Anda di halaman 1dari 8

TUGAS AKUNTANSI SOSIAL DAN LINGKUNGAN

Judul Urgensi Akuntansi Lingkungan (Standar Akuntansi Hijau)


Nama Andi Husnul Khatimah
Nim 90400122032
Kelas Akuntansi A

A. Krisis Ekologi Menyelamatkan Dunia


Semakin bertumbuhnya dunia industri maka permasalahan terhadap lingkungan
juga semakin berkembang karena perilaku industri jarang tidak peduli akan dampak
bagi lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan industri seperti tercemarnya air,
tercemarnya tanah, tercemarnya udara serta terjadinya kesenjangan sosial. Bebbington
(2001) menyebutkan bahwa peran yang penting diberikan oleh akuntansi dalam
pengelolaan hubungan diantara perusahaan serta lingkungan. Pertanggung jawaban
terhadap lingkungan akan berpengaruh juga terhadap kinerja dari perusahaan.
Dikatakan sebagai perusahaan yang baik, apabila perusahaan tidak terfokus pada laba
saja namun juga peka akan keadaan dari lingkungan sekitar perusahaan dan
kesejahteraan dari masyarakat disekitarnya.
Setiap perusahaan dituntut dapat menyeimbangkan kepentingan perusahaan dan
lingkungannya. Pada kenyataannya, banyak perusahaan lebih mementingkan capaian
nominal dibandingkan dengan keindahan alam, sehingga interaksi antara alam (spesies
non-manusia) dengan manusia di dalam perkembangannya mengalami ketimpangan
yang sangat besar. Akibatnya ialah hilangnya harmoni antara alam dan manusia dan
muncul lah krisis ekologi. Sulit bagi perusahaan di era disrupsi teknologi
“menyembunyikan” jejak hitam lingkungan. Hal ini menjadikan para pemangku
kepentingan menuntut transparansi seberapa besar perhatian perusahaan terhadap
pengelolaan lingkungan. Krisis-krisis ini telah menyebabkan kekurangan energi,
kelangkaan sumber daya, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan meningkatnya
penderitaan masyarakat. Secara umum, telah dijelaskan oleh Maunders & Burrit
(1991) bahwa penyebab utama krisis tersebut adalah akibat dari perilaku keserakahan
dan ketamakan negara, korporasi dan masyarakat luas untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan laba sebesar-besarnya (profit maximize). Motif ini juga
yang membuat para pemimpin negara dan pelaku ekonomi terdorong untuk
berperilaku serakah dan tamak. Menurut Ningsih & Rachmawati (2017), manusia
terlalu sering mengeksploitasi sumber daya alam dari bumi secara besar-besaran yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan serta berakibat pada lingkungan dan kehidupan
makhluk hidup. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pendapat Elkington (2001)
dan Gore (2013) yang mengatakan bahwa mereka mengeksploitasi sumber daya alam
dan sumber daya sosial, serta merusak lingkungan.
Selain itu, adapun pendapat secara yang diungkapkan oleh Deegan (2013) yang
mengatakan bahwa justru akuntansi inilah yang dituding menjadi pemicu-pemicu
terjadinya krisis ekologi. Alasannya karena prinsip dan standar akuntansi yang
berdasar pada praktik konvensinal selama ini mengabaikan pengakuan, pengukuran,
dan penyajian informasi akuntansi sosial dan lingkungan dalam pelaporan informasi
akuntansi. Akibatnya, perlakuan akuntansi terhadap pengorbanan sumber daya
ekonomi dan non ekonomi untuk aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan
menjadi salah kaprah menurut Andreas Lako (2018). Informasi akuntansi yang tersaji
dalam pelaporan keuangan (financial reporting) dan laporan tahunan (annual
reporting) cenderung menyesatkan bagi para pemakai laporan dalam evaluasi dan
penilaian kinerja maupun dalam pengambilan keputusan.
Hal ini disebabkan karena nilai aset, laba, dan ekuitas yang dilaporkan entitas
korporasi pelaksana TJSLP/CSR menjadi terlalu kecil (undervalued). Singkatnya,
informasi akuntansi yang dilaporkan entitas korporasi pelaksana TJSLP dan CSR
selama satu dekade terakhir sesungguhnya terlalu terendah dan telah menyesatkan para
pihak dalam penilaan dan pengambilan keputusan investasi, operasional dan
pendanaan. Selain itu, karena costs TJSLP dan CSR diperlakukan sebagai beban
periodik yang mengurangi benefit, laba dan nilai ekuitas maka banyak perusahaan
hingga saat ini juga enggan melaksanakan TJSLP dan CSR. Menurut Thornton (2013)
dan Deegan (2013) pemaksaan perlakuan akuntansi terhadap cost dan benefit dalam
pelaporan keuangan tersebut bisa menimbulkan kesalahan serta komplikasi sosial-
ekologi yang serius.
