Anda di halaman 1dari 126

PREDIKSI UMUR SISA PERKERASAN LENTUR

BERDASARKAN METODE AASHTO (1993), METODE


SURVIVOR CURVE DAN METODE PATTERSON

TESIS
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh
Windunoto Abisetyo
NIM: 26915312
(Program Studi Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


JUNI 2018
ABSTRAK

PREDIKSI UMUR SISA PERKERASAN LENTUR


BERDASARKAN METODE AASHTO (1993), METODE
SURVIVOR CURVE DAN METODE PATTERSON
Oleh
Windunoto Abisetyo
NIM: 269 15 312
(Program Studi Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya)

Untuk menentukan rencana pemrograman jalan di Indonesia digunakan indeks


fungsional dalam hal ini adalah International Roughness Index (IRI). Pada
prakteknya, digunakan model triggering dalam menentukan pemrograman tahun
mendatang, sehingga konsep perencanaan hanya dalam jangka pendek dan tidak
dapat memperkirakan kebutuhan penanganan dari tahun ke tahun.

Untuk penelitian ini digunakan konsep Remaining Services Life (RSL) sebagai
alat pengambilan keputusan dalam pemrograman. Umur sisa jalan didefinisikan
sebagai jumlah tahun berdasarkan beban lalu lintas dimana perkerasan masih
dalam kondisi layan secara fungsional & struktural. Dengan menggunakan
penilaian fungsional dan struktural, maka penanganan dapat dilakukan secara
lebih mendetail sesuai dengan kebutuhan perkerasan.

Untuk menentukan RSL, digunakan metode Patterson dan Survivor Curve


(fungsional) serta metode AASHTO (struktural). Penggunaan metode ini
didasarkan kepada ketersediaan data di Indonesia dan kemudahan aplikasinya
sehingga dapat diterapkan secara segera. Indonesia Road Management Systems
(IRMS) sebagai database kondisi jalan dapat dimanfaatkan dengan metode
survivor curve dan juga metode Patterson. Sedangkan beberapa peraturan
AASHTO sudah di adaptasi ke dalam aturan teknis di Indonesia, sehingga
memudahkan dalam penggunaannya.

Hasil studi menunjukkan bahwa penggunaan metode Patterson dapat memprediksi


secara akurat nilai IRI tahun selanjutnya, tetapi dalam jangka panjang diperlukan
adanya kalibrasi. Metode AASHTO dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga
diperlukan akurasi data yang lebih baik. Sedangkan metode survivor curve
dipengaruhi oleh nilai IRI dari segmen yang dianalisa. Dari ketiga segmen yang
dianalisa, terdapat perbedaan antara umur sisa fungsional dan struktural. Hal ini
menyebabkan perbedaan kebutuhan penanganan ke depannya.

Kata kunci: Umur sisa jalan, Patterson, AASHTO, Survivor Curve, FWD, IRI.

i
ii
ABSTRACT

PREDICTION OF REMAINING SERVICES LIFE BASED ON


AASHTO METHOD (1993), SURVIVOR CURVE METHOD AND
PATTERSON METHOD
By
Windunoto Abisetyo
NIM: 269 15 312
(Program Studi Sistem dan Teknik Jalan Raya)

To determining road programming plan, Indonesia used functional index which is


International Roughness Index (IRI). In practice, a triggering model is used in
determining future programming, so the concept of planning is only in the short
term and can not estimate the need for long term programming.

In this study used the concept of Remaining Services Life (RSL) as a decision-
making tool in programming. The RSL is defined as the number of years based on
the traffic load where the pavement is still functionally & structurally functional.
By using a functional and structural assessment, the maintenance can be done in
more detail in accordance with the needs of pavement.

To determining RSL, this study used Patterson method and Survivor Curve
method (functional) and AASHTO method (structural). The use of this methods is
based on the availability of data in Indonesia and the ease of application so that it
can be applied immediately. Indonesia Road Management Systems (IRMS) as a
road condition database can be used by survivor curve method and also Patterson
method. While some AASHTO regulations have been adapted into technical rules
in Indonesia, making it easier to use them.

The results of the study show that the use of Patterson's method can predict
accurately the value of IRI next year, but in the long term calibration is required.
The AASHTO method is influenced by many factors, so there is a need for better
data accuracy. While the survivor curve method is influenced by the IRI value of
the analyzed segment. From the three segments analyzed, there is a difference
between functional and structural residual age. This leads to differences in the
need for future handling.

Keywords : Remaining Services Life, Patterson, AASHTO, Survivor Curve, FWD,


IRI.

iii
iv
PREDIKSI UMUR SISA PERKERASAN LENTUR
BERDASARKAN METODE AASHTO (1993), METODE
SURVIVOR CURVE DAN METODE PATTERSON

Oleh
Windunoto Abisetyo
NIM: 26915312
(Program Studi Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya)

Institut Teknologi Bandung

Menyetujui
Tim Pembimbing

Tanggal ...............................

Pembimbing I Pembimbing II

______________________ ______________________
Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng S., DEA Dr. Ir. Idwan Santoso, M.Sc.

v
vi
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS

Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut


Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta
ada pada penulis dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin penulis dan harus
disertai dengan kaidah ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Sitasi hasil penelitian Tesis ini dapat di tulis dalam bahasa Indonesia sebagai
berikut:
Abisetyo, W. (2018): Prediksi Umur Sisa Perkerasan Lentur Berdasarkan Metode
AASHTO (1993), Metode Survivor Curve dan Metode Patterson, Tesis
Program Magister, Institut Teknologi Bandung.

dan dalam bahasa Inggris sebagai berikut :

Abisetyo, W. (2018): Prediction Of Remaining Services Life Based On


AASHTOMethod (1993), Survivor Curve Method and Patterson Method,
Master’s Thesis, Institut Teknologi Bandung.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin


Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

vii
viii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, maka
penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul Prediksi Umur Sisa Perkerasan
Lentur Berdasarkan Metode AASHTO (1993), Metode Survivor Curve dan
Metode Patterson ini dengan baik. Penelitian dalam tesis ini dilakukan untuk
melengkapi salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan Magister
(S2) pada Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang telah
memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, antara lain:

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng S, DEA dan Dr. Ir. Idwan Santoso, M.Sc. sebagai
pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, bantuan dan
motivasi kepada penulis untuk belajar lebih banyak, serta waktu, saran, nasehat
dan perhatian yang senantiasa diberikan selama penelitian dan penulisan tesis
ini.
2. Istriku Nirya Guita Wulan Sari, putriku Aisyah Farzana Abisetyo serta seluruh
keluargaku tercinta, penulis ucapkan terima kasih untuk segala dukungan dan
doanya selama perkuliahan berlangsung hingga selesainya Tesis ini.
3. Dr. Eng. Russ Bona Frazila, S.T., M.T. selaku penguji atas saran, nasehat dan
kritik membangun yang diberikan demi penyempurnaan tesis ini.
4. Kepala Balai Pembangunan Jalan Nasional XV Manado dan Kepala P2JN
Sulawesi Utara atas ketersediaannya membantu ketersediaan data tesis ini.
5. Seluruh Staf Pengajar di lingkungan Program Magister Sistem dan Teknik Jalan
Raya (STJR) ITB atas ilmu serta dukungan yang diberikan selama menempuh
program magister ini.
6. Febru, Ihwan, Rahmat, Aries, Welling dan teman-teman STJR angkatan 2015
dan 2016 untuk dukungan yang diberikan serta saran dan nasehat melalui
diskusi-diskusi hingga terselesaikannya tesis ini.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian dan penulisan
tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

ix
Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penyusunan tesis ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
dalam penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan
berkontribusi dalam dunia pendidikan juga kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dalam bidang rekayasa jalan.

Bandung, Mei 2018

Penulis

x
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI ............................................................. xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG....................................................... xix

Bab I Pendahuluan ............................................................................................. 1


I.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2
I.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 2
I.4 Ruang Lingkup ................................................................................. 2

Bab II Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 3


II.1 Umum.............................................................................................. 3
II.2 Remaining Services Life (RSL) ...................................................... 5
II.3 RSL berdasarkan Kondisi Fungsional Perkerasan .......................... 5
II.4 RSL berdasarkan Survivor Curve ................................................... 8
II.4.1 Survivor Curve ...................................................................... 8
II.4.2 Metode Kaplan - Meier.......................................................... 9
II.4.3 Metode Distribusi Weibull .................................................. 11
II.5 RSL berdasarkan Kondisi Struktural Perkerasan .......................... 13
II.6 Kapasitas Struktural Perkerasan .................................................... 16
II.7 Hubungan dengan Metodologi ...................................................... 19
II.8 Studi Terdahulu ............................................................................. 20

Bab III Program Dan Metodologi Penelitian...................................................... 23


III.1 Program Kerja.............................................................................. 23
III.2 Pelaksanaan Penelitian ................................................................ 25

Bab IV Penyajian Data ....................................................................................... 29


IV.1 Umum .......................................................................................... 29
IV.2 Wilayah Studi .............................................................................. 29
IV.3 Data Ketidakrataan Permukaan Perkerasan ................................. 30
IV.4 Data Struktur Perkerasan Existing ............................................... 36
IV.5 Data Lalu Lintas .......................................................................... 38
IV.6 Data Lendutan Perkerasan ........................................................... 41
IV.7 Data Temperatur .......................................................................... 44
IV.8 Data CBR Tanah Dasar ............................................................... 45
xi
IV.9 Pemetaan Kebutuhan Data........................................................... 48

Bab V Analisis Data .......................................................................................... 51


V.1 Prediksi Nilai RSL berdasarkan AASHTO 1993 ......................... 51
V.1.1 Penentuan Nilai Kumulatif ESAL ................................ 51
V.1.2 Analisa Lendutan .......................................................... 53
V.1.3 Analisa Nilai Kapasitas Struktur Perkerasan (SNeff) .... 55
V.1.4 Prediksi Umur Sisa Perkerasan Struktural .................... 57
V.1.5 Analisis Variabel RSL berdasarkan Metode AASHTO
1993............................................................................... 59
V.2 Prediksi Nilai RSL berdasarkan Metode Patterson ...................... 61
V.2.1 Prediksi Nilai IRI .......................................................... 62
V.2.2 Kalibrasi Prediksi Nilai IRI .......................................... 65
V.2.3 Perbandingan Persamaan Patterson .............................. 69
V.2.4 Prediksi Umur Sisa Perkerasan Metode Patterson ........ 73
V.2.5 Analisis Variabel RSL berdasarkan Metode Patterson . 75
V.3 Prediksi Nilai RSL Metode Survivor Curve ................................. 77
V.3.1 Perhitungan Survivor Probability dengan Metode
Kaplan- Meier .............................................................. 77
V.3.2 Perhitungan Survivor Probability dengan Metode
Weibull .......................................................................... 80
V.3.3 Prediksi Umur Sisa Perkerasan Metode Survivor
Curve ............................................................................. 84
V.3.4 Analisis Variabel RSL berdasarkan Metode Survivor
Curve ............................................................................. 84
V.4 Perbandingan Umur Sisa Antara 3 Metode .................................. 85

Bab VI Kesimpulan dan Saran............................................................................ 89


VI.1 Kesimpulan .................................................................................. 89
VI.2 Saran ............................................................................................ 91

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 93

LAMPIRAN .......................................................................................................... 95

xii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran A Perhitungan Lalu Lintas .................................................................... 97
Lampiran B Perhitungan AASHTO 1993 ............................................................. 99
Lampiran C Perhitungan Survivor Curve............................................................ 103

xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI

Gambar II.1 Diagram sisa umur perkerasan (Balla, 2010) ..................................... 5


Gambar II.2 RSL berdasarkan model peningkatan nilai IRI................................... 8
Gambar II.3 Model survivor curve (Balla, 2010) ................................................. 10
Gambar II.4 RSL berdasarkan survivor curve (Balla, 2010) ................................ 10
Gambar II.5 Perbandingan kurva metode Kaplan-Meier dengan distribusi Weibull
(Balla, 2010) .................................................................................... 13
Gambar II.6. Penurunan kondisi struktural perkerasan (AASHTO, 1993) ........... 16
Gambar II.7 Faktor penyesuaian suhu (AASHTO, 1993)..................................... 18
Gambar III.1 Diagram alir penelitian .................................................................... 23
Gambar III.2 Diagram detail penelitian ................................................................ 24
Gambar IV.1 Peta lokasi studi .............................................................................. 29
Gambar IV.2 Data nilai IRI segmen 1 tahun 2011-2016 ...................................... 33
Gambar IV.3 Data nilai IRI segmen 2 tahun 2011-2016 ...................................... 33
Gambar IV.4 Data nilai IRI segmen 3 tahun 2011-2016 ...................................... 34
Gambar IV.5 Data struktur perkerasan existing segmen 1 KM 18+000 ............... 36
Gambar IV.6 Data struktur perkerasan existing segmen 2 KM 25+000 ............... 37
Gambar IV.7 Data struktur perkerasan existing segmen 3 KM 32+000 ............... 37
Gambar IV.8 Klasifikasi golongan kendaraan menurut Bina Marga .................... 38
Gambar V.1 Kurva IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI kalibrasi segmen 1 ........ 67
Gambar V.2 Kurva IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI kalibrasi segmen 2 ........ 68
Gambar V.3. Kurva IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI kalibrasi segmen 3 ........ 68
Gambar V.4. Perbandingan IRI kalibrasi dengan IRI prediksi (2016) segmen 1 . 72
Gambar V.5 Perbandingan IRI kalibrasi dengan IRI prediksi (2016) segmen 2 . 72
Gambar V.6 Perbandingan IRI kalibrasi dengan IRI prediksi (2016) segmen 3 . 72
Gambar V.7 Grafik batas umur layan segmen 1 .................................................. 73
Gambar V.8 Grafik batas umur layan segmen 2 .................................................. 74
Gambar V.9 Grafik batas umur layan segmen 3 .................................................. 74
Gambar V.10 Grafik survivor curve metode Kaplan-Meier segmen 1 ................. 79
Gambar V.11 Grafik survivor curve metode Kaplan-Meier segmen 2 ................. 79
Gambar V.12 Grafik survivor curve metode Kaplan-Meier segmen 3 ................. 80
Gambar V.13 Grafik survivor curve metode Weibull segmen 1 .......................... 82
Gambar V.14 Grafik survivor curve metode Weibull segmen 2 .......................... 82
Gambar V.15 Grafik survivor curve metode Weibull segmen 3 .......................... 83
Gambar V.16 Perbandingan survivor curve Manado-Bitung dengan Toledo ...... 83

xv
xvi
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel II.1 Rentang kondisi nilai IRI ....................................................................... 6
Tabel II.2. Nilai layer strength coefficient, ai (HDM III, 1987) ............................. 6
Tabel II.3 Nilai standar deviasi normal (ZR) (AASHTO, 1993) ........................... 15
Tabel II.4 Tingkat kepercayaan (AASHTO, 1993) ............................................... 16
Tabel IV.1 Data nilai IRI segmen 1 per-100 meter tahun 2011-2016 .................. 30
Tabel IV.2 Data nilai IRI segmen 2 per-100 meter tahun 2011-2016 .................. 31
Tabel IV.3 Data nilai IRI segmen 3 per-100 meter tahun 2011-2016 .................. 32
Tabel IV.4 Data nilai IRI segmen 1 per-200 meter tahun 2011-2016 .................. 34
Tabel IV.5 Data nilai IRI segmen 2 per-200 meter tahun 2011-2016 .................. 35
Tabel IV.6 Data nilai IRI segmen 3 per-200 meter tahun 2011-2016 .................. 35
Tabel IV.7 Data AADT per golongan kendaraan tahun 2011-2016 segmen 1 ..... 39
Tabel IV.8 Data AADT per golongan kendaraan tahun 2011-2016 segmen 2 ..... 39
Tabel IV.9 Data AADT per golongan kendaraan tahun 2011-2016 segmen 3 ..... 40
Tabel IV.10 Faktor Truk berdasarkan Bina Marga (MST 10 Ton)....................... 41
Tabel IV.11 Data lendutan jalan Manado-Bitung segmen 1 ................................. 42
Tabel IV.12 Data lendutan jalan Manado-Bitung segmen 2 ................................. 43
Tabel IV.13 Data lendutan jalan Manado-Bitung segmen 3 ................................. 43
Tabel IV.14 Data temperatur perkerasan jalan Manado-Bitung segmen 1 ........... 44
Tabel IV.15 Data temperatur perkerasan jalan Manado-Bitung segmen 2 ........... 44
Tabel IV.16 Data temperatur perkerasan jalan Manado-Bitung segmen 3 ........... 45
Tabel IV.17 Data CBR tanah dasar segmen 1....................................................... 45
Tabel IV.18 Data CBR tanah dasar segmen 2....................................................... 46
Tabel IV.19 Data CBR tanah dasar segmen 3....................................................... 47
Tabel IV.20 Pemetaan kebutuhan data.................................................................. 48
Tabel V.1 Pertumbuhan rata-rata ruas Manado-Bitung segmen 1 ........................ 52
Tabel V.2 Pertumbuhan rata-rata ruas Manado-Bitung segmen 2 ........................ 52
Tabel V.3 Pertumbuhan rata-rata ruas Manado-Bitung segmen 3 ........................ 53
Tabel V.4 Kumulatif ESAL pada ruas Manado-Bitung ........................................ 53
Tabel V.5 Nilai pwakil, Twakil, d1wakil dan faktor keseragaman tiap segmen ............ 54
Tabel V.6 Nilai d1 dan koreksi Temperature Adjusment Factor (TAF) ............. 55
Tabel V.7 Nilai MR, Ep dan SNeff untuk setiap segmen ....................................... 57
Tabel V.8 Nilai PSI untuk setiap segmen ............................................................. 58
Tabel V.9 Beban lalu lintas sampai batas failure untuk setiap segmen ................ 58
Tabel V.10 Perbandingan volume lalu lintas ........................................................ 59
Tabel V.11 Umur sisa ruas manado-bitung berdasarkan metode AASHTO ........ 59
Tabel V.12 Analisa variabel metode AASHTO 1993 ........................................... 60
Tabel V.13 Nilai IRI wakil lapangan dan faktor keseragaman ............................. 63
Tabel V.14 Parameter kekuatan lapisan perkerasan ............................................. 64
Tabel V.15 Layer koefisien metode patterson ...................................................... 64
Tabel V.16 Kapasitas struktural perkerasan metode Patterson ............................. 65
Tabel V.17 Prediksi nilai IRI dengan basis tahun 2011 ........................................ 65
Tabel V.18 Parameter kalibrasi antara IRI prediksi & IRI lapangan .................... 66
Tabel V.19 Prediksi nilai IRI berdasarkan persamaan kalibrasi Patterson ........... 67

xvii
Tabel V.20 Perbandingan selisih nilai IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI
kalibrasi ............................................................................................ 69
Tabel V.21 Prediksi nilai IRI wakil metode Patterson dengan basis tahun
2016 ................................................................................................. 70
Tabel V.22 Perbandingan nilai IRI kalibrasi dengan IRI Patterson (basis
2016) ............................................................................................... 70
Tabel V.23 Umur sisa ruas Manado-Bitung berdasarkan metode Patterson ........ 75
Tabel V.24 Analisis variabel metode Patterson .................................................... 76
Tabel V.25 Probabilitas survive metode Kaplan-Meier ........................................ 78
Tabel V.26 Probabilitas survive metode Weibull ................................................. 80
Tabel V.27 Umur sisa ruas Manado-Bitung dengan metode Survivor Curve....... 84
Tabel V.28 Analisis sensitivitas metode Survivor Curve...................................... 85
Tabel V.29 Perbandingan umur sisa segmen 1 ..................................................... 86
Tabel V.30 Perbandingan umur sisa segmen 2 ..................................................... 86
Tabel V.31 Perbandingan umur sisa segmen 3 ..................................................... 86
Tabel V.32 Matrik penanganan berdasarkan umur sisa ........................................ 88
Tabel V.33 Penanganan berdasarkan RSL ruas Manado-Bitung .......................... 88

xviii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian


Pertama kali
Pada halaman

AC-BC Asphalt Concrete – Base Course .......................................... 64


AC-WC Asphalt Concrete – Wearing Course .................................... 64
AASHTO American Association of State Highway and
Transportation Officials....................................................... 2
CBR California Bearing Ratio ..................................................... 7
CESAL Cummulaitve Equivalent Single Axle Load .......................... 7
ESAL Equivalent Single Axle Load ................................................ 4
FWD Falling Weight Deflectometer .............................................. 4
IRI International Roughness Index ............................................ 1
LHR Lalu Lintas Harian Rata-Rata .............................................. 51
MST Muatan Sumbu Terberat....................................................... 3
NAASRA National Association of Australian State Road Authorities . 4
NDT Non Destructive Test ............................................................ 16
PSI Present Condition Index....................................................... 3
RSL Remaining Services Life ....................................................... 1
TAF Temperature Adjustment Factor .......................................... 50
TF Truck Factor ........................................................................ 41
WIM Weight In Motion ................................................................. 41

LAMBANG
a Jari-jari beban ....................................................................... 18
ai Koefisien material ................................................................ 6
aol Koefisien struktural untuk kebutuhan overlay AC ............ 17
ae Jari-jari stress bulb ............................................................... 19
CBR Berat jenis maksimum campuran ....................................... . 7
CF Faktor kondisi .................................................................... 14
CSAn Kumulatif Beban Sumbu Standar tahun ke-n .................... .. 6
D Tebal lapis perkerasan diatas subgrade ................................ 13
∆PSI Design PSI loss .................................................................. 14
d0 lendutan yang diukur pada pusat jatuhnya beban ................ 18
Dol Tebal yang dibutuhkan untuk pemeliharaan ........................ 17
dr Lendutan pada radius r ......................................................... 17
Ep Modulus elastisitas perkerasan........................................... 14
hi Ketebalan lapisan ................................................................. 6
m Koefisien lingkungan ……..… .......................................... . 6
MPa Mega Pascal ........................................................................ 7
MR Modulus Resilien ................................................................ 7
P Beban yang diberikan........................................................... 17
p Tekanan beban FWD ........................................................... 18

xix
Po Nilai PSI awal .................................................................... 14
Pt Nilai PSI dalam keadaan terminal ..................................... 14
pt Probabilitas perkerasan dalam kondisi survive .................... 9
r Jarak lendutan pada titik yang diukur .................................. 17
SNC Structural Number perkerasan ............................................. 6
SNeff Kapasitas Struktural pengamatan ......................................... 3
SNf Kapasitas struktural mendatang ........................................... 17
SN0 Structural Number di tahun rencana .................................. 14
SNol Kebutuhan struktural untuk pemeliharaan ......................... 17
SNsg Structural Number dari kontribusi subgrade ...................... . 6
So Overall Standard deviation ................................................ 14
S(t) Probabilitas perkerasan survive terhadap waktu .................. 9
W18 Jumlah lalu lintas yang melewati dalam ESAL ................... 14
ZR Standar deviasi normal ....................................................... 14

xx
Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki panjang jaringan jalan sebesar 517.663 km dengan 38.570 km
adalah jalan nasional dengan kondisi kemantapan sebesar 93,95% (Bina Marga,
2015). Meskipun memiliki kemantapan sebesar 93,95%, tetapi masih banyak
program-program penanganan jalan yang tidak efektif. Sebagai contoh pada tahun
2013 di Provinsi Sulawesi Utara, terdapat hanya 53,26 km dari 1.254,08 km
(22,36%) target penanganan jalan yang berkontribusi terhadap nilai kondisi
kemantapan jalan.

Prosentase sebesar 22.36% kontribusi penanganan jalan terhadap nilai kondisi


jalan dipengaruhi banyak faktor, antara lain:
- Penanganan pada jalan strategis nasional
- Pembangunan jalan baru yang belum masuk ke dalam kewenangan
Pemerintah pusat
- Pelebaran & preservasi jalan pada ruas yang berkondisi baik
Untuk itu, perlu dihindari adanya masukan pemrograman yang tidak
mencerminkan data kondisi jalan yang sebenarnya. Sedangkan pada
pelaksanaannya, Bina Marga hanya memakai indikator kondisi fungsional
perkerasan sebagai input utama pemrograman.

