Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENDEKATAN STUDI ISLAM

TENTANG

PENDEKATAN STUDI ISLAM SECARA FILOSOFIS

Oleh Kelompok V:
Elya M.Haris 21010113
Endang Riadi Ningsih 21010114
Azwir 21010107
Maidarlis 21010120
Zainul Arizal 21010125

DOSEN:
DR. DESI ASMARET, M. Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA BARAT
2021
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga akhirnya makalah ini dapat deselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan shahabat serta para pengikut beliau sampai akhir zaman. Amien.

Dalam upaya memenuhi tugas dalam mata kuliah Studi Islam, maka penulis telah
berusaha membuat sebuah makalah yang berjudul Pendekatan Studi Islam secara Filosofis.
Namaun dalam pembuatan makalah ini penulis menghadapi berbgai kesulitan dan
keterbatasan dalam segala hal. Oleg karena itu penulis mohon berbagai saran dan kritikan
yang bersifat membangun sehingga makalah ini lebih baik lagi.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan penuls dan pembaca yang budiman,
dan kepada semua pihak yang telah turut serta membantu memberikan sumbangsih pemikiran
terhadap penyempurnaan makalah ini, saya ucapkan terima kasih, semoga kita semua
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amiin.

Sawahlunto, Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2

BAB II LANDASAN TEORITIS ....................................................................................... 3

A. Pengertian Pendekatan Filosofis ................................................................................. 3

B. Filosofis sebagai Pendekatan dalam Kajian Islam ....................................................... 5

C. Karakteristik Prinsipil Pendekatan filosofis................................................................. 6

D. Aplikasi Pendekatan Filosofis dalam Kajian Islam .................................................... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 14

A. Kesimpulan .............................................................................................................. 14

B. Saran ........................................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari sejak dulu hingga sekarang, agama telah menyatakan eksistensinya, yang
berarti agama telah memiliki peran dan fungsi dalam masyarakat. Kenyataan ini
menimbulkan adanya minat ilmiah terhadap agama, termasuk Islam. Kemudian muncullah
studi Islam, dan studi Islam ini menjadi penting karena Islam termasuk kategori agama
yang juga memiliki peran dan fungsi dalam masyarakat.
Dalam studi Islam diperlukan adanya pendekatan agar tujuan studi Islam itu
tercapai. Secara umum studi islam bertujuan untuk menggali kembali dasar- dasar dan
pokok- pokok ajaran islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat
hakiki, universal dan dinamis serta abadi untuk dihadapkan dengan budaya dan dunia
modern agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh
umat manusia.
Dengan tujuan tersebut maka studi islam akan menggunakan cara pendekatan yang
sekiranya relevan, yaitu pendekatan normative, antropologis, sosiologis, teologis,
fenomenologis, historis, filosofis, politis, psikologis dan interdisipliner. Namun pada
makalah ini hanya membahas tentang pendekatan secara filosofis, historis, semiotika, dan
fenomenologis.
Topik pengkajian Islam dengan pendekatan filsafat sebenarnya berawal dari
kegelisahan peneliti akan kegamangan beragama remaja ini. Penelitian bertujuan untuk
menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam
sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal, dan dinamis serta abadi (eternal) untuk
dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia modern, agar mampu memberi
alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat
Islam pada khususnya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami
ajaran Islam adalah pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan ini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini, Jalaludin Rahmat
mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan

1
kerangka paradigmanya. 1 Oleh sebab itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu
penelitian sosial, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian pendekatan filosofis?
2. Bagaimana cara pendekatan filosofis dalam kajian Islam?
3. Apa saja karakteristik prinsipil pendekatan filosofis?
4. Bagaimana aplikasi pendekatan filosofis dalam memandang Agama?

C. Tujuan Penulisan

Adapaun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk menambah wawasan penulis dalam kajian studi Islam
2. Untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Studi Islam di Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat tahun 2021

1
Muhaimin, dkk, Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Ed. 1), Cet,3, (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 12

2
BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Pendekatan Filosofis

Istilah pendekatan menurut bahasa sering disebut dengan madkhal (bahasa Arab)
atau approach (bahasa Inggris). Pendekatan / approach adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu.2 Selain kedua istilah tersebut, istilah
lain yang mempunyai arti hampir sama dan menunjukkan tujuan yang sama adalah
theoretical framework, conceptual framework, prespektive, point of view, dan paradigm.
Ini berarti bahwa semuanya memiliki makna “cara memandang dan cara menjelaskan
suatu gejala atau peristiwa”.
Secara lebih spesifik pendekatan adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang
untuk menemukan kebenaran ilmiah. Dengan kata lain pendekatan berarti cara pandang
atau paradigma dalam suatu bidang ilmu, yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. 3 Pendekatan biasanya selalu melekat atau terdapat dalam suatu bidang ilmu,
selanjutnya digunakan untuk memahami agama serta seluruh aspek yang berkaitan dengan
agama. 4 Dengan demikian, secara sederhana pendekatan itu dapat kita maknai sebagai cara
pandang seseorang untuk memahami sesuatu. Jika objeknya adalah agama Islam,
pendekatan yang dimaksud adalah cara pandang seseorang dalam memahami Islam itu
sendiri. 5
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala
yang ada.6 Kata filsafat atau falsafah secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata “philo”
dan “shopia”. Philo berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah.Sedangkan, shopia
berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha mentautkan sebab dan akibat serta berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Pengertian filsafat yang umumnya
digunakan adalah pendekatan yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah

2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakartaaja: RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 28
3
Dede Ahmad Ghazali, dkk, Studi Islam: Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner, Cet I,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 64
4
Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 77
5
Dede Ahmad Ghazali, dkk, Studi Islam, hlm.64
6
Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam: Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru
Perguruan Tinggi Islam, Cet. 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 86

3
berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat berupaya menjelaskan inti,
hikmah atau hakikat mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Filsafat
mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.
Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Louis O.
Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, akan tetapi merenung
bukanlah melamun atau berfikir secara kebetulan, melainkan dilakukan secara mendalam,
radikal, sistematik, dan universal mencoba napak tilas. 7
Rene Descartes mengatakan filsafat adalah meditasi, yang artinya ada proses
merenung dan berfikir akan suatu hal. Dan ditegaskan pada adagium “cogitoergo sum”,
saya berfikir maka saya ada.8 Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa sehingga
dicari sampai batas bahwa akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya
sehingga tidak ada lagi yang tersisa, sistematis maksudnya adalah dilakukan secara teratur
dengan menggunakan metode berfikir tertentu, dan universal maksudnya tidak dibatasi
hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya. 9 Pandangan ini
juga tidak luput dari sanggahan filsuf, pemikir konteporer Islam, Arkoun dia menyatakan
metode ini sangat lemah, bahwa sikap filsafat mengunjung diri dalam batas-batas anggitan
dan metodologi yang telah ditetapkan oleh nalar mandiri secara berdaulat. Selain itu,
terkesan metode filsafat ini melakukan pemaksaan gagasan-gagasan. Gagasan-gagasan
yang dipaksakan terlihat dalam penjelasan para filosof Muslim mengenai kebangkitan
manusia di akhirat kelak. Kemudian, sejumlah besar gagasan asing lainnya telah
disampaikan oleh para filosof ke dalam Alquran ketika membahas tentang kekekalan
dunia, doktrin kenabian, dan Iain-Iain.
Dari pendapat di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pendekatan filosofis
(dalam arti sempit) dalam kajian studi Islam merupakan studi proses tentang kependidikan
yang didasari nilai-nilai ajaran Islam menurut konsep cinta terhadap keberanian, ilmu, dan
hikmah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan, pendekatan filosofis
(dalam arti praktis) dipahami sebagai pendekatan yang penilaiannya berdasarkan akal

7
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 42
8
Stanley Rosen (ed.), The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to Kant,
dalam Rene Descartes, Meditation, New York: Random House Reference, 2003, hlm. 428-434.
9
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 43 dan Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi
Islam: Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Perguruan Tinggi Islam, hlm. 87

