Anda di halaman 1dari 4

TUGAS AKUNTANSI SOSIAL DAN LINGKUNGAN

Judul Urgensi Akuntansi Lingkungan (Standar Akuntansi Hijau)


Nama M Reski Ananda Pratama
Nim 90400122020
Kelas Akuntansi A

A. Krisis Ekologi Menyelamatkan Dunia


Manusia terlalu mengekploitasi penggunaan sumber daya alam serta lingkungan
secara serakah yang pada akhirnya menyebabkan krisis ekologi. Keserakahan
manusia menimbulkan berbagai permasalahan seperti bencana lingkungan yang
memberikan kerugian sangat besar terhadap kehidupan manusia (Lako, 2018).
Pemerintah dan pelaku ekonomi membenarkan segala tindakan, baik yang etis
maupun tidak etis, untuk mencapai keinginan dan kepentingan ekonomi (A. Gore,
2013). Beberapa dampak dari krisis ekologi tersebut diantaranya menyebabkan
berbagai macam bencana alam, pencemaran yang sangat merugikan kesehatan dan
pencemaran lingkungan yang mengkhawatirkan keberlangsunganmmakhluk hidup.
Alasan tersebutlah yang mendorong ahli-ahli akuntan dan pebisnis untuk
menerapkan akuntansi hijau atau green accounting dalam dunia bisnis (Afni et al.,
2019).
Akuntansi lingkungan atau lebih dikenal dengan akuntansi hijau mulai diminati
untuk diterapkan sejak maraknya isu pencemaran lingkungan, yang pada akhirnya
menuntut berbagai negara untuk memikirkan berbagai regulasi yang dapat membantu
menanggulangi ancaman-ancaman yang terkait dengan dampak lingkungan hidup.
Eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara serakah dan tidak
menghiraukan keberlangsungan ekologi serta dampaknya terhadap krisis lingkungan.
Selain dipaksa oleh regulasi negara, banyak korporasi Indonesia juga sedang
melakukan transformasi bisnis ke arah green business dan green corporation karena
menghadapi tekanan dari lingkungan bisnis global. Sebagai akibat kian seriusnya
implikasi dari pemanasan global, perubahan iklim, krisis lingkungan dan krisis
sosial, secara internasional muncul berbagai prakarsa dan tekanan global agar entitas
korporasi di Tanah Air lebih ramah lingkungan dan masyarakat dalam aktivitas
bisnis. Munculnya berbagai standar, inisiatif dan regulasi internasional memaksa
entitas korporasi Indonesia mau tak mau harus berperan aktif dalam kolaborasi
global mengatasi krisis sosial dan lingkungan global. Sejalan dengan Selg (1994)
bahwa salah satu langkah yang digunakan dalam melindungi lingkungan di masa
depan adalah dengan mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam sistem akuntansi
suatu perusahaan.
Akuntansi lingkungan atau lebih dikenal dengan akuntansi hijau merupakan
integrasi faktor finansial dan non finansial yang ada dalam perusahaan, yakni
memasukkan elemenelemen penanggulangan dampak lingkungan dalam proses
siklus akuntansi dari proses pengakuan, pengukuran, penilaian, penyajian serta
pengungkapan yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan entitas
(Lako, 2019). Terdapat empat tingkat progresif pertanggungjawaban lingkungan
yaitu; memperhatikan masalah lingkungan (environmental awareness), berpartisipasi
dalam masalah lingkungan (environmental participation), menginformasikan
masalah lingkungan (environmental reporting) dan audit lingkungan (environmental
audit). Maka hakikat Akuntansi Hijau sesungguhnya adalah akuntansi yang
mengasihi, menghijaukan, menyejukkan dan melestarikan bisnis dan laba (profit)
korporasi karena memperhitungkan semua aspek lingkungan (planet-nature) dan
masyarakat (people-human) dalam proses akuntansi. Karena itu, Akuntansi Hijau
