelola perbedaan pendapat dengan baik sehingga orang melihatnya
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Saran
Mencermati hasil penelitian tersebut, maka resolusi yang ditawarkan
untuk mengatasi perbedaan konstruksi agama di kalangankiaiadalah sebagai
berikut: (1) perlu dikembangkan pemahaman keagamaan yang komprehensif,
agar wawasan keagamaan lebih terbuka. (2) Perlu saling belajar sisi positif dari
suatu perbedaan, bukan mencari sisi negatifnya. (3) Perlu penguatan sikap
toleransi dalam segala aspek kehidupan, termasuk toleransi karena berbeda
dalam pengamalan ajaran agama karena walaupunkiaiberbeda dalam
konstruksi agama, mereka dapat menjalin hubungan yang menghargai
pendapat satu sama lain. Dalam sejarah, ada contoh hubungan yang harmonis
antara Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Ahmad Dahlan, yang disebut-sebut
bersahabat baik meskipun ada beberapa perbedaan dalam pengamalan ajaran
Islam.
Referensi
Abdullah, Amin. 2000.Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multireligius.Pidato Pengukuhan, Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga 13 Mei.