4
(rasional). Ukuran benar dan salahnya ditentukan dengan penilaian akal, dapat diterima
oleh akal atau tidaknya. 10

B. Filosofis sebagai Pendekatan dalam Kajian Islam

Berdasarkan definisi uraian pada bagian sebelumnya, pendekatan filosofis dalam


studi Islam dapat diartikan, memandang dan memahami ajaran agama dengan cara
memikirkannya secara mendalam, sistematis, radikal, dan universal dengan maksud agar
hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
seksama. Agama yang dapat didekati secara filosofis dapat berupa ajaran-ajarannya yang
terdapat dalam Kitab Suci maupun realitasnya. 11 Ajaran agama misalnya mengajarkan
agar melaksanakan shalat berjama’ah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan
hikmah hidup secara berdampingan dengan orang lain, atau dengan mengerjakan puasa
misalnya, agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba
kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan.
Demikian pula kita telah membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.
Maksudnya bukan hanya sekedar tontonan atau sekedar mengenangnya akan tetapi
bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan menangkap makna filosofis yang
terkandung di belakang peristiwa tersebut. Misalnya kisah Nabi Yusuf yang “digoda”
seorang wanita bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema
pornografi atau kecabulan. Kesimpulan demikian itu bisa terjadi manakala seseorang
hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Tetapi melalui kisah itu Tuhan ingin
mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan batiniah secara
utuh. Nabi Yusuf telah menunjukkan kesanggupannya mengendalikan farjinya dari
berbuat maksiat. Sementara dari sisi lahiriahnya ia tampan dan menyenangkan orang yang
melihatnya. Pemaknaan demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat
filosofis.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberi makna
terhadap sesuatu yang dijumpainya; dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang
terkandung didalamnya. Dengan cara demikian, ketika seseorang mengerjakan suatu amal
ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan.
Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin
meningkatkan pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.

10
Koko Abdul Kodir, Metodologi studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2014, hlm.116
11
. M. Nurhakim, Metodologi Studi Islam, (Ed, I), Cet. I, Malang: UMM Press, 2004, hlm. 18

5
Penggalian makna ini tentunya menjadi kekhususan bagi manusia, sebagaimana Ibn
Khaldun menyatakan. 12 Bahwa Allah membedakan manusia dengan hewan adalah dengan
berfikir, yang menjadi sumber dari segala kebenaran, kemulaan tertinggi. Al-Maraghi
juga menegaskan bahwasannya Allah memberikan hidayah yang dianugrahkan kepada
manusia dalam lima tingkatan, yang mana hidayah ketiga adalah akal-budi. Akal budilah
yang menjadi pembeda manusia dengan hewan. 13
Demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, seringkali kita jumpai, filsafat telah
digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita misalnya
membaca filsafat hukum Islam, filsafat sejarah, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dan
lain sebagainya. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada
pengamalan agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan susah
payah tetapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan
dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistic, misalnya sudah haji,
sudah menunaikan rukun Islam yang kelima, dan berhenti sampai disitu. Mereka tidak
merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. 14

C. Karakteristik Prinsipil Pendekatan filosofis

John Hick menyatakan bahwa pemikiran filosofis mengenai agama bukan


merupakan cabang teologi atau studi-studi keagamaan, melainkan sebagai cabang
filsafat. Dengan demikian, filsafat merupakan suatu “aktivitas keteraturan kedua”
(second order activity) yang menggunakan perangkat-perangkat filsafat bagi agama dan
pemikiran keagamaan. Pernyataan Hick memberikan suatu cara menarik kepada kita
dalam membahas, “Apa gambaran karakteristik pendekatan filosofis” Pada umumnya
kita dapat menyatakan pendekatan filosofis memiliki empat cabang, yakni:
1. Logika
Berasal dari bahasa yunani logos, secara literal logika berarti “pemikiran”atau
“akal”, logika adalah seni argument rasional dan koheren. Seperti telah kita lihat, kita
semua memiliki argument-argumen, kita semua marah ketika seseorang menentang
suatu yang kita yakini atau kita kemukakan secara bentuk alas an untuk membenarkan
posisi kita. Logika merasuk ke seluruh proses berargumentasi dengan seseorang
menjadikannya lebih cermat dan meningkatkan proses tersebut.

