Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Bab satu membahas mengenai pentingnya Konseling Resolusi Konfil


berbasis Nosarara Nosabatutu untuk mengambangkan budaya damai siswa
masalah budaya damai dan Nosarara Nosabatutu, identifikasi, tujuan, manfaat dan
kerangka pikir penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia bergerak semakin maju dan mencapai peradapan yang

baik lagi. Untuk mencapai peradapan manusia yang lebih baik masyarakat harus

dapat meningkatkan potensi akal dan pikirannya untuk dapat memecahkan

permasalahan yang dihadapi dan sekaligus meninggalkan kehidupan dengan pola

peradapan yang tidak manusiawi yang memecahkan permasalahan dengan jalan

kekerasan. Indonesia yang pendudukanya sangat Prular, baik ras, agama, bahasa,

warna kulit dan adat istiadat memang rentan sekali untuk terjadinya konflik-

konflik yang terjadi di Indonesia, baik yang berbasis etnis, agama maupun politik.

Setiap negera memiliki ragam budaya dan karakter yang mempunyai ciri

khasnya sendiri yang membedakannya dengan dengan negara-negera lain.

Keragaman budaya ini dapat menimbulkan kekhasan yang istimewa pada

masyarakatnya yakni dari bahasa, agama, suku, ras, warna kulit dan adat istiadat.

Padangan positif tetang keragaman budaya maka akan menimbulkan persatuan

bangsa dengan berbagai tantangan globalisasi. Namun dengan demikian timbul

dampak negatif tentang keragaman budaya salah satunya yakni jika masyarakat

Indonesia tidak menghargai keragaman manusia. Pendidikan berbasis nilai dan

makna menekankan pada realisasi warga negara yang baik, yang memiliki
kompetensi holistik dalam pengetahuan, keterampilan, dan sifat berdasarkan nilai-

nilai Pancasila atau Lima Prinsip Indonesia atau karakter Nasional (Nurdin, 2015).

The Wahid Institute (2014:iii) memeroleh jumlah pelanggaran kebebasan

beragama dan berkeyakinan di Indonesia ini setelah melakukan penelitian di 18

provinsi pada 2014; Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa

Timur, Maluku Utara, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan

Tengah, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Barat, Sumatera Utara,

Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kepulauan Riau dan

Papua.

Bangsa Indonesia sebagai negara multikultural, memahami pentingnya

kehidupan damai agar kehidupan lebih harmonis, kokohnya persatuan dan

kesatuan, berjalannya pembangunan, serta hadirnya keadilan sosial dan

kesejahteraan dalam masyarakat. Dalam konteks itu, menciptakan budaya damai

dalam kehidupan berbangsa menjadi suatu hal yang mutlak. Budaya damai

mengidentifikasi perdamaian sebagai salah satu keinginan pada setiap orang,

damai dapat dipahami sebagai hadirnya cinta, rasa iba, harmoni, toleransi, saling

asuh, interpedensi, pengenalan jiwa orang lain, dan rasa berterima kasih (Castro,

2010; Kaitholil, 2009, dalam Patrick & Nicholas, 2016).

Sekolah adalah suatu lembaga yang memiliki peran strategis terutama

mendidik dan menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam

memegang estafet generasi sebelumnya. Keberadaan sekolah sebagai sub sistem

tatanan kehidupan sosial, sebagai dari sistem dan lembaga sosial, sekolah harus

peka dan tanggap dengan harapan dan tuntutan masyarakat sekitarnya. Sekolah
diharapkan menjalankan fungsinya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa

dengan optimal dan mengamankan diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar.

Mengingat pentingnya masalah kedamaian di sekolah, pada tahun 2000

Majelis Umum PBB mengeluarkan mandat kepada UNESCO untuk menetapkan

bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year

for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade

budaya damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace

and NonViolence for the Children of the World).

Penetapan dekade 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai anti

kekerasan tersebut merupakan kelanjutan dari program berkesinambungan yang

dimulai semenjak tahun 1974 mengenai Education for International

Understanding, Co-operation and Peace and Education relating to Human Rights

and Fundamental Freedoms yang ditetapkan di Paris, World Plan of Action on

Education for Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Montreal pada

tahun 1993, Declaration and Programme of Action of the World Conference on

Human Rights yang ditetapkan di Wina pada tahun 1993, Declaration and

Integrated Framework of Action on Education for Peace, Human Rights and

Democracy yang ditetapkan di Paris pada tahun 1995 serta penetapan dekade the

Plan of Action for the United Nations Decade for Human Rights Education yang

dimulai dari 1995 sampai tahun 2005. Semenjak ditetapkan, berbagai macam

program mulai dilakukan pada berbagai negara yang memusatkan pada

pendekatan holistik yang menekankan pada metode partisipatif masyarakat

terutama siswa di sekolah. Dimensidimensi yang dikembangkan pada program

tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak
asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance),

pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural

understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and

linguistic diversity).

Pendidikan perdamaian menyentuh pada tiga komponen, yaitu siswa, guru

dan orang tua siswa. Ketiga komponen tersebut merupakan pelaku aktif proses

penanaman nilainilai luhur dalam pendidikan perdamaian. Peran guru adalah

sebagai pendidik nilai-nilai dan pengajar ilmu pengetahuan. Siswa adalah generasi

muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa yang diharapkan berperan

pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai anti kekerasan pada rekan sebaya. Orang

tua adalah mitra guru yang mampu mendorong, mendukung dan mengembangkan

aktualisasi atau pelaksanaan budaya damai tanpa kekerasan.

Mengingat pentingnya budaya damai dan anti kekerasan, maka diperlukan

sebuah langkah konkrit dalam menindaklanjuti kesadaran mengenai pentingnya

hal tersebut. Sebelum menentukan langkah yang hendak diaplikasikan, diperlukan

pengenalan masalah dan orientasi medan, untuk mengindentifikasi berbagai

macam alternatif program yang akan dilakukan. Pada konteks upaya menciptakan

budaya damai anti kekerasan di sekolah, identifikasi masalah tersebut diarahkan

pada subjek pelaku yang menjadi target program yang hendak diaplikasikan.

Budaya damai dapat bersumber dari ajaran moral, agama, maupun kearifan

lokal suatu komunitas. Budaya damai yang bersumber dari konteks sosial budaya

masyarakat, memiliki nilai penting bagi kemanusian. Perdamaian akan bisa

dicapai ketika seluruh penduduk dunia menyadari dan memahami permasalahan

dunia secara global, memiliki keterampilan resolusi konflik, dan berjuang untuk
menegakan keadilan tanpa kekerasan, hidup dengan merujuk pada standar hak

asasi manusia dan persamaan, mengapresiasi keragaman budaya, saling

menghormati diantara sesama. Semua hal tersebut bisa dicapai melalui pendidikan

damai yang sistematis (Solomon dalam De Rivera, 2009; Ebura, 2011 &

Balasooriya, 2001).

Sebagai agen budaya damai, guru dituntut memiliki kompetensi untuk: (1)

menanamkan tanggungjawab kepada anak didiknya, (2) memiliki motivasi tinggi

untuk bergabung dalam komunitas masyarakat untuk menciptakan kedamaian, (3)

Pembelajar seumur hidup, (4) memiliki toleransi dan rasa hormat yang tinggi

kepada semua budaya, (5) menghormati hak dan tidak melakukan diskriminasi

dalam bentuk apapun kepada anak didik, (6) menjadi panutan yang baik untuk

siswanya (Castro & Galce, 2010).

Berbagai konflik mulai dari bentuk yang paling sederhana yakni perilaku

verbal hingga kepada kekerasan yang lebih serius secara fisik berupa tawuran,

penganiyaan, bahkan hingga pembunuhan yang telah dilakukan oleh beberapa

siswa disekolah (Joseph, 2012). Berdasarkan hasil penelitian jenis konflik di

Indonesia, Yayasan Titian Perdamaian (dalam Vita, 2014) bahwa konflik yang

paling banyak terjadi pada tahun 2009-2010 adalah tawuran. Pada tahun 2009

jumlah tawauran mencapai 30% dengan jumlah 182 konflik dan pada tahun 2010

jumlah konflik tawuran meningkat menjadi 231 konflik.

Bullying merupakan tindakan kekerasan yang diakbitkan dari iklim kelas

yang tidak damai, bahkan remaja memiliki resiko tinggi terhadap tindak

kekerasan di sekolah memiliki resiko yang tinggi juga terhadap tindak cyber

bullying (Palfrey, 2008). Sebanyak 32% remaja yang menggunakan internet


mengaku pernah menjadi target hal yang berpotensi mengganggu dalam aktivitas

online seperti menerima pesan ancaman, pesan pribadinya yang disebarkan

kepada public, atau menjadi bahan gossip secara online (Lenhart, 2007; Lenhart,

dkk, 2015)

Data di atas menjelaskan bahwa konflik lebih dominan daripada terciptanya

budaya damai. Konflik akan menciptakan kegalauan dan bahkan kekerasaan

dalam kehidupan serta kedamaian kearah developmental approach (Galtung, J,

1967; Askar, 2009). Berbagai konflik mulai dari bentuk yang paling sederhana

yakni perilaku verbal hingga kekerasan yang lebih serius berdimensi fisik berupa

tawuran, penganiyaan, bahkan hingga pembunuhan yang telah dilakukan oleh

beberapa siswa disekolah (Joseph, 2012). Konflik bermula dari ketidak cocokan

tujuan atau nilai antara dua pihak atau lebih dalam sebuah hubungan yang

dikombinasikan dengan upaya untuk mengendalikan setiap perasan satu sama lain

(Fisher, 2000). Konflik didorong dari benturan identitas komunal, berdasarkan

ras, etnisitas, atau afiliasi keagamaan (Nimer, 2001).

Secara umum konflik terjadi karena persepsi, kepercayaan, sikap, dan

motivasi tertentu. (Bar-Tal, 2000). Konflik tersebut terjadi diantara orang-orang

dalam pengaturan sosial karena berbagai perbedaan potensial, menurunnya

keharmonisan dan tidak adanya interaksi yang bermakna (Reimers & Chung

2010). Konflik yang paling banyak terjadi adalah bullying, baik itu secara fisik,

verbal, ataupun cyberbullying (Lenhart, 2007; Lenhart dkk, 2015; Palfrey, 2008).

Mereka tidak lagi menyerang menggunakan kata-kata atau ejekan, tapi

menggunakan kekerasan fisik (Dececco & Richards, 2000). Ketika para siswa

terlibat tawuran, mereka membabi-buta melempari kelompok yang di anggap


lawan, tak ada rasa haru ataupun kasihan walaupun sang korban menjerit-jerit

kesakitan (Supardan, 2015). Sayangnya hal tersebut dianggap lumrah sebagai ciri

khas siswa sehingga tidak disadari sebagai penyebab utama terjadinya konflik di

sekolah (Voronin, 1995). Konflik antar siswa di sekolah yang paling serius

terjadinya tawuran pelajar. Tawuran pelajar bukan hanya terjadi karena kenakalan

remaja, tetapi sudah cenderung perilaku kriminal. Konflik yang terjadi di

Sulawesi Tengah disertai kekerasan, perusakan, penganiayaan dan bahkan

pembunuhan. Berdasarkan data Direktorat Kepolisian Palu Sulawesi Tengah

(2014) terdapat 27 pelajar melakukan tawuran, 16 pelajar diantaranya perempuan.

Temuan lain terdapat sebanyak 104 melakukan kekerasan di Sulawesi tengah, dan

60 kasus terjadi di Palu. Data media online antara Sulawesi Tengah tahun 2015

menujukan bahwa siswa SMP sebanyak 73 orang melakukan tawuran, bahkan 1

orang meninggal dunia, sebanyak 2 orang mengalami luka berat karena terkena

benda tajam sampai tangannya hampir terputus. Konflik yang terjadi di Sulawesi

Tengah sampai pada konflik antar agama (Santoso, 2015). Apabila kekerasan ini

terus terjadi maka hal ini bukan hanya siswa saja yang menjadi korban melainkan

siswa yang mengganggu pun memiliki resiko kesehatan psikologis yang buruk

(Rigby, 2003).

Konflik antar siswa akan memberikan dampak, korban yang mendapat

intimidasi akan menderita baik secara akademis dan sosial. Korban akan memiliki

harga diri rendah, kecemasan, depresi yang tinggi, terisolasi secara sosial, frustasi,

dan kurangnya ketertarikan akademik di sekolah. Hal ini menjadikan sekolah

tidak kondusif sebagai tempat siswa untuk belajar dan berkembang sesuai dengan

potensinya masing-masing. Penyimpangan sosial konflik dan kekerasan yang


terus terjadi di kalangan pelajar mendesak untuk segera ditangani (Ebura, 2011 &

Balasooriya, 2001). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya yang serius untuk

menangani konflik dikalangan pelajar atau siswa.

Salah satu upaya untuk mencegah konflik pada siswa yaitu dengan

membekali mereka keterampilan menangani konflik yang disebut dengan resolusi

konflik. Melalui resolusi konflik diharapkan sekolah menjadi lingkungan belajar

yang kondusif, mendidik siswa dalam mengembangkan kemampuan

berkomunikasi, bekerjasama, saling menghargai, dan bebagai sikap lainnya yang

meningkatkan rasa toleransi mereka (Rivera, 2004; Castro & Galce, 2010; Conley

dkk, 2015). Untuk menyelesaikan perbedaan konflik siswa melengkapi

pengembangkan pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang akan dibutuhkan serta

mengubah pola pikir siswa, dengan cara tidak melakukan kekerasan, sehingga

siswa dapat hidup damai di sekolah (Olowo, 2016,at el 2016).

Resolusi konflik adalah kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan

memerlukan keterampilan, pengetahuan, nilai untuk bernegoisasi, kompromi serta

mengembangkan rasa keadilan sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah

bersama (Fisher et al 2001; Morton & Coleman 2000; Mindes 2006). Resolusi

konflik berpotensi sebagai alat penegakan dalam upaya menegakkan pihak-pihak

yang sedang mengalami konflik yang berpotensi mengganggu hak dan

ketentraman masyarakat terpinggirkan dalam mencapai keadilan sosial (Hansen,

2008). Resolusi konflik dikombinasi dengan karakteristik intelektual dan

dimediasi melalui cara dimana individu merasakan konflik (Sternberg & Soriano,

1984). Resolusi konflik juga diharapkan mampu menghadirkan kesejahteraan dan

nuansa damai di lingkungan sekolah, sehingga sekolah mampu menjadi


lingkungan belajar yang kondusif dan mampu mengembangkan karakter-karakter

positif pada siswa (Harris, 2002). Berbagai faktor deteminan resolusi konflik

meliputi: sikap optimisme, kepercayaan, kemauan untuk mencoba, memahami

dinamika konflik dan kemarahan, dan tingkat keterampilan yang masuk akal

dalam pemecahan masalah (Tewel, 2015).

