Anda di halaman 1dari 2

Puteri Nadiah Octavia

2311418006

Franjour

Suara dari Penyintas Covid-19


Dikurung di sebuah rumah, seorang pria berusaha memenuhi kebutuhan hariannya
dengan bekerja didalam rumah hanya bermodalkan laptop bekas. Tak ayal, dengan
meningkatnya kasus Covid di Indonesia, maka semakin banyak pula penderita yang melakukan
isoman atau isolasi mandiri di rumah masing-masing. Tersisihkan dari masyakarat juga
dipandang sebelah mata, hinaan telah menjadi makanan sehari-harinya. Satu bulan dikurung di
kotak kecil nan sempit, bukanlah waktu yang sebentar baginya untuk bertahan.

Sosok pria tersebut bernama Suwarto (51). Ayah dari dua anak ini merupakan buruh
pabrik yang sudah puluhan tahun tinggal dipinggiran kota. Merantau dan mengais rezeki di
daerah sekitar kawasan industri menjadi pilihannya. Pria kelahiran 1970 ini, bekerja disebuah
pabrik yang cukup terkenal yang berfokus pada pembuatan Hidrogen Peroxida di Indonesia.

Awal mula ia bisa terdeteksi virus Covid-19 adalah ketika ia dan teman-temannya
bersepeda di wilayah Jakarta. Suwarto memang memiliki hobi bersepeda sejak lama, berbagai
event sepeda baik didalam maupun diluar kota selalu ia ikuti. Hal ini terbukti dari banyaknya
sepeda yang terparkir di halaman rumahnya, yang bergantian ia pakai untuk pergi ke event
tersebut. “Waktu itu, saya sedang libur dan diajak bersepeda oleh teman-teman saya, karena
besoknya harus bekerja, saya wajib melakukan tes PCR, ternyata hasilnya positif” ungkapnya.

Tingginya kasus Covid-19 di beberapa kota di Indonesia memang tidak bisa dipungkiri.
Jakarta merupakan kota yang memiliki tingkat kasus Covid-19 tertinggi di Indonesia. “Disana
menerapkan protokol kesehatan dengan benar, pakai masker dan juga jaga jarak” ucapnya. Hal
ini memungkinkan bahwa seseorang dengan gampangnya bisa tertular Covid-19 walaupun
sudah menerapkan protokol kesehatan.

Akibat dari kejadian ini, Suwarto harus melakukan isolasi mandiri minimal selama 2
minggu di rumah. “Tidak ada gejala sama sekali, pilek, batuk dan semacamnya tidak ada”
ucapnya. Walaupun termasuk OTG atau orang tanpa gejala, Suwarto harus tidur di tempat yang
berbeda dari keluarganya, segala perlengkapan makan dan alat mandi dibuat secara terpisah.
“Sedih karena terdeteksi Covid-19, tapi dijalani saja” tambahnya.
Reaksi warga disekitarnya pun sangat berlebihan, Suwarto dan keluarga dijauhkan dari
masyarakat. Banyak sekali berita simpang siur di sekitar lingkungan rumahnya. Bahkan sang
istri yang tidak menderita Covid-19, tidak diperbolehkan membeli sayur yang lewat di depan
rumahnya. “Sangat dipersulit, kami hanya mendapatkan bantuan sembako dari RT hanya
sekali, setelah itu kami bertahan hidup dengan meminta tolong teman-teman saya karena warga
di sekitar rumah tidak mau menolong, alasannya takut tertular” ungkapnya. Hal ini sangat ia
sayangkan, karena bukannya harus istirahat agar keadaan pulih, tetapi malah memikirkan
bagaimana caranya agar ia bertahan hidup untuk mendapatkan bahan makanan untuk ia dan
keluarganya. “Kecewa, tidak perlu mengumbar berita simpang siur tentang keluarga kami.
Karena saya juga merupakan OTG dan tidak memiliki permasalahan apapun dengan
kesehatan” tambahnya.

Kurangnya edukasi tentang Covid-19 dan berita hoaks yang beredar membuat
masyarakat tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Hal ini terbukti dari cara mereka
memperlakukan penderita Covid-19 dengan tidak baik dan juga kabar burung yang beredar.
“Harapannya semoga warga memperbaiki sikap mereka, aware boleh tetapi tidak perlu sampai
berlebihan hingga menghina penderita Covid-19” jelasnya. Kini, kondisi Suwarto telah
membaik, hasil tes PCR juga telah negatif. Sekarang ia bisa bekerja secara Work from Office
atau WFO seperti semula setelah melakukan isolasi mandiri selama satu bulan lamanya.

Anda mungkin juga menyukai