Anda di halaman 1dari 13

Kilas Balik Pendidikan Perdamaian Dalam Upaya Mencegah

Konflik Antar Umat Beragama

Fitriatunnisa’
Universitas Islam Raden Rahmat Malang
Email : fitriamahveen@gmail.com

Sinta Dewi Utari


Universitas Islam Raden Rahmat Malang
Email : usintadewiutari@gmail.com

ABSTRAK
Pemahaman dari kilas balik pendidikan perdamaian sebagai salah satu upaya
pencegahan terjadinya konflik antar umat beragama khususnya di indonesia yang
memiliki berbagai Agama. Begitu banyak Agama yang ada di Indonesia sehingga
seringkali terjadi konflik sosial atau konflik antar umat beragama sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa damai dalam masyarakat. Dengan demikian,
dibutuhkan suatu pencegahan yang sedapat- dapatnya mampu menyelesaikan konflik
tersebut. Remaja yang merupakan generasi penerus bangsa tentunya harus dibekali
sejak dini mengenai Pendidikan Perdamaian sehingga remaja menyadari bagaimana
mereka harus bersikap dalam menghadapi perbedaan-perbedaan tersebut. Metode
penelitian yang digunakan dalam artikel ini yaitu metode penelitian kualitatif melalui
penelitian pustaka. Hasil dari penulisan artikel ini yakni ada beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk menerapkan pendidikan perdamaian bagi remaja ialah seperti:
memperkuat dasar kerukunan antar umat beragama, menciptakan suasana kehidupan
beragama yang kondusif, melakukan eksplorasi secara luas tentang nilai-nilai
kemanusiaan.

PENDAHULUAN

Lahirnya ide pendidikan perdamaian yang utama yaitu karena suatu konflik yang
memicu. Melihat begitu banyak akibat dan dampak negatif dari konflik seperti perang yang dipicu
oleh perselisihan politik, teritorial, konflik sosial, rasisme atau konflik etnis dan ideologi, maka
merasa perlu untuk memikirkan perdamaian tanpa kekerasan. Di seluruh tempat, perdamaian
merupakan harapan semua orang. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang pada dasarnya senang
terlibat dalam konflik sekali pun dalam lingkup yang kecil. Sebab dengan adanya perdamaian
memungkinkan semua sektor kehidupan dapat beroperasi dengan baik.
Dalam ruang lingkup komunitas terkecil, yaitu keluarga, perdamaian membuat keluarga
berkembang dengan harmonis, penuh cinta kasih dan saling menguntungkan. Adanya hubungan
yang baik antar sesama anggota keluarga merupakan benih yang sangat baik dalam membangun
hubungan yang baik juga dengan masyarakat, terlebih hubungan sesama remaja sebagai warga
negara dan juga antar agama. Namun secara historis manusia telah mencatat dan menunjukkan
konflik bahkan hingga pertumpahan darah baik secara personal maupun kolektif. Konflik antar
personal yang tak terselesaikan menumbuhkan ketidak-enakan dan kebencian. Konflik dalam
keluarga umumnya menyebabkannya terjadinya broken home yang dimana anak-anak termasuk
remaja sering menjadi korban dari konflik tersebut.
Konflik antar anggota umat yang seagama menimbulkan perpecahan. Konflik antar
agama menimbulkan kebencian antar umat yang terkadang memicu anarkisme. Konflik antar
bangsa memunculkan peperangan yang menyebabkan banyak orang kehilangan nyawa, cacat
fisik, terganggu mental dan kemiskinan. Konflik-konflik ini membawa dampak yang negatif
dan cenderung merugikan bagi masyarakat apalagi dalam ruang lingkup Remaja. Sebab itu,
konflik tidak bisa dibiarkan begitu saja.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif melalui penelitian
pustaka (Library Research). Data-data akan dikumpulkan lewat buku- buku dan jurnal-jurnal
yang berkaitan dengan penelitian untuk dijadikan bahan acuan dari penulisan artikel ini. Setelah
dikumpulkan dan diolah maka akan ditarik kesimpulan untuk memperoleh bagaimana
pendidikan perdamaian bagi remaja sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik antar umat
beragama.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Peace Education / Pendidikan Perdamaian
Istilah peace education terdiri atas dua kata: peace dan education. Dalam bukunya
Education and Peace, Maria Mon Tessori menjelaskan, "Peace is a goal that only be attained
through common accord, and the means to achieve this unity for peace are twofold: first, an
immediate effort to resolve conflicts without recourse to violence in other word, to prevent war
and second, a long-term effort to establish a lasting peace among men." Perdamaian adalah
tujuan yang hanya dapat dicapai melalui kesepakatan umum dan sarana untuk mencapai kesatuan.
Untuk mencapai perdamaian, meliputi dua hal: upaya menyelesaikan konflik tanpa kembali ke
kekerasan, dengan kata lain, untuk mencegah perang, usaha jangka panjang untuk membangun
perdamaian abadi di antara manusia. Masih di buku yang sama ia mengatakan, "Preventing
conflicts is the work of politics; establishing peace is the work of education ." Mencegah
konflik adalah karya politik; membangun perdamaian adalah karya pendidikan.

Menurut Azyumardi Azra, pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Menurut Kingsley
Price "education is the process by which the non physical possenssion of a culture are preserved
or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults."1 Maksudnya, pendidikan
adalah proses di mana kekayaan budaya nonfisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh
anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa.
Adapun menurut Mochtar Buchori pendidikan mengandung dua makna, yaitu pertama, segenap
kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri
sejumlah siswa; kedua, semua lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan
kegiatan pendidikannya atau suatu pandangan. Dengan kata lain, istilah pendidikan pada bagian
pertama bermakna kegiatan penanaman nilai terhadap peserta didik, sementara pengertian yang
kedua lebih kepada lembaga pendidikan atau institusi. Dalam tulisan ini, yang dimaksud
pendidikan lebih kepada pengertian yang pertama, yaitu kegiatan yang dilakukan dalam kerangka
menanamkan nilai-nilai.

Selanjutnya, bagaimana pengertian dari peace education? Peace yang lebih education,
mirip seperti konsep perdamaian itu sendiri. Sementar untuk mengetahui pengertian peace
education's komprehensif, bisa dilihat dari pendefinisian yang ada dalam Piagam PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa), Konstitusi UNESCO (United Nations of Education, Scientific,
and Cultural Organization) dan pernyataan umum hak asasi manusia 1974, dinyatakan:
Education shall be directed to the full development of the human personality and to the
strengthening of respect for human right and fundamental freedoms. It shall promote
understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religion groups, and shall
further the activities of the United Nations for the maintenance of peace.
Maksudnya, pendidikan akan diarahkan kepada pengembangan pribadi manusia dan untuk
memperkuat rasa hormat kepada hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Perlunya kemajuan
pemahaman, toleransi, dan persahabatan antara bangsa, ras, atau kelompok agama, dan akan
memajukan aktivitas PBB untuk memelihara perdamaian.
Definisi tersebut menunjukkan akan pentingnya pendidikan pada konteks heterogenitas
manusia dengan dasar hak asasi setiap orang untuk diakui dan dihormati, kemudian perlunya
saling memahami, toleransi, dan berhubungan walaupun berbeda bangsa, ras, ataupun agama,
tetapi tetap dalam lingkaran yang sama, yaitu perdamaian.

Disebabkan perdamaian dianggap penting, maka UNESCO pada 1974 mengambil langkah
untuk mengembangkan melalui jalur pendidikan agar menjadi pendekatan yang utuh. Pernyataan
itu berbunyi, "UNESCO recommendation concerning education for internasional, understanding,
cooperation, and peace and education relating to human right and fundamental freedoms". Wujud
dari pernyataan UNESCO tersebut berlanjut dalam bentuk konstitusi yang berisi perintah untuk
membangun budaya perdamaian dalam setiap pemikiran orang yang hidup di dunia (in the minds
of men). Di sini juga disebutkan tentang budaya perdamaian (Culture of Peace) menurut
UNESCO tahun 1992, yaitu value, attitude, behavior and ways of life based on non violence and

1
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 4.
respect for fundamental right and freedoms, on understanding, tolerance and solidarity, on the
sharing, and free flow of information and the full participation and empowerment of women."
Maksudnya adalah budaya perdamaian merupakan bagian dari nilai, sikap, perilaku, dan cara
hidup yang didasarkan pada penolakan kekerasan dan hormat terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan, pemahaman, toleransi dan solidaritas, saling berbagi, dan bebas memperoleh
informasi dan penuh partisipasi serta ada kesempatan bagi wanita.
Maka, peace education (pendidikan perdamaian) dalam konteks budaya perdamaian harus
ditumbuh-kembangkan sebagai kebiasaan kebiasaan yang baik seperti nilai, sikap saling
menghormati, adanya kebebasan bagi setiap orang, adanya sikap kepedulian, saling berbagi tanpa
ada perbedaan-perbedaan dalam hubungan dengan tanpa konflik. Kemudian, apabila terjadi
konflik harus dicari akar sesama permasalahan dengan memprioritaskan cara-cara yang
menguntungkan bagi semua. Berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh efektif dan efisien untuk
diberlakukan, yaitu bisa melalui dialog dan negosiasi antara pihak-pihak yang mengalami konflik.
Dalam mukadimah Piagam PBB (Peace Education Site Draff, 2000) disebutkan tentang peace
education sebagai berikut.
Peace education has developed as a means to achieve the goals. It is education that is directed
to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human
right and fundamenta freedoms". It promotes "understanding, tolerance and friendship among all
nations, racial or religious groups" and furthers "the activities of the United Nations for the
maintenance of peace.
Peace education telah dikembangkan sebagai tujuan utama yang harus dicapai. Ini berarti
pendidikan diarahkan untuk pengembangan kepribadian manusia dan memperkuat rasa hormat
kepada hak asasi manusia serta kebebasan mendasar, tujuannya untuk saling memahami, toleransi,
dan persahabatan antara semua bangsa, ras, atau kelompok agama memperkuat aktivitas dari PBB
untuk memelihara perdamaian.
Kesimpulannya, bahwa peace education adalah pendidikan yang dan diarahkan kepada
pengembangan kepribadian manusia, menghormati hak asasi manusia, adanya kebebasan yang
mendasar, saling pengertian, toleransi dan menjalin persahabatan dengan semua bangsa, ras, dan
antar-kelompok yang mengarah pada perdamaian. Dengan melalui dan proses pendidikanlah
perdamaian bisa dibangun dengan kukuh di atas landasan penghargaan atas perbedaan-perbedaan
yang ada.

Sejarah Peace Education / Pendidikan Perdamaian


Sementara itu, istilah education memiliki banyak pengertian. UNESCO memberikan definisi
tentang education sebagai seluruh proses kehidupan sosial dengan cara baik oleh individu maupun
kelompok sosial belajar mengembangkan kesadaran untuk kepentingan masyarakat nasional dan
internasional, yaitu pengembangan kapasitas pribadi, sikap, bakat, dan pengetahuan."
Terdapat dua konsep inti dari kata peace dalam peace education, yakni negative peace dan
positive peace. Negative peace didefinisikan sebagai tiadanya secara langsung kekerasan
terorganisasi dan fisik, seperti perang misal nya. Upaya untuk mempromosikan perdamaian negatif
di antaranya dengan pelucutan senjata dan mendorong adanya inisiatif perdamaian. Sementara itu,
positive peace memerlukan tidak adanya kekerasan struktural dan menekankan promosi hak asasi
manusia untuk memastikan pengertian dan pemahaman yang komprehensif akan terwujudnya ke
adilan sosial. Pendidikan HAM dan upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial adalah contoh
dari mosikan positive peace. upaya untuk mempro

Adalah Comenius (1642-1969), seorang pendidik Ceko, salah satu orang Eropa pertama yang
menggunakan kata kata tertulis dalam mengungkapkan pentingnya peace education." Melihat
kondisi sosial masyarakat pada abad ketujuh belas itu, ia menyakini bahwa pengetahuan universal
bersama (keberagaman) dapat memberikan sumbangsih terhadap upaya mewujudkan perdamaian.
Pendekatan yang diguna kan untuk mewujudkan perdamaian salah satunya dengan cara memahami
keberadaan orang lain yang berbeda dan penghayatan terhadap nilai-nilai bersama dalam
mendialog kan perbedaan yang bermuara pada tiadanya konflik. Oleh karena itu, tujuan utama
peace education adalah terciptanya sebuah tatanan dunia yang mana baik laki-laki maupun
perempuan dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan penerimaan akan keberagaman
budaya yang ada." Dengan demikian, adanya perbedaan budaya, adat istiadat, bahkan mungkin
keyakinan agama tak menghalangi mereka untuk bisa hidup berdampingan dengan saling
menghormati dan menghargai satu sama lain.
Perkembangan peace education itu sendiri sejalan dengan upaya-upaya manusia dari berbagai
kalangan dan belahan dunia dalam mewujudkan perdamaian. Gerakan perdamaian modern yang
getol menentang perang telah dimulai sejak abad ke-19 setelah perang Napoleon, di mana pada
saat itu telah terbentuk jajaran intelektual dan politisi progresif. Masyarakat, pada masa itu telah
serius mempelajari akan adanya ancaman perang dan dampaknya bagi masyarakat. Tak hanya itu,
mereka menyebarkan argumen perlawanan terhadap kegiatan produksi senjata secara massal. Dari
situlah mulai muncul organisasi yang bergiat dalam upaya-upa ya perdamaian di Inggris, Belgia,
dan Prancis.

Namun demikian, jauh sebelum itu upaya-upaya untuk mewujudkan kehidupan damai sudah
dapat dijumpai pada masa awal Islam, yakni abad ke-7 Masehi. Nabi Muhammad sebagai
pembawa risalah Islam memberikan pengajaran kepada para sahabat untuk menghormati pemeluk
agama lain. Hal ini terlihat ketika Nabi tiba di Kota Madinah dan resmi menjadi pemimpin kota.
Nabi Muhammad menjalin persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di
Madinah, selain orang-orang Arab Islam, terdapat golongan masyarakat Yahudi dan Nasrani serta
penganut agama nenek moyang mereka. Untuk mewujudkan stabilitas, Nabi mengadakan ikatan
perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama bagi penganut
non-Islam. Dari situ dapat dilihat bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW di masa
awal pertumbuhannya telah menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Jadi, pen didikan Islam di
masa awal telah berada dalam perjuangan dan usaha untuk mencapai perdamaian."2

Sayangnya, sepeninggal Nabi Muhammad, ajaran perdamaian yang telah dipraktikkan oleh
masyarakat Muslim pada masa awal peradaban Islam tersebut seolah hilang seiring dengan
terjadinya berbagai konflik dan perang yang melibatkan internal umat Islam sendiri maupun
dengan ke lompok non-Islam. Konflik dan pertikaian terjadi pada masa Khulafa ar-Rasyidin, masa
Muawiyah, serta masa-masa berikutnya bahkan hingga periode dewasa ini. Konflik dan perang
masih terus kerap terjadi terutama di kawasan Islam Timur Tengah. 55 Hal tersebut yang
kemudian membuat seolah ajaran perdamaian dalam Islam hilang begitu saja. Hingga kemudian
wacana pentingnya pendidikan perdamaian muncul pada era kontemporer pada abad ke-19 Masehi
sebagaimana telah disinggung di atas.

Gelombang gerakan perdamaian abad ke-19 ini berkaitan erat dengan asosiasi para pekerja
sosial dan kelompok politik sosialis. Fase terakhir dari gerakan perdamaian abad ke 19 tersebut
mendahului Perang Dunia Pertama yang terjadi pada 28 Juli 1914-11 November 1918. Organisasi
perdamaian dibentuk di hampir seluruh negara Eropa, yang selanjut nya menyebar ke Amerika
Serikat dan negara-negara yang baru terbentuk dari Italia hingga Jerman. Saat abad ke-19 akan
berakhir, kelompok pendidik, murid-murid sekolah, mahasiswa, dan profesor di sejumlah kampus
berkomit men membentuk masyarakat damai dengan cara mendidik masyarakat umum akan
bahaya perang yang telah memakan banyak korban." Sebelumnya, usai Perang Dunia 1, berbagai
pihak yang terlibat dalam peperangan sepakat untuk meng hentikan perang dan membuat
perjanjian damai yang kita kenal dengan sebutan Perjanjian Versailes (1919). Ini adalah suatu
perjanjian damai yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia I antara Sekutu dan Kekaisaran
Jerman. Setelah enam bulan negosiasi melalui Konferensi Perdamaian Paris, per janjian ini
akhirnya ditandatangani sebagai tindak lanjut dari pelucutan senjata yang ditandatangani pada
November 1918 di Compiègne Forest, yang mengakhiri perseturuan sesungguhnya."
Dalam perkembangan selanjutnya, awal abad ke-20, orang Eropa dan Amerika menginisiasi
gerakan perdamaian untuk melobi pemerintah mereka terhadap pameran kekuatan senjata yang
akhirnya menyebabkan Perang Dunia I. Seorang Austria bernama Bertrha von Suttner, yang
membantu menyakinkan Alfred Nobel untuk menghelat pemberian hadiah perdamaian, menulis
novel menentang perang dan mengorganisasi kongres perdamaian internasional. Kongres ini
mengusung gagasan bahwa konflik internasional yang mewujud dalam peperangan harus
diselesaikan melalui mediasi bukan adu senjata. Perhelatan kongres bertujuan untuk memengaruhi
opini publik tentang pembangunan kekuatan dunia militer yang menandai Perang Dunia 1. Selain
itu, ajang bagi para elite pemangku kekuasaan agar dapat mengadopsi nilai-nilai perdamaian da
lam kebijakan publik yang lebih luas.

2
Ikhsan Saleh, Peace Education: Kajian Sejarah, Konsep & Relevansinya dengan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012), hlm. 117-118.
Dalam ranah pendidikan, pada 1912, School Peace League telah memiliki cabang di hampir
seluruh negara bagian di Amerika Serikat yang mempromosikan perdamaian melalui sekolah,
mengedepankan kepentingan keadilan internasional dan persaudaraan antarumat manusia." Tak
hanya kegiatan promosi, mereka juga memiliki rencana ambisius untuk memperkenalkan lebih
dari 500.000 guru yang berkomit men untuk menyemai nilai-nilai perdamaian.

Pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, guru mengajarkan perdamaian melalui mata
pelajaran sosial dan materi hubungan internasional sehingga peserta didik tidak mudah
terprovokasi untuk memerangi orang asing. Mereka berkeyakinan bahwa sekolah mampu berperan
sebagai lokomotif untuk mendorong terwujudnya perdamaian dan menghindari perang, sekaligus
menumbuhkan semangat nasionalisme kebangsaan. Pendidikan perdamaian memiliki kontribusi
besar terhadap reformasi pendidikan yang mengarah kepada pendidikan progresif yang
memandang sekolah sebagai wahana untuk meningkatkan kemajuan sosial dan teknologi dengan
membangun kesadaran berempati dan rasa kemanusiaan dalam diri para peserta didik. Dengan
kesadaran itu, mereka tak lagi berpikir untuk perang, melainkan lebih mengedepankan
persaudaraan dan perdamaian.
Gerakan perdamaian pun tak hanya dimonopoli oleh kaum Adam. Awal abad ke-20, muncul
sejumlah pendidik perempuan yang bergiat dalam ranah upaya-upaya perdamaian. Kita bisa
menyebut Jane Addams," seorang perempuan Amerika, mendesak sekolah-sekolah untuk
memasukkan kelompok kelompok imigran. Dengan mengusung slogan Peace and Bread, ia
mengartikulasikan sebuah visi bahwa kemiskinan menjadi pemicu utama terjadinya sebuah
perang. Penerima Nobel Perdamaian 1931 ini merasa bahwa pendidik diperlukan sebagai
penyambung perjuangan masyarakat Amerika dalam menciptakan masyarakat yang demokratis.
Addams menolak kurikulum tradisional yang memberi ruang pen didikan terbatas hanya dalam
ranah domestik dan terkekang dalam isu rumah tangga. Ia menginginkan perempuan agar bekerja
untuk reformasi yang mengakhiri eksploitasi anak sebagai pekerja. Addams juga mendorong agar
perempuan turut serta dalam kampanye internasional mendukung misi Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang dibentuk setelah Perang Dunia I untuk mendirikan forum global, yang mana bangsa
bangsa di seluruh dunia memilih untuk melakukan genjatan senjata. Dalam kurun beberapa waktu
lamanya perjuangan tersebut berhasil menginspirasi banyak orang di berbagai negara, meski
meletusnya Perang Dunia II pun kelak tak terhindarkan.
Pada saat bersamaan, seorang perempuan Italia, Maria Montessori," tengah melakukan
perjalanan keliling Eropa, mendesak guru untuk meninggalkan model pembelajaran otoriter dan
mengganti kurikulum yang kaku dengan kurikulum yang dinamis, di mana peserta didik diberikan
ke bebasan dalam belajar. Montessori beralasan bahwa anak tidak secara otomatis mengikuti guru
otoriter, tidak harus mematuhi penguasa yang mengajak mereka untuk ber perang. Montessori
melihat bahwa pembangunan perdamaian tergantung pada pendidikan yang akan membebaskan
jiwa anak, mempromosikan cinta kepada orang lain, dan mengenyahkan ketaatan buta terhadap
otoritas. Pendidik kelahiran Italia ini menekankan bahwa metode guru atau pembelajaran dapat
berkontribusi untuk membangun dunia damai. Seluruh sekolah harus mencerminkan karakteristik
yang menopang terbentuknya keluarga yang sehat."

Upaya-upaya tersebut tampaknya belum membuahkan hasil gemilang. Perang Dunia II pun
pecah tak terelakkan. Namun, dari perang inilah tercipta minat baru dalam pen didikan
kewarganegaraan bagi dunia. Tepat seusai perang, usaha mengolaborasikan seni dan peace
education meng hasilkan kajian yang memotivasi orang untuk terus mem promosikan perdamaian.
Montessori pun mengubah strategi pendidikannya. Ia melangkah maju untuk mentransformasi kan
perdamaian melalui pendidikan ditempuhnya dengan membuka kursus, seminar, dan lokakarya di
berbagai negara, seperti Jerman, Amerika Serikat, Denmark, Ing gris, Austria, Prancis, Spanyol,
Swiss, Rusia, Belanda, dan Pakistan. Ia berargumen bahwa manusia dapat menggunakan kapasitas
kreatif mereka untuk menghindarkan diri dari perangkap kekerasan yang merusak. Tak hanya
merusak, kekerasan sejatinya juga memunculkan kerugian, baik fisik maupun psikis bagi
korbannya. Kerugian fisik mudah untuk dilupakan dan tidak sulit untuk mencari penggantinya.
Namun, kerugian psikis sangatlah sulit dilupakan dan dapat melahirkan trauma berkepanjangan.

Hal itulah yang mendorong Montessori memperjuangkan perdamaian melalui wahana


pendidikan. Ia menyakini bahwa pendidikan sebagai jalur yang setrategis yang menghubungkan
kehidupan masyarakat yang ada saat ini dengan kehidupan masyarakat di masa depan yang lebih
cemerlang. Pendidikan sejatinya juga bukan hanya untuk menjawab persoalan masyarakat yang
diwarnai kekerasan, ketidakadilan, dan peperangan, melainkan memberikan keyakinan bahwa kita
memiliki potensi untuk hidup berdampingan dengan yang berbeda, menumbuhkan semangat
persaudaraan dan senan tiasa membangun relasi antaranggota masyarakat guna mem bangun
perdamaian secara alamiah. Itu dapat dimulai sejak anak-anak kita belajar di bangku sekolah.

Dalam banyak tulisannya, Montessori secara eksplisit berbicara tentang pendidikan untuk
perdamaian. Ia menganalisis bahwa melalui pendidikanlah kita dapat menjadikannya sarana untuk
menghilangkan perang yang berkecamuk saat itu. Tanpa pendidikan moral dan spiritual yang
ditanamkan secara sengaja, manusia cenderung akan kembali untuk berperang. Nilai-nilai seperti
kewarganegaraan global, tanggung jawab pribadi, dan menghormati kebhinekaan harus menjadi
bagian implisit dan eksplisit pendidikan setiap anak. Penana man nilai-nilai perdamaian dalam
pendidikan menurut Mon tessori sama pentingnya dengan pelajaran matematika atau ilmu
pengetahuan bahasa.3 Pada posisi ini, ia menempatkan secara sejajar semua mata pelajaran di
sekolah sebagai sesuatu yang penting sebagaimana pentingnya menanamkan nilai-nilai
perdamaian, entah melalui pelajaran khusus untuk itu atau mengimplisitkan dalam mata pelajaran
lain yang se cara tidak langsung berisi materi tentang perdamaian.
Sejumlah kajian menyebut bahwa program akademik studi perdamaian awal, di level
perguruan tinggi, didirikan pada 1948 di Manchester College, North Manchester, Indi ana,
Amerika Serikat. Menyusul kemudian, pada 1950, bidang penelitian perdamaian dikembangkan

3
M Nurul Ikhsan Saleh, Peace Education, hlm, 49-50.
sebagai science of peace. Penelitian ini dilakukan sebagai kerangka melawan ilmu perang yang
telah melahirkan petaka bagi kemanusiaan. Pada 1955, sebuah manifesto diterbitkan oleh Bertrand
Russell dan Albert Einstein dan ditandatangani oleh sejumlah akademisi terhormat lainnya.
Dengan dukungan ilmuwan dari semua kubu politik, mereka berkumpul untuk mengkaji ancaman
terhadap peradaban karena munculnya senjata ter monuklir. Ancaman perang nuklir kembali
meradang di era 1980-an. Hal ini mendorong pendidik di berbagai kawasan dunia terpanggil untuk
memperingatkan kehancuran di masa mendatang. Untuk menyuarakan keprihatinan atas an caman
keberadaan nuklir tersebut, mereka meluncurkan tiga buah buku, yaitu Education for Peace karya
Birgit Brocke Utne (1985) asal Norwegia, Comprehensive Peace Education buah pena Betty
Readon (1988) dari Amerika Serikat, dan Peace Education karya lan M. Harris yang terbit pada
1988, juga asal Amerika Serikat. Tiga buku inilah yang ke mudian menjadi rujukan utama bagi
studi-studi perdamaian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Juga menginspirasi sejumlah
kalangan akademisi, pegiat perdamaian untuk melakukan penelitian lebih lanjut di negara masing-
masing dan menuliskannya dalam bentuk buku.