Untuk meningkatkan skill dan pemahaman terhadap resolusi konflik telah

banyak dilakukan seperti melalui pelatihan (training), pendidikan (education), dan

pendampingan (coaching). Melalui program-program tersebut audiens diberi

pemahaman tentang strategi resolusi konflik. Hakikat konseling adalah membantu

memecahkan masalah dengan cara mencari titik temu antara hal yang bersifat

ideal dan hal yang bersifat faktual, guna diperolah suatu keputusan dalam

menyelesaikan masalah. Melalui konseling kedua belah pihak diharapkan mampu

mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah melalui konseling resolusi

konflik.

Konseling resolusi konflik dapat dipahami sebagai sebuah teknik untuk

membantu menyelesaikan persoalan karena adanya pertentangan dalam hal tujuan,

motivasi, nilai, maupun keyakinan dengan cara bernegoisasi, kompromi, arbitrasi

serta mengembangkan rasa keadilan untuk pemecahan masalah bersama

(Ilfiandra. at el, 2009). Penggunaan konseling resolusi konflik akan meningkatkan

kebersamaan dan kehidupan yang lebih tenang dan damai baik di lingkungan

keluarga, sekolah maupun di masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, pelatihan mediasi sejawat dan resolusi konflik

dapat meningkatkan prestasi akademik (Jhonson & Jhonson, 1996). Pendekatan

konseling resolusi konflik melalui intervensi dengan teman sebaya sebagai


mediator atau pihak ketiga, efektif dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di

sekolah (Bell, Coleman, Anderson, Whelan & Wilder, 2000). Disamping itu,

melalui teknik resolusi konflik dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

siswa. Siswa yang berpartisipasi dalam pelatihan resolusi konflik dapat

mendemonstrasikan prosedur negosiasi dan mediasi yang lebih konstruktif dalam

memecahkan konflik setelah mengikuti pelatihan mediasi teman sejawat

(Sternberg & Soriano, 1984; Benson & Benson, 1993).

Resolusi konflik merupakan bagian yang sangat diperlukan pada program

bimbingan dan konseling (Türk, 2017). Upaya bimbingan dan konseling dalam

mengembangkan budaya damai disekolah memiliki posisi yang penting, karena

peseta didik akan diberikan tentang pemahaman diri, keterampilan sosial serta

aplikasi rasa damai pada diri sendiri maupun pada lingkungannya. Pada akhirnya

siswa dapat memiliki kompetensi hidup damai serta menanamakan budaya damai

dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi tanpa melalui kekerasan.

Dalam konseling, penggunaan resolusi konflik banyak digunakan seperti

dalam keluarga untuk mengatasi konflik antara suami dan istri atau anggota

keluarga. Resolusi konflik juga dipergunakan untuk mengatasi persoalan pribadi

dan maupun sosial melalui pendekatan konseling analisis transaksional (Philippe

Matrin, 2004). Hal yang dipandang penting untuk mengembangkan konseling

resolusi konflik pada masyarakat Indonesia adalah menggunakan kearifan lokal

(local wisdom). Kearifan lokal dapat digunakan sebagai pondasi untuk

membangun dan menguatkan landasan dalam pelayanan bimbingan dan konseling

(Hanna, F.J., Bemak, Fred, & Yin-Chung, R.C).


Dengan menggunakan kearifan lokal dalam konseling resolusi konflik dapat

dipahami sebagai proses mempromosikan nilai kearifan lokal untuk kepentingan

konseling dimana nilai-nilai tersebut dilestarikan oleh masyarakat, yang hasilnya

menunjukkan dampak positif dalam mengurangi konflik di sekolah (Asriati,

2012; Fajarini, 2014; Gunawan, 2014; Hasbi, 2017; Juhdi & Fauzi, 2017;

Lestyarini, 2013; Musanna, 2011;). Salah satu kearifan lokal yang dijadikan

sebagai landasan konseling resolusi konflik adalah Nosarara Nosabatu yang

merupakan semboyan yang dimiliki oleh suku Kaili di kota Palu. Nosarara

Nosabatu merupakan suatu semboyan yang hidup pada suku Kaili dengan konsep

utamanya adalah perdamaian pada mayarakat melalui semangat persaudaraan,

kebersamaan, persatuan dan kesatuan, kekeluargaan, dan perdamaian (Herman

2013).

Melalui internalisasi nilai-nilai Nosarara Nosabatu dalam proses konseling,

diharapkan akan memberikan arti penting dalam pengembangan model konseling

resolusi konflik. Model konseling resolusi konflik dalam konteks ini memiliki

beberapa novelty, antara lain: (1) konseling resolusi konflik merupakan suatu hal

yang baru dalam khasanah keilmuan bimbingan dan konseling, khusunya dalam

konseling individual maupun kelompok, karena selama ini konseling resolusi

konflik seringkali dipakai untuk mengatasi persoalan keluarga, (2)

pengembangan konseling resolusi konflik di pandang penting untuk mendukung

program-program pelatihan dan pendidikan resolusi konflik yang sudah berjalan,

(3) penggunaan kearifan lokal (Nosarara Nosabatutu) bagi pengembangan model

konseling resolusi konflik merupakan hal baru di Indonesia dan diharapkan

memiliki dampak yang besar bagi terciptanya budaya damai, dan (4) konseling
resolusi konflik melalui pendekatan budaya dapat dijadikan sebagai alternatif

pemecaham konflik yang terjadi di masyarakat, dimana selama ini penyelesaian

konflik lebih menggunakan pendekatan kekuasaan dan struktur.

