Anda di halaman 1dari 11

PENDIDIKAN ISLAM TENTANG TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF HADITS

Idris1, Shuhanda Cheirizal2, Ilian Ikhsan3, Iswantir M4


Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek
Bukittinggi
azillamaizana@gmail.com, cheirizalshuhanda@gmail.com, ihsanswl3@gamil.com,
iswantir@iainbukittinggi.ac.id

Abstract
This article aims to analyze contemporary Islamic education about tolerance in the perspective of hadith where Islamic
education must always be updated and clean in the midst of a fast global flow, in order to always exist in responding
to various challenges and global needs. The method used in this article is a literature study whose data is obtained
through books, journals, articles, and documents that match this theme. The results of contemporary Islamic
education on tolerance in the perspective of hadith are Islamic education, at least based on; First, the philosophy of
tolerance education, which is the process of introducing and providing information on the values of tolerance, with the
hope of helping students to become moral, character and responsible human beings in the context of building social
and national life. Tolerance is an attitude in respecting differences and cooperation to achieve noble ideals within the
framework of diversity.

Keywords : Islamic Education, Tolerence, Hadits

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis paradigma pendidikan di Indonesia dimana Pendidikan
Islam harus senantiasa update dan berbenah di tengah arus global yang begitu cepat, agar bisa selalu
eksis dalam menjawab berbagai tantangan dan kebutuhan global. Metode yang digunakan dalam
artikel ini adalah studi kepustakaan yang data-datanya diperoleh melalui buku, jurnal, artikel, dan
dokumen-dokumen yang sesuai dengan tema ini. Hasil pendidikan Islam kontemporer tentang
toleransi dalam pespektif hadits adalah pendidikan Islam, setidaknya didasakan pada pada;
Pertama, Falsafah pendidikan toleransi, yaitu proses pengenalan dan pemberian informasi akan
nilai-nilai toleransi, dengan harapan membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang
bermoral, berwatak serta bertanggung jawab dalam rangka membangun hidup bermasyarakat dan
berbangsa Toleransi merupakan satu sikap dalam menghargai perbedaan dan kerja sama untuk
mencapai cita-cita mulia dalam bingkai keberagaman.

