Anda di halaman 1dari 7

 Perkembangan Islam di Brunei Darussalam

Menurut para ahli, Islam mulai masuk ke wilayah Brunei Darussalam pada sekitar tahun 977.
Adapun yang mengislamkan Brunei Darussalam kala itu adalah para pedagang Muslim yang
berasal dari China. Kedatangan mereka mampu menyebarkan Islam hingga berkembang
selama beberapa abad setelahnya. Pesatnya perkembangan Islam dibuktikan dengan Raja
Awang Alak Betatar, yang masuk Islam pada 1406, menjadikannya raja Islam Brunei
Darussalam yang pertama. Setelah memeluk Islam, Raja Awang Alak Betatar, yang dianggap
sebagai pendiri Kesultanan Brunei Darussalam, mengubah namanya menjadi Muhammad
Shah. Pada masa-masa sultan berikutnya, Islam semakin berkembang di Brunei, terlebih lagi
setelah Malaka dikuasai oleh Portugis pada 1511. Umat Islam di Brunei semakin banyak
karena kedatangan Portugis membuat para ahli agama Islam di Malaka pindah ke Brunei.

Islam menjadi agama resmi Brunei Pada masa pemerintahan sultan ke-9, Sultan Hassan (1605-
1619), didirikan berbagai institusi pemerintahan yang didasarkan pada hukum Islam. Sultan
Hassan meyakini bahwa agama memiliki peran sangat penting dalam mengarahkan kebijakan
pemerintahan Brunei ke arah sejahtera.Brunei pun membentuk undang-undang dan
menggunakan Al Quran sebagai landasan hukum pemerintahan. Antara 1893-1984, Brunei
menjadi jajahan Inggris. Meski beberapa wilayahnya lepas, Islam terus berkembang di negara
ini. Bahkan pada 1959, di bawah pemerintahan Sultan Omar Ali Saifuddin III (1950-1967),
Brunei Darussalam mendeklarasikan Islam sebagai agama resmi negara.

Setelah merdeka, Brunei menetapkan Islam sebagai landasan bernegara dan politiknya. Hal itu
diwujudkan dengan didirikannya berbagai lembaga yang selaras dengan tuntutan syariat
Islam. Pemerintah Kesultanan Brunei mendirikan pusat kajian Islam yang ditujukan untuk
kepentingan penelitian agama Islam. Pusat kajian Islam tersebut didirikan pada 16 September
1985. Pusat dakwah ini memiliki tanggung jawab melaksanakan program dakwah dan
pendidikan kepada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas, juga sebagai pusat
pameran perkembangan dunia Islam. Setiap hari besar Islam, seperti Maulid Nabi
Muhammad, Nuzulul Quran, dan Isra Miraj.

 Perkembangan Islam di Ethiopia

Pengaruh Islam mulai ke Ethiopia atau Habasyah (Abyssinia) pada 615 tepatnya di kota Axum.
Pengaruh ini berasal umat Islam yang dipimpin oleh sepupu nabi, Ja’far bin Abi Thalib.
Pengungsi Muslim dari Mekkah ini ini diterima oleh raja Negus/Najasy. Raja memperlakukan
Muslim dengan baik, melindungi mereka dan akhirnya ia sendiri memeluk Islam.