Mereka menilai melaksanakan TJSLP dan CSR sangat merugikan perusahaan
sehingga sedapat mungkin dihindari. Mereka kemudian menggunakan cara-cara
konservatif dengan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat setempat demi
kepentingan memaksimukan laba. Misalnya, membuka lahan dengan membakar hutan
dan membuka pabrik dengan merusak lingkungan dan menggusur masyarakat agar
biaya sosial-lingkungan dapat diminimalisir. Hal itulah yang menyebabkan krisis
sosial dan lingkungan masih terus terjadi dan eskalasinya bahkan kian meningkat.

B. Fase Transformasi Menuju Akuntansi Lingkungan


Dalam banyak praktik akuntansi CSR, pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk
investasi sosial dan lingkungan diperlakukan sebagai beban atau biaya (expenses) yang
mengurangi laba. Hal itu menyebabkan manajemen korporasi berusaha keras
menghindari CSR atau tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (TJSLP)
karena dianggap merugikan perusahaan dan pemilik. Hal inilah yang menjadi
penyebab rendahnya kesadaran dan komitmen korporasi atau pelaku usaha dalam
melaksanakan CSR atau TJSLP. Selain itu, laporan keuangan juga dikritik telah
menyesatkan dan merugikan banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Laporan
keuangan dinilai hanya menyajikan indikator-indikator dan sinyalsinyal kesuksesan
korporasi secara ekonomi atau keuangan.
Sementara itu, indikator dan sinyal-sinyal kesuksesan atau kegagalan secara sosial
dan lingkungan sama sekali tidak disertakan. Paradigma akuntansi konservatif
diharapkan segera direformasi atau direkonstruksi kembali agar lebih sensitif,
responsif dan adaptif dengan dinamika lingkungan ekonomi dan bisnis yang kian
mengalami tantangan serius akibat krisis sosial dan lingkungan. Munders dan Burrit
(1991) menungkapkan bahwa para akuntan diharapkan segera mengambil langkah-
langkah proaktif untuk merekonstruksi rerangka konseptual, teori-teori, prinsip-
prinsip, standar-standar dan proses praktik akuntansi agar lebih sensitif dengan isu-isu
sosial dan lingkungan Singkatnya, para akuntan diminta segera mereformasi
paradigma akuntansi konservatif agar bisa mengintegrasikan pelaporan informasi
keuangan dengan pelaporan informasi sosial dan lingkungan dalam satu paket
pelaporan akuntansi. Tujuannya, agar para pemakai informasi akuntansi bisa
mendapatkan informasi yang utuh sehingga tidak disesatkan dalam pengambilan
keputusan ekonomi dan lainnya. Hanya dengan cara begitu maka para akuntan akan
ikut berpartisipasi aktif dalam kolaborasi global untuk mengatasi krisis lingkungan.
Hanya dengan cara itu pula akuntansi dan akuntan akan selalu berperan aktif dalam
gerakan go green untuk mendukung terwujudnya tatakelola bisnis dan tatakelola
korporasi yang ramah lingkungan. Dengan begitu, akuntansi dan profesi akuntan akan
semakin relevan dan dibutuhkan para stakeholder.
Maka dari itu, hadirlah akuntansi hijau (green accounting) sebagai reformasi dan
transformasi dari paradigma akuntansi konvensional dengan tujuan agar proses
akuntansi seperti pengakuan, pengukuran, dan penyajian informasi dapat
mengintegrasikan aspek-aspek keuangan, sosial, dan lingkungan dalam pelaporan
sehinggah bisa menghasilkan informasi akuntansi secara menyeluruh. Makin kuatnya
tuntutan konsumen terhadap tanggung jawab lingkungan, perusahaan mencari
berbagai model alternatif solusi dalam pengelolaan lingkungan. Peran informasi
akuntansi biaya lingkungan (environmental cost accounting) pun semakin penting
dalam membangun metode alternatif tersebut. Berdasarkan pendapat Lako (2016)
yang menyatakan akuntansi konvensional juga dinilai telah gagal dalam
mengembangkan rerangka konseptual dan standar akuntansi hijau untuk mendasari
praktik akuntansi dan tatakelola keuangan yang etis dan ramah lingkungan.
Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab lingkungan
menunjukkan gejala yang terus meningkat. Letmathe (2000) dan Kodrat (2002) juga
berpendapat bahwa pandangan konvensional ini menyatakan bahwa biaya lingkungan
sangat mahal dan menjadi penghambat daya saing perusahaan, dengan bantuan
informasi akuntansi biaya lingkungan, diubah menjadi harga yang murah, bernilai
tinggi, berkualitas, dan unik. Artinya, biaya lingkungan bukan diorientasikan pada
aktivitas perbaikan kerusakan lingkungan (recovery and conservation cost), tetapi
lebih kepada investasi pada desain proses produksi dan model produk yang ramah
lingkungan (green product). Informasi tersebut berguna bagi manajemen untuk
melakukan eliminasi secara sistematis terhadap berbagai sumber pemborosan dan
limbah, sehingga dapat dilakukan efisiensi dan peningkatan kualitas secara
berkelanjutan (continous improvement). Manfaat lain adalah, pembebanan biaya (cost
assignment) lingkungan yang terjadi kepada setiap produk dapat lebih akurat, sehingga
perhitungan harga pokok produk lebih realistis.
McLaughin (1996) juga menyatakan bahwa informasi akuntansi biaya lingkungan
merupakan kunci mengurangi biaya produk akibat proses produksi yang tidak efisien.
Inefisiensi ini disebabkan oleh proses produksi yang masih menyisakan banyak
limbah, penggunaan bahan baku yang tidak berguna, dan pemborosan energi dalam
setiap tahap proses produksi. Reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju
Akuntansi Hijau juga kian penting dan mendesak karena dalam beberapa tahun
terakhir kepedulian dari pemerintah untuk mengaplikasikan konsep Ekonomi Hijau
(Green Economy) dalam model Pembangunan Berkelanjutan Nasional makin serius.
Demikian pula kepedulian dunia bisnis terhadap gerakan “tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility/CSR)” yang bersifat sukarela, tanggung
jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) yang bersifat wajib, dan bisnis hijau
(green business) serta tatakelola korporasi hijau juga makin meningkat.
Meningkatnya kesadaran dan kepedulian tersebut tentu saja membawa konsekuensi
serius bagi entitas korporasi berupa pengorbanan sumberdaya ekonomik (aset) dan
daya-upaya (efforts) untuk melaksanakannya. Selama ini, secara akuntansi
pengorbanan sumberdaya ekonomi (costs) dan daya-upaya (efforts) untuk
melaksanakan CSR, TJSLP, green business, green corporation dan green governance
umumnya diperlakukan sebagai beban atau biaya periodik (expense) yang mengurangi
aset dan laba serta nilai ekuitas pemilik. Itu sebabnya, banyak pelaku usaha yang telah
melaksanakan CSR dan menerapkan prinsip-prinsip green business dalam tatakelola
korporasi dan praktik bisnisnya meminta insentif pajak dan kompensasi lainnya dari
pemerintah.
Namun, perlakuan akuntansi tersebut menimbulkan beragam komplikasi
permasalahan yang serius bagi negara dan masyarakat konsumen. Karena
diperlakukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba maka pajak penghasilan
badan (PPh Badan) yang dibayarkan korporasi kepada negara menjadi jauh lebih
rendah. Banyak korporasi secara agresif menggunakan pendekatan CSR, TJSLP dan
green business sebagai strategi untuk penghindaran pajak (tax avoidance). Selain itu,
biaya-biaya untuk melaksanakan CSR, TJSLP dan green business pada akhirnya juga
diperhitungkan dalam komponen penentuan harga jual produk atau jasa (pricing
strategy) yang akan dibebankan kepada masyarakat pembeli atau konsumen. Jadi,
masyarakat konsumenlah yang sesungguhnya menanggung biaya CSR, TJSLP dan
green business korporasi.
Sementara pada sisi yang lain, korporasi juga mendapatkan banyak manfaat
ekonomi dan nonekonomi dari pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk
melaksanakan CSR, TJSLP dan green business tersebut. Manfaat tersebut antara lain
menurunnya risiko sosial (social risk), risiko lingkungan (environment risk), risiko
politik (political risk), risiko pasar (market risk), risiko bisnis (business risk) dan risiko
keuangan (financial risk) sehingga memudahkan akses bisnis, investasi dan kredit.
