PENDAHULUAN
baik lagi. Untuk mencapai peradapan manusia yang lebih baik masyarakat harus
kekerasan. Indonesia yang pendudukanya sangat Prular, baik ras, agama, bahasa,
warna kulit dan adat istiadat memang rentan sekali untuk terjadinya konflik-
konflik yang terjadi di Indonesia, baik yang berbasis etnis, agama maupun politik.
Setiap negera memiliki ragam budaya dan karakter yang mempunyai ciri
masyarakatnya yakni dari bahasa, agama, suku, ras, warna kulit dan adat istiadat.
dampak negatif tentang keragaman budaya salah satunya yakni jika masyarakat
makna menekankan pada realisasi warga negara yang baik, yang memiliki
kompetensi holistik dalam pengetahuan, keterampilan, dan sifat berdasarkan nilai-
nilai Pancasila atau Lima Prinsip Indonesia atau karakter Nasional (Nurdin, 2015).
provinsi pada 2014; Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa
Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kepulauan Riau dan
Papua.
dalam kehidupan berbangsa menjadi suatu hal yang mutlak. Budaya damai
damai dapat dipahami sebagai hadirnya cinta, rasa iba, harmoni, toleransi, saling
asuh, interpedensi, pengenalan jiwa orang lain, dan rasa berterima kasih (Castro,
tatanan kehidupan sosial, sebagai dari sistem dan lembaga sosial, sekolah harus
peka dan tanggap dengan harapan dan tuntutan masyarakat sekitarnya. Sekolah
diharapkan menjalankan fungsinya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan optimal dan mengamankan diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar.
bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year
for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade
budaya damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace
Penetapan dekade 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai anti
Education for Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Montreal pada
Human Rights yang ditetapkan di Wina pada tahun 1993, Declaration and
Democracy yang ditetapkan di Paris pada tahun 1995 serta penetapan dekade the
Plan of Action for the United Nations Decade for Human Rights Education yang
dimulai dari 1995 sampai tahun 2005. Semenjak ditetapkan, berbagai macam
tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak
asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance),
linguistic diversity).
dan orang tua siswa. Ketiga komponen tersebut merupakan pelaku aktif proses
sebagai pendidik nilai-nilai dan pengajar ilmu pengetahuan. Siswa adalah generasi
pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai anti kekerasan pada rekan sebaya. Orang
tua adalah mitra guru yang mampu mendorong, mendukung dan mengembangkan
macam alternatif program yang akan dilakukan. Pada konteks upaya menciptakan
pada subjek pelaku yang menjadi target program yang hendak diaplikasikan.
Budaya damai dapat bersumber dari ajaran moral, agama, maupun kearifan
lokal suatu komunitas. Budaya damai yang bersumber dari konteks sosial budaya
dunia secara global, memiliki keterampilan resolusi konflik, dan berjuang untuk
menegakan keadilan tanpa kekerasan, hidup dengan merujuk pada standar hak
menghormati diantara sesama. Semua hal tersebut bisa dicapai melalui pendidikan
damai yang sistematis (Solomon dalam De Rivera, 2009; Ebura, 2011 &
Balasooriya, 2001).
Sebagai agen budaya damai, guru dituntut memiliki kompetensi untuk: (1)
Pembelajar seumur hidup, (4) memiliki toleransi dan rasa hormat yang tinggi
kepada semua budaya, (5) menghormati hak dan tidak melakukan diskriminasi
dalam bentuk apapun kepada anak didik, (6) menjadi panutan yang baik untuk
Berbagai konflik mulai dari bentuk yang paling sederhana yakni perilaku
verbal hingga kepada kekerasan yang lebih serius secara fisik berupa tawuran,
Indonesia, Yayasan Titian Perdamaian (dalam Vita, 2014) bahwa konflik yang
paling banyak terjadi pada tahun 2009-2010 adalah tawuran. Pada tahun 2009
jumlah tawauran mencapai 30% dengan jumlah 182 konflik dan pada tahun 2010
yang tidak damai, bahkan remaja memiliki resiko tinggi terhadap tindak
kekerasan di sekolah memiliki resiko yang tinggi juga terhadap tindak cyber
kepada public, atau menjadi bahan gossip secara online (Lenhart, 2007; Lenhart,
dkk, 2015)
1967; Askar, 2009). Berbagai konflik mulai dari bentuk yang paling sederhana
yakni perilaku verbal hingga kekerasan yang lebih serius berdimensi fisik berupa
beberapa siswa disekolah (Joseph, 2012). Konflik bermula dari ketidak cocokan
tujuan atau nilai antara dua pihak atau lebih dalam sebuah hubungan yang
dikombinasikan dengan upaya untuk mengendalikan setiap perasan satu sama lain
keharmonisan dan tidak adanya interaksi yang bermakna (Reimers & Chung
2010). Konflik yang paling banyak terjadi adalah bullying, baik itu secara fisik,
verbal, ataupun cyberbullying (Lenhart, 2007; Lenhart dkk, 2015; Palfrey, 2008).
menggunakan kekerasan fisik (Dececco & Richards, 2000). Ketika para siswa
kesakitan (Supardan, 2015). Sayangnya hal tersebut dianggap lumrah sebagai ciri
khas siswa sehingga tidak disadari sebagai penyebab utama terjadinya konflik di
sekolah (Voronin, 1995). Konflik antar siswa di sekolah yang paling serius
terjadinya tawuran pelajar. Tawuran pelajar bukan hanya terjadi karena kenakalan
Temuan lain terdapat sebanyak 104 melakukan kekerasan di Sulawesi tengah, dan
60 kasus terjadi di Palu. Data media online antara Sulawesi Tengah tahun 2015
orang meninggal dunia, sebanyak 2 orang mengalami luka berat karena terkena
benda tajam sampai tangannya hampir terputus. Konflik yang terjadi di Sulawesi
Tengah sampai pada konflik antar agama (Santoso, 2015). Apabila kekerasan ini
terus terjadi maka hal ini bukan hanya siswa saja yang menjadi korban melainkan
siswa yang mengganggu pun memiliki resiko kesehatan psikologis yang buruk
(Rigby, 2003).
intimidasi akan menderita baik secara akademis dan sosial. Korban akan memiliki
harga diri rendah, kecemasan, depresi yang tinggi, terisolasi secara sosial, frustasi,
tidak kondusif sebagai tempat siswa untuk belajar dan berkembang sesuai dengan
Balasooriya, 2001). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya yang serius untuk
Salah satu upaya untuk mencegah konflik pada siswa yaitu dengan
meningkatkan rasa toleransi mereka (Rivera, 2004; Castro & Galce, 2010; Conley
mengubah pola pikir siswa, dengan cara tidak melakukan kekerasan, sehingga
bersama (Fisher et al 2001; Morton & Coleman 2000; Mindes 2006). Resolusi
dimediasi melalui cara dimana individu merasakan konflik (Sternberg & Soriano,
positif pada siswa (Harris, 2002). Berbagai faktor deteminan resolusi konflik
dinamika konflik dan kemarahan, dan tingkat keterampilan yang masuk akal
memecahkan masalah dengan cara mencari titik temu antara hal yang bersifat
ideal dan hal yang bersifat faktual, guna diperolah suatu keputusan dalam
konflik.
kebersamaan dan kehidupan yang lebih tenang dan damai baik di lingkungan
sekolah (Bell, Coleman, Anderson, Whelan & Wilder, 2000). Disamping itu,
bimbingan dan konseling (Türk, 2017). Upaya bimbingan dan konseling dalam
peseta didik akan diberikan tentang pemahaman diri, keterampilan sosial serta
aplikasi rasa damai pada diri sendiri maupun pada lingkungannya. Pada akhirnya
siswa dapat memiliki kompetensi hidup damai serta menanamakan budaya damai
dalam keluarga untuk mengatasi konflik antara suami dan istri atau anggota
2012; Fajarini, 2014; Gunawan, 2014; Hasbi, 2017; Juhdi & Fauzi, 2017;
Lestyarini, 2013; Musanna, 2011;). Salah satu kearifan lokal yang dijadikan
merupakan semboyan yang dimiliki oleh suku Kaili di kota Palu. Nosarara
Nosabatu merupakan suatu semboyan yang hidup pada suku Kaili dengan konsep
2013).
resolusi konflik. Model konseling resolusi konflik dalam konteks ini memiliki
beberapa novelty, antara lain: (1) konseling resolusi konflik merupakan suatu hal
yang baru dalam khasanah keilmuan bimbingan dan konseling, khusunya dalam
memiliki dampak yang besar bagi terciptanya budaya damai, dan (4) konseling
resolusi konflik melalui pendekatan budaya dapat dijadikan sebagai alternatif
resolusi konflik dalam hal ini berbasis pada kearifan lokal yang dimiliki suku
Kaili di Palu yang terkenal dengan konsep Nosarara Nosabatutu. Oleh karena itu,
Peristiwa konflik yang sangat besar yakni konflik Poso pada tahun 1998-
masyarakat di Kabupaten Poso. Meski hingga saat ini masih ada insiden-insiden
Santoso 2015.
kehidupan yang sarat dengan nuansa damai, hormat, kasih sayang, adil, etis dan
saling menghargai. Diakui tidak sedikit sekolah yang berhasil membangun iklim
kehidupan seperti itu. Namun akhir-akhir ini fenomena sebaliknya justru mencuat
ke permukaan. Ragam kekerasan yang dilakukan guru dan siswa sudah amat
Hal ini berdampak pada siswa yang menyebabkan mereka sering tawuran,
melakukan bullying baik secara verbal dan non verbal. Konflik antar siswa akan
secara akademis dan sosial. Korban akan memiliki harga diri rendah, kecemasan,
depresi yang tinggi, terisolasi secara sosial, frustasi, dan kurangnya ketertarikan
akademik di sekolah. Oleh sebab itu diperlukan strategi untuk menangani konflik
Salah satu upaya untuk mencegah konflik pada siswa yaitu dengan
meningkatkan rasa toleransi mereka (Rivera, 2004; Castro & Galce, 2010;
Conley, dkk, 2015). Resolusi konflik bermakna ketika diadopsi dengan konteks
sosial budaya dan kebutuhan, budaya damai harus diperkarya dengan nilai-nilai
yang memiliki nilai-nilai pandangan hidup yang mengikat dan terwujud dalam
lokal pada etnik Kaili seyogyanya terus digali, dikembangkan, dilestarikan dan
dijadikan sebagai suatu nilai yang ditaati dan diwujudkan dalam kehidupan sosial
Damai Siswa?
C. Tujuan Penelitian
damai siswa. Untuk lebih spesifik tujuan penelitian ini mengungkap dan
Palu.
6. Mengevaluasi Dampak Budaya Damai Setelah Intervensi Konseling
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil riset ini dapat dipakai oleh praktisi bimbingan dan
konseling dan guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Atas (SMA), dan pengambil kebijakan pendidikan menengah. Secara lebih detail
b. Bagi Sekolah
komitmen semua elemen sekolah. Selain itu agar lebih elaborative nilai-
nilai budaya damai menjadi bagian kurikulum. Agar tidak terkesan
ekstrakurikuler.
c. Bagi Guru
sekolah, menumbuhkan jati diri sesuai dengan visi misi sebagai pendidik
Vasquez, J. (1976). Toward a unified strategy for peace education resolving the
two cultures problem in the classroom, 20 (4) hlm. 707-729