Anda di halaman 1dari 17

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

KONSEP TOLERANSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Adeng Muchtar Ghazali
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Jl.
AH Nasution No 105 Bandung, Jawa Barat-Indonesia Email:
amgy@uinsgd.ac.id

ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif konsep toleransi dalam
Islam yang kemudian dipikirkan sedemikian rupa sehingga konsep tersebut dapat
diterapkan secara operasional di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah,
ponpes dan perguruan tinggi. Metode dan pendekatan yang digunakan untuk
mengatasi masalah ini adalah filosofis (fenomenologis) dan sosiologi pendidikan,
salah satunya adalah teori inklusivisme Mircea Eliade. Dalam Islam, perbedaan
pemikiran, suku, bahkan agama (pemeluknya) mengacu padafitrahdansunnatullah
dari kehendak Tuhan. Untuk alasan ini, maka,tasāmuh (toleransi) menjadi doktrin
penting dalam setiap risalah agama, termasuk dalam sistem pendidikan Islam yaitu;
1) tanggap terhadap modernisasi yang telah ada di lembaga-lembaga sekolah umum
di bawah Kementerian Pendidikan; 2) mengembangkan karakter peka terhadap
perubahan melalui strategi pembelajaran yang tepat dan mengembangkan kondisi
psikososial anak, modernisasi fasilitas belajar, lingkungan, dan faktor pendukung
lainnya termasuk keterlibatan orang tua, pemerintah, masyarakat dan pemangku
kepentingan pendidikan lainnya; 3) menerapkan model penguatan sistem pendidikan
Islam inklusif yang terbuka, dialogis, dan berpusat pada siswa; 4) melahirkan sumber
daya manusia yang tangguh dan tangguh dengan toleransi tinggi yang akan
bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, spritual dan humanisme;

Kata Kunci : Pluralisme,Tasāmuh, Pendidikan Islam Inklusif

ABSTRAK
[Artikel ini bertujuan membahas secara komprehensif konsep toleransi
dalam Islam kemudian menjelaskan bahwa konsep dapat diterapkan
secara operasional di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah,
pondok pesantren, dan perguruan tinggi. Metode dan pendekatan yang
digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah filsafat (fenomenologi)
dan pendidikan sosiologi, salah satunya adalah teori inklusivisme Mircea
Eliade. Dalam Islam, pemikiran yang berbeda, suku, dan bahkan agama
mengacu pada fitrah dan sunnatullah dari kehendak Tuhan. Untuk
alasan ini, maka, tasāmuh (toleransi) menjadi doktrin penting dalam
setiap risalah agama, termasuk dalam sistem pendidikan Islam yaitu; 1)
responsif terhadap modernisasi yang telah ada di lembaga sekolah
umum di bawah Departemen Pendidikan;
Adeng Muchtar Ghazali

masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya; 3) menerapkan model untuk


memperkuat sistem inklusif Islam pendidikan yang dibuka, dialogis, dan berpusat pada
siswa; 4) sumber daya manusia yang kuat dan dengan toleransi yang tinggi akan
bertindak untuk menciptakan dan mengembangkan budaya baru pada nilai-nilai agama,
nilai-nilai dan humanisme; 5) mengembangkan jaringan dan perusahaan baik nasional
maupun internasional untuk memperluas akses informasi, pendanaan, dan dukungan
internasional lainnya].

Kata Kunci: Pluralisme, Tasāmuh, Pendidikan Islam Inklusif

PENGANTAR
Akhir-akhir ini fenomena yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah menghadapi tantangan besar akibat aksi intoleransi (nirtoleran).
Bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang beradab, religius, dan berkualitas dalam
persatuan serta berkarakter toleran yang tinggi dan kuat, perlahan-lahan tergerus
oleh berbagai peristiwa nasional dan lokal dari, kasus pengeboman oleh kelompok
teroris yang selalu mengatasnamakan “agama”. perjuangan” (jihad) hingga
perjuangan antar pelajar atau warga. Hal tersebut menjadi perhatian serius Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, yang belakangan terungkap saat membukanya
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas)pada tanggal 28
April 2011 di Wisma Bidakara Jakarta Selatan. Presiden mengatakan bahwa
“gangguan keamanan akibat terorisme, konflik horizontal, dan gerakan radikal
bermotif agama telah menjadi ancaman serius. Oleh karena itu, warga diajak untuk
bertanggung jawab menyelamatkan karakter bangsa khususnya generasi muda”.
Lebih lanjut Presiden menyatakan bahwa “pencegahan gangguan keamanan tidak
dapat diserahkan kepada Polri dan aparat keamanan. Bupati dan walikota juga harus
berperan aktif mencermati anomali di masyarakat”. (Pikiran Rakyat, 2011, hlm. 1).

Disadari bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang tidak


dapat dihindarkan dari kenyataan. Keberagaman ini diakui dalam konstitusi yang
menjamin semua pemeluk agama yang berbeda menjalankan ajarannya berdasarkan
keyakinannya. Namun, keragaman pemeluk agama dan budaya dapat berpotensi
menimbulkan konflik yang berujung pada bencana. Sebagaimana dalam realitas sosial,
kemajemukan agama ini terkadang menjadi masalah dimana di satu sisi agama dianggap
sebagai hak pribadi yang otonom, di sisi lain hak ini memiliki implikasi sosial yang
kompleks dalam kehidupan masyarakat. Setiap pemeluk agama meyakini bahwa ajaran
dan nilai-nilainya harus diwartakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.klaim
kebenaran). Dalam konteks ini, agama seringkali menjadi potensi konflik di masyarakat.
Berdasarkan fakta empiris-historis tersebut, pluralitas agama tidak mungkin bisa
dihindari. Nurcholis Madjid berusaha mengingatkan bahwa sistem nilai plural adalah
aturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak dapat diubah,