Kata Kunci : Pendidikan Islam, Toleransi, Hadits

PENDAHULUAN
Peran pendidikan Islam tidak pernah pupus oleh perubahan zaman. Akan senantiasa hidup
dan eksis dalam mengawal jalannya kehidupan manusia sampai kepada puncak kebahagiaan dunia
dan akhirat. Di tengah perubahan zaman seperti ini, pendidikan Islam tetap dibutuhkan untuk
membentengi umat dari berbagai pengaruh luar yang cenderung negatif. Dibukanya informasi
secara global dan luas serta bebas diakses oleh siapa pun tanpa terkecuali dapat menimbulkan
masalah, yakni banyak di antara mereka yang terkena pengaruh negatif bahkan terpapar paham
radikal yang menjadikan mereka ektrimis.(Muvid et al., 2020)
Tidak dapat ditutupi oleh siapapun bahwa fenomena modernitas yang belakangan terjadi
ternyata berbarengan dengan munculnya fenomena kebangkitan agama-agama dunia yang pada
saat yang sama juga tercium aroma konflik antar pemeluk agama. Sebuah keniscayaan bahwa dalam
masyarakat yang multi agama seringkali timbul pertentangan antar pemeluk agama yang berbeda.
Secara umum konflik antar pemeluk agama tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
seperti: pelecehan terhadap agama dan pemimpin spiritual sebuah agama tertentu, perlakuan aparat
yang tidak adil terhadap pemeluk agama tertentu, kecemburuan ekonomi dan pertentangan
kepentingan politik (Yaqin, 2005)(Toleransi et al., 2017)
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi toleransi. Banyak ajaran tentang pentingnya
sikap toleransi dalam Islam, baik yang bersumber dari alQur’an ataupun Hadits Nabi SAW yang
mana keduanya merupakan sumber utama bagi agama Islam. Namun pada kenyataannya praktek
toleransi sudah semakin berkurang di masyarakat, tidak terkecuali di kalangan umat Islam sendiri.
Sehingga dapat dipahami bahwa ajaran toleransi belum dilaksanakan secara maksimal atau bahkan
bisa dikatakan masih hanyalah sebatas teori, belum sampai pada dataran penghayatan dan praktek
sebagai hakikat dari kerukunan umat beragama.
Banyaknya serangkaian peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang dilatarbelakangi
perbedaan SARA yang masih saja mewarnai bangsa Indonesia. Sebagian dari kita begitu mudah
terprovokasi oleh isu dan melakukan tindakan yang bersifat anarkis dan dekstruktif. Pluralisme
yang terjadi di masyarakat Indonesia cenderung melahirkan gesekan dan pertentangan.
Pertentangan yang seharusnya menjadi alasan terciptanya harmonisasi kehidupan, justru menjadi
alasan utama pertumpahan darah. Bahkan, perbedaan menjadi alasan legalisasi penindasan.
Ketegangan intra beragama dan antar umat beragama senantiasa menghiasi perjalanan
bangsa ini. Sudah banyak konflik terjadi dalam satu dasawarsa terakhir. Korban tewas dalam
konflik sudah tak terhitung. Rumah-rumah peribadatan hancur, sebagian hangus di bakar, sebagian
luluh lantak dirobohkan, dan sebagian lainnya rusak oleh amuk massa yang terbakar api kemarahan
bersentimen keagamaan (Syarbini, 2011).(Toleransi et al., 2017)
Salah satu jalan dalam menumbuhkan dan mengkonstruksi bertasâmuh (toleransi) tersebut
adalah melalui pendidikan. Karena pendidikan memiliki peranan urgen membentuk karakter anak
didik sebagai upaya memenuhi tuntutan era modern dan global sekarang ini, dimana seluruh
elemen masyarakat bertanggung jawab terciptanya perdamaian abadi. Dalam hal ini pendidikan
Islam sebagai media penyadaran umat perlu mengembangkan nilai-nilai bertoleransi antar umat
beragama (Ma’arif, 2005).(Toleransi et al., 2017)
Dari latar belakang ini, maka munculah berbagai permasalahan akademik untuk di kaji dan
teliti sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan pemahaman yang berkembang dewasa ini.
Bagaimanakah konsep Pendidikan Islam tentang toleransi ditinjau dari perspektif hadits Nabi
SAW?, Dan sejauh manakah bentuk dan aspek toleransi yang ditolerir/diperbolehkan oleh Islam?
Bagaimana Implementasi Pendidikan Toleransi dalam Pendidikan Islam?