12
Endang Saifudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1974, hlm. 6
13
Ibid, hlm. 7
14
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 44-45

6
Semua argumen mempunyai titik pangkal, argumen-argumen ini memerlukan
pernyataan pembuka untuk memulai. Dalam logika pernyataan pembuka ini disebut
premis. Premis adalah apa yang mengawali argument\. Salah satu premis yang paling
terkenal dalam filsafat agama adalah apa yang dikemukakan oleh Anselm “Tuhan
adalah sesuatu yang tidak ada hal lebih besar yang dapat dipikirkan selain Dia”.
Ketika berkaitan dengan argumen itu benar atau salah, dan apakah ia koheren
(berhubungan), karena jika premisnya keliru, tidak ada argumen yang dapat dibangun
darinya.15 Tidak ada keraguan bahwa sesuatu yang lebih kecil daripada sesuatu yang
lebih besar yang tidak dapat kirkan, ada dalam pemahaman dan realitas. Maka seorang
logikawan, ketika berargumentasi dengan seseorang, mencoba menententukan premis
apa yang dijadikan titik pijak, bagaimana mereka membangun argumennya dan
bagaimana mereka sampai pada kesimpulan. Ini diterapkan dalam banyak argumen,
dan dalam kaitan dengan agama, suatu pendekatan filosofis, secara teliti menguji
seluruh aspek argumen yang diajukan orang beriman. Proses ini memiliki dua
keuntungan di satu sisi, poses ini dapat memperlebar friksi yang mungkin terjadi
antara orang-orang yang terlibat dalam satu argument, juga memperlihatkan bahwa
anda tidak tertarik membuat komentar personal tetapi hanya concern dengan kekuatan
apa yang telah dikatakan. Di sisi lain, semua argumen harus bertahan atau jatuh
karena di belakangnya memiliki penalaran yang baik. Proses ini memungkinkan kita
melihat secara pasti bentuk panalaran apa yang digunakan dalam argument tertentu.
Kemampuan berargumen dengan cara begini merupakan keahlian yang dicapai secara
berangsur-angsur melalui praktik, dan merupakan perbutan yang bermanfaat
mempersingkat apa yang dikatakan seseorang ke dalam bagianbagian rinci. 16
2. Metafisika
Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 60 SM oleh filsuf Yunani
Andronicus. Metafisika terkait dengan hal yang paling dasar, pertanyaanpertanyaan
fundamental tentang kehidupan, eksistensi, dan watak ada (being) itu sendiri, secara
literal metafisika berarti kehidupan, alam, dan segala hal. Metafisika mengemukakan
pertanyaan tentang apakah sesungguhnya aku (what I am), sebagai seorang pribadi,
apakah aku tubuh materiil, otak yang akan berhenti dari keberadaanya ketika mati?

15
Peter Connolly (ed,). Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS Group, 2012.
Hlm. 170-171
16
Ibid., hlm. 172

