Anda di halaman 1dari 30

TUGAS RESUME

“SISTEM DAN PERENCANAAN TRANSPORTASI”

Dosen Pengampu :

Yogi Ardiwinata, S.T.,M.P.W.K., IAP.

Mata Kuliah :

Sistem Transportasi

Disusun Oleh :

Aurelia Putri 2022280026

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI
PALEMBANG
2024
Jurnal 1

Sistem Informasi Pemantauan Posisi Kendaraan Dinas Unsri Menggunakan Teknologi GPS
penulis: Ahmad Rifai

PENDAHULUAN

Sistem informasi adalah kombinasi antara prosedur kerja, informasi, orang, dan teknologi
informasi yang diorganisasikan untuk mencapai tujuan (Kadir, 2003). Didalam suatu sistem
terdapat beberapa komponen-komponen yang berhubungan dengan sistem informasi yaitu :
a. Perangkat keras (hardware): mencakup piranti-piranti fisik seperti komputer dan printer
b. Perangkat lunak (software) atau aplikasi: sekumpulan intruksi yang memungkinkan
perangkat keras untuk dapat memproses data
c.Prosedur: sekumpulan aturan yang dipakai untuk mewujudkan pemrosesan data dan
pembangkitan keluaran yang dikehendaki.
d.Orang: semua pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan sistem informasi,
pemrosesan, dan penggunaan keluaran sistem informasi.
e. Basis data (database): sekumpulan tabel, hubungan, dan lain-lain yang berkaitan dengan
penyimpanan data.
f. Jaringan komputer dan komunikasi data: sistem penghubung yangmemungkinkan sumber
(resource) dipakai secara bersama atau diakses oleh sejumlah pemakai.

Sistem Informasi pemantau penyelewengan kendaraan dinas adalah aplikasi web based yang
berfungsi untuk memantau keberadaan kendaraan yang bergerak, sehingga bisa diketahui
apakah kendaraan dinas itu digunakan secara semestinya atau tidak. Pengertian bergerak dalam
sudut pandang geografi adalah perpindahan posisi dari suatu kordinat ke kordinat lain. Aplikasi
disimpan pada web server yang berfungsi sebagai GPS Tracking Server. Komputer pemantau
akan melakukan koneksi ke alamat web server untuk dapat mematau posisi benda bergerak yang
dimilikinya.Aplikasi dibangun menggunakan tampilan peta digital yang diambil dari Google
Map. Peta Google Map tersebut kita program melalui API (Application Programming Interface)
yang tersedia untuk menampilkan objek yang mewakili posisi benda bergerak/ 4GPS Tracking
Device. Informasi posisi objek tersebut diambil dari database MySQL dimana datanya selalu
diupdate oleh GPS Tracking Device secara periodik. Akibatnya kita akan mendapatkan efek
bergerak setiap kali kita merefresh data dan
menampilkannya pada peta Google Map. Suatu Kendaraan dinas dianggap menyeleweng
apabila :
1. Kendaraan dinas keluar dari area kerja yang telah ditentukan.
2. Kecepatan kendaraan dinas melebihi batas kecepatan maksimal yang telah ditetapkan
oleh instansi/perusahaan yang bersangkutan.
3. Kendaraan dinas digunakan diluar jam kerja perusahaan/instansi.
Untuk mengetahui kendaraan yang menyeleweng keluar dari area kerja yang telah ditentukan
oleh perusahaan / instansi, maka diperlukan fitur geofencing. Geofencing (pembatasan lokasi)
digunakan untuk menganalisa posisi kendaraan secara otomatis dan melaporkan kapan
kendaraan dinas keluar atau masuk area geofence yang sebelumya telah ditentukan oleh
pemakai..

Sistem informasi pemantauan posisi kendaraan dinas ini terbagi menjadi dua sisi,
yaitu sisi client dan sisi server. Sisi client adalah orang yang akan menggunakan kendaraan
dinas, pada rancangan sistem ini orang tersebut harus menggunakan handphone berbasis
android. Penggunaan handphone berguna untuk mengirimkan posisi pengguna kendaraan dinas
ke server melalui fasilitas GPS. Altrenatif lain bisa juga dengan memasangkan mikro kontroler
pada kendaraan dinas sebagai pengganti GPS pada handphone. Sedangkan disisi server berupa
komputer yang akan menampilkan informasi berupa posisi kendaraan dinas dalam bentuk peta.
Aplikasi disimpan pada web server yang berfungsi sebagai GPS Tracking Server. Komputer
pemantau akan melakukan koneksi ke alamat web server untuk dapat mematau posisi benda
bergerak yang dimilikinya.
Hasil dari penelitian ini adalah:
- Data Flow Diagram
- Diagram Konteks
- Diagram Nol
- Entity Relational Diagram(ERD)
- Kamus Data
- Tampilan program client
- Tampilan program server

KESIMPULAN

Sistem informasi pemantauan posisi kendaraan dinas unsri berbasis web dapat digunakan
sebagai alat untuk memberilan informasi mengenai posisi keberadaan kendaraan dinas. Dengan
adanya sistem informasi ini diharapkan dapat menghindari penyelewengan penyalahgunaan
kendaraan dinas.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Rajendran, G, M. Arthanari, M. Sivakumar. 2011. GPS Tracking Simulation by Path


Replaying. International Journl of Innovative Technology & Creative Engineering VOL.1 NO.1.
[2] Al-Khedher, Mohammad A. 2011. Hybrid GPS-GSM Localization of Automobile Trackin
System. International Journal of Computer Science & Information Technology (IJCSIT) Vol 3,
No 6. Burrough, Peter A.,Mcdonnell, Rachael A., 1998, Principles of Geographical Information
System. Oxford University Press, England.
[3] Shajadul, H. Khondker, Mashiur Rahman, dkk. 2009. Cost Effective GPS-GPRS Based
Object Tracking System . International MultiConference of Engineers and Computer
Scientists(IMECS) vol I.
[4] Winardi. 2001. Penentuan Posisi dengan GPS untuk Survei Terumbu Karang. Puslit
Oceanografi – LIPI, Jakarta.
[5] Ikhmatiar, Sibghotulloh Mohammad, Miswan Surip, dkk. 2011. Mosque Tracking on Mobile
GPS and Prayer Times Synchronization for Unfamiliar Area. International Journal of Future
Generation Communication and Networking Vol. 4, No. 2,.
[6] Abidin, Hasanuddin Z. 2007. Penentuan Posisi Dengan Menggunakan GPS dan Aplikasinya
PT Pradyan Paramita, Bandung.
[7] Jogiyanto. 1995. Analisis dan Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur Teori dan
Praktek Aplikasi Bisnis. Edisi Pertama, cetakan Pertama, Andi Offset, Yogyakarta
[8] Kadir, Abdul. 2003. Pengenalan Sistem Informasi. Andi Offset, Yogyakarta.
[7] Whitten, Jeffery L dkk. 2004. Metode Desain dan Analisis Sistem edisi 6. Yogyakarta:
McGraw-Hill Education dan ANDI Offset.
Jurnal 2

PENGEMBANGAN METODOLOGI PERENCANAAN TRANSPORTASI BARANG


REGIONAL

PENDAHULUAN

Transportasi sering dianggap sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, karena pertumbuhan


ekonomi memerlukan transportasi dan pembangunan infrastruktur (Kreutzberger et al, 2006a).
Namun demikian, pertumbuhan ekonomi juga akan meningkatkan jumlah ton-km transportasi
barang. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Republik Indonesia (2006) dan Lubis et al
(2005), transportasi barang yang menggunakan jalan diperkirakan mencapai 91,25%. Angka ini
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan moda transportasi kereta api
(0,63%), moda sungai (1,01%), dan moda laut (7%). Masalah-masalah yang disebabkan oleh
dominasi transportasi barang melalui jalan, di antaranya, adalah kerusakan jalan dan kecelakaan
lalulintas akibat truk dengan muatan berlebih. Di Uni Eropa, biaya eksternal akibat
pengangkutan jalan jarak jauh adalah dua kali lebih tinggi daripada biaya yang sama akibat
penggunaan kereta api. Kreutzberger et al (2003, 2006b) menyoroti biaya eksternal akibat
transportasi jalan adalah 33% berasal dari emisi gas buang kendaraan, 23% berasal dari akibat
kemacetan, dan 22% berasal dari akibat kecelakaan.

Masalah lain di Indonesia, karena dominasi transportasi jalan, adalah tingginya biaya
transportasi. Faktor utama tingginya biaya transportasi barang di Indonesia diperkirakan
disebabkan oleh rendahnya kualitas infrastruktur dan pelayananan transportasi. Biaya
operasional truk, sebagai transportasi barang di Indonesia, mencapai US$ 34 sen per mil. Biaya
ini lebih tinggi daripada biaya rata-rata di negara-negara Asia, seperti Vietnam, Thailand,
Malaysia, dan China, yang hanya sebesar US$ 22 sen per mil (the Asia Foundation dan LPEM-
UI, 2008).

Biaya transportasi dan kondisi infrastruktur transportasi juga mempengaruhi kinerja logistik
dan daya saing suatu negara. Sebagai contoh, pelayanan logistik yang buruk di Indonesia, akibat
tingginya biaya transportasi barang dan buruknya infrastruktur, telah menempatkan kinerja
logistik Indonesia pada peringkat 75 dari 150 negara yang disurvei oleh Bank Dunia (Bank
Dunia, 2010). Selain itu, biaya logistik nasional Indonesia yang mencapai 30% Produk
Domestik Bruto (PDB) sangat lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia (10% - 20% PDB) atau
rata-rata biaya logistik di negara berkembang lainnya di Asia, yang berkisar 15%-25% PDB.
Akibatnya, daya saing perdagangan Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan daya
saing perdagangan negara- negara Asia lainnya. Untuk beberapa jenis ekspor, total biaya
sebelum pengiriman dan transportasi darat di dalam negeri mencapai lebih dari 40% terhadap
total biaya logistik dan biaya transportasi (the Asia Foundation dan LPEM-UI, 2008).

Oleh karena itu, penelitian yang menitikberatkan pada perencanaan transpotasi barang dalam
kaitannya dengan model lokasi spasial dan konsep antar-moda dengan mem-pertimbangkan
karakteristik yang dimiliki suatu wilayah dan dengan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan (stakeholder), akan memberikan kontribusi berharga bagi keberhasilan strategi ini
dalam mencapai sistem transportasi barang yang efisien. Selain itu, pemilihan moda transportasi
barang harus menjadi pertimbangan utama untuk mendapatkan biaya transportasi barang yang
ekonomis. Sementara itu pemilihan moda transportasi barang sangat tergantung pada
karakteristik dan volume komoditas yang akan diangkut, karakteristik transportasi (jaringan,
kendaraan, pelayanan transportasi), dan kondisi geografis tempat kegiatan tersebut berlangsung.
PERENCANAAN TRANSPORTASI BARANG REGIONAL
Terdapat hubungan yang sangat erat antara transportasi dan pembangunan ekonomi regional.
Menurut Lem (2002), hubungan antara transportasi dan pembangunan ekonomi regional dapat
dilihat dari tiga implikasi penting dari transportasi barang dan perdagangan. Pertama, hubungan
antara infrastruktur transportasi dan produktivitas daerah. Perbaikan infrastruktur transportasi
merupakan aspek yang sangat penting bagi strategi pembangunan ekonomi regional untuk
meningkatkan produktivitas daerah. Kedua, infrastruktur transportasi yang memadai akan
memfasilitasi pergerakan barang industri di wilayah tersebut secara efisien sehingga dapat
mengurangi biaya produksi. Ketiga, infrastruktur transportasi akan mem-pengaruhi lokasi
industri. Strategi pembangunan regional yang akan menggunakan daya tarik daerah industri
baru harus dapat menjamin ketersediaan infrastruktur transportasi regional yang memadai untuk
industri tersebut. Akses industri untuk kegiatan produksi dan distribusi barang harus dievaluasi
agar dapat mendukung transportasi komoditas khususnya untuk kegiatan produksi dan distribusi
barang komoditas hasil industri tersebut.

Perencanaan transportasi barang pada umumnya mengadopsi dari model untuk angkutan
penumpang seperti model empat tahap (Houlguin-Veras et al, 2001; Southworth, 2002; De Jong
et al, 2004). Southworth (2002) memperkenalkan model transportasi barang yang dikenal
sebagai model perencanaan barang multi-langkah (multi-step). Kerangka konseptual dari model
ini secara berturut-turut terdiri dari: (a) freight generation/attraction, (b) trip distibution; (c)
modal split, dan (d) traffic route assignment. Bila proses perencanaan dimaksudkan untuk
mendapatkan pergerakan barang dalam bentuk pergerakan kendaraan maka diperlukan langkah
kelima, yang disebut pemodelan faktor beban kendaraan (vehicle load factor). Pemodelan faktor
beban kendaraan ini dapat dijadikan langkah keempat dalam proses pemodelan, yang dilakukan
setelah mode split, atau alternatifnya, dapat dimasukkan pada tahap pertama, yaitu pada freight
generation/attraction. Berbagai modifikasi terhadap model proses perencanaan tersebut telah
digunakan untuk menganalisis transportasi barang pada sistem koridor-koridor khusus dan
daerah metropolitan (Holguin-Veras dan Thorson, 2000; 2003a, 2003b). Holguin-Veras dan
Thorson (2000) dan Holguin-Veras et al (2001) telah mem- promosikan model perencanaan
transportasi barang yang dikenal sebagai model berbasis komoditas (commodity-based model)
dan model berbasis perjalanan (trip-based model). Secara umum, model perencanaan
transportasi barang ini dibangun berdasarkan: pergerakan kendaraan (trip-based) dan atau
berbasis pada pergerakan komoditas (commodity-based). Sedangkan unit komoditas yang
digunakan adalah berupa ukuran barang (size) maupun berat barang (weight). Pendekatan umum
dari kedua model perencanaan tersebut, secara berturut- turut, terdiri dari bangkitan perjalanan
(trip generation), distribusi perjalanan (trip distribution) dan pemilihan rute (traffic assignment).
Adapun kelebihan dan kekurangan masing-masing model perencanaan .

Data yang akan digunakan dalam pengembangan model akan diperoleh dari penelitian
lapangan (survei), baik survei kualitatif (Revealed Preference atau RP) terhadap kegiatan
produksi dan distribusi komoditas tertentu maupun survei kuantitatif (Stated Preference atau
SP). Pemetaan dan pemilihan lokasi spasial (optimum) untuk kegiatan komoditas dilakukan
dengan menggunakan ArcGIS. Sedangkan pemodelan transportasi barang akan menggunakan
ArcGIS (dan FlowMap) untuk mendapatkan Generalized Cost (GC), yang digunakan sebagai
indikator sistem transportasi yang efisien. Identifikasi jenis dan lokasi infrastruktur kemudian
digunakan sebagai strategi atau skenario yang diterapkan dalam pemodelan transportasi untuk
mendapatkan model optimal, yang tercermin ke dalam biaya umum (GC) yang optimal.
Pengembangan Metodologi Perencanaan Transportasi Barang Regional (Noor Mahmudah, dkk)
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengaplikasikan simulasi jaringan transportasi barang (freight
network simulation) khususnya dengan menggunakan ArcGIS (dan FlowMap) dengan
mempertimbangkan faktor-faktor (atribut) spasial dan transportasi sebagai masukan (input), dan
peraturan/kebijakan pemerintah sebagai batasan (constraint), untuk pemodelan transportasi
barang antar moda dalam skala regional dengan mempertimbangkan Generalized Cost (GC)
sebagai indikator efisiensi sistem transportasi yang optimal. Namun demikian, penelitian ini
terbatas dan hanya mempertimbangkan:

(a) Komoditas yang akan digunakan dalam pemodelan adalah komoditas primer dan dipilih
dengan mempertimbangkan nilai tambah. Derivasi lain dari komoditas ini tidak
dipertimbangkan dalam model;
(b) Model ini hanya dianggap rantai logistik sederhana yang terdiri dari sumber bahan mentah,
pabrik (termasuk penyimpanan), dan pelabuhan (laut dan sungai) sebagai outlet;
(c) Area tertentu yang dipertimbangkan dalam model ini adalah awilayah yang memiliki
jaringan jalan dan sungai yang dapat digunakan untuk transportasi barang. Karena jaringan
sungai sangat tergantung pada musim sehingga kehandalan mereka juga akan dipertimbangkan
dalam model;
(d) Biaya transportasi, waktu tempuh, dan musim merupakan atribut / faktor utilitas yang
dipertimbangkan dalam menentukan probabilitas pemilihan moda transportasi (truk, tongkang,
dan kombinasi dari truk-tongkang) dalam analisis pertama model transportasi (yaitu biaya
transportasi 1 atau TC1);
(e) Musim. Biaya Transportasi (dalam nilai ekonomi), waktu tempuh, dan status kepemilikan
kendaraan (sendiri atau sewa) adalah atribut / faktor utilitas dipertimbangkan dalam menentukan
probabilitas pemilihan moda transportasi (truk-sendiri, truk-sewa, tongkang- sewa, dan
kombinasi tongkang dan truk sewa) dalam analisis yang lebih rinci model transportasi (yaitu
biaya transportasi 2 atau TC2),
(f) Biaya Generalized Cost (GC) merupakan kombinasi dari biaya transportasi dan biaya waktu
perjalanan. Biaya ini adalah total biaya transportasi barang yang dikeluarkan dari tempat asal ke
tujuan akhir dan digunakan sebagai indikator suatu sistem transportasi yang efisien dalam
penelitian ini.

KESIMPULAN

Pengembangan metode perencanaan transportasi ini diharapkan dapat menguraikan


hubungan kegiatan ekonomi suatu komoditas yang mendukung ekspor - khususnya produksi
barang dan jasa yang menghasilkan transportasi barang, data spasial komoditas yang terkait
dengan kegiatan ekonomi (lokasi bahan mentah, pabrik, dan pelabuhan atau outlet), data
transportasi (infrastruktur, moda/alat, dan pelayanan transportasi), serta peraturan pemerintah,
untuk digunakan dalam merumuskan metode perencanaan transportasi barang komoditas
tertentu dengan mempertimbangkan konsep antar-moda (intermodality). Sebagai inovasi baru
dalam perencanaan transportasi barang, metodologi yang sedang pemodelan transportasi tetapi
juga melibatkan pemodelan lokasi spasial/pemetaan, khususnya dalam penentuan lokasi
industri/pabrik dengan mempertimbangkan rencana tata ruang wilayah dalam merumuskan
perencanaan transportasi barang regional. Dengan demikian, diharapkan metode ini dapat
menghasilkan model transportasi yang lebih realistis karena lokasi kegiatan ekonomi yang
menghasilkan arus barang dapat berubah secara dinamis dari waktu ke waktu. Metode baru ini
juga menawarkan tahapan pemodelan transportasi yang lebih efisien di mana trip generation,
trip distribution, mode split, dan traffic assignment dilakukan dalam waktu yang bersamaan
(simultaneously). Namun demikian, metode ini juga menghadapi tantangan besar dalam
pengumpulan dan membangun database karena membutuhkan data dalam jumlah yang besar
untuk diformat dan dikonversikan ke dalam GIS (geodatabase).

DAFTAR PUSTAKA

De Jong, G., Gun, H. F., Walker, W. 2004. National and international freight transport models:
an overview and ideas for further development. Transport Reviews 24 (1): 103–124,
(http://eprints.whiterose.ac.uk/2015, diakses 16 Juni 2009).
Friedrich, F. M., Haupt, T., Noekel, K. 2003. Freight modelling: data issues, survey methods,
demand and network models, CD-ROM in Proceedings of 10th International Conference on
Travel Behaviour Research, Lucerne.
Holguín-Veras, J., Thorson, E. 2003a. Modeling commercial vehicle empty trips with a first
order trip chain model. Transportation Research Part B 37 (2003), Vol. 37 (2): 129- 148.
Holguín-Veras, J., Thorson, E. 2003b. Practical implications of modelling commercial vehicle
empty trip., Transportation Research Record, 1833: 87-94.
Holguin-Veras, J, et al. 2001. An assessment of methodological alternatives for a regional
freight model, Appendix I: literature review on freight transportation demand modelling. New
York Metropolitan Transportation Council Report, New York, NY. (Jiang F., Johnson, P.,
Calzada, C. 1999. Freight demand characteristics and mode choice: analyses of the results of
modelling with disaggregate Revealed Preferences data. Journal of Transportations and
Statistics, 2: 149-158.
Kreutzberger, E, Macharis, C, and Woxenius, J. 2006a. Intermodal versus uni-modal road
freight transport. In Jourquin, B., Rietveld, P., Westin, K. 2006. Towards Better Performing
Transport Networks, Routledge, Oxon.
Kreutzberger, Konings, R, and Aronson, L, D. 2006b. Evaluation of the cost performance of
pre- and post-haulage in intermodal freight networks. In Jourquin, B., Rietveld, P., Westin, K.
2006. Towards Better Performing Transport Networks, Routledge, Oxon.
Kreutzberger, E, Macharis, C, Vereecken, L, and Woxenius, J. 2003. Is intermodal freight
transport more environmentally friendly than all-road freight transport? A Review, NECTAR
Conference No 7, Umeå, Sweden, June 13-15, 2003.
Lem, L,L. 2002. Promoting Economic Development by Improving Transportation Infrastructure
for Goods Movement, U.S. Economic Development Administration.
Lubis, H,A, Isnaeni, M, Sjafruddin, A, and Dharmowijoyo, D. 2005. Multimodal transport in
Indonesia: recent profile and strategy development, Proceedings of the Eastern Asia Society for
Transportation Studies, 5: 46 – 64.
Ortuzar, J,D and Willumsen, L,G. 2001. Modelling Transport, John Willey and Sons, U.K.
Southworth, F. 2002. Freight Transportation Planning: Models and Methods, Book Chapter,
K.G. Goulias (Ed) CRC Press.
Stead, D and Banister, D. 2006. Decoupling transport growth and economic growth in Europe.
In Jourquin, B., Rietveld, P., Westin, K. 2006. Towards Better Performing Transport Networks,
Routledge, Oxon.
The Asia Foundation and LPEM-UI. 2008. Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan
Pungutan Jalan di Indonesia, The Asia Foundation, Jakarta.
The World Bank. 2010. Logistics Performance Index, (Online),
(http://info.worldbank.org/etools/ tradesurvey/, diakses 5 Mei 2010).
Jurnal 3

ANALISIS PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI UNTUK PERJALANAN KERJA


(Studi Kasus : Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali)
penulis: Ida Bagus Putu Widiarta

PENDAHULUAN

Sifat-sifat sistem transportasi adalah multimoda, multidisiplin dan multisekto- ral. Sifat-sifat
tersebut menjadi multima- salah (permasalahan menjadi kompleks). Hal ini dialami di Desa
Dalung, Kecama- tan Kuta Utara yang merupakan bagian dari daerah Samigita (Seminyak-
Legian- Kuta). Dampak dari lambatnya antisipasi perkembangan demand oleh lembaga ter- kait
di wilayah tersebut mengakibatkan perbaikan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh dan
menimbulkan permasala- han-permasalahan baru.
Menurut informasi dari penduduk se- tempat dikatakan bahwa sebelumnya seki- tar tahun 2007
di daerah Dalung ini masih ada terminal untuk melayani angkutan u- mum, tetapi sejak tahun
2008 terminal ini mulai terbengkalai dan pada tahun 2009 sudah tidak berfungsi lagi. Hal ini
sung- guh sangat ironis dimana justru terjadi pa- da saat adanya keinginan pemerintah un- tuk
membangkitkan kembali sistem ang- kutan umum sebagai salah satu cara untuk mengelola
“demand.” Di samping itu pe- lebaran jalan untuk meningkatkan kapasi- tas di wilayah ini sudah
tidak memungkin- kan untuk dilakukan karena terbatas dan mahalnya lahan.
Pesatnya perkembangan serta pengali- han fungsi lahan menjadi pemukiman me- nyebabkan
tingginya bangkitan pergera- kan terutama untuk bekerja di Desa Da- lung ini. Selanjutnya
dengan adanya aglo- merasi Samigita akan memberi dampak pada kian kompleksnya masalah
transport- tasi yang harus segera mendapatkan pena- nganan yang serius.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis biaya yang harus dikeluar- kan oleh
penduduk ke tempat kerja de- ngan membandingkan bila menggunakan angkutan pribadi dan
menggunakan ang- kutan umum (angkot atau mikrolet) dan untuk menganalisis besarnya
peluang ma- syarakat memilih angkutan umum.