Studi peace education pun kian meluas hingga penghujung abad ke-20. Pada era ini, terjalin
perkembangan yang cukup menggembirakan, di mana terjalin hubungan simbiosis penting antara
gerakan perdamaian, peneliti perdamaian, dan pelaku peace education. Pengembangan strategi pun
dilakukan oleh pemimpin aktivis untuk memperingatkan masyarakat tentang bahaya kekerasan,
apakah itu perang antarnegara, kerusakan lingkungan, ancaman bencana pemusnah massal,
kolonialisme, budaya kekerasan yang kian mengancam baik dalam ranah domestik atau kekerasan
struktural yang terjadi secara sistematik. Kalangan akademis mempelajari perkembangan lebih
lanjut bidang penelitian perdamaian. Pegiat perdamaian memperluas pesan mereka dengan
mengajar orang lain melalui pendidikan informal yang berbasis masyarakat melalui kegiatan peace
education. Sementara itu, para guru mengamati kegiatan, mempromosikan studi perdamaian,
kursus, serta program-program di sekolah dan perguruan tinggi untuk memberikan kesadaran akan
pentingnya perdamaian serta menentang keras pe perangan dan kerusakan lingkungan. 4
John Dewey adalah salah satu tokoh pendidikan yang turut serta mempromosikan peace
education. Ketertarikan nya terhadap peace education bisa kita lihat ketika ia me nilai bahwa peace
education harus dilandasi nilai-nilai mo ral, nilai-nilai demokrasi, dan etika keagamaan. Dewey
juga menyakini bahwa sekolah bisa berfungsi sebagai dasar untuk perubahan yang dinamis.
Sekolah juga memungkinkan membuat setiap peserta didik menyadari potensi yang di milikinya
untuk berperan serta membangun kehidupan damai nir kekerasan. Hingga bertahun-tahun, masa
Perang Dunia II, Dewey dengan penuh semangat meneliti cara-cara peace education dapat menjadi
instrumen efektif dalam mempromosikan pemahaman global dengan cara memasuk kan
wacananya di lembaga pendidikan dan buku pelajaran. la mengungkapkan, ada dua mata pelajaran
yang diperlu kan untuk membangun pemahaman internasional: geografi dan sejarah. Dia yakin

4
M Nurul Ikhsan Saleh, Peace Education, hlm. 52.
bahwa kedua mata pelajaran tersebut memungkinkan peserta didik untuk mengonstruksikan masa
lalu untuk mengatasi persoalan kontemporer.

Hingga abad ke-21, perkembangan peace education tak pernah redup, bahkan terus bergerak
intens seiring dengan persoalan umat manusia yang kian kompleks, khususnya ketika berhadapan
dengan dinamika kemajemukan yang ada. Studi-studi perdamaian pun dilakukan tidak hanya di
lembaga pendidikan maupun lembaga penelitian, tetapi juga dilakukan oleh sejumlah Non-
Government Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di seantero dunia,
termasuk Indonesia.

Tujuan Pendidikan Perdamaian


Menurut Rantung, tujuan utama dari pendidikan perdamaian ini tidak lain adalah untuk
membantu mewujudkan situasi kehidupan yang rukun, aman, tenang, dan tanpa konflik. Sekaligus
Rantung meyakinkan bahwa masyakat mampu untuk hidup harmonis dengan sesama manusia
dan dengan seisi bumi.
Dalam kalangan peserta didik, pendidikan perdamaian bertujuan untuk membangun suatu
citra interaksi yang positif, beradab sebab peserta didik mempunyai cara pandang yang benar
mengenai bagaimana seharusnya memperlakukan orang lain. Sehingga mampu memberikan
penghargaan terhadap perbedaan ras, gender, agama, budaya, penampilan fisik, usia, kesatuan,
kerjamasama dan juga pola pikir. Dalam lingkup nasional perndidikan perdamaian tentu bertujuan
untuk mencegah terjadinya konflik internal yang dapat membawa kehancuran dan perpecahan
bagi satu bangsa. Dalam skala internasional pendidikan perdamaian bertujuan untuk mencegah
terjadinya perang antar negara dan membangun relasi yang konstruktif dan positif baik secara
bilateral maupun multilateral.

Konflik Antar Agama


Indonesia termasuk sebagai negara yang cukup dikagumi oleh negara- negara lain
khususnya dalam hal kemajemukan. Sebab Indonesia terdiri dari berbagai ras, suku bangsa,
bahasa dan agama yang membentuknya. Keberagaman tersebut yang menopang Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga tetap kokoh berdiri sebagai suatu bangsa.
Artinya, tanpa sokongan yang kuat dari berbagai elemen dalam kemajemukan tersebut tentu
Indonesia sudah terpecah belah. Itulah sebabnya Indonesia dapat disebut sebagai kiblat
kemajemukan dunia. Toleransi yang terbilang sangat tinggi membawa kerukunan bagi seluruh
lapisan masyarakat yang memungkin semua sektor kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa banyak juga konflik timbul yang
disebabkan oleh keberagaman tersebut. Seperti konflik antar suku dan konflik antar agama.
Konflik-konflik ini tentu menjadi beban sejarah bagi masyarakat pada masa setelahnya, sekali
pun dampaknya sudah kian mengecil. Selain itu, anak-anak yang mengalami konflik atau sebagai
korban dari suatu konflik tentu memiliki trauma tersendiri yang membuatnya sedikit berbeda
dengan anak yang tumbuh-besar jauh di luar konflik. Mereka mempunyai konsep dan cara
pandang tersendiri untuk melihat konflik secara lebih sensitif karena sudah mengalaminya. Pada
akhirnya nanti mereka akan membuat keputusan antara dua pilihan, pertama, apakah mereka
memilih jalan damai sebab sudah mengalami sendiri kerugian yang disebabkan oleh konflik?
Atau kedua, apakah justru membalaskan kembali atas apa yang telah diterima dari pihak yang
dianggap musuh?.
Pada masa lalu Indonesia masih sarat dengan istilah “perang suku” di mana konflik
yang terjadi mengatasnamakan suku-suku tertentu. Namun perang suku tersebut semakin lama
semakin menghilang. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya perdamaian dan membangun
relasi yang baik antar pribadi maupun kelompok bahkan antar bangsa. Menghilangnya perang
antar suku besar kemungkinan dipengaruhi oleh modernisasi yang kian meluas. Berkembangnya
ilmu pengetahuan membuat informasi lebih cepat sampai kepada masyarakat. Hal ini
berdampak pada pengetahuan masyarakat yang kian berkembang pula yang mengubah world view
yang benar lebih cepat diserap. Namun sekali pun modernisasi kian meluas, konflik agama masih
saja sering terjadi
Upaya Mendorong Kerukunan Umat Beragama
Dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang
mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk:
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat
beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan
mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi
dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan
pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan
kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh
keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam
melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan
memperlihatkan adanya sikap keteladanan.

Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu selalu tidak
formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya selektifitas kualitas moral seseorang dalam
komunitas masyarakat mulya (Makromah), yakni komunitas warganya memiliki kualitas
ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang
mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-
nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan
rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang
manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.

7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab
itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.

KESIMPULAN
Dalam pendidikan damai, didorong sikap saling pengertian, toleransi dan persahabatan tanpa
memandang perbedaan ras dan agama. Hal ini diistilahkan dengan peace education.
Kata peace atau damai berlaku umum dan merupakan lawan kata dari violence atau kekerasan.
Kekerasan dapat terjadi di seluruh aspek kehidupan. Dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan
budaya.
Dalam bidang pendidikan, bentuk-bentuk hukuman atau sanksi yang kelewat batas,
penyalahgunaan wewenang, pemaksaan dan tekanan atau menyalahi kode etik dan norma
kepatuhan, juga disebut sebagai bentuk kekerasan dalam pendidikan. Pendidikan berdasarkan pada
dasar-dasar pendidikan yang wajib bagi kedua orangtua untuk menjaganya, dimulai dengan cinta
kasih dan persahabatan, keterusterangan, pemahaman dengan keadaan anak-anaknya dan
permasalahan mereka serta kondisi tertentu mereka, agar dijelaskan dengan bijaksana, lalu
memberikan petunjuk yang relevan dan jalan yang benar baginya.
Untuk mencapai tujuan peace education (pendidikan yang damai), dapat dilakukan dengan
memahami penyebab kekerasan dalam masyarakat, yaitu mengenal lebih dalam kondisi sosial
yang bisa menyebabkan perilaku kekerasan dan mengkaji suasana kekerasan yang mampu
menimbulkan perilaku kekerasan. Pendidikan damai (peace education) merupakan proses
pendidikan yang memberdayakan masyarakat agar mampu memecahkan konflik dengan cara
kreatif dan bukan dengan cara kekerasan. Dalam konteks ini, pendidikan damai menjadi sangat
terkait dengan tingkat kepuasan masyarakat. Kesulitannya adalah tatkala cara kreatif yang
ditempuh tidak menjadikan masyarakat puas dalam penyelesaian konflik.
Untuk mencapai hasil itu, para siswa terutama remaja, perlu mendapat sosialisasi pendidikan
damai, sehingga mereka terbiasa menghadapi konflik dengan memilih penyelesaian yang kreatif,
itulah sebabnya pendidikan kreatif perlu dikembangkan agar tumbuh rasa toleransi, saling
menghargai, rasa empati kepada sesama dan juga menumbuhkan rasa percaya diri dan sikap sabar.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Nurcholish. Peace Education & Pendidikan Perdamaian GUS DUR. Jakarta : Gramedia,
2015
Abubakar, Irfan. Menuju Paradigma Peacebuilding Pasca Konflik Kekerasan, Edisi No 22
Tahun 2007
Amin, Samsul Munir.Sejarah Peradaban Islam.Jakarta : Amzah, 2010
Assegaf, Abd. Rahman.Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep.
Yogyakarta : Tiara Wacana, 2004
Galtung, Johan. Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, terj
Asnawi & Safrudin. Surabaya: Pustaka Eureka, 2003
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Ikhsan Saleh, M Nurul. Peace Education: Kajian Sejarah, Konsep & Relevansinya dengan
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012
Suwendi. Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta : Raja Grafindo, 2004
Zuhaili,Muhammad.Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta : A. H Ba’adillah Press.
2022

Anda mungkin juga menyukai