com
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif konsep toleransi dalam
Islam yang kemudian dipikirkan sedemikian rupa sehingga konsep tersebut dapat
diterapkan secara operasional di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah,
ponpes dan perguruan tinggi. Metode dan pendekatan yang digunakan untuk
mengatasi masalah ini adalah filosofis (fenomenologis) dan sosiologi pendidikan,
salah satunya adalah teori inklusivisme Mircea Eliade. Dalam Islam, perbedaan
pemikiran, suku, bahkan agama (pemeluknya) mengacu padafitrahdansunnatullah
dari kehendak Tuhan. Untuk alasan ini, maka,tasāmuh (toleransi) menjadi doktrin
penting dalam setiap risalah agama, termasuk dalam sistem pendidikan Islam yaitu;
1) tanggap terhadap modernisasi yang telah ada di lembaga-lembaga sekolah umum
di bawah Kementerian Pendidikan; 2) mengembangkan karakter peka terhadap
perubahan melalui strategi pembelajaran yang tepat dan mengembangkan kondisi
psikososial anak, modernisasi fasilitas belajar, lingkungan, dan faktor pendukung
lainnya termasuk keterlibatan orang tua, pemerintah, masyarakat dan pemangku
kepentingan pendidikan lainnya; 3) menerapkan model penguatan sistem pendidikan
Islam inklusif yang terbuka, dialogis, dan berpusat pada siswa; 4) melahirkan sumber
daya manusia yang tangguh dan tangguh dengan toleransi tinggi yang akan
bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, spritual dan humanisme;
ABSTRAK
[Artikel ini bertujuan membahas secara komprehensif konsep toleransi
dalam Islam kemudian menjelaskan bahwa konsep dapat diterapkan
secara operasional di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah,
pondok pesantren, dan perguruan tinggi. Metode dan pendekatan yang
digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah filsafat (fenomenologi)
dan pendidikan sosiologi, salah satunya adalah teori inklusivisme Mircea
Eliade. Dalam Islam, pemikiran yang berbeda, suku, dan bahkan agama
mengacu pada fitrah dan sunnatullah dari kehendak Tuhan. Untuk
alasan ini, maka, tasāmuh (toleransi) menjadi doktrin penting dalam
setiap risalah agama, termasuk dalam sistem pendidikan Islam yaitu; 1)
responsif terhadap modernisasi yang telah ada di lembaga sekolah
umum di bawah Departemen Pendidikan;
Adeng Muchtar Ghazali
PENGANTAR
Akhir-akhir ini fenomena yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah menghadapi tantangan besar akibat aksi intoleransi (nirtoleran).
Bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang beradab, religius, dan berkualitas dalam
persatuan serta berkarakter toleran yang tinggi dan kuat, perlahan-lahan tergerus
oleh berbagai peristiwa nasional dan lokal dari, kasus pengeboman oleh kelompok
teroris yang selalu mengatasnamakan “agama”. perjuangan” (jihad) hingga
perjuangan antar pelajar atau warga. Hal tersebut menjadi perhatian serius Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, yang belakangan terungkap saat membukanya
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas)pada tanggal 28
April 2011 di Wisma Bidakara Jakarta Selatan. Presiden mengatakan bahwa
“gangguan keamanan akibat terorisme, konflik horizontal, dan gerakan radikal
bermotif agama telah menjadi ancaman serius. Oleh karena itu, warga diajak untuk
bertanggung jawab menyelamatkan karakter bangsa khususnya generasi muda”.
Lebih lanjut Presiden menyatakan bahwa “pencegahan gangguan keamanan tidak
dapat diserahkan kepada Polri dan aparat keamanan. Bupati dan walikota juga harus
berperan aktif mencermati anomali di masyarakat”. (Pikiran Rakyat, 2011, hlm. 1).
melawan, dan menyangkal. Mereka yang berusaha mengingkari hukum keragaman budaya akan
menimbulkan fenomena konflik yang terus menerus (Madjid, 1995, hlm. 47).
Berdasarkan pluralitas agama, masalah besar dalam kehidupan beragama
belakangan ini adalah bagaimana suatu teologi tertentu dapat mendefinisikan
dirinya di antara agama-agama lain. Pemahaman tentang pluralitas agama semakin
berkembang. Ini mengarah pada perkembangan ideologi yang dikenal sebagai
teologia religium, yakni sebuah ideologi yang menekankan pada pentingnya
memahami teologi dalam konteks agama di era ini (Kartika dan Mahendra, ed., 1999,
hlm. 129-130) tetapi pada saat yang sama tetap mempertahankan iman dan
kebenarannya. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan agama merupakan suatu hal
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, bahkan tidak dapat diubah. Agama tidak seperti
rumah atau pakaian yang bisa berubah sewaktu-waktu. Jika seseorang memiliki iman
tertentu, maka imannya tidak akan lepas darinya. Ia akan terlibat dengan keyakinan
agamanya (Rasyidi, 1968). Dengan demikian, pemahaman tentang pluralitas tidak
selalu berkaitan dengan masalah teologi atau keyakinan tetapi hanya memberi
tempat dan pengakuan bagi keberadaan agama lain. Pandangan pluralisme tidak
mengacu pada kebenaran dalam agama lain. Memang, Itu pasti tidak membahas
tentang itu. Lebih-lebih lagi,
Dalam konteks kehidupan pluralitas agama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
untuk melestarikan keragaman keyakinan agama dalam konteks kerukunan, diperlukan
suasana saling pengertian dan saling menghormati di antara semua pemeluk agama yang
berbeda. Salah satu cara untuk memiliki itu semua adalah dengan doktrin tentang agama dan
prinsip-prinsip keyakinan yang berbeda. Setiap agama, khususnya Islam, telah memiliki prinsip-
prinsip dasar tersebut. Toleransi beragama ini tidak hanya mengacu pada norma-norma yang
ada pada masing-masing agama tetapi juga bersumber dari pengalaman pribadi para pemeluk
agama baik secara langsung maupun tidak langsung dari fenomena keagamaan.
Artikel ini bertujuan untuk menggali konsep toleransi dalam Islam yang
kemudian dipikirkan sedemikian rupa sehingga konsep tersebut dapat diterapkan
secara operasional di lembaga pendidikan Islam sepertipesantren, madrasah,
pesantren dan perguruan tinggi serta Universitas Islam. Metode dan pendekatan
yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah filsafat fenomenologis
dan sosiologi pendidikan, salah satunya adalah teori inklusivisme Mircea Eliade.
Secara fenomenologis, pluralisme agama mengacu pada fakta bahwa sejarah
agama menunjukkan tradisi pluralitas yang memiliki varian pada masing-masing tradisi.
Sedangkan secara filosofis, pluralisme agama mengacu pada teori tertentu tentang
hubungan antara berbagai tradisi tersebut. Teori tersebut berkaitan dengan hubungan
antar agama di dunia yang menunjukkan konsepsi, persepsi, dan respon terhadap satu-
satunyapamungkas, sebuah misteri penuh dari realitas Tuhan. Selain itu, teori semacam
itu didekati setidaknya dengan dua metode utama, eksklusivisme dan inklusivisme (Eliade,
1987, hlm. 331). Dengan kata lain, pluralisme tidak dapat dipahami dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita majemuk atau beragam yang
memiliki berbagai suku dan agama. Ini tentu saja melahirkan citra fragmentasi, bukan
pluralisme. Apalagi pluralisme tidak bisa diwujudkan sebagai kebaikan negatif yang hanya
dilihat dari fungsinya untuk menghilangkan fanatisme. Namun, pluralisme harus
dipahami sebagai “hubungan murni keragaman dalam ikatan yang halus.” Padahal,
pluralisme menjadi suatu keharusan bagi keselamatan manusia, terutama melalui
mekanisme pengawasan dan penyeimbangan (Rahman, 2001, hlm. 31).
DISKUSI
Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris “tolerance” atau dalam bahasa latin “
toleransi”. Dalam bahasa Arab artinyatasāmuhatautasāhulcara;untuk mengabaikan,
alasan, untuk mentolerir, untuk memanjakan, toleran, sabar, toleran, penyayang.kata
tasâmah;memiliki artihilmdantasāhul;berartikemurahan hati, toleransi, toleransi,
kesabaran, kemurahan hati, kemurahan hati, kemurahan hati, kemurahan hatidan
kebaikan(Baalbaki & Al-Mawrid, 2004, hal. 314). Terkait dengan agama lain, secara historis,
istilah toleransi disebut juga “toleransi”, yang pertama kali dianalisis oleh John Locke
(1963) dalam konteks relasi gereja dan bangsa di Inggris. Toleransi di sini mengacu pada
kesediaan untuk tidak mencampuri keyakinan, sikap, dan tindakan seseorang meskipun ia
tidak disukai oleh orang lain. Bangsa tidak dapat diikutsertakan dalam urusan agama
seseorang dan tidak dapat ditangani oleh kelompok agama tertentu (Mujani, [nd], hlm.
159). Sedangkan istilah “harmoni” dalamKamus Besar Bahasa Indonesia diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, didefinisikan sebagai “hidup bersama dalam
masyarakat dengan hati yang bersatu dan sepakat untuk tidak menimbulkan konflik”.
Harmoni adalah istilah yang mengandung arti “baik” dan “damai”. Intinya hidup bersama
dalam masyarakat dengan satu hati dan kesepakatan dengan menghindari konflik
(Depdikbud, 1985, hlm. 850). Jika definisi ini menjadi acuan, “harmoni” akan menjadi
sesuatu yang ideal dan didambakan oleh manusia.
Dalam Islam, istilahtasāmuhpada dasarnya tidak sama artinya dengan katatoleransi,
karenatasāmuhmemiliki arti memberi dan menerima.Tasāmuh termasuk memberi tindakan dan
tuntutan dalam batasan tertentu.Tasāmuhmengandung harapan di satu sisi untuk memberi
dan menerima sekaligus. subjek melakukantasāmuhdalam islam yaitumutasāmihīn, yang
berarti “pemaaf, pengambil, pemberi, pemberi sebagai tuan rumah bagi tamu”. Dalam
pelaksanaannya, orang yang melakukantasāmuhtidak hanya melakukan memberi yang akan
mendorong hak dan kewajibannya. Dengan kata lain,tasāmuhSikap dalam kehidupan beragama
memiliki pengertian tidak mendobrak batas, terutama yang berkaitan dengan batas keimanan (
aqidah). Meskipuntasāmuhmemiliki arti yang disebutkan di atas, dalam banyak konteks, kata ini
sering disamakan dengan toleransi. Al-Qur'an tidak pernah menyebutkan katatasāmuh/
toleransi dalam surat dan ayatnya. Namun, Al-Qur'an menjelaskan secara eksplisit konsep
toleransi dengan segala batasannya. Sehingga dalam implementasinya, ayat-ayat yang
berkaitan dengan konsep toleransi dapat menjadi acuan bagi kehidupan kita.
Dalam kamus bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadarminta, kata toleransi
menunjukkan arti “tulus (menyukai semua orang, membiarkan setiap orang berpendapat atau
berpendapat lain, tidak mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan)” (WJS
Poerwadarminta, 1996, hal. 4010). Dalam konteks ini, toleransi dapat dirumuskan sebagai salah
satu sikap keterbukaan untuk mendengarkan pandangan yang berbeda yang berfungsi dua
cara, yaitu memberi pendapat dan mengambil pendapat lain dan tidak mengganggu keyakinan
orang lain dalam ruang lingkup kesepakatan.
Pengertian toleransi di atas memiliki arti yang sama dengan kata toleransi dalam
buku UNESCO-APNIEVE untuk pendidikan guru dan pendidikan tinggi di mana “toleransi
adalah suatu penghormatan, pemberian, penghargaan atas keragaman yang kaya untuk
budaya kita, ekspresi kita, dan cara hidup kita. sebagai manusia”. Pengertian tersebut
mengandung makna bahwa diperlukan pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, kehati-
hatian, dan sifat amanah untuk mewujudkan dan memelihara toleransi. Oleh karena itu,
toleransi adalah “keharmonisan dalam perbedaan” yang tidak hanya menuntut kewajiban
moral tetapi juga syarat politik dan hukum (UNESCO-APNIEVE dan UPI, 2000, hlm. 154).
Dalam kaitannya dengan tindakan politik dan hukum, toleransi menuntut tindakan
yang adil dan tidak memihak, pembentukan hukum, proses pengadilan dan administrasi.
Ekskomunikasi dan marginalisasi dapat menyebabkan frustrasi, permusuhan, dan
fantisme. Untuk membuat masyarakat memiliki sikap dan tindakan yang toleran, UNESCO
menyarankan agar setiap negara meratifikasi konvensi hak asasi manusia internasional
yang ada dan menyusun Undang-undang baru untuk menjamin perlakuan dan
kesempatan yang sama bagi semua kelompok dan individu dalam masyarakat (UNESCO-
APNIEVE dan UPI, 2000 , hal.155).
Dalam kehidupan beragama, sikap toleran menjadi salah satu syarat utama
bagi setiap individu yang ingin hidup bersama secara aman dan saling menghormati.
Dengan demikian diharapkan dapat terwujud interaksi dan pemahaman yang baik
dalam masyarakat beragama mengenai batasan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan
kepercayaan. Namun demikian, implementasinya tidak sesederhana itu meskipun
penjelasan definisi toleransi telah memuat rumusan penghargaan terhadap
keberadaan orang lain. Masih banyak masalah pendekatan yang harus diterapkan
dalam menciptakan masyarakat yang harmonis terutama yang berkaitan dengan
masalah perbedaan agama dan keyakinan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa toleransi ini mengarah pada sikap keterbukaan dan kesediaan untuk
mengakui keragaman suku, kulit, bahasa,
Secara sosiologis, doktrin Islam terkait toleransi sesuai dengan realitas
eksistensi pluralitas agama. Iman yang berbeda adalah realitas sosial yang
tidak dapat disangkal. Pengakuan pluralitas agama secara sosiologis
menjadi pengakuan toleransi yang lebih sederhana tetapi pengakuan ini
Pemeluk agama tidak bisa memaksakan inklusivismenya kepada yang lain yang
dianggap eksklusif bagi kita.
3. Standar ganda. Hugh Godard, sebagaimana dikutip Rahman (2001, hlm. 34),
seorang Kristen dan pakar teologi Islam di Nottingham University, Inggris,
mencontohkan bahwa “hubungan antara Kristen dan Islam yang berkembang
menjadi salah paham, ternyata justru menciptakan situasi ancaman di antara
mereka adalah kondisi standar ganda. Baik Kristen maupun Islam selalu
menerapkan standar yang berbeda untuk diri mereka sendiri sedangkan mereka
menggunakan standar lain yang lebih realistis dan historis terhadap agama lain.
Misalnya, dalam masalah teologi, ada standar yang menciptakan masalah klaim
kebenaran: “Agama kita adalah yang paling benar karena berasal dari Tuhan
tetapi agama lain hanyalah ciptaan manusia. Mereka mungkin berasal dari Tuhan
tetapi harus dirusak dan dipalsukan oleh manusia”. Dalam sejarah, Standar ganda
ini biasanya digunakan untuk menilai agama lain dalam derajat keabsahan teologi
di bawah agamanya. Melalui standar ganda ini, kita dapat melihat beberapa
munculnya prasangka-prasangka teologis yang dapat mengganggu hubungan
antar pemeluk agama.
4. Melebih-lebihkan perbedaan. Saat ini, tantangan agama menjadi
kendala sekaligus penghambat terciptanya suasana kerukunan dan
dialog antar pemeluk agama. Dalam melihat dan memahami
perkembangan kehidupan pluralitas agama saat ini, umumnya
dipersepsikan berbeda dari pada umumnya. Namun kecenderungan
untuk mempersepsikan pandangan tersebut tidak dapat disalahkan
karena setiap pemeluk agama selalu ingin mencari, memegang, dan
mempertahankan kebenarannya berdasarkan ilmu dan tradisinya.
Sikap demikian sangat baik sepanjang tidak menimbulkan situasi
sosial yang merusak (Andito, 1998, hlm. 97). Secara empiris tidak
mungkin kita mengidealkan kemunculan kebenaran yang satu-
satunya dengan hanya satu format dan bungkus kemudian ditangkap
oleh manusia dengan pemahaman dan keyakinan yang sama dan
satu-satunya. Dengan demikian,
(1983, hlm. 120-121), dikatakan bahwa Islam memiliki norma-norma yang dimiliki untuk
berdialog langsung dengan agama-agama lain. Dialog ini tidak hanya untuk mengubah
informasi, upacara atau kesopanan tetapi juga harus memiliki norma agama yang dapat
mendamaikan berbagai perbedaan antar agama. Menurutnya, Islam menemukan norma
ini dalamdn al-fitrah. Berdasarkan norma dasar ini, Islam memiliki teori yang kuat dengan
Yahudi dan Kristen yang tidak dianggap sebagai “agama lain” tetapi menjadi bagian dari
dirinya sendiri. Kesatuan agama Ibrahim: Yahudi, Kristen dan Islam didasarkan pada
konsep hanifi,dn al-fitrah, yang merupakan kemungkinan nyata. Yusuf Al-Qaradlawi (1997,
hlm. 274) menyatakan bahwa Islam mengajarkan dialog ketika ada perbedaan pendapat
dan faktanya perbedaan pendapat adalah Sunnatullahyang telah ditetapkan untuk semua
makhluk-Nya. Islam tidak hanya mengajarkan dialog tetapi juga memberikan norma dan
etika dalam berdialog dengan menggunakan cara-cara yang baik yang sejalan dengan
prinsipdakwahmetode (QS, 16: 125).
Menurut Azyumardi Azra, ada dua hal yang berkaitan dengan pandangan
teologi Islam tentang kehidupan yang harmonis antar umat beragama dan
akibatnya antar pemeluk agama. Pertama, doktrin Islam tentang hubungan
antar manusia dan hubungan antara Islam dengan agama lain; kedua,
pengalaman historis manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan agama
lain yang dianut oleh manusia (2006, hlm. 92). Secara doktrinal, Islam pada
hakikatnya memandang manusia dan kemanusiaan dengan sangat positif dan
optimis. Berdasarkan Islam, manusia berasal dari sumber yang sama, yaitu
keturunan Adam dan Hawa. Dari akar inilah manusia berkembang menjadi suku-
suku, bangsa-bangsa yang dilengkapi dengan budaya dan peradabannya yang
khas. Perbedaan ini mendorong manusia untuk saling mengenal dan
menumbuhkan rasa saling menghargai serta menghormati. Dalam perspektif
Islam,takwa tingkat. (QS, 49:13). Hal ini menjadi dasar pandangan Islam bagi
“kesatuan manusia”, yang mendorong tumbuhnya solidaritas antar manusia (
ukhuwwah insāniyyah atauukhuwwah basyariyahdanukhuwah wathaniyah).
Ukhuwah insāniyahberkaitan dengan persaudaraan manusia secara universal
tanpa membedakan suku, ras, bangsa, dan agama serta aspek khusus lainnya;
sedangkanukhuwah wathaniya mengacu pada persaudaraan yang dibatasi oleh
nasionalisme tanpa membedakan agama, ras, tradisi, dan aspek khusus lainnya
(Wahyudin dkk, [nd]., hlm. 93).
Konsep daritasāmuhatau toleransi dalam keragaman kehidupan pada
dasarnya merupakan salah satu sikap dan perilaku utama penerimaan terhadap
kehendak Tuhan. Toleransi beragama bukan berarti bebas untuk menganut satu
agama tertentu untuk hari ini dan berpindah ke agama lain di kemudian hari. Ini
tidak berarti juga memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai praktik dan
ritual keagamaan tanpa mengikuti aturan. Namun harus dipahami sebagai
bentuk penerimaan terhadap keberadaan agama lain selain agamanya
dengan segala bentuk sistem dan cara beribadah; dan juga memberikan kebebasan untuk menjalankan
keyakinannya tanpa konflik dalam kehidupan sosial karena perbedaan keyakinan.
Definisi daritasāmuhatau toleransi dalam kehidupan beragama yang ditawarkan
Islam begitu sederhana dan rasional. Islam mewajibkan pemeluknya untuk membangun
batas yang tegas dalamaqidahdan keyakinan serta menjaga prinsip penghargaan
terhadap keberadaan pemeluk agama lain dan menghormati hak-hak mereka sebagai
individu dan bagian dari masyarakat. Batas yang tegas dalam aqidah atau keimanan ini
menunjukkan upaya Islam untuk menjaga seluruh pemeluknya agar tidak terjebak dalam
sinkretisme (Hamka, 1983, hlm. 264). Dalam ayat terakhir dariSurat al-Kāfirn, itu
menyatakan ketegasan bahwa sikap toleransi memiliki batas-batas terutama dalam
hubungan aqidah. Ajaran Islam secara tegas melarang pemeluknya bertindak seperti
pemeluk agama lain (QS. Al-Hadd:16). Pada saat yang sama, Islam menyatakan untuk
menghormati dan menganggap perbedaan agama sebagai individu dengan segala hak
dan kewajiban yang harus dihargai. Islam melarang pemeluknya memarahi orang lain,
melarang segala bentuk sikap yang dapat merusak kebersamaan hidup bermasyarakat
(QS. Al-Hujurât:12).
Beberapa ayat Al-Quran dapat dijadikan sumber sebagai prinsip dasar
toleransi (tasāmuh). Selain ayat tersebut di atas, ada beberapa ayat lain yang
menunjukkan toleransi, antara lain QS. An-Nahl: 125, Ali-Imrân: 19, Yunus: 99, Al-
Mumtahanah: 8-9, dan Al-Kahfi: 29. Hal terpenting dalam memahami kewajiban
toleransi dalam kehidupan beragama ini adalah dengan mengikuti sikap dan
perilaku. Nabi Muhammad Saw sepanjang hidupnya. Ada beberapa sunnah yang
berkaitan dengan perintahnya kepada umatnya agar menjaga sikap dan perilakunya
agar tidak melanggar batas-batas kemanusiaan meskipun berbeda keyakinan.
Kesepakatan antara Nabi Muhammad SAW dengan umat Kristen di Gunung Sinai
merupakan salah satu contoh sikap toleransi yang mengakui adanya pluralitas
agama di masyarakat (Rahman, 2010). Contoh lain toleransi Islam yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW adalah ketikafath Makkahditaklukkan oleh umat Islam
pada bulan Ramadhan. Butuh 21 tahun untuk membebaskan Mekah darimusyrikn
wewenang. Saat umat Islam merayakan euforianya, ada sekelompok kecil sahabat
nabi yang melakukan pawai dengan meneriakkan slogan.al-yaum yaum almarhamah.
Slogan ini dimaksudkan sebagai balas dendam atas kekejaman musyrikin terhadap
umat Islam sebelumnya. Kejadian tersebut langsung diantisipasi oleh Nabi
Muhammad dengan melarang slogan tersebut dan mengubahnya menjadi,al-yaum
yaum almarhamah, dengan demikian, kemerdekaan Mekkah dapat terwujud tanpa
adanya insiden kekerasan. Hal ini juga didukung oleh Said Aqiel Siradj bahwa “Islam
adalah keimanan yang terbuka dan inklusif. Bukan ideologi politik yang intoleran dan
tidak memaksa manusia menjadi penganutnya” (Republika, 14 April 2007).
Jika toleransi dalam kehidupan beragama yang diajarkan Islam kepada pemeluknya dilaksanakan
dengan tepat, maka akan melahirkan Islam yang inklusif, berpikiran terbuka, dan bersahabat.
pemaksaan agama tertentu kepada orang atau masyarakat lain meskipun agama itu
memiliki kebenaran karena hanya Allah yang pada akhirnya akan membimbing seseorang
secara pribadi. Meski demikian, demi kebahagiaannya, manusia harus terbuka terhadap
setiap doktrin atau pandangan, kemudian rela memilih yang terbaik.
Asas toleransi yang diwujudkan dalam bentuk kerukunan hidup, dapat dilihat
dalam beberapa konteks: pertama, persaudaraan kemanusiaan universal, yakni semua
manusia berada dalam satu keturunan. Kedua, Islam mengajarkan bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). dalam fnyaitrah, setiap orang dikaruniai potensi
dan kecenderungan untuk mencari, mempertimbangkan, dan memahami kebenaran yang
pada akhirnya membuatnya mampu mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran. Potensi
dan kecenderungan ini disebuthanīf(QS. Ar-Rm: 30). Berdasarkan prinsip ini, Islam
menyatakan bahwa setiap manusia adalahhomo agama.
Islam mewajibkan pemeluknya untuk menyampaikan risalah Islam melalui
dakwahyaitu panggilan kebenaran yang membuat manusia dapat mencapai
keselamatan baik di dunia maupun di akhirat (QS. An-Nahl: 125, Al-Hajj: 67 & As-
Sajdah: 33). Karena dakwah adalah “panggilan”, maka ia tidak dapat melibatkan
pemaksaan –lā ikrāha fi al-dn(QS. Al-Baqarah: 256). Jelas, Islam mengakui hak hidup
agama lain; dan membenarkan pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran
agamanya. Ini menjadi doktrin dasar Islam untuk toleransi beragama (Sairin, 2006,
hlm. 94). Selain itu, Islam jelas mengajarkan toleransi yang mengacu pada Al-Quran,
toleransi adalahal-samhahberarti mudah berdasarkan kemudahan. Sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur'an bahwa "Allah telah memilih Anda dan tidak membebani
Anda dalam agama apapun kesulitan, itu adalah agama ayahmu Ibrahim. (QS. Al-Hajj:
78).
Dalam konteks pendidikan, prinsip-prinsip toleransi yang memiliki akar teologi
yang sangat kuat dapat ditransformasikan kepada peserta didik secara menyeluruh
di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat yang pada akhirnya mereka dapat
menerapkan sikap toleransi. Pendidikan adalah alat yang paling tepat untuk dihindari
nirtoleransi(UNESCO-APNIEVE & UPI, 2000, hal. 156). Alasannya karena pendidikan
mengajarkan manusia tentang hak dan kebebasannya untuk saling menghormati
dan melindungi. Oleh karena itu, pendidikan kerukunan dan toleransi harus
dipandang sebagai doktrin impertif yang mendesak. Untuk itu diperlukan metode
dan materi pembelajaran kerukunan dan toleransi yang sistematis dan rasional agar
nilai-nilai kerukunan dan toleransi antar umat beragama tidak didasarkan pada
tindakan untuk kepentingan “stabilitas keamanan” tetapi lebih dari itu; tindakan
kerukunan dan toleransi harus dilandasi kesadaran beragama. Penguatan
internalisasi sikap toleran pada peserta didik akan menghasilkan sikap toleran,
damai, danrahmatan lil 'alaminwarga.
melibatkan kondisi terkini. Oleh karena itu pendidikan selalu memerlukan upaya
peningkatan dan peningkatan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kehidupan
masyarakat yang semakin tinggi (Fattah, 2004, hlm. 1). Sebagai lembaga pendidikan,
sekolah menjadi salah satu tempat berlangsungnya proses pendidikan. Sekolah memiliki
sistem yang kompleks dan dinamis. Tidak hanya sebagai tempat berkumpulnya guru dan
siswa tetapi juga ada dalam sistem yang lengkap dan terkait. Sekolah dipandang sebagai
organisasi yang membutuhkan manajemen. Selain itu, kegiatan utama organisasi sekolah
adalah dengan mengelola sumber daya manusia yang diharapkan menghasilkan lulusan
yang berkualitas sesuai dengan tuntutan masyarakat dan lulusan sekolah juga diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional (Fattah, 2004, hlm. 2).
kondisi sosial, juga memodernisasi fasilitas belajar, lingkungan, dan faktor pendukung
lainnya termasuk keterlibatan orang tua, pemerintah, masyarakat dan pemangku
kepentingan pendidikan lainnya. Dengan demikian, diharapkan lembaga pendidikan Islam
di Indonesia dapat memajukan, mengembangkan, dan menerapkan model pendidikan
dan pembelajaran untuk memperkuat sistem pendidikan Islam inklusif yang terbuka,
dialogis, dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat
melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan tangguh dengan toleransi tinggi
yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan
nilai-nilai agama, spritual dan humanisme.
Selain itu, lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan
korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses informasi,
pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam
tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan fundamentalisme. Jika tidak, dapat
menciptakan kehidupan bersama yang harmonis dan memberikan solusi atas
permasalahan kehidupan yang lebih kompleks (Aan Hasanah, Model Pendidikan Inklusif,
Media Indonesia, Tuan 4, 2010).
KESIMPULAN
Ajaran Islam tentang kerukunan merupakan salah satu aktualisasi daritasāmuh
(toleransi). Karena kerukunan hidup beragama merupakan salah satu bentuk toleransi
yang diajarkan oleh Islam, maka harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk berupa suku, budaya atau agama,
prinsip dan sikap hidup saling menghormati, pengertian, kebersamaan, adil, jujur,
akuntabilitas (tanggung jawab dan kesediaan menerima akibat perbuatannya), integritas
(moral keikhlasan dan perilaku etis) dan kebenaran bahwa manusia sebagai makhluk
beragama di mana setiap orang berhak memilih keyakinan yang berbeda, menjadi prinsip
dasar dalam membangun masyarakat yang bersatu, harmonis, dan beradab. Prinsip-
prinsip kerukunan ini dapat terjalin jika masyarakat memiliki kesadaran terhadap prinsip-
prinsip tersebut. Memang kesadaran seperti itu membutuhkan proses melalui
pengetahuan, pemahaman dan praktik (kebiasaan). Toleransi dan kerukunan dalam Islam
memiliki nilai-nilai kerukunan yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aspek, antara lain:
kesadaran akan keberadaan Allah, hubungan, dan karakter yang menunjukkan
keharmonisan. Kesadaran akan keberadaan Allah menunjukkan keesaan Tuhan (tauhid)
yang menjadi unsur utama dalam membangun kerukunan antarumat beragama; aspek
relasi menunjukkan bahwa Islam mengedepankan kemanusiaan universal; sedangkan
karakter harmonis mengacu pada nilai praktis dan sebagai pengembangan dari aspek-
aspek sebelumnya. Pendidikan Islam harus mampu membawa peserta didiknya pada
pemahaman agama yang moderat dan inklusif. Selama pemahaman agama berada di
ujung yang ekstrim, pendidikan akan tetap pinggiran dan marjinal. Untuk meningkatkan
dan membentuk karakter warga negara yang mampu menghargai perbedaan tersebut,
diperlukan suatu
konsep pendidikan pluralisme dan multikultural. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, pemahaman tentang realitas pluralisme rupanya
sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa diabaikan lagi. Karena penggunaan “paradigma tunggal” dalam menyelesaikan banyak masalah sosial sudah
tidak efektif lagi. Lembaga pendidikan Islam dituntut untuk tanggap terhadap modernisasi yang telah terjadi pada lembaga-lembaga sekolah umum di
bawah Kementerian Pendidikan. Selain mengembangkan karakter peka terhadap perubahan melalui strategi pembelajaran yang tepat dan
mengembangkan kondisi psikososial anak, juga memodernisasi fasilitas belajar, lingkungan, dan faktor pendukung lainnya termasuk keterlibatan orang
tua, pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Dengan demikian, diharapkan lembaga pendidikan Islam di Indonesia
dapat memajukan, mengembangkan, dan melaksanakan model pendidikan dan pembelajaran untuk memperkuat sistem pendidikan Islam inklusif yang
terbuka, dialogis, dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan
tangguh dengan toleransi tinggi yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan nilai-nilai agama, spritual dan
humanisme. Lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses
informasi, pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan
fundamentalisme. Jika tidak, hal itu dapat menciptakan kehidupan yang harmonis bersama dan memberikan solusi untuk masalah kehidupan yang lebih
kompleks. dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan tangguh
dengan toleransi tinggi yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan nilai-nilai agama, spritual dan
humanisme. Lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses
informasi, pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan
fundamentalisme. Jika tidak, hal itu dapat menciptakan kehidupan yang harmonis bersama dan memberikan solusi untuk masalah kehidupan yang lebih
kompleks. dan berpusat pada siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam dapat melahirkan sumber daya manusia yang tangguh dan tangguh
dengan toleransi tinggi yang akan bertindak menduduki dan menciptakan peradaban baru yang mengedepankan nilai-nilai agama, spritual dan
humanisme. Lembaga pendidikan Islam dapat mengembangkan jejaring dan korporasi baik nasional maupun internasional untuk memperluas akses
informasi, pendanaan, dan dukungan internasional lainnya. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi “dicurigai” sebagai agen radikalisme dan
fundamentalisme. Jika tidak, hal itu dapat menciptakan kehidupan yang harmonis bersama dan memberikan solusi untuk masalah kehidupan yang lebih kompleks. Lembaga pendidika
BIBLIOGRAFI
Andito (ed), (1998),Atas Nama Agama, Pustaka Hidayah, Bandung
Arnold, Thomas, W. (1993),Dakwah Islam: Sejarah Dakwah
dari Iman Muslim,edisi ke-2 London: Constable and Co. Ltd Atoshoki,
Antonius, dkk, (2006),Relasi dengan Tuhan, PT Elex Media
Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta
Azra, Azyumardi, (2006), “Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antarumat
Beragama : Perspektif Islam”, salah satu tulisan yang terdapat dalam
buku, Weinata Sairin, (Penyunting),Kerukunan Umat Beragama Pilar
Utama Kerukunan Berbangsa, Butir-Butir Pemikiran, BPK Gunung Mulia,
Jakarta
Baalbaki, Rohi., (2004),Al-Mawrid: Kamus Bahasa Inggris Arab Modern, Beirut:
Dar El-Ilm Lil Malâyîn
Bagus, Lorens., (1996),Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Bakar, Osman and Nai, Gek, Cheng., (1997),Islam dan Konfusianisme, A
Dialog Peradaban,Pers Universitas Malaya, Kuala. Lumpur Daja,
Burhanuddin and Beck, Leonard, Herman (merah.), (1992),Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, INIS, Jakarta