PEMBAHASAN
Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang
mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan merupakan terjemahan
dari bahasa Yunani, yaitu ‘Paedagogie’, yang terdiri dari pais berarti anak dan again yang berarti
membimbing, jadi paedagogie berarti bimbingan yang diberikan kepada anak (Ahmadi dan
Uhbiyati, 1991). Sedangkan menurut W.J.S. Poerwadarminta (1985), pendidikan secara letterlijk
berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, yaitu kata kerja yang artinya “memelihara dan
memberi latihan (ajaran)”. Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan.
Terma pendidikan secara teriminologi didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli
pendidikan. Hasan Langgulung (1980) misalnya, melihat arti pendidikan dari sisi fungsi pendidikan,
yaitu: pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam
masyarakat dimasa mendatang, kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai peranan yang diharapkan,
dan ketiga mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat bagi
kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.(Toleransi et al., 2017)
Ahmad D. Marimba(Toleransi et al., 2017) mengatakan bahwa pendidikan adalah
“bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama”.
Dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam ke -1 di Makkah tahun 1977 disebutkan
bahwa pendidikan mencakup tiga pengertian sekaligus, yakni ta’lim, ta’dib dan tarbiyah (Toleransi
et al., 2017) Jadi ada tiga istilah yang diartikan dengan pendidikan.
Menurut ‘Abd al Fatah Jalal,(Toleransi et al., 2017) istilah ta’lim lebih tepat untuk menunjuk
konsep pendidikan menurut Al Qur’an, karena istilah tersebut mengandung makna lebih luas dari
pada tarbiyah. Sedangkan Syed Muhammad Al Naquid al Attas (1990) berpendapat bahwa istilah
ta’dib lebih tepat untuk menunjuk pengertian pendidikan. Konsep ta’dib mencakup integrasi antara
ilmu dan amal sekaligus.
Adapun istilah tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu: pertama kata robba-yarbu yang berarti
zada dan nama’ (bertambah dan tumbuh), seperti terdapat dalam Al Qur’an Surat Ar Rum 39.
Kedua kata robiya-yarubbu dengan mengikuti wazan mada yamuddu yang berarti memperbaiki,
menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara. Ketiga, merujuk pada mufrodad al fadz al
Quran, kata tarbiyah merupakan akar kata robb yang berarti mengembangkan sesuatu(Toleransi et
al., 2017)
Kata tarbiyah itu sendiri mengandung empat unsur nilai, yaitu: 1) menjaga dan memelihara
fitrah manuasia: 2) mengembangkan seluruh potensi; 30 mengarahkan seluruh fitrah dan potensi
menuju kesempurnaan; 40 dilaksanakan secara bertahap. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa tarbiyah (pendidikan) merupakan usaha mengembangkan seluruh potensi anak didik secara
bertahap menuju kesempuraan.
Pengertian tentang pendidikan yang lebih rinci sesuai dengan konteks sekarang, diberikan
oleh Zarkowi Soejati sebagaimana dikutip oleh A.Malik Fajar (Toleransi et al., 2017) bahwa
pendidikan Islam mempunyai pengertian : pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan
penyelengaraan di dorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai
Islam baik yang tercermin dalam nama lembaga maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakannya. Disisi lain, kata Islam di tempatkan sebagai sumber nilai yang akan di
wujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikannya.
Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam
sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Disini, kata Islam ditempatkan
sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan seperti ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan
yang mencakup kedua pengertian itu. Disini, kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai, juga
sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi.
Dari Pengertian ini kiranya bisa lebih dipahami bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak
sekedar menyangkut persoalan ciri kas, melainklan lebih mendasar lagi, yaitu tujuan yang diidamkan
dan diyakini sebagai yang paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya diistilahkan sebagai
“insan kamil“atau manusia paripurna. Hal ini dapat terwujud dengan upaya mengembangkan
kepribadian manusia yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologi dan
fisiologis.

Pengertian Toleransi
Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa asli Indonesia, tetapi serapan dari bahasa
Inggris “Tolerance” yang definisinya berarti sabar dan kelapangan dada, adapun kata kerja
transitifnya adalah ‘Tolerate’ yang berarti sabar menghadapi atau melihat dan tahan terhadap
sesuatu, sementara kata sifatnya adalah ‘Tolerant’ yang berarti bersikap toleran, sabar terhadap
sesuatu(Setiyawan, 2015). Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2005) toleransi berarti bersifat
atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan
kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Setiyawan, 2015) Kata
toleran sendiri didefinisikan “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Setiyawan, 2015)
Menurut Salman (1993: 2), kata Tolerance sendiri berasal dari bahasa Latin: ‘Tolerare’ yang
berarti berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal atau berinteraksi dengan sesuatu yang
sebenarnya tidak disukai atau disenangi. Dengan demikian, pada awalnya dalam makna Tolerance
terkandung sikap keterpaksaan.
Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan kata toleransi adalah
samâhah atau tasâmuh. Para pakar leksikograf Arab mengartikan sebagai berlaku lembut dan
mempermudah (Chaer, 2016), kata ini pada dasarnya berarti Al-jud (kemuliaan). atau sa’at al-sadr
lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini berkembang menjadi sikap lapang
dada atau terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang
mulia. Dengan demikian, berbeda dengan kata Tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan,
maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambang sikap yang bersumber pada kemuliaan
diri (al-jud wa al-karam) dan keikhlasan.
Pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri, karena terkait erat dengan suatu
realitas lain yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi, yaitu pluralisme (Arab:
taaddudiyyat). Dengan demikian untuk mendapatkan pengertian tentang toleransi yang baik, maka
pemahaman yang benar mengenai pluralisme adalah suatu keniscayaan. Kajian tentang hadis-hadis
tentang toleransi pada makalah ini merujuk pada makna asli kata samâhah dalam bahasa Arab (yang
artinya mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan). Akan tetapi, makna memudahkan dan
memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan tetap
bersandar pada al Quran dan Hadis.