82 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

melawan, dan menyangkal. Mereka yang berusaha mengingkari hukum keragaman budaya akan
menimbulkan fenomena konflik yang terus menerus (Madjid, 1995, hlm. 47).
Berdasarkan pluralitas agama, masalah besar dalam kehidupan beragama
belakangan ini adalah bagaimana suatu teologi tertentu dapat mendefinisikan
dirinya di antara agama-agama lain. Pemahaman tentang pluralitas agama semakin
berkembang. Ini mengarah pada perkembangan ideologi yang dikenal sebagai
teologia religium, yakni sebuah ideologi yang menekankan pada pentingnya
memahami teologi dalam konteks agama di era ini (Kartika dan Mahendra, ed., 1999,
hlm. 129-130) tetapi pada saat yang sama tetap mempertahankan iman dan
kebenarannya. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan agama merupakan suatu hal
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, bahkan tidak dapat diubah. Agama tidak seperti
rumah atau pakaian yang bisa berubah sewaktu-waktu. Jika seseorang memiliki iman
tertentu, maka imannya tidak akan lepas darinya. Ia akan terlibat dengan keyakinan
agamanya (Rasyidi, 1968). Dengan demikian, pemahaman tentang pluralitas tidak
selalu berkaitan dengan masalah teologi atau keyakinan tetapi hanya memberi
tempat dan pengakuan bagi keberadaan agama lain. Pandangan pluralisme tidak
mengacu pada kebenaran dalam agama lain. Memang, Itu pasti tidak membahas
tentang itu. Lebih-lebih lagi,
Dalam konteks kehidupan pluralitas agama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
untuk melestarikan keragaman keyakinan agama dalam konteks kerukunan, diperlukan
suasana saling pengertian dan saling menghormati di antara semua pemeluk agama yang
berbeda. Salah satu cara untuk memiliki itu semua adalah dengan doktrin tentang agama dan
prinsip-prinsip keyakinan yang berbeda. Setiap agama, khususnya Islam, telah memiliki prinsip-
prinsip dasar tersebut. Toleransi beragama ini tidak hanya mengacu pada norma-norma yang
ada pada masing-masing agama tetapi juga bersumber dari pengalaman pribadi para pemeluk
agama baik secara langsung maupun tidak langsung dari fenomena keagamaan.
Artikel ini bertujuan untuk menggali konsep toleransi dalam Islam yang
kemudian dipikirkan sedemikian rupa sehingga konsep tersebut dapat diterapkan
secara operasional di lembaga pendidikan Islam sepertipesantren, madrasah,
pesantren dan perguruan tinggi serta Universitas Islam. Metode dan pendekatan
yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah filsafat fenomenologis
dan sosiologi pendidikan, salah satunya adalah teori inklusivisme Mircea Eliade.
Secara fenomenologis, pluralisme agama mengacu pada fakta bahwa sejarah
agama menunjukkan tradisi pluralitas yang memiliki varian pada masing-masing tradisi.
Sedangkan secara filosofis, pluralisme agama mengacu pada teori tertentu tentang
hubungan antara berbagai tradisi tersebut. Teori tersebut berkaitan dengan hubungan
antar agama di dunia yang menunjukkan konsepsi, persepsi, dan respon terhadap satu-
satunyapamungkas, sebuah misteri penuh dari realitas Tuhan. Selain itu, teori semacam
itu didekati setidaknya dengan dua metode utama, eksklusivisme dan inklusivisme (Eliade,
1987, hlm. 331). Dengan kata lain, pluralisme tidak dapat dipahami dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita majemuk atau beragam yang

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 83


Adeng Muchtar Ghazali

memiliki berbagai suku dan agama. Ini tentu saja melahirkan citra fragmentasi, bukan
pluralisme. Apalagi pluralisme tidak bisa diwujudkan sebagai kebaikan negatif yang hanya
dilihat dari fungsinya untuk menghilangkan fanatisme. Namun, pluralisme harus
dipahami sebagai “hubungan murni keragaman dalam ikatan yang halus.” Padahal,
pluralisme menjadi suatu keharusan bagi keselamatan manusia, terutama melalui
mekanisme pengawasan dan penyeimbangan (Rahman, 2001, hlm. 31).

DISKUSI
Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris “tolerance” atau dalam bahasa latin “
toleransi”. Dalam bahasa Arab artinyatasāmuhatautasāhulcara;untuk mengabaikan,
alasan, untuk mentolerir, untuk memanjakan, toleran, sabar, toleran, penyayang.kata
tasâmah;memiliki artihilmdantasāhul;berartikemurahan hati, toleransi, toleransi,
kesabaran, kemurahan hati, kemurahan hati, kemurahan hati, kemurahan hatidan
kebaikan(Baalbaki & Al-Mawrid, 2004, hal. 314). Terkait dengan agama lain, secara historis,
istilah toleransi disebut juga “toleransi”, yang pertama kali dianalisis oleh John Locke
(1963) dalam konteks relasi gereja dan bangsa di Inggris. Toleransi di sini mengacu pada
kesediaan untuk tidak mencampuri keyakinan, sikap, dan tindakan seseorang meskipun ia
tidak disukai oleh orang lain. Bangsa tidak dapat diikutsertakan dalam urusan agama
seseorang dan tidak dapat ditangani oleh kelompok agama tertentu (Mujani, [nd], hlm.
159). Sedangkan istilah “harmoni” dalamKamus Besar Bahasa Indonesia diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, didefinisikan sebagai “hidup bersama dalam
masyarakat dengan hati yang bersatu dan sepakat untuk tidak menimbulkan konflik”.
Harmoni adalah istilah yang mengandung arti “baik” dan “damai”. Intinya hidup bersama
dalam masyarakat dengan satu hati dan kesepakatan dengan menghindari konflik
(Depdikbud, 1985, hlm. 850). Jika definisi ini menjadi acuan, “harmoni” akan menjadi
sesuatu yang ideal dan didambakan oleh manusia.
Dalam Islam, istilahtasāmuhpada dasarnya tidak sama artinya dengan katatoleransi,
karenatasāmuhmemiliki arti memberi dan menerima.Tasāmuh termasuk memberi tindakan dan
tuntutan dalam batasan tertentu.Tasāmuhmengandung harapan di satu sisi untuk memberi
dan menerima sekaligus. subjek melakukantasāmuhdalam islam yaitumutasāmihīn, yang
berarti “pemaaf, pengambil, pemberi, pemberi sebagai tuan rumah bagi tamu”. Dalam
pelaksanaannya, orang yang melakukantasāmuhtidak hanya melakukan memberi yang akan
mendorong hak dan kewajibannya. Dengan kata lain,tasāmuhSikap dalam kehidupan beragama
memiliki pengertian tidak mendobrak batas, terutama yang berkaitan dengan batas keimanan (
aqidah). Meskipuntasāmuhmemiliki arti yang disebutkan di atas, dalam banyak konteks, kata ini
sering disamakan dengan toleransi. Al-Qur'an tidak pernah menyebutkan katatasāmuh/
toleransi dalam surat dan ayatnya. Namun, Al-Qur'an menjelaskan secara eksplisit konsep
toleransi dengan segala batasannya. Sehingga dalam implementasinya, ayat-ayat yang
berkaitan dengan konsep toleransi dapat menjadi acuan bagi kehidupan kita.