harus dikonstruksi, dipraktikkan dan didedikasikan tidak hanya untuk kepentingan
korporasi dan para pemangku kepentingannya (stakeholder), tapi juga untuk
kepentingan kelestraian lingkungan semesta alam dan kesejahteraan masyarakat luas
(Lako, 2018).
B. Fase Transformasi Menuju Akuntansi Lingkungan
Transformasi menuju akuntansi hijau kian mendesak karena fenomena pemanasan
global, perubahan iklim, kerusakan dan bencana lingkungan, krisis energi dan krisis
sosial yang makin serius. Hal ini penting karena akuntansi juga dituding turut
memicu dan memacu terjadinya kompleksitas krisis tersebut. Dimana akuntansi dan
para akuntan di tunding turut berkontribusi terhadap sakitnya bumi dan terjadinya
multikrisis lingkungan selama ini (Maunders dan Burritt, 1991; Gray dan
Bebbington, 2001). Alasannya, karena informasi akuntansi keuangan yang dihasilkan
dalam proses akuntansi selama ini dinilai tidak menyajikan informasi akuntansi
sosial dan lingkungan yang memadai dan akurat, dan bahkan cenderung salah
kaprah. Akuntansi dan para akuntan pun dituding turut berkontribusi terhadap
sakitnya bumi dan terjadinya multikrisis lingkungan selama ini (Maunders dan
Burritt, 1991; Gray dan Bebbington, 2001). Pendapat lain mengatakan Pengabaian
dan ketiadaan informasi akuntansi hijau juga menyebabkan perilaku serakah, tamak
dan tidak peduli lingkungan baik pada level kebijakan politik pemerintahan dan level
dunia bisnis, maupun pada level kehidupan rumah tangga pada masyarakat luas
(Greenham, 2010; Lako, 2015).
Orientasi visi, tujuan, sasaran, tanggung jawab dan perilaku bisnis dari entitas
korporasi yang sebelumnya hanya berfokus pada upaya-upaya untuk memaksimalkan
laba sehingga mendorong korporasi berperilaku tamak, serakah dan merusak, sejak
tahun 2007 hingga saat ini mulai bertransformasi ke arah yang lebih hijau (green)
atau ramah terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam penilaian kinerja dan
pengambilan keputusan investasi, operasi dan pendanaan, para pelaku bisnis dan
stakeholder juga mulai menggunakan indikator-ndikator kinerja tanggung jawab
sosial dan lingkungan (TJSLP) yang bersifat wajib karena melekat dalam dokumen
Amdal perusahaan dan kinerja corporate social responsibility (CSR) yang bersifat
sukarela sebagai dasar pertimbangan. Namun, Akuntansi Hijau harus dikonstruksi,
dipraktikkan dan didedikasikan tidak hanya untuk kepentingan korporasi dan para
pemangku kepentingannya (stakeholder), tapi juga untuk kepentingan kelestraian
lingkungan semesta alam dan kesejahteraan masyarakat luas (Lako, 2018). Selain itu,
reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju Akuntansi Hijau juga kian
penting dan mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir kepedulian dari
pemerintah untuk mengaplikasikan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam
model Pembangunan Berkelanjutan nasional makin serius. Demikian pula kepedulian
dunia bisnis terhadap gerakan “tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility/CSR)” yang bersifat sukarela, tanggung jawab sosial dan lingkungan
perseroan (TJSLP) yang bersifat wajib, dan bisnis hijau (green business) serta tata
kelola korporasi hijau juga makin meningkat.
C. Urgensi Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting)
Seiring dengan kian seriusnya krisis sosial dan lingkungan, dalam dua dekade
terakhir akuntansi hijau (Green Accounting) mulai mendapat perhatian besar dari
para akademisi, praktisi dan periset akuntansi. Akuntansi hijau mulai
dikembangkan secara serius dalam upaya meminimalisir kritik keras terhadap
kelemahan akuntansi konservatif yang dinilai cenderung mengabaikan obyek,
fenomena atau peristiwa-peristiwa lingkungan dan sosial yang berkaitan langsung
atau tidak langsung dengan entitas korporasi dalam proses akuntansi. Pengabaian
tersebut telah menyebabkan informasi akuntansi yang dihasilkan dalam proses
akuntansi dan disajikan via laporan keuangan (financial statements) kepada para
pihak untuk penilaian dan pengambilan keputusan dinilai lebih bersifat keuangan,
parsial, tidak lengkap dan akurat, kurang relevan dan reliabel, serta menyesatkan.
Informasi akuntansi berbasis akuntansi keuangan konservatif juga dituding turut
menjadi pemicu dan pemacu krisis lingkungan dan krisis sosial yang kian serius
dalam beberapa dekade terakhir (Maunders dan Burrits, 1991; Gallhofer dan
Haslam, 1997; Gray dan Bebbington, 2001; Greenham, 2010; Lako, 2015).
Karena itu, pengembangan rerangka konseptual (conceptual framework)
Akuntansi Hijau untuk mendasari perubahan dan transformasi praktik akuntansi
konservatif menuju praktik akuntansi yang ramah lingkungan (green) menjadi
sangat penting dan mendesak.
Secara khusus, sesuai dengan makna dari kata “green” yang berarti hijau atau
penuh dengan tanaman hijau yang menyejukkan, maka hakikat Akuntansi Hijau
sesungguhnya adalah akuntansi yang mengasihi, menghijaukan, menyejukkan dan
melestarikan bisnis dan laba (profit) korporasi karena memperhitungkan semua
aspek lingkungan (planet-nature) dan masyarakat (people-human) dalam proses
akuntansi. Proses akuntansi terhadap tiga obyek tersebut harus terintegrasi secara
sistematis sehingga informasi akuntansi yang dihasilkan dan disajikan kepada
para pemangku kepentingan merupakan informasi yang lengkap, utuh, akurat dan
relevan, serta bermanfaat (Lako, 2016; 2018). Urgensi akuntansi lingkungan
sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan dalam pengelolaan lingkungan adalah
sebagai suatu sistem informasi akuntansi yang menyediakan informasi mengenai
aspek lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar pihak manajemen dapat
meningkatkan kinerja lingkungan sekaligus kinerja keuangannya yang secara
tidak langsung akan berdampak pada keberlanjutan perusahaan di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiana, M., Agustina, R., Pertiwi, D. A., Ervina, D., Ekonomi, F., Asy’ari, H., & Penulis, K. (2022).
Peningkatan Earning Before Interest and Tax (EBIT) melalui Penerapan Green Accounting.
27(2).

Arum, M. (2024). PENERAPAN ENVIRONMENTAL MANAGEMENT ACCOUNTING (EMA)


DALAM KAITANNYA DENGAN INNOVATION STRATEGY UNTUK MENGATASI KRISIS
EKOLOGI. 17(1). https://doi.org/10.46306/jbbe.v17i1
Idrawahyuni, Alimuddin, Habbe, H., & Mediaty. (2020). ESENSI AKUNTANSI LINGKUNGAN
DALAM KEBERLANJUTAN PERUSAHAAN. 3.
Lako, A. (2018). Urgensi Standar Akuntansi Hijau.
Lako, A. (2019). Rerangka Konseptual Akuntansi Hijau.
https://www.researchgate.net/publication/332960950
Narendra Sudjudiman, H., & Subekti, R. (2024). Blue Economy: Peluang Mengatasi Krisis
Ekologi Dalam Pembangunan Sosial di Indonesia. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan,
2024(5), 395–402. https://doi.org/10.5281/zenodo.10526179
Soegijapranata, U. (2016). Transformasi Menuju Akuntansi Hijau.

Anda mungkin juga menyukai