Hadits-hadits Nabi SAW Tentang Toleransi


Toleransi banyak ditemukan beberapa Hadis-Hadis yang memberikan perhatian secara
verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti Islam. Hal ini tentu menjadi pendorong yang
kuat untuk menelusuri ajaran toleransi dalam al-Qur`an, sebab apa yang disampaikan dalam hadis
merupakan manifestasi dari apa yang disampaikan dalam al-Quran.
a. Hadits tetang Ajaran Toleransi dalam Islam Rasulullah SAW bersabda :

“Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan
kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin
Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu ‹Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw “Agama
manakah yang paling dicintai oleh Allah?” maka beliau bersabda: “Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang
lurus lagi toleran)”.(Chaer, 2016)

Berdasarkan Hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran dalam
berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi dalam Islam lebih
dititikberatkan pada wilayah mua’malah.

b. Hadits tentang Menghormati keyakinan Non Muslim Islam mengajarkan kepada


umatnya untuk menghormati keyakinan non Muslim, sebagaimana sabda
Rasulullah saw:
“Dari ibnu Juariz ia berkata “diantara isi surat Rasulullah saw kepada penduduk Yaman adalah siapa
diantara penduduk Yahudi dan Nasrani yang tidak mau masuk Islam,maka ia tidak dihalangi
menjalakan keyakinannya,akan tetapi ditetapkan jizyah,atas setiap orang yang berakal, laki-laki
perempuan merdeka ataupun budak”.(HR.Adurrazaq).(Setiyawan, 2015)
Hadits di atas memberikan pelajaran bahwa Islam sangat menghormati keyakinan yang
dianut setiap orang. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam sebab agama atau keyakinan
itu berkaitan de-ngan hati. Hati seseorang tidak bisa didesak untuk meyakini keimanan tertentu.
Hanya saja kalau dalam negara Islam terdapat sejumlah penduduk yang tidak mau memeluk Islam,
maka mereka diwajibkan membayar jizyah. Jizyah ini merupakan sejumlah dana yang dibayarkan
kepada pemerintah Islam karena jaminan perlindungan yang diberikan dan sekaligus untuk
menghapus kewajiban jihad dari pundak mereka. Penetapan jizyah ini bukanlah untuk
menundukan kaum non muslim sebagai “warga kelas dua “Akan tetapi kedudukanmereka tetap
sejajar dengan kaum muslimin. Hak dan kewajiban mereka pun sama (Chaer, 2016)

c. Hadits tentang Mendoakan Non Muslim


Dalam beberapa riwayat diketahui Rasulullah Saw. Juga mendoakan agar Allah Swt.
memberikan kepada mereka (kaum musyrik) hidayah untuk beriman kepada-Nya dan kepada
risalah yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah kisah Qabilah
Daus yang menolak dakwah Islam yang disampaikan oleh Tufail bin Amr ad-Dausi, kemudian
sampailah hal ini kepada Rasulullah Saw., lalu beliau berdo’a :

(Ya Allah,tunjukilah Qabilah Daus hidayah dan berikan hal itu kepada mereka)(Al-Bukhari,jilid
II,tt:341).(Chaer, 2016)
Berdasarkan riwayat di atas, maka benarlah bahwa Rasulullah Saw. diutus menjadi rahmat
bagi seluruh alam. Beliau tidak tergesa-gesa mendoakan mereka (orang kafir) dalam kehancuran
selama masih terdapat kemungkinan di antara mereka untuk menerima dakwah Islam, sebab beliau
masih mengharapkannya masuk Islam. Adapun kepada mereka yang telah sampai dakwah selama
beberapa tahun lamanya, tetapi tidak terdapat tanda-tanda keinginan untuk menerima dakwah
Islam dan dikhawatirkan bahaya yang besar akan datang dari mereka seperti pembesar kaum
musyrik Quraisy (Abu Jahal dan Abu Lahab dkk), barulah Rasulullah saw mendoakan kehancuran
atas nama mereka(Sabri, 2020)
Sikap Rasululullah saw yang mendoakan dan mengharapkan orang-orang musyrik supaya
menjadi bagian umat Islam, menguatkan bahwa Rasulullah Saw. diutus membawa misi toleransi,
sebagaimana sabda beliau;