84 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

Dalam kamus bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadarminta, kata toleransi
menunjukkan arti “tulus (menyukai semua orang, membiarkan setiap orang berpendapat atau
berpendapat lain, tidak mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan)” (WJS
Poerwadarminta, 1996, hal. 4010). Dalam konteks ini, toleransi dapat dirumuskan sebagai salah
satu sikap keterbukaan untuk mendengarkan pandangan yang berbeda yang berfungsi dua
cara, yaitu memberi pendapat dan mengambil pendapat lain dan tidak mengganggu keyakinan
orang lain dalam ruang lingkup kesepakatan.
Pengertian toleransi di atas memiliki arti yang sama dengan kata toleransi dalam
buku UNESCO-APNIEVE untuk pendidikan guru dan pendidikan tinggi di mana “toleransi
adalah suatu penghormatan, pemberian, penghargaan atas keragaman yang kaya untuk
budaya kita, ekspresi kita, dan cara hidup kita. sebagai manusia”. Pengertian tersebut
mengandung makna bahwa diperlukan pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, kehati-
hatian, dan sifat amanah untuk mewujudkan dan memelihara toleransi. Oleh karena itu,
toleransi adalah “keharmonisan dalam perbedaan” yang tidak hanya menuntut kewajiban
moral tetapi juga syarat politik dan hukum (UNESCO-APNIEVE dan UPI, 2000, hlm. 154).

Dalam kaitannya dengan tindakan politik dan hukum, toleransi menuntut tindakan
yang adil dan tidak memihak, pembentukan hukum, proses pengadilan dan administrasi.
Ekskomunikasi dan marginalisasi dapat menyebabkan frustrasi, permusuhan, dan
fantisme. Untuk membuat masyarakat memiliki sikap dan tindakan yang toleran, UNESCO
menyarankan agar setiap negara meratifikasi konvensi hak asasi manusia internasional
yang ada dan menyusun Undang-undang baru untuk menjamin perlakuan dan
kesempatan yang sama bagi semua kelompok dan individu dalam masyarakat (UNESCO-
APNIEVE dan UPI, 2000 , hal.155).
Dalam kehidupan beragama, sikap toleran menjadi salah satu syarat utama
bagi setiap individu yang ingin hidup bersama secara aman dan saling menghormati.
Dengan demikian diharapkan dapat terwujud interaksi dan pemahaman yang baik
dalam masyarakat beragama mengenai batasan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan
kepercayaan. Namun demikian, implementasinya tidak sesederhana itu meskipun
penjelasan definisi toleransi telah memuat rumusan penghargaan terhadap
keberadaan orang lain. Masih banyak masalah pendekatan yang harus diterapkan
dalam menciptakan masyarakat yang harmonis terutama yang berkaitan dengan
masalah perbedaan agama dan keyakinan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa toleransi ini mengarah pada sikap keterbukaan dan kesediaan untuk
mengakui keragaman suku, kulit, bahasa,
Secara sosiologis, doktrin Islam terkait toleransi sesuai dengan realitas
eksistensi pluralitas agama. Iman yang berbeda adalah realitas sosial yang
tidak dapat disangkal. Pengakuan pluralitas agama secara sosiologis
menjadi pengakuan toleransi yang lebih sederhana tetapi pengakuan ini

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 85


Adeng Muchtar Ghazali

tidak memuat pengakuan terhadap kebenaran teologi agama lain


(QS, 2: 251).
Schumann (2006, p. 84) menyebutkan bahwa ada lima dimensi
toleransi antar pemeluk agama yang saling berkaitan, yaitu; 1) dimensi
praksis sosial, yaitu keterbukaan untuk menerima secara empatik
keberadaan dan aktivitas pemeluk agama lain dalam segala aspek
kehidupan yang berpedoman pada doktrin-doktrin etika-moral di masing-
masing agama; 2) dimensi ritual keagamaan, yaitu keterbukaan untuk
menerima secara empatik cara dan metode ekspresi ritual simbolik dalam
kehidupan beragama dari pemeluk agama lain; 3) dimensi doktrinal,
keterbukaan untuk memahami secara empatik pernyataan-pernyataan dan
doktrin/aqidahklaim yang diyakini oleh pemeluk agama lain yang bersumber
dari kitab suci dan tradisi keagamaan yang semakin diaktualisasikan dan
dikembangkan menjadi; (a) ziarah dimensi kehidupan beragama.
Keterbukaan untuk saling mengakui bahwa setiap pemeluk agama sedang
melakukan ibadah haji atau kehidupan beragama, dimulai dari generasi
utama masing-masing agama berdasarkan sejarah konteks sosialnya dan
dilanjutkan oleh masing-masing pemeluk agama kontemporer secara kreatif
dan dinamis berdasarkan konteks sosialnya; (b) dimensi spiritualitas dan
religiositas. Setiap bagian dalam hubungan antarumat beragama dituntut
untuk bertemu secara dekat dan mesra dengan Realitas transenden, yakni
realitas spiritual,
Selain beberapa masalah yang menyebabkan ketidakharmonisan antar
pemeluk agama, faktor lain yang menjadi penghambat toleransi berasal dari internal
pemeluk agama yang mempengaruhi komunikasi antar pemeluknya. Faktor-faktor
tersebut dijelaskan sebagai berikut;
1. Pemahaman agama. Masalah agama yang muncul sebagian besar terletak pada
masalah penafsiran atau pemahaman dan tidak didasarkan pada kebenaran agama
atau wahyu Tuhan itu sendiri (Andito, 1998, hlm. 58). Dengan demikian, kerukunan
umat beragama termasuk dialog antarumat beragama harus menjadi wacana
sosiologis dengan menempatkan doktrin-doktrin agama sebagai dasar pembangunan
kemanusiaan yang berharga. Menurut Ninian Smart, peningkatan pengetahuan atau
pemahaman akan melemahkan permusuhan dan dalam tahap ini berarti
meningkatkan kesepakatan (Permata, 2000, hlm. 151);
2. Klaim kebenaran. Setiap agama telah memiliki kebenaran. Keyakinan akan kebenaran
ini didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Secara sosiologis,
klaim kebenaran diubah menjadi simbol agama yang dipahami subjektif secara pribadi
oleh masing-masing pemeluk agama. Tampaknya, setiap orang sulit melepaskan
bingkai subjektivitas ketika keyakinan pribadi dihadapkan pada keyakinan lain yang
berbeda. meskipun wajar, tidak mungkin setiap orang bisa menaruh dua hal yang
bertolak belakang di dalam hatinya. Oleh karena itu, setiap

