Anda di halaman 1dari 4

SINOPSIS NOVEL TELEGRAM

Judul buku : Telegram

Pengarang : Putu Wijaya

Tahun Terbit : 1973

Tebal Halaman : 144 halaman

Penerbit : Pustaka Jaya – Yayasan Jaya Raya, Jakarta

Dalam novel Telegram, karya Putu Wijaya ini menceritakan tentang seorang lelaki yang
merasa mendapatkan sebuah kiriman telegram. Menurutnya, mendapatkan sebuah
telegram merupakan malapetaka baginya. Malapetaka disini dimaksudkan dengan
bencana, berita buruk, kematian, sakit, kecelakaan, dan kabar yang lainnya. Telegram
baginya selalu berisikan tentang hal-hal buruk.

Cerita dari novel ini berawal dari seorang lelaki asal Bali yang tinggal di Jakarta . Ia
tinggal bersama seorang anak yang ia asuh bernama Sinta. Ia juga bekerja sebagai
wartawan. Lelaki ini merasa ia akan mendapatkan sebuah telegram dari kampung
halamannya, Bali. Lelaki ini merasa sangat takut. Seperti yang dianggapnya, telegram
baginya hanyalah hal-hal buruk atau malapetaka. Namun, ia sekarang tidak bisa berbuat
apa-apa lagi, karena telegram yang ia dapat kini yang dikirim oleh saudara tirinya itu
sekarang sedang berada di genggamannya. Seperti yang ia tahu, isi dari telegram itu
tidak lain adalah berisikan tentang ibunya yang meninggal dunia.

Seperti itulah laki-laki itu berkhayal. Seakan-akan apa yang ada dalam pikirannya
menjadi nyata. Mendapat telegram itu, maka ia diharuskan pulang, mengurus rumah
tangga, mengurus penguburan ibunya (upacara ngaben), mengurus tanah berhektar-
hektar yang ada di Denpasar, mengurus tiga rumah beserta isinya, membagi harta
warisan serta semua urusan lain yang menjadi tanggung jawabnya. Memang sebagai
anak yang paling tua, ia harus berperan sebagai kepala keluarga.

Apa yang dia pikirkan tentu sangat membebani pikirannya. Ia tentu sangat merasa
keberatan dengan semua tugas-tugas yang dipikulnya. Apalah dikata, sebagai anak
tertua mau tak mau harus ia lakukan semua pekerjaan itu. Laki-laki itu tengah
merasakan dilemma. Semua itu membebani pikirannya. Di tengah ia telah merasakan
dilemma, Sinta yang tak lain adalah anak angkat dari si lelaki, tengah menanyakan
kerisauan yang tengah dihadapi si lelaki itu. Sinta menanyakan apa sebenarnya isi
telegram itu. Lelaki itu terpaksa berbohong kepada Sinta. Ia tak ingin membebani
pikiran anak angkatnya itu. Maka lelaki itu berkata bahwa pamannya yang dari Surabaya
akan datang ke Jakarta. Sinta telah siap untuk pergi ke stasiun, pakaiannya resmi dan
mengenakan sepatu. Tiba di stasiun, saat mereka menunggu kedatangan kereta Bima
yang terlambat, tiba-tiba Sinta memberikan sesuatu padanya. Sinta memberikannya
sebuah telegram yang tercecer dari saku si lelaki itu semalam.

Karena mereka berdua telah mengetahui isi telegram itu, maka mereka berdua segera
mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi ke Bali. Namun, apa yang terjadi sungguh
diluar dugaan. Dari luar, ibu kandung Sinta datang untuk mengambil Sinta dari
tangannya. Ibu kandung Sinta meminta Sinta kembali untuk merawatnya. Namun, tentu
lelaki itu menolak. Ia bersusah payah membesarkan Sinta yang dulu telah dibuang oleh
ibunya. Lelaki itu juga tidak mau egois, memang ia yang membesarkan Sinta selama
sepuluh tahun lamanya dengan keadaan yang seadanya dan semuanya serba terbatas.
Akan tetapi, lelaki itu mengatakan akan menyerahkan semua keputusannya kepada
Sinta. Sinta sendiri yang akan memilih, baik dirawat oleh ibu kandungnya ataupun tetap
kepada si lelaki itu.

Belum lagi masalah perebutan Sinta yang belum kelar, timbul lagi masalah. Lelaki itu
merasa kondisi tubuhnya tidak sehat. Ia merasa gemetaran dan demam tinggi. Lelaki itu
takut jika ia merasakan sakit itu, akibat penyakit yang ditularkan Nurma, wanita
penghibur yang pernah digaulinya. Sebab, temannya pun mengalami hal yang sama.
Dan teman si lelaki itu melahirkan anaknya dalam kondisi cacat. Si lelaki memutuskan
untuk pergi ke dokter. Sekembalinya dari dokter, si lelaki melanjutkan aktifitasnya
untuk pergi bekerja. Penjaga kantor, langsung memberitahu kepada si lelaki bahwa ada
orang yang ingin bertemu dengan si lelaki. Penjaga itu berkata, ia sudah tiga kali datang
dan ingin bertemu dengan dirinya. Si lelaki tak ingin bertemu dengan tamu-tamunya
karena sudah pasti tamu itu ingin bercakap-cakap atau membawa berita cukup penting.
Terlalu mengambil resiko kalau harus menjumpainya. Walau tamu itu akan membawa
berita gembira, mereka tidak akan memperbaiki suasana. Untuk menghindari tamu itu,
si lelaki pergi ke rumah temannya untuk tidur di sana. Sewaktu sampai di rumah
temannya, si lelaki menumpang untuk tidur. Pukul enam ia bangun, tanpa mandi atau
cuci muka ia langsung pergi ke kantor untuk menyelesaikan cover story tentang Bali.
Banyak yang ingin ditulisnya tentang Bali, tapi ia tak bisa mengemukakan gagasan tanpa
bukti-bukti nyata.