Selain itu juga dapat meningkatkan reputasi dan nama baik perusahaan serta apresiasi
para stakeholder sehingga meningkatkan pangsa pasar, penjualan, pendapatan dan
nilai perusahaan.

C. Urgensi Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting)


Akuntansi Lingkungan dipertimbangkan karena menjadi perhatian bagi
stockholders dengan cara mengurangi biaya yang berkaitan dengan lingkungan dan
diharapkan dengan pengurangan biaya lingkungan tercipta kualitas lingkungan
yang baik. Menurut Islamey (2016), akuntansi lingkungan adalah kegiatan
pencatatan, pengukuran, dan pengidentifikasian biaya-biaya yang ditimbulkan
akibat kegiatan operasional perusahaan yang berdampak pada lingkungan, dan
dapat digunakan untuk pendukung keputusan manajemen terkait bisnis perusahaan
serta sebagai upaya untuk meningkatkan pertanggungjawaban sosial dan
lingkungan perusahaan serta untuk mengetahui kinerja operasional perusahaan
yang berbasis pada perlindungan lingkungan. Dalam dunia bisnis, akuntansi terlalu
berpihak pada stockholders daripada shareholders sehingga konsep akuntansi
sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam situasi dan
kehidupan serta alam yang lestari dan terpelihara. Ini berarti bahwasanya ketika
perusahaan mulai memperhatikan lingkungan, maka sistem akuntansi pun juga
semakin baik dan dapat meyakinkan perusahaan untuk siap menerima berbagai
pengaruh eksternal.
Akuntansi kemudian dianggap penting karena perusahaan perlu
menyampaikan informasi mengenai aktivitas sosial dan perlindungan terhadap
lingkungan kepada stakeholders perusahaan. Disebutkan juga oleh Rajafi dan
Irianto (2007) bahwa yang menjadi faktor pendorong munculnya akuntansi
lingkungan ini ialah adanya pergeseran paradigma yang dikenal dengan The Human
Exeptionalism Paradigm menuju The Environment Paradigm. Akuntansi sosial dan
lingkungan ini sering juga disebut dengan istilah akuntansi hijau (green accoun-
ting), environmental accounting atau akuntansi keberlanjutan, namun ada juga
literatur terdahulu yang memberikan makna berbeda terkait istilah-istilah tersebut.
Dalam artikel-nya Cooper (1992) menjelaskan istilah green accounting sebagai :
"The introduction of "green accounting", however well thoughtout, will, under the
present phallogocentric system of accounting, do nothing to avert today's
environmental crisis. In fact, it could make matters even worse" (Pengenalan
“akuntansi hijau”, betapapun dipikirkan dengan matang, dalam sistem akuntansi
falogosentris saat ini, tidak akan melakukan apa pun untuk menghindari krisis
lingkungan hidup saat ini. Faktanya, hal ini bisa memperburuk keadaan).
Akuntansi hijau berfokus pada pelaporan akuntansi lingkungan, sosial dan
keuangan secara terpadu. Alasan krusial yang mendasari pelaporan akuntansi hijau
karena Indonesia sedang menghadapi krisis lingkungan serius dan menakutkan
sama seperti dinegara-negara lainnya. Krisis ini menimbulkan bencana lingkungan
yang sangat merugikan dan mengancam keberlangsungan hidup manusia, yaitu
dengan rusaknya alam, kebakaran hutan, tanah longsor dan banjir. Maka,
paradigma baru Akuntansi Hijau harapannya dapat menjadi solusi dan
mendongkrak isu krusial lingkungan.
Dalam praktiknya, banyak korporasi merespon gerakan “go green” tersebut
dengan mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip green business, green
industry, green corporation, green management, green production, green finance
dan lainnya dalam upaya menjadikan korporasi semakin efisien, efektif dan
bertumbuh kembang secara berkelanjutan (sustainability), serta berkontribusi besar
pada upaya-upaya mencegah krisis sosial dan krisis ekologi. Latar belakang
pentingnya akuntansi lingkungan pada dasarnya menuntut kesadaran penuh
perusahaan-perusahaan maupun organisasi lainnya yang telah mengambil manfaat
dari lingkungan. Penting bagi perusahaan-perusahaan atau organisasi lainnya agar
dapat meningkatkan usaha dalam mempertimbangkan konservasi lingkungan
secara berkelanjutan. Penggunaan konsep akuntansi lingkungan bagi perusahaan
mendorong kemampuan untuk meminimalisasi persoalan-persoalan lingkungan
yang dihadapi. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan lingkungan
dengan melakukan penilaian kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya dan
manfaat atau efek.
Peran perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan, dengan cara
merealisasikan penerapan eco-efisiensi melalui green accounting, sesuai dengan
pendapat Kusumawardani (2018) green accounting harus memperhatikan biaya,
persediaan, produksi dan kinerja ketika membuat rencana pengembangan serta
keputusan evaluasi bisnis saat memperbaiki keadaan ekonomi perusahaan, namun
tidak mengabaikan kondisi lingkungan. Penerapan akuntansi lingkungan harus
berdasarkan kebutuhan perusahaan dan sistematis. Pengungkapan informasi
lingkungan merupakan aspek penting bagi perusahaan, pengungkapan informasi
lingkungan seperti halnya pengungkapan informasi keuangan. Perusahaan harus
transparan, obyektif, bertanggung jawab & mempunyai manajemen perusahaan
baik mengkomunikasikan informasi, sehingga perusahaan wajib memberikan
informasi tentang kegiatan sosialnya. Menurut Hadjoh & Sukartha (2013)
menyatakan bahwa pengungkapan lingkungan yang baik dapat berpengaruh dalam
kelangsungan hidup manusia serta organisme lain. Ini sejalan dengan pendapat
Hansen & Mowen (2014) bahwa melalui pengungkapan informasi lingkungan
inilah yang dapat memberikan informasi bermanfaat guna pengendalian kinerja
lingkungan.
Perusahaan seharusnya tidak hanya meningkatkan produktivitas memperoleh
keuntungan besar, tetapi perlu juga memperhatikan aspek sosial & lingkungan.
Pengelolaan lingkungan yang baik akan berdampak baik bagi masa depan
perusahaan. Sesuai pernyataan Kusumaningtias (2013) jika pemeliharaan
lingkungan dilakukan dengan baik, maka akan bermanfaat bagi masa depan
masyarakat dan juga masa depan perusahaan. Walaupun pada kenyataannya ada
beberapa perusahaan yang merekayasa laporan keuangan supaya terlihat ikut serta
dalam perlindungan lingkungan yang ternyata perusahaan tersebut tidak
melakukannya. Namun perusahaan yang berperilaku tidak etis tersebut, akhirnya
akan ketahuan dan akibatnya akan dijauhi oleh masyarakat, kemudian perusahaan
yang dijauhi masyarakat akan berakibat bangkrut.
Pengungkapan akuntansi lingkungan di negara-negara berkembang memang
masih sangat kurang. Seperti penyataan yang dijelaskan oleh Mobus (2005) bahwa
terdapat hubungan yang negatif antara sanksi hukum dengan pengungkapan
akuntansi lingkungan yang wajib dengan penyimpangan aturan yang dilakukan
oleh perusahaan. Artinya, semakin keras sanksi hukum yang berlaku di suatu
negara, akan semakin mengurangi penyimpangan aturan yang telah ditetapkan oleh
pihak regulator. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pihak regulator
memiliki kekuatan untuk menekan pihak perusahaan dalam meminimalisasikan
dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan usaha mereka.
Sebagian besar pengungkapan informasi sosial di laporan keuangan tahunan
(annual reports) memuat informasi mengenai tenaga kerja, lingkungan, dan
masyarakat. Akuntansi lingkungan telah menjadi topik yang perlu mendapat
perhatian akuntan. Isu ini menjadi penting karena perusahaan perlu
mempertanggungjawabkan dampak aktivitas operasinya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Akuntansi tradisional hanya memberikan informasi ekonomi
terutama yang bersifat keuangan kepada investor dan kreditor untuk pengambilan
keputusan. Sehubungan dengan itu, perlu dikembangkan ukuran kinerja lebih luas
untuk memperbaiki ukuran kinerja yang telah ada. Ukuran kinerja tradisional
dipandang kurang memadai untuk tujuan sustainability development.
DAFTAR PUSTAKA
Amirullah, A. (2015). Krisis Ekologi: Problematika Sains Modern. Lentera: Jurnal
Ilmu Dakwah dan Komunikasi, 17(1).
