Langit Diatas Langit
Langit Diatas Langit
Di sebuah kampung kecil di pinggiran kota, hiduplah seorang ibu bernama Sari
dan anaknya yang bernama Arman. Mereka hidup sederhana dalam sebuah rumah kayu
yang telah banyak memendam cerita. Sari seorang janda, bekerja keras setiap hari
sebagai penjual sayur keliling demi mencukupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah
Arman. Meski hidup dalam keterbatasan, Sari selalu mengajarkan Arman tentang
pentingnya pendidikan dan doa.
Setiap pagi sebelum fajar menyingsing, Sari akan membangunkan Arman untuk
sholat subuh berjemaah di rumah. Setelah itu, mereka akan duduk di beranda sambil
membaca doa dan dzikir. Sari percaya, "Anakku, langit di atas langit akan mendengar
doa kita, dan suatu hari nanti, Tuhan akan mengirimkan rahmat-Nya kepada kita."
Arman tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan rajin. Dengan semangat yang
tidak pernah padam, ia belajar dengan giat. Ia tahu, setiap tetes keringat yang
dikeluarkan ibunya adalah untuk masa depannya. Doa-doa Sari selalu mengalir lembut,
memohon kepada Sang Pencipta agar anaknya diberikan kesempatan yang lebih baik.
Beberapa bulan kemudian, sebuah surat tiba di rumah kayu mereka. Arman
diterima sebagai penerima beasiswa penuh untuk studi di salah satu universitas
terkemuka di Eropa. Air mata kebahagiaan dan syukur bercampur menjadi satu saat Sari
membaca surat itu. “Ini berkat doa ibu, Nak,” ucap Sari sambil memeluk Arman erat.
Pada hari peresmian sekolah dan klinik gratis tersebut, Arman berdiri di samping
Sari, mengumumkan, “Ini semua berkat doa ibu yang selalu menyertai saya.
Kesuksesan ini saya dedikasikan untuk semua ibu yang berdoa untuk anak-anaknya.”
Langit di atas langit memang mendengarkan, dan doa seorang ibu, ternyata,
membuka jalan bagi rahmat yang tak terhingga bagi anaknya. Di samping sekolah,
sebuah taman kecil diberi nama “Taman Doa Ibu”, sebuah penghormatan abadi untuk
doa-doanya yang membawa kesuksesan.
---
Arman selalu bangun lebih pagi dari biasanya sejak ia mengetahui tentang
peluang beasiswa ke luar negeri. Ruang belajarnya yang sederhana di pojok rumah,
diterangi lampu meja tua, menjadi saksi usahanya mempersiapkan segala syarat yang
dibutuhkan. Di antara tumpukan buku dan catatan, ia menghabiskan waktu berjam-jam
untuk mengasah pengetahuannya, terutama dalam bahasa Inggris dan materi tes
akademis yang akan diujikan.
Setiap sore, setelah berjualan sayur, Sari akan menemukan Arman masih duduk
di meja belajarnya. Ia akan menyisihkan waktu untuk membantu Arman dengan cara
yang bisa ia lakukan—menyediakan makanan, memberikan semangat, dan tentu saja,
mendoakannya. Sari sering mengingatkan Arman, "Setiap usaha kerasmu, Nak, selalu
disertai dengan doa. Jangan lupa untuk berdoa."
Namun, perjalanan Arman tidak selalu mulus. Dalam proses seleksi awal, Arman
menghadapi beberapa kali kegagalan. Tes pertama yang ia ikuti, hasilnya tidak
memuaskan. Nilai yang didapatkan tidak memenuhi batas minimal yang ditetapkan oleh
komite beasiswa. Arman pulang dengan hati yang hancur. Di rumah, ia menutup diri di
kamarnya, merenung dalam kekecewaan yang mendalam.
Ketika waktu untuk tes kedua tiba, Arman merasa lebih siap. Ia telah belajar dari
kesalahannya dan kini tahu apa yang diharapkan. Hasilnya, skor tesnya meningkat
secara signifikan, melebihi ekspektasi banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Ketika
ia memberi tahu Sari, ia bisa melihat air mata kebahagiaan di mata ibunya.
“Lihat, doamu dan kerja kerasmu membuahkan hasil, Nak,” Sari berkata sambil
memeluknya erat. “Ini baru permulaan. Terus berjuang dan jangan lupakan bahwa doa
ibu selalu menyertaimu.”
Dengan kepercayaan baru dan semangat yang telah diperbaharui, Arman
melanjutkan proses seleksi. Setiap langkah yang ia ambil, didorong oleh doa dan
dukungan tidak terbatas dari ibunya, membawanya lebih dekat pada impian yang
selama ini ia bayangkan. Keteguhan hati dan ketabahan Sari menjadi fondasi bagi
Arman untuk meraih kesuksesan yang pada akhirnya memungkinkan dia mendapatkan
beasiswa penuh tersebut.
---
Setelah bertahun-tahun studi yang intens, Arman akhirnya menyelesaikan
pendidikannya dengan predikat summa cum laude. Keberhasilannya tidak hanya
merupakan pencapaian akademis yang luar biasa tetapi juga pemenuhan dari doa-doa
yang tak henti-hentinya dipanjatkan oleh ibunya, Sari. Dengan gelar yang diperolehnya,
ia tidak hanya ingin berhasil secara profesional tetapi juga memiliki keinginan kuat
untuk memberi kembali kepada masyarakatnya.
Klinik gratis itu akhirnya diresmikan, terletak tidak jauh dari rumah kayu tempat
Arman dibesarkan. Pada hari peresmian, banyak warga kampung, teman lama, dan
beberapa wajah baru yang datang untuk memberikan dukungan. Sari, berdiri di samping
Arman, tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya. Dengan air mata kebahagiaan, ia
memandang putranya yang kini telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
Suatu hari, dalam salah satu sesi edukasi, Arman berkata, "Setiap dari kita
memiliki kekuatan untuk membuat perubahan. Tidak perlu menunggu sampai kita
sukses besar. Mulailah dengan apa yang bisa kita lakukan sekarang, berikan kembali
sebanyak yang kita terima, dan selalu ingat dari mana kita berasal."
Dengan klinik gratis berdiri kokoh, Arman tidak hanya memenuhi janjinya
kepada ibunya tetapi juga kepada dirinya sendiri dan komunitasnya. Ia membuktikan
bahwa kesuksesan sejati berakar pada nilai-nilai yang diajarkan oleh Sari: kerja keras,
doa, dan dedikasi untuk membantu orang lain.