Rupanya seseorang telah menulis sesuatu untuk menuangkan isi hati ibu pada anaknya.
Ia membeberkan isi hatinya dan menyinggung bahwa kakak si lelaki semakin hari
semakin galak dan menekan bathinnya. Di akhir surat, ibunya mengatakan bahwa ia
tidak menuntut apa-apa kalau memang tidak ada biaya, asal keluarganya diikut sertakan
dalam barisan penguburan. Serta tidak boleh dilupakan hubungan kekeluargaan itu,
walaupun sang ibu nanti sudah pergi. Tak terbayangkan bagaimana hidup tanpa ibunya.

Si lelaki menanggalkan pakaiannya. Temperatur tubuhnya mungkin sekitar 39 derajat


celcius. Setiap saat ia bergetar menahan gigil yang menusuk dari dalam. Mungkin
malaria yang pernah didapatnya di Singaraja kumat lagi. Ia berjalan melewati meja para
direktur, ia jelajahi seluruh isi tubuhnya untuk mengetahui seluk-beluknya. Dikenakan
pakaiannya kembali dengan perasaan sedikit malu. Si lelaki memasuki ruang
perpustakaan yang tentu sedikit hangat dengan harapan akan bisa memperoleh keringat.

Paginya ia mengetahui bahwa seluruh tubuhnya penuh bintik-bintik merah. Penjaga


kantor menyuruhnya untuk menanggalkan baju. Mula-mula ada keinginan untuk pergi
ke rumah sahabatnya, tapi tatkala istrinya mengandung, diurungkan. Terlalu berbahaya
kalau sampai menular. Tatkala penjaga kantor bermaksud menjamah si lelaki, iapun
langsung melarangnya. Dokter Syubah telah memeriksa bintik-bintik yang misterius itu,
ia hanya menyangka si lelaki kena alergi. Kematian rasanya terlempar jauh kembali.
Rupanya memang tidak terlalu mudah melepaskan hidup.

Si lelaki dan Sinta sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk berangkat ke
Bali. Namun, sebelum mereka keluar rumah, si lelaki melihat barang-barang yang
sangat banyak yang ada di atas meja mereka. Si lelaki melihat ada baju untuk anak
perempuan, untuk lelaki itu, makanan, dan lainnya. Lelaki itu bertanya pada bibi,
dengan keadaan marah, bibi yang ketakutan itu akhirnya menjawab bahwa semua
barang-barang itu dari ibu kandung Sinta. Ibu kandung Sinta datang dan meminta
anaknya dari si lelaki. Sudah tentu permintaan itu ditolak, namun ibunya Sinta
bersikeras, sehingga antara si lelaki dan ibu Sinta menyerahkan pilihan itu pada Sinta.

Bayangan-bayangan itu menyebabkan si lelaki tidak bisa laki membedakan antara dunia
nyata dan khayalannya. Ia mengalami krisis kejiwaan seperti halnya orang gila. Si lelaki
sudah tidak dapat membedakan mana yang khayalan semata dan dunia nyata. Bahkan ia
pernah bertanya kepada tukang rokok yang dimana ia biasa membeli sebuah rokok
disana. Lelaki itu bertanya apakah dia itu gila atau waras. Karena seringkali laki-laki itu
sadar bahwa yang berkecamuk dalam dirinya hanyalah khayalan semata dari rasa
khawatirnya. Namun kesadaran itu kembali hilang. Ia masuk kembali ke dunia
khayalannya itu, dimana ia pernah berpisah dengan Rosa. Rosa adalah kekasihnya.
Padahal Rosa hanyalah kekasih khayalan si lelaki itu saja. Seperti halnya apa yang ia
khayalkan tentang telegram yang ditakutinya sebagai malapetaka buat sang lelaki.

Akibat khayalan itu, si lelaki kemudian betul-betul bingung dengan apa yang dialaminya.
Si lelaki mengalami krisis kejiwaan seperti halnya orang gila. Ia tak dapat membedakan
lagi antara yang nyata dan mana yang khayalan semata. Si lelaki kadang tersadar dari
khayalannya itu, namun kemudian masuk kembali dalam khayalannya itu. Dalam
khayalannya, si lelaki dan Sinta bersiap-siap berangkat ke Bali. Ia telah memesan tiket
pesawat sehingga mereka tinggal berangkat saja.

Tiba-tiba, Di tengah-tengah khayalannya itu pintu rumahnya diketuk. Ia bangkit untuk


membuka pintu. Ternyata, bibi pemilik kontrakan telah berada di muka rumahnya dan
memberika sepucuk surat. Dengan cepat, lelaki itu membuka telegram yang isinya sudah
bisa ia tebak. Telegram yang baru diterima dari pemilik kontrakan itu benar. Telegram
itu tak lain berisikan tentang kematian ibunda sang lelaki. Kali ini, berita tentang
kematian ibunda sang lelaki itu adalah kenyataan. Bukan khayalan semata. Seperti
kisah-kisah sebelumnya yang diceritakan oleh novel ini hanyalah khayalan semata sang
lelaki.

Anda mungkin juga menyukai