86 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

Pemeluk agama tidak bisa memaksakan inklusivismenya kepada yang lain yang
dianggap eksklusif bagi kita.
3. Standar ganda. Hugh Godard, sebagaimana dikutip Rahman (2001, hlm. 34),
seorang Kristen dan pakar teologi Islam di Nottingham University, Inggris,
mencontohkan bahwa “hubungan antara Kristen dan Islam yang berkembang
menjadi salah paham, ternyata justru menciptakan situasi ancaman di antara
mereka adalah kondisi standar ganda. Baik Kristen maupun Islam selalu
menerapkan standar yang berbeda untuk diri mereka sendiri sedangkan mereka
menggunakan standar lain yang lebih realistis dan historis terhadap agama lain.
Misalnya, dalam masalah teologi, ada standar yang menciptakan masalah klaim
kebenaran: “Agama kita adalah yang paling benar karena berasal dari Tuhan
tetapi agama lain hanyalah ciptaan manusia. Mereka mungkin berasal dari Tuhan
tetapi harus dirusak dan dipalsukan oleh manusia”. Dalam sejarah, Standar ganda
ini biasanya digunakan untuk menilai agama lain dalam derajat keabsahan teologi
di bawah agamanya. Melalui standar ganda ini, kita dapat melihat beberapa
munculnya prasangka-prasangka teologis yang dapat mengganggu hubungan
antar pemeluk agama.
4. Melebih-lebihkan perbedaan. Saat ini, tantangan agama menjadi
kendala sekaligus penghambat terciptanya suasana kerukunan dan
dialog antar pemeluk agama. Dalam melihat dan memahami
perkembangan kehidupan pluralitas agama saat ini, umumnya
dipersepsikan berbeda dari pada umumnya. Namun kecenderungan
untuk mempersepsikan pandangan tersebut tidak dapat disalahkan
karena setiap pemeluk agama selalu ingin mencari, memegang, dan
mempertahankan kebenarannya berdasarkan ilmu dan tradisinya.
Sikap demikian sangat baik sepanjang tidak menimbulkan situasi
sosial yang merusak (Andito, 1998, hlm. 97). Secara empiris tidak
mungkin kita mengidealkan kemunculan kebenaran yang satu-
satunya dengan hanya satu format dan bungkus kemudian ditangkap
oleh manusia dengan pemahaman dan keyakinan yang sama dan
satu-satunya. Dengan demikian,

Toleransi dalam Perspektif Islam


Islam memandang bahwa perbedaan-perbedaan tersebut di atas adalahfitrah
dan sunnatullahatau sudah menjadi kehendak Tuhan. Landasan teori ini didasarkan
pada perintah Allah SWT (QS, 49:13). Sebagai kehendak Tuhan, perbedaan dan
pluralitas ini harus diterima oleh semua manusia. Penerimaan tersebut harus
diapresiasi dengan baik dengan ikhlas mengikuti petunjuk Tuhan. Mereka yang tidak
bisa menerima pluralitas berarti mengingkari kehendak Tuhan. Untuk bacaan ini,
toleransi menjadi doktrin penting dalam setiap agama, termasuk sistem teologi
Islam. Menurut Ismail R Faruqi dalam bukunya yang diedit oleh Altaf Gauhar

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 87


Adeng Muchtar Ghazali

(1983, hlm. 120-121), dikatakan bahwa Islam memiliki norma-norma yang dimiliki untuk
berdialog langsung dengan agama-agama lain. Dialog ini tidak hanya untuk mengubah
informasi, upacara atau kesopanan tetapi juga harus memiliki norma agama yang dapat
mendamaikan berbagai perbedaan antar agama. Menurutnya, Islam menemukan norma
ini dalamdn al-fitrah. Berdasarkan norma dasar ini, Islam memiliki teori yang kuat dengan
Yahudi dan Kristen yang tidak dianggap sebagai “agama lain” tetapi menjadi bagian dari
dirinya sendiri. Kesatuan agama Ibrahim: Yahudi, Kristen dan Islam didasarkan pada
konsep hanifi,dn al-fitrah, yang merupakan kemungkinan nyata. Yusuf Al-Qaradlawi (1997,
hlm. 274) menyatakan bahwa Islam mengajarkan dialog ketika ada perbedaan pendapat
dan faktanya perbedaan pendapat adalah Sunnatullahyang telah ditetapkan untuk semua
makhluk-Nya. Islam tidak hanya mengajarkan dialog tetapi juga memberikan norma dan
etika dalam berdialog dengan menggunakan cara-cara yang baik yang sejalan dengan
prinsipdakwahmetode (QS, 16: 125).
Menurut Azyumardi Azra, ada dua hal yang berkaitan dengan pandangan
teologi Islam tentang kehidupan yang harmonis antar umat beragama dan
akibatnya antar pemeluk agama. Pertama, doktrin Islam tentang hubungan
antar manusia dan hubungan antara Islam dengan agama lain; kedua,
pengalaman historis manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan agama
lain yang dianut oleh manusia (2006, hlm. 92). Secara doktrinal, Islam pada
hakikatnya memandang manusia dan kemanusiaan dengan sangat positif dan
optimis. Berdasarkan Islam, manusia berasal dari sumber yang sama, yaitu
keturunan Adam dan Hawa. Dari akar inilah manusia berkembang menjadi suku-
suku, bangsa-bangsa yang dilengkapi dengan budaya dan peradabannya yang
khas. Perbedaan ini mendorong manusia untuk saling mengenal dan
menumbuhkan rasa saling menghargai serta menghormati. Dalam perspektif
Islam,takwa tingkat. (QS, 49:13). Hal ini menjadi dasar pandangan Islam bagi
“kesatuan manusia”, yang mendorong tumbuhnya solidaritas antar manusia (
ukhuwwah insāniyyah atauukhuwwah basyariyahdanukhuwah wathaniyah).
Ukhuwah insāniyahberkaitan dengan persaudaraan manusia secara universal
tanpa membedakan suku, ras, bangsa, dan agama serta aspek khusus lainnya;
sedangkanukhuwah wathaniya mengacu pada persaudaraan yang dibatasi oleh
nasionalisme tanpa membedakan agama, ras, tradisi, dan aspek khusus lainnya
(Wahyudin dkk, [nd]., hlm. 93).
Konsep daritasāmuhatau toleransi dalam keragaman kehidupan pada
dasarnya merupakan salah satu sikap dan perilaku utama penerimaan terhadap
kehendak Tuhan. Toleransi beragama bukan berarti bebas untuk menganut satu
agama tertentu untuk hari ini dan berpindah ke agama lain di kemudian hari. Ini
tidak berarti juga memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai praktik dan
ritual keagamaan tanpa mengikuti aturan. Namun harus dipahami sebagai
bentuk penerimaan terhadap keberadaan agama lain selain agamanya