Kondisi fungsional perkerasan yang dipakai terutama adalah angka International


Roughness Index (IRI), yang melihat kondisi jalan dari ketidakrataan permukaan.
Sedangkan data kondisi struktural perkerasan tidak digunakan secara luas, yang
menyebabkan banyak pemrograman yang tidak tepat sasaran. Selain itu, terdapat
perbedaan kondisi jika ditinjau dari kondisi fungsional & struktural sehingga
menyebabkan perbedaan penanganan jalan.

Perbedaan kondisi fungsional & struktural perkerasan dapat dibuat dalam index
yang sama yaitu Remaining Services Life (RSL). Nilai RSL didefinisikan sebagai
jumlah tahun berdasarkan beban lalu lintas dengan perkerasan masih dalam

1
kondisi layan secara fungsional & struktural. Pada umumnya, nilai RSL didapat
dari perbandingan antara beban kumulatif saat ini dengan beban kumulatif pada
saat failure.

Dengan ditinjau dari RSL, maka dapat dibandingkan kondisi fungsional dan
struktural perkerasan. Index yang sama juga berguna dalam pemrograman, dan
dapat diketahui kebutuhan penanganan per periode. Penggunaan konsep RSL dari
kebutuhan struktural dan fungsional dapat menghasilkan pemrograman yg lebih
baik.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana evaluasi RSL berdasarkan metode AASHTO, Metode Survivor


Curve dan Metode Patterson?
2. Bagaimana perbandingan nilai RSL berdasarkan ketiga metode tersebut?

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisa umur sisa perkerasan perkerasan


lentur pada ruas jalan Manado-Bitung. Untuk mendukung tujuan penelitian
tersebut penelitian ini terdiri dari sub tujuan:
1. Menganalisa umur sisa perkerasan dengan metode AASHTO (1993), Metode
Survivor Curve dan Metode Patterson
2. Membandingkan hasil perhitungan umur sisa perkerasan berdasarkan metode
AASHTO (1993), Metode Survivor Curve dan Metode Patterson

I.4 Ruang Lingkup

Studi ini memiliki lingkup analisa umur sisa perkerasan perkerasan lentur disertai
perbandingannya. Adapun batasannya adalah:

1. Ruas yang ditinjau adalah ruas Manado-Bitung sepanjang 9.6 km untuk 2


arah dengan perkerasan lentur yang memiliki penanganan terakhir pada tahun
2010;

2
2. Data kondisi fungsional jalan memakai data International Roughness Index
(IRI) sebagai data sekunder dan diolah dengan metode Patterson (1992) dan
survivor curve;
3. Data IRI adalah hasil survey tahun 2011 sampai dengan 2016;
4. Kondisi failure berdasarkan IRI adalah dalam kondisi Rusak Ringan atau
nilai IRI diatas 8 m/km;
5. Nilai Present Condition Index (PSI) pada saat pembangunan adalah 4.2;
6. Data kondisi struktural jalan memakai data lendutan hasil alat Falling Weight
Deflectometer berdasarkan pengukuran tahun 2015 sebagai data sekunder dan
diolah menggunakan metode AASHTO (1993);
7. Perhitungan nilai Kapasitas Struktural pengamatan (SNeff) berdasarkan data
lendutan perkerasan;
8. Data temperatur udara, sejarah penanganan jalan & volume lalu lintas
digunakan data sekunder dari instansi terkait;
9. Dalam menentukan besarnya CESAL digunakan nilai Truck Factor standar
Bina Marga dengan MST 10 ton.

3
Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Umum
Kondisi jalan adalah Index yang secara objektif dalam beberapa kriteria atau
range tertentu untuk menentukan tingkat kerusakan jalan. Terdapat berbagai
macam pengukuran kondisi jalan (Transportation Association of Canada, 2006),
yaitu:
- Riding comfort (RCI),
- Surface distress (SDI),
- Structural Condition Index (SCI),
- Pavement condition (PCI),
- Roughness (IRI),
- Pavement quality (PQI)

Dari berbagai index tersebut, terdapat perbedaan antara kondisi fungsional dan
struktural perkerasan. Perbedaan tersebut dapat dijadikan dalam index yang sama
jika dilihat dari Umur Sisa Perkerasan atau Remaining Services Life (RSL).

RSL adalah nilai tahun berdasarkan jumlah kendaraan yang lewat, dengan
perkerasan masih dalam kondisi layan fungsional & struktural dengan hanya
diberikan pemeliharaan rutin (Baladi, 1991). Terdapat 3 cara untuk mendapatkan
nilai RSL: (i) pendekatan keruntuhan fungsional; (ii) pendekatan keruntuhan
struktural; dan (iii) pendekatan keruntuhan fungsional & struktural.

Dalam studi ini, kondisi fungsional ditinjau dari nilai International Roughness
Index (IRI) sedangkan kondisi struktural perkerasan ditinjau dari Modulus
Perkerasan. Nilai IRI didapatkan dari survey ketidakrataan permukaan jalan
memakai alat NAASRA, sedangkan nilai modulus perkerasan didapatkan dari
data lendutan memakai alat Falling Weight Deflectometer (FWD).

4
II.2 Remaining Services Life (RSL)
Remaining Services Life (RSL) adalah nilai tahun berdasarkan jumlah kendaraan
yang lewat, dengan perkerasan masih dalam kondisi layan fungsional & struktural
dengan hanya diberikan pemeliharaan rutin (Baladi, 1991). RSL dihitung sejak
kondisi saat ini sampai dengan waktu dibutuhkannya pemeliharaan.

Untuk kondisi fungsional yang berdasarkan ketidakrataan permukaan jalan, titik


failure pada penelitian ini ditetapkan pada nilai IRI = 8 m/km. Pada titik tersebut,
jalan sudah memasuki range kondisi Rusak Ringan dan memerlukan penanganan
lebih lanjut.

Gambar II.1 Diagram sisa umur perkerasan (Balla, 2010).

II.3 RSL berdasarkan Kondisi Fungsional Perkerasan


Pada pendekatan ini, penurunan kondisi perkerasan digambarkan sebagai fungsi
kondisi fungsional. Dengan kondisi fungsional perkerasan ditinjau dari standar
International Roughness Index (IRI). IRI sendiri merupakan angka ketidakrataan
permukaan jalan. Nilai IRI dapat dikategorikan menjadi 4 kategori sesuai rentang
kondisi

5
Tabel II.1 Rentang kondisi nilai IRI.

Nilai IRI Keterangan


<4 Baik
4-8 Sedang
8 - 12 Rusak Ringan
> 12 Rusak Berat

Terdapat beberapa metode penyederhanaan model prediksi nilai IRI dengan


memasukkan parameter retak, alur dan pothole ke dalam nilai Structural Number
(Patterson dan Attoh-Okine, 1992).

𝐼𝑅𝐼𝑛 = 1,04𝑒 𝑚𝑛 [𝐼𝑅𝐼0 + 263(1 + 𝑆𝑁𝐶)−5 𝑥 𝐶𝑆𝐴𝑛 ]........................................(II. 1)

Keterangan:

IRIn = Kekasaran jalan pada tahun ke-n (m/km)


IRI0 = Kekasaran jalan pada tahun awal (m/km)
SNC = Structural Number perkerasan
CSAn = Kumulatif Beban Sumbu Standar tahun ke-n (juta esa/lajur)
m = Koefisien lingkungan = 0,023 (wet, non freeze)

Nilai SNC pada persamaan (II.1) adalah nilai modifikasi dari AASHTO dengan
persamaan sebagai berikut:

𝑆𝑁𝐶 = [0,04 𝑥 𝛴(𝑎𝑖 𝑥 ℎ𝑖 )] + 𝑆𝑁𝑠𝑔 ..................................................................(II. 2)

Keterangan:

ai = Koefisien material, dengan kategori pada Tabel II.2


hi = Ketebalan lapisan (mm)
SNsg = Structural Number dari kontribusi subgrade

Tabel II.2 Nilai Layer Strength Coefficient, ai (HDM III, 1987).

Pavement Layer Strength Coefficient, ai


Surface Course
Surface treatments 0,2-0,4
Asphalt mixtures (cold or hot premix of 0,20

6
Tabel II.2 Nilai Layer Strength Coefficient, ai (HDM III, 1987) (lanjutan).

Pavement Layer Strength Coefficient, ai


flow stability)
Asphalt concrete (hot premix of high
stability)
MR = 1,500 MPa 0,3
MR = 2.500 MPa 0,4
MR = 4.000 MPa 0,5
Base Course
Granular Material
CBR = 30 % 0,07
CBR = 50 % 0,10
CBR = 70 % 0,12
CBR = 90 % 0,13
CBR = 110 % 0,14
Bituminous materials
Subbase and selected Subgrade Layers
(to total pavement depth of 700 mm)
Granular materials
CBR = 5 % 0,06
CBR = 15 % 0,09
CBR = 25 % 0,10
CBR = 50 % 0,12
CBR = 100 % 0,14

Nilai SNsg berasal dari persamaan Hodges (1975) sebagai berikut:

𝑆𝑁𝑠𝑔 = 3.51 log 𝐶𝐵𝑅 − 0.85(log 𝐶𝐵𝑅)2 − 1.43.............................................(II.3)

Keterangan:

CBR = In situ California Bearing Ratio of Subgrade (%)

Dengan mengetahui nilai IRI pada saat evaluasi dan model prediksi nilai pada
tahun ke –n, maka dapat dibuat model penurunan kondisi ketidakrataan sampai
dengan nilai IRI mencapai kondisi rusak ringan (IRI = 8 m/km). Selisih waktu
antara kondisi saat ini dengan kondisi saat IRI = 8 m/km dapat didefinisikan
sebagai umur sisa perkerasan.

7
Gambar II.2 RSL berdasarkan model peningkatan nilai IRI.

Dengan memakai model pada Gambar II.2 bisa didapatkan nilai RSL sesuai
persamaan (II.4)

𝑅𝑆𝐿 = 𝐴𝐺𝐸𝑓𝑎𝑖𝑙𝑢𝑟𝑒 − 𝐴𝐺𝐸................................................................................(II. 4)

Keterangan:

RSL = Sisa umur perkerasan


AGEfailure = Umur jalan ketika mencapai nilai IRI = 8 m/km
AGE = Umur jalan saat ini berdasarkan nilai IRI

II.4 RSL berdasarkan Survivor Curve


II.4.1 Survivor Curve

Penilaian kondisi jalan di Indonesia yang dilakukan secara berkala adalah survey
IRMS yang diperuntukkan sebagai evaluasi dan bahan pemrograman. Dengan
kewajiban dilakukan survey setiap 2 kali dalam setahun untuk seluruh Jalan
Nasional, maka database tersebut dapat dipergunakan untuk melakukan model
prediksi penurunan kondisi fungsional jalan.

Vepa (1996) menyebutkan bahwa dengan data historis performa perkerasan dapat
dimodelkan menjadi survivor curve yang selanjutkan dapat digunakan untuk

8
memprediksi nilai RSL. Secara konsep, bahwa perkerasan yang masih berada
dalam kondisi baik (survive) ditentukan oleh rentang waktu sebelum diperlukan
adanya perbaikan jalan.

Dengan adanya survivor curve, nilai RSL dapat diprediksi dengan menentukan
nilai probabilitas survive bernilai 0 atau jalan berada dalam kondisi nilai IRI> 8
m/km. Bentuk kurva dalam survivor curve ditentukan oleh panjang perkerasan
yang failure, semakin besar perkerasan yang failure maka semakin curam bentuk
kurvanya.

II.4.2 Metode Kaplan-Meier

Balla (2010) mengusulkan model penurunan kondisi jalan berdasarkan database


kondisi jalan sesuai dengan survivor curve dengan menggunakan metode Kaplan-
Meier, dengan survivor curve adalah kurva perbandingan antara jalan dengan
kondisi yang belum memerlukan pemeliharaan dengan jalan yang memerlukan
pemeliharaan, dengan persamaan sebagai berikut:

𝑁(𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙)
𝑝𝑡 = 1 − ............................................................................................(II. 5)
𝑁(𝑎𝑤𝑎𝑙)

Keterangan:
pt = Probabilitas perkerasan dalam kondisi survive (%)
N(interval) = Panjang perkerasan yang mengalami failure dalam rentang
periode t dan t+1 tahun
N(awal) = Panjang perkerasan yang berpotensi mengalami failure pada awal
periode t tahun

Sedangkan probabilitas survive terhadap waktu dihitung dengan persamaan (II.6)

𝑆(𝑡) = 𝑝1 𝑥 𝑝2 𝑥 𝑝3 𝑥 𝑝4 𝑥 … … 𝑥 𝑝𝑡 ..................................................................(II. 6)

Keterangan:
S(t) = Probabilitas perkerasan survive terhadap waktu

9
Gambar II.3 Model survivor curve (Balla, 2010).

Survivor curve didapatkan dengan memplotkan nilai S(t) dengan Waktu sesuai
dengan Gambar II.3. Nilai RSL adalah selisih waktu ketika nilai S(t) bernilai 0.

Gambar II.4 RSL berdasarkan survivor curve (Balla, 2010).

10
II.4.3 Metode Distribusi Weibull

Pemodelan dengan menggunakan metode Kaplan-Meier mengharuskan sejarah


penanganan secara lengkap, dikarenakan survivor curve dapat dibentuk jika nilai
probabilitas (S(t)) mencapai nilai 0. Secara aktual, kondisi tersebut tidak dapat
dicapai di lapangan, karena pada saat nilai S(t) = 0 maka seluruh kondisi
perkerasan yang ditinjau seluruhnya dalam keadaan failure. Dalam prakteknya,
penyelenggara jalan segera melakukan pemeliharaan jika suatu lokasi dalam
keadaan failure.

Survivor curve yang tidak pernah mencapai nilai 0 akan menghasilkan data yang
bias. Balla (2010) menyebutkan, bahwa data analisa Kaplan-Meier dapat
diextrapolasi memakai distribusi Weibull. Persamaan yang digunakan dalam
metode Weibull dalam memprediksi nilai probabilitas S(t) adalah sebagai berikut:

𝐴𝑔𝑒 𝐵
−( )
𝑆(𝑡) = 𝑒 𝐴 ..............................................................................................(II. 7)
Keterangan:
S(t) = Probabilitas survive perkerasan terhadap waktu
A = Scale parameter
B = Shape parameter
Age = Umur perkerasan

Nilai scale parameter (A) dan shape parameter (B) dapat diturunkan sebagai
berikut:

𝐴𝑔𝑒 𝐵
−( )
ln 𝑆(𝑡) = ln 𝑒 𝐴 .......................................................................................(II. 8)

𝐴𝑔𝑒 𝐵
ln 𝑆(𝑡) = − ( ) ..........................................................................................(II. 9)
𝐴

1 𝐴𝑔𝑒 𝐵
ln ( )=( ) ...........................................................................................(II. 10)
𝑆(𝑡) 𝐴

1 𝐴𝑔𝑒 𝐵
ln (ln (𝑆(𝑡))) = ln ( ) ...............................................................................(II. 11)
𝐴

11
1
ln (ln (𝑆(𝑡))) = 𝐵[ln(𝐴𝑔𝑒) − ln(𝐴)].............................................................(II. 12)

Persamaan (II.13) adalah persamaan linear yang memiliki bentuk umum:

𝑦 = 𝑚𝑋 + 𝐶....................................................................................................(II. 13)

Dengan,

𝑋 = ln(𝐴𝑔𝑒)...................................................................................................(II. 14)

𝑚 = 𝐵.............................................................................................................(II. 15)

Sehingga,

−𝐶 −𝐶⁄
𝐶 = −𝐵 ln(𝐴) = −𝑚 𝑙𝑛 (𝐴) ⇒ ln(𝐴) = ⇒𝐴=𝑒 𝑚 ..........................(II. 16)
𝑚

Dari persamaan (II.13) dengan (II.14) didapat persamaan (II.18)

1 1 1 𝑦 𝑦
𝑦 = ln (ln (𝑆(𝑡))) ⇒ ln (𝑆(𝑡)) = 𝑒 𝑦 ⇒ 𝑆(𝑡) = 𝑒 𝑒 ⇒ 𝑆(𝑡) = 𝑒 −𝑒 ................(II. 17)

Nilai B dan C bisa didapatkan dengan mentransformasi nilai S(t) yang didapat
dari metode Kaplan-Meier menjadi bentuk Y dari persamaan II.17 dan nilai AGE
menjadi bentuk X dari persamaan II.14. Dengan analisa regresi didapatkan nilai B
dan C, serta nilai A didapatkan dengan memsubstitusikan ke dalam persamaan
II.16.

Setelah mendapatkan nilai scale parameter (A) dan shape parameter (B), maka
perhitungan S(t) dari persamaan II.7 dapat dipenuhi. Nilai S(t) dari metode
Kaplan-Meier dibandingkan nilai S(t) dari distribusi Weibull memiliki nilai relatif
yang sama, serta dengan distribusi Weibull juga menghasilkan survivor curve
yang lengkap (Balla, 2010).

12
Gambar II.5. Perbandingan kurva metode Kaplan-Meier dengan distribusi
Weibull (Balla, 2010).

II.5 RSL berdasarkan Kondisi Struktural Perkerasan

Kondisi struktural perkerasan dapat direpresentasikan dengan lendutan permukaan


(Dr) maupun Modulus Elastisitas perkerasan (Ep). Nilai Dr maupun Ep dapat
diambil melalui survey dengan alat Falling Weight Deflectometer (FWD). Nilai
Ep diambil melalui back calculation dari nilai Dr dengan Modulus Resilen
subgrade (Mr).

AASHTO (1993) menyebutkan terdapat 3 metode untuk mendapatkan Structural


Number perkerasan saat ini (SNeff), yaitu:

1. SNeff yang dihitung berdasarkan kondisi struktural perkerasan yang berasal


dari pengujian lendutan.
𝑆𝑁𝑒𝑓𝑓 = 0,045 𝐷 3√𝐸𝑝 .....................................................................(II.18)
Keterangan:
SNeff = Structural Number perkerasan
D = Tebal lapis perkerasan diatas subgrade (inch)
Ep = Modulus elastisitas perkerasan

13
2. SNeff yang dihitung berdasarkan kondisi struktural yang berasal dari
kondisi visual dan pengujian bahan.
𝑆𝑁𝑒𝑓𝑓 = 𝑎1 𝐷1 + 𝑎2 𝐷2 𝑚2 + 𝑎3 𝐷3 𝑚3.................................................(II.19)
Keterangan:
SNeff = Structural Number perkerasan
a1,2,3 = Koefisien material dari tiap lapis perkerasan
D1,2,3 = Tebal dari tiap lapis perkerasan
m2,3 = Koefisien drainase dari material base & subbase
3. SNeff yang dihitung berdasarkan umur sisa perkerasan
𝑆𝑁𝑒𝑓𝑓 = 𝐶𝐹 ∗ 𝑆𝑁0 ..............................................................................(II.20)
Keterangan:
SNeff = Structural Number perkerasan
CF = Faktor kondisi
SN0 = Structural Number di tahun rencana

Perkerasan didesain sampai mencapai titik dengan tingkat layan jalan tidak dapat
dipenuhi. Untuk itu, digunakan persamaan untuk prediksi beban lalu lintas yang
dapat dipikul oleh perkerasan.

𝐿𝑜𝑔(𝑊18 ) =
∆𝑃𝑆𝐼
𝐿𝑜𝑔10 ( )
𝑍𝑅 𝑆𝑜 + 9.36𝐿𝑜𝑔10 (𝑆𝑁 + 1) − 0.2 + 4.2−1.5
1094 + 2.32𝐿𝑜𝑔10 (𝑀𝑅 ) − 8.07 ...(II.21)
0.4+
(𝑆𝑁+1)5.19

Keterangan:
ZR = Standar deviasi normal
So = Overall Standard deviation (0.4 – 0.5 untuk perkerasan lentur)
∆PSI = Design PSI loss (Po-Pt)
Po = Nilai PSI awal
Pt = Nilai PSI dalam keadaan terminal
MR = Modulus Resilen tanah dasar
W18 = Jumlah lalu lintas yang melewati dalam ESAL
SN = Structural Number dari perkerasan

14
Dalam menentukan nilai Modulus Resilen tanah dasar, digunakan persamaan
korelasi dengan parameter CBR:

𝑀𝑅 = 1500 𝑥 𝐶𝐵𝑅..........................................................................................(II.22)

Keterangan:
MR = Modulus Resilen tanah dasar (psi)
CBR = California Bearing Ratio

Sedangkan Standar Deviasi Normal (ZR) menurut AASHTO 1993 adalah sebagai
berikut:

Tabel II.3 Nilai standar deviasi normal (ZR) (AASHTO, 1993).

Reliability,
ZR
R (persen)
50 0.000
60 -0.253
70 -0.524
75 -0.674
80 -0.841
85 -1.037
90 -1.282
91 -1.340
92 -1.405
93 -1.476
94 -1.555
95 -1.645
96 -1.751
97 -1.881
98 -2.054
99 -2.327
99.9 -3.090
99.99 -3.750

Dalam memilih tingkat kepercayaan (Reliability) AASHTO juga memberikan


rekomendasi sebagai berikut:

15
Tabel II.4 Tingkat kepercayaan (AASHTO, 1993).
Klasifikasi Tingkat Kepercayaan (%)
Jalan Dalam Kota Luar Kota
Antar Kota 85-99.99 80-99.9
Arteri 80-99 75-95
Kolektor 80-95 75-95
Lokal 50-80 50-80

II.6 Kapasitas Struktural Perkerasan

Menurut AASHTO (1993), kapasitas struktural perkerasan lentur dapat diwakili


dengan angka Structural Number (SN), yang akan mengalami penurunan sebagai
fungsi lalu lintas dan waktu. Pada Gambar II.7, digambarkan kapasitas struktural
pada saat awal (SCo) mengalami penurunan sampai dengan kapasitas struktural
saat ini (SCeff). Sehingga dibutuhkan adanya perbaikan sampai dengan kapasitas
struktural mendatang (SCf) sebesar kapasitas struktural pemeliharaan (SCol).

Gambar II.6. Penurunan kondisi struktural perkerasan (AASHTO, 1993).

Dalam mendapatkan nilai kondisi struktural, AASHTO (1993) mengusulkan 3


metode perhitungan, yaitu:

1. Kapasitas struktural berdasarkan survey visual dan pengujian material.


2. Kapasitas struktural berdasarkan pengujian Non Destructive Test (NDT)
3. Kapasitas struktural berdasarkan kerusakan yang disebabkan lalu lintas
16
Dalam studi ini, dilakukan perhitungan dengan metode 2 yang memakai alat
Falling Weight Deflectometer (FWD) sebagai NDT. Terdapat 2 hasil analisa yang
diperoleh jika memakai NDT, yaitu:

1. Pengukuran Modulus Resilent (Mr) tanah dasar


2. Perhitungan SNeff dari perkerasan

Kapasitas stuktural pemeliharaan (SNol) adalah kebutuhan tebal overlay sesuai


koefisien perkerasan yang ekuivalen dengan selisih kapasitas stuktural sekarang
dengan mendatang, yang diwujudkan dalam persamaan II.23

𝑆𝑁𝑜𝑙 = 𝑎𝑜𝑙 ∗ 𝐷𝑜𝑙 = 𝑆𝑁𝑓 − 𝑆𝑁𝑒𝑓𝑓 .................................................................(II.23)

Keterangan:

SNol = Kebutuhan struktural yang dibutuhkan untuk pemeliharaan


aol = Koefisien struktural untuk kebutuhan overlay AC
Dol = Tebal yang dibutuhkan untuk pemeliharaan (inch)
SNf = Kapasitas struktural mendatang setelah dipelihara
SNeff = Kapasitas struktural efektif saat ini

Dalam proses mendapatkan angka SNeff, diperlukan perhitungan Mr tanah dasar


dengan memakai persamaan II.24

0,24 𝑃
𝑀𝑟 = ....................................................................................................(II.24)
𝑑𝑟 𝑟

Keterangan:

Mr = Modulus resilent tanah dasar (psi)


P = Beban yang diberikan (pounds)
dr = Lendutan pada radius r (inch)
r = Jarak lendutan pada titik yang diukur (inch)

AASHTO (1993) memperhitungkan Mr tanah dasar dalam perhitungan SNeff


dengan mempertimbangkan bahwa kekuatan struktural perkerasan pasti
dipengaruhi oleh kekuatan tanah dasar dibawahnya. Modulus efektif perkerasan
(Ep) dapat dihitung dengan persamaan berikut

17
1
1−
2
√1+(𝐷)
1 [ 𝑎 ]
𝑑0 = 1,5 𝑝𝑎 + ...................................................(II.25)
2 𝐸𝑝
𝐷 3 𝐸𝑝
𝑀𝑟 √1+( √ )
𝑎 𝑀𝑟

{ }
Keterangan:
d0 = lendutan yang diukur pada pusat jatuhnya beban (inch)
p = Tekanan beban FWD (psi)
a = Jari-jari beban (inch)
D = Tebal perkerasan di atas subgrade (inch)
Mr = Modulus resilen tanah dasar (psi)
Ep = Modulus efektif perkerasan (psi)

Nilai lendutan d0 perlu dilakukan penyesuaian terhadap suhu, sebagaimana yang


ditunjukkan dalam Gambar II.7

Gambar II.7 Faktor penyesuaian suhu (AASHTO, 1993).

Dengan nilai Modulus efektif perkerasan yang didapat dari persamaan II.18, maka
perlu dilakukan pengecekan pada persamaan II.26. Pengecekan dilakukan agar
perhitungan modulus resilen tanah dasar mendekati keadaan sebenarnya, tanpa
pengaruh dari lapisan perkerasan diatasnya. AASHTO (1993) menyebutkan
bahwa pengukurannya harus dilakukan pada jarak yang sejauh mungkin dari pusat
18
beban, tetapi harus sedekat mungkin agar dapat dihitung secara akurat. Syarat
adalah sebagai berikut:

𝑟 ≥ 0,7 𝑎𝑒 .......................................................................................................(II.26)

Keterangan:
r = Jarak lendutan ke pusat beban (inch)
ae = Jari-jari stress bulb pada pertemuan lapis tanah dasar dengan perkerasan
(inch)

Sedangkan nilai ae sendiri didapatkan sebagai berikut:

2
3 𝐸𝑝
𝑎𝑒 = √[𝑎2 + (𝐷 √𝑀 ) ] ................................................................................(II.27)
𝑟

Keterangan:
ae = Jari-jari stress bulb pada pertemuan lapis tanah dasar dengan perkerasan
(inch)
a = Jarak lendutan dari pusat beban (inch)
D = Ketebalan perkerasan (inch)
Ep = Modulus efektif perkerasan (psi)

Nilai modulus efektif perkerasan (Ep) dapat diperhitungkan untuk memperoleh


nilai kapasitas struktural saat ini (SNeff) dengan memakai persamaan II.25.
Dengan memakai SNeff dan dibandingkan dengan SN0, maka akan didapatkan
prediksi umur sisa perkerasan sampai dengan dengan SNfailure.

II. 7 Hubungan dengan Metodologi

RSL yang diperoleh dari studi ini adalah didapatkan dari 3 data, yaitu:
1. Data kondisi fungsional
Dengan memakai model penurunan kondisi IRI, dapat diprediksi kapan
suatu perkerasan mengalami failure (IRI =8 m/km), selisih antara waktu
saat ini dengan waktu pada saat perkerasan mengalamai kondisi failure
adalah sisa umur perkerasan

19
2. Data kondisi struktural
Diperoleh dengan melakukan analisa kapan perkerasan tersebut
mengalami failure berdasarkan beban lalu lintas. Dengan membandingkan
beban lalu lintas berdasarkan analisa dan beban lalu lintas sebenarnya,
dapat diketahui kapan perkersan tersebut mengalami failure.
3. Data historis kondisi fungsional
Prediksi umur perkerasan dapat didekati sebagai fungsi kondisi IRI
memakai bantuan perhitungan survivor curve, dengan nilai umur sisa
adalah kondisi nilai probabilitas jalan memiliki nilai 0 (S(t)=0). Survivor
curve didapatkan dengan menghitung probabilitas pavement dalam kondisi
survive terhadap waktu memakai metode Kaplan-Meier lalu diextrapolasi
dengan metode distribusi Weibull.

Dengan didapatkan 3 nilai RSL, maka kondisi perkerasan dapat didekati dari
Index yang sama. Index tersebut dapat digunakan untuk memprediksi waktu
pemeliharaan yang tepat ditinjau dari kondisi jalan.

II.8 Studi Terdahulu

Balla (2010) dalam disertasinya menganalisa pemakaian survivor curve dengan


metode Kaplan-Meier dan Weibull untuk menganalisa data PCR sebagai dasar
titik failure. Metode Weibull dapat digunakan untuk data yang tidak lengkap,
sehingga dapat diketahui sampai dengan akhir masa layan.

Dewy Fithriayuni (2014) dalam tesisnya melakukan prediksi peningkatan IRI


memakai model IRMS dan Patterson. Dengan nilai IRI prediksi Patterson dapat
digunakan untuk melakukan perhitungan pemeliharaan jalan.

Gedafa (2008) dalam disertasinya memprediksi RSL berdasarkan lendutan


permukaan perkerasan lentur. Dari hasil penelitiannya, digunakan alat Rolling
Weight Deflectometer (RWD) sebagai pengganti Falling Weight Deflectometer
(FWD), dengan terdapat penurunan nilai SNeff yang cukup besar dari pengamatan
selama 2 tahun. Penurunan tersebut sebagian besar bersumber dari volume lalu
lintas.

20
Tranggono (2016) dalam disertasinya mengembangkan pola penurunan kondisi
perkerasan lentur berdasarkan kondisi struktural dan fungsional. Dengan
menggunakan parameter IRI dan lendutan dapat digambarkan model umur sisa
sesuai siklus pemeliharaan. Umur sisa tersebut digunakan untuk aplikasi
pemeliharaan jalan.

21
22
Bab III Program Dan Metodologi Penelitian

III.1 Program Kerja


Program kerja yang digunakan mengacu pada lingkup penelitian yang
digambarkan pada Gambar III.1

Mulai

Input Data

Metode Survivor
Metode AASHTO Metode Patterson
Curve

Menentukan ESAL Menentukan SNeff Penentuan survivor


berdasarkan dengan metode Penentuan SNC curve berdasarkan
proyeksi survey back calculation metode Kaplan -
lapangan Meier
Menentukan jumlah Prediksi IRI
ESAL ketika failure berdasarkan SNC
dan proyeksi ESAL Extrapolasi survivor
dengan metode curve dengan
Log(W18) metode Weibull
Kalibrasi nilai IRI
Perbandingan ESAL Model Survivor
proyeksi dengan Curve sampai
ESAL ketika failure Model Prediksi IRI dengan S(t) = 0
terkalibrasi

RSL=Jumlah tahun RSL = jumlah tahun


RSL = Jumlah tahun
yang dibutuhkan yang dibutuhkan
yang dibutuhkan
sampai nilai sampai nilai S(t) = 0
sampai PSIterminal
mencapai 8 m/km

Perbandingan RSL
dari ketiga metode

Kesimpulan

Gambar III.1 Diagram alir penelitian.

23
Mulai

Studi Literatur

Analisa RSL
Pengumpulan Data berdasarkan A
survivor curve

Analisa RSL Analisa RSL


berdasarkan data berdasarkan data
lendutan IRI

Data Alat FWD: Data perkerasan: Data desain:


Data lendutan Data temperatur Data perkerasan:
- Loading Plate (P) - Tebal perkerasan - IRIo
- Tebal perkerasan
- Loading Plate radius (a) - Tipe Material - CBR
- Tipe Material
- Jarak deflektor (r) - SN0 - Volume Lalu Lintas

0,24 𝑃
𝑀𝑟 = 𝐶 𝑆𝑁𝑠𝑔 = 3.51 log 𝐶𝐵𝑅 − 0.85(log 𝐶𝐵𝑅)2 − 1.43
𝑑𝑟 𝑟 d0 x TAF

𝑆𝑁𝐶 = [0,04 𝑥 𝛴(𝑎𝑖 𝑥 ℎ𝑖 )] + 𝑆𝑁𝑠𝑔


1
1− 2
√1 + (𝐷)
1 [ 𝑎 ]
𝑑0 = 1,5 𝑝𝑎 +
2 𝐸𝑝 𝐼𝑅𝐼𝑛 = 1,04𝑒 𝑚𝑛 [𝐼𝑅𝐼0 + 263(1 + 𝑆𝑁𝐶)−5 𝑥 𝐶𝑆𝐴𝑛 ]
𝐷 3 𝐸𝑝
𝑀𝑟 1 + 𝑎 √𝑀
𝑟
{ }
Model peningkatan IRI vs AGE

2
3 𝐸𝑝
𝑎𝑒 = 𝑎2 + 𝐷 √
𝑀𝑟

Kalibrasi nilai IRI

No
𝑟 ≥ 0,7 𝑎𝑒

Yes
𝑅𝑆𝐿 = 𝐴𝐺𝐸𝑓𝑎𝑖𝑙𝑢𝑟𝑒 − 𝐴𝐺𝐸
Ep dan Mr

𝑆𝑁𝑒𝑓𝑓 = 0,045 𝐷 3√𝐸𝑝

∆𝑃𝑆𝐼
𝐿𝑜𝑔10 ( )
𝐿𝑜𝑔(𝑊18 ) = 𝑍𝑅 𝑆𝑜 + 9.36𝐿𝑜𝑔10 (𝑆𝑁 + 1) − 0.2 + 4.2 − 1.5
1094
0.4 +
(𝑆𝑁 + 1) 5.19

+ 2.32𝐿𝑜𝑔10 (𝑀𝑅 ) − 8.07

RL=f(traffic)

Gambar III.2 Diagram detail penelitian.

24
A B

Perbandingan RSL
Stripmap historis berdasarkan 3 metode
Sejarah penanganan
kondisi Jalan analisa

Kesimpulan
Analisa Metode
Kaplan-Meier

𝑁(𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 )
𝑝𝑡 = 1 −
𝑁(𝑎𝑤𝑎𝑙 )

𝑆(𝑡) = 𝑝1 𝑥 𝑝2 𝑥 𝑝3 𝑥 𝑝4 𝑥 … … 𝑥 𝑝𝑡

Metode distribusi
Weibull

𝑋 = ln(𝐴𝑔𝑒)
1
𝑦 = ln (ln ( ))
𝑆(𝑡)

Analisa Regresi

𝑚=𝐵
−𝐶⁄
𝐴=𝑒 𝑚

𝐴𝑔𝑒 𝐵 Pemodelan Survivor


𝑆(𝑡) = 𝑒 −( 𝐴
) 𝑅𝑆𝐿 = 𝐴𝐺𝐸𝑓𝑎𝑖𝑙𝑢𝑟𝑒 − 𝐴𝐺𝐸
Curve

Gambar III.2 Diagram detail penelitian (lanjutan).

III.2 Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini direncanakan menjadi 3 tahap. Penahapan


bertujuan untuk membuat penelitian berjalan lebih sistematis dan dapat lebih
mudah dilakukan evaluasi jika terjadi ketidaksesuaian data. Tahapan yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tahap pengumpulan data
Dilakukan pengumpulan data sekunder pada instansi terkait, yaitu:

25
a. Data Lendutan dari alat FWD
Dengan alat FWD, akan didapat data lendutan yang nantinya dapat diolah
menjadi nilai kapasitas struktural perkerasan saat ini (SNeff). Data ini
bersumber dari survey Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XV Manado tahun
2015.
b. Data Temperatur
Data temperatur dibutuhkan sebagai angka penyesuaian suhu untuk koreksi
lendutan (d0) hasil perhitungan back calculation. Data ini bersumber dari
data temperatur saat pengujian FWD.
c. Data Volume Lalu Lintas
Data lalu lintas akan digunakan untuk data perhitungan metode Patterson.
Data ini bersumber dari survey Satuan Kerja Perencanaan & Pengawasan
Jalan Nasional Provinsi Sulawesi Utara.
d. Data tebal & sejarah penanganan jalan
Data tebal perkerasan & sejarah penanganan jalan dibutuhkan dalam
perhitungan back calculation untuk mendapatkan kapasitas struktural
perkerasan saat ini (SNeff). Data ini bersumber dari data PPK 06 Provinsi
Sulawesi Utara.
e. Data IRI
Dari pengujian NAASRA, akan didapat data IRI yang mewakili kondisi
fungsional perkerasan, untuk selanjutnya diolah menjadi data umur sisa
perkerasan. Data ini bersumber dari survey Satuan Kerja Perencanaan &
Pengawasan Jalan Nasional Provinsi Sulawesi Utara.
2. Tahap Analisa Data
Sebelum dilakukan analisa data, seluruh data yang ada dikelompokkan per
segmen, sehingga memudahkan analisa. Dalam analisa data akan dilakukan
urutan kerja sebagai berikut:

26
a. Analisa Remaining Services Life (RSL) berdasarkan kondisi struktural
Dalam memperhitungkan nilai RSL, dibagi menjadi 2 tahap, yaitu
menentukan nilai SNeff dan perhitungan umur sisa
Penentuan Nilai SNeff
Kondisi struktural yang ditinjau adalah SNeff, dalam mendapatkan nilai
tersebut dilakukan urutan kerja sebagai berikut:
- Penentuan tebal lapis perkerasan yang ditinjau
- Penentuan lendutan wakil pada segmen yang ditinjau
- Penentuan modulus resilen (Mr) tanah dasar berdasarkan perhitungan
back calculation
- Penentuan suhu perkerasan
- Penentuan koreksi lendutan wakil berdasarkan suhu perkerasan
- Penentuan Modulus efektif perkerasan (Ep)
- Dilakukan pengecekan dengan persyaratan batas jarak lendutan
- Didapatkan nilai SNeff berdasarkan lendutan

Penentuan umur sisa perkerasan (RSL)


Dalam mendapatkan RSL dilakukan urutan kerja sebagai berikut:
- Nilai SNeff berdasarkan lendutan digunakan untuk menentukan volume
lalu lintas sampai keadaan failure (PSI = 2.5)
- Prediksi umur sisa perkerasan berdasarkan perbandingan prediksi
volume lalu lintas hasil survey lapangan dengan prediksi volume lalu
lintas sampai keadaan failure
b. Analisa Remaining Services Life (RSL) berdasarkan kondisi fungsional
Setelah didapat data IRI dan data CBR subgrade, maka dapat
diperhitungkan umur sisa perkerasan, dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
- Penentuan nilai SNsg berdasarkan data CBR subgrade
- Penentuan SNC dari struktur perkerasan dengan memakai data tebal
dan jenis material
- Memodelkan penurunan kondisi fungsional sampai dengan titik failure
(IRI = 8 m/km)

27
- Melakukan kalibrasi untuk mendapatkan kurva umur sisa yang
merepresentasikan keadaan lapangan
- Umur sisa didapat dari selisih umur saat ini sampai dengan umur pada
saat failure
c. Analisa Remaining Service Life (RSL) berdasarkan historis performa jalan
Dengan database performa perkerasan dari tahun ke tahun, dapat dilakukan
prediksi nilai RSL sesuai yang dikemukakan oleh Balla (2010), dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
Metode Kaplan-Meier:
- Pendataan perkerasan yang mengalami failure setiap tahun
- Penentuan prosentase probabilitas survivor curve Pt dan S(t)
Metode distribusi Weibull
- Analisa regresi nilai S(t) dan umur jalan dari metode Kaplan-Meier
- Penentuan scale parameter (A) dan shape parameter (B)
- Penentuan nilai S(t) modifikasi hasil distribusi Weibull
- Pembentukan database survivor curve dari tahun ke tahun dari tiap ruas
- Penentuan nilai umur sisa
3. Tahap penarikan kesimpulan
Setelah dilakukan analisa dan mendapatkan perbandingan umur sisa
perkerasan, baik berdasarkan kondisi jalan, baik struktural maupun fungsional.
Maka selanjutnya dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai umur sisa
yang dapat mewakili perkerasan

28
Bab IV Penyajian Data

IV.1 Umum

Pada bab ini akan dijelaskan data-data yang dibutuhkan dalam melakukan prediksi
umur sisa jalan pada ruas Manado-Bitung. Data-data yang akan dijelaskan yaitu
data kondisi perkerasan eksisting, data volume lalu lintas, data temperatur udara
dan perkerasan, data kekasaran jalan (IRI), data beban sumbu kendaraan, data
lendutan dari pengukuran FWD dan data sejarah penanganan jalan. Kemudian
data-data tersebut digunakan sebagai dasar melakukan perhitungan.

IV.2 Wilayah Studi

Panjang total Jalan Nasional yang dievaluasi sepanjang 9.3 KM yang terdiri dari 3
segmen, yaitu Segmen 1 dari KM 16+000 sampai dengan KM 20+100, segmen 2
dari KM 25+000 sampai dengan KM 27+200 dan segmen 3 dari KM 30+700
sampai dengan KM 33+700. Ketiga segmen tersebut bertipe 2/2 UD, lebar
perkerasan ± 7 meter dan lebar bahu ± 1 meter. Ketiga segmen tersebut juga
dipilih dikarenakan penanganan terakhir adalah pada tahun 2010 dan masih belum
terdapat penanganan kembali sampai dengan tahun 2016, sehingga dapat diamati
penurunan kondisi jalan dengan baik.

Lokasi Studi

Gambar IV.1 Peta lokasi studi.

29
IV.3 Data Ketidakrataan Permukaan Perkerasan

Data ketidakrataan permukaan perkerasan atau IRI (International Roughness


Index) diperoleh dari pengukuran P2JN Provinsi Sulawesi Utara dengan data
historis sejak tahun 2011 sampai dengan 2016. Survey pengukuran IRI yang
diambil sebagai data studi adalah survey yang dilakukan pada semester 2 pada
setiap tahunnya. Pengukuran IRI dilakukan dengan interval sepanjang 100 meter,
untuk kedua arah, baik dari arah Manado maupun dari arah Bitung. Gambar dan
tabel di bawah ini menyajikan data IRI untuk ruas Manado-Bitung

Tabel IV.1 Data nilai IRI segmen 1 per-100 meter tahun 2011-2016.

Nilai IRI
Segmen 1
2011 2012 2013 2014 2015 2016
16+100 4.3 4.9 4.1 7.2 5.5 6.4
16+200 3.8 4.2 4 6.1 5.7 8.4
16+300 3.2 4.4 4.9 6.8 5 9
16+400 3.7 4.3 7.1 6.7 7.4 8.6
16+500 3.4 3.4 3.9 6.3 7.1 9.1
16+600 2.8 3.6 4.6 5.5 5.7 5.1
16+700 4.1 3.5 4.6 4.7 8.1 9.1
16+800 3.9 4 6.1 7.2 8.6 10.2
16+900 5.6 5.8 3.8 5.5 6.9 5.7
17+000 4.5 4.6 4.2 6.8 5.7 5.2
17+100 4.5 4.1 5 7.5 6.7 4.6
17+200 4.2 3.8 6 5.8 5.5 5.2
17+300 3.9 4.2 3.6 5.5 7.1 4.9
17+400 4.6 4.6 3.2 4.5 7.1 6.5
17+500 4.8 4.5 3.2 7 6.8 7.5
17+600 2.7 3.6 5.7 6.7 6.8 8.2
17+700 3.1 3.3 4.4 5.9 5.3 9
17+800 3.7 3.8 4.6 5.3 5.6 8.1
17+900 5.8 4.8 5.5 7.1 6.3 8.6
18+000 3.6 4.9 4.2 5.7 6.7 4.4
18+100 3.4 2.9 2.8 4.4 4.8 4.2
18+200 3.3 4 5 7.2 7.8 8.2
18+300 3.1 2.8 3.8 6.5 7.2 7.9
18+400 2.9 3.4 4.4 6.5 7.3 8.1
18+500 2.8 2.8 3.5 7.5 6.9 8.8
18+600 2.8 3.3 3.1 6.9 4.3 5.1

30
Tabel IV.1 Data nilai IRI segmen 1 per-100 meter tahun 2011-2016 (lanjutan).

Nilai IRI
Segmen 1
2011 2012 2013 2014 2015 2016
18+700 2.4 2.9 2.5 4.8 5.3 7.5
18+800 3.5 3.4 3.1 7.1 4.1 4.9
18+900 2.4 2.5 3.3 6.6 7.8 8.4
19+000 2.7 2.9 4 7.8 8.3 8.8
19+100 2.6 2.3 3.4 8.4 8.2 9.3
19+200 2.5 2.5 6.1 6.6 5.5 4.8
19+300 2.9 3.3 3.1 4.7 4.8 6.5
19+400 3.4 3.2 4.1 5.7 6.1 6.7
19+500 3.4 3.3 6.7 6.8 5.8 7.2
19+600 2.4 3.5 6.8 7.4 4.9 5.4
19+700 2.3 4.2 6.7 6.3 6.7 5.8
19+800 3.1 3.4 6.6 4.9 5.9 7.4
19+900 3.3 3.2 7 7.7 6.3 5.9
20+000 3.2 3.3 7.8 7.3 4.7 6.5
20+100 3.5 3.4 7.2 5.7 5.5 7.3

Tabel IV.2 Data nilai IRI segmen 2 per-100 meter tahun 2011-2016

Nilai IRI
Segmen 2
2011 2012 2013 2014 2015 2016
25+000 3 3.4 4 4.3 5.5 5.9
25+100 2.5 2.6 3.1 3.8 4.5 5.2
25+200 3 3.2 3.8 4.7 5.1 5.8
25+300 2.2 2.3 3.6 4.6 5.6 6.4
25+400 2.5 2.8 3.9 5.6 6.3 7.3
25+500 2.2 2.7 2.1 4.9 6.9 7.5
25+600 3.1 3.6 3.9 4.7 3.2 4.2
25+700 4 3.6 5 5.6 6.2 6.3
25+800 4 5.7 4.4 6.8 8.4 10.8
25+900 2.9 3.2 6 6 7.4 9.2
26+000 2.8 3.2 4.4 6.4 5.9 8.5
26+100 3.8 3.9 4.7 4.2 6.2 4.7
26+200 3.6 4.1 3.8 5.8 5.4 5.9
26+300 2.6 2.6 4 5.2 6.8 5.8
26+400 2.1 2.3 3 4.6 5.8 7.3
26+500 2.7 3.6 4.3 5.1 3.8 4.6
26+600 2.6 2.9 4 6.7 6.4 8.1
26+700 2.6 3 4.4 6.8 8.3 8.2
26+800 2.1 2.3 3.4 2.4 4.8 6.3
26+900 2.4 2.8 3.8 4.5 6.3 8.9
31
Tabel IV.2 Data nilai IRI segmen 2 per-100 meter tahun 2011-2016 (lanjutan)

Nilai IRI
Segmen 2
2011 2012 2013 2014 2015 2016
27+000 2.7 3.8 3.9 6 5.9 7.5
27+100 3.7 3.8 4.7 4.4 5.4 6
27+200 2.7 2.8 4.2 4.7 5 6.7

Tabel IV.3 Data nilai IRI segmen 3 per-100 meter tahun 2011-2016

Nilai IRI
Segmen 3
2011 2012 2013 2014 2015 2016
30+700 3.6 4 3.4 5.2 4.7 5.2
30+800 3.7 4 3.4 3.9 4.7 4.8
30+900 3.7 3.8 4 4.6 5.1 5.6
31+000 2.9 3.3 4.4 4.8 5.4 6.2
31+100 3 3 3.9 3.9 4.2 4.2
31+200 3 3.4 5.1 6.2 5.8 7.2
31+300 3.3 3 4.6 4 6.5 6.9
31+400 3.3 3.8 3.7 3.8 5.1 7.4
31+500 3.1 3.2 4.1 4 6.4 7.1
31+600 2.8 3.2 5.4 5.8 8.3 8.4
31+700 2.8 2.9 4.4 5.7 6.2 8.2
31+800 3 3.8 3.5 4.9 7.7 8.1
31+900 3.1 3 3.9 4.2 4.2 6.1
32+000 4 3.7 5 5.8 5.2 6.9
32+100 4 3.9 6.6 7.6 7.6 7
32+200 3.8 2.8 3.2 4.5 5.4 6.6
32+300 4 3.5 4.3 5.3 5.6 6.9
32+400 3.2 4 4.1 4.5 5.6 4.4
32+500 3 3.8 4.7 5.2 5.8 5.6
32+600 3 3.2 3.2 4.7 7.4 6.1
32+700 3.2 3.1 4.7 6 6.8 7.2
32+800 3.3 3.6 4.8 5.5 5.7 8.1
32+900 2.5 2.7 4.6 6.9 7.2 8.3
33+000 2.8 3.3 3.4 3 5.6 6.1
33+100 3.1 3.7 3.6 4.2 6.1 6.4
33+200 2.5 2.8 4.3 4.9 6.9 6.4
33+300 2.9 2.7 3.5 4.7 4.8 5.8
33+400 3 2.5 5 6.3 5.9 5.2
33+500 2.7 2.9 4.4 6.1 6.1 5.3
33+600 3.3 3.1 4.1 4.2 4.6 4.9
33+700 3.1 3.4 4.1 4.9 6.1 6.1

32
Nilai IRI (m/km) Nilai IRI (m/km)

0
1
3
4
5
6
7
8
9

2
10
12

0
2
4
6
8
25+000 16+100
16+200
25+100 16+300
25+200 16+400
16+500
25+300 16+600
16+700
25+400 16+800
16+900
25+500

2011
17+000

2011
25+600 17+100
17+200
25+700 17+300

2012
17+400

2012
25+800 17+500
17+600

33
25+900 17+700

2013
17+800
2013
26+000
17+900
26+100 18+000
18+100

2014
Stationing
26+200 18+200
2014
Stationing

26+300 18+300
18+400

Nilai IRI Segmen 2


26+400 18+500

2015
Nilai IRI Segmen 1

2015

18+600
26+500 18+700
18+800
26+600 18+900

2016
2016

19+000

Gambar IV.3 Data nilai IRI segmen 2 tahun 2011-2016


Gambar IV.2 Data nilai IRI segmen 1 tahun 2011-2016

26+700
19+100
26+800 19+200
19+300
26+900 19+400
19+500
27+000 19+600
27+100 19+700
19+800
27+200 19+900
20+000
20+100
Nilai IRI Segmen 3
9
8
7
Nilai IRI (m/km)

6
5
4
3
2
1
0

31+800

33+500
30+700
30+800
30+900
31+000
31+100
31+200
31+300
31+400
31+500
31+600
31+700

31+900
32+000
32+100
32+200
32+300
32+400
32+500
32+600
32+700
32+800
32+900
33+000
33+100
33+200
33+300
33+400

33+600
33+700
Stationing

2011 2012 2013 2014 2015 2016

Gambar IV.4 Data nilai IRI segmen 3 tahun 2011-2016

Dalam melakukan analisa menggunakan metode Patterson, digunakan rentang


jarak per-200 meter. Perubahan tersebut ditujukan untuk menyamakan unit analisa
antara kondisi fungsional dan kondisi struktural. Sehingga data nilai IRI menjadi
sebagai berikut:

Tabel IV.4 Data nilai IRI segmen 1 per-200 meter tahun 2011-2016.
Nilai IRI
Segmen 1
2011 2012 2013 2014 2015 2016
16+100 4.05 4.55 4.05 6.65 5.6 7.4
16+300 3.45 4.35 5.6 6.75 6.2 8.8
16+500 3.1 3.5 4.25 5.9 6.4 7.1
16+700 4 3.75 5.35 5.95 8.35 9.65
16+900 5.05 5.2 4 6.15 6.3 5.45
17+100 4.35 3.95 5.5 6.65 6.1 4.9
17+300 4.25 4.4 3.4 5 7.1 5.7
17+500 3.75 4.05 4.45 6.85 6.8 7.85
17+700 3.4 3.55 4.5 5.6 5.45 8.55
17+900 4.7 4.85 4.85 6.4 6.5 6.5
18+100 3.35 3.45 3.9 5.8 6.3 6.2
18+300 3 3.1 4.1 6.5 7.25 8
18+500 2.8 3.05 3.3 7.2 5.6 6.95
34
Tabel IV.4 Data nilai IRI segmen 1 per-200 meter tahun 2011-2016 (lanjutan).

Nilai IRI
Segmen 1
2011 2012 2013 2014 2015 2016
18+700 2.95 3.15 2.8 5.95 4.7 6.2
18+900 2.55 2.7 3.65 7.2 8.05 8.6
19+100 2.55 2.4 4.75 7.5 6.85 7.05
19+300 3.15 3.25 3.6 5.2 5.45 6.6
19+500 2.9 3.4 6.75 7.1 5.35 6.3
19+700 2.7 3.8 6.65 5.6 6.3 6.6
19+900 3.25 3.25 7.4 7.5 5.5 6.2
20+100 3.5 3.4 7.2 5.7 5.5 7.3

Tabel IV.5 Data nilai IRI segmen 2 per-200 meter tahun 2011-2016.
Nilai IRI
Segmen 2
2011 2012 2013 2014 2015 2016
25+000 2.75 3 3.55 4.05 5 5.55
25+200 2.6 2.75 3.7 4.65 5.35 6.1
25+400 2.35 2.75 3 5.25 6.6 7.4
25+600 3.55 3.6 4.45 5.15 4.7 5.25
25+800 3.45 4.45 5.2 6.4 7.7 7.7
26+000 3.3 3.55 4.55 5.3 6.05 5.45
26+200 3.1 3.35 3.9 5.5 6.1 5.85
26+400 2.4 2.95 3.65 4.85 5 5.95
26+600 2.6 2.95 4.2 6.05 6.05 7.5
26+800 2.25 2.55 3.6 3.45 5.15 6.1
27+000 3.2 3.8 4.3 5.2 5.65 6.75
27+200 2.7 2.8 4.2 4.7 5 6.7

Tabel IV.6 Data nilai IRI segmen 3 per-200 meter tahun 2011-2016.
Nilai IRI
Segmen 3
2011 2012 2013 2014 2015 2016
30+700 3.65 4 3.4 4.55 4.7 5
30+900 3.3 3.55 4.2 4.7 5.25 5.9
31+100 3 3.2 4.5 5.05 5 5.7
31+300 3.3 3.4 4.15 3.9 5.8 7.15
31+500 2.95 3.2 4.75 4.9 7.35 7.75
31+700 2.9 3.35 3.95 5.3 6.95 8.15
31+900 3.55 3.35 4.45 5 4.7 6.5
32+100 3.9 3.35 4.9 6.05 6.5 6.8
32+300 3.6 3.75 4.2 4.9 5.6 5.65
32+500 3 3.5 3.95 4.95 6.6 5.85

35
Tabel IV.6 Data nilai IRI segmen 3 per-200 meter tahun 2011-2016 (lanjutan).

Nilai IRI
Segmen 3
2011 2012 2013 2014 2015 2016
32+700 3.25 3.35 4.75 5.75 6.25 7.65
32+900 2.65 3 4 4.95 6.4 7.2
33+100 2.8 3.25 3.95 4.55 6.5 6.4
33+300 2.95 2.6 4.25 5.5 5.35 5.5
33+500 3 3 4.25 5.15 5.35 5.1
33+700 3.1 3.4 4.1 4.9 6.1 6.1

IV.4 Data Struktur Perkerasan Existing

Data struktur perkerasan existing diperoleh dari data yang dikeluarkan oleh
Pejabat Pembuat Komitmen 06 Ruas Manado-Bitung. Data tersebut diverifikasi
oleh survey Test Pit yang dikeluarkan oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XV
pada tahun 2015. Survey Test Pit ini dilakukan pada KM 18+000 , KM 25+000
dan KM 32+000.

AC-WC 4 cm
AC-WC 4 cm
AC-WC 4 cm
AC-BC 5.5 cm

Aggregat Kelas A 20 cm

Aggregat Kelas B 25 cm
Tanah Dasar

Gambar IV.5 Data struktur perkerasan sxisting segmen 1 KM 18+000

36
AC-WC 4 cm
AC-WC 4 cm
AC-BC 5.5 cm

Aggregat Kelas A 20 cm

Aggregat Kelas B 25 cm
Tanah Dasar
Gambar IV.6 Data struktur perkerasan existing segmen 2 KM 25+000

AC-WC 4 cm
AC-WC 4 cm
AC-BC 5.5 cm

Aggregat Kelas A 20 cm

Aggregat Kelas B 25 cm
Tanah Dasar
Gambar IV.7 Data struktur perkerasan existing segmen 3 KM 32+000

Berdasarkan data pemrograman yang dikeluarkan oleh Balai Pelaksanaan Jalan


Nasional XV, bahwa Jalan Manado-Bitung dilakukan pembangunan pada tahun
2002 telah beberapa kali mengalami overlay. Overlay terakhir adalah pada tahun
2010 pada pada ruas Manado-Bitung (KM 8+100 sampai dengan 33+760).
Sedangkan untuk tipe jalan ruas Manado-Bitung adalah bertipe 2/2 UD dengan
lebar 7 m.

37
IV.5 Data Lalu Lintas

Dalam melakukan prediksi Umur Sisa Jalan dibutuhkan data volume lalu lintas
pada ruas yang ditinjau. Data historis volume lalu lintas adalah data sekunder
yang didapat berdasarkan IRMS P2JN Sulawesi Utara yang akan digunakan untuk
perhitungan nilai ESAL. Pada studi ini, dilakukan pembagian golongan kendaraan
sesuai klasifikasi yang telah ditetapkan oleh Bina Marga seperti pada Gambar
IV.8.

Gambar IV.8 Klasifikasi golongan kendaraan menurut Bina Marga (PdT 19-2004-
B, 2004)

Volume lalu lintas pada Jalan Nasional Manado-Bitung diperoleh dari data
sekunder yang diambil dari Indonesia Road Management System (IRMS). Tabel
IV.7, IV.8 dan IV.9 menunjukkan data kendaraan per jenis golongan dari Tahun
2011-2016

38
Tabel IV. 7 Data AADT per Golongan Kendaraan Tahun 2011-2016 Segmen 1
Golongan Kendaraan Total Volume
Tahun
Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C Lalu Lintas
2011 19,475 3,128 3,584 245 249 315 2,563 452 46 137 30,194
2012 18,993 2,573 3,987 411 237 244 1,944 941 72 233 29,635
2013 19,033 3,507 4,617 708 556 394 1,543 531 91 271 31,251
2014 18,834 2,732 4,002 605 220 721 3,996 799 101 208 32,218
2015 20,625 4,910 2,916 710 315 404 1,272 1,003 51 127 32,333
2016 19,584 4,647 4,586 389 533 181 2,971 658 120 190 33,859

Tabel IV. 8 Data AADT per Golongan Kendaraan Tahun 2011-2016 Segmen 2
Golongan Kendaraan Total Volume
Tahun
Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C Lalu Lintas
2011 18,845 3,012 2,659 87 222 379 2,309 584 13 132 28,242
2012 19,978 3,201 2,557 111 458 396 2,504 453 82 188 29,928
2013 20,983 2,964 2,594 79 239 282 2,862 654 98 123 30,878
2014 21,844 3,142 2,061 133 216 615 3,278 710 23 131 32,153
2015 24,150 2,885 1,839 106 419 468 2,503 611 38 96 33,115
2016 23,347 2,795 2,900 85 470 256 3,183 815 45 138 34,034

39
Tabel IV. 9 Data AADT per Golongan Kendaraan Tahun 2011-2016 Segmen 3
Golongan Kendaraan Total Volume
Tahun
Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C Lalu Lintas
2011 15,765 4,556 3,853 60 279 264 1,928 913 20 118 27,756
2012 16,203 4,608 3,885 116 179 562 2,195 763 116 85 28,712
2013 18,067 4,862 4,187 136 135 385 1,823 521 39 173 30,328
2014 19,952 4,530 4,469 101 276 270 1,946 456 65 154 32,219
2015 19,126 4,643 5,034 97 175 778 2,263 1,027 111 163 33,417
2016 20,139 4,717 5,598 126 200 258 2,066 645 78 130 33,957

40
Dalam melakukan perhitungan ESAL diperlukan nilai Truck Factor (TF) yang
didapatkan dari survey Weight In Motion (WIM). Tetapi dengan keterbatasan
data, dipakai TF standar untuk MST 10 ton, mengingat bahwa Jalan Manado-
Bitung adalah Jalan Nasional yang menghubungkan Kota Bitung dengan Kota
Manado.

Tabel IV. 10 Faktor Truk berdasarkan Bina Marga (MST 10 Ton)


Golongan Konfigurasi Truck Factor
No Tipe Kendaraan
Kendaraan Roda (MST 10 ton)
1 Gol. 2 Sedan, Jeep dan Station Wagon 1.1 0.00235
2 Gol. 3 Opelet, Sub Urban dan Combi 1.1 0.00235
3 Gol. 4 Pick Up, Mobil Hantaran dan Box 1.1 0.00235
4 Gol. 5A Bus Kecil 1.1 1.61942
5 Gol. 5B Bus Besar 1.2 3.00398
6 Gol. 6A Truk 2 sumbu (4 roda) 1.2 1.14844
7 Gol. 6B Truk 2 sumbu (6 roda) 1.2 6.41474
8 Gol. 7A Truk 3 sumbu 1.2.2 5.24222
9 Gol. 7B Truk Gandendan 1.2+2.2 4.85788
10 Gol. 7C Semi Trailer 1.2.2+2.2 10.08099

IV.6 Data Lendutan Perkerasan

Data lendutan diperoleh dari alat Falling Weight Deflectometer (FWD) yang
dilakukan pada Jalan Manado-Bitung pada bulan November 2015 dengan interval
200 meter. Pada saat pengukuran lendutan FWD, temperatur perkerasan dan tebal
lapisan perkerasan dilakukan pencatatan.
Adapun parameter yang digunakan ketika dilakukan pengukuran lendutan adalah
sebagai berikut:
1. Diameter Pelat
Pelat yang digunakan oleh alat FWD adalah pelat dengan diameter 300 mm
untuk perkerasan lentur
2. Berat Beban Pelat

41
Berat beban yang dijatuhkan menggunakan pelat ini digunakan untuk
mempresentasikan tekanan ban pada permukaan perkerasan dengan untuk
pengujin ini berat beban yang digunakan adalah 200 kg.
3. Tinggi Jatuh Beban
Berat beban dan tinggi jatuh beban berfungsi untuk merefleksikan beban
impuls yang diberikan kepada perkerasan untuk menimbulkan besar lendutan
yang diinginkan jika lendutan yang ditimbulkan besar, antara 1 mm s/d 1,5
mm, maka berat beban dan tinggi jatuh harus direduksi. Pada pengujian FWD,
tinggi jatuh adalah sebesar 315 mm.
4. Jarak Antar Deflektor
Alat FWD memiliki 9 buah deflektor yang dapat diatur jaraknya sesuai
dengan tebal total perkerasan, pada pengujian FWD digunakan jarak deflector
adalah: 0; 200; 300; 450; 600; 750; 900; 1200; 1500 (mm).
Dengan parameter-parameter di atas, dilakukan pengujian pada 3 segmen sesuai
dengan data di bawah ini:

Tabel IV. 11 Data lendutan jalan Manado-Bitung segmen 1.


Lendutan (0.001 mm)
STA. P (KN)
D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9
16+100 40.45 420.90 374.90 330.10 279.20 218.50 181.60 154.40 103.20 82.20
16+300 40.43 387.00 290.30 235.70 181.30 125.20 96.70 78.30 53.70 42.70
16+500 40.42 303.20 249.90 185.20 154.40 125.60 108.70 97.20 72.40 58.20
16+700 40.43 401.80 286.50 237.60 182.20 124.20 96.10 78.10 54.60 42.00
16+900 40.24 343.20 350.20 296.40 243.40 205.50 166.70 142.60 117.40 87.30
17+100 40.31 380.30 297.80 235.30 181.10 119.20 97.30 77.60 53.10 38.40
17+300 40.74 373.00 276.80 230.40 191.60 150.00 127.20 109.20 78.20 58.40
17+500 40.29 326.50 301.50 267.10 227.40 175.40 147.40 119.40 79.40 58.50
17+700 40.42 353.40 247.50 207.60 169.60 127.90 107.70 91.90 70.30 53.20
17+900 40.36 341.40 301.70 268.20 223.20 172.20 142.70 119.70 77.80 57.70
18+100 40.28 568.10 503.50 421.80 336.90 249.20 201.40 171.10 117.10 89.10
18+300 40.15 369.60 313.80 273.70 223.10 166.30 143.10 122.70 88.20 84.40
18+500 40.35 495.70 411.50 342.30 281.30 223.60 188.30 160.50 116.60 92.60
18+700 40.33 383.80 311.50 268.30 227.10 170.80 144.10 123.90 89.50 69.80
18+900 39.85 325.00 245.90 215.50 181.20 151.60 128.10 111.10 82.40 66.90
19+100 40.40 332.80 315.20 266.10 223.30 157.80 142.10 122.00 87.90 65.00
19+300 40.36 330.60 231.10 197.70 164.80 130.60 113.80 96.50 68.50 51.40
19+500 40.59 334.40 271.10 222.30 167.90 125.30 101.10 86.20 61.20 54.00

42
Tabel IV. 11 Data lendutan jalan Manado-Bitung segmen 1 (lanjutan).

Lendutan (0.001 mm)


STA. P (KN)
D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9
19+700 40.26 335.40 263.00 234.00 200.80 165.80 144.50 128.80 96.30 77.10
19+900 40.42 330.10 271.70 215.20 173.40 123.30 99.30 84.60 63.00 53.10
20+088 40.36 372.30 299.60 243.10 200.60 157.00 131.90 113.80 80.30 63.00

Tabel IV. 12 Data lendutan jalan Manado-Bitung segmen 2.


Lendutan (0.001 mm)
STA. P (KN)
D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9
25+000 40.54 845.50 814.70 730.90 615.90 462.50 376.30 304.30 186.40 135.20
25+200 40.18 291.10 199.50 170.50 141.90 112.40 96.00 83.60 59.10 43.60
25+400 40.22 802.80 807.50 726.80 608.20 458.40 372.00 303.00 167.80 135.20
25+600 40.42 372.20 241.30 200.70 158.50 122.10 102.80 89.30 67.30 53.60
25+800 40.22 417.10 335.70 306.90 260.00 210.30 179.40 154.00 109.00 79.70
26+000 39.99 318.20 196.60 167.80 142.70 114.10 96.60 81.80 57.10 41.10
26+200 40.28 405.20 336.30 304.10 260.20 208.80 179.00 152.60 107.30 78.00
26+400 38.81 330.30 218.50 186.70 154.70 119.60 99.50 85.40 61.60 46.50
26+600 40.45 407.60 336.70 305.00 260.90 210.10 179.00 153.10 107.70 78.70
26+800 39.61 261.00 162.90 137.80 113.30 87.30 72.80 62.90 44.50 35.50
27+000 40.56 425.30 338.20 304.70 261.30 209.40 180.70 153.00 109.00 78.90
27+200 39.34 434.90 371.90 303.80 232.00 162.90 130.60 103.00 67.10 48.00

Tabel IV. 13 Data lendutan jalan Manado-Bitung segmen 3.


Lendutan (0.001 mm)
STA. P (KN)
D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9
30+700 39.90 221.20 113.50 84.70 57.90 33.60 23.60 17.00 7.60 4.50
30+900 40.21 409.90 208.30 183.80 153.00 121.40 104.20 92.60 73.50 62.20
31+100 39.97 909.10 183.10 154.40 122.10 88.90 73.60 60.90 40.50 29.50
31+300 40.75 391.90 212.30 186.60 155.80 123.40 102.10 94.50 74.70 62.70
31+500 40.08 223.10 112.40 93.70 77.70 59.80 51.30 42.90 31.80 23.90
31+700 40.42 471.00 209.90 185.20 153.70 123.30 103.90 93.60 74.20 62.40
31+900 40.24 414.80 338.60 286.40 231.10 170.80 141.30 116.30 75.00 54.50
32+100 40.45 432.90 210.50 185.60 155.00 123.50 102.20 94.10 74.20 62.50
32+300 39.99 464.90 347.30 293.60 245.00 191.60 159.40 137.50 96.20 73.50
32+500 40.29 442.90 397.70 357.00 303.70 238.80 201.60 168.20 112.90 80.90
32+700 40.43 209.60 115.90 101.20 87.00 71.40 61.90 55.30 42.70 36.30
32+900 40.22 445.70 395.90 356.50 303.70 238.50 203.40 167.20 111.30 82.30
33+100 40.38 441.30 354.70 294.30 220.10 156.30 123.20 99.70 66.90 55.70
33+300 40.15 452.30 393.40 356.50 305.20 237.90 202.50 167.00 112.20 81.60
33+500 40.33 645.60 158.90 134.90 114.80 92.40 80.20 69.30 49.70 36.90
33+700 40.36 393.10 341.10 298.60 262.90 213.60 183.10 160.00 115.20 89.50

43
IV.7 Data Temperatur

Data temperatur yang dibutuhkan adalah temperatur perkerasan pada saat


dilakukan pengujian. Pada setiap titik, dilakukan pengambilan temperatur
perkerasan. Temperatur ini akan digunakan untuk sebagai faktor koreksi lendutan.
Tabel IV.14 Data temperatur perkerasan jalan Manado-Bitung segmen 1

Posisi Temperatur
(STA.) Perkerasan (0C)
16+100 35.4
16+300 37.1
16+500 36.9
16+700 35.7
16+900 36.8
17+100 38.6
17+300 36.3
17+500 38
17+700 36.6
17+900 39.5
18+100 32.8
18+300 39.7
18+500 36.4
18+700 38.2
18+900 35.2
19+100 38.7
19+300 33.7
19+500 36.2
19+900 33.6
20+100 33.2

Tabel IV.15 Data temperatur perkerasan jalan Manado-Bitung segmen 2

Posisi Temperatur
(STA.) Perkerasan (0C)
25+000 39.5
25+200 35.4
25+400 39.7
25+800 38.2
26+000 36.9
26+200 38.7
26+400 36.8

44
Tabel IV.15 Data temperatur perkerasan jalan Manado-Bitung segmen 2 (lanjutan)

Posisi Temperatur
(STA.) Perkerasan (0C)
26+600 36.2
26+800 36.3
27+000 33.6
27+200 36.6

Tabel IV.16 Data temperatur perkerasan jalan Manado-Bitung segmen 3

Posisi Temperatur
(STA.) Perkerasan (0C)
30+700 34
30+900 32.6
31+100 34.5
31+300 32
31+500 35
31+700 31
31+900 35.2
32+100 30.2
32+300 34.8
33+100 34.2
33+300 30.8
33+500 31.2
33+700 30.3

IV.8 Data CBR Tanah Dasar

Dalam menentukan nilai Structural Number kontribusi tanah dasar (SNsg)


diperlukan adanya data CBR tanah dasar. Data CBR tanah dasar adalah data
sekunder yang berasal dari P2JN Sulawesi Utara yang diperoleh dari dokumen
perencanaan tahun 2010. Terdapat pula perbandingan data CBR yang dilakukan
oleh BPJN XV pada tahun 2015.
Tabel IV. 17 Data CBR tanah dasar segmen 1.
Nilai CBR Subgrade
Segmen 1
2010 2015 2016
16+100 6.80 1.7
16+200 7.20 2.5
16+300 6.70 3.3
4.5
16+400 5.80 3.0
16+500 6.30 2.7
16+600 5.90 3.0
45
Tabel IV. 17 Data CBR tanah dasar segmen 1 (lanjutan).

Nilai CBR Subgrade


Segmen 1
2010 2015 2016
16+700 6.60 3.3
16+800 6.00 2.6
16+900 5.80 1.8
17+000 6.60 2.6
17+100 6.10 3.3
17+200 7.00 2.9
17+300 6.30 2.4
17+400 7.30 2.3
17+500 6.80 2.2
17+600 6.90 2.5
17+700 6.10 2.8
17+800 6.30 2.5
17+900 6.20 2.2
18+000 5.80 1.9
18+100 6.10 1.5
18+200 6.30 1.8
18+300 6.00 2.1
18+400 6.20 1.9
18+500 7.10 1.6
18+600 5.80 1.9
18+700 6.00 2.1
18+800 7.10 2.2
18+900 7.20 2.3
19+000 6.50 2.2
19+100 5.90 2. 1
19+200 6.50 2.4
19+300 6.40 2.7
19+400 6.90 2.9
19+500 5.90 3.0
19+600 6.70 2.5
19+700 6.30 2.0
19+800 7.10 2.5
19+900 7.50 3.0
20+000 6.40 2.7
20+088 6.10 2.3

Tabel IV. 18 Data CBR tanah dasar Segmen 2.


Nilai CBR Subgrade
Segmen 2
2010 2015 2016
25+000 7.30 0.9 3.2

46
Tabel IV. 18 Data CBR tanah dasar segmen 2 (lanjutan).

Nilai CBR Subgrade


Segmen 2
2010 2015 2016
25+100 6.50 2.0
25+200 6.90 3.1
25+300 7.30 2.0
25+400 7.50 0.8
25+500 6.90 1.9
25+600 6.40 2.9
25+700 7.40 2.3
25+800 6.50 1.7
25+900 7.30 2.4
26+000 6.70 3.1
26+100 6.20 2.4
26+200 7.10 1.7
26+300 6.90 2.3
26+400 7.10 2.9
26+500 6.00 2.3
26+600 7.40 1.7
26+700 6.20 2.9
26+800 6.40 4.0
26+900 6.50 2.9
27+000 7.30 1.7
27+100 6.50 2.1
27+200 6.40 2.4
27+220 5.80 2.2

Tabel IV. 19 Data CBR tanah dasar segmen 3.


Nilai CBR Subgrade
Segmen 3
2010 2015 2016
30+700 7.10 15.0
30+800 7.20 8.9
30+900 6.00 2.8
31+000 7.40 3.5
31+100 7.00 4.2
31+200 7.50 3.5
31+300 6.70 2.8 3.9
31+400 7.00 4.4
31+500 6.30 6.0
31+600 6.60 4.4
31+700 6.20 2.8
31+800 7.10 2.5
31+900 6.90 2.2

47
Tabel IV. 19 Data CBR tanah dasar segmen 3 (lanjutan).

Nilai CBR Subgrade


Segmen 3
2010 2015 2016
32+000 5.80 2.5
32+100 5.90 2.7
32+200 5.80 2.3
32+300 6.50 1.9
32+400 6.70 1.7
32+500 7.50 1.5
32+600 7.40 3. 1
32+700 6.00 4.7
32+800 6.40 3.1
32+900 6.70 1.5
33+000 6.50 2.1
33+100 6.60 2.6
33+200 6.90 2.1
33+300 6.30 1.5
33+400 7.20 2.6
33+500 7.20 3.7
33+600 6.40 2.7
33+700 6.40 1.6
33+760 6.40 1.4

IV.9 Pemetaan Kebutuhan Data

Dalam analisa, diperlukan adanya pemetaan kebutuhan data untuk dapat


melakukan analisa yang terstruktur. Kebutuhan data yang dimaksud, dibedakan
untuk setiap metode dan tahun diperlukannya.

Tabel IV. 20 Pemetaan kebutuhan data.


Metode
Data Tahun Survivor
Patterson AASHTO
Curve
2011 √ √
2012 √ √
Volume Lalu 2013 √ √
Lintas 2014 √ √
2015 √ √
2016 √ √
Temperatur
2015 √
perkerasan

48
Tabel IV. 20 Pemetaan kebutuhan data (lanjutan).

Metode
Data Tahun Survivor
Patterson AASHTO
Curve
Data Alat FWD 2015 √
2011 √ √
2012 √ √
2013 √ √
IRI
2014 √ √
2015 √ √ √
2016 √ √
2010 √
Parameter lapis
2015 √
perkerasan
2016 √
2010 √
CBR tanah dasar
2016 √

49
50
Bab V Analisis Data

Berdasarkan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber dan data-data hasil
olahan pada BAB IV, maka dilakukan analisa untuk menghasilkan tujuan
penelitian. Pada dasarnya, analisa terbagi dalam:
1. Analisa Nilai RSL berdasarkan metode Patterson
2. Analisa Nilai RSL berdasarkan metode AASHTO 1993
3. Analisa Nilai RSL berdasarkan metode Survivor Curve

V.1. Prediksi Nilai RSL berdasarkan AASHTO 1993

Terdapat 3 tahapan dalam menentukan nilai RSL dengan menggunakan metode


AASHTO 1993, yaitu:
1. Penentuan kumulatif ESAL
2. Penentuan lendutan wakil
3. Perhitungan SNeff
4. Prediksi umur sisa perkerasan

Lendutan Wakil untuk menentukan lendutan yang mewakili suatu segmen dan
dikoreksi dengan faktor temperatur perkerasan. Lendutan wakil digunakan untuk
menghitung nilai kapasitas struktural perkerasan saat pengamatan (SNeff) dengan
memakai metode AASHTO 1993. Kemudian dengan membandingkan kapasitas
struktural perkerasan saat pengamatan (SNeff) dan kapasitas struktural perkerasan
saat jalan dibangun, maka dapat diketahui umur sisa perkerasan.

V.1.1 Penentuan Nilai Kumulatif ESAL

Nilai Kumulatif ESAL adalah jumlah kumulatif beban ekivalen 18 ESAL selama
satu tahun. Nilai ESAL didapatkan dengan mengkalikan nilai volume lalu lintas
harian rata-rata (LHR) pada tahun yang ditinjau dengan Truck Factor (TF),
koefisien distribusi arah, koefisien distribusi lajur dan jumlah hari dalam satu
tahun.

51
Dalam melakukan prediksi kondisi jalan, diperlukan adanya prediksi pertumbuhan
lalu lintas. Faktor pertumbuhan lalu lintas dihitung dengan rumus:
(𝑖+1)𝑛 −1
𝑇𝐺𝐹 = ..................................................................................................(V.1)
𝑖

Dengan i adalah angka pertumbuhan lalu lintas yang dihitung dengan rumus:
𝐿𝐻𝑅𝑛 −𝐿𝐻𝑅𝑛−1
𝑖𝑛 = 𝑥100%..................................................................................(V.2)
𝐿𝐻𝑅𝑛−1

Keterangan:
LHRn = LHR tahun ditinjau

Sesuai dengan Tabel IV.4, IV.5 dan IV.6 bahwa pada tahun 2011-2016 volume
lalu lintas memakai data hasil survei, sedangkan volume lalu lintas setelah tahun
2016 memakai Metode Increment. Yaitu dengan mencari nilai rata-rata
pertumbuhan lalu lintas dari tahun 2011-2016. Berdasarkan data volume lalu
lintas, diperoleh rata-rata pertumbuhan lalu lintas sebagai berikut:

Tabel V.1 Pertumbuhan rata-rata ruas Manado-Bitung segmen 1


Kendaraan Ringan Kendaraan Berat Pertumbuhan
Tahun Total
Jumlah % Jumlah % (%)
2011 26,681 88.37 3,513 11.63 30,194
2012 26,201 88.41 3,434 11.59 29,635 -1.85
2013 28,421 90.94 2,830 9.06 31,251 5.45
2014 26,393 81.92 5,825 18.08 32,218 3.09
2015 29,476 91.16 2,857 8.84 32,333 0.36
2016 29,739 87.83 4,120 12.17 33,859 4.72
Pertumbuhan Rata-Rata 2011-2016 2.35

Tabel V.2 Pertumbuhan rata-rata ruas Manado-Bitung segmen 2


Kendaraan Ringan Kendaraan Berat Pertumbuhan
Tahun Total
Jumlah % Jumlah % (%)
2011 24,825 87.90 3,417 12.10 28,242
2012 26,305 87.89 3,623 12.11 29,928 5.97
2013 26,859 86.98 4,019 13.02 30,878 3.17
2014 27,396 85.21 4,757 14.79 32,153 4.13
2015 29,399 88.78 3,716 11.22 33,115 2.99
2016 29,597 86.96 4,437 13.04 34,034 2.78
Pertumbuhan Rata-Rata 2011-2016 3.81

52
Tabel V.3 Pertumbuhan rata-rata ruas Manado-Bitung segmen 3
Kendaraan Ringan Kendaraan Berat Pertumbuhan
Tahun Total
Jumlah % Jumlah % (%)
2011 24,513 88.32 3,243 11.68 27,756
2012 24,991 87.04 3,721 12.96 28,712 3.44
2013 27,387 90.30 2,941 9.70 30,328 5.63
2014 29,328 91.03 2,891 8.97 32,219 6.24
2015 29,075 87.01 4,342 12.99 33,417 3.72
2016 30,780 90.64 3,177 9.36 33,957 1.62
Pertumbuhan Rata-Rata 2011-2016 4.13

Dengan menggunakan data LHR pada tabel V.1, V.2 dan V.3 serta dengan
memakai beban sumbu standar di Indonesia memakai data pada Tabel IV.7, maka
dapat dihitung kumulatif ESAL dari tahun 2011-2020. Hasil perhitungan untuk
kumulatif ESAL adalah sebagai berikut:

Tabel V.4 Kumulatif ESAL pada ruas Manado-Bitung

CESA (ESA/LAJUR)
Tahun
Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3
2011 4,011,918 3,753,591 3,601,783
2012 7,994,006 7,914,899 7,421,441
2013 11,495,943 12,429,145 10,613,446
2014 17,872,146 17,505,560 13,918,995
2015 21,079,120 21,602,168 18,249,127
2016 26,100,172 26,750,881 21,807,200
2017 36,260,499 36,984,192 32,040,511
2018 41,520,777 42,394,937 37,451,256
2019 46,904,908 48,011,727 43,068,047
2020 52,415,810 53,842,410 48,898,729
2021 58,056,466 70,128,440 65,184,759
2022 63,829,931 81,822,397 76,878,716
2023 69,739,334 93,961,669 89,017,988

V.1.2 Analisa Lendutan


Sebelum data lendutan dapat mempresentasikan kondisi jalan secara keseluruhan,
diperlukan adanya analisa lendutan agar terhindar dari keadaan over design.
AASHTO 1993 menyatakan bahwa segmentasi lendutan dilakukan dengan cara

53
mengusahakan setiap segmen memiliki tingkat keseragaman yang sama (Faktor
Keseragaman <30%). Nilai lendutan yang digunakan untuk segmentasi adalah di
pusat beban (d1), dikarenakan lendutan tersebut dapat mempresentasikan seluruh
lapisan perkerasan. Untuk menganalisa keseragaman lendutan digunakan
persamaan sebagai berikut:

𝐷𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙 = 𝑑𝑟 + 2𝑠 ; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑎𝑟𝑡𝑒𝑟𝑖 .......................................................(V. 3)

𝑠
𝐹𝐾 = 𝑑 𝑥 100% < 𝐹𝐾𝑖𝑗𝑖𝑛 .............................................................................(V. 4)
𝑟

Keterangan:
FK = Faktor keseragaman
FKijin = Faktor keseragaman yang dijinkan, dengan kriterianya adalah:
0% - 10%; keseragaman sangat baik
11% - 20%; keseragaman baik
20%-30%; keseragaman cukup baik
dr = Lendutan rata-rata suatu segmen
s = Standar deviasi
Dwakil = Lendutan wakil

Tabel V.5. Nilai pwakil, Twakil, d1wakil dan Faktor Keseragaman tiap Segmen

T
p wakil d1 wakil FK
wakil
Segmen
(0.001
(Kpa) (Psi) (0C) (%)
mm)
Segmen 1 575.70 83.50 40.50 443.68 11.15
Segmen 2 582.03 84.42 40.55 639.89 16.34
Segmen 3 575.70 83.50 36.37 580.69 14.90

Tabel V.5 menunjukkan bahwa Faktor Keseragaman (FK) untuk ketiga segmen
memiliki keseragaman baik (10%-20%), sehingga tidak diperlukan lagi
segmentasi untuk mendapatkan lendutan wakil yang merepresentasikan seluruh
segmen. Dilihat secara gabungan, juga menunjukkan bahwa ketiga segmen tidak
diperlukan segmentasi berdasarkan lendutan.

54
AASHTO 1993 menyatakan bahwa temperatur perkerasan berpengaruh besar
sebagai variabel nilai lendutan. Untuk itu setiap lendutan perlu dikoreksi terharap
temperatur dengan menggunakan Temperature Adjusment Factor (TAF) dengan
memakai grafik pada Gambar II.8. Menurut AASHTO bahwa temperatur
perkerasan pada suhu 68oF (20oC) adalah nilai ideal dengan lendutan yang
diambil tidak perlu dikoreksi lagi dengan temperatur perkerasan.

Jika temperatur perkerasan di bawah 68oF, maka nilai lendutan hasil koreksi lebih
besar daripada nilai lendutan yang diambil. Hal ini dikarenakan perkerasan lebih
keras pada suhu rendah, sehingga dengan lendutan yang seharusnya lebih besar
hanya terbaca lebih rendah pada pengujian FWD. Begitu pula sebaliknya pada
suhu diatas 68oF, maka perkerasan lebih lunak sehingga nilai lendutan lebih kecil
daripada seharusnya.

Tabel V.6. Nilai d1 dan koreksi Temperature Adjusment Factor (TAF)

T Wakil d1 d1 d1 x TAF
Segmen 0 0 TAF
( C) ( F) (0.001 mm) (inch) (inch)
Segmen 1 40.50 104.90 0.7 443.68 0.01747 0.01223
Segmen 2 40.55 104.99 0.72 639.89 0.02519 0.01814
Segmen 3 36.37 97.47 0.78 580.69 0.02286 0.01783

V.1.3 Analisa Nilai Kapasitas Struktur Perkerasan (SNeff)

Dengan menggunakan data lendutan yang telah terkoreksi, maka dapat dilakukan
analisa Modulus tanah dasar dan Kapasitas struktur perkerasan saat pengamatan
(SNeff). Perhitungan Modulus tanah dasar dimulai dari pusat beban menuju ke
beban terjauh sampai syarat nilai luasan lendutan lebih besar dari 0.7 jari-jari
lendutan dari pusat beban. Persyaratan ini digunakan untuk mendekati nilai
lendutan yang mewakili lendutan pada perkerasan jalan, sehingga nilai lendutan
yang masih dipengaruhi oleh tanah dasar tidak dipakai. Untuk perhitungan
modulus tanah dasar memakai persamaan sebagai berikut
0,24 𝑃
𝑀𝑟 = ....................................................................................................(V.5)
𝑑𝑟 𝑟

55
Keterangan:
Mr = Modulus resilent tanah dasar (psi)
P = Beban yang diberikan (pounds)
dr = Lendutan pada radius r (inch)
r = Jarak lendutan pada titik yang diukur (inch)

Persyaratan nilai luasan lendutan lebih besar 0.7 jari-jari lendutan dari pusat beban
juga digunakan untuk penentuan modulus efektif lapis perkerasan. Untuk
perhitungan modulus efektif perkerasan, syarat batas lendutan dan kapasitas
struktural perkerasan memakai persamaan sebagai berikut:

1
1−
2
√1+(𝐷)
1 [ 𝑎 ]
𝑑0 = 1,5 𝑝𝑎 + ...................................................(V.6)
2 𝐸𝑝
𝐷 3 𝐸𝑝
𝑀𝑟 √1+( √ )
𝑎 𝑀𝑟

{ }

Keterangan:
d0 = lendutan yang diukur pada pusat jatuhnya beban (inch)
P = Tekanan beban FWD (psi)
a = Jari-jari beban (inch)
D = Tebal perkerasan di atas subgrade (inch)
Mr = Modulus resilen tanah dasar (psi)
Ep = Modulus efektif perkerasan (psi)

𝑟 ≥ 0,7 𝑎𝑒 ........................................................................................................(V.7)

Keterangan:
r = Jarak lendutan ke pusat beban (inch)
ae = Jari-jari stress bulb pada pertemuan lapis tanah dasar dengan perkerasan
(inch)

𝑆𝑁𝑒𝑓𝑓 = 0,045 𝐷 3√𝐸𝑝 .....................................................................................(V.8)

56
Keterangan:
SNeff = Structural Number perkerasan
D = Tebal lapis perkerasan diatas subgrade (inch)
Ep = Modulus elastisitas perkerasan

Tabel V.7. Nilai MR, Ep dan SNeff untuk setiap segmen

MR Ep SNeff
Segmen
(psi) (psi) (inch)
Segmen 1 13,224.26 98,075.55 5.11
Segmen 2 8,890.37 70,532.47 4.28
Segmen 3 10,447.53 64,550.82 4.16

Nilai kapasitas struktural perkerasan antara ketiga segmen tidak terpaut jauh,
terutama pada segmen 2 & 3 dengan konfigurasi lapisan perkerasan hampir sama.
Ketebalan lapisan di atas subgrade juga berpengaruh pada nilai SN eff, hal ini
terlihat pada segmen 1 yang mempunyai ketebalan lapisan di atas subgrade adalah
62.5 cm yang memiliki kapasitas struktural lebih tinggi daripada segmen 2 dan
segmen 3 yang memiliki ketebalan lapisan diatas subgrade sebesar 58.5 cm.

Nilai MR adalah salah satu indikator posisi geophone yang mencerminkan


modulus pekerasan. Pada umumnya nilai MR akan semakin besar jika posisinya
semakin menjauh pusat perkerasan, dan pada suatu titik akan mengecil ketika
sudah mencapai posisi syarat dalam persamaan V.7.

V.1.4 Prediksi Umur Sisa Perkerasan Struktural

Dalam melakukan evaluasi performa perkerasan, AASHTO 1993 menggunakan


parameter beban lalu lintas yang melalui ruas tersebut sampai pada kondisi ruas
tersebut tidak mampu melayani beban lalu lintas. Untuk melakukan perhitungan
tersebut, AASHTO 1993 menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝐿𝑜𝑔(𝑊18 ) =
∆𝑃𝑆𝐼
𝐿𝑜𝑔10 ( )
𝑍𝑅 𝑆𝑜 + 9.36𝐿𝑜𝑔10 (𝑆𝑁 + 1) − 0.2 + 4.2−1.5
1094 + 2.32𝐿𝑜𝑔10 (𝑀𝑅 ) − 8.07 .........(V.9)
0.4+
(𝑆𝑁+1)5.19

57
Keterangan:
ZR = Standar deviasi normal
So = Overall Standard deviation (0.4 – 0.5 untuk perkerasan lentur)
∆PSI = Design PSI loss (Po-Pt)
Po = Nilai PSI awal
Pt = Nilai PSI dalam keadaan terminal
MR = Modulus Resilen tanah dasar
W18 = Jumlah lalu lintas yang melewati dalam ESAL
SN = Structural Number dari perkerasan

Dalam persamaan tersebut, nilai kapasitas struktural perkerasan dalam Structural


Number (SN) dan nilai Present Serviceability Index (PSI) selalu berubah terhadap
waktu. Al Omari dan Darter (1994) menyatakan hubungan antara IRI dan PSI
dalam persamaan sebagai berikut:

𝑃𝑆𝐼 = 5 𝑥 𝑒 (−0.041 𝑥 𝐼𝑅𝐼) ..................................................................................(V.10)

Dengan menggunakan data nilai IRI, maka nilai PSI untuk ketiga segmen adalah
sebagai berikut.

Tabel V.8. Nilai PSI untuk setiap segmen

IRI tahun 2015


Segmen PSI tahun 2015
(m/km)
Segmen 1 6.29 3.86
Segmen 2 5.73 3.95
Segmen 3 5.89 3.93

Dengan menggunakan persamaan V.9, maka beban lalu lintas yang dapat dipikul
oleh perkerasan sebelum dibutuhkan adanya perbaikan adalah sebagai berikut:

Tabel V.9. Beban lalu lintas sampai batas failure untuk setiap segmen

SN Mr W18
Segmen Zr So Po Pt
(inch) (psi) (ESAL)
Segmen 1 -1.282 0.45 5.11 3.86 2.50 13,224 29,241,642
Segmen 2 -1.282 0.45 4.28 3.95 2.50 8,890 4,241,105
Segmen 3 -1.282 0.45 4.16 3.93 2.50 10,448 4,995,179

58
Dengan membandingkan volume lalu lintas berdasarkan hasil survey dengan
volume lalu lintas hasil analisa, maka dapat ditentukan waktu perkerasan tersebut
membutuhkan perbaikan.

Tabel V.10. Perbandingan volume lalu lintas

W18 pada Perkiraan beban lalu Lintas (Juta ESAL) pada


Segmen 2015 tahun
(Juta ESAL) 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023
Segmen 1 29.24 5.02 15.18 20.44 25.83 31.34 36.98 42.75 48.66
Segmen 2 4.24 5.15 15.38 20.79 26.41 32.24 48.53 60.22 72.36
Segmen 3 5.00 3.56 13.79 19.20 24.82 30.65 46.94 58.63 70.77

Dengan membandingkan beban lalu lintas antara hasil analisa metode AASHTO
1993 dengan beban lalu lintas hasil analisa lapangan, maka akan didapatkan
periode dengan perkerasan tersebut memiliki nilai PSI = 2.5 (kondisi failure).
Nilai PSI tersebut adalah batas layan perkerasan dapat menerima beban. Dengan
memperhatikan Tabel V.10, maka umur sisa perkerasan adalah sebagai berikut:

Tabel V.11. Umur sisa ruas Manado-Bitung berdasarkan metode AASHTO

Umur Layan
Umur Sisa
Segmen Sampai Dengan
Tahun Tahun
Segmen 1 2020 4
Segmen 2 2016 0
Segmen 3 2017 1

Dari ketiga segmen yang ada, umur sisa pada Segmen 1 lebih besar daripada
segmen lainnya. Hal ini dikarenakan nilai SNeff pada segmen 1 lebih besar
daripada segmen 2 dan 3. Nilai SNeff ini terutama dipengaruhi oleh tebal
perkerasan diatas tanah dasar. Semakin tebal perkerasan, maka semakin kuat pula
perkerasan tersebut dalam menahan beban lalu lintas.

V.1.5 Analisis Variabel RSL berdasarkan Metode AASHTO 1993

Berdasarkan analisa sebelumnya, prediksi umur sisa dengan metode AASHTO


1993 dipengaruhi oleh banyak komponen. Sehingga untuk mengetaui seberapa
besar pengaruh setiap komponen dilakukan analisis variabel. Model AASHTO

59
tidak hanya dipengaruhi dari perhitungan SNeff tetapi juga perkiraan beban lalu
lintas sampai dengan berakhirnya masa layan. Untuk memudahkan dalam analisa,
digunakan sampel kondisi pada segmen 1.

Tabel V.12. Analisa variabel metode AASHTO 1993

Tebal Umur Selisih


d1 Suhu SNeff MR W18
perkerasan Sisa W18
Varian P0
0 (juta
(inch) (inch) ( F) (inch) (psi) (tahun) (%)
ESAL)

+5% 25.84 0.017468 104.90 5.328 13,224.26 3.86 39.00 6 33.39%


Awal 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 3.86 29.24 4
-5% 23.38 0.017468 104.90 4.920 13,224.26 3.86 22.86 3 -21.84%

+5% 24.61 0.018342 104.90 5.007 13,224.26 3.86 25.65 2 -12.27%


Awal 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 3.86 29.24 4
-5% 24.61 0.016595 104.90 5.247 13,224.26 3.86 35.13 5 20.13%

+5% 24.61 0.017468 110.14 5.255 14,464.03 3.86 43.70 7 49.45%


Awal 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 3.86 29.24 4
-5% 24.61 0.017468 99.65 5.081 12,856.92 3.86 26.50 4 -9.37%

+5% 24.61 0.017468 104.90 5.362 13,224.26 3.86 40.76 6 39.39%


Awal 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 3.86 29.24 4
-5% 24.61 0.017468 104.90 4.851 13,224.26 3.86 20.85 3 -28.71%

+5% 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,885.47 3.86 32.75 5 11.98%


Awal 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 3.86 29.24 4
-5% 24.61 0.017468 104.90 5.106 12,563.04 3.86 25.96 4 -11.22%

+5% 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 4.06 38.29 6 30.95%


Awal 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 3.86 29.24 4
-5% 24.61 0.017468 104.90 5.106 13,224.26 3.67 21.43 3 -26.72%

Pada Tabel V.12 dapat disimpulkan bahwa tebal perkerasan berpengaruh besar
terhadap model AASHTO, dengan penambahan tebal sebesar 5% maka jumlah
ESAL berkurang sebesar 33.39%. Dengan membandingkan kondisi lapangan,
bahwa kompaksi sekunder akibat beban lalu lintas per tahun akan mengakibatkan
kemampuan layan berkurang signifikan. Pada kondisi ini, terutama pada lapisan

60
base dan sub base diperlukan kontrol pemadatan yang baik ketika pengerjaan di
lapangan.

Komponen lainnya yang berpengaruh besar adalah nilai SNeff, dengan perbedaan
sebesar 5% dapat mempengaruhi hasil analisa sebesar 39.39%. Hal ini
dikarenakan kemampuan perkerasan yang lebih baik dalam menahan beban lalu
lintas ke depannya.

Pengambilan suhu ketika pengujian juga berpengaruh besar kepada hasil analisa
dengan perbedaan sampai dengan 43.51%. AASHTO 1993 menyatakan bahwa
pengambilan yang ideal adalah pada suhu 68oF (20oC). Hal ini dapat dipahami
bahwa perkerasan yang bersuhu rendah akan semakin keras sehingga hasil
lendutan semakin besar. Begitu pula sebaliknya pada suhu tinggi, maka
perkerasan akan lebih lunak sehingga nilai lendutan lebih kecil dari seharusnya.

V.2 Prediksi Nilai RSL berdasarkan Metode Patterson

Terdapat 4 tahapan dalam menentukan nilai RSL dengan menggunakan metode


Patterson, yaitu:
1. Penentuan nilai Kumulatif ESAL
2. Prediksi nilai IRI
3. Kalibrasi nilai IRI disesuaikan dengan nilai IRI di lapangan
4. Prediksi umur sisa perkerasan
Penentuan nilai kumulatif ESAL akan menggunakan data volume lalu lintas mulai
tahun 2011-2016, sedangkan nilai Truck Factor (TF) akan memakai nilai beban
standar MST 10 ton. Penentuan nilai SNsg menggunakan data CBR tanah dasar
tahun 2010. Sedangkan penentuan nilai Structural Number perkerasan (SNC)
menggunakan data tebal perkerasan sesuai hasil Test Pit tahun 2015.

Prediksi dan kalibrasi nilai IRI akan menyandingkan data IRI hasil prediksi
Patterson dengan data nilai IRI sebenarnya, sedangkan kalibrasinya akan memakai
metode least square. Dalam menentukan umur sisa di lapangan, akan diprediksi
dengan perubahan nilai IRI sesuai dengan prediksi Patterson yang dikalibrasi.

61
V.2.1 Prediksi Nilai IRI

Untuk menentukan prediksi nilai IRI dengan memakai persamaan Patterson, perlu
ditentukan tahun dasar sebagai nilai IRI pada tahun ke-0. Pada studi ini, tahun ke-
0 ditetapkan pada tahun 2011, sehingga nilai IRI setelah tahun 2011 adalah nilai
IRI prediksi dengan memakai persamaan Patterson. Nilai IRI prediksi akan
disandingkan dengan IRI lapangan untuk menguji validitasnya.

Dengan memakai data IRI pada sub bab IV.3 maka setiap segmen jalan akan
dilakukan prediksi ketidakrataannya. Kemudian akan diambil IRI wakil prediksi
untuk disandingkan dengan nilai IRI wakil lapangan. Nilai IRI wakil diperoleh
dengan menggunakan persamaan:

∑(𝐼𝑖 𝑥 𝐼𝑅𝐼𝑖 )
𝐼𝑅𝐼𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙 = ∑ 𝐼𝑖
........................................................................................(V.11)

Keterangan:
IRIwakil = nilai ketidakrataan yang mewakili sub segmen (m/km)
IRIi = nilai ketidakrataan per-100 meter pada segmen i (m/km)
ΣIi = total panjang jalan sub segmen i, km

Untuk prediksi nilai IRI tiap sub segmen-nya memakai persamaan Patterson
𝐼𝑅𝐼𝑛 = 1,04𝑒 𝑚𝑛 [𝐼𝑅𝐼0 + 263(1 + 𝑆𝑁𝐶)−5 𝑥 𝐶𝑆𝐴𝑛 ].......................................(V.12)

Keterangan:
IRIn = Kekasaran jalan pada tahun ke-n (m/km)
IRI0 = Kekasaran jalan pada tahun awal rencana (m/km)
SNC = Structural Number perkerasan
CSAn = Kumulatif Beban Sumbu Standar tahun ke-n (juta esa/lajur)
m = Koefisien lingkungan = 0,023

Sebelum dilakukan perhitungan IRI wakil, perlu dilakukan segmentasi ruas agar
nilai IRI wakil dapat mewakili suatu segmen. Dalam menentukan segmentasi

62
dilakukan dengan cara mencari nilai wakil dengan keseragaman yang hampir
sama dengan batas ijin/faktor keseragaman sebesar 30%. Faktor Keseragaman
didapat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝑠
𝐹𝐾 = 𝐼𝑅𝐼 𝑥 100% < 𝐹𝐾𝑖𝑗𝑖𝑛 .....................................................................(V. 13)
𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙

Keterangan:
FK = Faktor keseragaman
FKijin = Faktor keseragaman yang dijinkan, dengan kriterianya adalah:
0% - 10%; keseragaman sangat baik
11% - 20%; keseragaman baik
20%-30%; keseragaman cukup baik
IRIWakil = IRI rata-rata yang mewakili segmen
s = Standar deviasi

Dengan menggunakan persamaan 5.11 dan 5.13, maka nilai IRI wakil yang
mewakili keadaan lapangan adalah sebagai berikut:

Tabel V.13. Nilai IRI wakil lapangan dan faktor keseragaman

Nilai IRI Wakil Lapangan pada


Faktor Keseragaman IRI Wakil
Segmen Tahun
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Segmen 1 3.47 3.68 4.70 6.36 6.29 7.04 24.0 20.6 29.8 15.8 18.4 23.6
Segmen 2 2.86 3.23 4.02 5.06 5.73 6.34 20.6 23.6 18.9 19.8 18.3 16.9
Segmen 3 3.18 3.33 4.24 5.01 5.89 6.41 13.0 13.3 17.4 20.2 17.7 18.1

Dari Tabel V.13, didapatkan bahwa Faktor Keseragaman tidak melebihi 30%,
sehingga tidak diperlukan segmentasi terhadap ketiga segmen. Untuk itu nilai IRI
lapangan pada Tabel V.13 dapat langsung digunakan dalam analisa selanjutnya.

Perhitungan Patterson diperlukan adanya kalibrasi untuk mendapatkan hasil yang


lebih akurat. Sebagai perbandingan, juga dilakukan perhitungan dengan basis
perhitungan pada tahun 2016 tanpa adanya kalibrasi. Sehingga akurasi
perhitungan dengan adanya data historis dan tanpa ada data historis dapat
diperkirakan.
63
Dalam melakukan perhitungan IRI dengan metode Patterson, diperlukan
parameter koefisien layer yang bergantung kepada kapasitas materialnya. Dengan
menggunakan Tabel II.2, maka koefisien lapisan perkerasan dengan metode
Patterson adalah sebagai berikut:

Tabel V.14. Parameter kekuatan lapis perkerasan

Parameter Tahun
Segmen Lapisan
Kekuatan 2010 2016
AC-WC MR (MPa) 1100 1000
AC-BC MR (MPa) 1200 1150
Segmen 1
Klas A CBR (%) 90 84
Klas B CBR (%) 60 62
AC-WC MR (MPa) 1100 1000
AC-BC MR (MPa) 1200 1100
Segmen 2
Klas A CBR (%) 90 88
Klas B CBR (%) 60 50
AC-WC MR (MPa) 1100 1050
AC-BC MR (MPa) 1200 1150
Segmen 3
Klas A CBR (%) 90 92
Klas B CBR (%) 60 55

Tabel V.15. Layer koefisien metode Patterson

Layer Koefisien
Layer
Segmen pada Tahun
Koefisien
2010 2016
a1 0.30 0.30
a2 0.30 0.30
Segmen 1
a3 0.13 0.13
a4 0.12 0.12
a1 0.30 0.30
a2 0.30 0.30
Segmen 2
a3 0.13 0.13
a4 0.12 0.12
a1 0.30 0.30
a2 0.30 0.30
Segmen 3
a3 0.13 0.13
a4 0.12 0.12

64
Dengan menggunakan persamaan II.2 dan II.3 maka dapat dihitung nilai
Kapasitas stuktural kontribusi subgrade dan kapasitas struktural perkerasan pada
tahun 2010 dan 2016 sebagai berikut:

Tabel V.16. Kapasitas struktural perkerasan metode Patterson

CBR
SNsg SNC
Segmen Subgrade
2010 2016 2010 2016 2010 2016
Segmen 1 6.45 4.50 0.85 0.50 5.19 4.81
Segmen 2 6.77 3.20 0.90 0.13 4.76 3.98
Segmen 3 6.68 3.90 0.89 0.35 4.75 4.22

Dengan memakai persamaan V.4 dan data CBR, Lalu lintas, maka nilai prediksi
IRI sampai dengan tahun 2020 dapat diprediksi sebagaimana tabel berikut

Tabel V.17. Prediksi nilai IRI dengan basis tahun 2011

Prediksi Nilai IRI Wakil pada Tahun (m/km)


Segmen
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Segmen 1 3.47 3.93 4.14 4.44 4.65 4.93 5.39 5.70 6.03 6.38
Segmen 2 2.86 3.39 3.68 4.00 4.28 4.63 5.25 5.64 6.07 6.52
Segmen 3 3.18 3.72 3.95 4.20 4.50 4.78 5.41 5.81 6.24 6.70

V.2.2 Kalibrasi Prediksi Nilai IRI

Model Patterson adalah model yang menyederhanakan parameter-parameter


dalam HDM-III, seperti Pothole, Rutting dan Cracking. Untuk itu diperlukan
kalibrasi Nilai IRI Prediksi dengan Nilai IRI lapangan. Dengan menggunakan IRI
Lapangan pada Tabel V.13 dan nilai IRI Prediksi pada Tabel V.17, maka
parameter kalibrasi dapat ditentukan dengan persamaan sebagain berikut:

𝑌 = 𝑎𝑋 + 𝑏......................................................................................................(V.16)
𝑛 ∑(𝑋𝑖 𝑌𝑖 )−∑ 𝑋𝑖 ∑ 𝑌𝑖
𝑎= 2 .....................................................................................(V.17)
𝑛 ∑(𝑋𝑖 )2 −(∑ 𝑋𝑖 )

𝑏 = 𝑌̅ − 𝑎𝑋̅.....................................................................................................(V.18)

Keterangan:
Y = Nilai IRI yang menggambarkan nilai IRI lapangan (m/km)
Xi = Nilai prediksi IRI
n = Jumlah data

65
Dengan memakai data IRI prediksi pada Tabel V.13 serta data IRI lapangan pada
Tabel V.9, didapat parameter kalibrasi sebagai berikut:

Tabel V.18. Parameter kalibrasi antara IRI prediksi dan IRI lapangan

IRI IRI Parameter Kalibrasi


Segmen Tahun
Lapangan Patterson a b
2011 3.47 3.47
2012 3.68 3.93
2013 4.72 4.14
2014 6.36 4.44
2015 6.29 4.65
2016 7.04 4.93
Segmen 1 2.83 -6.31
2017 5.39
2018 5.70
2019 6.03
2020 6.38
Σ 31.55 25.55
Rata-rata 5.26 4.26
2011 2.86 2.86
2012 3.23 3.39
2013 4.02 3.68
2014 5.06 4.00
2015 5.73 4.28
2016 6.34 4.63
Segmen 2 2.23 -3.51
2017 5.25
2018 5.64
2019 6.07
2020 6.52
Σ 27.23 22.84
Rata-rata 4.54 3.81
2011 3.18 3.18
2012 3.33 3.72
2013 4.24 3.95
2014 5.01 4.20
2015 5.89 4.50
2016 6.41 4.78
Segmen 3 2.32 -4.28
2017 5.41
2018 5.81
2019 6.24
2020 6.70
Σ 28.06 24.34
Rata-rata 4.68 4.06

66
Berdasarkan Tabel V.18, maka persamaan kalibrasi yang digunakan adalah:

𝑌 = 2.46𝑋 − 4.7...........................................................................................(V.17)

Sehingga persamaan prediksi IRI metode Patterson setelah kalibrasi adalah:

𝐼𝑅𝐼𝑛 = 2.46 𝑥(1,04𝑒 𝑚𝑛 [𝐼𝑅𝐼0 + 263(1 + 𝑆𝑁𝐶)−5 𝑥 𝐶𝑆𝐴𝑛 ]) − 4.7..............(V.18)

Dengan menggunakan persamaan V.18, maka nilai IRI prediksi Patterson adalah

Tabel V.19. Prediksi nilai IRI berdasarkan persamaan kalibrasi Patterson

Prediksi Nilai IRI Kalibrasi pada Tahun (m/km)


Segmen
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Segmen 1 3.47 4.98 5.48 6.22 6.73 7.42 8.56 9.33 10.14 10.98
Segmen 2 2.86 3.65 4.34 5.13 5.84 6.70 8.21 9.18 10.22 11.33
Segmen 3 3.18 4.45 5.02 5.63 6.38 7.06 8.60 9.59 10.65 11.77

Nilai IRI Prediksi dengan persamaan Patterson memiliki nilai yang lebih kecil
daripada nilai IRI Lapangan. Pertambahan dari tahun ke tahun pada IRI Prediksi
juga lebih kecil daripada IRI Lapangan, hal ini bisa dilihat dari tingkat progresi
kurva model IRI Prediksi yang lebih kecil daripada IRI Lapangan. Dengan
kalibrasi, maka karakteristik model IRI Kalibrasi akan lebih mendekati keadaan
sebenarnya daripada IRI Lapangan.

8.00
7.00
6.00
IRI (m/km)

5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Lapangan IRI Patterson IRI Kalibrasi


IRI Lapangan (Trendline) IRI Patterson (Trendline) IRI Kalibrasi (Trendline)

Gambar V.1. Kurva IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI kalibrasi segmen 1

67
8.00
7.00
6.00
IRI (m/km)
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Lapangan IRI Patterson IRI Kalibrasi


IRI Lapangan (Trendline) IRI Patterson (Trendline) IRI Kalibrasi (Trendline)

Gambar V.2. Kurva IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI kalibrasi segmen 2

8.00
7.00
6.00
IRI (m/km)

5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Lapangan IRI Patterson IRI Kalibrasi


IRI Lapangan (Trendline) IRI Patterson (Trendline) IRI Kalibrasi (Trendline)

Gambar V.3. Kurva IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI kalibrasi segmen 3

Grafik perbandingan ketiga nilai IRI perlu diperiksa kembali kesesuaian dengan
IRI lapangan. Untuk itu pada Tabel V.20 dilakukan pemeriksanaan selisih antara
IRI Prediksi dengan IRI Lapangan dan IRI Kalibrasi dengan IRI Lapangan. Dan
dari tabel tersebut, selisih antara IRI Kalibrasi dengan IRI Lapangan secara
keseluruhan berbeda 0.43 m/km atau 9.71%. Nilai ini lebih kecil daripada selisih
nilai IRI Patterson dengan IRI Lapangan yang bernilai 12.7% lebih rendah.

68
Sehingga kurva IRI Kalibrasi memiliki kesamaan karakteristik yang mendekati
kurva IRI Lapangan.

Tabel V.20 Perbandingan selisih nilai IRI lapangan, IRI prediksi dan IRI
kalibrasi.

Prediksi Patterson Kalibrasi


IRI
Segmen Tahun IRI Selisih % IRI Selisih %
Lapangan
Prediksi IRI Selisih Kalibrasi IRI Selisih
2011 3.47 3.47 0.00 0.0% 3.47 0.00 0.0%
2012 3.68 3.93 0.26 7.0% 4.98 1.30 35.4%
2013 4.72 4.14 -0.59 -12.4% 5.48 0.75 15.9%
2014 6.36 4.44 -1.92 -30.2% 6.22 -0.14 -2.1%
Segmen 1
2015 6.29 4.65 -1.64 -26.1% 6.73 0.45 7.1%
2016 7.04 4.93 -2.11 -30.0% 7.42 0.38 5.4%
Rata-
-1.00 -15.3% 0.46 10.3%
Rata
2011 2.86 2.86 0.00 0.0% 2.86 0.00 0.0%
2012 3.23 3.39 0.17 5.2% 3.65 0.42 13.1%
2013 4.02 3.68 -0.34 -8.5% 4.34 0.33 8.1%
2014 5.06 4.00 -1.06 -21.0% 5.13 0.07 1.4%
Segmen 2
2015 5.73 4.28 -1.44 -25.2% 5.84 0.11 1.9%
2016 6.34 4.63 -1.71 -27.0% 6.70 0.35 5.5%
Rata-
-0.73 -12.7% 0.21 5.0%
Rata
2011 3.18 3.18 0.00 0.0% 3.18 0.00 0.0%
2012 3.33 3.72 0.39 11.8% 4.45 1.12 33.8%
2013 4.24 3.95 -0.29 -6.8% 5.02 0.78 18.5%
2014 5.01 4.20 -0.81 -16.2% 5.63 0.62 12.3%
Segmen 3
2015 5.89 4.50 -1.39 -23.6% 6.38 0.48 8.2%
2016 6.41 4.78 -1.63 -25.4% 7.06 0.65 10.2%
Rata-
-0.62 -10.0% 0.61 13.8%
Rata

V.2.3 Perbandingan Persamaan Patterson

Dalam melakukan kalibrasi persamaan Patterson, diperlukan adanya data historis


tahun sebelumnya. Jika ruas tersebut masih memiliki sedikit data, maka semakin
sulit dikalibrasi. Untuk itu perlu diperbandingkan Persamaan Patterson dengan
kalibrasi dan tanpa kalibrasi. Dalam hal umur sisa, perlu dibandingkan pula hasil

69
persamaan Patterson dengan dan tanpa kalibrasi serta diuji pada tahun yang
berbeda.

Untuk itu perlu dilakukan perhitungan prediksi nilai IRI dengan tahun dasar 2016,
hal ini bertujuan untuk mendapatkan prediksi nilai IRI hanya berdasarkan kondisi
perkerasan tanpa memperhitungkan adanya data historis. Kapasitas struktural
perkerasan pada Tabel V.12 dan volume lalu lintas pada Tabel V.1, Tabel V.2 dan
Tabel V.3 digunakan dalam perhitungan prediksi kondisi perkerasan.

Tabel V.21. Prediksi nilai IRI wakil metode Patterson dengan basis tahun 2016

Prediksi Nilai IRI Wakil pada Tahun


Segmen (m/km)
2016 2017 2018 2019 2020
Segmen 1 7.04 9.02 9.46 9.92 10.40
Segmen 2 6.34 10.13 10.87 11.66 12.51
Segmen 3 6.41 9.14 9.76 10.41 11.10
Gabungan 6.60 9.29 9.86 10.47 11.11

Prediksi nilai IRI dengan basis pada tahun 2016 dapat digunakan sebagai
pertimbangan prediksi umur sisa yang digunakan. Untuk itu perlu dibandingkan
terlebih dahulu antara Prediksi nilai IRI setelah tahun 2016, dengan dan tanpa
kalibrasi.

Tabel V.22. Perbandingan nilai IRI kalibrasi dengan IRI Patterson (basis 2016).

Prediksi Patterson Kalibrasi


IRI
Segmen Tahun IRI Selisih % IRI Selisih %
Lapangan
Prediksi IRI Selisih Kalibrasi IRI Selisih
2011 3.47 3.47 0.00 0.0% 3.47 0.00 0.0%
2012 3.68 3.93 0.26 7.0% 4.98 1.30 35.4%
2013 4.72 4.14 -0.59 -12.4% 5.48 0.75 15.9%
2014 6.36 4.44 -1.92 -30.2% 6.22 -0.14 -2.1%
Segmen 1
2015 6.29 4.65 -1.64 -26.1% 6.73 0.45 7.1%
2016 7.04 4.93 -2.11 -30.0% 7.42 0.38 5.4%
Rata-
-1.00 -15.3% 0.46 10.3%
Rata
2011 2.86 2.86 0.00 0.0% 2.86 0.00 0.0%
Segmen 2 2012 3.23 3.39 0.17 5.2% 3.65 0.42 13.1%
2013 4.02 3.68 -0.34 -8.5% 4.34 0.33 8.1%

70
Tabel V.22. Perbandingan nilai IRI kalibrasi dengan IRI Patterson (basis 2016) (lanjutan).

Prediksi Patterson Kalibrasi


IRI
Segmen Tahun IRI Selisih % IRI Selisih %
Lapangan
Prediksi IRI Selisih Kalibrasi IRI Selisih
2014 5.06 4.00 -1.06 -21.0% 5.13 0.07 1.4%
2015 5.73 4.28 -1.44 -25.2% 5.84 0.11 1.9%
2016 6.34 4.63 -1.71 -27.0% 6.70 0.35 5.5%
Rata-
-0.73 -12.7% 0.21 5.0%
Rata
2011 3.18 3.18 0.00 0.0% 3.18 0.00 0.0%
2012 3.33 3.72 0.39 11.8% 4.45 1.12 33.8%
2013 4.24 3.95 -0.29 -6.8% 5.02 0.78 18.5%
2014 5.01 4.20 -0.81 -16.2% 5.63 0.62 12.3%
Segmen 3
2015 5.89 4.50 -1.39 -23.6% 6.38 0.48 8.2%
2016 6.41 4.78 -1.63 -25.4% 7.06 0.65 10.2%
Rata-
-0.62 -10.0% 0.61 13.8%
Rata

Secara keseluruhan perbedaan nilai IRI antara persamaan Patterson yang


dikalibrasi dan persamaan Patterson tanpa kalibrasi yang berbasis pada data tahun
2017 tidak terpaut jauh dengan selisih 11.7% dari nilai IRI persamaan Patterson
kalibrasi. Sehingga persamaan Patterson masih tetap relevan tanpa perlu kalibrasi
selama jangka waktu prediksi tidak terlalu jauh.

Hal ini juga terlihat pada Tabel V.20, dengan perbedaan nilai prediksi Patterson
pada tahun 2012 hanya memiliki selisih 8.01%. Semakin jauh jangka waktu
prediksi, maka semakin tidak akurat. Hal ini disebabkan bahwa persamaan
Patterson menganggap kapasitas struktur perkerasan tidak berubah sebagai fungsi
waktu, hanya volume lalu lintas yang berubah sebagai fungsi waktu. Jika data
kapasitas stuktur perkerasan dapat diperharui setiap tahun, maka tingkat akurasi
data prediksi nilai IRI metode Patterson akan semakin tinggi.

71
12.00
10.00

IRI (m/km)
8.00
6.00
4.00
2.00
-
2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Kalibrasi IRI Patterson (2016)


IRI Kalibrasi (Trendline) IRI Patterson (Trendline)

Gambar V.4. Perbandingan IRI kalibrasi dengan IRI prediksi (2016) segmen 1

16.00
14.00
12.00
IRI (m/km)

10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
-
2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Kalibrasi IRI Patterson (2016)


IRI Kalibrasi (Trendline) IRI Patterson (Trendline)

Gambar V.5 Perbandingan IRI kalibrasi dengan IRI prediksi (2016) segmen 2

14.00
12.00
IRI (m/km)

10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
-
2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Kalibrasi IRI Patterson (2016)


IRI Kalibrasi (Trendline) IRI Patterson (Trendline)

Gambar V.6. Perbandingan IRI kalibrasi dengan IRI prediksi (2016) segmen 3

72
V.2.4 Prediksi Umur Sisa Perkerasan Metode Patterson

Umur sisa perkerasan adalah umur suatu perkerasan sampai kondisi layan sudah
tidak memenuhi. Kriteria layan untuk kondisi fungsional di Indonesia adalah
sampai dengan nilai IRI = 8 m/km yang berarti dalam Kondisi Rusak Ringan.
Dengan menggunakan kurva model IRI Kalibrasi pada Gambar V.9, 5.10, 5.11
dan 5.12 serta dengan menggunakan batas nilai IRI = 8 m/km, maka dapat
diprediksi umur layan suatu perkerasan dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:

𝑅𝑆𝐿 = 𝐴𝐺𝐸𝑓𝑎𝑖𝑙𝑢𝑟𝑒 − 𝐴𝐺𝐸..............................................................................(V. 19)

Keterangan:
RSL = Sisa umur perkerasan
AGEfailure = Umur jalan ketika mencapai nilai IRI =8 m/km
AGE = Umur jalan saat ini berdasarkan nilai IRI

9.00
8.00
7.00
6.00
IRI (m/km)

5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Kalibrasi IRI Kalibrasi (Trendline)

Gambar V.7. Grafik batas umur layan segmen 1

73
9.00
8.00
7.00
6.00
IRI (m/km)

5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Kalibrasi IRI Kalibrasi (Trendline)

Gambar V.8. Grafik batas umur layan segmen 2

9.00
8.00
7.00
6.00
IRI (m/km)

5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

IRI Kalibrasi IRI Kalibrasi (Trendline)

Gambar V.9. Grafik batas umur layan segmen 3

Dengan metode grafis, dapat diketahui kapan suatu perkerasan tersebut habis
masa layannya. Maka dengan menggunakan Gambar V.7, V.8, dan V.9 dengan
tahun pengamatan adalah pada Januari 2017, maka umur sisa Ruas Manado
Bitung adalah sebagai berikut:

74
Tabel V.23. Umur sisa ruas Manado-Bitung

Umur Layan
Segmen Umur Sisa
Sampai dengan
Segmen 1 2017 1
Segmen 2 2017 1
Segmen 3 2017 1

Umur sisa pada ruas Manado-Bitung tidak terlampau jauh pada setiap segmennya.
Hal ini dikarenakan karakteristik lalu lintas ketiga segmen hampir sama.
Parameter tersebut digunakan untuk menentukan prediksi dari tahun ke tahun,
sedangkan parameter kapasitas tanah dasar dan kapasitas struktur perkerasan
diasumsikan tidak berubah dalam perhitungan.

V.2.5 Analisis Variabel RSL berdasarkan Metode Patterson

Berdasarkan analisa sebelumnya, prediksi umur sisa dengan metode Patterson


dipengaruhi oleh banyak komponen. Sehingga untuk mengetaui seberapa besar
pengaruh setiap komponen dilakukan analisis variabel. Model Patterson tidak
hanya dipengaruhi dari perhitungan kapasitas perkerasan tetapi juga perkiraan
beban lalu lintas sampai dengan berakhirnya masa layan. Untuk memudahkan
dalam analisa, digunakan sampel kondisi pada segmen 1 dan basis data pada
tahun 2016.

75
Tabel V.24. Analisis variabel metode Patterson

IRI Selisih
Tebal Koefisien Lapisan CSA (Juta ESA/Lajur) Prediksi IRI (m/km) Umur
Varian CBR Awal IRI
Sisa
(cm) a1 a2 a3 a4 2017 2018 2019 2020 2016 2017 2018 2019 2020 (2020)

+5% 66.15 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 8.77 9.16 9.57 10.00 -3.8% 1
Awal 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.02 9.46 9.92 10.40 1
-5% 59.85 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.34 9.83 10.35 10.89 4.7% 1

+5% 63.00 4.73 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 8.71 9.10 9.50 9.92 -4.6% 1
Awal 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.02 9.46 9.92 10.40 1
-5% 63.00 4.28 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.43 9.94 10.47 11.03 6.1% 1

+5% 63.00 4.50 0.32 0.32 0.13 0.13 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 8.55 8.91 9.28 9.67 -7.0% 1
Awal 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.02 9.46 9.92 10.40 1
-5% 63.00 4.50 0.29 0.29 0.12 0.11 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.72 10.28 10.86 11.48 10.4% 1

+5% 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 38.07 43.60 49.25 55.04 7.04 8.83 9.23 9.66 10.10 -2.8% 1
Awal 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.02 9.46 9.92 10.40 1
-5% 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 34.45 39.44 44.56 49.80 7.04 9.25 9.72 10.22 10.75 3.4% 1

+5% 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.39 9.14 9.54 9.96 10.40 0.1% 1
Awal 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 7.04 9.02 9.46 9.92 10.40 1
-5% 63.00 4.50 0.30 0.30 0.13 0.12 36.26 41.52 46.90 52.42 6.68 8.97 9.45 9.96 10.49 0.9% 1

76
Tabel V.24 menunjukkan bahwa perubahan koefisien lapisan perkerasan
berpengaruh paling besar dengan perubahan 10.4% dan 7%. Sehingga dalam
penentuan koefisien lapisan yang didasarkan kapasitas kekuatan material
diperlukan pembaharuan terus-menerus agar dapat menyesuaikan dengan kondisi
lapangan. Hal ini juga ditunjukkan pada nilai CBR tanah dasar sebagai komponen
kapasitas material yang seharusnya berubah secara terus-menerus.

V.3. Prediksi Nilai RSL Metode Survivor Curve

Terdapat 3 tahapan dalam menentukan nilai RSL dengan menggunakan metode


Patterson, yaitu:
1. Perhitungan Survivor Probability dengan Metode Kaplan-Meier
2. Perhitungan Survivor Probability dengan Metode Weibull
3. Prediksi umur sisa perkerasan
Penilaian survivor curve mengacu kepada probabilitas dalam kondisi baik
(survive). Kriteria survive dalam metode survivor curve tidak mengacu hanya
kedalam sebuah index kerusakan, tetapi bisa digunakan untuk banyak kriteria
selama ditetapkan batas nilai kondisi survive.

Dalam analisa ini dipakai data historis ketidakrataan permukaan jalan yang
diwakilkan oleh nilai IRI, dengan kondisi failure adalah saat kondisi Rusak
Ringan (IRI>8 m/km). Dengan data historis tersebut akan dibentuk kurva dengan
metode Kaplan-Meier. Tetapi kurva Kaplan-Meier tidaklah sempurna dikarenakan
keterbatasan data, untuk melengkapinya digunakan metode regresi Weibull.
Dengan kurva yang telah dikoreksi dengan metode Weibull, maka umur sisa
perkerasan dapat diketahui dengan menghitung luasan di bawah kurva survivor.

V.3.1. Perhitungan Survivor Probability dengan Metode Kaplan-Meier

Menurut Kaplan-Meier, probabilitas bertahan atau dalam kondisi baik adalah


perkalian antara probabilitas bertahan pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan
probabilitas bertahan untuk setiap tahun dihitung dengan perbandingan antara
panjang perkerasan yang memasuki kondisi failure pada tahun berjalan dengan

77
panjang perkerasan yang memasuki kondisi failure pada awal tahun. Sehingga
persamaannya adalah sebagai berikut:
𝑁(𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙)
𝑝𝑡 = 1 − ..........................................................................................(V. 20)
𝑁(𝑎𝑤𝑎𝑙)

Keterangan:
pt = Probabilitas perkerasan dalam kondisi survive
N(interval) = Panjang perkerasan yang mengalami failure dalam rentang
periode t dan t+1 tahun
N(awal) = Panjang perkerasan yang berpotensi mengalami failure pada awal
periode t tahun

Sedangkan probabilitas survive terhadap waktu dihitung dengan persamaan


berikut

𝑆(𝑡) = 𝑝1 𝑥 𝑝2 𝑥 𝑝3 𝑥 𝑝4 𝑥 … … 𝑥 𝑝𝑡 ................................................................(V. 21)

Keterangan:
S(t) = Probabilitas perkerasan survive terhadap waktu

Dengan menggunakan nilai S(t) dan waktu, maka kurva Kaplan-Meier dapat
dibentuk.

Tabel V.25. Probabilitas survive metode Kaplan-Meier

Probabilitas Survive
Segmen Year Segmen Kumulatif
Pt S(t)
Failure Failure
2011 0 0 1.00 1.00
2012 0 0 1.00 1.00
2013 0 0 1.00 1.00
Segmen 1
2014 1 1 0.98 0.98
2015 4 5 0.90 0.88
2016 16 21 0.56 0.49
2011 0 0 1.00 1.00
2012 0 0 1.00 1.00
2013 0 0 1.00 1.00
Segmen 2
2014 0 0 1.00 1.00
2015 1 1 0.96 0.96
2016 2 3 0.91 0.87

78
Tabel V.25. Probabilitas survive metode Kaplan-Meier (lanjutan)

Probabilitas Survive
Segmen Year Segmen Kumulatif
Pt S(t)
Failure Failure
2011 0 0 1.00 1.00
2012 0 0 1.00 1.00
2013 0 0 1.00 1.00
Segmen 3
2014 0 0 1.00 1.00
2015 1 1 0.97 0.97
2016 5 6 0.84 0.81

1.00
0.90
Survivor porbaility S(t)

0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun

Kaplan-Meier

Gambar V.10. Grafik survivor curve metode Kaplan-Meier segmen 1

1.00
0.90
Survivor porbaility S(t)

0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun

Kaplan-Meier

Gambar V.11. Grafik survivor curve metode Kaplan-Meier segmen 2

79
1.00
0.90
0.80
Survivor porbaility S(t) 0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun

Kaplan-Meier

Gambar V.12. Grafik survivor curve metode Kaplan-Meier wegmen 3

V.3.2. Perhitungan Survivor Probability dengan Metode Weibull

Kurva Kaplan-Meier tidak dapat digunakan untuk data yang tidak lengkap,
dibutuhkan data hingga seluruh segmen jalan mengalami kerusakan untuk
mendapatkan kurva yang lengkap. Untuk melengkapi kurva Kaplan-Meier dapat
digunakan extrapolasi Weibull sehingga probabilitas survive dapat mencapai titik
nol. Dalam melakukan extrapolasi menggunakan metode Weibull, digunakan
persamaan II.17 dan II.18. Sehingga extrapolasi probabilitas survive adalah
sebagai berikut:

Tabel V.26. Probabilitas survive metode Weibull.

Parameter Weibull
Segmen Tahun Y= S(t)
X = ln(Age) C B A
ln(ln(1/S(t)))
2011 0.00 0.00 1.00
2012 0.00 0.00 1.00
2013 0.69 0.00 1.00
Segmen 1 2014 1.10 -3.70 -10.97 6.56 5.33 0.98
2015 1.39 -2.04 0.86
2016 1.61 -0.33 0.52
2017 0.11

80
Tabel V.26. Probabilitas survive metode Weibull (lanjutan).

Parameter Weibull
Segmen Tahun Y= S(t)
X = ln(Age) C B A
ln(ln(1/S(t)))
2018 0.00
2011 0.00 0.00 1.00
2012 0.00 0.00 1.00
2013 0.69 0.00 1.00
2014 1.10 0.00 0.99
2015 1.39 -3.11 0.96
2016 1.61 -1.97 0.87
Segmen 2 -10.23 5.13 7.34
2017 0.70
2018 0.46
2019 0.21
2020 0.06
2021 0.01
2022 0.00
2011 0.00 0.00 1.00
2012 0.00 0.00 1.00
2013 0.69 0.00 1.00
2014 1.10 0.00 1.00
Segmen 3 2015 1.39 -3.45 -15.12 8.42 6.03 0.97
2016 1.61 -1.57 0.81
2017 0.38
2018 0.03
2019 0.00
2011 0.00 0.00 1.00
2012 0.00 0.00 1.00
2013 0.69 0.00 1.00
2014 1.10 -4.56 0.99
Gabungan 2015 1.39 -2.58 -12.26 7.00 5.76 0.93
2016 1.61 -0.98 0.69
2017 0.27
2018 0.02
2019 0.00

Tabel V.22 menyajikan data nilai probabilitas S(t) untuk setiap segmennya yang
telah diextrapolasi dengan menggunakan metode Weibull. Extrapolasi dilakukan
sampai dengan nilai probabilitas S(t) mencapai nilai nol sehingga kurva
probabilitas menjadi lengkap dan dapat dihitung luasan di bawah kurvanya.
Perhitungan extrapolasi Weibull tersebut memakai fungsi regresi dengan bantuan
Microsoft Excel. Sehingga kurva probabilitas survive menjadi sebagai berikut:
81
1.00
0.90

Survivor porbaility S(t)


0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Kaplan-Meier Weibull Curve Data

Gambar V.13. Grafik survivor curve metode Weibull segmen 1

1.00
0.90
Survivor porbaility S(t)

0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023
Tahun

Kaplan-Meier Weibull Curve Data

Gambar V.14. Grafik survivor curve metode Weibull segmen 2

82
1.00
0.90

Survivor porbaility S(t)


0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Kaplan-Meier Weibull Curve Data

Gambar V.15. Grafik survivor curve metode Weibull segmen 3

Panjang sampel dalam metode survivor curve sangat mempengaruhi bentuk kurva,
semakin panjang sampel yang diambil, maka kurva akan lebih akurat
merepresentasikan kondisi suatu ruas. Hal ini dikarenakan proporsi antara segmen
yang memasuki kondisi failure dibandingkan keseluruhan ruas jauh lebih besar
jika panjang sampel lebih sedikit. Sebagai perbandingan, berikut adalah hasil
penelitian oleh Balla (2010) mengenai kurva probabilitas pada kota Toledo
(Kansas, USA) dengan panjang 320 kilometer dibandingkan ketiga segmen pada
ruas Manado-Bitung dengan total panjang 9.7 kilometer.

0.8

0.6

0.4

0.2

0
0 5 10 15 20 25 30

Toledo (Referensi) Manado-Bitung Segmen 1


Manado-Bitung Segmen 2 Manado-Bitung Segmen 3
Manado-Bitung (Gabungan)

Gambar V.17. Perbandingan survivor curve Manado-Bitung dengan Toledo

83
V.3.3. Prediksi Umur Sisa Perkerasan Metode Survivor Curve

Dengan data kurva probabilitas yang diextrapolasi menggunakan metode Weibull,


maka umur sisa perkerasan dapat diestimasi. Dengan kriteria bahwa probabilitas
survival mencapai nilai 0 ketika seluruh segmen mencapai batas failure. Sehingga
ketika kurva mencapai nilai 0, maka jalan tidak memenuhi fungsi layan dan titik
tersebut sebagai batas umur sisa layan. Sehingga umur layan dilihat dari tahun
pengamatan pada Januari 2017 untuk setiap segmen adalah sebagai berikut:

Tabel V.27. Prediksi umur sisa dengan metode survivor curve

Umur Layan
Segmen Sampai Umur Sisa
Dengan
Segmen 1 2018 2
Segmen 2 2021 5
Segmen 3 2018 2

Metode survivor curve melakukan prediksi hanya ketika perkerasan tersebut


memasuki kondisi failure, sehingga tingkat penurunan kondisi jalan yang lebih
detail tidak dapat digambarkan dengan baik. Jumlah data historis dan jumlah
segmen sangat berpengaruh pada model ini. Balla (2010) memakai database
kondisi jalan selama 25 tahun dan panjang jalan sebesar 320 kilometer untuk
mendapatkan kurva yang representatif.

Metode survivor curve juga memiliki beberapa kelemahan, dengan diperlukan


data historis pada kondisi jalan baik 100% dan data historis dengan salah satu
segemn jalan tersebut berada dalam kondisi failure. Jika kedua kondisi tersebut
tidak dapat dipenuhi, maka kurva probabilitas tidak dapat terbentuk. Tetapi
dengan kondisi dengan data sangat terbatas dan hanya terdapat data historis, maka
metode ini dapat digunakan.

V.3.4 Analisis Variabel RSL berdasarkan Metode Survivor Curve

Berdasarkan analisa sebelumnya, prediksi umur sisa dengan metode survivor


curve hanya dipengaruhi oleh nilai IRI. Model survivor curve menyatakan bahwa

84
IRI sebagai nilai output dapat mewakili volume lalu lintas, kondisi lingkungan
maupun komposisi perkerasan. Diperlukan juga analisa dalam menentukan
pengaruh nilai IRI secara keseluruhan. Untuk memudahkan dalam analisa,
digunakan sampel kondisi pada segmen 1.

Tabel V.28. Analisis variabel metode survivor curve

IRI rata-rata S(t)


Tahun
Awal +5% -5% Awal +5% -5%
2011 3.47 3.64 3.29 1.00 1.00 1.00
2012 3.68 3.86 3.49 1.00 1.00 1.00
2013 4.72 4.96 4.49 1.00 0.98 1.00
2014 6.36 6.67 6.04 0.98 0.89 1.00
2015 6.29 6.60 5.97 0.86 0.70 0.98
2016 7.04 7.39 6.68 0.52 0.42 0.73
2017 0.11 0.08 0.17
2018 0.00 0.00 0.00
Umur Sisa 2 2 2

Pada Tabel V.24 dengan penambahan nilai IRI sebesar 5%, meskipun tidak
mengubah umur sisa tetapi berpengaruh pada perubahan kondisi jalan. Dengan
pada tahun 2017, probabilitas survive perkerasan (S(t)) memiliki nilai 0.08
dibandingkan kondisi awal yang memiliki nilai 0.11. Penambahan nilai IRI,
menyebabkan kurva menjadi lebih cepat mengalami penurunan. Demikian pula
ketika nilai IRI rata-rata berkurang 5%, maka nilai S(t) pada tahun 2017 menjadi
0.17 tetapi tidak mengubah umur sisa.

V.4. Perbandingan Umur Sisa Antara 3 Metode

Setelah dilakukan analisa menggunakan ketiga metode prediksi umur sisa, maka
dapat dibandingkan antara hasil prediksinya. Ketiga metode tersebut memakai
pendekatan yang berlainan antara satu dan lainnya. Metode Patterson memakai
pendekatan prediksi IRI yang dikalibrasi untuk memprediksi kapan perkerasan
tersebut mengalami failure. Metode AASHTO 1993 memakai pendekatan
penurunan kapasitas struktural sampai dengan kondisi failure. Sedangkan metode
survivor curve memakai metode regresi penurunan kurva probabilitas survive
yang diextrapolasi dengan menggunakan persamaan Weibull.

85
Tabel V.29. Perbandingan umur sisa segmen 1

Umur Layan
Umur
Metode Sampai
Sisa
Dengan
Patterson 2017 1
AASHTO 1993 2020 4
Survivor Curve 2018 2
Rata-Rata 2019 3

Tabel V.30. Perbandingan umur sisa segmen 2

Umur Layan
Umur
Metode Sampai
Sisa
Dengan
Patterson 2018 2
AASHTO 1993 2016 0
Survivor Curve 2021 5
Rata-Rata 2017 2

Tabel V.31. Perbandingan Umur Sisa Segmen 3

Umur Layan
Umur
Metode Sampai
Sisa
Dengan
Patterson 2017 1
AASHTO 1993 2017 1
Survivor Curve 2018 2
Rata-Rata 2017 1

Pada segmen 1, perbedaan umur sisa terbesar adalah dengan menggunakan


metode AASHTO 1993. Metode AASHTO 1993 menggunakan perbandingan
volume lalu lintas sesuai keadaan saat ini dengan volume lalu lintas sampai
dengan failure. Berdasarkan data lendutan, kekuatan struktural perkerasan dalam
indeks Structural Number (SN) pada segmen 1 lebih baik daripada segmen
lainnya.

Dengan nilai SN yang tinggi, maka kemampuan perkerasan dalam menahan beban
juga lebih baik. Sedangkan berdasarkan kondisi fungsional baik prediksi metode
Patterson & Survivor Curve, kondisi perkerasan tidak terlalu bagus. Dengan IRI

86
Lapangan pada tahun 2016 adalah sebesar 7.04 m/km, yang mendekati kriteria
kondisi failure pada nilai IRI = 8 m/km.

Pada segmen 2, berdasarkan kondisi struktural perkerasan untuk Modulus Resilen


tanah dasar adalah 8,890 Psi. Nilai ini paling kecil daripada segmen lainnya,
sehingga menyebabkan perhitungan volume lalu lintas sampai dengan failure
tidak sebesar kedua segmen lain. Dilihat dari volume lalu lintas pada segmen 2
tidak terlalu jauh dengan segmen 3, dengan perbedaan 754,074 ESAL. Tetapi
volume lalu lintas lapangan pada segmen 2 jauh lebih besar daripada segmen 3.
Sehingga prediksi umur sisa hanya tersisa 0 tahun.

Pada segmen 2 jika ditinjau dari kondisi fungsional perkerasan, terdapat


perbedaan yang cukup besar antara metode survivor curve dengan kedua metode
lainnya. Hal ini disebabkan, meski jumlah sub segmen yang mengalami failure
hanya sebesar 2 buah pada tahun 2016, tetapi secara keseluruhan nilai IRI pada
segmen 2 bernilai 6.34 m/km. Dengan data historis IRI yang lebih lengkap dengan
menyertakan data tahun 2017, kemungkinan umur sisa pada segmen 2 tidak
terlalu besar.

Dalam analisa ini, setiap analisa umur sisa memiliki perbedaan serta kelebihan
dan kelemahan masing-masing. Dengan metode Patterson, dibutuhkan data
kondisi perkerasan dan data volume lalu lintas yang akurat. Ketidakakuratan
kedua data tersebut dapat menyebabkan prediksi umur sisa akan semakin bias.
Dengan metode AASHTO 1993, diperlukan adanya data akurat, perbedaan data
sekitar 5% saja dapat berpengaruh signifikan. Dan data prediksi akan lebih baik
jika terdapat data time series lendutan dari tahun ke tahun, sehingga dapat ditarik
fungsi penurunan kondisi struktural. Sedangkan dengan metode survivor curve
diperlukan kuantitas data historis yang cukup banyak untuk dapat
menggambarkan keadaan perkerasan dengan lebih baik.

Dengan mengetahui masing-masing umur sisa, maka dapat dilakukan penanganan


yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Matriks Pavement Health Index

87
(PHI) dapat digunakan untuk alternatif penanganan jalan yang meliputi crack
sealing, scrap filling, overlay dan reconstruction. Masing-masing penanganan
berdasarkan umur sisa sesuai aspek fungsional dan struktural.

Tabel V.32. Matrik penanganan berdasarkan umur sisa

RSL
Functional > 2 year 1-2 year < 1 year
Structural Good Fair Poor
R > 2 year Good Crack Sealing Crack Sealing Scrap Filling
S 1-2 year Fair Crack Sealing Crack Sealing Scrap Filling
L < 1 year Poor Overlay Overlay Reconstruction

Sehingga penanganan pada masing-masing segmen adalah sebagai berikut:

Tabel V.33. Penanganan berdasarkan RSL ruas Manado-Bitung

Umur Sisa
Penanganan
Segmen Fungsional Struktural
Segmen 1 1 4 Crack Sealing
Segmen 2 2 0 Overlay
Segmen 3 1 1 Crack Sealing

Dengan konsep Umur Sisa, maka dapat diketahui pula kapan diperlukan
penanganan yang lebih baik berdasarkan kriteria fungsional ataupun struktural.
Pemakaian umur sisa sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan dalam
pemrograman penanganan jalan dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik,
dengan mempertimbangkan aspek kondisi struktural dan fungsional.

88
Bab VI Kesimpulan Dan Saran

VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan penyajian dan analisa data, maka diperoleh kesimpulan sebagai


berikut:

1. Prediksi umur sisa berdasarkan Metode Patterson


a. Persamaan Patterson hanya menganggap bahwa kapasitas struktur
perkerasan tidak berubah sebagai fungsi waktu, sehingga lebih baik untuk
perhitungan jangka pendek. Akan lebih baik jika terdapat pembaharuan
data struktur perkerasan setiap tahun, sehingga dapat memprediksi kondisi
jalan tahun selanjutnya.
b. Persamaan Patterson Patterson diperlukan kalibrasi untuk perhitungan
jangka waktu yang panjang. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara persamaan Patterson yang dikalibrasi dengan persamaan Patterson
dengan memakai data stuktur perkerasan yang diperbaharui.
c. Perhitungan umur sisa antara ketiga segmen tidak terlalu berbeda karena
karakteristik perkerasan antara ketiganya adalah sama, baik dari volume
lalu lintas maupun kapasitas lapisan perkerasan. Dengan rata-rata umur
sisa hanya 1 tahun, kondisi fungsional perkerasan membutuhkan adanya
penangangan segera.

2. Prediksi umur sisa berdasarkan Metode AASHTO 1993


a. AASHTO 1993 menyatakan bahwa kapasitas struktural ditentukan oleh
seberapa tebal lapisan diatas subgrade dengan modulus efektif lapis
perkerasan (Ep). Semakin tebal suatu perkerasan, maka nilai SNeff juga
akan semakin lebih tinggi, hal ini terlihat dari nilai SNeff segmen 1 yang
lebih tinggi daripada segmen 2 dan 3.
b. Umur sisa dengan metode AASHTO 1993 menggunakan perbandingan
perhitungan volume lalu lintas sampai kondisi failure dengan volume lalu
lintas lapangan. Dalam perhitungan umur sisa dengan metode AASHTO

89
1993 sangat dipengaruhi banyak faktor, sehingga akurasi data sangat
menentukan.
c. Dengan nilai SNeff dan MR yang lebih tinggi, maka kondisi struktural lebih
baik sehingga umur sisa lebih panjang. Kapasitas struktural pada segmen 1
masih mampu memikul beban lalu lintas sampai dengan 2020. Sedangkan
kapasitas struktural pada segmen 2 dan 3 diperlukan penanganan segera.

3. Prediksi Nilai RSL berdasarkan Metode Survivor Curve


a. Metode survivor curve berdasarkan probabilitas perkerasan dalam kondisi
baik (survive). Kriteria survive pada analisa mengacu kepada ketidakrataan
perkerasan sebelum berada dalam kondisi Rusak Ringan (IRI>8 m/km).
Dengan adanya data historis perkerasan mulai dari tahun 2011-2016, maka
akan didapat probabilitas survive setiap tahunnya.
b. Metode survivor curve sangat dipengaruhi oleh banyaknya data sebagai
input, baik panjang segmen maupun banyaknya data historis. Semakin
panjang suatu segmen dan semakin banyak data historis maka data tersebut
akan semakin akurat. Dikarenakan hal tersebut pula, metode survivor
curve tidak dapat digunakan jika data historis jalan tidak ada yang
mengalami failure.

4. Perbandingan ketiga metode prediksi umur sisa perkerasan


a. Umur sisa dari ketiga metode menggunakan tiga kriteria berbeda. Dengan
definisi failure yang berbeda sebagai batas umur sisa perkerasan. Metode
terbaik adalah metode dengan data yang lebih akurat dan selalu
diperbaharui.
b. Umur sisa dapat digunakan sebagai sarana pengambilan keputusan, kapan
ruas tersebut perlu dilakukan penanganan. Dengan mempertimbangkan
ketiga metode tersebut, pengambilan keputusan dapat menjadi lebih baik.
Sebagai contoh, jika kapasitas struktural perkerasan masih dapat menahan
beban lalu lintas, sedangkan secara fungsional sudah tidak mampu, maka
diperlukan penanganan overlay untuk memperbaiki kapasitas fungsional
dan perkuatan struktural. Sedangkan jika kapasitas struktural perkerasan
rendah, perlu dilakukan rekonstruksi untuk perbaikan secara menyeluruh.

90
Begitu pula dengan data statistik secara historis, dapat diketahui bahwa
dengan komposisi perkerasan yang ada dan dibandingkan beban yang telah
melaluinya serta dengan kesimpulan bahwa nilai umur sisa rendah. Maka
pengambil keputusan dapat membuat prediksi penanganan yang lebih baik,
baik pada ruas tersebut maupun pada ruas lain yang komposisi perkerasan
dan lalu lintas yang sama.

VI.2 Saran

1. Diperlukan adanya database historis yang lebih lengkap untuk dapat


memprediksi umur sisa perkerasan. Baik data lendutan per tahun, data
ketidakrataan permukaan, maupun data kapasitas lapisan perkerasan. Dengan
database yang lebih lengkap, maka nilai prediksi akan semakin akurat.
2. Perlu adanya studi lanjutan mengenai pengaruh dari Faktor Keseragaman
terhadap umur sisa jalan. Dengan perubahan Faktor Keseragaman, maka
lendutan wakil maupun nilai IRI wakil akan berubah dan segmentasi juga
berubah.
3. Perlu dipertimbangkan pertumbuhan lalu lintas berdasarkan beban ESAL
yang melintasi suatu ruas. Pertumbuhan tersebut dapat digunakan untuk
perubahan volume lalu lintas ke depannya.
4. Perlu adanya variasi komposisi perkerasan sebagai pembanding dengan ruas
lainnya. Dengan variasi tebal dan perbedaan material perkerasan, maka dapat
dinilai akurasi dari ketiga metode dengan lebih baik.
5. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengambilan sampel core drill
untuk mengetahui kondisi tiap lapis struktur perkerasan dengan lebih akurat.

91
92
DAFTAR PUSTAKA

Al-Omari, Bashar dan Darter, Michael I. (1994): Relationships Between


International Roughness Index And Present Serviceability Ratings,
Transportation Research Record: Journal of Transportation Research
Board, 1435.
AASHTO, (1993): AASHTO Guide For Design of Pavement Structures,
American Association of State Highway and Transportation Officials,
Washington, D.C.
Baladi, G. (1991): Analysis of Pavement Distress Data, Pavement Distress
Indices, and Remaining Service Life. An Advanced Course in Pavement
Management Systems, FHWA, Boston.
Balla ,Chaitanya K. (2010): Prediction of Remaining Service Life of
Pavements, Disertasi, The University of Toledo.
Direktorat Jenderal Bina Marga, (2015): Rencana Strategis Direktorat
Jenderal Bina Marga 2015-2019, Kementerian Pekerjaan Umum.
Elliot, Robert. P. (1986): An Examination of the AASHTO Remaining Life
Factor, Transportation Research Record: Journal of Transportation
Research Board, 1215: 53-59.
FHWA-LTPP Technical Support Services Contractor, (2000): LTPP Manual
for Falling Weight Deflectometer Measurements Operational Field
Guidelines, Federal Highway Administration, Virginia.
Garcia-Diaz, A., R.L. Lytton, dan J.T. Allison. (1983): Estimation of Network
Rehabilitation and Maintenance Costs over an Extended Planning
Horizon, Transportation Research Record: Journal of Transportation
Research Board, 943.
Gedafa, Daba Saraba (2006): Present Pavement Maintenance Practice: A
Case Study For Indian Condition Using HDM-4, Midwest
Transportation Consortium, Iowa.
Gedafa, Daba Saraba (2008): Estimation Of Remaining Service Life Of
Flexible Pavements From Surface Deflections, Disertasi, Kansas State
University.
Odoki, J.B. (1997): Implementation of the Road Deterioration Models in
HDM-4, The World Bank, Washington, D.C.
Patterson, William D. (1987): Road Deterioration and Maintenance Effect,
Models for Planning and Management, The John Hopkins University
Press, Baltimore and London.
Patterson, William D. dan Attoh-Okine, Busby, (1992): Simplified Method of
Paved Road Deterioration Based on HDM III, Presentation to the
Annual Meeting of Transportation Research Board.

93
Sayers, Michael W. Gillespie, Thomas D., Queiroz, dan Cesar, A. V., (1986):
The International Road Roughness Experiment-Establishing Correlation
and a Calibration Standard for Measurements, World Bank Technical
Paper, 45, The World Bank, Washington, D.C.
Shiyab, Adnan M.S.H. dan Fahim, Hameed Aqeel Al (2006): New
Approaches For Estimation Flexible Pavement Remaining Life For the
Use of PMS, 22nd AARB Conference, Canberra.
Transportation Association of Canada (2006): Performance Measures for
Road Networks: A Survey of Canadian Use, Transport Canada.
Watanada, T., Patterson, William D., Bhandari, A., Harral, C., Dhareshwar,
A.M., Tsunokawa, K., (1987): The Highway Design and Maintenance
Standards Model III, The World Bank, Washington, D.C.
Vepa, T. S., George, K. P., dan Shekharan, A.R., (1996): Prediction of
remaining pavement life, Transportation Research Record: Journal of
Transportation Research Board, 1524: 137–44.

94
LAMPIRAN

95
96
LAMPIRAN A Perhitungan Lalu Lintas
Volume Lalu Lintas per Golongan Kendaraan

Golongan Kendaraan Total Volume Pertumbuh


Segmen Tahun
Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C Lalu Lintas an (%)
2011 19475 3128 3584 245 249 315 2563 452 46 137 30194
2012 18993 2573 3987 411 237 244 1944 941 72 233 29635 -1.85
2013 19033 3507 4617 708 556 394 1543 531 91 271 31251 5.45
Segmen 1 2014 18834 2732 4002 605 220 721 3996 799 101 208 32218 3.09
2015 20625 4910 2916 710 315 404 1272 1003 51 127 32333 0.36
2016 19584 4647 4586 389 533 181 2971 658 120 190 33859 4.72
Pertumbuhan Rata-Rata 2011-2016 2.35

Golongan Kendaraan Total Volume Pertumbuh


Segmen Tahun
Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C Lalu Lintas an (%)
2011 18845 3012 2659 87 222 379 2309 584 13 132 28242
2012 19978 3201 2557 111 458 396 2504 453 82 188 29928 5.97
2013 20983 2964 2594 79 239 282 2862 654 98 123 30878 3.17
Segmen 2 2014 21844 3142 2061 133 216 615 3278 710 23 131 32153 4.13
2015 24150 2885 1839 106 419 468 2503 611 38 96 33115 2.99
2016 23347 2795 2900 85 470 256 3183 815 45 138 34034 2.78
Pertumbuhan Rata-Rata 2011-2016 3.81

Golongan Kendaraan Total Volume Pertumbuh


Segmen Tahun
Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C Lalu Lintas an (%)
2011 15765 4556 3853 60 279 264 1928 913 20 118 27756
2012 16203 4608 3885 116 179 562 2195 763 116 85 28712 3.44
2013 18067 4862 4187 136 135 385 1823 521 39 173 30328 5.63
Segmen 3 2014 19952 4530 4469 101 276 270 1946 456 65 154 32219 6.24
2015 19126 4643 5034 97 175 778 2263 1027 111 163 33417 3.72
2016 20139 4717 5598 126 200 258 2066 645 78 130 33957 1.62
Pertumbuhan Rata-Rata 2011-2016 4.13

Golongan Truck Factor


Gol. 2 0.002352
Gol. 3 0.002352
Gol. 4 0.002352
Gol. 5A 1.619418
Gol. 5B 3.003980
Gol. 6A 1.148444
Gol. 6B 6.414735
Gol. 7A 5.242221
Gol. 7B 4.857885
Gol. 7C 10.080989

97
Perhitungan CESAL Per Segmen

ESAL
Segmen CESAL
Tahun Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C
2011 8,360 1,343 1,538 72,408 136,508 66,021 3,000,476 432,431 40,782 252,050 4,011,918
2012 8,153 1,104 1,711 121,468 129,930 51,140 2,275,820 900,260 63,833 428,669 7,994,006
2013 8,170 1,505 1,982 209,245 304,814 82,579 1,806,373 508,011 80,677 498,581 11,495,943
2014 8,085 1,173 1,718 178,804 120,610 151,115 4,678,074 764,408 89,543 382,674 17,872,146
2015 8,853 2,108 1,252 209,836 172,691 84,675 1,489,117 959,576 45,215 233,652 21,079,120
Segmen 1
2016 8,407 1,995 1,969 114,967 292,205 37,936 3,478,118 629,512 106,388 349,558 26,100,172
2017 17,011 4,036 3,983 232,640 591,289 76,765 7,038,128 1,273,846 215,280 707,347 36,260,499
2018 25,818 6,126 6,046 353,084 897,416 116,509 10,681,958 1,933,351 326,737 1,073,560 41,520,777
2019 34,833 8,265 8,157 476,364 1,210,750 157,188 14,411,583 2,608,384 440,817 1,448,395 46,904,908
2020 44,059 10,455 10,317 602,546 1,531,462 198,825 18,229,022 3,299,311 557,584 1,832,056 52,415,810

ESAL
Segmen CESAL
Tahun Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C
2011 8,089 1,293 1,141 25,712 121,706 79,435 2,703,121 558,716 11,525 242,851 3,753,591
2012 8,576 1,374 1,098 32,805 251,088 82,998 2,931,406 433,388 72,698 345,879 7,914,899
2013 9,007 1,272 1,113 23,348 131,026 59,105 3,350,512 625,685 86,883 226,293 12,429,145
2014 9,377 1,349 885 39,307 118,417 128,898 3,837,519 679,261 20,391 241,011 17,505,560
2015 10,367 1,238 789 31,328 229,707 98,089 2,930,235 584,547 33,689 176,619 21,602,168
Segmen 2
2016 10,022 1,200 1,245 25,121 257,666 53,655 3,726,304 779,715 39,895 253,890 26,750,881
2017 17,133 4,065 4,012 234,311 595,537 77,317 7,088,684 1,282,997 216,827 712,428 36,984,192
2018 26,192 6,215 6,133 358,200 910,420 118,197 10,836,745 1,961,366 331,471 1,089,116 42,394,937
2019 35,596 8,446 8,336 486,807 1,237,294 160,634 14,727,534 2,665,569 450,482 1,480,149 48,011,727
2020 45,358 10,763 10,622 620,312 1,576,616 204,687 18,766,488 3,396,588 574,024 1,886,072 53,842,410

ESAL
Segmen CESAL
Tahun Gol. 2 Gol. 3 Gol. 4 Gol. 5A Gol. 5B Gol. 6A Gol. 6B Gol. 7A Gol. 7B Gol. 7C
2011 6,767 1,956 1,654 17,733 152,955 55,332 2,257,089 873,472 17,731 217,094 3,601,783
2012 6,955 1,978 1,668 34,283 98,133 117,790 2,569,663 729,966 102,841 156,381 7,421,441
2013 7,755 2,087 1,797 40,194 74,011 80,693 2,134,166 498,444 34,576 318,282 10,613,446
2014 8,565 1,945 1,918 29,850 151,310 56,590 2,278,161 436,258 57,627 283,326 13,918,995
2015 8,210 1,993 2,161 28,668 95,940 163,062 2,649,270 982,536 98,409 299,884 18,249,127
Segmen 3
2016 8,645 2,025 2,403 37,239 109,645 54,074 2,418,644 617,075 69,152 239,171 21,807,200
2017 17,133 4,065 4,012 234,311 595,537 77,317 7,088,684 1,282,997 216,827 712,428 32,040,511
2018 26,192 6,215 6,133 358,200 910,420 118,197 10,836,745 1,961,366 331,471 1,089,116 37,451,256
2019 35,596 8,446 8,336 486,807 1,237,294 160,634 14,727,534 2,665,569 450,482 1,480,149 43,068,047
2020 45,358 10,763 10,622 620,312 1,576,616 204,687 18,766,488 3,396,588 574,024 1,886,072 48,898,729

98
Lampiran B Perhitungan AASHTO 1993
DATA FWD SEGMEN 1
Data FWD
Load No Load p (Psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 83.50 0.01223 0.01080 0.00983 0.00839 0.00654 0.00547 0.00469 0.00338 0.00268

jarak geophone (r ) (inch) = - 7.87 11.81 17.72 23.62 29.53 35.43 47.24 59.06
diameter beban (2a)= 11.81 inch
Tebal Perkerasan (D)= 24.61 inch

1. Perhitungan Mr subgrade dengan backcalculation

Mr (Psi)
Load No Load P (lbs) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 9,148.70 - 25,815.71 18,904.39 14,772.15 14,218.17 13,604.45 13,224.26 13,731.13 13,893.08

2. Perhitungan Ep

d0
Load No p (psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 83.50 0.012227 0.012451 0.012512 0.012577 0.012589 0.012604 0.012614 0.012601 0.012597

Ep (Psi)
Load No p (psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 83.50 73877.15417 82946.42 92702.702 94478.903 96631.686 98075.545 96170.056 95593.332

3. Cek luasan bulb stress di interface 2 lapisan

ae (inch)
Load No d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 35.43099978 40.714784 45.770421 46.636974 47.668131 48.348596 47.44872 47.173312

Cek batas r
Cek r>= 0.7 ae
Load No d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 Fail Fail Fail Fail Fail Ok Ok Ok

Ep berada pada d7, dengan nilai 98,075.5 Psi


Mr pada d7= 13,224.26 Psi

4. Perhitungan SNeff
SNeff = 0.0045 D (Ep)^(1/3)
SNeff = 5.11

99
DATA FWD SEGMEN 2
Data FWD
Load No Load p (Psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 84.42 0.01814 0.01437 0.01296 0.01123 0.00938 0.00808 0.00705 0.00538 0.00376

jarak geophone (r ) (inch) = - 7.87 11.81 17.72 23.62 29.53 35.43 47.24 59.06
diameter beban (2a)= 11.81 inch
Tebal Perkerasan (D)= 23.03 inch

1. Perhitungan Mr subgrade dengan backcalculation

Mr (Psi)
Load No Load P (lbs) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 9,249.41 - 19,624.79 14,496.77 11,156.44 10,017.19 9,298.91 8,890.37 8,735.77 9,985.55

2. Perhitungan Ep

d0
Load No p (psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 84.42 0.018139 0.018851 0.018601 0.017879 0.017894 0.018818 0.018695 0.017373 0.018832

Ep (Psi)
Load No p (psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 84.42 47939.45116 54942.792 66264.787 70364.338 67879.959 70532.469 80511.084 65021.155

3. Cek luasan bulb stress di interface 2 lapisan

ae (inch)
Load No d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 31.57621782 36.392106 42.127076 44.503335 45.067489 46.314306 48.649029 43.412618

Cek batas r
Cek r>= 0.7 ae
Load No d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 Fail Fail Fail Fail Fail Ok Ok Ok

Ep berada pada d7, dengan nilai 70,532.5 Psi


Mr pada d7= 8,890.37 Psi

4. Perhitungan SNeff
SNeff = 0.0045 D (Ep)^(1/3)
SNeff = 4.28

100
DATA FWD SEGMEN 3
Data FWD
Load No Load p (Psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 83.50 0.01783 0.01431 0.01249 0.01056 0.00829 0.00705 0.00593 0.00410 0.00311

jarak geophone (r ) (inch) = - 7.87 11.81 17.72 23.62 29.53 35.43 47.24 59.06
diameter beban (2a)= 11.81 inch
Tebal Perkerasan (D)= 23.03 inch

1. Perhitungan Mr subgrade dengan backcalculation

Mr (Psi)
Load No Load P (lbs) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 9,148.74 - 19,483.96 14,887.69 11,736.17 11,213.26 10,543.68 10,447.53 11,336.14 11,960.93

2. Perhitungan Ep

d0
Load No p (psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 83.50 0.017832 0.018183 0.018262 0.018355 0.018376 0.018406 0.018410 0.018371 0.018347

Ep (Psi)
Load No p (psi) d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 83.50 49716.91759 54895.409 60937.907 62295.289 64247.946 64550.824 61964.117 60393.761

3. Cek luasan bulb stress di interface 2 lapisan

ae (inch)
Load No d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 32.02250589 36.069156 40.317709 41.217132 42.480775 42.673758 40.999337 39.952011

Cek batas r
Cek r>= 0.7 ae
Load No d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 d8 d9
1 Fail Fail Fail Fail Fail Ok Ok Ok

Ep berada pada d7, dengan nilai 64,550.8 Psi


Mr pada d7= 10,447.53 Psi

4. Perhitungan SNeff
SNeff = 0.0045 D (Ep)^(1/3)
SNeff = 4.16

101
102
Lampiran C Perhitungan Survivor Curve

Perhitungan Survivor Curve Segmen 1

Kaplan-Meier Weibull Curve Data


Year AGE Segmen Kumulati Risk X= Y=
Pt S(t) C B A S(t)
failure f Failure ln(Age) ln(ln(1/S(t)))
2011 0 - - 41.00 1.00 1.00 0.00 0.00 -10.97 6.56 5.33 1.00
2012 1 - - 41.00 1.00 1.00 0.00 0.00 -10.97 6.56 5.33 1.00
2013 2 - - 41.00 1.00 1.00 0.69 0.00 -10.97 6.56 5.33 1.00
2014 3 1.00 1.00 41.00 0.98 0.98 1.10 -3.70 -10.97 6.56 5.33 0.98
2015 4 4.00 5.00 40.00 0.90 0.88 1.39 -2.04 -10.97 6.56 5.33 0.86
2016 5 16.00 21.00 36.00 0.56 0.49 1.61 -0.33 -10.97 6.56 5.33 0.52
2017 6 -10.97 6.56 5.33 0.11
2018 7 -10.97 6.56 5.33 0.00

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0.996734
R Square 0.993479
Adjusted R Square
0.986957
Standard Error
0.192428
Observations 3

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 5.640919 5.640919 152.33958 0.051467
Residual 1 0.037029 0.037029
Total 2 5.677948

Coefficients
Standard Error t Stat P-value Lower 95%Upper 95%Lower 95.0%Upper 95.0%Lower 95.0%
Upper 95.0%
Intercept -10.9743 0.733601 -14.9595 0.042493 -20.2956 -1.65301 -20.2956 -1.65300953 -1.82875 2.458473
X Variable 16.557902 0.531323 12.34259 0.0514667 -0.1932 13.309 -0.1932 13.30900027 -3.64449 0.573181

103
Perhitungan Survivor Curve Segmen 2

Kaplan-Meier Weibull Curve Data

Year AGE Segmen Kumulati Risk X= Y=


Pt S(t) C B A S(t)
failure f Failure ln(age) ln(ln(1/S(t)))

2011 0 - - 23.00 1.00 1.00 - - (10.23) 5.13 7.34 1.00


2012 1 - - 23.00 1.00 1.00 - - (10.23) 5.13 7.34 1.00
2013 2 - - 23.00 1.00 1.00 0.69 - (10.23) 5.13 7.34 1.00
2014 3 - - 23.00 1.00 1.00 1.10 - (10.23) 5.13 7.34 0.99
2015 4 1.00 1.00 23.00 0.96 0.96 1.39 (3.11) (10.23) 5.13 7.34 0.96
2016 5 2.00 3.00 22.00 0.91 0.87 1.61 (1.97) (10.23) 5.13 7.34 0.87
2017 6 (10.23) 5.13 7.34 0.70
2018 7 (10.23) 5.13 7.34 0.46
2019 8 (10.23) 5.13 7.34 0.21
2020 9 (10.23) 5.13 7.34 0.06
2021 10 (10.23) 5.13 7.34 0.01
2022 11 (10.23) 5.13 7.34 0.00

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 1
R Square 1
Adjusted R Square
65535
Standard Error 0
Observations 2

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 0.656126306 0.656126
Residual 0 0 65535
Total 1 0.656126306

Coefficie Standard Lower Upper Lower


nts Error t Stat P-value 95% 95% 95.0% Upper 95.0%
Intercept -10.2301 0 65535 -10.2301 -10.2301 -10.2301 -10.23007
X Variable 15.133628 0 65535 5.133628 5.133628 5.133628 5.13362785

104
Perhitungan Survivor Curve Segmen 3

Kaplan-Meier Weibull Curve Data


Year AGE Segmen Kumulati Risk X= Y=
Pt S(t) C B A S(t)
failure f Failure ln(age) ln(ln(1/S(t)))
2011 0 - - 32.00 1.00 1.00 - - (15.12) 8.42 6.03 1.00
2012 1 - - 32.00 1.00 1.00 - - (15.12) 8.42 6.03 1.00
2013 2 - - 32.00 1.00 1.00 0.69 - (15.12) 8.42 6.03 1.00
2014 3 - - 32.00 1.00 1.00 1.10 - (15.12) 8.42 6.03 1.00
2015 4 1.00 1.00 32.00 0.97 0.97 1.39 (3.45) (15.12) 8.42 6.03 0.97
2016 5 5.00 6.00 31.00 0.84 0.81 1.61 (1.57) (15.12) 8.42 6.03 0.81
2017 6 (15.12) 8.42 6.03 0.38
2018 7 (15.12) 8.42 6.03 0.03
2019 8 (15.12) 8.42 6.03 0.00

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 1
R Square 1
Adjusted R Square
65535
Standard Error 0
Observations 2

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 1.76335 1.76335 #NUM! #NUM!
Residual 0 0 65535
Total 1 1.76335

Coefficients
Standard Error t Stat P-value Lower 95%Upper 95%Lower 95.0%Upper 95.0%
Intercept -15.1168 0 65535 #NUM! -15.1168 -15.1168 -15.1168 -15.1168009
X Variable 18.415888 0 65535 #NUM! 8.415888 8.415888 8.415888 8.415887504

105

Anda mungkin juga menyukai