Yogyakarta
Abstrak: Perlindungan hak anak seperti yang tertuang dalam bertujuan untuk
menjamin terwujudnya perlindungan hak- hak anak. Anak adalah golongan yang rentan
dan merupakan harapan masa depan bangsa sehingga anak harus bertumbuh dan
berkembang dengan baik secara jasmani dan rohani. Fakta empirisnya, saat ini masih
terjadi kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua yang menimbulkan
permasalah terhadap perlindungan bagi anak terutama hak-hak yang dimilikinya.
Sistem hukum perlindungan anak di Negara Indonesia dan di Negara Malaysia bila
dibandingkan sangat banyak terdapat persamaan, di mana kedua sistem hukum
perlindungan anak dari masing-masing negara telah mengatur adanya kewajiban dan
tanggung jawab negara, masyarakat, keluarga dan orang tua, kedudukan anak, kuasa
asuh, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, agama anak, dan anak terlantar
dan perlindungan khusus, seperti pemelihaaan, pemulihan, penjaga anak, perlindungan
anak, pemeriksaan dan perawatan anak atau eksploitasi, ekonomi, seksual, pendidikan
atau sekolah dan perlindungan khusus dari penderaan, cacat, dan penganiaya anak.
Perbedaannya undang undang perlindungan di Negara Malaysia sudah disatukan dalam
Akta Kanak-Kanak 2001 (Akta 611), sedangkan di Indonesia masih berpisah dengan
Undang-Undang Perlindungan Anak.
Pendahuluan
Anak sebagai manusia yang masih kecil, sedang tumbuh dan berkembang, baik
fisik mental maupun intelektualnya. Pada masa perkembangan tersebut setiap anak
sedang berusaha mengenal dan mempelajari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
serta berusaha meyakini sebagai bagian dari dirinya. Sebagian kecil anak tidak dapat
memahami secara utuh aturan hidup di dalam masyarakat baik disebabkan oleh
kurangnya perhatian orang tua, kurang kasih sayang, kurang kehangatan jiwa, adanya
kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat yang membawa dampak pada
terbentuknya sikap dan perilaku menyimpang anak di masyarakat. Sebagian perilaku
menyimpang anak-anaktersebut akan bersentuhan dengan ketentuan hukum. Anak-
anak inilah yang disebut anak yang berkonflik dengan hukum1. (Aep Rusmana, 2008)
Ada banyak alasan mengapa anak merupakan kelompok manusia yang harus
mendapatkan perlindungan. Salah satunya adalah posisi anak yang rentan mendapatkan
kekerasan dan ketidakadilan. Praktek kekerasan terhadap anak sudah menjadi isu klasik
dan terjadi di semua negara di dunia, termasuk Indonesia dan Malaysi. Karena itulah,
negara-negara di dunia berupaya mengambil langkah strategis, di antaranya dengan
melalui pengaturan hukum agar anak mendapatkan perlindungan yang maksimal dan
seadiladilnya. Antara Indonesia dengan Malaysia memiliki latar belakang yang sama
berkaitan dengan kekerasan terhadap anak namun juga memiliki pengaturan yang
berbeda terkait tindak kekekerasan terhadap anak, di Indonesia di atur dalam Undang-
Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan di Malaysia
pengaturan mengenai kekerasan terhadap anak di atur dalam Akta Kanak-Kanak. Akta
Kanak-Kanak adalah suatu Undang-Undang untuk mengkonsolidasikan dan mengubah
Undang-Undang yang berkaitan dengan perawatan, perlindungan dan rehabilitasi anak-
anak dan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan anak 2. (Nurussaba dkk., 2023)
1
Aep Rusmana, “Alternatif perlindungan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum”, Jurnal Pusdiklat
Kesos, Volume 1, Bandung, (Agustus 2008).
2
Nurussaba, Dewi “Studi Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Malaysia tentang Kekerasan
Terhadap Anak” Jurnal Prodi Ilmu Hukum (JPIH), Volume 1 (Agustus 2023)
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Baru setelah
diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah hadānah
menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk
menjadi dan menyelesaikannya. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 42 sampai dengan Pasal 54 dijelaskan bahwa orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan
cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku
terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau
kematian3.(Jauhari, 2013)
3
Jauhari Iman “Perbandingan Sistem Hukum Perlindungan Anak Antara Indonesia Dan Malaysia”
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Volume 47 (Desember 2013)
4
Purwo Ardoko, “Pedoman Pemikiran Dalam Rancang Bangun Bangunan LPKA dan LPAS yang Ramah
Anak”, Pemaparan FGD Penyusunan Kajian Anak yang Berhadapan Dengan Hukum, tanggal 25
Nopember 2015.
undang-undang ini antara lain: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak mengkhususkan anak dijatuhi piidana atau anak yang
berkonflik dengan hukum “wajib” dibina di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) dan Undang-Undang ini juga mengatur tentang pendirian Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial (LPKS).
Pembinaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia dan Malaysia dari
Perspektif Restorative Justice
5
Fatriansyah “Pembinaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Dari Perspektif Restorative Justice
(Studi Perbandingan Antara Indonesia dengan Malaysia)”, Jurnal Hukum, Volume 12 (Desember 2020)
Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan. Sementara di Malaysia aturan atau norma yang
mengatur tentang pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum diatur
dengan 3 (tiga) aturan atau norma yaitu Akta Kanak-Kanak 2001, Akta Penjara
2000 dan Peraturan Sekolah Henry Gurney (SHG) 1949.
2. Program Pembinaan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum Program
pembinaan bagi anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
adapun program pembinaan yang dilaksanakan yaitu program pembinaan dan
pembimbingan. Program pembinaan ini dilaksanakan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) sementara program pembimbingan dilaksanakan oleh
Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Sementara itu program pembinaan bagi anak
yang berkonflik dengan hukum di Malaysia diatur dalam Akta Kanak-kanak
2001. Program pembinaan yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan
hukum adalah program 7emahiran7n insan. Program 7emahiran7n insan ini
terdiri dari program akademik, ko-kurikulum, keagamaan, bimbingan dan
konseling.
3. Tahapan Pembinaan Tahapam pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum
di Indonesia dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan. Adapun tahapan pembinaan
tersebut yaitu tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Sementara tahapan
pembinaan bagi anak yang berkonflik dengan hukum di Malaysia diatur dalam
peraturan Sekolah Henry Gurney 1949. Adapun tahapan pembinaannya adalah
fase I (2 bulan) disebut dengan fase pembentukan disiplin, fase II (6-12 bulan)
disebut fase pengukuhan sahsiah, fase III (6-12 bulan) disebut fase 7emahiran
dan fase IV (6 bulan) disebut fase pemasyarakatan.
Perbedaan proses pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia
dengan Malaysia adalah sebagai berikut:
1. Aturan/norma pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum. Pembinaan
bagi anak yang dijatuhi pidana penjara di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak
menjelaskan secara eksplisit tentang pembinaan bagi anak yang dijatuhi pidana
penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Sementara pembinaan
bagi anak yang dijatuhi pidana penjara di Malaysia diatur dalam Akta Kanak-
kanak 2001 dan Peraturan Sekolah Henry Gurney. Pengaturan di dalam aturan
tersebut hanya mengkhususkan untuk anak yang sedang menjalani pidana
penjara
2. Program pembinaan anak berkonflik dengan hukum Program pembinaan dan
pembimbingan bagi anak yang berkonflik dengan hukum diperuntukan bagi
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Adapun yang termasuk Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) ini adalah narapidana dewasa dan anak didik
pemasyarakatan. Sementara itu program pembinaan bagi anak yang berkonflik
dengan hukum di Malaysia tidak diatur dalam Akta Kanak-kanak 2001.
Pengaturan tentang program pembinaan bagi anak berkonflik dengan hukum di
Malaysia diatur dalam Peraturan Sekolah Henry Gurney 1949. bahwa program
pembinaan pembangunan insan yang diperuntukan bagi anak yang berkonflik
dengan hukum di Malaysia terdiri dari pendidikan akademik, pendidikan ko-
kurikulum, pendidikan keagamaan, bimbingan dan konseling. Program
pembangunan insan ini hanya diberikan kepada Juvana Kanak-Kanak.
3. Tahapan pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum. Tahapan pembinaan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum dimulai pada masa (0-1/3) atau yang
lebih dikenal dengan pembinaan tahap awal, pada tahap ini dilakukan beberapa
kegiatan. Selanjutnya pada masa (1/3-1/2) atau tahapan lanjutan dilakukan
beberapa kegiatan dan yang terakhir masa (1/2-bebas) atau tahap akhir
dilakukan beberapa kegiatan. Selanjutnya tahapan pembinaan bagi anak yang
berkonflik dengan hukum di Malaysia diatur dalam peraturan Sekolah Henry
Gurney 1949. Adapun proses atau tahapan pembinaannya adalah fase I (2
bulan), fase II (6-12 bulan), fase III (6-12 bulan) dan fase IV (6 bulan).
6
Mufan Nurmi, Andi Najemi, Moh. Rapik, “Studi Komparasi Prihal Perumusan Tindak Pidana
Kekerasan terhadap Anak”, Journal Of Criminal. Volume 2 Nomor 3, 2021. Hlm. 7
1. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak terdapat
beberapa pasal yang mengatur mengenai sanksi pidana kekerasan terhadap anak
yaitu dalam pasal 76A,7B,76C,76D,76E, dan 76I mengatur rumusan tindak
pidana kekerasan terhadap anak dan dalam pasal 77,77B,80,81,dan 82
mengatur ketentuan sanksi pidananya.
2. Dalam KUHP kekerasan terhadap anak di atur secara khusus dalam beberapa
pasal yaitu pasal 285 tentang pemerkosaan, pasal 289, 290 dan 294 tentang
perbuatan cabul, pasal 305 sampai 307 tentang penelantaran anak.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga ada beberapa pasal yang mengatur kekerasan anak dalam
Undang-Undang ini yaitu dalam pasal 5 menjelaskan rumusan tindak pidananya
dan pasal 44 mengatur sanksi pidana yang diberikan.
Ketentuan sanksi pidana tindak kekerasan terhadap anak antara Indonesia dan
Malaysia dapat dirumuskan beberapa hal untuk di perbandingkan yaitu, dari aspek
kekerasan berdasarkan UndangUndang perlindungan terhadap anak di Indonesia
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 berlaku pada “setiap orang “ artinya bisa dalam
lingkup keluarga dan bukan keluarga. di Indonesia peraturan dalam lingkup keluarga
diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga, dimana anak merupakan orang-orang yang berada pada lingkup
rumah tangga dan yang bukan dalam lingkup keluarga diatur dalam Undang-Undang
No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Sedangkan di Malaysia pelaku tindak
kekerasan terhadap anak berdasarkan Akta kanak-Kanak 611 (A1511) lebih berfokus
pada pada orang-orang dalam lingkup keluarga seperti ibu dan bapak atau pengasuhnya
atau anggota keluarga lainnya.
Kesimpulan
Aep Rusmana. (2008). Alternatif perlindungan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum.
Jurnal Pusdiklat Kesos, Volume 1.
Ardoko Purwo. (2015). Pedoman Pemikiran Dalam Rancang Bangun Bangunan LPKA
dan LPAS yang Ramah Anak. Pemaparan FGD Penyusunan Kajian Anak yang
Berhadapan Dengan Hukum, 4–5.
Fatriansyah. (2020). Pembinaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Dari Perspektif
Restorative Justice (Studi Perbandingan Antara Indonesia dengan Malaysia).
Jurnal Hukum , Volume 12.
Mufan Nurmi. (2021). “Studi Komparsi Perihal Perumusan Tindak Pidana Kekerasan
Terhadap Anak. Jurnal Of Criminal Law, Vol 2 No 2, 7–8.
Nurussaba, M., Dewi, G., & Sumbawa, U. T. (2023). Studi Perbandingan Hukum
Pidana Indonesia dan Malaysia tentang Kekerasan Terhadap Anak. Dalam Jurnal
Prodi Ilmu Hukum (JPIH) (Vol. 1, Nomor 1). http://jurnal.uts.ac.id/index.php/jpih