“Maka Rasulullah saw bersabda,”sesungguhnya aku tidak diutus untuk orang-orang Yahudi dan
Nasrani,akan tetapi aku diutus untuk orang-orang yang lurus terpuji.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Dari Ibrahim: suatu hari,datanglah seorang Yahudi kepada Rasulullah saw.,lalu berkata:”doakan
aku.”Nabi pun berdoa:”Mudah-mudahan Allah memperbanyak harta dan anakmu,menyehatkan
tubuhmu, dan memanjangkan umurmu.”(HR.Ibnu Abi Syaibah).(Sabri, 2020)

d. Hadits tentang Aspek dalam Toleransi Beragama


Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad saw. merupakan teladan yang baik dalam
implementasi toleransi beragama dengan merangkul semua etnis,apapun warna kulit dan
kebangsaannya. Kebersamaan merupakan salah satu prinsip yang diutamakan, yang terkait dengan
karakter moderasi dalam Islam.
Islam adalah agama yang toleran dalam berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun
syariah, akan tetapi toleransi dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah
Saw. Bersabda: :

“Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan
Muhammad bin Mutarrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad bin al-Munkadir dari
Jabir bin ‘Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Allah merahmati orang yang memudahkan
ketika menjual dan ketika membeli, dan ketika memutuskan perkara”.(Setiyawan, 2015)
Imam al-Bukhari memberikan makna pada kata ‘as-samahah’ dalam hadis ini dengan kata
kemudahan, yaitu pada “Bab Kemudahan dan Toleransi dalam Jual-Beli”. Sementara Ibn Hajar al-
‘Asqalâni ketika mengomentari hadis ini beliau berkata: “Hadis ini menunjukkan anjuran untuk
toleransi dalam interaksi sosial dan menggunakan akhlak mulia dan budi yang luhur dengan
meninggalkan kekikiran terhadap diri sendiri, selain itu juga menganjurkan untuk tidak
mempersulit manusia dalam mengambil hak-hak mereka serta menerima maaf dari mereka. Dalam
memahami toleransi, umat Islam tidak boleh salah kaprah. Toleransi terhadap non-muslim hanya
boleh dalam aspek muamalah (perdagangan, industri, kesehatan, pendidikan, sosial, dan lain-lain),
tetapi tidak dalam hal akidah dan ibadah. Islam mengakui adanya perbedaan, tetapi tidak boleh
dipaksakan agar sama sesuatu yang jelas-jelas berbeda.

e. Hadits tentang Bentuk Toleransi dalam Beragama (memudahkan dan tidak


mempersulit)
Sejak diturunkan, Islam berlandaskan pada asas kemudahan, sebagaimana Rasulullah saw.
bersabda:
“Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Muthahhar berkata, telah menceritakan kepada
kami Umar bin Ali dari Ma›an bin Muhammad Al Ghifari dari Sa›id bin Abu Sa›id Al Maqburi
dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Sesungguhnya agama itu
mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan
sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan
minta tolonglah dengan al-ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur)
dan sesuatu dari ad-duljah (berangkat di waktu malam)».(Setiyawan, 2015)
Ibn Hajar al-‘Asqalâni mengatakan bahwa makna hadis ini adalah larangan bersikap
tasyaddud (keras) dalam agama yaitu ketika seseorang memaksakan diri dalam melakukan ibadah
sementara ia tidak mampu melaksanakannya itulah maksud dari kata: «Dan sama sekali tidak
seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan terkalahkan» artinya bahwa agama tidak
dilaksanakan dalam bentuk pemaksaan maka barang siapa yang memaksakan atau berlaku keras
dalam agama, maka agama akan mengalahkannya dan menghentikan tindakannya.(Chaer, 2016)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. datang kepada ‘Aisyah
ra., pada waktu itu terdapat seorang wanita bersama ‘Aisyah ra., wanita tersebut memberitahukan
kepada Rasulullah saw perihal salatnya, kemudian Rasulullah saw bersabda:

