Anda di halaman 1dari 19

MODUL PERKULIAHAN

City Logistics

Inisiatif city logistics (2/2)

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

05
Fakultas Teknik Teknik Industri 05710123 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T.

Abstrak Kompetensi
Modul ini membahas inisiatif- Mahasiswa mampu menjelaskan
inisiatif city logistics beserta dengan inistiatif city logistics.
penerapannya.
Sistem Informasi Maju

Salah satu alternatif solusi yang dapat digunakan untuk merancang sistem logistik perkotaan
yang efektif dan efisien serta tidak menambah tingkat kemacetan, polusi, kecelakaan lalu-
lintas, dan kebisingan di wilayah perkotaan adalah sistem transportasi maju (Taniguchi dkk.,
2001). Sistem transportasi maju tersebut dapat berupa ICT (Information and Communication
Technology) dan ITS (Intelligent Transport Systems). Aplikasi ICT dan ITS pada transportasi
barang di wilayah perkotaan memungkinkan pengumpulan data yang akurat terkait
pergerakan truk pickup-delivery pada jaringan jalan di perkotaan dengan ongkos yang lebih
rendah.

Data digital dapat sepenuhnya digunakan untuk mengoptimalkan perencanaan perutean dan
penjadwalan kendaraan dalam sistem yang bersifat dinamis dan stokastik (Taniguchi dan
Shimamoto, 2004; Ando dan Taniguchi, 2006 dalam Taniguchi, 2014). Dampaknya adalah
pengurangan ongkos logistik, pengurangan emisi CO2, Nox, dan SPM, serta pengurangan
kemacetan lalu-lintas. Oleh karena itu, baik perusahaan swasta maupun masyarakat
memperoleh manfaat dari aplikasi ICT dan ITS dalam hal efisiensi logistik serta
pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan (Taniguchi, 2014).

Selama satu dekade terakhir, terjadi perkembangan yang signifikan dari teknologi informasi
"pintar" untuk pengelolaan perutean kendaraan. Hal tersebut didukung oleh kemajuan
teknologi dalam sistem informasi geografis yang lebih akurat, komputer generasi baru
dengan kemampuan pemrosesan yang lebih cepat, dan pengembangan sistem dan teknik
perencanaan yang lebih baik (Pillac dkk., 2011 dalam Cortes dkk., 2013).

Kementerian Pembangunan Spanyol (2013) dalam Cortes dkk. (2013) mendefinisikan ITS
sebagai "Satu set aplikasi canggih di dalam teknologi informasi, elektronik dan komunikasi
yang, dari sudut pandang sosial ekonomi dan lingkungan, dirancang untuk meningkatkan
mobilitas transportasi, keselamatan dan produktivitas, dengan mengoptimalkan penggunaan
infrastruktur yang ada, meningkatkan efisiensi energi, dan meningkatkan kapasitas sistem
transportasi. ITS bertujuan untuk merespons, dari perspektif multimodal, terhadap
kebutuhan transportasi, menerapkan ICT”.

Dengan penggunaan ITS, transportasi barang dilakukan secara optimal dalam hal arus lalu-
lintas (kecepatan dan waktu). Jarasuniene (2007) dalam Cortes dkk. (2013) menyatakan
bahwa aplikasi ITS memungkinkan pertukaran dan koordinasi informasi, akuisisi informasi,

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


2 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
dan integrasi antara kendaraan dan infrastruktur jalan, pertukaran informasi dengan sektor
swasta (penyedia layanan logistik), dan pertukaran dengan organisasi terkait
nontransportasi, seperti lembaga pembayaran elektronik.

ITS adalah interkoneksi dari berbagai sistem informasi yang bertujuan untuk menangkap,
berkomunikasi, menghitung dan membantu pengambilan keputusan, serta memungkinkan
pengelolaan aliran kendaraan dan sarana transportasi dengan tepat (Benjelloun dkk., 2010
dalam Cortes dkk., 2013). Untuk mengelola dengan tepat sistem transportasi, integrasi
teknologi seperti internet, pertukaran data elektronik, komunikasi nirkabel, teknologi
komputer, pemrograman, dan teknologi dirancang untuk menangkap dan menganalisis
informasi yang diperlukan (Zapata dkk., 2010 dalam Cortes dkk., 2013).

ITS (Intelligent Transport Systems) dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu ITS yang
terletak di dalam kendaraan (seperti sistem komunikasi dan teknologi di dalamnya, dan yang
disebut "kendaraan cerdas") dan ITS yang terletak pada infrastruktur atau dalam moda
transportasi (seperti sinyal dinamis, sistem kontrol pelanggaran, dan sebagainya). Dalam
kedua kategori tersebut berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan efisiensi yang
didasarkan pada pengembangan perangkat keras, perangkat lunak, dan model
pemrograman untuk mengoptimalkan rute dan arus lalu-lintas (Jarasuniene, 2007 dalam
Cortes dkk., 2013).

Perego dkk. (2011) dalam Cortes dkk. (2013) mengklasifikasikan ITS untuk logistik dan
transportasi barang menjadi empat kategori yaitu sebagai berikut:
1. Aplikasi Manajemen Transportasi - MT
2. Aplikasi Eksekusi Rantai Pasok - ERP
3. Aplikasi Otomasi Tenaga Lapangan - OTL
4. Aplikasi Manajemen Armada dan Pengangkutan – MAP

Aplikasi MT adalah alat yang dapat melakukan perencanaan, optimalisasi dan pelaksanaan
kegiatan transportasi. Aplikasi MT biasanya termasuk penawaran kargo, perutean,
penjadwalan, pelacakan, pembayaran pengiriman dan sistem audit. Aplikasi ERP mengelola
dan mengotomatiskan pertukaran informasi dan mengelola pelaksanaan jadwal distribusi
secara real time. Aplikasi OTL didukung oleh teknologi seluler dan dapat melakukan
integrasi antara elemen jarak jauh dan proses bisnis. Aplikasi MAP digunakan untuk
melaporkan informasi kendaraan dan pengiriman serta untuk memperoleh informasi real
time untuk mengelola operasi distribusi dengan cara yang lebih dinamis dan efisien (Perego
dkk., 2011) dalam Cortes dkk., 2013).

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


3 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Pada Tabel 1 diberikan ringkasan manfaat dari masing-masing kategori ITS untuk logistik
dan transportasi barang menurut Perego dkk. (2011) dalam Cortes dkk. (2013).

Tabel 1. Manfaat dari ITS untuk Logistik dan Transportasi Barang di Wilayah Perkotaan
No Kategori Manfaat Aplikasi
.
1 Aplikasi 1. Menemukan cara yang paling efisien untuk pergerakan
Manajemen barang dalam hal waktu dan ongkos (Mason dkk., 2003
Transportasi - dalam Cortes dkk., 2013).
MT 2. Melakukan pemograman pengiriman dan optimalisasi rute,
serta mendukung pengelolaan operasi terminal (Rudberg,
2002 dalam dalam Cortes dkk., 2013).
3. Menggunakan informasi yang dihasilkan oleh sistem untuk
membuat analisis real time dari performansi angkutan
barang (Mason dkk., 2003 dalam Cortes dkk., 2013).
4. Menghasilkan keuntungan finansial, lingkungan, dan
konsumsi bahan bakar yang terkait dengan pengurangan
ongkos dan optimalisasi rute melalui total jarak perjalanan
yang lebih pendek (Button, 2001 dalam Cortes dkk., 2013).
2 Aplikasi untuk 1. Menghasilkan visibilitas informasi yang lebih baik dan
Eksekusi Rantai membagikan informasi tersebut pada seluruh rantai
Pasok - ERP pasokan (Rudberg dkk., 2002 dalam dalam Cortes dkk.,
2013).
2. Meningkatkan produktivitas, fleksibilitas, dan kemampuan
untuk bertukar informasi di seluruh organisasi (Patterson
dkk., 2003 dalam Cortes dkk., 2013).
3. Meningkatkan daya saing perusahaan, meningkatkan
koordinasi sumber daya, dan melakukan proses eksekusi
untuk pengelolaan pesanan, perencanaan lanjutan,
koordinasi, optimisasi, erta penyesuaian real time dengan
cara yang lebih efisien (Auramo dkk., 2005 dalam Cortes
dkk., 2013).
3 Aplikasi untuk Manfaat aplikasi ini adalah peningkatan efisiensi operasi,
Otomasi Tenaga pengurangan waktu penanganan, pengurangan penundaan,
Lapangan - OTL pengurangan waktu tunggu, pengurangan upaya manual dan alat
tulis, optimalisasi sumber daya, penanganan dan transmisi

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


4 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
No Kategori Manfaat Aplikasi
.
informasi yang lebih baik, peningkatan konektivitas, peningkatan
fleksibilitas, dan peningkatan interaksi antar wilayah (Kia dkk.,
2000; Barnes dkk., 2006; Perego dkk., 2011 dalam Cortes dkk.,
2013).
4 Aplikasi Manfaatnya dari aplikasi ini adalah peningkatan operasi internal,
Manajemen pengurangan penggunaan kertas, pengurangan waktu tunggu,
Armada dan optimalisasi dalam penggunaan sumber daya yang tersedia,
Pengangkutan – minimalisasi biaya dan sumber untuk operasi input bahan, waktu
MAP respons yang lebih cepat terhadap peristiwa tidak terduga, dan
respons yang lebih cepat terhadap permintaan pelanggan
(Loebbecke dkk., 1998; Karkkainen dkk., 2004; Perego dkk., 2011
dalam Cortes dkk., 2013).

Aplikasi-aplikasi tersebut, selain membantu pengelolaan transportasi untuk menghasilkan


rute yang efisien dan aman secara ekonomi, juga dapat mengirimkan informasi yang relevan
kepada pengguna, mengendalikan kemacetan dan lalu-lintas, mengelola armada dan
kendaraan kargo, mengoptimalkan infrastruktur, dan mengelola komunikasi di antara
elemen-elemen tersebut (Cortes dkk., 2013).

ITS juga dapat meningkatkan layanan kepada pelanggan serta mengurangi ongkos. Melalui
penggunaan ITS dan interaksinya dengan sistem manajemen transportasi, maka
dimungkinkan untuk mengoptimalkan proses pengiriman di dalam kota melalui pertukaran
informasi yang tepat antara sistem manajemen kendaraan dan sistem manajemen kargo.
Hal tersebut dapat menggabungkan kedua sumber informasi tersebut dan kemudian
mengembangkan rencana distribusi untuk mengoptimalkan jumlah perjalanan dan jumlah
kargo untuk setiap perjalanan dan menghasilkan total ongkos minimum dari sistem distribusi
(Zhibin Yin dkk., 2010 dalam Cortes dkk., 2013).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ITS adalah seperangkat


aplikasi yang bertujuan untuk meningkatkan sistem transportasi, baik untuk penumpang
maupun kargo. Aplikasi ini menghasilkan peningkatan dan manfaat yang tercermin dalam
sistem kontrol lalu-lintas yang lebih efisien, identifikasi barang dan orang yang lebih baik,
peningkatan manajemen multimoda, peningkatan keamanan dan kenyamanan dalam
transportasi, informasi real time, dan pengurangan ongkos (Cortes dkk., 2013).

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


5 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Sistem Transportasi Barang Kolaboratif

Sejumlah wilayah perkotaan mengalami peningkatan jumlah truk dan van yang
mengantarkan barang ke pelanggan sekaligus penurunan utilitas kendaraannya. Hal
tersebut mengarah pada peningkatan emisi, kebisingan, dan konflik dengan pejalan kaki.
Wilayah metropolitan besar memiliki sejumlah pusat ritel dengan outlet yang dilayani secara
teratur oleh pedagang grosir. Sistem distribusi perkotaan biasanya ditandai oleh pemasok
yang mengoperasikan armada kendaraan mereka sendiri yakni hanya mendistribusikan
barang-barang mereka ke pelanggan secara teratur. Dalam sektor-sektor tertentu terdapat
peluang untuk menggabungkan jaringan distribusi perkotaan untuk mengurangi jumlah
kendaraan yang dibutuhkan untuk pengiriman serta mengurangi jarak yang ditempuh oleh
kendaraan. Hal tersebut dapat menghasilkan penghematan besar dalam ongkos operasi
transportasi serta mengurangi emisi dan kebisingan dari kendaraan (Thompson dan Hassall,
2012).

Secara umum, jaringan distribusi perkotaan bagi pemasok adalah hanya untuk
mendistribusikan barang-barangnya ke outlet ritel. Hal tersebut melibatkan setiap kendaraan
pemasok yang beroperasi untuk membawa masing-masing barang-barang pelanggan dan
kendaraan harus mengunjungi setiap outlet ritel secara teratur dari gudang pemasok. Rute
dan jadwal dapat dioptimalkan untuk masing-masing pedagang grosir, namun kendaraan
umumnya memiliki utilitas yang rendah (Thompson dan Hassall, 2012).

Jaringan distribusi kolaboratif melibatkan pemasok yang berbagi penggunaan kendaraan


serta area penyimpanannya. Dengan sistem kolaboratif, rute transfer digunakan untuk
mentransfer barang antara pemasok di mana barang dengan tujuan di dekat pemasok lain
ditransfer ke pemasok ini. Hal tersebut memungkinkan rute pengiriman dari pemasok untuk
dirancang dengan utilitas yang lebih tinggi dan jarak perjalanan yang lebih pendek
(Thompson dan Hassall, 2012).

Sistem transportasi barang kota kolaboratif terjadi ketika pemangku kepentingan yang
berbeda dari logistik perkotaan membuat perjanjian kolaboratif untuk meningkatkan efisiensi
dan kemudian mengurangi ongkos keseluruhan dari jaringan kegiatan rantai pasokan global
(Pache, 2008 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012). Skema ini umumnya digunakan di
bidang transportasi dan sebagian besarnya dalam bidang logistik. Pada dekade terakhir,
beberapa produsen dan/atau pengangkut telah menguraikan rencana strategis bersama
yang berfokus pada penggunaan kendaraan transportasi yang lebih baik dengan berbagi
(Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


6 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Kolaborasi dapat terjadi pada beberapa tahap rantai dan dengan berbagai level interaksi.
Level-level ini adalah:
1. Kolaborasi transaksional, yaitu koordinasi dan standarisasi aktivitas administrasi dan
teknik pertukaran.
2. Kolaborasi informasi, yaitu pertukaran informasi bersama seperti peramalan
penjualan, tingkat persediaan, dan tanggal pengiriman. Penting untuk dicatat bahwa
kerahasiaan dan proses persaingan dapat menghambat kolaborasi.
3. Kolaborasi keputusan, atau kolaborasi di berbagai bidang logistik dan perencanaan
transportasi, yaitu:
a. Perencanaan operasional: Tahap perencanaan ini terkait dengan operasi
sehari-hari yang dapat dikoordinasikan atau dibagi, seperti transportasi
barang atau cross-docking.
b. Perencanaan taktis: Tahap perencanaan jangka menengah melibatkan
beberapa keputusan taktis, seperti peramalan penjualan, pengiriman,
persediaan, manajemen produksi, dan kontrol kualitas.
c. Perencanaan strategis: Tahap kolaborasi tertinggi terkait dengan keputusan
perencanaan jangka panjang seperti desain jaringan, lokasi fasilitas,
keuangan dan perencanaan produksi.

Kolaborasi dimungkinkan ketika setidaknya dua aktor berbagi upaya mereka untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam transportasi barang, kolaborasi ini bisa bersifat bilateral
(dibuat oleh dua aktor) atau berdasarkan prinsip-prinsip pertimbangan komunitas.
Pertimbangan komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok atau komunitas individu
yang terlibat dalam dialog satu sama lain untuk mempertimbangkan suatu tindakan. Anggota
individunya mungkin atau mungkin tidak termasuk dalam organisasi yang sama, memiliki
nilai-nilai yang sama, bertujuan untuk hasil yang sama, atau memiliki kesamaan, kecuali
kebutuhan untuk pertimbangan menuju solusi dari masalah yang sama atau serupa
(Gonzalez-Feliu dan Morana, 2011 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012). Dalam
transportasi barang perkotaan kolaboratif komunitas tersebut kecil dan anggotanya dapat
dengan mudah diidentifikasi dan ditentukan. Konsep pertimbangan komunitas kecil lebih
baik diadaptasi dari pada konsep kemitraan logistik (Lambert dkk., 1996 dalam Gonzalez-
Feliu dan Salanova, 2012). Hal ini karena dalam transportasi perkotaan, subkontrak dan
kolaborasi tidak selalu diidentifikasi dan diformalkan dengan kontrak kemitraan atau layanan
(Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


7 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Berbagi informasi adalah persyaratan dasar untuk memastikan kolaborasi yang baik antara
dua atau lebih individu. Basis kolaborasi yang diterapkan pada sistem transportasi angkutan
kota dapat mengikuti definisi yang diusulkan oleh Laudon dan Laudon (2007) dalam
Gonzalez-Feliu dan Salanova (2012) untuk desain sistem informasinya. Untuk logistik
kolaboratif dapat mengikuti skema yang diusulkan oleh Gonzalez-Feliu dan Morana (2011)
dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova (2012). Ilustrasi skema dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Lima Modul Sistem Transportasi Barang Perkotaan Kolaboratif (Gonzalez-Feliu


dan Morana, 2011 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012)

Penjelasan setiap modul diberikan sebagai berikut:


1. Modul Community’s Deals menyajikan ekspektasi proyek dan risiko yang dipelajari
dalam pengembangan awal proyek tersebut. Dengan mempertimbangkan teknologi dan
alat serta tingkat penggunaannya, beberapa pilihan harus dibuat untuk mengatur sistem
transportasi kolaboratif terbaik. Untuk membuat pilihan tersebut, maka penting untuk
merumuskan pertanyaan terkait dengan tujuan dan risiko proyek, dan untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut (Laudon dan Laudon, 2007
dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).
2. Modul Community’s Solutions berisi tujuan proyek dan evaluasi kinerja sistem
transportasi kolaboratif (Gonzalez-Feliu dan Morana, 2011 dalam Gonzalez-Feliu dan
Salanova, 2012). Tujuan perencanaan Logistik Kota dihubungkan dengan pengurangan
kemacetan, polusi, kebisingan dan gangguan lain yang berkaitan dengan pergerakan
barang perkotaan (Crainic, 2008 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012). Dalam hal
ini akan terdapat perbedaan yang muncul karena dalam Logistik Kota terdapat
stakeholder publik dan swasta berinteraksi (Taniguchi dkk., 2001 dalam Gonzalez-Feliu
dan Salanova, 2012). Setelah tujuan diidentifikasi selanjutnya proyek dikembangkan.
Dalam modul ini penting untuk mempertimbangkan hal terkait evaluasi ke dalam proses
keputusan strategis. Hal ini karena keberhasilan proyek Logistik Kota dikembangkan

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


8 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
dengan memastikan kesinambungannya. Kesinambungan tersebut hanya akan dapat
apabila telah diperhitungkan dalam fase konsepsi proyek.
3. Modul Stakeholders menggambarkan pelaku utama yang terlibat dalam sistem
transportasi perkotaan kolaboratif dan dapat dijelaskan sebagai berikut. “Loader” adalah
aktor yang berada di tempat asal (“senders”) atau di tujuan (“receivers”) dari
pengiriman. “Loader” dapat berupa produsen industri atau pengrajin, penyedia logistik
atau kegiatan ritel. Kategori penting lainnya adalah "transporters", yang dapat menjadi
"loader" yang melakukan operasi transportasi mandiri atau transportasi pihak ketiga.
Kategori ketiga adalah aktor real estate yang merupakan "pemilik dan perusahaan
manajemen" dari fasilitas logistik perkotaan. Meskipun demikian aktor-aktor lain seperti
administrasi publik, perusahaan jalan raya, dan operator bea cukai juga dapat
dimasukkan dalam klasifikasi ini.
4. Modul Operations Management berisi semua elemen perencanaan dan manajemen
transportasi angkutan kota kolaboratif, lebih tepatnya dalam model logistik dan skema.
Dalam literatur, sebagian besar skema organisasi terkait dengan rantai pasokan
kolaboratif, seperti Efficient Consumer's Response (ECR), Vendor Managed Inventory
(VMI), dan Collaborative Planning Forecasting and Replenishment (CPFR) (Routhier
dkk., 2009 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012). Skema analog dapat
didefinisikan dalam distribusi barang terutama di daerah perkotaan. Hal tersebut adalah
kasus transportation pooling, jaringan transportasi, dan e-marketplaces barang
kolaboratif (Gonzalez-Feliu dkk., 2010; Simonot dan Roure, 2007 dalam Gonzalez-Feliu
dan Salanova, 2012).
5. Modul terakhir adalah peran informasi dalam transportasi kolaboratif. Tanpa kolaborasi
informasi, level kolaborasi tidak dapat terjadi. Terdapat dua jenis teknologi informasi:
Transportation Management Systems (TMS) yang terkait dengan perencanaan
transportasi, teknologi informasi, dan komunikasi, serta yang memungkinkan
transportasi diintegrasikan ke dalam rantai pasokan. TMS didasarkan terutama pada
perancangan rute dan optimisasi. Sejumlah alat komersial menerapkan algoritma yang
berasal dari desain jaringan yang sudah umum, seperti perutean kendaraan,
penjadwalan kendaraan dan masalah perutean lokasi (Golden dkk., 2010; Toth dan
Vigo, 2001 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012). Terkait Information and
Communications Technology (ICT), terdapat tiga kategori yaitu sistem pertukaran
dokumen memastikan komunikasi antar aktor dan menghafal beberapa transaksi.
Kemudian, sistem komunikasi memastikan panduan aliran perusahaan. Akhirnya,
sistem pelacakan dikembangkan untuk menemukan dan mengikuti pergerakan barang
(Fabbes-Costes, 2007 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


9 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Selanjutnya sistem transportasi kolaboratif dapat didefinisikan. Dalam transportasi barang
perkotaan, sistem seperti tersebut terkait dengan transportasi kolaboratif yang dapat
didefinisikan sebagai berikut: dua atau lebih transporter akan mengikuti pendekatan
transportation pooling kolaboratif apabila transporter tersebut berbagi sumber daya material
dan immaterial. Sumber daya tersebut dapat berupa:
a. Fasilitas logistik, seperti depo kendaraan, gudang, pusat perawatan atau platform
cross-docking.
b. Kendaraan, yang dapat dibagi dalam dua cara: yang pertama adalah kendaraan
yang dikumpulkan yang mana kendaraan dapat diambil oleh setiap anggota
komunitas untuk operasi transportasinya tanpa menggabungkan pengiriman dengan
milik anggota lainnya dan yang kedua adalah pengelompokan barang, yang berarti
untuk memberikan barang kepada pengangkut transportasi lain yang akan
mengunjungi tujuan akhir dari barang tersebut untuk mengurangi tingkat pemuatan
kendaraan secara keseluruhan.
c. Metode perencanaan dan optimisasi, yang mana perencanaan dibuat dalam
kelompok dan tidak secara individual.

Informasi logistik dan transportasi, seperti data lalu-lintas, informasi parkir, ketersediaan
pelanggan atau informasi lain yang dapat membantu membuat previsi dan mengelola
operasi saat ini (Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).

Terminal Logistik Publik

Kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan efisiensi dan untuk mengurangi dampak
lingkungan dari angkutan barang perkotaan diakui oleh perusahaan dan pemerintah daerah.
Pusat konsolidasi barang perkotaan atau selanjutnya disebut UCC (urban freight
consolidation centers) memiliki peran sentral dalam banyak konsep solusi untuk mengurangi
dampak transportasi angkutan barang perkotaan (Quak, 2008; Transmodal, 2012 dalam
Heeswijk dkk., 2019). Sebuah UCC yang terletak di pinggir kota memungkinkan truk-truk
untuk menurunkan muatan tanpa memasuki kota dan melakukan angkutan jarak jauh
dengan cara yang efisien dan ramah lingkungan. Konsep UCC termasuk (Browne dkk.,
2005):
a. Depot distribusi publik
b. Titik penyortiran barang pusat
c. Pusat transhipment perkotaan
d. Depot transhipment perkotaan bagi pengguna bersama
e. Platform angkutan barang

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


10 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
f. Sistem pengiriman kooperatif
g. Pusat konsolidasi (terkadang spesifik, mis. ritel, konstruksi)
h. Pusat distribusi perkotaan
i. Skema logistik kota
j. Pusat logistik
k. Lokasi drop-off dan pick-up
l. Konsep dukungan logistik luar kantor

Selain itu, terdapat persamaan antara UCC dan operasi lainnya, seperti titik pengumpulan
untuk pengiriman perumahan, terminal antarmoda, pusat distribusi pengecer tradisional, dan
pusat parsel ekspres. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat suatu UCC adalah antara lain:
a. Tujuan UCC: UCC dapat memiliki satu atau beberapa tujuan yang dapat mencakup:
i. Mengurangi tingkat lalu-lintas angkutan barang (mengurangi pergerakan
kendaraan barang di daerah perkotaan melalui peningkatan konsolidasi atau
pergeseran moda)
ii. Mengubah jenis kendaraan barang yang digunakan (mis. lebih sedikit kendaraan
ringan atau berat)
iii. Mengurangi dampak lingkungan yang terkait dengan aktivitas kendaraan barang
(mis. melalui pengurangan total perjalanan dan/atau penggunaan kendaraan
ramah lingkungan yang lebih besar)
iv. Meningkatkan efisiensi operasi transportasi angkutan barang perkotaan (melalui
peningkatan faktor beban dan kebutuhan akan pengiriman yang lebih sedikit)
v. Mengurangi kebutuhan untuk penyimpanan barang dan kegiatan logistik di
perkotaan yang dapat menghasilkan peningkatan omset (melalui penawaran
fasilitas penyimpanan di UCC serta layanan bernilai tambah lainnya)
b. Lokasi pusat: khususnya kedekatan UCC dengan area yang dilayani
c. Cakupan spasial UCC: luasnya wilayah kota yang dicakup dapat bervariasi antara
skema UCC dari satu lokasi hingga seluruh wilayah perkotaan
d. Kisaran dan jenis produk yang ditangani
e. Moda transportasi yang digunakan
f. Berbagai kegiatan tambahan yang disediakan
g. Fleksibilitas operasi, misalnya jadwal pengiriman tetap atau sesuai permintaan
h. Kepemilikan dan pengoperasian pusat konsolidasi, misalnya apakah publik atau
swasta, dan operator tunggal atau perusahaan patungan
i. Masalah keuangan, khususnya sifat dari setiap dukungan keuangan

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


11 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
j. Tanggung jawab untuk operasi transportasi, misalnya penyedia yang sama dengan
operator pusat atau pengaturan transportasi terpisah, dan apakah itu operasi
monopolistik atau kompetitif
k. Tingkat permanenensi UCC dan operasinya
l. Peran otoritas lokal dan badan sektor publik lainnya
m. Wajib atau sukarela: sebuah UCC dapat dioperasikan atas dasar sukarela yang
mana pengguna memutuskan apakah pengirimannya melalui UCC. Sebagai
alternatif, sebuah UCC dapat bersifat wajib (baik 24 jam atau pada waktu tertentu di
siang hari) dan barang harus dikirim melalui UCC
n. Apakah inisiatif berdiri sendiri atau dimasukkan ke dalam kebijakan yang lebih luas
dan kerangka kerja peraturan daerah perkotaan atau wilayah

Khusus untuk truk dengan utilitas yang rendah, perolehan efisiensi yang signifikan dapat
dilakukan dengan menggabungkan barang menjadi satu kendaraan pengiriman tunggal.
Terlepas dari manfaat teoretis, sebagian besar UCC telah gagal dalam praktiknya (Browne
dkk., 2005 dalam Heeswijk dkk., 2019). Ongkos tambahan yang dimasukkan dalam rantai
pasokan telah terbukti menjadi penghalang utamanya. Ketergantungan yang berlebihan
pada subsidi juga merupakan jebakan umum bagi UCC. Penelitian terbaru
mengimplikasikan bahwa menggabungkan inisiatif seperti pengiriman di luar jam sambil
memberikan insentif yang tepat dapat membantu adopsi penggunanaan UCC (Marcucci dan
Gatta, 2017 dalam Heeswijk dkk., 2019). Hal tersebut terutama berlaku bagi pengecer yang
menganggap tindakan penggabungan adalah layak dan nyaman (Holgu ın-Veras, 2008
dalam Heeswijk dkk., 2019). Contoh operasi UCC yang stabil saat ini adalah
Binnenstadservice di Belanda, Gnewt Cargo di Inggris, dan CityDepot di Belgia. Karakteristik
umumnya adalah bahwa UCC tersebut kekurangan subsidi permanen dan menawarkan
layanan bernilai tambah yang luas (Bohne dkk., 2015 dalam Heeswijk dkk., 2019). Sebagian
besar skema yang berhasil menggabungkan inisiatif yang digerakkan oleh perusahaan
dengan kebijakan pemerintah (Browne dkk., 2005 dalam Heeswijk dkk., 2019). Komitmen
perusahaan sangat penting, namun regulasi yang mendukung dan subsidi biasanya juga
diperlukan.

Pengendalian Faktor Beban

Peningkatan faktor beban truk diketahui dapat mengurangi dampak negatif lingkungan
karena membutuhkan lebih sedikit truk yang digunakan untuk mengangkut jumlah barang
yang sama yang juga dikenal pula sebagai pengurangan angkutan barang (EEA, 2010).

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


12 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Meningkatkan pemanfaatan truk di semua perjalanan juga diharapkan dapat mengurangi
ongkos transportasi (McKinnon dan Edwards, 2010 dalam Teo dkk., 2014).

Utilitas kendaraan adalah ukuran seberapa efisien angkutan barang mengangkut barang
dengan kendaraannya. Apabila utilitas kendaraan dapat ditingkatkan, melalui pengurangan
kendaraan kosong dan penggunaan yang lebih baik dari kapasitas angkut masing-masing
kendaraan, maka barang yang sama dapat dibawa dengan pergerakan kendaraan yang
lebih sedikit. Hal tersebut membantu mengurangi total lalu-lintas kendaraan barang yang
mengarah pada pengurangan kemacetan, emisi, kecelakaan, dan dampak lingkungan
lainnya dari angkutan barang (EAA, 2010).

Faktor beban adalah rasio muatan rata-rata terhadap total kapasitas angkut kendaraan (van,
truk, kereta gerbong, kapal) yang dinyatakan dalam satuan kilometer kendaraan atau v-km
(EAA, 2010). Teo dkk. (2014) menyebutkan bahwa faktor beban juga dapat dinyatakan
dalam satuan kilometer ton atau t-km. Beban rata-rata digunakan untuk menghitung
kendaraan kosong. Misalnya sebuah truk penuh dengan kapasitas 2 ton meninggalkan
depot menuju pelanggan sejauh 2 km dan kembali dengan truk kosong akan memiliki faktor
muatan 50% (4 t-km dibagi 4 v-km dan kemudian dibagi dengan 2 ton). Unit "t-km" dapat
digambarkan sebagai transportasi satu ton barang yang diangkut dalam jarak satu kilometer
dan "v-km" mengacu pada pergerakan kendaraan dalam satu kilometer.

Skema faktor beban diterapkan untuk mendorong penggunaan kapasitas truk secara
maksimal. Sejumlah negara Eropa telah menerapkan peraturan faktor beban yang berbeda-
beda untuk setiap negara. Di Amsterdam, truk dengan berat lebih dari 7,5 ton dapat
mengakses jalan-jalan apabila truk yang kurang dari 9 meter mampu mencapai faktor beban
lebih dari 80% dan memenuhi standar emisi Euro II (Castro dan Kuse, 2005 dalam Teo dkk.,
2014). Di Kopenhagen, van dan truk yang beratnya lebih dari 2,5 ton memerlukan sertifikat
untuk berhenti di Medieval City. Skema yang disebut City Goods Ordinance adalah uji coba
dari Februari 2002 hingga 31 Oktober 2003, yang mengeluarkan sertifikat hijau jika truk
mencapai faktor muatan lebih dari 60% selama periode 3 bulan dan mesin yang memenuhi
kriteria tidak lebih dari 8 tahun. Sertifikat merah dapat dibeli jika truk tidak dapat memenuhi
persyaratan dan valid untuk penggunaan satu hari (Kjaersgaard dan Jensen, 2004 dalam
dalam Teo dkk., 2014). Fungsi sertifikat merah mirip dengan Area Licensing Scheme (ALS)
yang diterapkan di Singapura pada tahun 1975 untuk mobil penumpang yang
memungkinkan kendaraan memasuki area Central Business District pada jam-jam sibuk
ketika mereka membeli lisensi area apabila kendaraan membawa kurang dari empat
penumpang (Phang dan Toh, 1997 dalam Teo dkk., 2014). City Goods Ordinance terbukti

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


13 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
efektif dalam memaksimalkan pemanfaatan kapasitas truk dengan rata-rata faktor beban
sekitar 70%.

Skema faktor beban mirip dengan skema lain yang biasanya digunakan oleh para pembuat
kebijakan di kota-kota seperti Praha, Budapest, Maribor, Paris dan Stockholm untuk
mengelola aliran lalu lintas truk di dalam kota seperti larangan truk dan pembatasan
berat/ukuran/waktu (Castro dan Kuse, 2005; Allen dan Browne, 2010; Huschebeck, 2001
dalam Teo dkk., 2014). Analisis larangan truk dilakukan oleh Yamada dan Taniguchi (2005)
dalam Teo dkk. (2014) yang mana ditemukan bahwa skema pembatasan akses dapat
meningkatkan ongkos pengiriman. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Tamagawa
dan Taniguchi (2010) dalam Teo dkk. (2014), inisiatif larangan truk menghasilkan
pengurangan emisi NOx.

Adapun persentase faktor beban untuk sejumlah negara adalah sebagai berikut:
1. Belgia
Gambar 2 menunjukkan evolusi faktor beban untuk truk yang dihitung sebagai rasio km
untuk perjalanan bermuatan ke total km yang ditempuh. Faktor beban bervariasi dari 73%
hingga 76,1%. Rata-rata 2002 (75,3%) lebih tinggi dari rata-rata 2003 (74,9%).

Gambar 2. Faktor Beban Negara Belgia (Adra dkk., 2004)


2. Denmark
Di Denmark, faktor beban untuk perjalanan bermuatan turun dari lebih dari 70% pada tahun
1984 menjadi 47% pada tahun 1996, dan untuk semua perjalanan (termasuk kendaraan
kosong) dari 45% menjadi 38%.

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


14 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
3. Inggris Raya
Faktor beban di Inggris Raya (tidak termasuk kendaraan kosong) adalah antara 40% dan
65%.
4. Austria
Faktor beban di Austria adalah antara 22% sampai dengan 73% tergantung pada jenis
kendaraan dan ukurannya.
5. Perancis
Nilai minimum faktor beban di Perancis adalah 36% dan nilai maksimum sebesar 81%.
6. Jerman
Faktor beban di Jerman berkisar dari 53% (untuk kelas berat <7,5 t) hingga 62% (untuk
kelas berat 7,5-10 t) yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Faktor Beban Negara Jerman (Adra dkk., 2004)

Sistem Transportasi Barang Bawah Tanah

Belanda adalah salah satu negara yang telah menerapkan sistem logistik bawah tanah
(underground logistics systems atau ULS). Sistem logistik bawah tanah di Belanda pada
awalnya disebut sebagai transportasi barang bawah tanah yang berkaitan dengan
transportasi otomatis untuk kargo umum dengan kendaraan yang bergerak melalui jaringan
terowongan bawah tanah. Sistem logistik bawah tanah di Belanda dapat dilihat pada
Gambar 4.

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


15 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Gambar 4. Sistem Logistik Bawah Tanah (ULS) di Belanda (Visser, 1999 dalam Wiegmans
dkk., 2010)

Sejarah sistem logistik bawah tanah di Belanda dimulai pada tahun 1970-an. Ide awalnya
adalah mengembangkan sistem transportasi kecepatan tinggi di bawah tanah di Belanda.
Pada tahun 1987, yayasan Dukungan dan Pengembangan Sistem Internasional
(International Systems Development and Support atau ISDS) mengembangkan konsep
Integral Transport System (ITS), sebuah sistem transportasi yang terdiri dari jaringan
kecepatan tinggi jarak jauh di bawah tanah (lebih dari 200 kilometer) untuk penumpang dan
barang, dikombinasikan dengan jaringan pengumpulan dan distribusi jarak pendek lokal
(hanya untuk barang). Antara tahun 1987 dan 1993, beberapa proyek, yang dibiayai oleh
National Transport Department, mempelajari konsep ini secara lebih rinci.

Pada 1990-an, sebuah proyek penelitian dilakukan di Belanda yang berfokus pada angkutan
barang bawah tanah untuk bandara Schiphol. Judul proyek ini adalah 'Ondergronds
Logistiek Systeem' (Underground Logistic System atau ULS). Beberapa aspek dari konsep
inovatif diteliti secara rinci dan direncanakan untuk memiliki sistem operasional pada tahun
2005.

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


16 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Sistem logistik bawah tanah dapat memiliki fungsi penting sebagai alternatif untuk
transportasi jalan, misalnya dalam pengembangan gabungan transportasi barang antar
moda dengan navigasi kereta api atau darat dan dalam transportasi angkutan kota. Berikut
adalah sejumlah penerapan dari sistem logistik bawah tanah (Visser dan van Binsbergen,
2000 dalam Wiegmans dkk., 2010):
1. Di wilayah perkotaan untuk menyuplai kantor pos, perdagangan ritel, perusahaan
katering, kantor, dan konsumen. Penerapan ini terkait dengan pengangkutan unit
muat dengan ukuran palet. Kelayakan penerapan ini diteliti di kota-kota Belanda
(Utrecht, Leiden dan Tilburg), di Jepang (Tokyo), dan di Inggris (London).
2. Di dalam atau di antara kompleks industri, pusat logistik, dan terminal multimoda,
seperti kompleks bandara dan pelabuhan. Penerapan ini menyangkut pengangkutan
unit muatan seperti palet, kontainer maritim dan palet pesawat. Sistem logistik bawah
tanah Schiphol di Belanda adalah salah satu contoh penerapannya.
3. Pengumpulan atau pengangkutan produk pertanian, bijih dan limbah padat jarak
jauh. Untuk tujuan ini, pipa-pipa kapsul telah dikembangkan dan diterapkan di
Jepang, Amerika Serikat, dan Rusia.
4. Transportasi darat atau lintas negara dari kontainer laut. Studi telah dilakukan di
Amerika Serikat, tetapi tidak ada yang diterapkan.

Sistem logistik bawah tanah di Belanda dikembangkan untuk dua penerapan dasar pertama
yang telah disebutkan, tetapi dimungkinkan untuk penerapan campuran. Penerapan kedua
yaitu koneksi kompleks industri dan logistik ke terminal multimoda, dimaksudkan untuk
meningkatkan transportasi jarak jauh dengan kereta api atau dengan navigasi darat. Banyak
dari kompleks ini tidak memiliki koneksi navigasi langsung atau darat dan koneksi langsung
seringkali tidak memungkinkan. Dengan membuat sistem logistik bawah tanah antara
kompleks ini dan terminal navigasi rel atau darat, maka koneksi yang efisien, cepat dan
relatif murah dapat disediakan sehingga transportasi dengan navigasi rel atau darat menjadi
pilihan yang realistis.

Konsep dari sistem logistik bawah tanah adalah menggabungkan keuntungan dari
mengambil pergerakan lalu-lintas di bawah tanah dan menerapkan tenaga listrik, dengan
keuntungan ekonomi dari transportasi otomatis tanpa hambatan melalui infrastruktur khusus
yang terpisah dari lalu -lintas penumpang. Keuntungan ekonomi ditemukan pada hampir
semua pengiriman langsung di daerah Schiphol (tidak perlu lagi perjalanan bolak-balik
dengan kargo campuran), layanan 24 jam, ongkos variabel dan eksploitasi yang relatif
rendah, dan waktu penyelesaian yang singkat.

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


17 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
Keuntungan lainnya adalah beban lingkungan (lokal) yang lebih rendah, yang menghasilkan
pengurangan kebisingan, polusi visual, dan emisi, pengurangan masalah kemacetan,
pengurangan penggunaan energi, dan pengurangan emisi CO2 yang terkait, penggunaan
ruang yang tersedia secara lebih intensif, dan peningkatan keamanan lalu-lintas. Di sisi lain,
infrastruktur bawah tanah yang benar-benar baru harus disediakan. Hal ini membutuhkan
investasi tinggi, waktu realisasi yang lama, dan banyak penyesuaian dengan pemangku
kepentingan (lokal). Namun, keseimbangan antara keuntungan dan kekurangan tidak cukup
menentukan. Karena itu timbul pertanyaan: hambatan (barrier) dan pemungkin (enabler)
mana yang memengaruhi keputusan penerapan sistem logistik bawah tanah?

Mengambil studi kasus di Schipol, Belanda, hambatan utamanya adalah ongkos. Pemungkin
penting bagi sistem logistik bawah tanah Schiphol adalah keandalan dan kecepatan.
Meskipun ongkos variabel dianggap relatif rendah dibandingkan dengan moda transportasi
yang ada, ongkos investasinya tinggi. Total ongkos segera menempatkan sistem logistik
bawah tanah pada posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan truk.
Keandalan sistem logistik bawah tanah Schiphol adalah pemungkin yang jelas. Sistem ini
sangat dapat diandalkan, meskipun terdapat persyaratan bagi pelanggan yaitu kegagalan
yang diproyeksikan terjadi setiap minggu sekali. Pengetahuan tentang hambatan apa yang
harus diatasi dan memanfaatkan pemungkin dari sistem logistik bawah tanah adalah aset
utama agar pengembangan dan implementasi sistem logistik bawah tanah dapat berhasil di
masa depan (Wiegmans dkk., 2010).

Daftar Pustaka

1. Adra, N., Michaux, J.L., dan Andre, M. (2004): Analysis Of The Load Factor And The
Empty Running Rate For Road Transport. Artemis - Assessment And Reliability Of
Transport Emission Models And Inventory Systems, INRETS, Perancis.
2. Anand, N., Quak, H., van Duin, R., dan Tavasszy, L. (2012): City Logistics Modeling
Efforts: Trends And Gaps - A Review, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 39,
101 – 115.
3. Arvidsson, N. (2016): The Load Factor Paradox In Urban Freight Transports, Northern
LEAD, Swedia.
4. Cortes, J. A. Z., Serna, M. D. A., dan Gomez, R. (2013): Information Systems Applied To
Transport Improvement, Dyna rev.fac.nac.minas, Medellín, 80, 77-86.
5. Browne, M., Sweet M., Woodburn, A., dan Allen, J. (2005): Urban freight consolidation
centres, University of Westminster.

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


18 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id
6. EEA (European Environment Agency) (2010): Load Factors For Freight Transport, EAA,
Denmark.
7. Gonzalez-Feliu, J. dan Salanova, J. (2012): Defining and Evaluating Collaborative Urban
Freight Transportation Systems, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 39, 172 –
183.
8. Heeswijk, W.V., Larsen, R., dan Larsen, A. (2019): An urban consolidation center in the
city of Copenhagen: A simulation study, International Journal of Sustainable
Transportation, 13, 675-691.
9. Thompson, R.G. dan Hassall, K.P. (2012): A Collaborative Urban Distribution Network,
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 39, 230 – 240.
10. Taniguchi, E., Thompson, R.G., Yamada, T. dan van Duin, R. (2001): City Logistics:
Network Modelling And Intelligent Transport Systems, Pergamon, Oxford.
11. Taniguchi, E. (2014): Concepts Of City Logistics For Sustainable And Liveable Cities,
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 151, 310 – 317.
12. Teo, J.S.E., Taniguchi, E., dan Qureshi, A.G. (2014): Evaluation of Load Factor Control
and Urban Freight Road Pricing Joint Schemes with Multi-agent Systems Learning
Models, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 125, 62 – 74.
13. United Nations (2020): Goal 11: Make cities inclusive, safe, resilient and sustainable,
United Nations.
14. Wiegmans, B.W., Visser, J., Konings, R., dan Pielage, B.A. (2010): Review of
Underground Logistic Systems in The Netherlands: An Ex-Post Evaluation of Barriers,
Enablers and Spin-offs, European Transport, 45, 34-49.

‘20 City Logistics Biro Akademik dan Pembelajaran


19 Dr. Nova Indah Saragih, S.T., M.T. http://www.widyatama.ac.id

Anda mungkin juga menyukai