MATERI DAN METODE

Pemilihan moda sangat sulit dimodel- kan walapun hanya melibatkan dua jenis moda
(angkutan umum dan pribadi). Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang sulit
dikuantifikasikan, misalnya ke- nyamanan, keamanan, keandalan dan ke- tersediaan kendaraan
pada saat diper- lukan.
Faktor yang dapat berpengaruh ter- hadap penggunaan moda dapat dikelom- pokkan dari sisi
ciri pengguna jalan, ciri pergerakan, ciri fasilitas moda, ciri kota atau zona. Pemilihan moda
yang baik ha- rus mempertimbangkan semua faktor yang ada pada ciri-ciri tersebut.
Tinjauan Umum Daerah Kajian
Desa Dalung berada di Kecamatan Kuta Utara, dengan luas daerah 615 ha. Jumlah penduduk
tahun 2008 sebanyak 17.036 jiwa dengan persentase pening- katan rata-rata 4,7% per tahun,
kepadatan penduduk rata-rata 27 jiwa/ha, dan berja- rak + 6 km. dari pusat kota Denpasar,
dengan topografi relatif datar, dan secara administrasi batas daerah kajian meliputi daerah utara
adalah Desa Tegal Kerta, daerah timur adalah Kelurahan Sempidi, daerah selatan adalah
Kelurahan Kerobo- kan dan daerah Barat adalah Desa Buduk.
Pemilihan Moda Transportasi
Seperti telah disampaikan bahwa pe- ngambilan keputusan untuk menggunakan moda tertentu
sangat dipengaruhi oleh faktor sesuai dengan ciri pengguna jalan, misalnya: ketersediaan atau
kepemilikan kendaraan pribadi, pemilikan SIM, penda- patan serta keharusan penggunaan moda
ke tempat kerja atau keperluan mengantar anak ke sekolah (Tamin, 2003).
TAHAP ANALASIS

Dalam tahapan ini dilakukan analisis terhadap biaya, analisis berdasarkan faktor
kepegawaian dan tingkat penghasilan, dan persamaan simulasi untuk regresi.
Tahapan berikutnya dilakukan kalibra- si dengan Model Logit, dan analisis meng- gunakan
model Binomial-Logit-Selisih dan model Binomial-Logit-Nisbah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden, Jumlah KK dan Jumlah Pekerja Desa Dalung yang terletak di
kecama- tan Kuta Utara terdiri dari 6 (enam) desa, yaitu: Desa Dalung, Canggu, Kerobokan aja,
kerobokan, Kerobokan Kelod dan Desa Tibubeneng. Khusus desa Dalung terdiri dari 23 dusun
yang masing-masing dusun dikepalai oleh Kepala Dusun de- ngan jumlah 4.193 KK sehingga
jumlah sampelnya menjadi 409 sampel.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis pemodelan binomial logit-selisih, ditemukan bahwa apabila


selisih biaya angkutan umum dengan angkutan pribadi semakin besar maka peluang penggunaan
angkutan pribadi akan menjadi lebih besar. Jika bia- ya kedua moda sama besar (selisih biaya
sama dengan nol), maka penggunaan kendaraan pribadi akan lebih besar. Untuk mendapat
peluang yang sama, subsidi ha- rus diberikan ke angkutan umum sedikit- nya Rp2.800,00.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis pemodelan binomial logit- nisbah, ditemukan bahwa pada
kondisi biaya angkutan pribadi sama dengan biaya angkutan umum, sekitar 79% orang akan
memilih menggunakan angkutan pribadi. Untuk menarik minat masyarakat dalam menggunakan
angkutan umum, maka biaya angkutan umum harus lebih murah sebesar 1,4 kali dibandingkan
dengan biaya angkutan pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

CTC, 1994, Kabupaten Roads Economic Evaluation Model, (KREEM)


DLLAJ., 1999, Biaya Operasional Kendaraan Pribadi, Prop.Bali-Konsultan PTS.
Kantor Camat Kuta Utara, 2008, Peta Wilayah Kecamatan Kuta Utara, Bali Kantor Kepala Desa
Dalung, 2008, Detail Lokasi Desa Dalung, Bali.
Wirawan, N., 2001, Cara Mudah Memahami Statistik, Keramas Emas Denpasar.
Tamin O.Z., 2003, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB
jurnal 4

MENUJU TERCIPTANYA SISTEM TRANSPORTASI


BERKELANJUTAN DI KOTA-KOTA BESAR DI INDONESIA
penulis:Ofyar Z. Tamin

PENDAHULUAN
Masalah kemacetan lalulintas biasanya timbul pada kota yang penduduknya
mencapai lebih dari 2 juta jiwa, dan sampai tahun 1996 telah dicapai oleh beberapa kota di
Indonesia, seperti DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta. Pada akhir
tahun 2000, diperkirakan kemacetan lalulintas akan terjadi di beberapa kota lain seperti
Semarang, Palembang, Makassar, Bogor, berlanjut ke kota Malang, dan Bandar Lampung.
Sementara pada tahun 2020, hampir semua ibukota provinsi di Indonesia akan dihuni lebih
dari 2 juta jiwa, yang berarti pada dasawarsa tersebut para pembina daerah perkotaan akan
dihadapkan pada permasalahan baru yang memerlukan solusi yang baru pula, yaitu
permasalahan transportasi perkotaan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di wilayah perkotaan telah
menarik arus urbanisasi yang tinggi pula, karena bagi banyak orang hal ini menjanjikan
kesempatan kerja yang lebih luas. Hal ini menjadikan tingkat pertumbuhan penduduk dan
pekerja yang tinggi di wilayah ini. Gejala serupa terjadi pada daerah penyangga di sekitar
perkotaan tersebut. Peningkatan penggunaan kendaraan pribadi mengakibatkan
peningkatan perusakan kualitas kehidupan, terutama di daerah pusat perkotaan, kemacetan,
dan tundaan pada beberapa ruas jalan. Juga terjadi polusi lingkungan, baik suara maupun
udara. Tingkat pertumbuhan pergerakan yang sangat tinggi yang tidak mungkin dihambat,
sementara sarana dan prasarana transportasi sangat terbatas, mengakibatkan aksesibilitas
dan mobilitas menjadi terganggu. Sekarang ini program pembangunan jalan di daerah
perkotaan membutuhkan biaya dalam jumlah yang sangat besar.
Kemacetan lalulintas tersebut telah menimbulkan akibat serius, karena terjadi
pemborosan akibat inefisiensi pemakaian bahan bakar, waktu hilang terbuang, polusi dan
stres, serta penurunan tingkat kesehatan penduduk. Kerugian akibat kemacetan lalulintas di
Jakarta diperkirakan mencapai Rp 9 triliun rupiah per tahun (Prayudyanto, 2006). Biaya
tersebut dikeluarkan untuk biaya operasional kendaraan akibat bahan bakar yang terbuang
saat kendaraan terjebak dalam kemacetan. Tingginya kasus pencemaran udara di Jakarta
diindikasikan oleh konsentrasi gas pencemar NO2 yang dikeluarkan kendaraan bermotor.

Polusi udara di Jakarta, 80% disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan (Prayudyanto,
2006). Biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan yang diakibatkan oleh polusi udara di
Jakarta mencapai sebesar 100 sampai dengan 450 juta rupiah per tahun. Study on Air
Quality in Jakarta, Indonesia (2002) menunjukkan bahwa partikel NOx, CO, dan THC
merupakan masalah serius pada hampir seluruh wilayah udara Jakarta.
Persoalan kemacetan lalulintas tidak hanya dihadapi oleh Megapolitan Jakarta,
tetapi oleh Kota Metropolitan dan kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta. Biaya
kemacetan di Kota Bandung mencapai sebesar 4 sampai 5 triliun rupiah per tahun (Tamin,
2000). Di samping itu munculnya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
menjadikan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan penduduk meningkat. Masalah
kemacetan lalulintas tersebut menyebabkan terganggunya distribusi barang dan hambatan
mobilitas bisnis. Di Kota Yogyakarta, kemacetan lalulintas telah menyebabkan biaya
kesehatan yang diakibatkan polusi udara mencapai 180 ribu per orang, sedangkan biaya
perjalanan akibat kemacetan lalulintas mencapai 270 milyar rupiah per tahun.
Dengan menggunakan nilai kerugian di atas, dan mengakumulasikan total kerugian
berdasarkan jumlah kota di Indonesia, yaitu satu Kota Megapolitan (Jakarta), lima Kota
Metropolitan (Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan Semarang), dan dua puluh kota
besar lainnya, maka kerugian yang diderita kota-kota Indonesia akibat kemacetan lalulintas
mencapai sebesar 40 sampai 50 triliun rupiah per tahun. Dapat dibayangkan berapa banyak
uang dan waktu yang terbuang percuma karena kendaraan terperangkap dalam kemacetan
lalulintas, dan berapa banyak uang yang dapat disimpan jika kemacetan lalulintas dapat
dihilangkan. Pada saat Bangsa Indonesia masih disibukkan dengan bagaimana membayar
hutang dan mencari pinjaman pada saat yang sama, tanpa disadari atau mungkin sudah
disadari, terjadinya proses kemiskinan dan pemborosan kota yang terjadi secara besar-
besaran dibiarkan terjadi.

PENYEBAB PERMASALAHAN
Urbanisasi
Sektor pertanian konvensional secara perlahan terlihat semakin kurang menarik,
dan tidak lagi diminati, terutama oleh generasi muda. Di sisi lain, perkotaan menawarkan
banyak kesempatan, baik di sektor formal maupun informal. Ditambah lagi dengan tidak
meratanya pertumbuhan wilayah di daerah pedalaman (rural) dibandingkan dengan di
daerah perkotaan (urban). Hal ini menyebabkan tersedianya banyak lapangan kerja serta
upah atau gaji yang tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedalaman.
Semua ini merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi para pekerja di daerah pedalaman,
seperti pepatah yang mengatakan ada gula, ada semut.

PRINSIP DASAR MENUJU TERCIPTANYA TRANSPORTASI


BERKELANJUTAN
Prinsip dasar yang harus dilakukan dalam usaha mencapai terciptanya suatu kota
yang mempunyai sistem transportasi yang berkelanjutan, akan dijelaskan sebagai berikut.
Aksesibilitas Bagi Siapa Saja
Tujuan utama tersedianya sistem transportasi adalah menyediakan aksesibilitas
(kemudahan) bagi setiap pengguna (manusia), barang, dan jasa secara adil, seimbang,
dengan biaya rendah, dan mempunyai dampak negatif yang kecil. Kebijakan transportasi
tidak harus selalu melihat faktor mobilitas (kemudahan untuk bergerak) sebagai tujuan
akhir dengan selalu mengusahakan semakin banyak kendaraan yang bergerak dengan
kecepatan yang lebih tinggi. Perencanaan aksesibilitas bertujuan untuk menjamin bahwa
setiap tempat tujuan tetap mudah dicapai dengan segala jenis moda transportasi yang
tersedia terutama kendaraan tidak bermotor, angkutan umum, dan para transit.

Advokasi
Advokasi sangat diperlukan karena pemerintah hanya akan mendengar keinginan
investor besar yang mempunyai kepentingan tertentu. Advokasi untuk masyarakat yang
berekonomi rendah melalui LSM sangat dibutuhkan. Kemampuan beradvokasi mutlak
diperlukan dalam sistem transportasi berkelanjutan.

Capacity Building
Dirasakan perlu terbentuknya komitmen bersama antar pengambil keputusan untuk
merubah paradigma perencanaan untuk mengganti mobilitas kendaraan pribadi ke
angkutan umum. Organisasi masyarakat harus disiapkan untuk meningkatkan kemampuan
mereka dalam menyampaikan haknya berbicara tentang isu transportasi, mengerti isu
mendasar, dan tahu bagaimana langkah yang harus dilakukan selanjutnya.

Jejaring
Jejaring antar komunitas sangatlah dibutuhkan secara aktif sehingga proses
pertukaran informasi dan kerja sama antar komunitas dapat dilakukan secara cepat dan
tepat. Melalui jejaring ini bisa didapatkan ide-ide baru, informasi, pelajaran dari tempat
lain, dan solidaritas untuk menghasilkan tujuan yang lebih baik bagi seluruh komunitas.

HAL-HAL PENTING DALAM SISTEM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN


Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha menuju
terciptanya sistem transportasi berkelanjutan, adalah sebagai berikut:
1. Keadilan sosial (social equity); meliputi masalah transportasi bagi si miskin, penggusuran,
wanita dan transport, mobilitas anak-anak, dan penyandang cacat.
2. Keberlanjutan dari aspek lingkungan; meliputi kehilangan ruang hijau dan habitat, polusi
air, permintaan bahan bakar minyak, polusi udara, kebisingan, pemanasan global, dan
sampah kendaraan.
3. Kesehatan dan keselamatan; meliputi kematian akibat lalulintas, polusi udara dan
kesehatan, bahaya gaya hidup pasif (tidak aktif), dan bahaya di jalan.
4. Kualitas hidup dan komunitas; meliputi pemisahan (severance) komunitas, invasi ruang,
kerusakan peninggalan bersejarah, dan kejahatan.
5. Ekonomi dan biaya murah

ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


Kemacetan lalulintas serius merupakan kejadian sehari-hari yang sering dijumpai di
beberapa kota besar di Indonesia sebagai ciri khusus daerah perkotaan di negara sedang
berkembang. Masalah ini sebenarnya dapat dipecahkan melalui peran serta pemerintah,
swasta, dan masyarakat, serta merupakan tanggung jawab bersama. Untuk menanggulangi
masalah ini secara tuntas jelas diperlukan penanganan yang serius.
Seperti telah dijelaskan, permasalahan kemacetan lalulintas disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain tingginya tingkat urbanisasi, pesatnya tingkat pertumbuhan
jumlah kendaraan dan pemilikan kendaraan, serta sistem angkutan umum perkotaan yang
tidak efisien.
Tetapi yang paling penting yang dapat disimpulkan sementara sebagai penyebab
permasalahan transportasi ini adalah tingkat pertumbuhan prasarana transportasi tidak bisa
mengejar tingginya tingkat pertumbuhan kebutuhan transportasi. Rendahnya tingkat
pertumbuhan sistem prasarana transportasi perkotaan di Kota Bandung dapat dilihat dari
rendahnya total luas jalan yang ada dibandingkan dengan total luas daerah Kota Bandung. Salah
satu faktor hambatan yang sangat dirasakan adalah keterbatasan dana dan waktu yang
merupakan penyebab utama. Hal ini disebabkan oleh adanya persyaratan pemerintah tentang
penggunaan dana yang pada umumnya didapat dari bantuan luar negeri (OECF, ADB, World
Bank, dan lain-lain) yang harus digunakan seefektif mungkin sehingga bisa didapatkan
keuntungan maksimal dari dana tersebut.
Oleh karena itu untuk meningkatkan prasarana transportasi, pemerintah telah
banyak melakukan kajian transportasi dan juga beberapa tindakan yang dilakukan dengan
Menuju terciptanya sistem transportasi berkelanjutan (Ofyar Z. Tamin) 93
beberapa instansi dan departemen terkait. Usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah sebagai berikut:
a. meredam atau memperkecil tingkat pertumbuhan kebutuhan transportasi;
b. meningkatkan pertumbuhan prasarana transportasi itu sendiri terutama penanganan
masalah fasilitas prasarana yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya; dan
c. memperlancar sistem pergerakan melalui kebijakan rekayasa dan manajemen lalulintas
yang baik.