Berdasarkan uraian di atas, tentang pentingnya budaya damai dalam

kehidupan manusia, strategi dalam membangun budaya damai melalui resolusi

konflik, serta kearifan lokal masyarakat yang termanifestasi dalam nosarara

nosabatutu, maka dipandang penting untuk mengembangkan model konseling

resolusi konflik untuk mengembangkan budaya damai siswa. Model konseling

resolusi konflik dalam hal ini berbasis pada kearifan lokal yang dimiliki suku

Kaili di Palu yang terkenal dengan konsep Nosarara Nosabatutu. Oleh karena itu,

dipilihkan judul “Model Konseling Resolusi Konflik berbasis Nosarara

Nosabatutu untuk Mengembangkan Budaya Damai Siswa”.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Peristiwa konflik yang sangat besar yakni konflik Poso pada tahun 1998-

2002 yang meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi pada

masyarakat di Kabupaten Poso. Meski hingga saat ini masih ada insiden-insiden

kecil seperti bentrokan, ledakan bom, penembakan misterius hingga kasus

Santoso 2015.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan idealnya menyediakan iklim

kehidupan yang sarat dengan nuansa damai, hormat, kasih sayang, adil, etis dan

saling menghargai. Diakui tidak sedikit sekolah yang berhasil membangun iklim

kehidupan seperti itu. Namun akhir-akhir ini fenomena sebaliknya justru mencuat
ke permukaan. Ragam kekerasan yang dilakukan guru dan siswa sudah amat

memprihatinkan bahkan masuk kategori darurat.

Hal ini berdampak pada siswa yang menyebabkan mereka sering tawuran,

melakukan bullying baik secara verbal dan non verbal. Konflik antar siswa akan

memberikan dampak korban yang mendapat intimidasi akan menderita baik

secara akademis dan sosial. Korban akan memiliki harga diri rendah, kecemasan,

depresi yang tinggi, terisolasi secara sosial, frustasi, dan kurangnya ketertarikan

akademik di sekolah. Oleh sebab itu diperlukan strategi untuk menangani konflik

dikalangan pelajar atau siswa.

Salah satu upaya untuk mencegah konflik pada siswa yaitu dengan

membekali mereka keterampilan menangani konflik yang disebut dengan resolusi

konflik. Melalui resolusi konflik diharapkan sekolah menjadi lingkungan belajar

yang kondusif, mendidik siswa dalam mengembangkan kemampuan

berkomunikasi, bekerjasama, saling menghargai, dan bebagai sikap lainnya yang

meningkatkan rasa toleransi mereka (Rivera, 2004; Castro & Galce, 2010;

Conley, dkk, 2015). Resolusi konflik bermakna ketika diadopsi dengan konteks

sosial budaya dan kebutuhan, budaya damai harus diperkarya dengan nilai-nilai

budaya budaya lokal di Palu.

Nosarara Nosabatutu merupakan konsep masyarakat suku Kaili di Palu

yang memiliki nilai-nilai pandangan hidup yang mengikat dan terwujud dalam

perilaku kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat

disampaikan melalui ungkapan atau semboyan yang dapat memberi semangat

kepada masyarakat dalam mewujudkan cita-cita masyarakat. Nilai-nilai kearifan

lokal pada etnik Kaili seyogyanya terus digali, dikembangkan, dilestarikan dan
dijadikan sebagai suatu nilai yang ditaati dan diwujudkan dalam kehidupan sosial

budaya masyarakat dalam semboyan yang mengandung nilai semangat

persaudaraan, kebersamaan melalui gotong-royong, semangat persatuan dan

kesatuan dan semangat perdamaian.

Karena budaya damai berorientasi perilaku jangka panjang, maka dalam

konseling resolusi konflik dapat di integrasikan melalui layanan kurikulum

bimbingan dengan strategi classroom activities atau klasikal. Berdasarkan

pertimbangan tersebut maka masalah penelitian adalah apakah Model Konseling

Resolusi Konflik berbasis Nosarara Nosabatutu untuk Mengembangkan Budaya

Damai Siswa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh rumusan Model Konseling

Resolusi Konflik Berbasis Nosarara Nosabatutu untuk mengembangkan budaya

damai siswa. Untuk lebih spesifik tujuan penelitian ini mengungkap dan

menganalisis hal-hal berikut:

1. Mengidentifikasi Budaya Damai SMK di Palu.

2. Mengeksplorasi Nosarara Nosabatu pada Masyarakat Suku Kaili di Palu

3. Merumuskan Model Konseling Resolusi Konflik Berbasis Nosarara

Nosabatutu untuk Pengembangan Budaya Damai Siswa SMK di Palu.

4. Intervensi Model Konseling Resolusi Konflik Berbasis Nosarara

Nosabatutu untuk Pengembangan Budaya Damai Siswa SMK di Palu.

5. Mendeskripsikan Perubahan Dinamika Budaya Damai Setelah Intervensi

Konseling Resolusi Konflik Berbasis Nosarara Nosabatutu Siswa SMK di

Palu.
6. Mengevaluasi Dampak Budaya Damai Setelah Intervensi Konseling

Resolusi Konflik Berbasis Nosarara Nosabatutu Siswa SMK di Palu

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah diperolehnya rumusan model

konseling resolusi konflik berbasis Nosarara Nosabatutu untuk pengembangan

Bbudaya damai siswa yang dapat dijadikan rujukan pengembangan keilmuan

dalam dunia pendidikan khususnya pada bidang bimbingan dan konseling.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil riset ini dapat dipakai oleh praktisi bimbingan dan

konseling dan guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah

Atas (SMA), dan pengambil kebijakan pendidikan menengah. Secara lebih detail

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Bagi Dinas Pendidikan

Budaya damai bukan semata-mata urusan personal masing-masing

unsur sekolah, melainkan upaya kolektif dari stakeholder pendidikan

termasuk dinas pendidikan dan kebudayaan. Menerapkan pedoman

implementasi mengenai pendidikan damai. Dengan demikian

pengembangan budaya damai di sekolah memerlukan upaya sistematis dan

sistemik dalam konstelasi interaksi interpersonal.

b. Bagi Sekolah

Memberikan kontrbusi pada sekolah, bahwa seyogyanya

melekatkan visi dan misi mengenai budaya damai sehingga menjadi

komitmen semua elemen sekolah. Selain itu agar lebih elaborative nilai-
nilai budaya damai menjadi bagian kurikulum. Agar tidak terkesan

eksklusif, budaya damai tidak perlu menjadi mata pelajaran khusus

melainkan dapat diintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran sehingga

tidak menambah beban akademik siswa. Agar lebih komprehensif,

pengembangan budaya damai dapat juga melekat pada berbagai program

ekstrakurikuler.

c. Bagi Guru

Menciptakan role model dalam pengembangan kultur kedamaian di

sekolah, menumbuhkan jati diri sesuai dengan visi misi sebagai pendidik

untuk mengembangkan kultur kedamaian, sehingga terbentuknya iklim

yang sarat dengan nuasa damai.


DAFTAR PUSTAKA

Askar. (2009). Mengembangkan budaya damai di sekolah melalui manajemen


kelas yang demokratis berbasis nilai-nilai. Jurnal hunafa, 6 (2) hlm. 139-
152
Abu-Nimer, M. (2001). Conflict Resolution, Culture, and Religion: Toward a
Training Model of Interreligious. Source J. Peace Res. 38 685–704
Agus Supriyanto dan Amien Wahyudi. (2017) Skala Karakter Toleransi: Konsep
dan Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran
Individu. Jurnal Ilmiah Counsellia, Vol. 7 No. 2 hlm. 61-70.
Ann P, Smith S W, Robinson T R, Miller M D and Landry K L 2000 School-wide
Conflict Resolution and Peer Mediation Experiences Programs : Interv.
Sch. Clin. 36 94–100
Avruch K and Black P W 1991 the Culture Question and Conflict Resolution
Peace Chang. 16 22–45
Bar-Tal, D. (2000) From Intractable Conflict Through Conflict Resolution To
Reconciliation: Psychological Analysis Polit. Psychol. 21 351–65
Boaz, H, et. al. 2014 Challenges for Peacemakers: How to Overcome Socio-
Psychological Barriers PP.164–171
Bodine, R.J., Crawford, D.K. (1996). The handbook of conflict resolution
education, a guide to building quality programs in schools. San Francisco:
Jossey-Bass Publishers
Braman, O. R. (1999). Teaching Peace to Adults: Using Critical Thinking to
Improve Conflict Resolution Adult Learn. 10 30–2
Bickmore, K. (1997). Teaching Conflict and Conflict Resolution in School:
(Extra-) Curricular Considerations 1–25
Benson, A. J & Benson, J. M. (1993). Peer mediation: Conflict resolution in
schools J. Sch. Psychol. 31 427–30
Bell, S. K, et. al. (2000). The Effectiveness of Peer Mediation in a Low-SES
Rural Elementary School. Psychol. Sch. 37 505–16
Balaasoriya, A. S. (2001). Learning the way of peace a teachers’ guide to peace
education. New delhi: Scientific and cultural Organization
Beck, R. (2009). The cultivation of students’ metaphoric imagination of peace in a
creative photography program. International journal of education & the
arts, 10 (18) hlm.1-28
Bombaugh, R. (1995). Coping and growing peace corps fellows in the urban
classroom. Journal of teacher education, 46 (1), hlm. 35-44
Chetkow-yanoov, B. (1991). Teaching conflict resolution at schools of social
work:work : a proposal 34 57–68
Campbell, W. N., & Sarakis-Doyle, E. (2011). A newsletter dedicated to speech &
language in school-age children Disfluencies in Children With Specific
Language Impairment 22
Castro & Galace. (2010). Peace Education a pathway to culture of peace
Chung, dkk. (2014). Enaged learning and peace corps service in tanzania: an
autoethnography. Journal of higher education engagement, 18 (4) hlm.
20-42
Collardey, E. (2001). 1000 peace cranes; exploring children’s meanings of peace.
Peace & Conflict Review, 6 (1) hlm. 1-13
Conley, dkk. (2015). Developing education curriculum for vietname primacy
schools. Journal of research in internasional education, 7 (3) hlm. 346-
368
Crafton, dkk. (2010). Critical literay in a helping multiliteracies classroom: the
hurricane group. Journal of early childhood literaly, 10 (4) hlm. 379-409
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing
Among The Five Traditions. London: Sage Publications
Creswell, J. W. and D. L. Miller, (2000). Determining Validity in Qualitative
Inquiry", Theory Into Practice.