«Hentikan, Kerjakan apa yang sanggup kalian kerjakan, dan demi Allah sesungguhnya Allah tidak
bosan hingga kalian bosan, dan Agama yang paling dilaksanakan oleh pemeluknya secara konsisten».
(Chaer, 2016)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. Tidak memuji amalan-amalan yang
dilaksanakan oleh wanita tersebut, di mana wanita itu memberitahukan kepada Rasulullah saw.
Tentang salat malamnya yang membuatnya tidak tidur pada malam hari hanya bertujuan untuk
mengerjakannya, hal ini ditunjukkan ketika Rasulullah saw. Memerintahkan kepada ‘Aisyah ra.
Untuk menghentikan cerita sang wanita, sebab amalan yang dilaksanakannya itu tidak pantas untuk
dipuji secara syariat karena di dalamnya mengandung unsur memaksakan diri dalam menjalankan
ajaran-ajaran Islam, sementara Islam melarang akan hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan
pada hadis sebelumnya. Keterangan ini menunjukkan bahwa di dalam agama sekalipun terkandung
nilai-nilai toleransi, kemudahan, keramahan, dan kerahmatan yang sejalan dengan keuniversalannya
sehingga menjadi agama yang relevan pada setiap tempat dan zaman bagi setiap kelompok
masyarakat dan umat manusia. (Chaer, 2016)
Selanjutnya di dalam hadits riwayat Muslim,Rasulullah saw,bersabda :

“Kehancuran bagi mereka yang melampaui batas”di ulang sebanyak tiga kali” (Chaer, 2016)
Kata "al-Mutanatti'un" adalah orang-orang yang berlebihan dan melampaui batas dalam
menjelaskan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Al-Qâdi ‘Iyad mengatakan bahwa, maksud
dari kehancuran mereka adalah di akhirat. Hadis ini merupakan peringatan untuk menghindari sifat
keras dan berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama.
Terdapat banyak ayat-ayat AlQur’an yang menjeaskan bahwa Islam adalah agama yang sarat
dengan kemudahan di antaranya adalah firman Allah swt :
“Dia telah memilih kamu. Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”(Q.S Al-Hajj/22:78).(Achmad, 2020)
Pada ayat lain Allah swt berfirman :

“Allah menghendaki kemudahan bagimu,dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”(Q.S Al-


Baqarah/2:185).(Achmad, 2020)

Batasan Toleransi Dalam Islam


Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis dalam
toleransi beragama merupakan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang berarti menghargai,
yang dapat mengakibatkan pencampuran antar yang hak dan yang batil (talbisu al-haq bi al-bathil),
karena sikap sinkretis adalah sikap yang menganggap semua agama sama. Sementara sikap toleransi
dalam Islam adalah sikap menghargai dan menghormati keyakinan dan agama lain di luar Islam,
bukan menyamakan atau mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu sendiri. Sikap toleransi
dalam Islam yang berhubungan dengan akidah sangat jelas yaitu ketika Allah Swt. memerintahkan
kepada Rasulullah Saw. untuk mengajak para Ahl al-Kitab untuk hanya menyembah dan tidak
menyekutukan Allah swt, sebagaimana firman-Nya :

Katakanlah: “Hai ahli kitab,marilah(berpegang)kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu,bahwa kita tidak sembah kecuali Allah dan kita tidak
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”,Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada
mereka,”saksikanlah,bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”(Q.S Ali
Imran/3:64). (Achmad, 2020)
Pada ayat ini terdapat perintah untuk mengajak para ahli kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani untuk menyembah kepada Tuhan yang tunggal dan tidak manusia tanpa paksaan dan
kekerasan sebab dalam dakwah Islam tidak mengenal paksaan untuk beriman sebagaimana Allah
Swt berfirman:

“Tidak ada paksaan dalam beragama”(Q.S Al-Baqarah/2:256)(Achmad, 2020)


Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda Al-Qur’an menegaskan:
“Katakanlah hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmulah
agamamu, dan untukku agamaku”(Q.S Al-Kafirun 1-6).(Achmad, 2020)
Latar belakang turunnya ayat ini (asbab an-nuzul) ,ketika kaum kafir Quraisy berusaha
membujuk Rasulullah Saw., “Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami (menyembah
berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun pula.” Setelah Rasulullah
Saw. membacakan ayat ini kepada mereka maka berputus asalah kaum kafir Quraisy, sejak itu
semakin keras sikap permusuhan mereka kepada Rasulullah Saw. Dua kali Allah Swt.
memperingatkan Rasulullah Saw.: “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak menyembah Tuhan yang aku sembah.” Artinya, umat Islam sama sekali tidak boleh
melakukan peribadatan yang diadakan oleh non-muslim, dalam bentuk apapun.
Ayat ini menegaskan, bahwa semua manusia menganut agama tunggal merupakan suatu
keniscayaan. Sebaliknya, tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang
sama atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, Al Quran
menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah secara mutlak;
sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri.
Dalam kondisi sekarang, maka melakukan do’a bersama orang-orang non-muslim
(istighasah), menghadiri perayaan Natal, mengikuti upacara pernikahan mereka atau mengikuti
pemakaman mereka merupakan cakupan dari surah Al-Kafirun.Semua hal itu tidak boleh diikuti
umat Islam, karena berhubungan dengan akidah dan iba_dah. Orang-orang non-muslim juga tidak
ada gunanya mengikuti peribadatan kaum muslimin, karena sama sekali tidak ada nilainya
dihadapan Allah Swt.(Setiyawan, 2015)

Implementasi Pendidikan Toleransi dalam Pendidikan Agama Islam


Dalam beberapa hal, terdapat problematika tersendiri dalam Pendidikan Agama Islam,
yang terkait dengan sisi aqidah. Sebagaimana telah banyak diketahui, bahwa istilah aqidah berasal
dari bahasa Arab yang berarti “kepercayaan”, maksudnya adalah hal-hal yang diyakini oleh seluruh
umat manusia. Dalam Islam, aqidah selalu berhubungan dengan iman. Aqidah adalah ajaran sentral
dalam Islam dan menjadi inti risalah Islam melalui Nabi Muhammad Saw. Tegaknya aktivitas
keIslaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang
tersebut memiliki akidah (Toleransi et al., 2017)
Masalahnya adalah karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui
dengan bukti lahiriah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, terkadang menimbulkan “problem”
tersendiri ketika harus berhadapan dengan “keimanan” dari orang yang beragama lain.
Apalagi persoalan iman ini, juga merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya milik
Islam saja. Maka, tak heran jika kemudian muncul persoalan truth claim dan salvation claim
diantara agama-agama, yang sering berakhir dengan tindakan kekerasan sebagaimana terorisme
(Toleransi et al., 2017)
Untuk mengatasi persoalan seperti itu, pendidikan agama Islam melalui ajaran aqidahnya,
perlu menekankan pentingnya “persaudaraan” umat beragama. Pelajaran aqidah, bukan sekedar
menuntut pada setiap peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya,
seperti iman kepada Allah swt, nabi Muhamad saw, dll. Tetapi sekaligus, menekankan arti
pentingnya penghayatan keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, aqidah harus berbuntut
dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak al-Karimah pada peserta didik. Memiliki akhlak yang
baik pada Tuhan, alam dan sesama umat manusia.
Pendidikan Islam harus sadar, bahwa kasus-kasus kekerasan dan terorisme yang sering
terjadi di Indonesia ini adalah akibat ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat kita,
seperti ekspresi keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik serta fanatisme untuk
memonopoli kebenaran secara keliru.
Celakanya, kognisi social seperti itu merupakan hasil dari “pendidikan agama”. Pendidikan
agama dipandang masih banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak
seakidah) sebagai musuh. Maka di sinilah perlunya menampilkan pendidikan agama yang fokusnya
adalah bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan
kemanusiaan.
Pendidikan agama, merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai
anti terorisme dengan cara mentranfor_masikan aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan
agama dan identitas lainnya yang dimiliki peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa
bergaul dan bersosialisasi diri.
Justru pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk
menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat
mengenal tradisi agama orang lain. Bukan malah sebaliknya, perbedaan yang ada menjadi titik tolak
konflik antara yang satu dengan yang lain (Toleransi et al., 2017)
Target Pendidikan Agama Islam harus berorientasi pada akhlak. Bahkan dalam pengajaran
akidahnya, kalau perlu semua peserta didik disuruh merasakan jadi orang yang beragama lain.
Tujuanya adalah bukan untuk konfersi, melainkan dalam rangka agar mereka memper_tahankan
iman. Sebab, akidah itu harus dipahami sendiri, bukan dengan cara taklid, taklid tidak dibenarkan
dalam persoalan akidah.
Pola pendidikan dengan paradigma inklusif akan menghasilakan out-put pendidikan atau peserta
didik yang mempunyai pengetahuan, mental dan perilaku toleran. Dalam prakteknya pendidikan
anti terorisme dapat diartikan sebagai proses pembelajaran dimana mata pelajaran agama atau
kelompok mata pelajaran agama (Aqidah, Akhlak, fiqih, Al-Qur’an–Hadits) senantiasa
dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai lokal (local wisdom) dengan mengedepankan semangat
kemanusiaan.
Ada tiga fungsi dari implementasi pendidikan toleransi ini, yaitu; Pertama, sebagai ikhtiar
dalam membentuk akhlaq mulia peserta didik yang terejawantahkan dalam kualitas keimanan dan
ketaqwaannya. Kedua, sebagai ikhtiar dalam menekan, membatasi, serta menghilangkan ruang
gerak para pelaku aksi terorisme. Ketiga, sebagai ikhtiar untuk menguatkan kembali umat Islam
yang memiliki kesantunan, ramah, dan cinta damai.

KESIMPULAN
Pendidikan Islam tentang toleransi, setidaknya didasarkan pada; Pertama, Falsafah
pendidikan toleransi, yaitu proses pengenalan dan pemberian informasi tentang nilai-nilai toleransi,
dengan harapan membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang bermoral, berwatak serta
bertanggung jawab dalam rangka membangun hidup bermasyarakat dan berbangsa. Kedua, Aqidah
Inklusif Sebagai Pijakan Pendidikan toleransi, yaitu menumbuhkan saling menghormati kepada
semua manusia yang memiliki mazhab atau keyakian yang berbeda dalam beragama.
Pandangan Islam terhadap Pendidikan toleransi tercermin pada beberapa isu pokok yang
dipandang sebagai dasar pendidikan toleransi, diantaranya: Pertama, kesatuan dalam aspek
ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu); Kedua, kesatuan kenabian; Ketiga, tidak ada paksaan dalam
beragama; dan Keempat, pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Namun demikian, dalam
proses pelajaran Agama Islam dapat diperoleh suatu gambaran bahwa implementasi pendidikan
agama Islam, jika dilihat dari segi materi yang termuat dalam buku ajar Al- Qur’an Hadits dan Fiqih,
belum sepenuhnya mencerminkan visi toleransi.

REFERENSI
Achmad, Y. (2020). KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER INDIGENOUS DALAM
PERSPEKTIF ALQURAN. Jurnal Pendidikan Karakter.
https://doi.org/10.21831/jpk.v10i1.29002

Chaer, M. T. (2016). Pendidikan Inklusif Dan Multikultur Dalam Perspektif Hadis Nabi Saw.
Cendekia: Journal of Education and Society, 14(2), 209.
https://doi.org/10.21154/cendekia.v14i2.669

Muvid, M. B., Miftahuuddin, M., & Abdullah, M. (2020). Pendidikan Islam Kontemporer
Perspektif Hasan Langgulung Dan Zakiah Darajat. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 6(1), 115–
137. https://doi.org/10.31332/zjpi.v6i1.1703

Sabri, muhammad. (2020). Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Hadis. 1, 1–85.

Setiyawan, A. (2015). Pendidikan Toleransi Dalam Hadits Nabi Saw. Jurnal Pendidikan Agama Islam,
12(2), 219–228. https://doi.org/10.14421/jpai.2015.122-07
Toleransi, N., Komunikasi, M., & Vol, B. (2017). Nilai-nilai Toleransi dalam........... 9(1).

Anda mungkin juga menyukai