KONSEP MANAJEMEN KEBUTUHAN TRANSPORTASI (MKT)


Banyak negara, baik yang sudah berkembang maupun yang sedang berkembang,
mulai dapat menerima kenyataan bahwa laju peningkatan kebutuhan transportasi tidak
akan pernah dapat ditampung oleh sistem prasarana transportasi. Hal ini disebabkan karena
usaha peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan sistem prasarana transportasi pada
suatu daerah tertentu akan dapat meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas di daerah
tersebut yang sebaliknya akan dapat merangsang kembali terjadinya peningkatan
kebutuhan transportasinya. Bukti yang jelas dapat terlihat di Kota Bandung, yang telah
mengeluarkan dana yang sangat besar dalam usaha peningkatan kualitas dan kuantitas
sistem prasarana transportasinya sejak tahun 1983 untuk mengejar laju pertumbuhan
kebutuhan transportasi yang cukup tinggi. Akan tetapi, yang terjadi adalah kemacetan
lalulintas yang masih terlihat di mana-mana pada saat sekarang, dengan tingkat intensitas
dan kompleksitas yang tidak berubah dan malah semakin parah. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan transportasi dan sistem prasarana transportasi
saling kejar-mengejar dan tidak akan pernah berhenti sampai kondisi jenuh tercapai (macet
total di mana-mana). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa usaha pemecahan
permasalahan transportasi perkotaan pada saat sekarang yang dilakukan dengan usaha
meningkatkan kuantitas dan kualitas sistem prasarana transportasi yang ada sama saja
artinya dengan memindahkan permasalahan kemacetan yang terjadi pada masa sekarang ke
masa mendatang dengan tingkat intensitas dan kompleksitas yang jauh lebih parah.
Kebutuhan Transportasi.

KESIMPULAN
Kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan di Indonesia yang
menggunakan pendekatan konvensional, yaitu predict and provide atau ramal dan
sediakan, harus ditinggalkan dan diganti dengan pendekatan baru, yaitu predict and
prevent atau ramal dan cegah, yaitu dengan melakukan usaha pengelolaan atau manajemen
pada sisi kebutuhan transportasi, yang dikenal dengan Transport Demand Management
(TDM) atau Manajemen Kebutuhan Transportasi (MKT).
Tulisan ini menjelaskan secara rinci tentang konsep Manajemen Kebutuhan
Transportasi (MKT) dan beberapa strategi yang dapat diterapkan di kota-kota besar di
Indonesia. Kebijakan yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan konsep MKT ini harus
dapat mengarah pada terjadinya beberapa dampak pergeseran pergerakan dalam ruang dan
waktu yaitu:

a. Dampak pergeseran waktu; proses pergerakan terjadi pada lokasi yang sama, tetapi
pada waktu yang berbeda.
b. Dampak pergeseran rute/lokasi; proses pergerakan terjadi pada waktu yang sama,
tetapi pada rute atau lokasi yang berbeda.
c. Dampak pergeseran moda; proses pergerakan terjadi pada lokasi yang sama dan pada
waktu yang sama, tetapi dengan moda transportasi yang berbeda.
d. Dampak pergeseran lokasi tujuan; proses pergerakan terjadi pada lokasi yang sama,
waktu yang sama, dan moda transportasi yang sama, akan tetapi dengan lokasi tujuan
yang berbeda. Tak ada satupun kebijakan (single solution) yang dapat langsung memecahkan
secara tuntas masalah transportasi perkotaan. Kebijakan yang harus diambil harus
merupakan gabungan dari beberapa kebijakan atau strategi yang secara sinergi akan dapat
memecahkan masalah transportasi yang ada. Beberapa kebijakan penunjang lainnya yang
harus dilakukan secara bersama-sama agar dapat menunjang keberhasilan konsep MKT
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Banister, D and Hall, P. 1981. Transport and Public Policy Planning. London.
Center for Sustainable Development. 1997. Definition and Vision of Sustainable
Transportation. Toronto, Canada.
Cresswell, R. 1979. Urban Planning and Public Transpor. Construction Press.
Gray, G. E and Lester, H. 1979. Public Transportation: Planning, Operation, and
Management. Prentice Hall.
LP-ITB. 1998. Kajian Manajemen Perparkiran di Wilayah DKI-Jakarta. KBK Rekayasa
Transportasi, Jurusan Teknik Sipil ITB. Bandung: Penerbit ITB.
McGovern, E. 2005. Social Marketing Applications and Transportation Demand
Management: An Information Instrument for the 21st Century, Institute of
Transportation Studies, University of California, Berkeley.
Ohta, K. 1998. TDM Measures Toward Sustainable Mobility. Journal of International
Association of Traffic and Safety Sciences, 22(1), 6−13.
Orski, C. K. 1998. TDM Trends in the United States. Journal of International Association
of Traffic and Safety Sciences, 22(1), 25−32.
Prayudyanto, M. N. 2006. Kajian Perbandingan Penerapan Travel Demand Management
di Singapura- London. Jurnal FSTPT, Malang.
Tamin, O. Z. 1993. Strategi Peningkatan Pelayanan Angkutan Umum Sebagai Usaha
Mengatasi Masalah Kemacetan di Daerah Perkotaan, Jurnal Perencanaan Wilayah
dan Kota, 8, Jurusan Teknik Planologi. Bandung: Penerbit ITB.

Jurnal 5

ANALISIS PRODUKTIVITAS SISTEM TRANSPORTASI SAMPAH KOTA PADANG


PENDAHULUAN

Sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah merupakan salah satu elemen pelayanan
yang paling mahal yang harus disediakan suatu kota dalam sistem pengelolaan sampah untuk
penduduknya (Li, 2006). Hal ini ditegaskan juga oleh Apaydin (2007), bahwa pengumpulan
sampah kota memerlukan sekitar 85% biaya total sistem pengelolaan sampah. Oleh karena itu
produktivitas pengumpulan dan pengangkutan sampah merupakan hal yang penting bagi
pengelola kota dalam menentukan keberhasilan pelayanan persampahan kotanya.
Sistem transportasi sampah yang umum digunakan adalah sistem wadah angkut dan sistem
wadah tetap. Sistem wadah angkut adalah sistem pengumpulan sampah yang wadah
pengumpulannya dapat dipindah-pindah dan ikut dibawa ke tempat pembuangan akhir,
sedangkan sistem wadah tetap merupakan sistem pengumpulan sampah yang wadah
pengumpulannya tidak dibawa berpindah- pindah (tetap). Sistem wadah angkut umumnya
digunakan untuk daerah komersial, sementara sistem wadah tetap merupakan sistem wadah
yang ditujukan untuk melayani daerah pemukiman. Wadah pengumpulan yang digunakan dapat
berupa wadah yang dapat diangkat atau yang tidak dapat diangkat.
Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu kota besar yang
terus berkembang baik dari segi ekonomi maupun pembangunan. Sebagai dampak dari
perkembangan tersebut limbah padat yang dihasilkan semakin meningkat, sehingga diperlukan
sarana pengumpulan dan transportasi sampah yang memadai agar sampah tidak menumpuk di
sumbernya. Dengan penduduk sekitar 900.000 jiwa pada tahun 2012, maka dihasilkan sekitar
2.700 m3/hari, sedangkan kemampuan kendaraan yang dimiliki DKP saat ini yaitu 25 kendaraan
pengangkut hanya dapat mengangkut sampah sebesar 585 m3/hari (Komala, 2010). Dari data
tersebut terlihat bahwa kendaraan yang dimiliki DKP belum mampu mengangkut semua sampah
yang dihasilkan dari daerah pelayanan setiap harinya. Dengan jumlah sarana kendaraan yang
terbatas diperlukan pengoptimalan baik dari segi waktu ritasi, personil maupun penggunaan
kendaraan yang ada agar sampah dapat terangkut ke TPA secara efisien. Dalam penelitian ini
akan dievaluasi lebih jauh tentang karakterisik sistem transportasi sampah Kota Padang yaitu
sistem wadah tetap dan wadah angkut `ditinjau dari waktu pengangkutan, jarak tempuh,
kapasitas sampah yang diangkut, dan kebutuhan personil. Informasi tersebut diharapkan dapat
memberikan gambaran dan masukan bagi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Padang
khususnya untuk meningkatkan pelayanan sampah kota Padang.

METODOLOGI
Dalam penelitian ini pengumpulan data- data sekunder yang terkait dengan sistem
pengelolaan persampahan khususnya pengumpulan dan pengangkutan sampah diperoleh dari
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Padang. Data- data tersebut adalah data usia,
jumlah truk dan ukuran, jumlah dan lokasi sarana pewadahan,sedangkan data-data pengamatan
lapangan dilakukan melalui Analisis Transportasi Sampah Produktivitas Analisis Produktivitas
Sistem Transportasi Sampah Kota Padang pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan.
Pengamatan Lapangan Sistem transportasi/pengangkutan sampah yang diamati diklasifikasikan
berdasarkan dua sistem yaitu sistem wadah angkut dan sistem wadah tetap. Sistem wadah
angkut menggunakan kendaraan armroll truck, sedangkan sistem wadah tetap menggunakan
jenis kendaraan pengangkut sampah dump truck dan truk biasa.
Data-data yang diperlukan pada setiap sistem meliputi:

1. Data karakteristik kendaraan mencakup jumlah, jenis dan jarak tempuh kendaraan;
2. Data kapasitas sampah yang diangkut per ritasi; waktu pengambilan sampah per ritasi yang
terdiri atas waktu kendaraan keluar pool, waktu menuju ke tempat pengumpulan, waktu pindah
ke tempat pengumpulan lain, waktu bongkar muat sampah, dan waktu pengangkutan dari
sumber ke TPA dan waktu kembali ke pool dari masing- masing sistem diukur.
Pengukuran waktu dilakukan dengan menggunakan stopwatch, sedangkan jarak tempuh diukur
dengan speedometer pada kendaraan. Sistem Menurut Propenko (1992) definisi umum
produktivitas adalah hubungan antara output yang dihasilkan oleh suatu produksi atau sistem
pelayanan dengan input yang diberikan untuk mendapatkan output tersebut. Produktivitas juga
didefinisikan sebagai hasil dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Dalam sistem
pengumpulan sampah elemen petugas pengumpul merupakan salah satu aspek input yang
menentukan dalam hal produktivitas atau efisiensi pelayanan sampah. Produktivitas sistem
transportasi sampah dinilai berdasarkan jumlah personil yang dibutuhkan dalam satuan waktu
(jam), kapasitas sampah yang terangkut dalam satuan waktu (jam), dan jarak yang ditempuh
oleh kendaraan angkut dalam satuan waktu (jam). Parameter-parameter dari masing-masing
sistem tersebut dibandingkan kemudian dievaluasi baik kelebihan maupun kekurangannya.
Waktu dan tempat pengambilan data dilakukan di daerah pelayanan Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Padang mulai pukul 04.00-06.00 WIB sampai pukul 11.00-17.00 WIB.
Pengambilan data dilakukan sebanyak 25 kali, sesuai dengan jumlah dan jenis kendaraan yang
diikuti.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sistem Transportasi Sampah Kota Padang Saat Ini
Sistem transportasi sampah kota Padang saat ini secara umum dibagi menjadi dua jenis sistem
pengangkutan sampah yaitu sistem wadah tetap dan sistem wadah angkut. Sistem wadah tetap
digunakan truk biasa dan dump truk sebagai kendaraan pengumpul untuk mengangkut sampah
yang berasal dari sistem door to door dan komunal. Pada sistem komunal sampah yang
dikumpulkan berasal dari transfer depo kemudian diangkut menuju TPA. Sesuai dengan sistem
pengangkutan tersebut, secara lebih detail akan diuraikan karakteristik masing-masing sistem
mulai dari waktu ritasi, rute kendaraan, analisis produktivitas serta komponen waktu setiap
proses pengangkutan sampah.

SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Jarak tempuh rata-rata untuk sistem wadah tetap adalah 38,95 km/ritasi dan sistem wadah
angkut adalah 34,16 km/ritasi dengan kapasitas sampah rata-rata yang diangkut untuk sistem
wadah tetap antara 10,64 m3 dan sistem wadah angkut 6 m3. Sementara itu waktu rata-rata per
ritasi kendaraan pada sistem wadah tetap adalah 4,53 jam lebih besar dibandingkan dengan
sistem wadah angkut yaitu 1,23 jam. Produktivitas sistem transportasi sampah untuk 1 jam
waktu ritasi akan menempuh jarak sebesar 8,60 km pada sistem wadah tetap, dan 27,78 km
untuk sistem wadah angkut dan memerlukan jumlah pekerja sebanyak 3 orang setiap ritasi pada
sistem wadah tetap, dan 2 orang pekerja setiap ritasi pada sistem wadah angkut.
Sistem wadah tetap diperlukan di daerah pemukiman dengan timbulan sampah kecil, sedangkan
sistem wadah angkut untuk kuantitas sampah yang besar dan spesifik.
Pemilihan jalur tidak hanya memperhitungkan jalur terpendek, namun faktor kemacetan,
pemilihan waktu angkut dan kapasitas sampah yang diangkut perlu dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Apaydin, O., dan M.T. Gonullu, 2007.