7
Atau apakah benar terletak antara keduanya? Metafisika mengemukakan pertanyaan-
pertanyaan tentan “siapakah” aku sebagai seorang pribadi: apakah yang menjadikan
aku sebagai aku? Apakah aku pribadi yang sama 5,10, dan 15 tahun yang lalu?
Apakah aku akan menjadi pribadi yang berbeda ketika aku berusia 40, 50, dan 60
tahun? Apa yang menjadikan sebagai pribadi yang sama? Apakah ini persoalan
memori? Atau apakah ini persoalan hiasan fisik? Metafisika mempertanyakan
eksistensi; apakah yang dimaksud dengan ada? Apakah Daffy Duck ada dalam
pengertian yang sama dengan keberadaanku? Apakah Tuhan ada? Dalam pengertian
bagaimana Tuhan ada? Aspek aktivitas filosofis ini menunjukkan concern pada
komprehensifitas. Tidak ada sesuatu pun yang berada di luar wilayah perhatian
filsafat, bagi filsuf segala sesuatu adalah penting. Ini melindungi dari digunakannya
pandanga “menutup mata” atau berat sebelah (bias) dalam hal-hal tertentu, filsuf harus
menyadari segala sesuatu yang memang atau mungkin penting bagi persoalan yang
sedang dihadapi. 17 Dan hal ini diterapkan dalam pendekatan filosofis terhadap agama,
yang dengan sendirinys berkaitan misalnya dengan pertanyaanpertanyaan ontologism
(studi tentang ada atau eksistensi, termasuk eksistensi Tuhan), pertanyaan-pertanyaan
kosmologis (argument-argumen yang terkait asalusul dan tujuan dunia, termasuk
pengaruh yang ditimbulkan oleh ilmu) dan pertanyaan-pertanyaan tentang humanitas
(watak dan status manusia dan komunitas manusia termasuk watak subjektivitas.
3. Epistimologi
Epistemology menitikberatkan pada apa yang dapat kita ketahui, dan
bagaimana kita mengetahui. Epistemology memberi perhatian pada pengetahuan dan
bagaimana kita memperolehnya. Plato misalnya, berpendapat tidak mungkin
memperoleh pengetahuan, dan dia menggunakan apa yang disebut dengan “Paradok
Meno” guna menunjukkan mengapa “seseorang tidak dapat menyelidiki apa yang dia
tahu karena dengan mengasumsikan bahwa ia tahu berarti ia tidak perlu menyelidiki,
demikian juga ia tidak dapat menyelidiki apa yang tidak dia ketahui karena dia tidak
tahu apa yang harus diselidiki”. Inti dari pertanyaan Plato adalah bahwa ketika kita
sampai pada pengetahuan, kita tidak pernah memulainya dari permulaan. Seluruh
pertanyaan yang kita ajukan , segala sesuatu yang kita ketahui terletakdalam suatu
konteks peranggapan dan keyakinan yang luas dan sering tidak dipertanyakan.tidak
suatupun dimulai dari daftar yang bersih. Segala sesuatu dibangun berdasar sesuatu

17
Ibid., hlm. 173

8
lainnya. Plato juga menunjukkan bahwa penelitian dan pencarian pengetahuan tidak
pernah berhenti, jawaban terhadap pertanyaan kita menjadi dasar bagi seluruh
pertanyaan selanjutnya dan begitu seterusnya. 18 Bagi Plato, pengetahuan adalah
persoalan mengumpulkan kembali atau mengingat segala sesuatu yang telah dipelajari
dalam kehidupan sebelumnya, bagi kita sekarang pengetahuan adalah persoalan
proses penelitian dan penemuan. Proses ini hanya akan berhenti jika kita secara
sewenang-wenang dan artificial menjadikannya berhenti. Itulah mengapa kesimpulan
yang kita capai hanya dapat bersifat tentative dan sementara. Bicara soal Plato maka
penulis tertarik melihat kembali pada Filsafat Islam tentunya terdapat Ibn ‘Arabi.
James Morris seorang yang mendalami karya Ibn ‘Arabi menyatakan bahwasannya,
paraphrasing whitehead’s famous remark about plato-one could say taht the history
of Islamic tought subsequent to Ibn ‘Arabi might largely be construed as a series of
footnotes to his work.19
James Morris cenderung terlihat berlebihan dalam menggambarkan Ibn
‘Arabi terlepas dari karyanya yang mencapai 700 judul berdasar dari pengalaman
kasyf, dan ketersingkapan tabir rohani terhadap fenomena gaib. 20
Tugas epistemologi adalah menemukan bagaimana pengetahuan berbeda dari
keyakinan dan pendapat, apakah pengetahuan dan keyakinan berbeda secara esensial?
Jika saya berkata “saya meyakini” dia berbohong kepadaku, itu pertanyaan yang lebih
lemah disbandingkan jika saya mengatakan “saya tahu”dia berbohong kepadaku.
Sekarang lihatlah pernyataan ini dalam konteks berbeda. Orang beriman berkata “saya
meyakini Tuhan itu ada”, apakah ini sama dengan pernyataan “saya tahu Tuhan ada”.
Menyatakan “saya meyakini Tuhan ada” dan “saya tahu Tuhan ada” tampak
merupakan dua pernyataan yang berbeda dari apa yang menjadikan sesuatu sebagai
sebuah pengetahuan. Beberapa umat beragama menyatakan “mengetahui” bahwa
Tuhan ada, namun apa yang mereka ketahui? Dengan kata lain, kapan kita dapat
menyatakan kita mengetahui sesuatu? Dan dimana persoalan kebenaran mengenai apa
yang kita ketahui muncul? Apakah keyakinan-keyakinan yang kita pegang dapat