Creswell, John W. (2003). Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods


Approaches. Second edition. London: Sage Publications
Creswell, John W. (2008). Educational Research: Planning, Conducting, and
Evaluating Quantitative and Qulitative Research. New Jersey: Prentice
Hall.
Creswell, John W. (2010). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. (terj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dececco, J. P & Richards, A. K. (2000) Can Teachers Use a Workshop in


Conflict Resolution  70–5
Ebura, O. (2011). Peace management and enhanced academic performance of
tertiary instituions in sounth-south nigeria. Higher education studies, 1 (2)
hlm. 121-128
Elias, J. (2005). Education for peace and justice. Journal of inquiry and practice,
9 (2) hlm. 160-176
Esposito, L. (2000). The Culture of Adolescence. Journal Culture of Adolescence,
12 (5) hlm. 34-39
Fisher, R. (2000). Source of conflict and methods of conflict resolution.
Internasional peace and conflict resolution, 1 (1) hlm. 1-6
Fountain, S. (1999). Peace education in unicef. New York : Unicef staff working
paper
Fetherston, B & Kelly, R. (2007). Conflict resolution and transformative
pedagogy: A grounded theory research project on learning in higher
education J. Transform. Educ. 5 262–85
Galtung, J (1967) Theories Of Peace: A Synthetic Approach to Peace Thinking.
International Peace Reseacrh Institute. Oslo
GOGogali, L. (2009). Konflik Poso: Suara Perempuan dan Anak menuju
Rekonsiliasi.Yogyakarta: Galang Press
Gibbons, K. (2010). Flexible grouping as for classroom management in
hetegeneous classroom. Arttherapy journal of the American art therapy
association, 27 (2) hlm. 84-89
Gehlbach, H. (2004). Social Perspective Taking: A Facilitating Aptitude for
Conflict Resolution, EBSCOhost 32 39–55
Haliadi, dkk. (2008) Nosarara nosabatutu. Yogyakarta: Nuansa Aksara
Haris, I. (2015). Peace building responses to school violence. Preventing school
violence:
Herman, A. (2013). Propaganda nosarara nosabatutu dalam membangun
perdamaian di kota Palu, Sulawesi Tengah. Prosiding serial call for paper
dan konferensi nasional ilmu komunikasi.
Ilfiandra.at el (2009). Model Konseling Resolusi Konflik Berlatar Belakang
Bimbingan Komprehensif untuk Mengembangkan Kompetensi Hidup
Damai dan Harmoni Siswa Daerah Rawan Komplik. Laporan
Penelitian.Bandung : LPPM Universitas Pendidikan Indonesia.
Ilyas. (2014). Kajian penyelesaian konflik antar desa berbasis kearifan lokal di
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Jurnal Academica Fisip Untad, 6(1),
1213–1227.
Johnson D W, Johnson R, Dudley B and Acikgoz K 1994 Effects of conflict
resolution training on elementary school students J. Soc. Psychol. 134 803–
17 University of Wisconsin-milwaukee
Joseph, J. (2012). How the schooling environment shapes the counciousness of
scholars towardspeace and war. Procedia-Social and Behavioral
Sclenres, hlm. 672-706
Kasman, R. (2013). Program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan
kecerdasaan moral siswa. Jurnal bimbingan dan konseling, 2 (1) hlm. 1-15
Kartadinata, Sunaryo. (2013). Model Layanan Pedagogis Serta Bimbingan Dan
Konseling Untuk Pengembangan Mindset Kultur Kedamaian. Laporan
penelitian. Bandung : LPPM Universitas Pendidikan Indonesia.
Kartadinata, Sunaryo, dkk. (2014). Meta Analisis Kandungan Nilai Lokal Dalam
Pengembangan Pedagogik Kedamaian: Telaah Atas Studi Etnopedagogik
Dalam Perspektif Indonesia-Finlandia(Laporan Penelitian). Bandung:
LPPM Universitas Pendididikan Indonesia.
Kartadinata, Sunaryo, dkk. (2014). Eksplorasi Nilai-Nilai Pengembangan Mindset
Kedamaian Dalam Pendidikan dan Bimbingan Konseling: Lesson Learned
Indonesia-Finlandia (Laporan Penelitian). Bandung: SPs Universitas
Pendidikan Indonesia.
Kester, K. (2008). Developing peace education programs beyond ethnocentrism and
violence. South Asian journal of peacebuilding, 1 (1) hlm. 1-27
Khalil, M. (2007). Studying the learning unit “microbiology;” students’
motivation, portfolio and classroom management. Science Education
International, 18 (1) hlm. 39-53
Koentjaraningrat, (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
M. Noor Rohman Hadjam & Wahyu Widhiarso. (2003). Budaya Damai Anti
Kekerasan (Peace and Anti Violence). Direktorat Jenderal Pendidikan