Route Optimization for solid waste waste collection: Trabzon (Turkey) Case Study. Global
NEST Journal, 9 (1), 6-11
Kirca, Ӧ dan N, Erkip, 1988. Case Study Selecting transfer station locations for large solid
waste systems, European Journal of Operational Research 38, 339-349
Komala, P.S., R. Aziz, dan F. Ramadhani, 2010. Evaluasi Karakteristik Kendaraan Pengangkut
Sampah Pada Sistem Transportasi Sampah Kota Padang, Jurnal Dampak, 7 (2)
Li, J-Q, D. Borensteinb, dan P.B. Mirchandani, Truck scheduling for solidwaste collection in
the City of Porto Alegre, Brazil. Omega the International journal of management

Analisis Produktivitas Sistem Transportasi Sampah Kota Padang


science.doi:10.1016/j.omega.2006.04 .00.
Prokopenko, J. 1992. Productivity Management: A Practical Handbook. Second Edition.
International Labour Organization, Geneva, 1992.
Tchnobanoglous, T., 1993. Integrated Soild Waste Management Engineering Principle and
Management Issues. Singapura: Mc.Graw-Hill, Inc.
Jurnal 6

DILEMA PENGATURAN TRANSPORTASI ONLINE


Oleh: Endang Wahyusetyawati

Perkembangan teknologi dan informasi merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan teknologi


akan berjalan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebutuhan manusia akan
teknologi dan informasi. Berbagai inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi
kehidupan manusia serta memberikan banyak kemudahan dalam melakukan aktifitas manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, manusia telah merasakan keajaiban dari ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kecanggihan teknologi hadir disetiap sudut kehidupan manusia, termasuk dalam
hal transportasi. Di zaman modern seperti saat ini, kebutuhan transportasi merupakan salah
satu kebutuhan penting sebagai akibat dari kegiatan ekonomi, sosial, dan sebagainya yang
menuntut peningkatan mobilitas penduduk maupun sumber daya lainnya dengan cepat.
Transportasi merupakan sarana yang umum digunakan untuk mengangkut barang atau manusia
dari satu tempat ke tempat lain. Transportasi online adalah salah satu contoh
pengembanganteknologi berbasis aplikasi disambut cukup baik di awal kemunculannya karena
dianggap sebagai salah satu inovasi terbaik saat ini. Transportasi online muncul di tengah
kondisi sistem transportasi di Indonesia yang belum tertata dengan baik.
Beberapa perusahaan besar berlomba untuk membentuk perusahaan transportasi berbasis
aplikasi online, beberapa di antaranya adalah Gojek, Grab maupun Uber. Bagi sebagian orang
transportasi online merupakan solusi atas sistem transportasi yang masih buruk, namun di sisi
lain merupakan masalah bagi orang-orang yang menggantungkan hidup dari jasa transportasi
yang tidak mengandalkan teknologi. Transportasi online menawarkan kemudahan, biaya
yang lebih murah, kenyamanan dan keamanan yang lebih terjamin, maka tidak
mengherankan jika banyak orang yang beralih dari moda transportasi konvensional ke moda
transportasi online. Seiring dengan waktu, kehadiran transportasi online ini menimbulkan
kecemburuan sosial bagi transportasi konvensional yang sudah ada sebelumnya, RechtsVinding
Online baik ojek, taksi, bus dan lain sebagainya. Transportasi online dituding sebagai biang
kerok menurunnya pendapatan para pengemudi transportasi konvensional. Aksi protes,
penolakan, penghadangan dan puncaknya adalah demo besar-besaran
yang menolak kehadiran Gojek, Uber dan Grab dilakukan oleh para pengemudi transportasi
konvensional. Salahkah dengan adanya aplikasi online di bidang transportasi ini? Tentu saja
tidak, karena kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan
ini. Aksi protes yang dilakukan pengemudi transportasi konvensional, melahirkan larangan
beroperasi bagi perusahaan transportasi berbasis online melalui Keputusan Menteri.
Perhubungan Nomor UM.302/1/21/Phb/2015 karena dianggap bertentangan dengan
Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, namun
kemudian Keputusan Menteri ini dicabut karena pernyataan Presiden bahwa alat transportasi
berbasis aplikasi online masih dibutuhkan oleh masyarakat. Transportasi online dengan segala
kemudahannya memang masih menyisakan masalah hukum. Belum adanya aturan atau payung
hukum sering kali menjadikan transportasi online sebagai sesuatu yang dianggap ilegal.
Lambatnya Pemerintah dalam menyediakan payung hukum menjadi penyebab munculnya
permasalahan terkait transportasi berbasis aplikasi online. Saat ini, payung hukum
untuk aktivitas transportasi online berbasis tehnologi aplikasi adalah Peraturan Menteri
Perhubungan No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan
Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan ini mengatur jenis pelayanan,
pengusahaan,penyelenggaraan angkutan umum denganaplikasi berbasis teknologi informasi,
pengawasan angkutan umum serta peran serta masyarakat dan sanksi adminstrasi. Untuk saat
ini Peraturan Menteri tersebut dirasa cukup mengakomodir segala pengaturan terkait
transportasi online tersebut.
jurnal 7

KEBIJAKAN TRANSPORTASI UMUM (ANGKOT) UNTUK MENANGGULANGI


KEMACETAN JALAN
Junita Ayu Ariesandi, Reiza Resita, dan Zulfitri Salsabila

PENDAHULUAN
Banyak kota besar di Indonesia saat ini dihadapkan oleh berbagai permasalahan terkait
dengan pelayanan publik. Dimana permasalahan yang ada telah menjadi perhatian dan kepriha-
tinan baik itu ditingkat pemerintahan daerah mau- pun pemerintahan pusat. Permasalahan
tersebut diantaranya banjir, kepadatan penduduk, ke- miskinan, tata ruang hingga masalah
kemacetan. Namun kemacetan sekarang ini menjadi masalah utama di bidang transportasi
publik. Seperti halnya yang dialami Kota Malang dimana melihat perkembangan kota ini yang
cukup signifikan dengan predikat barunya sebagai kota ketiga yang memiliki tingkat kemacetan
tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan data BPS yang merujuk dari Kantor Samsat Bersama Kota Malang, jumlah
kendaraan bermotor di Kota Malang terus me- ngalami kenaikan. Data 2012 menunjukkan
bahwa jumlah kendaraan bermotor ada di angka 471.272 unit. Sedangkan pada 2017, jumlah
kendaraan bermotor yang tercatat sebanyak 584.772 kendaraan. Artinya dalam kurun waktu
lima tahun terdapat peningkatan sebanyak 113.500 unit kendaraan bermotor atau rata-rata
22.700 unit kendaraan per tahun. Permasalahan yang dihadapi ini bukan sebatas penyediaan
sarana dan prasarana publik yang kurang me- madai saja akan tetapi, penggunaan kendaraan
pribadi yang tidak ada batasnya. Belum lagi apabila dilihat dari banyaknya permasalahan yang
dialami pada berbagai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya yang membuat pola
pikir masyarakat hanya untuk kepentingan pribadi.
Beberapa hal yang mempengaruhi timbul- nya permasalahan kemacetan di Kota Malang,
yaitu tingginya angka penggunaan kendaraan pribadi, dilihat dari gaya hidup masyarakat yang
masih ekslusif merasa lebih nyaman mengguna- kan kendaraan pribadi dari pada kendaraan
umum (publik). Selain itu, Kota Malang juga dikenal sebagai kota pendidikan dan kota destinasi
wisata yang menyebabkan penambahan angka kemacetan. Sebagai kota pendidikan, kemacetan
yang dialami didominasi oleh ken- daraan para pelajar, mahasiswa dalam kota ataupun luar
kota. Begitu pula dengan destinasi wisata yang mendatangkan para wisatawan dari luar daerah.
Disamping itu yang menjadi pe- nyebab kemacetan lainnya seperti tempat publik yang dijadikan
tidak sebagaimana fungsinya oleh oknum-oknum tertentu sebagai parkiran liar. Hal itu nampak
di depan atau samping pasar dan pusat perbelanjaan yang tidak menyediakan lahan parkir
sehingga menggunakan badan jalan se- bagai tempat parkir kendaraan.
Kemudian terbatasnya prasarana jalan dengan melihat jalanan Kota Malang yang sempit
namun dilewati oleh banyak kendaraan juga, ditambah para sopir angkutan umum yang suka
menaik turunkan penumpang secara sembara- ngan dan tidak sesuai tempat pemberhentian juga
menjadi salah satu penyebab kemacetan. Para sopir kendaraan umum baik itu angkutan dalam
kota (angkot) atau bus seringkali dalam mencari dan mengangkut penumpang tidak sesuai
dengan kententuan yang tertera dalam Perda Kota Malang No 5 Tahun 2011 tentang Penyeleng-
garaan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Bermotor Umum yaitu pada Bab IV
mengenai Kewajiban Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk Angkutan Orang Dalam
Trayek Pasal 21 dan Pasal 22. Dimana pada Pasal 21 sopir kendaraan umum memiliki ke-
wajiban dalam mematuhi ketentuan dibidang pelayanan dan keselamatan angkutan serta Pasal
22 yang memuat poin secara keseluruhan yang harus dipatuhi oleh setiap pengemudi kendaraan
umum yang diantaranya
(1) Setiap pengemudi kendaraan umum yang mengoperasikan mobil bus dan/atau mobil
penumpang harus mematuhi tata cara menaikkan dan menurunkan penumpang serta tata cara
pelayanan dan keselamatan ang- kutan umum;
(2) Tata cara menaikkan dan menurunkan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur sebagai berikut: a. di terminal, sejak awal pemberangkatan, persinggahan, sampai tujuan
dan tempat tempat lain yang di- tentukan; b. menaikkan penumpang dari pintu depan dan
menurunkan penumpang dari pintu belakang secara tertib dan teratur, kecuali yang tidak
berpintu ganda;
(3) Dalam menaikkan dan menurunkan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kendaraan harus dalam keadaan berhenti penuh dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas
serta membahayakan penumpangnya.

Sebagai kota besar yang dikenal sebagai kota pendidikan, dimana mayoritas mahasiswa
Perguruan Tinggi berasal dari luar kota sehingga kebutuhan dalam menggunakan kendaraan
umum dan pribadi cukuplah tinggi. Seharusnya pemerintah Kota Malang mampu menyediakan
transportasi publik khususnya angkot dengan fasilitas yang baik dan halte untuk transportasi
umum yang tidak hanya sebagai tempat pem- berhentian bus saja serta menerapkan jam ter-
tentu secara bergantian dan teratur agar ke- padatan lalu lintas tidak cukup menumpuk di jam-
jam tertentu karena minimnya fasilitas yang disediakan. Hal diatas bisa dijadikan sebagai salah
satu alternative dalam perbaikan trans- portasi publik dengan menyediakan fasilitas pen- dukung
bagi pengguna angkutan umum demi kenyamanan bersama khususnya pengguna laya- nan
ataupun para pengguna jalan.
Sebab disisi lain terkadang angkutan umum juga menjadi penyebab kemacetan karena
banyaknya sopir angkutan umum yang secara sembarangan dalam menaik turunkan
penumpangnya, berhenti di pinggir jalan ataupun berhenti mendadak dibadan jalan hingga
ngetem diluar dekat saat mencari penumpang sehingga hal ini sangat perlu diberi perhatian
khusus maupun sanksi tegas oleh aparat sebagai salah satu upaya penerapan kebijakan
kendaraan umum yaitu Perda Kota Malang No 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan angkutan
Orang di Jalan dengan Kendaraan Ber- motor Umum Pasal 21 dan Pasal 22 Pentingnya sektor
transportasi untuk kegiatan ekonomi membutuhkan sistem trans- portasi yang handal, efisien,
dan efektif (Asmawi, 2017). Transportasi yang efektif berarti bahwa sistem transportasi
memenuhi kapasitas angkut yang bersatu atau terintegrasi dengan moda transportasi lainnya
secara tertib, teratur, lancar, cepat dan tepat, aman, nyaman dan ekonomis. Sementara efisien
dalam arti beban publik se- bagai pengguna jasa transportasi menjadi rendah dan memiliki
kegunaan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan tujuan diselenggarakannya transportasi jalan yaitu
untuk menerapkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan aman, lancar, tertib, nyaman dan
efisien; mampu mengintegrasikan moda transportasi lainnya; menjangkau seluruh pelosok
wilayah daratan, menunjang peme- rataan, dan mendukung pembangunan nasional dengan biaya
yang terjangkau oleh masyarakat (Wardana, 2019).
Kebijakan transportasi sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pe- merintah
di bidang tranpostasi. Penetapan ke- bijakan dapat secara jelas diwujudkan dalam peraturan-
peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat pemerintah serta program dan
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Dari definisi di atas bisa dilihat bahwa dalam
mendefinisikan kebijakan publik memiliki kata kunci “tujuan”, “nilai-nilai”, dan “praktik”.
Kebijakan publik dalam teori ini menilai selalu memiliki tujuan, seperti kebijakan yang akan di-
berikan pemerintah dalam mengurangi kema- cetan. Dalam praktiknya ataupun pelaksanaan-
nya ialah menerapkan kebijakan transportasi di Kota Malang.

METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan mengguna- kan
pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini di Terminal Landungsari Kota Malang. Dimana data
yang didapatkan melalui studi pustaka hasil penelitian sebelumnya dan data yang diperoleh
dari artikel berita dan dokumen-dokumen yang sesuai dengan tema penelitian. Ada dua jenis
data yang digunakan peneliti yakni data primer dan data sekunder. Adapun data primer
diperoleh peneliti melalui pengamatan yang dilakukan disekitar terminal Landungsari dan
jalanan yang biasanya dilalui peneliti, yaitu Jl. Gajayana, Jl. Mayjen Pandjaitan, Jl. Veteran, Jl.
Dinoyo, Sumbersari, Jl. Tlogomas, Jl. Galunggung, dll. Sedangkan data sekunder adalah data
yang diperoleh peneliti dari dokumen-dokumen dari Pemerintah Kota Malang atau Dinas
Perhubu- ngan Kota Malang, studi pustaka melalui karya ilmiah atau jurnal penelitian
sebelumnya, dan artikel berita seperti Malangpos. Teknik pe- ngumpulan data dengan
menggunakan teknik observasi atau pengamatan dan dokumen. Observasi dilakukan pada
tempat-tempat yang sering dilewati peneliti saat menuju kampus atau- pun berpergian jauh.
Disamping itu dokumentasi diperoleh peneliti dari karya yang telah ada sebe- lumnya dan
artikel yang membahas mengenai hal- hal yang berkaitan dengan judul serta pem- bahasan
dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari tahun ke tahun kemacetan menjadi permasalahan yang tidak bisa dihindari oleh kota
besar seperti Kota Malang. Dimana perkem- bangan suatu kota juga dipengaruhi oleh ber-
tambahnya aktivitas dan kebutuhan masyarakat. Hal ini didukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Inrix yang memperlihatkan bahwa menurut Traffic Score Board 2017, Kota
Malang berada diposisi ketiga penyandang kota termacet di Indonesia setelah Jakarta dan
Bandung. Per- masalahan kemacetan yang dialami Kota Malang ini tentu saja juga dipengaruhi
oleh kondisi jalan yang tidak mengalami banyak perubahan sejak 10 tahun yang lalu. Sedangkan
jumlah penduduk yang kian bertambah per tahunnya entah itu para pelajar atau mahasiswa luar
kota yang datang untuk belajar di Kota Malang, pendatang yang datang untuk bekerja dan
mengadu nasib, dan penduduk dari desa atau luar kota yang tinggal lalu menetap di Kota
Malang. Selain itu, hal ini juga diperparah dengan keadaan transportasi umum yang sebagian
dikatakan tidak cukup layak.

Melihat kenyataan yang seperti ini tidak heran, banyak masyarakat Kota Malang yang lebih
memilih menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online sebagai moda transportasi. Angkot
atau biasa yang disebut mikrolet sendiri sudah beroperasi di Kota Malang sejak tahun 1980-an,
dimana pada saat itu angkot ini telah menjadi transportasi andalan bagi masyarakat yang ingin
berpergian dari tempat satu ke tempat lainnya. Meskipun sekarang ini jumlah angkot tidak
sebanyak dulu, karena mayoritas masya- rakat memiliki kendaraan pribadi tidak menutup
kemungkinan tingkat kemacetan di Kota Malang mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Selain itu, angkot juga menjadi salah satu penyebab kemacetan karena seringnya penge- mudi
yang menyetir dan berhenti sembarangan sehingga menyebabkan kemacetan disekitarnya.
Seakan menjadi kebiasaan yang sulit diubah meskipun pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan yang tertuang dalam Perda No 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Bermotor Umum yaitu Pasal 22 yang salah satu ayatnya
berbunyi bahwa menaikkan dan menurunkan penumpang harus sesuai tata cara, yakni di
terminal sejak awal pemberangkatan, persinggahan, sampai tujuan dan tempat lain yang
ditentukan. Akan tetapi hal tersebut tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi melihat
banyaknya sopir angkot yang mencari penumpang dengan berhenti dipinggiran jalan raya
seperti yang sering kita temui diantara- nya di depan Stasiun Kota Baru, di depan termi- nal
Landungsari, di depan pusat perbelanjaan, dll. Disamping itu banyaknya pengemudi atau sopir
yang suka menaikkan dan menurunkan penumpang di jalanan yang cukup ramai dan sempit
secara sembarangan tanpa melihat ken- daraan lain yang berada disekelilingnya juga dinilai
cukup berbahaya dan dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Pengemudi angkot juga
terkesan semaunya dalam mengemudikan kenda- raannya serta berpotensi membahayakan pe-
numpang dan kendaraan lain.
Selain itu, permasalahan kemacetan yang terjadi di Kota Malang ini juga disebabkan oleh
kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung. Seperti halte yang cukup jarang dijumpai
karena berada di area-area tertentu. Kemudian sempit- nya jalan raya yang ada sangat tidak
sesuai de- ngan jumlah kendaraan yang melewatinya setiap hari sehingga menimbulkan
kemacetan pada jam- jam tertentu dan juga tidak adanya trotoar di pinggiran jalan yang
menyebabkan banyak orang yang kesulitan untuk berjalan kaki dengan aman. Oleh karena itu,
pemerintah Kota Malang perlu membuat kebijakan yang secara jelas dapat di- terapkan secara
tegas untuk menekan kemacetan dan penyediaan serta perbaikan sarana transpor- tasi umum
khususnya angkot ongkosnya yang terbilang hemat dan mengingat jumlah pengguna- nya masih
banyak meskipun tidak sebanyak dulu perlu menjadi perhatian pemerintah. Apalagi Kota
Malang memiliki segudang Perguruan Tinggi bergengsi sehingga solusi dan upaya yang
dilakukan pemerintah Kota Malang saat ini tentu akan berdampak pada perkembangan kota
pada tahun-tahun selanjutnya. Mengingat jumlah penduduk Kota Malang yang terus bertambah,
dimana pada tahun 2019 data BPS malang kota.bps.go.id menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Kota Malang telah mencapai 927.195 jiwa.
Maka pemerintah perlu membuat suatu kebijakan terhadap angkot di Kota Malang dengan
merevitalisasi operasional atau penye- diaan jasa angkutan umum yang berbasis aplikasi atau
daring, ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keuntungan pada supir angkot. Dimana
supir angkot tidak harus menunggu pe- numpang di terminal atau ditempat-tempat pem-
berhentian lain yang tidak seharusnya. Ke- mudian untuk mengurangi kemacetan pemerintah
Kota Malang juga beberapa kali berupaya dengan mulai menerapkan aturan baru dalam hal
parkir. Disamping itu pemerintah Kota Malang juga beberapa kali membuat rekayasa lalu lintas
pada jalan-jalan tertentu yang cukup ramai dilalui kendaraan umum maupun pribadi sebagai
upaya untuk menanggulangi kemacetan. Selain itu, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah
lainnya juga telah membuat kebijakan lalu lintas untuk mengurangi kemacetan, seperti yang kita
tau bahwa sudah diberlakukannya sejak tanggal 6 November 2013 mengenai sistem jalur satu
arah di kawasan lingkar UB yang ternyata dalam Kebijakan Transportasi Umum (Angkot) untuk
Menanggulangi Kemacetan Jalan (Ariesandi, Resita, dan Salsabila) 81
penerapannya sudah berjalan lancar dan dapat mengurai kemacetan yang ada.
Titik kemacetan yang terjadi saat ini berada di Jl. Soekarno-Hatta (Soehat), Jl. Mayjen Panjaitan
dan di Jl. MT Haryono. oleh karena tu Walikota Malang telah merancang adanya pelebaran di
sejumblah titik, terutama di area tikungan atau pertigaan dan jika memungkinkan akan
menggeser pagar pembatas perguruan tinggi yang beringgungan dengan jalan raya umum,
seperti yang ada di area Universitas Brawijaya dan POLTEK Malang agar jalan lebih lebar.
Oleh karena itu pemerintah Kota malang dan Pimpinan-Pimpinan kampus berembk untuk
mencari solusi yang terbaik untuk mengurangi kemcetan disekiar area universitas. Program lain
yang bertujuan untuk membantu kemacetan ini ialah, Walikoa Malang telah berenana untuk
mengatur ulang ja, masuk dan pulang kerja kantor, khususnya bagi ASN, mahasiswa dan
sejumblah sekolah di Kota Malang (berita malangkota.go.id).
Kebijakan yang sudah diterapkan oleh pemerintah untuk mengurangi kemacetan di Kota
Malang ternyata hanya berpengaruh dibeberapa jalur tertentu saja. Oleh karena itu Dinas
perhubungan (dishub) Kota Malang telah menerepkan kebijakan baru dalam parkir. Kebijakan
ini berlaku Khusus di kawasan Alun- alun Kota Malang, kawasan Pecinan, hingga pasar besar
telah diberlakukan parkir miring atau serong ( 30 hingga 50 derajat) mulai tahun 2015. Selain
itu Dishub juga telah memilah-milah ruang parkir untuk sepeda motor dan mobil dengan
memasang plang khusus untuk kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat agar terlihat lebih
rapi dan nyaman. Untuk mereka yang mlanggar akan diberikan sanksi tersendiri dari dishub
Kota Malang. dengan adanya kebijakan posisi parkir tersebut, lebar kendaraan yang dilewati
akan lebih lebar kurang lebih satu meter, dan arus lalu lintas akan lebih lancar karena keluar
masuknya kendaraan tidak akan menganggu kendaraan lain yang melintas dan tidak akan
mengakibatkan macet. Kebijakan ini berfokus pada kawasan pasar besar yang telah dijadikan
satu keaeh timur sehingga kemacetan diarah pasar besar bisa berkurang.
Namun beberapa kebijakan yang sudah diterapkan tidak mengubah kemacetan yang ada di Kota
Malang. Faktor utama penyebab kema- cetan di Kota Malang ini ialah kapasitas jalan raya yang
tidak seimbang dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Kendaraan pribadi yang
semakin meningkat dan angkutan umum (Angkot) yang berhenti mendadak ini menjadi fokus
utama dalam menangani kemacetan hingga saat ini. Mengingat bahwa sistem transportasi ini
membawa dampak luas terhadap kehidupan masyarakat, maka sebaiknya pemerintah harus
memikirkan solusi tegas dalam menyikapi trans- portasi pubik khususnya Angkutan umum
(Angkot). Adanya kemacetan dikota Malang ini tidak hanya karena meningkatnya transpotasi
Pribadi yang semakin meningkat tetapi angkutan umum (angkot) yang sering berhenti di sem-
barang tempat, sopir yang ugal-ugalan, menarik ongkos diluar ketentuan, dan waktu pelayanan
yang tidak jelas ini merupakan tantangan Pe- merintah Kota Malang yang harus diselesaikan.
Oleh karena beberapa angkutan umum (angkot) saat ini terlihat tidak banyak penumpang dan
lebih memilih transpotasi berbasi online atau daring. Tetapi dengan munculnya transportasi
online ini malah menambah kemacetan di Kota Malang. transportasi berbasis aplikasi atau
daring ini berada pada waktu yag kurang tepa, sehingga mereka menjadi kambing hitam dalam
merebut uang setoran dan mengakibatkan konflik antara angkutan umum (angkot) dengan
transportasi berbasis aplikasi, hal tersebut justru menghasilkan konflik antara mereka berdua
dan berdampak pada kemacetan Kota Malang.
Baru-baru ini untuk mengurangi kemacetan dan kerusuhan angkutan umum (angkot) dalam
berkendara, Walikota Malang telah menyedia- kan angkutan berbasis aplikasi atau daring.
Walikota Malang telah melaksankaan penanda- tanganan Memorandum of Undertanding (MoU)
dengan PT Teknologi oleh rancang Nusantara (TRON) sebagai penyedia aplikasi angkot online.
Penerapan uji coba ini rencananya akan dilaksankaan di bulan April 2020 dan akan dilakukan
secara bertahap. Tetapi karena ke- adaan kurang mendukung hal tersebut masih menjadi wacana
hingga saat ini.