88 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

dengan segala bentuk sistem dan cara beribadah; dan juga memberikan kebebasan untuk menjalankan
keyakinannya tanpa konflik dalam kehidupan sosial karena perbedaan keyakinan.
Definisi daritasāmuhatau toleransi dalam kehidupan beragama yang ditawarkan
Islam begitu sederhana dan rasional. Islam mewajibkan pemeluknya untuk membangun
batas yang tegas dalamaqidahdan keyakinan serta menjaga prinsip penghargaan
terhadap keberadaan pemeluk agama lain dan menghormati hak-hak mereka sebagai
individu dan bagian dari masyarakat. Batas yang tegas dalam aqidah atau keimanan ini
menunjukkan upaya Islam untuk menjaga seluruh pemeluknya agar tidak terjebak dalam
sinkretisme (Hamka, 1983, hlm. 264). Dalam ayat terakhir dariSurat al-Kāfirn, itu
menyatakan ketegasan bahwa sikap toleransi memiliki batas-batas terutama dalam
hubungan aqidah. Ajaran Islam secara tegas melarang pemeluknya bertindak seperti
pemeluk agama lain (QS. Al-Hadd:16). Pada saat yang sama, Islam menyatakan untuk
menghormati dan menganggap perbedaan agama sebagai individu dengan segala hak
dan kewajiban yang harus dihargai. Islam melarang pemeluknya memarahi orang lain,
melarang segala bentuk sikap yang dapat merusak kebersamaan hidup bermasyarakat
(QS. Al-Hujurât:12).
Beberapa ayat Al-Quran dapat dijadikan sumber sebagai prinsip dasar
toleransi (tasāmuh). Selain ayat tersebut di atas, ada beberapa ayat lain yang
menunjukkan toleransi, antara lain QS. An-Nahl: 125, Ali-Imrân: 19, Yunus: 99, Al-
Mumtahanah: 8-9, dan Al-Kahfi: 29. Hal terpenting dalam memahami kewajiban
toleransi dalam kehidupan beragama ini adalah dengan mengikuti sikap dan
perilaku. Nabi Muhammad Saw sepanjang hidupnya. Ada beberapa sunnah yang
berkaitan dengan perintahnya kepada umatnya agar menjaga sikap dan perilakunya
agar tidak melanggar batas-batas kemanusiaan meskipun berbeda keyakinan.
Kesepakatan antara Nabi Muhammad SAW dengan umat Kristen di Gunung Sinai
merupakan salah satu contoh sikap toleransi yang mengakui adanya pluralitas
agama di masyarakat (Rahman, 2010). Contoh lain toleransi Islam yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW adalah ketikafath Makkahditaklukkan oleh umat Islam
pada bulan Ramadhan. Butuh 21 tahun untuk membebaskan Mekah darimusyrikn
wewenang. Saat umat Islam merayakan euforianya, ada sekelompok kecil sahabat
nabi yang melakukan pawai dengan meneriakkan slogan.al-yaum yaum almarhamah.
Slogan ini dimaksudkan sebagai balas dendam atas kekejaman musyrikin terhadap
umat Islam sebelumnya. Kejadian tersebut langsung diantisipasi oleh Nabi
Muhammad dengan melarang slogan tersebut dan mengubahnya menjadi,al-yaum
yaum almarhamah, dengan demikian, kemerdekaan Mekkah dapat terwujud tanpa
adanya insiden kekerasan. Hal ini juga didukung oleh Said Aqiel Siradj bahwa “Islam
adalah keimanan yang terbuka dan inklusif. Bukan ideologi politik yang intoleran dan
tidak memaksa manusia menjadi penganutnya” (Republika, 14 April 2007).

Jika toleransi dalam kehidupan beragama yang diajarkan Islam kepada pemeluknya dilaksanakan
dengan tepat, maka akan melahirkan Islam yang inklusif, berpikiran terbuka, dan bersahabat.

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 89


Adeng Muchtar Ghazali

yang dilengkapi dengan benarnubuwwahmisi; Islamrahmatan lil 'alamin(QS. Al-


Anbiya: 107). Jika sikap toleran ini diajarkan dan diterapkan dengan baik, maka akan
menyadarkan masyarakat bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama tertentu
(QS. Al-Baqarah: 256), apalagi tindakan yang mengancam keselamatan seseorang
tidak akan terjadi. Serupa dengan aspek tidak adanya paksaan dalam beragama, TW
Arnold dalam bukunyadakwah islam(1993, hal. 279-280) menyatakan bahwa
“pemaksaan bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam konversi agama, seperti
yang ditunjukkan oleh hubungan yang baik antara Kristen dan Muslim Arab. Nabi
Muhammad SAW sendiri melakukan beberapa kesepakatan kepada orang-orang
Kristen dengan menjanjikan perlindungan kepada mereka dan menjamin kebebasan
mereka untuk beribadah, selanjutnya kepada Gereja, Nabi berjanji tidak akan
mengganggu hak dan wewenang keberadaan mereka”. Dengan kata lain, toleransi
atautasāmuhadalah salah satu doktrin utama yang setara dengan doktrin lain seperti
kasih sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kesejahteraan universal (maslahat al-
ummah), keadilan (adl). Beberapa dari doktrin utama dalam Islam adalah sesuatu
yang disebut qath'iyyātdiushul al-fiqhartinya tidak dapat dibatalkan dengan alasan
apapun, dan kulliyyāt, yang bersifat universal, melewati ruang dan waktu (shālih li
kulli zamān wa makān). Singkatnya, prinsip-prinsip utama Islam memiliki karakter
trans-historis, transideologi, dan trans-iman-agama.
Islam dengan toleransi ini secara berkesinambungan menjadi manifestasi
nilai-nilai Islam universal sebagai agama bagi seluruh umat manusia.Tasāmuhyang
diajarkan oleh Islam tidak akan merusak misi suciaqidah, namun menjadi penegasan
kepribadian muslim di tengah kehidupan pluralitas agama. Oleh karena itu, Islam di
satu sisi dapat dikatakan lebih menghargai individu yang bertanggung jawab secara
sosial tanpa meninggalkan nilai-nilai primordialnya sebagai seorang muslim. Jika inti
ajaran agama bukanlah bersekutu dengan Allah Swt, beramal shaleh, beriman pada
hari kiamat, maka sikap toleransi merupakan salah satu misi yang terkandung dalam
inti kebaikan tersebut. Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur'an yang menghubungkan
antara iman dan kebaikan, antara lain: “Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan saling
menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati. kesabaran” (QS. Al-„Ashr: 1-3).

Nurcholis Madjid berkomentar tentang pentingnya toleransi sebagai realisasi


Islamrahmatan lil 'alamindalam jurnalUlumul Qur'an(1993, hal. 16) yang menyatakan
bahwa pandangan inklusivitas diperlukan untuk saat ini karena perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi telah membawa manusia untuk hidup di desa
global. Di desa global itu, seperti yang telah disebutkan, manusia akan lebih akrab
dalam mengenal satu sama lain tetapi juga akan lebih mudah untuk menghadapi
konfrontasi langsung. Untuk itu diperlukan sikap saling pengertian dengan mencari
titik kesamaan ataukalimatun sawa'seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-
Qur'an. Tegasnya, Al-Qur'an melarang

90 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

pemaksaan agama tertentu kepada orang atau masyarakat lain meskipun agama itu
memiliki kebenaran karena hanya Allah yang pada akhirnya akan membimbing seseorang
secara pribadi. Meski demikian, demi kebahagiaannya, manusia harus terbuka terhadap
setiap doktrin atau pandangan, kemudian rela memilih yang terbaik.
Asas toleransi yang diwujudkan dalam bentuk kerukunan hidup, dapat dilihat
dalam beberapa konteks: pertama, persaudaraan kemanusiaan universal, yakni semua
manusia berada dalam satu keturunan. Kedua, Islam mengajarkan bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). dalam fnyaitrah, setiap orang dikaruniai potensi
dan kecenderungan untuk mencari, mempertimbangkan, dan memahami kebenaran yang
pada akhirnya membuatnya mampu mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran. Potensi
dan kecenderungan ini disebuthanīf(QS. Ar-Rm: 30). Berdasarkan prinsip ini, Islam
menyatakan bahwa setiap manusia adalahhomo agama.
Islam mewajibkan pemeluknya untuk menyampaikan risalah Islam melalui
dakwahyaitu panggilan kebenaran yang membuat manusia dapat mencapai
keselamatan baik di dunia maupun di akhirat (QS. An-Nahl: 125, Al-Hajj: 67 & As-
Sajdah: 33). Karena dakwah adalah “panggilan”, maka ia tidak dapat melibatkan
pemaksaan –lā ikrāha fi al-dn(QS. Al-Baqarah: 256). Jelas, Islam mengakui hak hidup
agama lain; dan membenarkan pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran
agamanya. Ini menjadi doktrin dasar Islam untuk toleransi beragama (Sairin, 2006,
hlm. 94). Selain itu, Islam jelas mengajarkan toleransi yang mengacu pada Al-Quran,
toleransi adalahal-samhahberarti mudah berdasarkan kemudahan. Sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur'an bahwa "Allah telah memilih Anda dan tidak membebani
Anda dalam agama apapun kesulitan, itu adalah agama ayahmu Ibrahim. (QS. Al-Hajj:
78).
Dalam konteks pendidikan, prinsip-prinsip toleransi yang memiliki akar teologi
yang sangat kuat dapat ditransformasikan kepada peserta didik secara menyeluruh
di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat yang pada akhirnya mereka dapat
menerapkan sikap toleransi. Pendidikan adalah alat yang paling tepat untuk dihindari
nirtoleransi(UNESCO-APNIEVE & UPI, 2000, hal. 156). Alasannya karena pendidikan
mengajarkan manusia tentang hak dan kebebasannya untuk saling menghormati
dan melindungi. Oleh karena itu, pendidikan kerukunan dan toleransi harus
dipandang sebagai doktrin impertif yang mendesak. Untuk itu diperlukan metode
dan materi pembelajaran kerukunan dan toleransi yang sistematis dan rasional agar
nilai-nilai kerukunan dan toleransi antar umat beragama tidak didasarkan pada
tindakan untuk kepentingan “stabilitas keamanan” tetapi lebih dari itu; tindakan
kerukunan dan toleransi harus dilandasi kesadaran beragama. Penguatan
internalisasi sikap toleran pada peserta didik akan menghasilkan sikap toleran,
damai, danrahmatan lil 'alaminwarga.

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 91


Adeng Muchtar Ghazali

Implementasi Toleransi dalam Pendidikan Islam


Beberapa nilai dasar kehidupan kerukunan antarumat beragama, sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, bersinergi dengan prinsip-prinsip dasar pendidikan
Islam, yaitu prinsip keterbukaan, kasih sayang, kerukunan, dan intergritas (Kodir, 1993,
hlm. 154). Prinsip-prinsip dasar Islam ini merupakan gagasan utama yang lahir dari
pemaknaan manusia dalam perspektif Islam yang berimplikasi pada tindakan pendidikan
praktis. Tugas besar selanjutnya adalah bagaimana umat Islam Indonesia memiliki sikap
toleransi beragama yang dapat membangun peradaban yang unggul dan modern dengan
penuh kedamaian tanpa kehilangan akar budaya dan ciri khas budayanya.

Sistem pendidikan Islam dikembangkan dengan menerapkan pemahaman Islam


moderat secara konseptual agar peserta didik memiliki karakter toleransi yang kuat.
Dengan memahami pluralitas masyarakat dalam realitasnya, maka konsep pendidikan
yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan Islam adalah pemahaman, semangat,
dan manajemen yang mampu mengakomodasi perbedaan dan keragaman tanpa
mengorbankan agama keyakinan masing-masing individu.
Syamsul Maarif dalam tulisannya yang berjudul “Islam dan Pendidikan Pluralisme,
Menanti Wajah Islam Toleran melalui Kurikulum PAI berbasis Kemajemukan”, sebuah
makalah yang ditulis dalamKonferensi TahunanKajian Agama Islam, Lembang Bandung,
26-30 November 2006, menyatakan bahwa “Pendidikan agama Islam tidak dapat hanya
dipahami sebagai “ajaran agama” atau parameter keberhasilan pendidikan agama tidak
cukup untuk mengukurnya hanya berdasarkan bagaimana peserta didik dapat
memperoleh hal-hal kognitif. atau hanya pengetahuan doktrin agama atau ritus
keagamaan. Selain itu, penilaian diberikan melalui angka berdasarkan bagaimana siswa
dapat memperoleh materi dari buku pegangan. Namun, yang lebih penting adalah
seberapa dalam nilai-nilai agama dapat diterapkan dalam jiwa mereka dan seberapa
dalam nilai-nilai itu dapat diwujudkan dalam sikap dan perilaku siswa dalam rutinitas
sehari-hari. Wujud nyata dari nilai-nilai tersebut dalam sikap dan perilaku sehari-hari akan
melahirkan perilaku yang baik.al-akhlāk al-karmah). Dengan demikian, pendidikan agama
adalah pendidikan agama untuk pertumbuhan manusia seutuhnya. Hal ini juga didukung
oleh Seyyed Hossein Nasr bahwa pendidikan Islam harus memperhatikan semua manusia
untuk dididik. Tujuannya tidak hanya untuk melatih pikiran tetapi juga untuk melatih
segala bentuk pribadi. Oleh karena itu pendidikan Agama Islam tidak hanya
menyampaikan ilmu (al-ta'līm) tetapi juga untuk melatih seluruh diri siswa (al-tarbiyyah).
guru berfungsi sebagaimu'allim, konveyor pengetahuan dan sebagaimurabbi, jiwa dan
pelatih pribadi.
Pada kenyataannya, ini bukan upaya sederhana tetapi merupakan aktivitas yang
dinamis dan penuh tantangan. Dalam prosesnya, pendidikan akan selalu berubah sesuai
dengan perubahan zaman. Setiap saat, pendidikan selalu menjadi pusat perhatian dan
seringkali menjadi sasaran ketidakpuasan karena berkaitan dengan kepentingan semua orang.
Ini tidak hanya menyangkut investasi dan kondisi kehidupan masa depan tetapi juga itu

92 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

melibatkan kondisi terkini. Oleh karena itu pendidikan selalu memerlukan upaya
peningkatan dan peningkatan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kehidupan
masyarakat yang semakin tinggi (Fattah, 2004, hlm. 1). Sebagai lembaga pendidikan,
sekolah menjadi salah satu tempat berlangsungnya proses pendidikan. Sekolah memiliki
sistem yang kompleks dan dinamis. Tidak hanya sebagai tempat berkumpulnya guru dan
siswa tetapi juga ada dalam sistem yang lengkap dan terkait. Sekolah dipandang sebagai
organisasi yang membutuhkan manajemen. Selain itu, kegiatan utama organisasi sekolah
adalah dengan mengelola sumber daya manusia yang diharapkan menghasilkan lulusan
yang berkualitas sesuai dengan tuntutan masyarakat dan lulusan sekolah juga diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional (Fattah, 2004, hlm. 2).

Lembaga pendidikan Islam harus mampu membawa peserta didiknya pada


pemahaman agama yang moderat. Selama pemahaman agama berada di ujung yang
ekstrim, pendidikan akan tetap pinggiran dan marjinal. Untuk meningkatkan dan
membentuk karakter warga negara yang mampu menghargai perbedaan tersebut,
diperlukan konsep pendidikan pluralisme dan multikultural. Dalam konteks
masyarakat Indonesia yang majemuk, pemahaman tentang realitas pluralisme
rupanya sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa diabaikan lagi. Karena
penggunaan “paradigma tunggal” dalam menyelesaikan banyak masalah sosial
sudah tidak efektif lagi. Pendidikan Islam Pluralis/Multikulturalis adalah pendidikan
yang mengembangkan karakter yang mampu menghargai pendapat dan kebiasaan
yang berbeda atau bertentangan dengan akidah serta memiliki keluwesan dalam
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan demokrasi perlu dikembangkan sebagai upaya untuk mewujudkan
masyarakat yang lebih demokratis. Pendidikan tersebut akan menghargai hak-hak
individu termasuk kebebasan berpikir, bersatu, berpendapat, dan takut. Upaya-upaya
tersebut sangat diperlukan untuk menciptakan kohesivitas nasional dan komitmen warga
negara dalam membangun negara kesatuan yang demokratis. Pendidikan demokrasi
yang digagas dalam lembaga pendidikan Islam dimaksudkan untuk lebih ditekankan pada
penerapan demokrasi, toleran, terbuka, ikhlas dalam menerima perbedaan, dan
kesediaan untuk mendengarkan dan memberikan pendapat secara elegan dan santun
serta cerdas dan dewasa. Hal ini serupa dengan kondisi masyarakat Indonesia yang
menghadapi krisis sosial yang cukup mengkhawatirkan saat ini.
Ciri-ciri kehidupan modern ditunjukkan dengan perubahan yang semakin cepat dan
kompleks. Oleh karena itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat mengembangkan
kepekaan terhadap perubahan tanpa kehilangan identitas diri dan kreativitas serta
profesionalitas untuk menjawab berbagai tantangan.
Lembaga pendidikan Islam dituntut untuk tanggap terhadap modernisasi
yang telah terjadi di lembaga-lembaga sekolah umum di bawah Kementerian
Pendidikan. Selain itu mengembangkan karakter peka terhadap perubahan melalui
strategi pembelajaran yang tepat dan mengembangkan psikososial anak.

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 93


Adeng Muchtar Ghazali

kondisi sosial, juga memodernisasi fasilitas belajar, lingkungan, dan faktor pendukung
lainnya termasuk keterlibatan orang tua, pemerintah, masyarakat dan pemangku
kepentingan pendidikan lainnya. Dengan demikian, diharapkan lembaga pendidikan Islam
di Indonesia dapat memajukan, mengembangkan, dan menerapkan model pendidikan
dan pembelajaran untuk memperkuat sistem pendidikan Islam inklusif yang terbuka,
dialogis, dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat
melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan tangguh dengan toleransi tinggi
yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan
nilai-nilai agama, spritual dan humanisme.
Selain itu, lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan
korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses informasi,
pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam
tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan fundamentalisme. Jika tidak, dapat
menciptakan kehidupan bersama yang harmonis dan memberikan solusi atas
permasalahan kehidupan yang lebih kompleks (Aan Hasanah, Model Pendidikan Inklusif,
Media Indonesia, Tuan 4, 2010).

KESIMPULAN
Ajaran Islam tentang kerukunan merupakan salah satu aktualisasi daritasāmuh
(toleransi). Karena kerukunan hidup beragama merupakan salah satu bentuk toleransi
yang diajarkan oleh Islam, maka harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk berupa suku, budaya atau agama,
prinsip dan sikap hidup saling menghormati, pengertian, kebersamaan, adil, jujur,
akuntabilitas (tanggung jawab dan kesediaan menerima akibat perbuatannya), integritas
(moral keikhlasan dan perilaku etis) dan kebenaran bahwa manusia sebagai makhluk
beragama di mana setiap orang berhak memilih keyakinan yang berbeda, menjadi prinsip
dasar dalam membangun masyarakat yang bersatu, harmonis, dan beradab. Prinsip-
prinsip kerukunan ini dapat terjalin jika masyarakat memiliki kesadaran terhadap prinsip-
prinsip tersebut. Memang kesadaran seperti itu membutuhkan proses melalui
pengetahuan, pemahaman dan praktik (kebiasaan). Toleransi dan kerukunan dalam Islam
memiliki nilai-nilai kerukunan yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aspek, antara lain:
kesadaran akan keberadaan Allah, hubungan, dan karakter yang menunjukkan
keharmonisan. Kesadaran akan keberadaan Allah menunjukkan keesaan Tuhan (tauhid)
yang menjadi unsur utama dalam membangun kerukunan antarumat beragama; aspek
relasi menunjukkan bahwa Islam mengedepankan kemanusiaan universal; sedangkan
karakter harmonis mengacu pada nilai praktis dan sebagai pengembangan dari aspek-
aspek sebelumnya. Pendidikan Islam harus mampu membawa peserta didiknya pada
pemahaman agama yang moderat dan inklusif. Selama pemahaman agama berada di
ujung yang ekstrim, pendidikan akan tetap pinggiran dan marjinal. Untuk meningkatkan
dan membentuk karakter warga negara yang mampu menghargai perbedaan tersebut,
diperlukan suatu

