Anda di halaman 1dari 16

PEMAHAMAN BUDAYA JEPANAG

DOSEN PENGAMPU

Ifra Yunaldi S.pd

NAMA

Muhammad israg

NIM : 23240003

PADANG, Desember 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang
"Dampak Penggunaan Gawai pada Anak Usia di Bawah Umur".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,


baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jepang adalah salah satu negara yang memiliki karakter budaya konteks

tinggi (high context culture). Budaya konteks tinggi sebagaimana telah diuraikan

oleh Hall (1976) melekat pada masyarakat Asia (Korea, China, termasuk juga

Jepang) dan ia mengatakan bahwa orang-orang di dalam budaya konteks tinggi

cenderung mengungkapkan maksudnya melalui sandi-sandi nonverbal. Mitra tutur

harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang konteks percakapan agar

mampu memahami maksud si penutur. Selain itu, orang-orang berbudaya konteks

tinggi cenderung berputar-putar dan tidak langsung menuju permasalahan, sehingga

lawan bicara harus menyimpulkan sendiri maksud dari si pembicara sebenarnya.

Gaya berkomunikasi seperti ini bisa menjadi salah satu penghambat dalam

berkomunikasi khususnya bagi pembicara yang memiliki latar belakang budaya dan

bahasa yang berbeda dengan lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang, cara penyampaian atau ekspresi secara tidak langsung

ini disebut dengan enkyoku hyougen. Penyampaian secara tidak langsung seperti ini

sering ditemukan dalam beberapa situasi seperti ajakan, permintaan, penolakan, dan

sebagainya. Salah satu contohnya dapat dilihat pada contoh kalimat 1 berikut

( 1 ) Yamada : いつこ、何がいい?

3
Itsuko : 本当に何でも良いの? Yamada : うん。
言ってみよう!
Itsuko : 私、コロッケが食べたい。
Yamada : コロッケ?もっと贅沢言っていいんだよ。例えば、
ハンバーグとか!エビフライとか! Itsuko
: コロッケがいい!

Yamada : Itsuko, nani ga ii?


Itsuko ingin apa?
Itsuko : Hontouni nandemo ii no?
Beneran apa aja boleh?
Yamada : Un. Ittemiyou!
Ya. Coba katakan!
Itsuko : Watashi, kurokke ga tabetai.
Aku ingin makan kroket.
Yamada : Kurokke? Motto zeitaku itte iindayo. Tatoeba, hanbaagu
toka! Ebifurai toka!
Kroket? Kau boleh meminta yang lebih dari itu lho.
Contohnya, hamburger! Atau udang goreng!
Itsuko : Korokke ga ii!
Aku ingin kroket!
(Yamada Taro Monogatari, episode 1, menit 24:05)

Penggalan situasi tersebut bercerita tentang Itsuko, adik Yamada Taro yang

sedang berulang tahun. Selain sebagai seorang siswa SMA, Yamada Taro harus

bekerja paruh waktu setiap harinya demi meyambung hidup. Meskipun untuk

memenuhi kebutuhan makan harian saja sudah cukup berat, namun di hari spesial

adiknya, ia ingin memberikan sesuatu yang Itsuko inginkan.

Pada kalimat (1), terlihat bahwa Yamada Taro bertanya pada Itsuko tentang

apa yang ia inginkan di hari ulang tahunnya. Kemudian, Itsuko menjawab bahwa ia

ingin makan kroket. Yamada Taro pun tidak mengabulkan permintaan Itsuko, tetapi

malah memberikan pilihan lain. Yamada Taro ingin Itsuko makan makanan yang

lebih enak dari itu. Tapi, Itsuko tetap ingin makan kroket.

4
Pada contoh penggalan dialog tersebut, nampak bahwa sebenarnya

Yamada Taro menolak permintaan Itsuko tetapi gaya penolakannya tidak ia

sampaikan secara langsung melainkan dengan memberikan jawaban alternatif

melalui pilihan makanan lain kepada Itsuko. Penolakan secara tidak langsung

tesebut ditunjukkan melalui kalimat ‘Kurokke? Motto zeitaku itte iindayo. Tatoeba,

hanbaagaa toka! Ebifurai toka!’ yang berarti ‘Kroket? Kau boleh meminta yang

lebih dari itu lho. Contohnya, hamburger! Atau udang goreng!’ Dari contoh

tersebut, terlihat bahwa penolakan tidak langsung diungkapkan melalui pemberian

pilihan makanan lain pada Itsuko. Ia ingin Itsuko bisa makan makanan yang lebih

mewah dibandingkan hanya sekedar kroket di hari yang spesial. Oleh karena itu,

Yamada Taro menolak permintaan Itsuko yang ingin kroket dan berharap adiknya

bisa makan makanan yang lebih spesial. Meskipun Yamada Taro adalah seorang

kakak, namun dalam menolak permintaan adiknya pun tidak serta merta

diungkapkan secara langsung. Hal ini disebabkan oleh high context culture dari

budaya Jepang yang berakibat pada cara berkomunikasi yang cenderung tidak

langsung dan tidak eksplisit.

Selanjutnya, gaya penolakan yang sedikit berbeda dengan contoh kalimat

(1) ditunjukkan pada contoh kalimat (2) berikut

( 2 ) Seichi : つゆこ。その寝巻きはもう捨てていいぞ。
Tsuyuko : そんな、もったいない。ほら!かわいいでしょ?

Seichi : Tsuyuko, sono nemaki ha mou suttee ii zo.


Tsuyuko, sudah buang saja baju tidur itu.
Tsuyuko : Sonna, mottainai. Hora! Kawaii desho?
Nggak lah, mubadzir. Lihat! Cantik kan?

(Yamada Taro Monogatari, episode 2, menit 16:55)

5
Pada penggalan kalimat (2) tersebut, Seichi, yang merupakan suami dari

Tsuyuko meminta Tsuyuko untuk membuang saja pakaian tidurnya. Sembari

menjahit pakaian tidurnya itu, Tsuyuko dengan tegas menolak permintaan suami

nya tersebut karena dirasa masih layak pakai dan sayang jika harus dibuang.

Penolakan secara langsung tesebut ditunjukkan melalui kalimat “Sonna, mottainai.

Hora! Kawaii desho?” yang berarti ‘Nggak lah, mubadzir. Lihat! Cantik kan?’. Dari

contoh tersebut, terlihat bahwa penolakan secara langsung diungkapkan Tsuyuko

pada Seichi. Namun, dalam akhir penolakannya, Tsuyuko menyatakan sesuatu hal

yang positif melalui kalimat ‘Kawaii desho? ‘Cantik kan?’, dengan maksud memuji

dan menunjukkan bahwa penolakannya beralasan karena memang bajunya masih

bagus dan layak untuk dipakai. Hal ini dilakukan agar tetap menjaga perasaan dari

Seichi.

Dari kedua contoh tersebut dapat diketahui bahwa dalam situasi, latar

belakang dan konteks yang berbeda, penerapan enkyoku no kotowari hyougen pun

berbeda. Meskipun kedua contoh tersebut berlatar belakang hubungan keluarga

diantara kedua penuturnya, namun gaya penolakan yang disampaikan nampak

berbeda. Ketika berkomunikasi, khususnya saat melakukan penolakan, umumnya

para penutur di negara ber-high context culture akan menghindari hal-hal yang dapat

mempermalukan orang lain atau membuat merasa tidak nyaman. Hal ini lah yang

diterapkan para penutur Jepang kepada lawan tuturnya agar tidak merasa

tersinggung atas penolakannya. Oleh karena itu, kesantunan bahasa diperlukan

dalam berkomunikasi agar tujuan komunikasi tersebut tercapai tanpa ada pihak

yang merasa tidak nyaman.

6
Para pembelajar bahasa Jepang, diharapkan mampu menerapkan serta

mengetahui penggunaan enkyoku no hyougen secara benar agar dapat

meminimalisir kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Berdasarkan survei yang

peneliti lakukan terhadap mahasiswa angkatan 2016 Pendidikan Bahasa Jepang

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PBJ UMY), diketahui bahwa dari 19

responden hanya empat orang mengatakan mengetahui tentang enkyoku no hyougen

dan dua orang saja yang mengetahui cara penggunaannya. Selebihnya mengatakan

tidak mengetahui apa itu enkyoku no hyougen. Pengetahuan mengenai ungkapan

menolak sesuatu (kotowari hyougen) hanya terbatas pada penggunaan kata chotto

dan sumimasen. Selain itu, dari responden juga diketahui bahwa pernah dan sering

salah paham ketika berkomunikasi dengan orang Jepang, disebabkan oleh salah

paham terhadap pemahaman enkyoku no hyougen (ungkapan yang maknanya

tersirat) yang diucapkan oleh orang Jepang. Akibatnya komunikasi antara

responden dan orang Jepang seringkali menjadi terhambat karena minimnya

pengetahuan tentang enkyoku no kotowari hyougen.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada paragraf