SIMPULAN
Kemacetan di Kota Malang disebabkan oleh meningkatnya kendaraan pribadi roda dua
maupun roda empat, dan angkutan umum (ang- kot) yang sering berhenti mendadak untuk
menaikkan penumpang. Beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah untuk
menanggulangi kemacetan ini seperti mengenai sistem jalur satu arah di kawasan lingkar UB
yang ternyata dalam penerapannya sudah ber- jalan lancar, parkir miring atau serong di kawasan
Pasar Besar Kota Malang. Kedua kebijakan tersebut berjalan dengan lancar, namun hanya
mengurangi sedikit angka kemacetan. Sebagai solusi Walikota Malang telah merancang ke-
bijakan yang berfokus kepada angkutan umum (angkot) yang akan berbasis aplikasi atau daring
yang sebenarnya dilaksanakan ujicoba pada bulan April 2020 ini, tetapi kebijakan ini masih
belum terelisasikan karena terhambat oleh situasi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Awing, D.F. Sjoraida, R.K. Anwar. 2017. Masalah dan Dinamika Kebijakan Publik
tentang Transportasi. CosmoGov:
Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3 (2), 205-
218.
Arivin, M. S. 2018. Implementasi Kebijakan
Pemerintah Kota Malang dalam perbaikan transportasi publik untuk mengurangi kemacetan di
Kota Malang.
Ekawati, N. N. 2014. Kajian Dampak Pengembangan Pembangunan Kota Malang Terhadap
Kemacetan Lalu Lintas (Studi pada Dinas Perhubungan Kota Malang). Jurnal Administrasi
Publik, 2(1), 129-133.
Mediansyah, Achmad Risa, 2017. Jaringan Kebijakan Publik Implementasi Kebijakan
Transportasi di Kota Makassar. Jurnal Analisis dan Kebijakan Publik, 3 (1), 14-22
Putri, E. H. 2013. Evaluasi Kebijakan Peremajaan Angkutan Kota dalam Upaya Peningkatan
Pelayanan Publik (Studi pada Dinas Perhubungan Kota Malang). Jurnal Administrasi Publik, 1
(3), 87-93.
Yunas, N. S. 2017. Kebijakan Revitalisasi Sistem Transportasi Publik sebagai Langkah
Antisipatif Kemacetan Total di Kota Malang. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3 (1), 116-
126.
Jurnal 8

ANALISIS KEBIJAKAN PENATAAN SISTEM TRANSPORTASI PERKOTAAN


(STUDI KASUS DI KOTA BANDUNG)
Yudiantarti Safitri, Rosita Novi Andari

A. PENDAHULUAN
Transportasi mempunyai peran strategis dalam proses pembangunan, baik dalam
mendorong pembangunan daerah maupun dalam menunjang pembangunan ekonomi. Menurut
Abbas Salim dalam bukunya Manajemen Transportasi (2002:1) pembangunan ekonomi
membutuhkan jasa angkutan yang cukup serta memadai, tanpa adanya transportasi sebagai
sarana penunjang tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha
pengembangan ekonomi dari suatu negara. Bagaimanapun tingkatan perkembangan ekonominya
di tiap negara, pada saat penyusunan sistem transportasi atau dalam menetapkan kebijakan
transportasi dengan lingkup nasional harus ditentukan terlebih dahulu tujuan- tujuan apa yang
hendak dicapai dan jasa angkutan yang bagaimana yang dibutuhkan dalam sistem transportasi
nasional termaksud.
Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan bahwa lalu lintas dan angkutan jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional
harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung
pembangunan ekonomi dan pembangunan wilayah. Akan tetapi kenyataannya sekarang,
permasalahan sistem transportasi di Indonesia carut marut, baik itu transportasi darat, laut dan
udara.
Kemacetan adalah permasalahan yang menjadi ikon utama di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya dan Bandung. Kota Bandung sendiri merupakan salah satu kota dengan arus
lalu lintas yang cukup padat. Membengkaknya pertumbuhan penduduk di Kota Bandung
membuat kemacetan menumpuk di titik- titik tertentu, bahkan hampir di semua titik. Menurut
data dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat tingkat kepadatan penduduk mencapai 14.228 orang
per kilometer persegi.

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Manajemen dan Sistem Transportasi Perkotaan

Transportasi memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Transportasiadalah


sarana bagi manusia untuk memindahkan sesuatu, baik manusia atau benda dari satu tempat ke
tempat lain, dengan ataupun tanpa mempergunakan alat bantu. Menurut Abbas Salim (2002: 6)
transportasi dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat
ke tempat lain. Dalam transportasi terlihat dua unsur yang terpenting yaitu:
a.Pemindahan/pergerakan (movement)
b. Secara fisik mengubah tempat dari barang komoditi dan penumpang ke tempat lain.”
Definisi yang sama disampaikan oleh Nugroho Budi Rukisman dalam tulisannya yang berjudul
“Masalah Transportasi Melalui Pendekatan Sistem” (2008) mendefinisikan transportasi dalam
arti sempit adalah pemindahan orang/muatan dari satu noda asal (origin) ke noda tujuan
(destination).

C. METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif dijadikan sebagai pendekatan utama digunakan karena mampu
menghasilkan deskripsi atas sesuatu keadaan secara obyektif melalui serangkaian langkah-
langkah pengumpulan data, pengelolaan data dan analisisnya dengan memanfaatkan berbagai
sumber yang relevan. Dalam bukunya “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D”,
Sugiyono (2011:9) menyebutkan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah dimana peneliti sebagai instrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Lokus penelitian dalam kajian adalah Kota Bandung karena memiliki karakteristik perkotaan,
dan bisa disebut juga sebagai Kota metropolitan.
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis untuk mendapatkan data
sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang dibutuhkan dalam kajian ini meliputi data primer
dan data sekunder baik berupa data kuantitatif maupun data kualitatif. Data sekunder diperoleh
dari dinas yang terkait dalam pelaksanaan transportasi di Kota Bandung yaitu Dinas
Perhubungan. Sedangkan data primer didapatkan dari wawancara dan pengisian kuesioner dari
responden yang dalam kajian ini adalah pengguna jasa angkutan, pemberi jasa angkutan dan
dari instansi pemerintah yaitu perumus kebijakan di Dinas PerhubunganPengumpulan data
dilakukan melalui dua cara, yaitu desk research dan field research.
Berdasarkan pendekatan penelitian yang digunakan, maka analisis data dalam kajian ini
adalah analisis data kualitatif yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas sebagaimana dikemukakan oleh Miles and Huberman (dalam Sugiyono,
2011: 246-247). Aktivitas dalam analisis data ini meliputi data reduction, data display,
danconcluciondrawing/verification.Untuk menjamin dan mengembangkan validitas data, proses
analisis dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi antara data-data yang telah diperoleh
dari berbagai sumber atau yang disebut dengan teknik triangulasi sumber. Menurut Sugiyono
(2011:273) triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek
data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Dalam kajian ini, triangulasi dilakukan
dengan mengecek kredibilitas data yang diperoleh dari pihak pengguna jasa, penyedia jasa dan
pihak dinas perhubungan.

D. PEMBAHASAN
1. Profil Kota Bandung Sebagai Kota Metropolitan

Kota Bandung sebagai salah satu wilayah metropolitan di Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan RTRW Nasional di Provinsi Jawa Barat ditetapkan terdapat 2 (dua) Pusat Kegiatan
Nasional dan 7 (tujuh) Pusat Kegiatan Wilayah. Salah satu yang ditetapkan sebagai Pusat
Kegiatan Nasional di Jawa Barat adalah Kawasan Metropolitan Bandung, dimana di dalamnya
termasuk juga wilayah Kota Bandung. Profil Kota Bandung sebagai kota metropolitan dapat
dilihat dari beberapa kriteria antara lain dari segi geografis, demografis, dan sosial ekonomi
masyarakat Kota Bandung sebagaimana dapat diidentifitasi dari data Bandung dalam Angka
(2009).
Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat.
Kota Bandung terletak di antara 1070 36 l Bujur Timur dan 60 55’ Lintang Selatan. Lokasi Kota
Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi dan perekonomian. Hal tersebut
dikarenakan Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan yaitu:
a. Barat - Timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara
b. Utara - Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan
Pangalengan).
Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 Meter di atas permukaan laut (dpl),
titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 Meter dan terendah di sebelah Selatan
675 Meter di atas permukaan laut. Di wilayah Kota Bandung bagian selatan sampai lajur
lintasan kereta api, permukaan tanah relatif datar sedangkan di wilayah kota bagian Utara
berbukit-bukit.Dariwilayah perbukitan Bandung Utara inilah orang dapat menyaksikan bentuk
dan panorama keseluruhan Kota Bandung.
Penduduk Kota Bandung berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) adalah
2.417.287 jiwa (penduduk laki-laki 1.233.039 jiwa dan perempuan 1.184.248
jiwa). Angka tersebut menentukan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,81%. Rata-rata
kepadatan penduduk Kota Bandung 16.008,53 jiwa/Km2, dilihat dari segi kepadatan penduduk
per Kecamatan, maka Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan daerah terpadat dengan
kepadatan penduduk 40.624 jiwa/Km2.
Sebagai kota metropolitan Kota Bandung memiliki struktur sosial dan ekonomi masyarakat
yang cukup komplek. Hal ini dapat dilihat dari dinamika sosial budaya yang berkembang
dengan pesat seiring pertambahan penduduk karena urbanisasi. Urbanisasi merupakan faktor
utama dinamika sosial budaya di Kota Bandung, karena masyarakat yang berdatangan dari kota
lainnya membawa kesemarakan interaksi sosial dan budaya di Kota Bandung. Apabila dilihat
dari tingkat pendidikannya dari 1.963.681 penduduk usia 10 tahun ke atas, 36%nya adalah
lulusan SMA/SMK.
Penyedian fasilitas publik seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan, dan sarana ibadah di
Kota Bandung secara umum jumlahnya sudah cukup memadai. Berdasarkan struktur
ekonominya, sebagian besar penduduk di Kota Bandung bekerja di sektor perdagangan, jasa dan
industri. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung tahun 2009 sebesar 8,34 persen. Jika
dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sebesar 8,17 persen, pertumbuhan
ekonomi tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar 0,17 persen. Apabila dilihat dari struktur
ekonomi yang ada maka distribusi presentase sektor perdagangan, hotel, dan restoran
merupakan sektor ekonomi yang mempunyai peranan terbesar terhadap penciptaan PDRB Kota
Bandung, kemudian disusul oleh sektor industri pengolahan.

E. PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan ketersediaan dan kelayakan sarana prasarana transportasi, pemerintah telah
mengimplementasikan berbagai kebijakan sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan
Daerah No. 02 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perhubungan di Kota Bandung, namun
demikian secara umum implementasinya belum optimal. Hal ini dikarenakan adanya beberapa
hambatan antara lain:
a. Belum adanya kebijakan tentang manajemen kebutuhan lalu lintas untuk meningkatkan
efesiensi dan belum memadai
b. Efekstifitas penggunaan lalu lintas dan mengendalikan pergerakan lalu lintas
c. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pemanfaatan fasilitas lalu lintas dan perlengkapan
jalan

DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Tamin, Ofyar Z. 2011. Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Masalah Trasnportasi Perkotaan.
Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/ pada tanggal 24 Februari 2011.
Tamin, Ofyar Z. 2011. Sistem Transportasi Massal Masih Buruk. Harian Umum Pikiran Rakyat:
25, 25 Feb 2011
Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses
Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing.
Salim, Abbas. 2002. Manajemen Transportasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Winarno, Budi. 2002. Teori Dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
188 Jurnal Wacana Kinerja Volume 14 No. 2 November 2011 (160 - 188)
Jurnal 9

Jurnal Penelitian Transportasi Laut


Ratna Indrawasih

Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki 17.504 pulau dan memiliki garis pantai
sepanjang 99.093 kilometer. Wilayah perairan Indonesia mencapai 6,32 juta km2, atau sekitar
70% dari luas wilayah Indonesia Ratna Indrawasih/ Jurnal Penelitian Transportasi Laut 20
(2018) 40-54 41 (Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014). Geografi Negara Kesatuan
Republik Indonesia berupa kepulauan dan
perairan memperlihatkan kebutuhan sarana perhubungan dan transportasi, untuk membangun
komunikasi guna menjalin dan mengembangkan interaksi masyarakat dalam berbagai bidang.
Dalam membangun jaringan dan jalinan tersebut maka peranan angkutan laut (pelayaran rakyat)
menjadi penting. Selain itu, kelancaran lalu lintas angkutan laut yang lebih efisien juga penting
untuk menopang perekonomian nasional.
UU no. 17 Tahun 2008 menyebutkan bahwa “pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan
lingkungan maritim.” Oleh karena itu, angkutan perairan meliputi kegiatan mengangkut
dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Jenis angkutan
di perairan meliputi angkutan laut, angkutan sungai dan danau, dan angkutan penyeberangan.
Adapun angkutan Laut dirinci menjadi angkutan dalam negeri, luar negeri.

Metode
Data yang digunakan untuk penulisan artikel ini merupakan bagian hasil penelitian Dipa
Tematik Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI yang berjudul Pelayaran Tradisional Komunitas Maritim
Indonesia : Penelusuran Kembali Pelayaran tradisional di Perairan Indonesia yang penulis
lakukan di Kabupaten Maluku Tengah
pada bulan Mei 2017. Sebagaimana diketahui bahwa Maluku merupakan daerah kepulauan dan
tentu sangat membutuhkan sarana angkutan laut pelayaran rakyat. Tulisan ini akan membahas
kondisi pelayaran rakyat di Maluku saat ini, khususnya di wilayah kabupaten Maluku Tengah.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam, FGD dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan dengan beberapa
nakhoda dan ABK kapal penumpang dan barang (cargo), baik kapal cepat, kapal kayu maupun
speedboat kecil yang memiliki berbagai trayek pelayaran antar pulau di kabupaten Maluku
Tengah. Selain itu juga dengan penumpang termasuk penumpang yang membawa hasil kebun
dari pulau untuk dijual ke Ambon, para pemilik kapal angkutan pelayaran rakyat, petugas
pelabuhan (Syahbandar) di beberapa pelabuhan yang ada di Kabupaten Maluku Tengah, para
pejabat Dinas Perhubungan tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat, serta dari DPP Pelra.
Wawancara mendalam dipandu dengan pedoman wawancara dan pertanyaan-pertanyaan
dikembangkan pada saat wawancara.