18
Ibid., hlm. 174

19
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy Part I, London:
Routledge, 1996, hlm. 497
20
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016,
hlm.157.

9
menjadi benar atau salah? Atau apakah ini secara tepat yang menjadikannya
keyakinan, yakni bahwa kita tidak dapat menunjukkannya benar atau salah, hanya
mungkin dan tidak mungkin, lebih berpeluang atau kurang berpeluang. Berkenaan
dengan benar salah tentunya ini mempunyai relasi dengan Tuhan, suatu dzat gaib
yang kita percaya mempunyai kekuatan terkuat. Kita akan susah menghubungkan
epistemologi untuk menggali hakekat Tuhan. Pada bagian sebelumnya telah
dijabarkan bagaimana Ibn ‘Arabi mempunyai pengalaman luar biasa dengan hal gaib.
Sehingga Ibn ‘Arabi bisa mengilustrasikan bagaimana Tuhan itu dengan sisi imajinasi
yang kental yang keluar dari jalur utama. Kita meyakini bahwasannya Tuhan
mengetahui segalanya, baik yang nampak dan tidak/ rahasia. Pada sisi ini ada
kecocokan aantara Ibn ‘Arabi dan Ibn Sina berkaitan keilmuan tuhan yang umum,
bukan keilmuan yang khusus/ tertentu. Ibn Sina memberikan contoh yaitu gerhana.
Bagaimana gerhana bisa terjadi pada waktu dan tempat tertentu berlandaskan hukum
tatasurya, dan sejak Tuhan mengetahui hukum-hukum tersebut, dan Tuhan
membuatnya dengan dirinya sendiri, tetapi tidak mengidahkan bagaimana itu terjadi.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali yang mana mengungkapkan ketidak tahuan
tentang apa yang terjadi setelah kematian. Disini mengisyaratkan bahwasannya Allah
yang tahu, dan mengingatkan kita untuk selalu waspada apa yang kita lakukan
dimanapun dan kapanpun. Pada bagian akhir dengan bukunya Tahafut at-Tahafut Ibn
Rusyd menyarankan, kita bisa memecahkan masalah tentang pengetahuan Tuhan /
penggalian tentang Tuhan, jika kita bisa mempelajari ilmu Tuhan dengan sudut
pandang ilmu yang sempurna, dan perlu diketahui bahwasannya ilmu kita adalah
kurang mencerminkan suatu kesempurnaan.21
4. Etika
Secara harfiah etika berarti studi tentang “perilaku” atau studi dan
penyelidikan tentang nilai-nilai yang dengannya kita hidup, yang mengatur cara kita
hidup dengan lainnya, dalam satu komunitas local,nasional, maupun internasional.
Etika menitikberatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan tentang kewajiban,
keadilan, cinta, dan kebaikan25 dan dalam etika sebagai concern general, muncul
perhatian pada praktik-praktik particular dalam masyarakat, maka kita memiliki
perhatian khusus pada etika bisnis, etika medis, etika kerja, dan etika politik. Semua

21
Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z, Edinburgh Unniversity Press, 2007, hlm. 60.

10
itu kadang disebut sebagai persoalan yang termasuk dalam etika penerapan dengan
kata lain ia menerapkan ide-ide, teoriteori dan prinsip-prinsip etika general pada
wilayahwilayah particular, dan spesifik dalam kehidupan dan kerja manusia. Dalam
kaitannya dengan studi agama, etika terlihat jelas dalam “kehidupan keagamaan”
aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang menerangkan tentang cara kehidupan religious.
Apa yang menjadi sumber dan darimana asal-usul aturan itu? Apa sumber dan asal-
usul moralitas? Beberapa orang beriman mengatakan bahwa Tuhan adalah sumber
moralitas, dan prinsip-prinsip yang mereka ikuti dalam kehidupan mereka adalah baik
karena Tuhan menyatakannya sebagai baik. Akan tetapi apakah yang seandainya
terjadi jika Tuhan menyatakan bahwa pembunuh itu baik? Apa yang terjadi jika
Tuhan memerintahkan orang untuk membunuh orang lain? Haruskah itu disebut baik?
Dalam menanggapi hal ini, umat beragama sering mengatakan bahwa Tuhan tidak
akan memerintahkan membunuh orang lain, tetapi dalam pernyataan ini, mereka
menunjukkan bahwa Tuhan juga tunduk pada satu kode moral dan karenanya Tuhan
bukan sumber moralitas. Akan tetapi jika Tuhan bukan sumber moralitas, lalu siapa?
Apakah anda menjadi agamis jika anda hidup dalam kehidupan moral? Apakah ateis
itu moral? Apa kaitan antara moralitas dan agama?Pada umumnya, di sini terdapat
empat wilayah yang menghiasi aktivitas filsafat sebagai suatu disiplin akademik, dan
bagaimana aktivitas filosofis mendekati studi agama. Ini adalah bentuk aktivitas
filosofis yang paling banyak dilakukan oleh orang di Barat.22

D. Aplikasi Pendekatan Filosofis dalam Kajian Islam

Untuk membawa pendekatan filosofis dalam tataran aplikasi seseorang tidak bisa
lepas dari pengertian pendekatan filosofis yang bersifat mendalam, radikal, sistematik dan
universal. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka untuk
melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat signifikan.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat
lahiriah, sebagai contoh “kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang
berbeda, tetapi semua rumah intinya adalah sebagai tempat tinggal”. Kegiatan berpikir
untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam, berfikir secara filosofis
tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud

22
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 175

11
agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
seksama. Menurut Musa Asy’ari, filsafat Islam dapat diartikan sebagai kegiatan
pemikiran yang bercorak Islami, Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu
pemikiran, filsafat disebut Islam bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu
orang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang
membahas mengenai pokok-pokok keIslaman.23 Menurut Muhamad Al-Jurjawi,
pendekatan filosofis dalam kajian Islam berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat
dibalik ajaran-ajaran agama Islam. Agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan
shalat berjama’ah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup
secara berdampingan dengan yang lain. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak
akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan
agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang
mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik,
misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima, dan berhenti pada disitu.
Mereka tidak merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun
demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk
pengalaman agama secara formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik.
Sedangkan bentuk (formal) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.24
Beberapa hasil dari beberapa aktifitas berfikir dalam pengkajian Islam menghasilkan
segmentasi sekaligus polarisasi dalam aktifitas pengkajiannya yang selanjutnya membawa
dampak yang bebeda-beda. Penulis merujuk pada pandangan Harjoni dalam klasifikasi
ini25, berikut adalah pandangannya,
Kebutuhan biologis + kebutuhuan egoistik = perilaku binatang
Kebutuhan biologis + kebutuhan sosial = pahlawan
Kebutuhan biologis + berfikir = rasional ekonomis
Kebutuhan biologis/ sosiologis + spiritual = halal haram
Berfikir + spiritual = tawakal
Berfikir + kebutuhan sosial + spiritual = nilai kebenaran hakiki
Berfikir + kebutuhan sosial + kebutuhan egoistik = penghianat.

23
Ibid., hlm. 176
24
Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis,
Prospektif, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hlm. 13
25
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 44-45

12
Uraian yang disampaikan Harjoni sudah ideal, akan tetapi penulis mengkritik pada bagian
berfikir. Karena berfikir tentunya masih ada beberapa alirannya/ manhaj. Penulis merujuk
pada alternatif pandangan M. Amin Abdullah yaitu bayani, irfani dan burhani.26
Beberapa aliran tersebut juga memberikan dampak dari produk berfikirnya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Zuhri, pola nalar yang dibangun saat ini melulu pada pola burhani.
Penulis menekankan harus adanya keserasian, integrasi, dan sesuai dengan struktur dan
fungsinya. Sehingga produk yang dihasilkan bisa seimbang dan komprehensif serta tidak
mengesampingkan ketiga pola nalar. Perkembangan pengkajian Islam ini menjadi bekal
bagi pemikir Islam untuk mengembangkan ilmu. Tidak hanya itu, pengkajian ini juga
akan mempengaruhi pada bidang-bidang studi lain yang masih mengakar pada isu
Agama. Dampak secara lebih lanjutnya adalah perkembangan zaman juga terpengaruh
pada berfikir filsafat ini. Pemikir akan bisa cenderung berfikir progresif. Ini diibaratkan
menjadi dua mata pisau. Pada satu sisi Islam akan bisa berkembang secara signifikan.
Namun pada lain sisi, juga akan bisa menjadi peruntuh ajaran Islam sendiri. Karena pola
pikir yang menekankan pada pikiran akan ada kecenderungan produk yang dihasilkan
bisa saja kontras dengan makna tekstual, sebagaimana selama ini menjadi sumber
primordial umat secara umum. Sehingga keseimbangan pola berfikir dalam mengkaji
Islam menjadi keharusan. Sehingga Islam yang dipersepsikan bisa lebih rahmatan lil
‘alamin.

26
M Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratifinterkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 200-218.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam memahami dan mengungkap kebenaran dari suatu realitas agama, diperlukan
suatu cara pandang atau paradigm untuk menggali dasar-dasar serta pokok-pokok ajaran
agamanya, termasuk Islam sendiri sebagai suatu objek kajian studi. Pendekatan biasanya
selalu melekat atau terdapat dalam suatu bidang ilmu, dalam pendekatan filosofis, berarti
dibutuhkan suatu cara pandang tertentu dengan cara memikirkannya secara mendalam,
sistematis, radikal, dan universal dalam memahami suatu kebenaran dari inti, hakikat,
atau hikmah mengenal sesuatu yang berada di balik objek formalnya, yakni agama Islam
itu sendiri. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada
pengamalan agama yang bersifat formalistik yakni mengamalkan agama dengan susah
payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari
pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistic, mereka tidak bisa
merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun17 demikian,
pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman
agama secara formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik. Sedangkan
bentuk (formal) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan
penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan
yang dapat membangun penulisan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan


Integratifinterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anshari, Endang Saifudin. 1974. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Anwar, Rosihon, dkk. 2009. Pengantar Studi Islam: Disusun Berdasarkan Kurikulum
Terbaru Perguruan Tinggi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
Asy’ari, Musa dkk. 1992. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis,
Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Connolly, Peter (ed,). 2012. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS
Group.
Ghazali, Dede Ahmad, dkk. 2015. Studi Islam: Suatu Pengantar dengan Pendekatan
Interdisipliner. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Groff, Peter S. 2007. Islamic Philosophy A-Z. Edinburgh Unniversity Press.
Hasanah, Hasyim. 2013. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Harjoni. 2012. Agama Islam dalam Pandangan Filosofis. Bandung: Alfa Beta.
Kodir, Koko Abdul. 2014. Metodologi studi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Muhaimin, dkk. 2012. Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta:
Kencana
Nata, Abuddin. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Nurhakim, M. 2004. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press, 2004.
Roswantoro, Alim., Mustaqim, Abdul (ed.). 2010. Antologi Isu-isu Global dalam
Kajian Agama dan Filsafat dalam Zuhri, Filsafat Islam dan Pluralisme, Yogyakarta: PPs UIN
Sunan Kalijaga.
Zaprulkhan. 2016. Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.

15

Anda mungkin juga menyukai