Carolina, Verani, et al. (2011). "Akuntansi Lingkungan: Solusi untuk Problematika
Penerapan Corporate Social Responsibility di Indonesia." Maksi.
Cooper, C. (1992). The Non and Nom of Accounting for (M)other Nature. Accounting,
Auditing & Accountability Journal, 5(3), 16–39.
Deegan, C. (2013). The Accountant will have a central role in saving the planet. Really
A reflection on ‘green accounting and green eyeshades twenty years later’.
Critical Perspectives on Accounting, 24, 448-458
Elkington, J. (2001). The Chrysalis Economy: How Citizen CEOs and Corporations
can Fuse Values and Value Creation. Capstone Publishing Ltd. United
Kingdom.
Gore, A. (2013). The Future: Six Drivers of Global Change. Random House. New
York.
Hadjoh, R. A., & Sukartha, I. M. (2013). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kinerja
Keuangan Dan Eksposur Media Pada Pengungkapan Informasi Lingkungan.
E-Jurnal Akuntansi, 4(1).
Hansen, D. R. & Mowen, M. M. 2015. Cornerstones Of Cost Management. Canada:
Cengage Learning.
Heriyanto, Husain. (2005). Krisis Ekologi dan Spiritualitas Manusia, dalam Majalah
Tropika Indonesia. Conservation International Indonesia, 9(3-4), 21
Klassen, R.D. and McLaughin, C.P., 1996, The Impact of Environmental management
on First Performance, Management Science, Vol. 42, pp. 199-214.
Kodrat, F. Kimberley, 2002, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, Makalah
Diskusi Program Pasca Sarjana, Istitut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusumaningtias, R. (2013). Green accounting, Mengapa dan Bagaimana? Proceeding
seminar Nasional Dan Call Papers Sancall 2003.
Kusumawardani, A., Irwansyah, I., Setiawati, L., Ginting, Y. L., & Khairin, F. N.
(2018). Urgensi Penerapan Pendidikan Akuntansi Berbasis Akuntansi Sosial
Dan Lingkungan. EKUITAS (Jurnal Ekonomi Dan Keuangan), 2(1), 65-82.
Lako, A. (2015b). Green Economy: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi
(S. Saat, Ed.; 1st ed.).
Lako, A. (2017). Krisis Ekologi Dan Urgensi Tatakelola Bisnis Dan Akuntansi Hijau.
Akuntansi Indonesia, 60–64.
Lako, A. (2018). Krisis Ekologi Dan Urgensi Akuntansi Hijau. 1–11.
Lako, A. 2016a. Transformasi Menuju Akuntansi Hijau. Desain Konsep dan Praktik.
Paper disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) ke-19 Lampung
untuk sesi Corporate Governance, CSR & Green Accounting IAI-KAPd pada
26 Agustus 2016
Lako, A. 2016b. Konstruksi Teori Akuntansi Hijau dan Strategi Pendidikan
Akuntansi. Paper disajikan dalam Seminar Nasional dan Kolaborasi Riset
IAI-KAPd sesi Corporate Governance & CSR. Universitas Negeri
Surakarta, 12-13 November 2016
Lako, Andreas. (2015a). Akuntansi Hijau: Isu, Teori, dan Aplikasi (A. Suslia, Ed.; 2nd
ed.). Salemba Empat.
Letmathe, Peter. dan Doost, Roger K., 2000, Managerial Auditing Journal:
Environemntal Cost Accounting and Auditing, MCB University Press
Maunders, K.T. & R.L. Burritt. (1991). Accounting and Ecological Crisis. Accounting,
Auditing, & Accountability Journal, 4(3), 9-26
Mobus, J. L. (2005). ”Mandatory Environmental Disclosure in Legitimacy Theory
Context,” Accounting, Auditing & Accountability Journal, 18(1), pp. 492-517.
Rajafi, L.R., dan G.Irianto. (2007). AkuntansiPertanggungjawaban Sosial Perusahaan
(Studi pada Bursa Efek Jakarta).Tema 8(1):56–75.
Reska Dwicahyanti, H. P. (2021). Pengaruh Penerapan Akuntansi Lingkungan dan
Ukuran Perusahaan terhadap Profitabilitas serta Pengungkapan Akuntansi
Lingkungan sebagai Variabel Intervening. 2, 1–7.

Anda mungkin juga menyukai