Selama masa Bani Umayah, muslim menduduki kepulauan Dahlak dan pelabuhan Musawwa.
Dari pangkalan ini Islam kemudian didakwahkan ke pedalaman benua. Pada abad ke 12
seluruh pantai Eritrea telah diIslamkan. Pada tahun 283 H, suatu negara Islam didirikan di
Shoa Timur (wilayah Addis-abada saat ini) di bawah dinasti Makhzumi. Pada abad enam belas
Islam bangkit kembali di Ethiopia, di bawah pimpinan Ahmad ibn Ibrahim Al-Ghazi (1506-1543)
yang berhasil menyatukan semua negara muslim di Ethiopia. Pada tahun 1531, muslim
menduduki Dawaro dan Shoa, dan pada 1533, Amhara dan Lasta, serta negara Krsiten
Abyssinia dihapus. Sejak itu Ethiopia dibuat stabil dengan menjadi dua negara, sebuah negara
muslim di selatan dengan ibukota Harrar dan sebuah negara Kristen yang lebih kecil di Utara.
Abad sembilan belas, pertumbuhan ambisi kolonial di Afrika mendorong kebangkitan negara
Kristen Ethiopia, dengan menggunakan harta rampasan dan memulai kebijakan ekspansionis
melawan negara muslim dengan semangat perang salib. Pada tahun 1831 Teodros menduduki
tahta Ethiopia dengan program penyatuan kembali orang-orang Kristen, menaklukkan
Yerusalem, Makkah, dan Madinah, menghapuskan Islam, dan menciptakan kedamaian di
Ethiopia. Orang-orang Islam dibantai secara kejam di Wollo pada 1855, dan orang-orang Mesir
dikalahkan di Eritrea. Malapetaka terakhir terhadap muslim di Ethiopia terjadi ketika
ibukotanya Harrar diduduki pada 1887, oleh orang-orang Kristen. Negara Islam dihapuskan,
masjid agung di ibukota diubah menjadi gereja, dan tetap seperti itu sampai sekarang. Praktis
penduduk muslim diperbudak. Berbagai peristiwa ini menyebabkan berkurangnya populasi
muslim di Ethiopia secara drastis.

Sejak abad ke-19 di bawah kekuasaan Ethiopia (Kristen), pihak muslim dikeluarkan dari
beberapa jabatan publik. Konstitusi tahun 1931 mengukuhkan persamaan hak dan
mengizinkan umat Islam memiliki tanah, menduduki beberapa posisi pemerintahan, dan
sejumlah festival keagamaan muslim di Ethiopia diakui secara resmi. Kendati demikian,
kebijakan yang merugikan umat Islam lebih banyak ketimbang kebijakan yang pro Islam.
Demografi di Ethiopia dari data Population Census Commission tahun 2007, menyebutkan
bahwa dari keseluruhan jumlah penduduk, jumlah muslim di Ethiopia mencapai 33,9% (25
juta), Kristen 62,7% (46 juta), agama tradisional 2,6% (1,9 juta) , & lain 0,63%. Muslim menjadi
mayoritas di daerah Somali, Affar, Argobba, Hareri, dan Oromia. Mayoritas muslim di Ethiopia
bermadzhab Syafi’i. Sebagaimana di negara-negara tetangganya Sudan dan Somalia, tarekat
mempunyai peran penting dalam perkembangan Islam di Ethiopia. Terdapat sekitar 82 masjid,
3 diantaranya dibangun sejak abad 10, dan juga terdapat 102 tempat suci.

Muslim Ethiopia juga mengalami berbagai masalah layaknya minoritas di negara lain, masalah
itu antara lain: banyak pemimpin agama ditahan oleh pemerintah, pembatasan penggunaan
bahasa Arab, sekolah-sekolah Islam diawasi dengan ketat, dan masjid-masjid dicurigai
sebagai sumber munculnya radikalisme, Pemimpin-pemimpin agama dianiaya, dan perizinan
pendirian bangunan umat Islam dipersulit. Di samping penindasan yang dilakukan terhadap
umat Islam, pemerintah memunculkan isu radikalisme yang semakin memojokkan muslim
Ethiopia. Pemerintah Ethiopia mengklaim bahwa “radikalisasi” berkembang di Ethiopia.
Masjid-masjid dianggap sebagai pusat menyerukan gerakan jihad. Sehingga, pemerintah
memperketat pengawasan di masjid-masjid Ethiopia. Kementerian Federal juga menuduh
pendemo yang menentang kebijakan mereka di masjid-masjid ini sebagai “ekstrimis”, yang
terlibat dalam kekerasan dan bekerjasama dengan al-Qaeda untuk menghasut jihad.
Munculnya isu radikalime di Ethiopia pada dasarnya merupakan usaha pemerintah untuk
mencoba mendominasi pengaruh masjid untuk mendapatkan kontrol politik yang lebih luas di
negara itu.

 Perkembangan Islam di Mesir

Islam masuk wilayah Afrika Utara pada saat daerah itu berada di bawah kekuasaan kekaisaran
Romawi, sebuah imperium yang amat luas yang melingkupi beberapa Negara dan berjenis-
jenis bangsa manusia. Masuknya Islam kewilayah Mesir yang termasuk wilayah Afrika Utara
terjadi dalam beberapa tahapan dan dibawah kepemimpinan yang berbeda pula

Pada 639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru
bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan
4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu,
Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan Keluarga Umayah, dan
kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula.
Mesir baru menjadi pusat kekuasaan dan juga peradaban Muslim baru pada akhir Abad 10.
Muiz Lidinillah membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, untuk membangun
kekhalifahan sendiri yang berpaham Syi’ah. Ia menamai kekhalifahan itu Fathimiah dari nama
putri Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi’ah, Fatimah. Pada masa kekuasaannya (953-
975), Muiz menugasi panglima perangnya, Jawhar al-Siqili, untuk membangun ibu kota.

Di dataran tepi Sungai Nil itu kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-
Azhar (dari “Al-Zahra”, nama panggilan Fatimah) yang dirampungkan pada 17 Ramadhan 359
Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian bekembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang,
yang juga merupakan universitas tertua di dunia saat ini. Muiz dan para penggantinya, Aziz
Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (996-1021) sangat tertarik pada ilmu pengetahuan.
Peradaban berkembang pesat. Kecemerlangan kota Kairo -baik dalam fisik maupun kehidupn
sosialnya-mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam
yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana di Baghdad. Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat
1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu yang menjadi dasar arloji mekanik saat
ini. Lalu Hasan ibn Haitham menemukan penjelasan fenomena “melihat”. Sebelum itu, orang-
orang meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata
menuju obyek yang dilihat. Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah
dari mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya. Dari benda ke mata.

Gangguan politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah


merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan
Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti
Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah. Salahuddin
tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya sama
antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syiah menjadi Sunni. Sekolah,
masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas sosial lainnya
dibangun. Pada 1250 -delapan tahun sebelum Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu-
kekuasaan diambil alih oleh kalangan keturunan Turki, pegawai Istana keturunan para budak
(Mamluk). Di Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang
baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh militer Turki, Aybak bersekongkol
dengan ibu tiri Turansyah, Syajarah. Turansyah dibunuh. Aybak dan Syajarah menikah. Namun
Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian Musa, keturunan Ayyubiyah, yang sempat
diangkatnya.

Di saat Aybak menyebar teror itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars
mengasingkan diri ke Syria. Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan Ali -anak Aybak-
mengundurkan diri untuk digantikan Qutuz. Qutuz dan Baibars bertempur bersama untuk
menahan laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di Ain Jalut, Palestina, pada 13
September 1260 mereka berhasil mengalahkan pasukan Mongol itu. Baybars (1260-1277) yang
dianggap menjadi peletak pondasi Dinasti Mamluk yang sesungguhnya. Ia mengangkat
keturunan Abbasiyah -yang telah dihancurkan Hulagu di Baghdad-untuk menjadi khalifah. Ia
merenovasi masjid dan universitas Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban
dunia. Ibnu Batutah yang berkunjung ke Mesir sekitar 1326 tak henti mengagumi Kairo yang
waktu itu berpenduduk sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding London
di saat yang sama. Ibnu Batutah tak hanya mengagumi ‘rihlah’, tempat studi keagamaan yang
ada hampir di setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang sangat rapi dan
“gratis”. Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut: “mengenai dinasti-dinasti di zaman kita, yang
paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir.” Pusat peradaban ini nyaris hancur di
saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke Barat. Namun Sultan Barquq berhasil
menahan laju pasukan Mongol tersebut. Dengan demikian Mamluk merupakan pusat
kekuasaan yang duakali mampu mengalahkan tentara Mongol.

Pada ujung abad 15, perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui Laut
Tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat berdagang ke Asia. Pada 1498,
mereka “menemukan” Tanjung Harapan di Afrika Selatan sebagai pintu perdagangan laut ke
Asia. Pada 1517, Kesultanan Usmani di Turki menyerbu Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan
di Dinasti Mamluk tersebut.

 Perkembangan Islam di Afrika Utara

Perkembangan Islam di Afrika Utara telah dimulai sejak khalifah Umar bin Khattab (634-
644M), yang mengutus Amru bin Ash untuk menguasai Mesir yang kemudian secara sistemik
dilanjutkan pengembangannya oleh dinasti-dinasti yang berkuasa kemudian. Penyebaran
Islam oleh beberapa penguasa muslim telah membuat bahasa Arab menjadi bahasa resmi
yang dipakai oleh masyarakat muslim diberbagai wilyah, khususnya Afrika Utara. Pengaruh itu
bukan saja pada aspek bahasa tetapi pada peradaban pada umumnya. Data sejarah di Afrika
Utara dengan beberapa aspek kemajuannya, baik bidang administrasi pemerintahan, ilmu
pengetahuan, arsetektur, bangunan-bangunan bersejarah, pola hubungan penguasa dengan
masyarakat, menjadi bukti sejarah bahwa Islam rahmatan lil’alamin.

Sebagai wilayah penghubung antara Timur dan Barat, maka Afrika Utara (Libia, Tunisia,
Aljazair dan Maroko) memainkan peran penting bagi perkembangan peradaban bangsabangsa
di dunia, terutama peradaban Islam. Dalam buku Sejarah Islam dijelaskan bahwa
perkembangan Islam di Afrika Utara ini telah dimulai sejak khalifah Umar bin Khattab (634-
644M), yang mengutus Amru bin Ash untuk menguasai Mesir dengan jumlah pasukan 4000
orang, dan sepanjang perjalanan menuju Mesir pasukan Amru bin Ash bertambah.

menjadi 20. 000 orang. Setelah menguasai Mesir dan mendapatkan izin khalifah Umar bin
Khattab, Amru bin Ash beserta pasukannya meneruskan ekspedisi ke wilayah Afrika Utara,
setelah wilayah Maghribi dibawah kendali Islam. Maka lengkaplah kawasan Islam terbentang
dari Maghribidi Barat sampai India di sebelah Timur (Suud, 2009: 69). Selanjutnya pada masa
Bani Umayyah, perluasan wilayah di Afrika Utara yang telah dilakukan khalifah Umar bin
Khattab dilanjutkan terus oleh khalifah al-Wahid (705- 715 M). Di bawah Amir Maghribi
(Musa) berhasil menaklukan kota lama Kartago, untuk selanjutnya memasuki daerah suku
Barbar. Kartago merupakan kota indah di zaman Romawi dengan bangunan indah di
perbukitan pantai Libiya menghadap ke laut tengah. Setelah menguasai seluruh Afrika Utara
pada tahun 710 M, Amir Maghribi (Musa) memerintah panglima Tarik bin Ziat untuk
menyeberang ke Spanyol dengan pasukan berjumlah 7000 perajurit (Suud, 2009: 75). Berbeda
dengan kebijakan periode sebelumnya dimana para khalifah lebih banyak berkonsentrasi pada
perluasan wilayah, maka pada masa Bani Abbasiyah terutama pada masa keemasan Bani
Abbasiyah sejak masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M), hingga khalifah Al-Wafiqh (824-847 M),
dimana ada tujuh khalifah, diantaranya khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-
Makmun (813-833 M). Para khalifah ini lebih menekankan pengembangan dan pembinaan
peradaban, serta kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah. Orientasi ini menjadi
pembeda antara Bani Umayyah yang lebih mementingkan perluasan wilayah, dengan Bani
Abbasiyah yang lebih mementingkan pengembangan dan pembinaan peradaban serta
kebudayaan Islam. Akibat kebijakan tersebut wilayah-wilayah dipinggiran mulai terlepas dari
kekuasan mereka. Menurut Abu Suud ada dua kecendrungan yang terjadi yaitu: Pertama,
pemimpin lokal memimpin setiap pemberontakan dan berhasil mendirikan dinasti baru
seperti Dinasti Umayyah di Spanyol dan Dinasti Idrifiah di Maroko. Kedua, ketika orang yang
ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah menjadi sangat kuat lalu melepaskan diri dari
pemerintah pusat (Amir, 2010: 254). Kelemahan kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah ini telah
memunculkan dinastidinasti baru yang menguasai Afrika Utara, yaitu Dinasti Fathimiah,
Dinasti Murabithun, Dinasti Muwahiddun, dan Dinasti Mamluk. Dinasti Fathimiah memiliki
wilayah kekuasaan meliputi: Afrika Utara, Mesir dan Suriah. Berdirinya dinasti ini
dilatarbelakangi oleh melemahnya Khalifah Abbasiyah. Ubaidillah al Mahdi mendirikan Dinasti
Fathimiah yang lepas dari kekuasaan khalifah Abbasiyah. Dinasti ini mencapai pucak kejayaan
pada masa kepemimpinan Al-Aziz. Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis dari lurus
dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulullah. Menurut mereka Abdullah
alMahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail bin Jafar As-Shadiq. Sedangkan
Ismail bin Jafar As-Shadiq merupakan imam Syiah yang ke tujuh. Kemudian dinasti ini berakhir
setelah al-Adid, khalifah terakhir jatuh sakit. Kemudian Salahudin Al-Ayyubi, Dinasti Fatimiah
mengambil alih kekuasaan dan mengakui kekuasaan Abbasiyah, yaitu AlMustahdi (Tohir,
2009: 94-95).

Selanjutnya, penguasa Afrika Utara beralih ke DinastiAl-Murabbitun (1056-1147 = 91 tahun).


Asal usul dinasti ini berasal dari Lamtunah, salah satu anak dari suku-suku. Menurut Ajid Tohir
berdirinya Dinsti Al-Murabbitun diawali ketika seorang pemimpin suku Shanhajah bernama
Yahyah bin Ibrahim al-Jaddali melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah. Hasil perjalanan
tersebut membuat ia sadar akan perlunya perbaikan dalam bidang agama bagi rakyatnya.
Dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan seorang guru sufi Abdullah bin Yasin Al-Jazuli,
selanjutnya Yahya berhasil mengajak Abdullah bin Yasir Al-Jazali untuk menyiarkan agama
yang benar bagi rakyatnya sukuLamtunah. Kemudian Abdullah bin YasinAl-Jazuli mengajak
beberapa orang pengikutnya menuju ke sebuah pulau di Sinegal, dan disanalah ia bersama
pengikutnya mendirikan ribbath. Inilah awal mula penamaan Al-Murabithah dan pengikutnya
disebut Al-Murabithun (Tohir, 2009: 94). Ketika pengikutnya mencapai 1000 orang Abdullah
bin Yasin Al-Jazulimulai memerintahkan penyiaran Islam ke luar ribath dan memberantas
segala bentuk penyelewengan. Dalam waktu 10 tahun jumlah pengikut al-Murabithah
meningkat tajam, sehingga komunitas mereka menjadi sebuah gerakan politik. Kekuatan
keagamaan yang melatarbelakangi pergerakan ini, menyebabkan gerakan mereka menjadi
gerakan jihad Islam yang tersebar diantara pendudukSanhaja (Amir, 2010: 270). Dinasti
Murabithun memegang kekuasan selama lebih kurang 91 tahun dengan enam orang
penguasa, yaitu Abu Bakar bin Ummar, Yusuf bin Tasyifin, Ali bin Yusuf, Tasyfin bin Ali,
Ibarahim bin Tasyfin, dan Ishak bin Ali. Dinasti ini berakhir ketika dikalahkan Dinasti
Muwahiddun yang dipimpin Abdul Mukmin (Amir, 2010: 270-271). Setelah Dinasti Murabithun
berakhir, Afrika Utara berada dibawah kekuasaan Dinasti Muwahiddun (1121-1269 M= 148
tahun). Dinasti Muwahiddun merupakan dinasti Islam yang pernah berjaya di Afrika Utara dan
Spanyol selama 148 tahun, didirikan oleh Muhammad bin Tumart yang dikenal dengan
sebutan Ibn Tumart(1080-1130 M). Dinasti Muwahiddun yang berarti golongan berpaham
tauhid, didasarkan atas prinsip dakwahIbnu Tumart yang memerangi paham tajassum. Paham
ini menganggap Tuhan mempunyai bentuk (antropomorfisme) yang berkembang di Afrika
Utara pada masa itu sebagai bentuk ajaran dari Dinasti Al-Murabithun (1056-1147 M).
AjaranAl-Murabithun menyatakan bahwa ayat yang berkaitan dengan sifat Tuhan dalam al-
Qur’an seperti tangan Tuhan, tidak dapat dijelaskan dan harus dipahami apa adanya. Menurut
Ibnu Tumart, paham tajassum tersebut sama dengan syrik dan orang yang menganut paham
ini sama dengan orang musyrik (Amir, 2010: 270-271).

Pada umumnya dakwah Ibnu Tumart bersifat murni, semata-mata hanya ingin menegakkan
tauhid, bukan karena kepentingan politik. Akan tetapi setelah merasa dakwanya mendapat
sambutan dan dukungan dari para suku Barba, seperti suku Haraqah,Jadmiwah dan Jaufisah,
sementara kekuasaan Dinasti Al-Murabituhsudah lemah, maka Ibnu Tumartberambisi
mengambil alih kekuasaan. Pada tahun 1120 M ia menobatkan dirinya sebagai al-Mahdi dan
menjadi penguasa Al-Muwahiddun di Afrika Utara menggantikan Dinasti Murabithun (Suud,
2009: 79).

 Al-Battani dan penemuannya

Al-Battani menjadi nama yang dikenal oleh mata dunia. Dirinya lahir dari latarbelakang
keluarga dengan percaya akan bintang. Tak heran sang ayah menggeluti bidang mengenai
langit dan bintang. Al-Battani pun mengikuti jejak sang ayah. Masa remaja dari Al-Battani
banyak dihabiskan di Raqqah. Bersama dengan asuhan sang ayah, dirinya mulau menaruh hati
pada dunia perbintangan dan langit malam. Masa-masa remajanya digeluti dengan banyak
melirik tulisan-tulisan yang mengarah pada bidang ilmu langit dan bintang. Tulisan-tulisan
yang banyak dilirik oleh Al-Battani ketika masa remajanya yakni tulisan-tulisan Ptolomeus.
Ketika dewasa pun Al-Battani mendiami wilayah Raqqa. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan
mengenai astronomi masih terus berlanjut. Masa-masa setelah remajanya banyak dihabiskan
dengan melakukan aktivitas pengamatan lebih dalam mengenai langit dan bintang sesuai
bidang ketertarikannya. Tidak hanya bidang tersebut saja, Al-Battani juga dikenal menaruh
hati pada matematika dan ilmu alam. Hal inilah pula yang menyebabkan nama dirinya
melambung dikalangan masyarakat Raqqah. Nama dirinya dikenal atas penemuannya pada
bidang astronomi dan juga matematika. Lahir di keluarga dengan seorang ayah yang
menggeluti bidang ilmu pengetahuan juga, mendorong diri Al-Battani untuk mengikuti jejak
sang ayah.

Masa-masa mudanya banyak dihabiskan dengan melakukan pengamatan mendalam


mengenai hal-hal yang berhubungan dengan ilmu alam, khususnya ilmu langit dan bintang.
Tak hanya itu, dirinya pula mencurahkan perasaannya terhadap matematika. Tak heran,
ketertarikannya akan ilmu pengetahuan membuahkan sebuah hasil. Prestasi Al-Battani
sebagai seorang penggelut bidang ilmu langit dan bintang menghasilkan karya berupa tulisan-
tulisan mengenai hasil pengamatan bintang di langit. Dirinya pula mencurahkan
pengamatannya mengenai perbedaan kalender antar masing-masing suku bangsa kala itu
dalam sebuah tulisan. Tulisannya yang paling dikenal mata dunia yaitu buku dengan judul “Zij
Ash-Shabi”. Pada buku tersebut memberikan gambaran mengenai pandangan Al-Battani
mengenai astronomi, bulan, bintang, serta matahari yang memengaruhi periode waktu di
muka bumi. Dengan adanya ilmu mengenai langit dan bintang, seluruh periode waktu dapat
ditentukan berdasarkan ilmu tersebut.

Selain tulisan mengenai ilmu astronomi, Al-Battani pula memegang peran besar dalam
penemuan jumlah hari dalam periode satu tahun. Periode satu tahun di bumi memiliki jumlah
yakni sebanyak 365 hari. Al-Battani menghitung jumlah tersebut dilandasi atas periode bumi
mengelilingi sang surya. Selain penemuan mengenai jumlah hari dalam setahun, dirinya pula
memegang peran utama dalam kehadiran trigonometri dalam bidang matematika.
Trigonometri memberikan penjelasan mengenai ukuran panjang dan sudut segitiga. Al-Battani
pula memegang peran dalam penemuan persamaan dengan rumus sin x = a cos x. Dirinya pula
merapikan tabel sinus, tangen, dan kontagen. Tabel tersebut bermanfaat bagi penggunaan
operasi aljabar dan trigonometri. Kehadiran Al-Battani dan karyanya merupakan salah satu
titik indah bagi ilmu pengetahuan, khususnya pada periode peradaban Islam.

Anda mungkin juga menyukai