Menengah Umum.
Morse B P S and Andrea R 2015 Peer Mediation in the Schools: Teaching
Conflict Resolution TechniquesTechniques to Students NASS 75–82.
Mchendry, Irene. (2000). Conflict in schools fertile ground for moral growth.
Article PHI delta kappan, Univ of Connecticut
Momodu & Jude, A. (2013). Mainstreaming peace education in secondary school
curriculum in nigeria. Internasional Journal of English and education,
2 (2) hlm. 535-546
Moon, T. (2015). Using performance assessment in the social studies classroom.
Journal sage, 25 (3) hlm. 53-59
Neeley & Scott, dkk. (2004). A model comprehensive developmental guidance
and counseling program. Austin: Texas Education Agency North
Congress Avenue
Odia, A. (2014). Social studies as an instrument for gblobal peace analytical and
prescriptive perspectives. Jurnal review of public administration and
management, 3 (5) hlm. 106- 116
Olowo, O. (2016). Effects of integrating peace education in nigeria education
system. Journal of education and practice, (7) 18 hlm. 6-14 (sage journal)
Paaso, E. (2013). Peace to learn of pupils perceptions. Journal of classroom in
teraction, 48 (1) hlm. 1-3
Patrick, E & Nicholas, I. (2016). Challenges of managing and planning peace
education and peace culture in nigeria. An internasional Multi-
disciplinary Journal, 10 (4) hlm. 83-9
Rigby, K. (2003). Consequences of bullying in schools. Can J Psychiatry. Vol. 48
No. 9 hlm. 583-590
Rivera de, J. (2004). Assessing the basis for a culture of peace in contemporary
societies. Journal peace research, 41 (5), hlm. 531-548 (sage
Publications)
Rytivaara, A. (2011). Flexible grouping as a means for classroom management in
a heterogeneous classroom. Europen educational research journal, 10 (1)
hlm. 118-128
Salmon & Biton. (2006). Peace in the eyes of Israeli and Palestinian youths effect
of collective narratives and peace education program. Journal peace
research. Vol. 43 no. 2 hlm. 167-180
Santrock, J. W. (2011). Life-Span delevopment. Jakarta : Erlangga
Supardan, Dadang. (2001).Manusia Kekerasan Multikultural dan Transformasi
pendidikan. Bandung :Risqi Press
Sancilio, M. F. M., Plumert, J. M., & Hartup, W. W. (1989). Friendship and
Aggressiveness as Determinants of Conflict Outcomes in Middle Childhood.
Developmental Psychology, 25(5), 812–819.
Summerlin & Amerikaner. (2015). Group counseling with learning disable
children: effect of social skills and relaxion training on self-concept and
classroom behavior. Journal of learning disabilities, 5 (6), hlm. 340-343
Sebring, R. H. (1978). Administrator Conflict : Can It Be Resolved ? NASSP Bull.
37–41
Sternberg, R. J & Soriano, L. J. (1984). Styles of Conflict Resolution
Saundry, R. et. al. (2013). Reframing workplace relations? Conflict resolution and
mediation in a primary care trust Work. Employ. Soc. 27 213–31
Swiatowy & Anderson. (2008). Bullying prevention in the elementary classroom.
Chicago: Saint Xavier University & pearson achievement solutions.
Tressa, R. (2015). Analisis kebijakan penyelesaian konflik antardesa di kabupaten
sigi provinsi sulawesi tengah. Journal of government (Kajian Manajemen
Pemerintahan Dan Otonomi Daerah), 1(1), 61–90.
Türk. F. (2017). Evaluation of the Effects of Conflict Resolution, Peace Education
and Peer Mediation: a Meta-Analysis Study Int. Educ. Stud. 11 25
10.5539/ies.v11n1p25
Thinguri & Chiriswa. (2015). The Contribution of secondary school curriculum to
peace in kenya. Journal of English and educatin, 6 (3) hlm. 164- 174
Voronin, G. L. (1995). Conflicts in school. Russian Social Science Review, 36(3),
69–77. https://doi.org/10.2753/RES1060-9393361232
UNESCO. (1996). From a culture of violence to a culture of peace: UNESCO and
a Culture of Peace: Promoting a Global Movement. UNESCO Publishing.
UNESCO. (1996). Treasure Within : Report to UNESCO of the International
Commission on Education for the Twenty-First Century, UNESCO
Publishing.

Vasquez, J. (1976). Toward a unified strategy for peace education resolving the
two cultures problem in the classroom, 20 (4) hlm. 707-729

Wulandari, T. 2010. Menciptakan perdamaian melalui pendidikan perdamaian di


sekolah. Jurnal mozaik, Vol. 5 no. 1 hlm. 68-83
Yusuf, S & Nurihsan, J. (2014). Landasan bimbingan dan konseling. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai