Anda di halaman 1dari 10

Tugas Akuntansi Sosial dan Lingkungan

Judul Urgensi Akuntansi Lingkungan (Standar Akuntansi Hijau)


Nama Luthfi Hasanuddin
Nim 90400122053
Kelas Akuntansi B

A. Krisis Ekologi Menyelamatkan Dunia


Dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Di seluruh planet
sumber-sumber alam dijarah kelewat batas. Disebutkan juga, pada setiap detik
diperkirakan sekitar 200 ton karbon dioksida dilepas ke atmosfir dan 750 ton top
soil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektar hutan dibabat
16.000 hektar tanah digunduli, dan antara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari
Pada saat yang sama, secara absolut jumlah penduduk meningkat 1 milyar orang
per dekade. Ini menambah beban bumi yang sudah renta. Inilah yang sepanjang
dua dekade terakhir menyentakkan kesadaran orang akan krisis lingkungan
Karena, hal ini menyangkut soal kelangsungan hidup jagad keseluruhan (Husain,
2005).
Secara umum, sejumlah literatur menyebutkan bahwa penyebab utama krisis
tersebut adalah akibat perilaku keserakahan dan ketamakan negara, korporasi dan
masyarakat luas dalam membangun perekonomian dan mendorong kemajuan
negara. Krisis tersebut dipicu dan dipacu oleh hasrat pemerintah dan para pelaku
ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan laba sebesar-besarnya
(profit maximize). Motif tersebut juga telah mendorong para pemimpin negara
dan pelaku ekonomi berperilaku serakah dan tamak. Mereka mengeksploitasi
sumberdaya alam dan sumberdaya sosial, serta merusak lingkungan.
Permasalahan krisis ekologi jelas sangat berbeda dengan permasalahan non-
ekologis, krisis ekologi tidak dapat diabaikan begitu saja. Kepasifan dan
keaktifan manusia dalam merespon permasalahan ini akan menentukan jalan
cerita ekosistem lingkungan hidup dan planet bumi dimasa mendatang. Krisis
ekologi ini mulai disuarakan sejak tahun 1960-an, dimana sebagian besar orang
mulai memikirkan kembali relasi mereka terhadap alam ketika tindaktanduk
manusia mulai mengancam keseimbangan alam dan mengalienasikan manusia
dengan kehidupan selain dirinya. Puncaknya, pada 1980-an hampir bisa
dipastikan kesadaran tiap orang tersedot dengan permasalahan tersebut, bahkan
artikel ilmiah yang membahas persoalan ini meningkat tajam. Pada 1960-an,
Lynn White, Jr. berpendapat dalam papernya yang mengundang perdebatan
hingga kini yang dipublikasikan pada jurnal Science, yaitu The Historical Roots
of Our Ecological Crisis, bahwa krisis ekologis akibat dari eksploisitas sains dan
teknologi berakar pada pandangan antroposentris tradisi Yudeo-Kristiani yang
menganggap bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang berbeda. Posisi yang
berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi dari alam dan oleh karenanya
manusia berhak menguasai alam tersebut (White, 1967).
Saat ini, kerusakan ekologis karena limbah yang dihasilkan oleh perusahaan
adalah daya tarik utama bagi pemerintah atau otoritas publik dan perusahaan
untuk saling melakukan perbaikan dan menjaga kelestarian lingkungan. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah dengan pelaksanaan Corporate Social

1
Responsibility (CSR) yang menjadi bukti bahwa pemerintah atau otoritas public
dan perusahaan menambah penguatan iklim dan wilayah sekitarnya (Cahyani,
2018). Corporate Social Responsibility (CSR) adalah siklus penyampaian efek
sosial dan ekologis dari kegiatan operasional perusahaan kepada sekelompok
masyarakat secara keseluruhan (Bunadi, 2012). Sementara itu, menurut The
World Business Council for Suistanable Development (WBCSD) “Tanggung
Jawab Sosial adalah upaya yang dilakukan oleh para pelaku bisnis dalam
membangun ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup pribadi bagi pekerja dan
daerah sekitarnya, ini adalah tanggung jawab dari dunia bisnis (Nurza, 2010)
. Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia harus
dilaksanakan oleh masing-masing perseroan, hal ini diarahkan dalam UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 74, yang menyatakan
“bahwa perseroan yang menjalankan usaha dibidang sumber daya alam dana tau
yang berpotensi diidentikkan dengan sumber daya alam wajib menyelesaikan
tanggung jawab sosial dan ekologis dan dapat dikenakan sanksi jika tidak
melaksanakannya”. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas berarti mengakui pergantian
keuangan praktis, untuk meningkatkan kepuasan pribadi dan iklim area local
yang berharga bagi area local dan masyarakat terdekat pada umumnya, adil
sebagai organisasi yang sebenarnya sepenuhnya berniat membangun hubungan
perusahan yang adil, menyenangkan, dan sesuai dengan kualitas, standar, budaya,
dan iklim daerah sekitar. Standar GRI dipilih sebagai prinsip-prinsip
pengungkapan CSR di Indonesia karena berdasarkan fakta bahwa standar
tersebut dipandang lebih berpusat pada prinsip-prinsip pengungkapan dalam
bidang moneter, sosial dana lam organisasi yang bertekad untuk meningkatkan
kualitas dan penggunaan perincian yang wajar (Alfiadin, 2022).
Secara khusus, akuntansi juga dituding turut mendorong perilaku buruk
tersebut (Deegan, 2013). Akuntansi dituding menjadi pemicu-pemacu terjadinya
krisis ekologi dan krisis sosial karena mendorong negara dan para pelaku
ekonomi-bisnis berperilaku serakah dan tamak dalam melakukan aktivitas
perekonomian. Alasannya, karena prinsip-prinsip dan standar akuntansi yang
mendasari praktik-praktik akuntansi konvensional oleh entitas korporasi selama
ini mengabaikan pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan dan pelaporan
informasi serta pengungkapan informasi akuntansi sosial dan lingkungan dalam
pelaporan informasi akuntansi. Pengakuan, pengukuran nilai dan pencatatan serta
pelaporan akuntansi terhadap obyek, peristiwa, fenomena atau transaksi-transaski
sosial dan lingkungan yang berelasi dengan entitas korporasi cenderung
diabaikan. Demikian pula perlakuan akuntansi terhadap pengorbanan
sumberdaya ekonomi dan nonekonomi untuk aktivitas tanggung jawab sosial dan
lingkungan (TJSL) maupun terhadap manfaat-manfaat dan risiko-risiko ekonomi
dan nonekonomi (costs, risks, benefits) dari aktivitas TJSL tersebut juga
cenderung salah kaprah.
Akibatnya, infomasi akuntansi yang tersaji dalam pelaporan keuangan
(financial reporting) dan pelaporan tahunan (annual reporting) cenderung
menyesatkan para pemakai dalam evaluasi dan penilaian kinerja maupun dalam
pengambilan keputusan. Karena itu, reformasi dan transformasi akuntansi
konvensional menuju Akuntansi Hijau menjadi mendesak dan diharapkan

2
menjadi solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan krisis ekologi dan krisis
sosial yang mengancam keberlanjutan pertumbuhan Indonesia. Kedua, pada Juli
2007 DPR telah mengesahkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 74 menyatakan bahwa Perseroan Terbatas
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan
sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(ayat 1). Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban perseroan yang
dianggarkan dan diperperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (ayat
2).
Bagi perseroan yang tidak melaksanakannya maka akan dikenakan sanksi
sesuai perundang-undangan yang berlaku (ayat 3). Sementara pada Pasal 66
dinyatakan bahwa semua perseroan wajib menyajikan informasi kinerja tanggung
jawab sosial dan lingkungan (TJSL) dalam Laporan Tahunan Direksi kepada
RUPS. Pada April 2012, Pemerintah telah menerbitkan PP No.47/2012 tentang
Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP).
Dengan adanya PP tersebut, sejak tahun 2012, TJSLP telah menjadi kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan serta
dilaksanakan secara periodik dan dipertanggungjawabkan kinerjanya kepada
publik (Lako, Urgensi Standar Akuntansi Hijau, 2018).

B. Fase Transformasi Menuju Akuntansi Lingkungan


Dalam beberapa tahun terakhir, dunia akuntansi Indonesia menghadapi dua
tantangan serius dan strategis. Tantangan pertama adalah makin menguatnya
desakan dari para stakeholder agar profesi akuntansi segera berbenah dengan
mereformasi dan mentransformasikan semua rerangka konseptual dan standar
akuntansi keuangan (SAK) konservatif yang selama ini lebih berfokus pada
obyek, peristiwa, dan transaksi-transaksi keuangan atau bersifat keuangan dalam
proses akuntansi. Fokus tersebut dinilai telah menyebabkan informasi akuntansi
yang dihasilkan dan disajikan kepada para pihak salah kaprah dan menyesatkan.
Para stakeholder meminta agar kerangka konseptual dan standar akuntansi, serta
praktik akuntansi segera ditransformasikan ke arah Akuntansi Hijau (Green
Accounting) atau Akuntansi Keberlanjutan (Sustainability Accounting) yang
lebih ramah lingkungan. Proses Akuntansi Hijau berusaha mengintegrasikan
obyek-obyek, peristiwa-peristiwa dan transaksi-transaksi keuangan, sosial dan
lingkungan secara terpadu dan sistematis untuk menghasilkan informasi
akuntansi yang lengkap, relevan, reliabel dan berdaya banding untuk para pihak
pemakai (Lako, 2015).
Tantangan kedua adalah bagaimana profesi akuntansi dapat segera merespon
secara cepat dan tepat terhadap perkembangan pesat dan dampak positif-negatif
dari era Revolusi Industri 4.0. Era Revolusi Industri 4.0 yang mulai berkembang
dalam beberapa tahun terakhir memiliki pengaruh dan implikasi yang luas
terhadap eksistensi, relevansi dan keberlanjutan akuntansi dan profesi akuntansi
di masa depan. Kelambanan dan ketidaktepatan respon profesi akuntansi
terhadap dinamika Industri 4.0 akan menimbulkan dampak-dampak negatif serius
terhadap masa depan profesi akuntansi. Dua tantangan tersebut di atas hendaknya

3
segera mendapat perhatian serius dari profesi akuntansi (IAI, IAI-KAPd, IAPI,
IAMI, dan lainnya) karena saling terkait erat satu sama lain (Lako, 2018).
Transformasi menuju Akuntansi Hijau dirasakan kian mendesak di Indonesia
karena negeri ini juga sedang menghadapi fenomena pemanasan global,
perubahan iklim, kerusakan dan bencana lingkungan, krisis energi dan krisis
sosial yang makin serius. Hal ini penting karena akuntansi juga dituding turut
memicu dan memacu terjadinya kompleksitas krisis tersebut. Alasannya, karena
informasi akuntansi keuangan yang dihasilkan dalam proses akuntansi selama ini
dinilai tidak menyajikan informasi akuntansi sosial dan lingkungan yang
memadai dan akurat, dan bahkan cenderung salah kaprah. Akibatnya, selain
menyesatkan para pihak dalam penilaian dan pengambilan keputusan, ketiadaan
informasi akuntansi sosial dan lingkungan tersebut juga telah menyebabkan para
pihak stakeholder berperilaku serakah dan tamak dalam memaksimalkan nilai
laba dan ekuitas pemilik serta aset mereka. Mereka mengeksploitasi sumberdaya
alam dan merusak lingkungan serta mengekploitasi sumberdaya ekonomi
masyarakat secara serakah dan tamak demi mewujudkan hasrat ekonomi mereka.
Akuntansi konvensional juga dinilai telah gagal dalam mengembangkan rerangka
konseptual dan standar akuntansi hijau untuk mendasari praktik akuntansi dan
tatakelola keuangan yang etis dan ramah lingkungan (Lako, 2016).
Selain itu, reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju Akuntansi
Hijau juga kian penting dan mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir
kepedulian dari pemerintah untuk mengaplikasikan konsep Ekonomi Hijau
(Green Economy) dalam model Pembangunan Berkelanjutan nasional makin
serius. Demikian pula kepedulian dunia bisnis terhadap gerakan “tanggung jawab
sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR)” yang bersifat sukarela,
tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) yang bersifat wajib,
dan bisnis hijau (green business) serta tatakelola korporasi hijau juga makin
meningkat.
Meningkatnya kesadaran dan kepedulian tersebut tentu saja membawa
konsekuensi serius bagi entitas korporasi berupa pengorbanan sumberdaya
ekonomik (aset) dan daya-upaya (efforts) untuk melaksanakannya. Selama ini,
secara akuntansi pengorbanan sumberdaya ekonomi (costs) dan daya-upaya
(efforts) untuk melaksanakan CSR, TJSLP, green business, green corporation dan
green governance umumnya diperlakukan sebagai beban atau biaya periodik
(expense) yang mengurangi aset dan laba serta nilai ekuitas pemilik. Itu
sebabnya, banyak pelaku usaha yang telah melaksanakan CSR dan menerapkan
prinsip-prinsip green business dalam tatakelola korporasi dan praktik bisnisnya
meminta insentif pajak dan kompensasi lainnya dari pemerintah.
Namun di sisi lain, perlakuan akuntansi tersebut menimbulkan beragam
komplikasi permasalahan yang serius bagi negara dan masyarakat konsumen.
Karena diperlakukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba maka pajak
penghasilan badan (PPh Badan) yang dibayarkan korporasi kepada negara
menjadi jauh lebih rendah. Saya mencermati, banyak korporasi secara agresif
menggunakan pendekatan CSR, TJSLP dan green business sebagai strategi untuk
penghindaran pajak (tax avoidance). Selain itu, biaya-biaya untuk melaksanakan

4
CSR, TJSLP dan green business pada akhirnya juga diperhitungkan dalam
komponen penentuan harga jual produk atau jasa (pricing strategy) yang akan
dibebankan kepada masyarakat pembeli atau konsumen. Jadi, masyarakat
konsumenlah yang sesungguhnya menanggung biaya CSR, TJSLP dan green
business korporasi.
Sementara pada sisi yang lain, korporasi juga mendapatkan banyak manfaat
ekonomi dan nonekonomi dari pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk
melaksanakan CSR, TJSLP dan green business tersebut. Manfaat tersebut antara
lain menurunnya risiko sosial (social risk), risiko lingkungan (environment risk),
risiko politik (political risk), risiko pasar (market risk), risiko bisnis (business
risk) dan risiko keuangan (financial risk) sehingga memudahkan akses bisnis,
investasi dan kredit. Juga meningkatkan reputasi dan nama baik perusahaan serta
apresiasi para stakeholder sehingga meningkatkan pangsa pasar, penjualan,
pendapatan dan nilai perusahaan.
Pada akhirnya, semua manfaat ekonomi dan nonekonomi tersebut akan
meningkatkan pendapatan, laba, ekuitas dan aset, meningkatkan harga saham dan
nilai pasar perusahaan, serta mendorong pertumbuhan bisnis dan keberlanjutan
korporasi dalam jangka panjang. Singkatnya, perusahaan atau entitas korporasi
sesungguhnya mendapat manfaat berlipat ganda dari pengorbanan sumberdaya
ekonomi dan nonekonomi untuk melaksanakan TSJLP, CSR dan green business.
Namun, sangat disayangkan akuntansi justru tidak mengakui dan mengukur nilai
kebermanfaatan tersebut. Karena itu, sebagai bagian dari entitas korporasi,
akuntansi mau tak mau harus segera merespon secara bijak sejumlah
permasalahan serius tersebut dengan mereformasi paradigma akuntansi, prinsip-
prinsip akuntansi berterima (PABU), dan standar akuntansi yang mendasari
praktik akuntansi menuju ke paradigma Akuntansi Hijau atau akuntansi yang
lebih ramah terhadap lingkungan dan masyarakat (Lako, 2018). Berdasarkan
beragam alasan di atas, maka reformasi dan rekonstruksi rerangka konseptual dan
standar akuntansi konvensional menuju Akuntansi Hijau menjadi sangat penting
dan menjadi agenda mendesak bagi profesi akuntansi, khususnya IAI, agar
kehadiran profesi ini kian relevan, bermakna dan berkembang pesat.
Menurut Prof. Andreas Lako, ada empat agenda reformasi yang perlu segera
dilakukan Agenda pertama adalah mereformasi rerangka konseptual (conceptual
framework) dan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum (PABU) akuntansi
konvensional yang berbasis pada akuntansi keuangan menuju ke Akuntansi Hijau
yang berbasis pada keterpaduan antara akuntansi keuangan dengan akuntansi
sosial dan akuntansi lingkungan. Beberapa kerangka konseptual akuntansi yang
perlu direformasi dan direkonstruksi menuju Akuntansi Hijau meliputi: 1)
pengertian, tujuan dan manfaat Akuntansi Hijau, serta relasi antara akuntansi
keuangan dengan akuntansi sosial dan lingkungan; 2) prinsip-prinsip Akuntansi
Hijau; 3) karakteristik kualitatif informasi Akuntansi Hijau; 4) elemen-elemen
laporan informasi Akuntansi Hijau; 5) tujuan dan sasaran pelaporan Informasi
Akuntansi Hijau; 6) pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan dan
pelaporan informasi Akuntansi Hijau; dan 7) model pelaporan dan pengungkapan
informasi Akuntansi Hijau (Lako, 2016).

5
Agenda kedua adalah mereformasi dan mentransformasi Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) menuju Standar Akuntansi Hijau (SAH). Dalam hal ini, IAI
perlu bekerjasama dengan sejumpah profesi akuntansi lainnya dan pihak-pihak
terkait untuk membentuk tim khusus Dewan Standar Akuntansi Hijau (DSAH).
Tim ini berperan merumuskan Prinsip-Prinsip Akuntansi Hijau Berterima Umum
(PAHBU) dan Rerangka Konseptual Akuntansi Hijau (RKAH) yang mendasari
penyusunan Pernyataan Standar Akuntasi Hijau (PSAH) untuk sejumlah isu atau
obyek akuntansi. Apabila PAHBU dan RKAH tersebut telah dirumuskan,
langkah selanjutnya adalah DSAH memperbaiki dan menyempurnakan dokumen-
dokumen SAK yang telah mendasari praktik akuntansi konvensional selama ini.
Dokumen-dokumen tersebut perlu dtransformasikan ke Standar Akuntansi Hijau
(SAH).
Apabila semua dokumen tersebut telah selesai dikonstruksi, agenda ketiga
adalah IAI perlu melakukan sosialisasi dan internalisasi PAHBU dan SAH ke
berbagai pemangku kepentingan akuntansi terutama kepada pemerintah,
korporasi dan pelaku usaha, para akuntan perusahaan, akuntan publik dan atau
auditor, media massa, dan kelompok-kelompok masyarakat berkepentingan.
Tujuannya, agar pihak-pihak tersebut dalam memahami dan mengaplikasikan
PAHBU dan SAH dalam praktik akuntansi entitasnya masing-masing.
Langkah keempat adalah IAI, khususnya IAI-KAPd, perlu mereformasi dan
merekonstruksi arah, tujuan, sasaran dan strategi pendidikan dan pengajaran
Akuntansi di Indonesia menuju era Pendidikan Akuntansi Hijau. Untuk
mewujudkan impian tersebut maka reformasi terhadap literatur, kurikulum dan
strategi pendidikan-pengajaran akuntansi berbasis pada Akuntansi Hijau dalam
upaya “menghijaukan“ akuntansi dan akuntan menjadi sangat krusial. Untuk
mewujudkan hal tersebut, IAI-KAPd juga perlu membangun kolaborasi dan
bersinergi dengan pemerintah, pelaku usaha dan para stakeholder terkait untuk
sosialisasi, edukasi dan pengembangan praktik Akuntansi Hijau dalam entitas
korporasi. Kolaborasi para akuntan pendidik antar perguruan tinggi dalam
penulisan buku ajar dan buku referensi, pendidikan dan pengajaran, serta
melakukan riset bersama untuk mendukung pendidikan/pengajaran Akuntansi
Hijau di Indonesia juga menjadi sangat penting. Kolabolasi dan sinergitas
tersebut akan menjadi penentu kesuksesan penerapan praktik Akuntansi Hijau
dalam upaya menjadikan akuntansi kian bermakna dan relevan, serta
berkontribusi besar dalam upaya bersama mengatasi krisis ekologi dan krisis
sosial, serta mendukung keberlanjutan Indonesia menuju negara yang adil,
makmur, sejahtera dan lestari.

C. Urgensi Akuntansi Lingkungan (Enviromental Accounting)


Munculnya ISO 26000 tentang CSR, GRI Guideliness dan Sustainability
Reporting, Sustainable Development Goals (SDGs), Document Rio+20 dan
lainnya telah memaksa entitas korporasi harus bertransformasi ke arah yang lebih
green.

6
Akuntansi lingkungan telah lama menjadi perhatian akuntan. Konsep ini
menjadi penting karena perusahaan perlu menyampaikan informasi mengenai
aktivitas sosial dan perlindungan terhadap lingkungan kepada stakeholders
perusahaan. Perusahaan tidak hanya menyampaikan informasi mengenai
keuangan kepada investor dan kreditor yang telah ada serta calon investor atau
kreditor perusahaan, tetapi juga perlu memperhatikan kepentingan sosial di mana
perusahaan beroperasi. Dengan demikian, tanggung jawab perusahaan tidak
hanya kepada investor atau kepada kreditor saja, tetapi juga kepada pemangku
kepentingan lain, misalnya karyawan, konsumen, pemasok, pemerintah,
masyarakat, media, organisasi industri, dan kelompok kepentingan lainnya
(Verani Carolina, 2011).
Green accounting atau environmental accounting didefinisikan sebagai :
“A style of accounting that includes the indirect costs and benefits of
economic activity—such as environmental effects and health consequences of
business decisions and plans” (Robbins, 2011)
Artinya adalah bahwa akuntansi lingkungan adalah jenis akuntansi yang
memasukkan biaya dan manfaat tidak langsung dari aktivitas ekonomi, seperti
dampak lingkungan dan konsekuensi kesehatan dari perencanaan dan keputusan
bisnis (Aniela, 2011). Tiga aspek utama dari Akuntansi Lingkungan yaitu: biaya
konservasi lingkungan (nilai moneter), manfaat konservasi lingkungan (unit
fisik), dan manfaat ekonomi yang terkait dengan kegiatan konservasi lingkungan
(nilai moneter) (Soesanto, 2022).
Eksistensi akuntansi lingkungan sesuai perkembangan masa itu bebas nilai.
Terkadang ada perubahan yang membutuhkan pengembangan praktik akuntansi
dalam menghasilkan unit bisnis yang baik. Ketika perusahaan mulai
memperhatikan lingkungannya, maka sistem akuntansi pun juga semakin baik.
Hal ini meyakinkan perusahaan untuk siap menerima berbagai pengaruh
eksternal (Idrawahyuni, Alimuddin, Hamid Habbe, & Mediaty, 2020).
Teori legitimasi dan teori stakeholder adalah teori yang mendukung adanya
penerapan akuntansi lingkungan. Teori legitimasi menyatakan bahwa suatu
entitas bisnis akan menjamin kegiatan operasionalnya dengan batasan nilai dan
aturan yang berlaku dalam wilayah perusahaan tersebut berada. Tujuan
pengungkapan perusahaan adalah untuk mendorong perusahaan menjadi ramah
lingkungan dan untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip pemangku kepentingan
dipertimbangkan oleh semua pemangku kepentingan di perusahaan (Chariri,
2007).
Selama satu dekade terakhir banyak korporasi Indonesia responsif terhadap
intervensi pemerintah dan tekanan global untuk mengintegrasikan tanggung
jawab ekonomi (laba) dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Mereka
cukup antusias melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan
(TJSLP) yang bersifat wajib dan melaksanakan corporate social responsibility
(CSR) yang bersifat sukarela. Mereka juga melaporkan dan mengungkapkan
informasi kinerja TJSLP dan CSR dalam pelaporan keuangan, pelaporan tahunan
(annual report) dan laporan keberlanjutan (sustainability report). Mereka

7
berupaya mengintegrasikan kepentingan bisnis untuk memaksimumkan laba
dengan kepentingan sosial dan lingkungan (TJSLP/CSR) melalui pendekatan
green business, green corporation dan green management. Dalam tatakelola
keuangannya, mereka juga menerapkan pendekatan green finance atau
sustainable finance untuk mensukseskan pelaksanaan green business dan green
corporation.
Namun sayangnya, dalam sejumlah studi kasus terhadap pelaporan keuangan,
pelaporan tahunan dan pelaporan keberlanjutan, diketemukan banyak terjadi
salah kaprah dalam perlakuan akuntansi terhadap costs (biaya-biaya) dan benefits
(manfaat ekonomi dan nonekonomi) dari pelaksanaan green business, TJSLP dan
CSR. Hampir semua korporasi memperlakukan semua pengorbanan sumberdaya
ekonomi (costs) untuk melaksanakan TJSLP dan CSR dari perspektif akuntansi
keuangan konservatif, yaitu sebagai beban periodik (expense). Akibat dari salah
kaprah tersebut adalah costs TJSLP dan CSR diperlakukan sebagai pengurang
nilai aset dan laba, serta menurunkan nilai ekuitas pemegang saham. Selain itu,
dalam laporan tahunan direksi (wajib) dan laporan keberlanjutan (bersifat
sukarela), banyak korporasi juga antusias melaporkan dan mengungkapkan
informasi tentang program-program dan aktivitas-aktivitas CSR dan TJSLP yang
telah dilaksanakan. Sementara itu, aspek-aspek benefits ekonomi dan
nonekonomi yang telah diperoleh korporasi dari aktivitas investasi TJSLP atau
CSR jarang atau bahkan diungkapkan.
Dari perspektif Akuntansi Hijau (Green Accounting) atau Akuntansi
Berkelanjutan (Sustainable Accounting), perlakuan akuntansi dan pelaporan
tersebut sesungguhnya keliru dan bahkan salah kaprah. Perlakuan dan pelaporan
tersebut telah menyesatkan manajemen dan para pihak dalam penilaian kinerja,
risiko dan nilai korporasi, serta dalam pengambilan keputusan manajerial,
ekonomi dan lainnya. Hal ini disebabkan karena nilai aset, laba, dan ekuitas yang
dilaporkan entitas korporasi pelaksana TJSLP/CSR menjadi terlalu kecil
(undervalued). Dari sisi kepentingan fiskal negara, perlakuan yang salah kaprah
tersebut juga telah menyebabkan jumlah pajak penghasilan badan (PPh Badan)
yang selama ini dibayarkan korporasi pelaksana TJSLP dan CSR kepada negara
juga menjadi lebih rendah. Singkatnya, informasi akuntansi yang dilaporkan
entitas korporasi pelaksana TJSLP dan CSR selama satu dekade terakhir
sesungguhnya terlalu terendah dan telah menyesatkan para pihak dalam penilaan
dan pengambilan keputusan investasi, operasional dan pendanaan.
Karena itu, penerapan Akuntansi Hijau dalam praktik akuntansi korporasi
menjadi sangat penting dan mendesak untuk mengatasi kelemahan akuntansi
konservatif. Selain itu, juga sekaligus untuk merespon kebutuhan entitas
korporasi dalam pengakuan (recogniton) dan pengukuran nilai, pencatatan,
peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi akuntansi keuangan, sosial
dan lingkungan secara terintegrasi. Namun, penerapan Akuntansi Hijau dalam
praktik akuntansi korporasi hanya akan berjalan efektif apabila Prinsip-Prinsip
Akuntansi Berterima (PABU), Kerangka Konseptual Akuntansi dan Standar
Akuntansi yang selama ini lebih berfokus pada perspektif akuntansi keuangan

8
konservatif direformasi dan ditransformasi terlebih dulu ke Akuntansi Hijau atau
Akuntansi Berkelanjutan.
Keberadaan SAH tentu akan sangat membantu para akuntan korporasi dalam
proses akuntansi dan penyusunan pelaporan akuntansi hijau yang
mengintegrasikan pelaporan keuangan dan pelaporan sosial dan pelaporan
lingkungan secara sistematis dan terpadu. Selain itu, kehadiran SAH juga akan
sangat membantu para auditor dalam menilai kewajaran dan kelayakan laporan
informasi akuntansi hijau dari suatu entitas. Keberadaan SAH juga akan sangat
membantu para pemakai laporan akuntansi dalam menilai risiko, kinerja dan nilai
korporasi serta prospek keberlanjutan bisnis dan laba korporasi dalam jangka
panjang (Lako, 2018).

9
DAFTAR PUSTAKA

Alfiadin, A. a. (2022, february 15). PENGARUH CORPORATE


SOCIALRESPONSIBILITY, PROFITABILITAS, DAN STRUKTUR
MODAL TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (STUDI EMPIRIS
PADA PERUSAHAAN FARMASI YANG TERDAFTAR DIBURSA
EFEK INDONESIA PERIODE TAHUN 2016-2020). Retrieved
from /repository.stiedewantara.ac.id:
http://repository.stiedewantara.ac.id/id/eprint/2359
Bunadi, A. E. (2012). Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Kinerja
Perusahaan. Jurnal Akuntansi. Vol. 2, No.2, 655 - 674.
Cahyani, N. I. (2018). Fakta Corporate Social Responsibility di UMKM. Jombang:
STIE PGRI Dewantara Jombang.
Deegan, C. (2013). The accountant will have a central role in saving the planet …
really? A reflection on ‘green accounting and green eyeshades twenty
years later’. Critical Perspectives on Accounting, 448-458.
Husain, H. (2005). Krisis Ekologi dan Spiritualitas Manusia, dalam Majalah Tropika.
(Jakarta: Conservation International Indonesia, Vol.9 No.3-4, 21.
Lako, A. (2015). GREEN ECONOMY: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis & Akuntansi.
Jakarta: Penerbit Erlangga .
Lako, A. (2016). Konstruksi Teori Akuntansi Hijau dan Strategi Pendidikan
Akuntansi. Surakarta: Seminar Nasional dan Kolaborasi Riset IAI-
KAPd .
Lako, A. (2016). Transformasi Menuju Akuntansi Hijau. Desain Konsep dan
Praktik. Lampung: Simposium Nasional Akuntansi (SNA) ke-19
Lampung untuk sesi Corporate Governance, CSR & Green
Accounting IAI-KAPd.
Lako, A. (2018). Menuju Akuntansi Hijau 4.0. Research Gate.
Lako, A. (2018). Menuju AKuntansi Hijau 4.0. ResearchGate.
Lako, A. (2018). Transformasi Menuju Akuntansi Hijau. ResearchGate.
Lako, A. (2018). Urgensi Standar Akuntansi Hijau. ResearchGate.
Lako, A. (2018). Urgensi Standar Akuntansi Hijau. ResearchGate.
Nurza, A. (2010, Mei 26). Dunia Usaha Harus Punya Tanggung Jawab Sosial.
Retrieved from Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/azizon.nurza/54ffcec0a33311a26850f9f
f/dunia-usaha-harus-punya-tanggung-jawab-sosial?page=all
White, L. (1967). The Historical Roots of Our Ecological Crisis. Science 155, 1207.

10

Anda mungkin juga menyukai