94 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

konsep pendidikan pluralisme dan multikultural. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, pemahaman tentang realitas pluralisme rupanya

sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa diabaikan lagi. Karena penggunaan “paradigma tunggal” dalam menyelesaikan banyak masalah sosial sudah

tidak efektif lagi. Lembaga pendidikan Islam dituntut untuk tanggap terhadap modernisasi yang telah terjadi pada lembaga-lembaga sekolah umum di

bawah Kementerian Pendidikan. Selain mengembangkan karakter peka terhadap perubahan melalui strategi pembelajaran yang tepat dan

mengembangkan kondisi psikososial anak, juga memodernisasi fasilitas belajar, lingkungan, dan faktor pendukung lainnya termasuk keterlibatan orang

tua, pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Dengan demikian, diharapkan lembaga pendidikan Islam di Indonesia

dapat memajukan, mengembangkan, dan melaksanakan model pendidikan dan pembelajaran untuk memperkuat sistem pendidikan Islam inklusif yang

terbuka, dialogis, dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan

tangguh dengan toleransi tinggi yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan nilai-nilai agama, spritual dan

humanisme. Lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses

informasi, pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan

fundamentalisme. Jika tidak, hal itu dapat menciptakan kehidupan yang harmonis bersama dan memberikan solusi untuk masalah kehidupan yang lebih

kompleks. dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan tangguh

dengan toleransi tinggi yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan nilai-nilai agama, spritual dan

humanisme. Lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses

informasi, pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan

fundamentalisme. Jika tidak, hal itu dapat menciptakan kehidupan yang harmonis bersama dan memberikan solusi untuk masalah kehidupan yang lebih

kompleks. dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan tangguh

dengan toleransi tinggi yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan nilai-nilai agama, spritual dan

humanisme. Lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses

informasi, pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan

fundamentalisme. Jika tidak, hal itu dapat menciptakan kehidupan yang harmonis bersama dan memberikan solusi untuk masalah kehidupan yang lebih kompleks. Lembaga pendidika

BIBLIOGRAFI
Andito (ed), (1998),Atas Nama Agama, Pustaka Hidayah, Bandung
Arnold, Thomas, W. (1993),Dakwah Islam: Sejarah Dakwah
dari Iman Muslim,edisi ke-2 London: Constable and Co. Ltd Atoshoki,
Antonius, dkk, (2006),Relasi dengan Tuhan, PT Elex Media
Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta
Azra, Azyumardi, (2006), “Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antarumat
Beragama : Perspektif Islam”, salah satu tulisan yang terdapat dalam
buku, Weinata Sairin, (Penyunting),Kerukunan Umat Beragama Pilar
Utama Kerukunan Berbangsa, Butir-Butir Pemikiran, BPK Gunung Mulia,
Jakarta
Baalbaki, Rohi., (2004),Al-Mawrid: Kamus Bahasa Inggris Arab Modern, Beirut:
Dar El-Ilm Lil Malâyîn
Bagus, Lorens., (1996),Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Bakar, Osman and Nai, Gek, Cheng., (1997),Islam dan Konfusianisme, A
Dialog Peradaban,Pers Universitas Malaya, Kuala. Lumpur Daja,
Burhanuddin and Beck, Leonard, Herman (merah.), (1992),Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, INIS, Jakarta

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 95


Adeng Muchtar Ghazali

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1985),kamus besar bahasa


Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Eliade, Mircea,(red),(1987),Ensiklopedia Agama, vol.12,MacMillan
Perusahaan penerbit
Fattah, Nanang., (2004),Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan
sekolah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung
Gauhar, Altaf (ed), (1983),Tantangan Islam, terjemahan Anas Mahyudin,
Pustaka, Bandung
Ghazali, Muchtar, Adeng (2005),Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung
Hamka, (1983),Tafsir al Azhar,Juz III. Pustaka Panjimas, Jakarta Negara Terancam
Serius. (2011, Jum'at, 29)Harian Umum Pikiran Rakyat, p. Harmoni, Jurnal
Multikultural & Multireligius, Vol. III, Nomor 9, Januari-
Maret 2004, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang & Diklat
Keagamaan Depag RI
Hasanah, Aan, (2010), Model Pendidikan Inklusif ,Media Indonesia, 4 Maret
Hendropuspito, D., (1983),Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta Jurnal
Ulumul Qur'an, No.1 Vol.IV, Th. 1993
Kartika, Sandra., & Mahendra, M. (ed.) (1999), Lembaga Studi Pers &
Pembangunan, Jakarta.
Kodir, Abdul, M. (1993),Islam Konseptual dan Kontekstual, Itqan, Bandung
Ma‟arif, Syamsul. (2006), “Islam dan Pendidikan Pluralisme, berkat
Wajah Islam Toleran melalui Kurikulum PAI berbasis Kemajemukan”,
Makalahyang disampaikan dalamKonferensi TahunanKajian Islam,
Lembang Bandung, 26-30 November
Madjid, Nurcholish., (1992),Islam, Dokrin, dan Peradaban,Paramadina,
Jakarta Madjid, Nurcholish., (1997),Tradisi Islam, Peran Dan Fungsinya Dalam
Pembangunan di Indonesia, Paramadina, Jakarta
Madjid, Nurcholish., 1995),Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta
Majalah Prisma 5, Juni 1978
Mujani, Saeful. (dan).Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, Gramedia, Jakarta
Nafis, Wahyuni, Muhammad,. (editor), (1996),Rekonstruksi dan Renungan :
Religius Islam, Paramadina, Jakarta
Permata, Norma, Ahmad, (ed), (2000),Metodologi Studi Agama, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Poerwodorminta, WJS (1996),kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai
Pustaka.
Rachman, Munawar, Budhy, (2001),Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum
beriman, Paramadina, Jakarta

96 Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H


Konsep dari….

Rachman, Munawar, Budhy, (2001),Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum


beriman, Paramadina, Jakarta
Rahman, Almasdi,Toleransi dalam al-Qur;an, etext, data diambil dari
http://www.mailarchive.com/ jamaah@arroyyan.com /msg03522.html,
pada hari Rabu tanggal 17 Maret 2010.
Rasyidi, M., (1968).Al-Djami'ah, Nomor Khusus, Mei, Tahun ke VIII. Sairin,
Weinata (Penyunting), (2006),Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama
Kerukunan Berbangsa, Butir-Butir Pemikiran, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Schumann, H, Olaf,. (2006),Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan,
BPK Gunung Mulia, Jakarta
Shihab, Alwi, (1999),Islam Inklusif,Mizan, Bandung, 1999
Sirry, A, Mun‟im., (2004),Fiqh Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-
jamak,Paramadina, Jakarta
Sumarthana dkk., Th. (ed.) (ny),Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Penerbit
Dian/Interfidei
Tarsyah, Adnan, (2008),Manusia yang Dicintai dan Dibenci Allah, Mizan,
Bandung
UNESCO-APNIEVE, (2000),Belajar Untuk Hidup Bersama Dalam Damai Dan
Harmoni, Kantor Prinsipal Unesco untuk Kawasan Asia-Pasifik,
Bangkok, dan Universitas Pendidikan Indonesia
Wahyudin, dkk.,Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Bandung:
Grasindo.
Yusuf Al-Qaradlawi, (1997),Fiqih Peradaban, Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu
pengetahuan, diterjemahkan oleh Faizah Firdaus, Surabaya: Dunia Ilmu.

Jil. 1, No. 1, Juni 2014 M/1435 H 97

Anda mungkin juga menyukai