Kesimpulan
Di Maluku Tengah, terdapat desa-desa pesisir yang belum terjangkau oleh kapal besar
karena belum terdapat
pelabuhan yang memadai. Pelabuhan-tempat berlabuh masih berupa tempat bertambat kapal-
kapal ukuran kecil. Kegiatan transportasi laut dapat dilayani oleh kapal yang dimiliki oleh
pemerintah, perusahaan, dan perorangan. Namun untuk transportasi laut yang melayani route
antar desa atau antar pulau kecil biasanya dilayani oleh kapal yang dikuasai oleh perusahaan
swasta atau perorangan. Kapal milik pemerintah, seperti Kapal Pelni, Kapal Penyeberangan
milik ASDP tidak melayani route pelayaran ke desa atau pulau terpencil. Kapal kecil yang
melayani transportasi antar pulau terpencil di Maluku Tengah pada umumnya adalah speed
boat. Peranan speed boat sangat besar, yaitu selain mengantar penumpang juga mendistribusikan
barang yang dibeli dari kota (Ambon) ke desa-desa pedalaman di Pulau Seram. Disamping
kapal kecil berupa speedboat dari fiber juga terdapat kapal kayu. Meskipun kapal kayu tersebut
kebedaannya sudah semakin hilang, yang pada saat penelitian berlangsung hanya tiggal satu
buah kapal kayu yang masuk yang melayani penumpang, yaitu dari pelabuhan Hari Pulau
Saparua ke pelabuhan Tulehu Ambon, Demikin pula keberadaan speedboat juga sudah
berkurang.

Daftar Pustaka

Bappeda Maluku, 2005, Konsep Gugus Pulau Propinsi Maluku. Laporan Tata Ruang Wilayah
Propinsi Maluku,
Ambon;
Basoman Nur, D.M., “Mengenal Potensi Rakjat di Bidang Angkutan Laut” dalam Dunia
Maritim, XIX, No.6, Agustus
1969, hlm. 14-15.;
Dick. H.W dan à Campo, “Prahu Shipping in Eastern Indonesia in the Interwar Period” dalam
BIES, Vol. 23, No. 1,
April 1987, hlm. 104 – 121;
DPP Perla, 2000. Himpunan Peraturan Pelayaran Rakyat. Jakarta;
J.N.F.M. à Campo, “Perahu Shipping in Indonesia 1870-1914” dalam Review of Indonesian and
Malaysian Affairs
(RIMA), Volume 27, 1993, hlm. 33 – 60;
Keputusan Bersama Menteri Perhubungan, Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. KM
3 Tahun 2003, No. 22/KPTS-II/2003 dan No. 33/MPP/Kep/1/2003 tentang Pengawasan
Pengangkutan Kayu
Melalui Pelabuhan;
Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan
Perikanan dalam Angka Tahun
2014;
54 Ratna Indrawasih/ Jurnal Penelitian Transportasi Laut 20 (2018) 40–54
Susilowati, E., 2013. Dari Pelabuhan Martapura Ke Palabuhan Trisakti: Pelayaran Perahu
Rakyat;
Diantara Derap Modernisasi 1965-1995 dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha. Vol XVII. No.1
Febuari 2013: 19-32;
http://kalimantan.bisnis.com/read/20180204/263/734050/peluang-usaha-meneropong-celah-
bisnis-wisata-pantai;
https://news.detik.com/berita/d-3417750/tingkatkan-keselamatan-pelayaran-menhub-bagikan-
life-jacket;
http://www.tribunnews.com/bisnis/2017/02/09/komitmen-meningkatkan-keselamatan-
pelayaran-rakyat.

Jurnal 10

TRANSPORTASI: PERAN DAN DAMPAKNYA DALAM PERTUMBUHAN


EKONOMI NASIONAL
Abdul Kadir

Pendahuluan
1. Pengertian Transportasi
Pengertian transportasi berasal dari kata Latin, yaitu transportare, di mana trans berarti
seberang atau sebelah lain dan portare berarti mengangkut atau membawa. Jadi, transportasi
berarti mengangkut atau membawa (sesuatu) ke sebelah lain atau suatu tempat ke tempat
lainnya. Transportasi dapat didefinisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau
membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Ahmad Munawar
mendefinisikan transportasi hampir sama dengan Rustian Kamaluddin, beliau mendefinisikan
transportasi sebagai kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat
lain. Untuk setiap bentuk transportasi terdapat empat unsur pokok transportasi, yaitu: jalan,
kendaraan dan alat angkutan, tenaga penggerak, dan terminal. Ahmad Munawar menjelaskan
dalam bukunya bahwa ada lima unsur pokok dalam sistem transportasi yaitu:
1. Orang yang membutuhkan.
2. Barang yang dibutuhkan.
3. Kendaraan sebagai alat angkut.
4. Jalan sebagai prasarana angkutan.
5. Organisasi yaitu pengelola angkutan
Kelima hal di atas, yang dikemukakan oleh
Ahmad Munawar, sedikit berbeda dengan pendapat Rustian Kamaluddin. Menurut pendapat
penulis dalam usaha memperlancar sistem transportasi sebaiknya semua elemen
dimasukkan dalam unsur pokok sistem transportasi yang terdiri dari:
1. Penumpang/barang yang akan dipindahkan.
2. Kendaraan/alat angkutan sebagai sarana.
3. Jalan sebagai prasarana angkutan.
4. Terminal.
5. Organisasi sebagai pengelola angkutan.

Permasalahan
Adapun yang menjadi topik permasalahan yang coba penulis utarakan dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana peran dan pentingnya
transportasi dalam pembangunan ekonomi?
2. Bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan akibat pertumbuhan
transportasi?
3. Bagaimana transportasi mendukung
pertumbuhan ekonomi nasional?

Pembahasan
Peran dan Pentingnya Transportasi dalam Pembangunan Ekonomi Transportasi merupakan
unsur yang
penting dan berfungsi sebagai urat nadi kehidupan dan perkembangan ekonomi, sosial, politik,
dan mobilitas penduduk yang tumbuh bersamaan dan mengikuti perkembangan yang terjadi
dalam berbagai bidang dan sektor. Namun yang urgen adalah peran dan pentingnya transportasi
dalam kaitannya dengan aspek ekonomi dan sosial ekonomi pada negara dan masyarakat. Dalam
hubungan ini, yang utama adalah:
(a) tersedianya barang (availability of goods),
(b) stabilisasi dan penyamaan harga (stabilization and equalization),
(c) penurunan harga (price reduction),
(d) meningkatnya nilai tanah (land value),
(e) terjadinya spesialisasi antar wilayah (territorial divisionof labor),
(f) berkembangnya usaha skala besar (large scale production),
dan (g) terjadinya urbanisasi dan konsentrasi penduduk (urbanization and population
concentration) dalam kehidupan.

a. Tersedianya Barang
Efek yang sangat nyata dari adanya transportasi yang baik dan murah adalah penyediaan
atau pengadaan pada masyarakat barang-barang yang dihasilkan di tempat lain yang tidak dapat
dihasilkan setempat, mengingat kondisi iklim dan keterbatasan sumber daya alam yang tidak
memungkinkan untuk menghasilkannya atau kalau dihasilkan juga terpaksa dengan biaya
produksi dan harga yang sangat tinggi.
Dengan adanya transportasi yang murah, maka pada masyarakat yang tidak dapat menghasilkan
barang tertentu atau ketersediaannya dalam serba kekurangan akan dapat disuplai barang
tersebut yang mengalir dari daerah/tempat penghasilannya guna memenuhi kebutuhan
masyarakat setempat yang bersangkutan.

b. Stabilisasi dan Penyamaan Harga


Dengan transportasi yang murah dan mudahnya pergerakan barang dan suatu lingkungan
masyarakat ke yang lainnya, maka akan cenderung terjadinya stabilisasi dan penyamaan harga
dalam hubungan keterkaitan satu sama lainnya.

c. Penurunan Harga
Hampir sama dan identik dengan pengaruh stabilitas dan penyamaan harga di atas, adalah
terjadinya penurunan harga sebagai hasil dari transportasi yang murah. Namun disini lebih
ditekankan pada ongkos transportasi sebagai salah satu unsur dalam penentuan harga produksi
maupun dalam perannya untuk mengadakan atau penyediaan sumber-sumber produksi beserta
ongkos pemrosesan atau ongkos assembling bahan mentah dan
spareparts dalam proses produksi yang bersangkutan.
Dengan demikian, transportasi yang tersedia dengan mudah dan murah akan menurunkan harga
barang-barang oleh karena turunnya ongkos produksi atau biaya pengadaan barang- barang yang
bersangkutan akibat penurunan ongkos transportasi tersebut, yang antara lain bertalian dengan:
1. Penurunan ongkos pengangkutan dari produsen ke konsumen;
2. Penurunan ongkos assembling dan ongkos
processing daripada bahan-bahan mentah dan spare parts yang diperlukan pada industri;
3. Memungkinkan terjadinya pembagian kerja secara geografis antar daerah ataupun spesialisasi

Kesimpulan
1. Peran dan pentingnya transportasi dalam pembangunan ekonomi yang utama adalah:
tersedianya barang, stabilisasi dan penyamaan harga, penurunan harga, meningkatnya nilai
tanah, terjadinya spesialisasi antar wilayah, berkembangnya usaha skala kecil, terjadinya
urbanisasi dan konsentrasi penduduk.
2. Dampak negatif perkembangan transportasi antara lain: bahaya atas kehancuran umat
manusia, hilangnya sifat-sifat individual dan kelompok, tingginya frekuensi dan intensitas
kecelakaan, makin meningkatnya urbanisasi, kepadatan dan konsentrasi penduduk, dan
tersingkirnya industri kerajinan rumah tangga.
3. Tujuan transportasi dalam mendukung perkembangan ekonomi nasional:
a. Meningkatkan pendapatan nasional
disertai dengan distribusi yang merata antara penduduk, bidang-bidang usaha, dan daerah-
daerah.
b. Meningkatkan jenis dan jumlah barang jadi dan jasa yang dapat dihasilkan para konsumen,
industri, dan pemerintah.
c. Mengembangkan industri nasional yang dapat menghasilkan devisa serta mensuplai pasaran
dalam negeri.
d. Menciptakan dan memelihara tingkatan kesempatan kerja bagi masyarakat.

Saran
1. Peran pemerintah dalam mendorong dan memfasilitasi pembangunan dan pengembangan
sarana/prasarana sangat memberi manfaat untuk menopang peningkatan pertumbuhan ekonomi
masyarakat baik dalam tingkat nasional maupun regional.
2. Penataan jaringan transportasi seyogianya disusun dan dikelola melalui manajemen terpadu
dengan pendekatan RTRW/RTRK oleh provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi,
sedangkan pemerintah
pusat, dalam hal ini Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum, dalam sistem
perencanaan nasional di bidang transportasi dan pembangunan/ pemeliharaan jalan dan
jembatan untuk antarwilayah provinsi.
3. Pemanfaatan sebagian dana yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor baik oleh provinsi maupun kabupaten/kota
diarahkan untuk pemeliharaan, sarana/prasarana transportasi sesuai dengan kewenangan
otonominya yang mendukung pengembangan pelaku ekonomi berbasis transportasi dan
pelayanan kepada publik.
4. Dalam menyusun perencanaan transportasi darat, seyogianya tetap memperhatikan faktor tata
guna lahan/jalan yang berkaitan dengan akses jaringan, lokasi/tempat tujuan perjalanan,
distribusi perjalanan penentuan alternatif moda/jenis angkutan, pengaturan alternatif rute lalu
lintas transportasi, dan arus pada jaringan transportasi.

Daftar Pustaka
Adler, Hans A,1980. Evaluasi Ekonomi Proyek-Proyek Pengangkutan. (Terjemahan Paul
Sitohang). UI Press. Jakarta.
Bigham, T.C. and M. J. Roberts, 1952.
Transportation: Principles and Problems. Mc Graw Hill Book Company Inc. New York.
Djamin, Zulkarnain,1993. Perencanaan dan Analisa Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Fair, M.L. and E.W. Williams Jr, 1959. Economics of Transportation. Harper Brothers
Publishers. New York.
Jain, J.K, 1979. Transportation Economics. Chaitnya Publishing House. Allahabad.
Kamaluddin, Rustian, 2003. Ekonomi Transportasi Karakteristik, Teori dan Kebijakan. Penerbit
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Lieb, Robert C, 1978. Transportation: The Domestic System. Reston Publishing Co. Inc. Reston
Virginia.
Locklin, D.Philip, 1961. Economics of Transportation. Richard D.Irwin Inc. Illinois.
pembangunan, dan penataan
Abdul Kadir: Transportasi: Peran dan Dampaknya dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional 130

Miro, Fidel, 2004. Perencanaan Transportasi untuk Mahasiswa, Perencana dan Praktisi. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Munawar, Ahmad, 2005. Dasar-dasar Teknik Transportasi. Penerbit Beta Offset. Jogjakarta.
Salim, Abbas, 2000. Manajemen Transportasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai