Anda di halaman 1dari 2

Petrisia Lumumba Siahaan

372014070

Friski Evalin

372014053

FISKOM Hubungan Internasional

Pengajaran Agama Interreligius


Kemampuan sosial dalam memahami berbagai keberanekaragaman dalam masyarakat
yang sejak awal dibentuk oleh pluralitas dengan semangat bhinneka tunggal ika kini
kian melemah.
Perlu adanya muatan dan pendekatan pendidikan agama di sekolah-sekolah
umum/negeri, yang akan memainkan peran kunci dalam soal ini.
Pendidikan agama di sekolah-sekolah umum/negeri merupakan salah satu penyebab
penting mengentalnya eksklusivisme dan juga merupakan peluang dalam mengatasi
persoalan pluralitas.
Paul Knitter menyatakan sebuah istilah yang disebut lazy tolerance yang berarti
ketiadaan norma bersama dan cara pandang positif terkait pluralitas. Ini yang
menyebabkan munculnya konflik yang terkait dengan pluralitas.
Michael Grimmit menyatakan bahwa norma bersama dan sikap yang positif mengenai
pluralitas dapat dibentuk, jika keragaman dianggap identik dengan relasi saling
melengkapi.
Pluralitas harus dipahami sebagai kenyataan yang merupakan peluang untuk bekerja
sama dan saling memperkaya.
Pengajaran agama yang menggunakan model monoreligius ,itu perlu diubah menjadi
multireligius dan interreligius karena model pengajaran monoreligius itu hanya
mengajarkan agama sendiri yang cenderung membuat orang bersikap pasif terhadap
keragaman; seperti terlihat dari kemunculan banyak kos, perumahan, dan makam
khusus beragama Muslim, dan lain sebagainya.
Model pengajaran mono-, multi-, dan interreligius bukanlah kategori tingkatan di mana
yang satu dengan sendirinya lebih unggul ketimbang yang lain. Masing-masing bisa
menjadi model yang efektif menurut konteks yang berbeda. Model monoreligius,
misalnya, adalah metode yang efektif untuk tujuan internalisasi dalam rangka
meningkatkan kualitas iman, seperti yang dilakukan di pesantren atau seminari, di mana
peserta didik memang mempunyai latar belakang agama yang seragam. Model
monoreligius ini lebih baik hanya di tingkat sekolah dasar.

Model pengajaran multireligius dapat dilaksanakan di sekolah tingkat menengah.


Melalui model ini, siswa berkesempatan mendapatkan pemahaman yang informatifdeskriptif tentang beberapa agama di sekitarnya. Dengan demikian, sejak dini siswa
belajar mengapresiasi dan bersikap toleran terhadap para penganut dan warisan tradisi
berbagai agama.
Di perguruan tinggi umum model yang paling efektif adalah interreligius. Model
interreligius bergerak lebih jauh dengan menekankan aspek dialog. Dalam hal ini ,
mahasiswa diberi informasi serta melakukan deskripsi berbagai agama secara memadai,
dengan mempelajari agama-agama tersebut, yang lebih penting mahasiswa belajar
melatih kemampuan melakukan dialog melalui proses dialektis berbicara dan
mendengar, melihat dan dilihat, dengan menggunakan berbagai perspektif secara kritis.
Leonard Swidler mengemukakan bahwa dialog, tentu akan mengubah pelakunya yang
berarti , seseorang yang mempelajari agama lain akan mendapat pengaruh yang
kemudian mengubah persepsi, sikap, dan tindakannya.
Melalui proses dialog, seseorang bisa mendapat pemahaman kritis yang lebih baik serta
sikap dan tindakan yang lebih tepat dan saling memperkaya dalam perjumpaan agamaagama.
Studi dan pengajaran agama model multireligius dan interreligius merupakan suatu
metode yang efektif membentuk norma bersama dan sikap yang positif terhadap
pluralitas agama sehingga perjumpaan agama bisa menjadi kesempatan saling
memperkaya dan bekerja sama, guna mengoptimalkan potensi pribadi setiap pemeluk
agama dalam pergaulan kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai