Judul Urgensi Akuntansi Lingkungan (Standar Akuntansi Hijau)
Nama Andi Husnul Khatimah Nim 90400122032 Kelas Akuntansi A
A. Krisis Ekologi Menyelamatkan Dunia
Semakin bertumbuhnya dunia industri maka permasalahan terhadap lingkungan juga semakin berkembang karena perilaku industri jarang tidak peduli akan dampak bagi lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan industri seperti tercemarnya air, tercemarnya tanah, tercemarnya udara serta terjadinya kesenjangan sosial. Bebbington (2001) menyebutkan bahwa peran yang penting diberikan oleh akuntansi dalam pengelolaan hubungan diantara perusahaan serta lingkungan. Pertanggung jawaban terhadap lingkungan akan berpengaruh juga terhadap kinerja dari perusahaan. Dikatakan sebagai perusahaan yang baik, apabila perusahaan tidak terfokus pada laba saja namun juga peka akan keadaan dari lingkungan sekitar perusahaan dan kesejahteraan dari masyarakat disekitarnya. Setiap perusahaan dituntut dapat menyeimbangkan kepentingan perusahaan dan lingkungannya. Pada kenyataannya, banyak perusahaan lebih mementingkan capaian nominal dibandingkan dengan keindahan alam, sehingga interaksi antara alam (spesies non-manusia) dengan manusia di dalam perkembangannya mengalami ketimpangan yang sangat besar. Akibatnya ialah hilangnya harmoni antara alam dan manusia dan muncul lah krisis ekologi. Sulit bagi perusahaan di era disrupsi teknologi “menyembunyikan” jejak hitam lingkungan. Hal ini menjadikan para pemangku kepentingan menuntut transparansi seberapa besar perhatian perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan. Krisis-krisis ini telah menyebabkan kekurangan energi, kelangkaan sumber daya, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan meningkatnya penderitaan masyarakat. Secara umum, telah dijelaskan oleh Maunders & Burrit (1991) bahwa penyebab utama krisis tersebut adalah akibat dari perilaku keserakahan dan ketamakan negara, korporasi dan masyarakat luas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan laba sebesar-besarnya (profit maximize). Motif ini juga yang membuat para pemimpin negara dan pelaku ekonomi terdorong untuk berperilaku serakah dan tamak. Menurut Ningsih & Rachmawati (2017), manusia terlalu sering mengeksploitasi sumber daya alam dari bumi secara besar-besaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan serta berakibat pada lingkungan dan kehidupan makhluk hidup. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pendapat Elkington (2001) dan Gore (2013) yang mengatakan bahwa mereka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya sosial, serta merusak lingkungan. Selain itu, adapun pendapat secara yang diungkapkan oleh Deegan (2013) yang mengatakan bahwa justru akuntansi inilah yang dituding menjadi pemicu-pemicu terjadinya krisis ekologi. Alasannya karena prinsip dan standar akuntansi yang berdasar pada praktik konvensinal selama ini mengabaikan pengakuan, pengukuran, dan penyajian informasi akuntansi sosial dan lingkungan dalam pelaporan informasi akuntansi. Akibatnya, perlakuan akuntansi terhadap pengorbanan sumber daya ekonomi dan non ekonomi untuk aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan menjadi salah kaprah menurut Andreas Lako (2018). Informasi akuntansi yang tersaji dalam pelaporan keuangan (financial reporting) dan laporan tahunan (annual reporting) cenderung menyesatkan bagi para pemakai laporan dalam evaluasi dan penilaian kinerja maupun dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan karena nilai aset, laba, dan ekuitas yang dilaporkan entitas korporasi pelaksana TJSLP/CSR menjadi terlalu kecil (undervalued). Singkatnya, informasi akuntansi yang dilaporkan entitas korporasi pelaksana TJSLP dan CSR selama satu dekade terakhir sesungguhnya terlalu terendah dan telah menyesatkan para pihak dalam penilaan dan pengambilan keputusan investasi, operasional dan pendanaan. Selain itu, karena costs TJSLP dan CSR diperlakukan sebagai beban periodik yang mengurangi benefit, laba dan nilai ekuitas maka banyak perusahaan hingga saat ini juga enggan melaksanakan TJSLP dan CSR. Menurut Thornton (2013) dan Deegan (2013) pemaksaan perlakuan akuntansi terhadap cost dan benefit dalam pelaporan keuangan tersebut bisa menimbulkan kesalahan serta komplikasi sosial- ekologi yang serius. Mereka menilai melaksanakan TJSLP dan CSR sangat merugikan perusahaan sehingga sedapat mungkin dihindari. Mereka kemudian menggunakan cara-cara konservatif dengan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat setempat demi kepentingan memaksimukan laba. Misalnya, membuka lahan dengan membakar hutan dan membuka pabrik dengan merusak lingkungan dan menggusur masyarakat agar biaya sosial-lingkungan dapat diminimalisir. Hal itulah yang menyebabkan krisis sosial dan lingkungan masih terus terjadi dan eskalasinya bahkan kian meningkat.
B. Fase Transformasi Menuju Akuntansi Lingkungan
Dalam banyak praktik akuntansi CSR, pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk investasi sosial dan lingkungan diperlakukan sebagai beban atau biaya (expenses) yang mengurangi laba. Hal itu menyebabkan manajemen korporasi berusaha keras menghindari CSR atau tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (TJSLP) karena dianggap merugikan perusahaan dan pemilik. Hal inilah yang menjadi penyebab rendahnya kesadaran dan komitmen korporasi atau pelaku usaha dalam melaksanakan CSR atau TJSLP. Selain itu, laporan keuangan juga dikritik telah menyesatkan dan merugikan banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan dinilai hanya menyajikan indikator-indikator dan sinyalsinyal kesuksesan korporasi secara ekonomi atau keuangan. Sementara itu, indikator dan sinyal-sinyal kesuksesan atau kegagalan secara sosial dan lingkungan sama sekali tidak disertakan. Paradigma akuntansi konservatif diharapkan segera direformasi atau direkonstruksi kembali agar lebih sensitif, responsif dan adaptif dengan dinamika lingkungan ekonomi dan bisnis yang kian mengalami tantangan serius akibat krisis sosial dan lingkungan. Munders dan Burrit (1991) menungkapkan bahwa para akuntan diharapkan segera mengambil langkah- langkah proaktif untuk merekonstruksi rerangka konseptual, teori-teori, prinsip- prinsip, standar-standar dan proses praktik akuntansi agar lebih sensitif dengan isu-isu sosial dan lingkungan Singkatnya, para akuntan diminta segera mereformasi paradigma akuntansi konservatif agar bisa mengintegrasikan pelaporan informasi keuangan dengan pelaporan informasi sosial dan lingkungan dalam satu paket pelaporan akuntansi. Tujuannya, agar para pemakai informasi akuntansi bisa mendapatkan informasi yang utuh sehingga tidak disesatkan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan lainnya. Hanya dengan cara begitu maka para akuntan akan ikut berpartisipasi aktif dalam kolaborasi global untuk mengatasi krisis lingkungan. Hanya dengan cara itu pula akuntansi dan akuntan akan selalu berperan aktif dalam gerakan go green untuk mendukung terwujudnya tatakelola bisnis dan tatakelola korporasi yang ramah lingkungan. Dengan begitu, akuntansi dan profesi akuntan akan semakin relevan dan dibutuhkan para stakeholder. Maka dari itu, hadirlah akuntansi hijau (green accounting) sebagai reformasi dan transformasi dari paradigma akuntansi konvensional dengan tujuan agar proses akuntansi seperti pengakuan, pengukuran, dan penyajian informasi dapat mengintegrasikan aspek-aspek keuangan, sosial, dan lingkungan dalam pelaporan sehinggah bisa menghasilkan informasi akuntansi secara menyeluruh. Makin kuatnya tuntutan konsumen terhadap tanggung jawab lingkungan, perusahaan mencari berbagai model alternatif solusi dalam pengelolaan lingkungan. Peran informasi akuntansi biaya lingkungan (environmental cost accounting) pun semakin penting dalam membangun metode alternatif tersebut. Berdasarkan pendapat Lako (2016) yang menyatakan akuntansi konvensional juga dinilai telah gagal dalam mengembangkan rerangka konseptual dan standar akuntansi hijau untuk mendasari praktik akuntansi dan tatakelola keuangan yang etis dan ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab lingkungan menunjukkan gejala yang terus meningkat. Letmathe (2000) dan Kodrat (2002) juga berpendapat bahwa pandangan konvensional ini menyatakan bahwa biaya lingkungan sangat mahal dan menjadi penghambat daya saing perusahaan, dengan bantuan informasi akuntansi biaya lingkungan, diubah menjadi harga yang murah, bernilai tinggi, berkualitas, dan unik. Artinya, biaya lingkungan bukan diorientasikan pada aktivitas perbaikan kerusakan lingkungan (recovery and conservation cost), tetapi lebih kepada investasi pada desain proses produksi dan model produk yang ramah lingkungan (green product). Informasi tersebut berguna bagi manajemen untuk melakukan eliminasi secara sistematis terhadap berbagai sumber pemborosan dan limbah, sehingga dapat dilakukan efisiensi dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan (continous improvement). Manfaat lain adalah, pembebanan biaya (cost assignment) lingkungan yang terjadi kepada setiap produk dapat lebih akurat, sehingga perhitungan harga pokok produk lebih realistis. McLaughin (1996) juga menyatakan bahwa informasi akuntansi biaya lingkungan merupakan kunci mengurangi biaya produk akibat proses produksi yang tidak efisien. Inefisiensi ini disebabkan oleh proses produksi yang masih menyisakan banyak limbah, penggunaan bahan baku yang tidak berguna, dan pemborosan energi dalam setiap tahap proses produksi. Reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju Akuntansi Hijau juga kian penting dan mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir kepedulian dari pemerintah untuk mengaplikasikan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam model Pembangunan Berkelanjutan Nasional makin serius. Demikian pula kepedulian dunia bisnis terhadap gerakan “tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR)” yang bersifat sukarela, tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) yang bersifat wajib, dan bisnis hijau (green business) serta tatakelola korporasi hijau juga makin meningkat. Meningkatnya kesadaran dan kepedulian tersebut tentu saja membawa konsekuensi serius bagi entitas korporasi berupa pengorbanan sumberdaya ekonomik (aset) dan daya-upaya (efforts) untuk melaksanakannya. Selama ini, secara akuntansi pengorbanan sumberdaya ekonomi (costs) dan daya-upaya (efforts) untuk melaksanakan CSR, TJSLP, green business, green corporation dan green governance umumnya diperlakukan sebagai beban atau biaya periodik (expense) yang mengurangi aset dan laba serta nilai ekuitas pemilik. Itu sebabnya, banyak pelaku usaha yang telah melaksanakan CSR dan menerapkan prinsip-prinsip green business dalam tatakelola korporasi dan praktik bisnisnya meminta insentif pajak dan kompensasi lainnya dari pemerintah. Namun, perlakuan akuntansi tersebut menimbulkan beragam komplikasi permasalahan yang serius bagi negara dan masyarakat konsumen. Karena diperlakukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba maka pajak penghasilan badan (PPh Badan) yang dibayarkan korporasi kepada negara menjadi jauh lebih rendah. Banyak korporasi secara agresif menggunakan pendekatan CSR, TJSLP dan green business sebagai strategi untuk penghindaran pajak (tax avoidance). Selain itu, biaya-biaya untuk melaksanakan CSR, TJSLP dan green business pada akhirnya juga diperhitungkan dalam komponen penentuan harga jual produk atau jasa (pricing strategy) yang akan dibebankan kepada masyarakat pembeli atau konsumen. Jadi, masyarakat konsumenlah yang sesungguhnya menanggung biaya CSR, TJSLP dan green business korporasi. Sementara pada sisi yang lain, korporasi juga mendapatkan banyak manfaat ekonomi dan nonekonomi dari pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk melaksanakan CSR, TJSLP dan green business tersebut. Manfaat tersebut antara lain menurunnya risiko sosial (social risk), risiko lingkungan (environment risk), risiko politik (political risk), risiko pasar (market risk), risiko bisnis (business risk) dan risiko keuangan (financial risk) sehingga memudahkan akses bisnis, investasi dan kredit. Selain itu juga dapat meningkatkan reputasi dan nama baik perusahaan serta apresiasi para stakeholder sehingga meningkatkan pangsa pasar, penjualan, pendapatan dan nilai perusahaan.
C. Urgensi Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting)
Akuntansi Lingkungan dipertimbangkan karena menjadi perhatian bagi stockholders dengan cara mengurangi biaya yang berkaitan dengan lingkungan dan diharapkan dengan pengurangan biaya lingkungan tercipta kualitas lingkungan yang baik. Menurut Islamey (2016), akuntansi lingkungan adalah kegiatan pencatatan, pengukuran, dan pengidentifikasian biaya-biaya yang ditimbulkan akibat kegiatan operasional perusahaan yang berdampak pada lingkungan, dan dapat digunakan untuk pendukung keputusan manajemen terkait bisnis perusahaan serta sebagai upaya untuk meningkatkan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan perusahaan serta untuk mengetahui kinerja operasional perusahaan yang berbasis pada perlindungan lingkungan. Dalam dunia bisnis, akuntansi terlalu berpihak pada stockholders daripada shareholders sehingga konsep akuntansi sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam situasi dan kehidupan serta alam yang lestari dan terpelihara. Ini berarti bahwasanya ketika perusahaan mulai memperhatikan lingkungan, maka sistem akuntansi pun juga semakin baik dan dapat meyakinkan perusahaan untuk siap menerima berbagai pengaruh eksternal. Akuntansi kemudian dianggap penting karena perusahaan perlu menyampaikan informasi mengenai aktivitas sosial dan perlindungan terhadap lingkungan kepada stakeholders perusahaan. Disebutkan juga oleh Rajafi dan Irianto (2007) bahwa yang menjadi faktor pendorong munculnya akuntansi lingkungan ini ialah adanya pergeseran paradigma yang dikenal dengan The Human Exeptionalism Paradigm menuju The Environment Paradigm. Akuntansi sosial dan lingkungan ini sering juga disebut dengan istilah akuntansi hijau (green accoun- ting), environmental accounting atau akuntansi keberlanjutan, namun ada juga literatur terdahulu yang memberikan makna berbeda terkait istilah-istilah tersebut. Dalam artikel-nya Cooper (1992) menjelaskan istilah green accounting sebagai : "The introduction of "green accounting", however well thoughtout, will, under the present phallogocentric system of accounting, do nothing to avert today's environmental crisis. In fact, it could make matters even worse" (Pengenalan “akuntansi hijau”, betapapun dipikirkan dengan matang, dalam sistem akuntansi falogosentris saat ini, tidak akan melakukan apa pun untuk menghindari krisis lingkungan hidup saat ini. Faktanya, hal ini bisa memperburuk keadaan). Akuntansi hijau berfokus pada pelaporan akuntansi lingkungan, sosial dan keuangan secara terpadu. Alasan krusial yang mendasari pelaporan akuntansi hijau karena Indonesia sedang menghadapi krisis lingkungan serius dan menakutkan sama seperti dinegara-negara lainnya. Krisis ini menimbulkan bencana lingkungan yang sangat merugikan dan mengancam keberlangsungan hidup manusia, yaitu dengan rusaknya alam, kebakaran hutan, tanah longsor dan banjir. Maka, paradigma baru Akuntansi Hijau harapannya dapat menjadi solusi dan mendongkrak isu krusial lingkungan. Dalam praktiknya, banyak korporasi merespon gerakan “go green” tersebut dengan mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip green business, green industry, green corporation, green management, green production, green finance dan lainnya dalam upaya menjadikan korporasi semakin efisien, efektif dan bertumbuh kembang secara berkelanjutan (sustainability), serta berkontribusi besar pada upaya-upaya mencegah krisis sosial dan krisis ekologi. Latar belakang pentingnya akuntansi lingkungan pada dasarnya menuntut kesadaran penuh perusahaan-perusahaan maupun organisasi lainnya yang telah mengambil manfaat dari lingkungan. Penting bagi perusahaan-perusahaan atau organisasi lainnya agar dapat meningkatkan usaha dalam mempertimbangkan konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Penggunaan konsep akuntansi lingkungan bagi perusahaan mendorong kemampuan untuk meminimalisasi persoalan-persoalan lingkungan yang dihadapi. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan lingkungan dengan melakukan penilaian kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya dan manfaat atau efek. Peran perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan, dengan cara merealisasikan penerapan eco-efisiensi melalui green accounting, sesuai dengan pendapat Kusumawardani (2018) green accounting harus memperhatikan biaya, persediaan, produksi dan kinerja ketika membuat rencana pengembangan serta keputusan evaluasi bisnis saat memperbaiki keadaan ekonomi perusahaan, namun tidak mengabaikan kondisi lingkungan. Penerapan akuntansi lingkungan harus berdasarkan kebutuhan perusahaan dan sistematis. Pengungkapan informasi lingkungan merupakan aspek penting bagi perusahaan, pengungkapan informasi lingkungan seperti halnya pengungkapan informasi keuangan. Perusahaan harus transparan, obyektif, bertanggung jawab & mempunyai manajemen perusahaan baik mengkomunikasikan informasi, sehingga perusahaan wajib memberikan informasi tentang kegiatan sosialnya. Menurut Hadjoh & Sukartha (2013) menyatakan bahwa pengungkapan lingkungan yang baik dapat berpengaruh dalam kelangsungan hidup manusia serta organisme lain. Ini sejalan dengan pendapat Hansen & Mowen (2014) bahwa melalui pengungkapan informasi lingkungan inilah yang dapat memberikan informasi bermanfaat guna pengendalian kinerja lingkungan. Perusahaan seharusnya tidak hanya meningkatkan produktivitas memperoleh keuntungan besar, tetapi perlu juga memperhatikan aspek sosial & lingkungan. Pengelolaan lingkungan yang baik akan berdampak baik bagi masa depan perusahaan. Sesuai pernyataan Kusumaningtias (2013) jika pemeliharaan lingkungan dilakukan dengan baik, maka akan bermanfaat bagi masa depan masyarakat dan juga masa depan perusahaan. Walaupun pada kenyataannya ada beberapa perusahaan yang merekayasa laporan keuangan supaya terlihat ikut serta dalam perlindungan lingkungan yang ternyata perusahaan tersebut tidak melakukannya. Namun perusahaan yang berperilaku tidak etis tersebut, akhirnya akan ketahuan dan akibatnya akan dijauhi oleh masyarakat, kemudian perusahaan yang dijauhi masyarakat akan berakibat bangkrut. Pengungkapan akuntansi lingkungan di negara-negara berkembang memang masih sangat kurang. Seperti penyataan yang dijelaskan oleh Mobus (2005) bahwa terdapat hubungan yang negatif antara sanksi hukum dengan pengungkapan akuntansi lingkungan yang wajib dengan penyimpangan aturan yang dilakukan oleh perusahaan. Artinya, semakin keras sanksi hukum yang berlaku di suatu negara, akan semakin mengurangi penyimpangan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak regulator. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pihak regulator memiliki kekuatan untuk menekan pihak perusahaan dalam meminimalisasikan dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan usaha mereka. Sebagian besar pengungkapan informasi sosial di laporan keuangan tahunan (annual reports) memuat informasi mengenai tenaga kerja, lingkungan, dan masyarakat. Akuntansi lingkungan telah menjadi topik yang perlu mendapat perhatian akuntan. Isu ini menjadi penting karena perusahaan perlu mempertanggungjawabkan dampak aktivitas operasinya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Akuntansi tradisional hanya memberikan informasi ekonomi terutama yang bersifat keuangan kepada investor dan kreditor untuk pengambilan keputusan. Sehubungan dengan itu, perlu dikembangkan ukuran kinerja lebih luas untuk memperbaiki ukuran kinerja yang telah ada. Ukuran kinerja tradisional dipandang kurang memadai untuk tujuan sustainability development. DAFTAR PUSTAKA Amirullah, A. (2015). Krisis Ekologi: Problematika Sains Modern. Lentera: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi, 17(1). Carolina, Verani, et al. (2011). "Akuntansi Lingkungan: Solusi untuk Problematika Penerapan Corporate Social Responsibility di Indonesia." Maksi. Cooper, C. (1992). The Non and Nom of Accounting for (M)other Nature. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 5(3), 16–39. Deegan, C. (2013). The Accountant will have a central role in saving the planet. Really A reflection on ‘green accounting and green eyeshades twenty years later’. Critical Perspectives on Accounting, 24, 448-458 Elkington, J. (2001). The Chrysalis Economy: How Citizen CEOs and Corporations can Fuse Values and Value Creation. Capstone Publishing Ltd. United Kingdom. Gore, A. (2013). The Future: Six Drivers of Global Change. Random House. New York. Hadjoh, R. A., & Sukartha, I. M. (2013). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kinerja Keuangan Dan Eksposur Media Pada Pengungkapan Informasi Lingkungan. E-Jurnal Akuntansi, 4(1). Hansen, D. R. & Mowen, M. M. 2015. Cornerstones Of Cost Management. Canada: Cengage Learning. Heriyanto, Husain. (2005). Krisis Ekologi dan Spiritualitas Manusia, dalam Majalah Tropika Indonesia. Conservation International Indonesia, 9(3-4), 21 Klassen, R.D. and McLaughin, C.P., 1996, The Impact of Environmental management on First Performance, Management Science, Vol. 42, pp. 199-214. Kodrat, F. Kimberley, 2002, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, Makalah Diskusi Program Pasca Sarjana, Istitut Pertanian Bogor, Bogor. Kusumaningtias, R. (2013). Green accounting, Mengapa dan Bagaimana? Proceeding seminar Nasional Dan Call Papers Sancall 2003. Kusumawardani, A., Irwansyah, I., Setiawati, L., Ginting, Y. L., & Khairin, F. N. (2018). Urgensi Penerapan Pendidikan Akuntansi Berbasis Akuntansi Sosial Dan Lingkungan. EKUITAS (Jurnal Ekonomi Dan Keuangan), 2(1), 65-82. Lako, A. (2015b). Green Economy: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi (S. Saat, Ed.; 1st ed.). Lako, A. (2017). Krisis Ekologi Dan Urgensi Tatakelola Bisnis Dan Akuntansi Hijau. Akuntansi Indonesia, 60–64. Lako, A. (2018). Krisis Ekologi Dan Urgensi Akuntansi Hijau. 1–11. Lako, A. 2016a. Transformasi Menuju Akuntansi Hijau. Desain Konsep dan Praktik. Paper disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) ke-19 Lampung untuk sesi Corporate Governance, CSR & Green Accounting IAI-KAPd pada 26 Agustus 2016 Lako, A. 2016b. Konstruksi Teori Akuntansi Hijau dan Strategi Pendidikan Akuntansi. Paper disajikan dalam Seminar Nasional dan Kolaborasi Riset IAI-KAPd sesi Corporate Governance & CSR. Universitas Negeri Surakarta, 12-13 November 2016 Lako, Andreas. (2015a). Akuntansi Hijau: Isu, Teori, dan Aplikasi (A. Suslia, Ed.; 2nd ed.). Salemba Empat. Letmathe, Peter. dan Doost, Roger K., 2000, Managerial Auditing Journal: Environemntal Cost Accounting and Auditing, MCB University Press Maunders, K.T. & R.L. Burritt. (1991). Accounting and Ecological Crisis. Accounting, Auditing, & Accountability Journal, 4(3), 9-26 Mobus, J. L. (2005). ”Mandatory Environmental Disclosure in Legitimacy Theory Context,” Accounting, Auditing & Accountability Journal, 18(1), pp. 492-517. Rajafi, L.R., dan G.Irianto. (2007). AkuntansiPertanggungjawaban Sosial Perusahaan (Studi pada Bursa Efek Jakarta).Tema 8(1):56–75. Reska Dwicahyanti, H. P. (2021). Pengaruh Penerapan Akuntansi Lingkungan dan Ukuran Perusahaan terhadap Profitabilitas serta Pengungkapan Akuntansi Lingkungan sebagai Variabel Intervening. 2, 1–7.