sebelumnya, peneliti berpendapat bahwa pembelajar bahasa Jepang perlu

memahami tentang enkyoku hyougen dan kotowari hyougen agar kesalahpahaman

dalam berkomunikasi dapat dikurangi. Maka peneliti mengajukan judul penelitian

yaitu “Kesantunan Enkyoku No Kotowari Hyougen Dalam Drama Yamada Taro

Monogatari” sebagai langkah untuk mendapatkan pengetahuan tentang enkyoku no

kotowari hyougen dalam bahasa Jepang. Sehingga dengan pengetahuan yang cukup

diharapkan kesalahpahaman dalam komunikasi

7
berbahasa Jepang dapat dihindari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, penulis merumuskan

permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk enkyoku no kotowari hyougen pada bahasa Jepang?

2. Bagaimana strategi kesantunan enkyoku no kotowari hyougen?

C. Batasan Masalah

Penelitian ini dilakukan lewat kajian pragmatik, khususnya pada kajian

kesantunan. Enkyoku no kotowari hyougen dibatasi pada sumber data yang

berasal dari drama Jepang berjudul Yamada Taro Monogatari yang berjumlah

10 episode.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui bentuk enkyoku no kotowari hyougen pada bahasa Jepang

2. Mengetahui strategi kesantunan enkyoku no kotowari hyougen

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini memberikan manfaat teoretis dari segi penambahan wawasan

mengenai seperti apa kesantunan dalam berbahasa Jepang khususnya dalam

enkyoku no kotowari hyougen sehingga lebih berhati-hati agar tidak terjadi

8
kesalahpahaman saat berkomunikasi dengan orang Jepang langsung. 2.

Manfaat Praktis

a. Bagi Pengajar

Dapat digunakan sebagai bahan ajar dalam mata kuliah Nichijou Hyougen

dan Jitsuyou Hyougen

b. Bagi Pembelajar

Dapat diterapkan bagi para pembelajar bahasa ketika berkomunikasi dengan

penutur Jepang khususnya dalam konteks kesantunan enkyoku no kotowari hyougen

yang ada dalam bahasa Jepang pada situasi dan kondisi yang

tepat.

c. Bagi Peneliti

Dapat dijadikan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut terhadap

penelitian mengenai penolakan maupun kesantunan berbahasa bagi peneliti

selanjutnya.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu

Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Teori, meliputi kutipan dan teori dari berbagai sumber mengenai

teori pragmatik, kesantunan, enkyoku no hyougen, kotowari dan penelitian

terdahulu.

9
Bab III Metode Penelitian, meliputi metode penelitian, subjek penelitian, teknik

pengumpulan data, instrumen penelitian, dan teknik analisis data.

Bab IV Analisis Data dan Hasil Penelitian, meliputi analisis data dan hasil

penelitian mengenai bentuk dan kesantunan enkyoku no kotowari hyougen dalam

bahasa Jepang.

Bab V Penutup, meliputi kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian dan saran

untuk perbaikan penelitian selanjutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

A., Y. W. (2009). Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta dengan penekanan


Arsitektur Neo Vernakular Jepang. Surakarta.
Arbel, Y. (2012). Urban Acupuncture – Curitiba as an Allegory. Curitiba:
C2city Education City.
Ardiarini, D. (2018). PUSAT SENI SURAKARTA, RUANG AKTIVITAS
SENI Sebagai Wadah Rekonsiliasi Multi Etnis Dengan Pendekatan
Simbiosis. Yogyakarta.
Azzuhri, M. (2012). KONSEP MULTIKULTURALISME DAN
PLURALISME DALAM PENDIDIKAN AGAMA (Upaya
Menguniversalkan Pendidikan Agama dalam Ranah Keindonesiaan) .
FORUM TARBIYAH, 13-29.

Azzuhri, M. (2012). KONSEP MULTIKULTURALISME DAN


PLURALISME DALAM PENDIDIKAN AGAMA (Upaya
Menguniversalkan Pendidikan Agama dalam Ranah Keindonesiaan) .
FORUM TARBIYAH, 13-29.

Casagrande, M. (2015). From Urban Acupuncture to the Third Generation


City. Journal of Biourbanism.
Dewantara, A. W. (2015). PANCASILA DAN MULTIKULTURALISME
INDONESIA.

Studia Philosophica et Theologica, 109-126.


DP Architects. (2017). Singapore Chinese Cultural Centre. Retrieved from
archello.com:
https://archello.com/project/singapore-chinese-cultural-centre Firmaniah,

D. (2012). Malang Indie Culture Center. Malang.


Fitriani, C. (2019). STATISTIK DAERAH KOTA SURAKARTA 2019.
Surakarta: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.

Fittrya, L., & Purwaningsih, S. M. (2013). TIONGHOA DALAM


DISKRIMINASI ORDE BARU. AVATARA, 159.

11
Ghina, Y. R., & Setiawan, W. (2018). Urban Acupuncture dan New
Urbanisme: Pendekatan Urban Design Kota Singkawang dalam Merespon
Keragaman Budaya.
Gonzales, M. F. (2018). Singkawang Cultural Center/PHL Architects.

Retrieved from Archdaily.com:


https://www.archdaily.com/906199/singkawang-cultural-centerphl-
architects

Handayani, S., & Taufik, M. (2017). ANALISA KEPUTUSAN


KONSUMEN WARUNG ANGKRINGAN YANG DIPENGARUHI
LOKASI, FASILITAS & KUALITAS PELAYANAN (Studi Kasus Pada
Warga Kos di Kota Semarang) . Jurnal Ekonomi Manajemen dan Akuntansi,
59-75.

Harisman, A., Is, S., & Yetti, R. A. (2019). PERANCANGAN PUSAT SENI
BUDAYA TRADISONAL DI PASAMAN BARAT. 1-11.

Harjoko, T. Y. (2009). URBAN ACUPUNCTURE: AN ALTERNATIVE


Purposive
intervention to urban development to generate sustainable positive ripples
for an ‘Aided Self-Help’ Kampung Improvement. Informal Settlements and
Affordable Housing , 1-15.

Haryanto, J. T. (2015). RELASI, TRANSFORMASI DAN ADAPTASI


TRADISIONALIS TERHADAP PURITANISME DI SURAKARTA JAWA
TENGAH. Analisa Journal of Social Science and Religion, 239-253.

Hayati, S., Handiki, Y. R., & Indrayani, H. (2019). KERUKUNAN UMAT


BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA DAN ISLAM
. JSA,
19-30.

Hendro, E. P. (2013). MULTIKULTURALISME SEBAGAI MODEL


INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DI SURAKARTA. Sabda, 34-42.
Husaini, A. (2005). BAHAYA PLURALISME AGAMA (Pandangan Katolik,
Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham Pluralisme Agama). Jakarta:
Pustaka alKautsar.

12
Ibrahim, R. (2008). Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir
Konflik dalam Era Pluralitas Agama. El Tarbawj, 115-127.
Istanabi, T., Roychansyah, M. S., & Swasto, D. F. (2018). Asimilasi sebagai
Terjemahan Bentuk Adaptasi dalam Resiliensi Komunitas Kampung Kota
di Kampung Sudiroprajan Surakarta. REGION.

Jain, K. (2011). Urban Acupuncture and better Cities. Delhi.


Joebagio, H. (2017). The Diversity of Surakarta Community: A Blessing
toward Democracy. American International Journal of Social Science, 16-
22.
Keesing, R. M. (2014). Teori-Teori Tentang Budaya. ANTROPOLOGI, 4-
32.
Kota Surakarta. (2020, Maret 7). Retrieved from wikipedia.org:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta
Lynch, K. (1960). The Image of The City. Cambridge: The MIT Press.
Lynch, K. (1972). Good City Form. Cambridge: The MIT Press.
Manurung, P. (2018). Kota Untuk Semua: Ide Penataan Kota yang
Komprehensif. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Najmatussalamah. (2018). Coworking Space di Kotabaru-Yogyakarta
dengan Pendekatan Desain Biophilic. Yogyakarta.
Nathania, W. (2018, Februari). Urban Akupuntur. Retrieved from Scribd:
https://www.scribd.com/document/371213316/Urban-Akupuntur
Ndolu, A. J., Sasongko, I., & Reza, M. (2018). PENENTUAN LOKASI
LANDMARK GUNA MENINGKATKAN CITRA KOTA DI
KECAMATAN KELAPA LIMA DAN OEBOBO KOTA KUPANG
PROVINSI NTT. 1-8.

Noegroho, A. d. (1998). Rekaman Lensa Peristiwa Mei 1998 di Solo. Solo:


PT. Aksara Solopos.

Noviadji, B. R. (2014). Desain Kemasan Tradisional Dalam Konteks


Kekinian . Jurnal Fakultas Desain , 10-21.

PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2012


TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SURAKARTA TAHUN
2011-
2031. (2012). Surakarta, Jawa Tengah.

13
PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2016
TENTANG
BANGUNAN GEDUNG. (2016). Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.

Pitoyo, A. J., & Triwahyudi, H. (2017). DINAMIKA PERKEMBANGAN


ETNIS DI INDONESIA DALAM KONTEKS PERSATUAN NEGARA.
Populasi, 64-81.

Pramudyo, A. (2014). MENJAGA EKSISTENSI PASAR TRADISIONAL


DI YOGYAKARTA . JBMA, 78-93.

Purwanto, E. (2001). PENDEKATAN PEMAHAMAN CITRA


LINGKUNGAN PERKOTAAN (melalui kemampuan peta mental
pengamat). DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR , 85-92.

Putro, J. D. (2002). Pusat Kebudayaan di Pontianak Sebagai Wadah


Kegiatan Seni dan Budaya. Yogyakarta.
Rahmatika, A., & Susetyarto, M. B. (2018). ISU-ISI PENTING
ARSITEKTUR
REGIONALISME PADA BANGUNAN SINGKAWANG CULTURAL
CENTER.

Santoso, D. (2008). Pemulihan Ekonomi Pasca Kerusuhan Tahun 1998


(Studi Kasus Kota Surakarta) . UNISIA, 382-391.

Santoso, S., & Harsono, J. (2014). POLA SOLIDARITAS KELOMPOK


PEDAGANG ANGKRINGAN DI KOTA PONOROGO. Sosiohumaniora,
62-69.

Sibarani, B. (2013). BAHASA, ETNISITAS DAN POTENSINYA


TERHADAP KONFLIK ETNIS . 1-11.

Sinaga, D. O. (2003). SHOPPING MALL DI KAWASAN KOMERSIAL KAB.


KOTABARU - KALIMANTAN SELATAN Sebagai Landmark pada Pusat
Kawasan Perdagangan. Yogyakarta.

Suparlan, P. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.


ANTROPOLOGI INDONESIA , 98-105.

14
Sutami, W. D. (2012). Strategi Rasional Pedagang Pasar Tradisional .
BioKultur, 127148.

Syaifuddin, A. F. (2006). MEMBUMIKAN MULTIKULTURALISME DI


INDONESIA

. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, 3-11.


Treasure Hill. (2020). Retrieved from wikipedia.org:

https://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=https://en.wikipedia
org/w iki/Treasure_Hill&prev=search

Wibowo, I. d. (2010). Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa


Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Yen, D. (2016). Treasure Hill Artist Village. Retrieved from artistvillage.org:
http://neocha.com/magazine/treasure-hill-artist-village/
Yogaswara, W. (2004). BAGAIMANA MENDIRIKAN SEBUAH MUSEUM.
Jakarta: Direktorat Museum.

Yolanda, D. E. (2018). PERANCANGAN CULTURAL CENTER DENGAN


KONSEP ARSITEKTUR TROPIS DI PRAWIROTAMAN . Yogyakarta.

Yunus, R. (2013). TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL


SEBAGAI
UPAYA PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA (Penelitian Studi
Kasus
Budaya Huyula di Kota Gorontalo). Jurnal Penelitian Pendidikan, 65-77.

Zuriah, N. (2011). MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN


KEWARGANEGARAAN MULTIKULTURAL BERBASIS KEARIFAN
LOKAL DALAM FENOMENA SOSIAL PASCA REFORMASI DI
PERGURUAN TINGGI. Jurnal Penelitian Pendidikan , 63-72.

15
16

Anda mungkin juga menyukai