Anda di halaman 1dari 8

Implementasi Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia lebih ditekankan pada aspek pengeluaran atau belanja dengan
memperbesar porsi di daerah. Hal ini memiliki berbagai alasan yang secara akademis dapat
dipertanggung-jawabkan, yaitu kondisi antar daerah yang sangat heterogen, antara lain dapat dilihat dari
jumlah penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk, kondisi geografis, kondisi dan potensi
perekonomian daerah.
A. DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, semua pembiayaan
dan penentuan suatu kebijakan atas dana yang ada di daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah, desentralisasi fiskal, dan pemberian kewenangan yang lebih luas
diharapkan daerah mampu mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada, sehingga diharapkan
dapat memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Dari hasil kajian empiris yang sudah dilakukan oleh Waluyo (2007) dapat disimpulkan bahwa kebijakan
bagi hasil pajak (PBB, BPHTB, PPh) dan bagi hasil Sumber Daya Alam (BHSDA) secara nasional tidak
memberikan hasil yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Transfer BHSDA, PPh, PBB BPHTB
memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Transfer BHSDA, PPh, PBB
BPHTB memberikan pertumbuhan -0,175 persen - 0,230 persen dan -0,215 persen (Transfer SDO Inpres
digantikan oleh ketiga mekanisme transfer di atas). Transfer PPh dan PBB BPHTB hanya
menguntungkan DKI Jakarta walaupun pertumbuhannya negatif. DKI adalah daerah yang memperoleh
bagi hasil PBB BPHTB dan PPh terbesar baik secara absolut maupun secara relatif terhadap PDRB-nya.
DKI memperoleh BPHTB sebesar 976,32 milliar rupiah dan 0,472 dari PDRB. Sedangkan bagi hasil PPh
sebesar 1.446,96 milliar atau 0,699 persen dari total PDRB-nya. Pertumbuhan ekonomi yang negatif
disebabkan tidak ada satupun daerah memperoleh bagi hasil dari pajak mamupun sumber daya alam yang
besarnya sama dengan SDO Inpres.
Transfer BHSDA memberikan pertumbuhan positif pada Kaltim 0,441 persen dan Riau 0,324 persen.
Kaltim memperoleh bagi hasil SDA 9 kali dari SDO Inpres dan Riau 8 kali dari SDO Inpres. Sementara
itu Aceh sebagai daerah penerima BHSDA terbesar ketiga memiliki pertumbuhan ekonomi -0,025 persen,
sedangkan Irian Jaya tidak begitu terpengaruh dengan adanya transfer ini. Transfer BHSDA
mengakibatkan variasi pertumbuhan antar daerah sangat tinggi yaitu -102,036 persen hampir 2,5 kali dari
variasi pertumbuhan yang diakibatkan oleh PBB BPHTB dan PPh. Kondisi ini disebabkan daerah-daerah
yang memiliki kemampuan fiskal yang besar mampu melakukan investasi sarana dan prasaran sehingga
mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Kajian tersebut menunjukkan bahwa dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam tidak efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini hanya menguntungkan sebagian kecil daerah di
Indonesia seperti Kaltim, Riau, Acch. Kebijakan ini juga mengakibatkan ketimpangan pertumbuhan
ekonomi antar daerah yang tinggi. Implementasi dari kebijakan BHSDA lebih didasari landasan politik
dibandingkan landasan ekonomis. Kebijakan ini diambil oleh pemerintah pusat untuk meredam gejolak
politik di daerah untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil empiris ini
menunjukkan bahwa Aceh dan Irian Jaya tidak sensitif terhadap BHSDA tetapi lebih sensitif terhadap
DAU, sehingga pemberian bagi hasil SDA yang lebih besar bagi daerah ini tidak menyelesaikan masalah
yang mendasar. Pemerintah pusat sebaiknya memberikan DAU yang lebih besar kepada kedua daerah
tersebut.
Dana alokasi umum memiliki peran yang sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
sekaligus sebagai pemerata pertumbuhan ekonomi antar daerah. Kondisi tersebut mengindikasikan
adanya ketergantungan yang sangat besar pada pemerintah pusat. Dalam kerangka otonomi daerah,
kemandirian daerah belum terlihat dan ada kecenderungan sistem sentralistik masih berlangsung.
Pemerintah pusat perlu membuat terobosan baru dalam kebijakan agar kemandirian daerah dapat
terwujud. Hasil studi empiris menunjukkan bahwa daerah Jawa dan Bali memiliki pertumbuhan ekonomi
yang lebih rendah dibandingkan daerah di luar Jawa dan Bali. Hal ini menunjukkan telah terjadi transfer
pertumbuhan dari Jawa ke Luar Jawa, sehingga pada akhirnya daerah-daerah di luar Jawa dan Bali
mampu mengejar ketertinggalannya terhadap wilayah Jawa dan Bali.
B. DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR
DAERAH
Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat kesenjangan antardaerah adalah dengan melihat
koefisien variasi (Coeficient of Variance) PDRB Per-kapita (Rp Juta/Orang) antardaerah (Waluyo, 2007).
Pada kondisi sebelum adanya desentralisasi fiskal sudah terjadi disparitas pendapatan yang sangat besar
antara Jawa dan Luar Jawa antara wilayah barat dengan timur Indonesia. Permasalahan ini merupakan
masalah yang sistematik, sehingga dapat memicu munculnya disintegrasi bangsa. Disparitas antar daerah
ditunjukkan oleh koefisien variasi sebesar 59,79 persen (lihat Tabel 4.3).
Kebijakan dana perimbangan yang berasal dari dana bagi hasil yaitu (PBB BPHTB, PPh, BHSDA)
memperburuk kesenjangan antardaerah. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya koefisien
variasi dari 59,790 persen menjadi 60,038 persen untuk BHSDA, 59,907 persen untuk PPh dan 59,900
persen untuk PBB BPHTB. BHSDA memiliki pengaruh paling besar terhadap kesenjangan antardaerah
dibandingkan dengan bagi hasil PPh dan PBB BPHTB. Hal ini dikarenakan oleh persebaran SDA yang
tidak merata, ada 3 propinsi yaitu Aceh, Riau, dan Kaltim memperoleh BHSDA sebesar masing-masing
3,070 persen, 5,560 persen dan 5,193 persen dari total PDRB. Sementara itu daerah seperti Sumatera
Selatan memperoleh 1,331 persen, Kalteng 1,261 persen dan Maluku Utara memperoleh 1,212 persen.
Daerah yang lain umumnya memperoleh bagian kurang dari 1 persen dari total PDRB-nya. Daerah yang
paling kecil menerima BHSDA adalah Banten yaitu 0,008 persen (Waluyo, 2007).
Bagi hasil PPh menempati urutan kedua sebagai salah satu penyebab disparitas antar daerah. Distribusi
PPh tidak merata di seluruh Indonesia hanya daerah yang besar tingkat industri dan kegiatan jasanya yang
memperoleh bagian yang besar, seperi Jakarta. Jakarta memperoleh dana bagi hasil lebih dari 1 triliun
atau sekitar 0,699 persen dari total PDRB. Daerah lainnya memperoleh dana yang kurang dari 0,5 persen
dari total PDRB-nya. Daerah yang tinggi tingkat industri dan jasanya cenderung memiliki bagi hasil PPh
yang besar. Daerah seperti Riau, DKI, Kaltim, Irja memperoleh bagi hasil PPh yang relatif lebih besar
dibandingkan daerah lainnya. Bagi hasil dari PBB BPHTB menempati urutan terakhir penyebab
terjadinya kesenjangan pendapatan antardaerah, karena nilai bagi hasil setiap daerah relatif merata.
Transfer DAU mampu mengurangi kesenjangan antardaerah ditunjukkan dengan nilai koefisien variasi
berada di bawah nilai pada simulasi historis yaitu 59,626 persen. Selain DAU berfungsi sebagai fiscal
equalizing transfer juga berperan sebagai income equalization. Jika DAU hanya sebagai satu-satunya
transfer maka jelas terlihat.
DAU dinilai mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antar daerah walaupun penurunan nilai
koefisien variasinya tidak begitu signifikan. Permasalahan kesenjangan dalam satu wilayah tidak kala
pentingnya dengan ketimpangan Jawa-Luar Jawa dan antara Kawasan Barat dengan Kawasan Timur
Indonesia. Permasalahn ketimpangan dalam satu wilayah perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah
pusat, karena memberikan dampak buruk terhadap kondisi sosial ekonomi. Daerah-daerah yang memiliki
PDRB Per-kapita tinggi seperti DKI, Riau, dan Kaltim akan mendorong masyarakat di sekitar daerah ini
untuk bermigrasi menuju daerah yang berpendapatan tinggi. Arus migrasi yang cukup besar selain akan
memberikan masalah tersendiri bagi daerah tujuan seperti penyediaan barang publik, masalah kriminalitas
juga memberikan masalah bagi daerah yang ditinggalkan karena akan kehilangan tenaga kerja potensial.
C. DAMPAK DESENTRALISASI TERHADAP KESENJANGAN FISKAL
Kesenjangan fiskal secara signifikan di seluruh daerah telah terjadi sebelum dan setelah pelaksanaan
sistem desentralisasi. Hasil studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2007) menunjukkan pada tahun 1999,
kabupaten/kota paling kaya memiliki pendapatan fiskal per kapita sebesar 30 kali daripada daerah paling
miskin. Angka ini masih tetap sama pada 2004, empat tahun setelah pelaksanaan sistem desentralisasi.
Akan tetapi, disparitas fiskal lebih rendah di tingkat provinsi daripada kabupaten/kota. Sebelum
pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi paling kaya memiliki tingkat pendapatan 13 kali lebih besar
daripada provinsi paling miskin. Data ini semakin memburuk pada 2004, ketika tingkat koefisiennya
mencapai 15. Koefisien Gini dan koefisien variasi juga menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan
fiskal bahkan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi.

Kesenjangan dalam perimbangan sistem fiskal sangat dipengaruhi oleh alokasi pendapatan dari sumber
daya alam. Walaupun pendapatan dari sumber daya alam hanya berkontribusi sebesar 7 persen dari total
pendapatan daerah, alokasi pendapatan dari sumber ini sangat tidak seimbang. Kurang dari 10 persen
pemerintah daerah di Indonesia memiliki sumber pendapatan yang signifikan dari sektor migas, dan
mereka menguasai 90 persen sektor ini.
Seperti halnya di negara lain, PAD juga didistribusikan secara sangat tidak merata. Kabupaten/kota yang
lebih kaya, terutama kota-kota besar, memiliki proporsi pendapatan yang jauh lebih besar. DAU berusaha
menyeimbangkan distribusi PAD dan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam, tetapi efek ini
tentu bisa ditingkatkan lebih baik lagi. Namun demikian ada dua faktor yang bisa mengurangi peran ini
yaitu kebijakan hold harmless' dan keterbatasan manfaat formula kesenjangan fiskal. DAU meningkat
secara signifikan pada 2006 dan menjadi lebih signifikan dalam rangka melakukan pengimbangan fiskal
(Bank Dunia, 2007).
Alokasi dana DAU menggunakan mekanisme berbasis formula. Pada DAU pada tahun 2006 yang
didasarkan pada Undang-undang No. 33 Tahun 2004. Keseluruhan dana DAU di tingkat pusat dihitung
sebagai proporsi (saat ini 26 persen) dari pendapatan bersih nasional setelah dikurangi dana bagi hasil.
Formula DAU memiliki dua komponen, komponen alokasi dasar (BA) dan komponen kesenjangan fiskal
(FG).

Sampai dengan 2005, komponen alokasi dasar tediri dari lump sum dan komponen proporsional untuk
gaji. Mulai 2006, DAU mencakup anggaran untuk pembayaran gaji setiap pemerintah daerah secara
penuh sebelum menggunakan formula. Kesenjangan fiskal dihitung sebagai selisih antara kapasitas fiskal
(FC) dan kebutuhan pengeluaran (EN), yang sebagian akan ditutup melalui DAU. Komponen
kesenjangan fiskal dialokasikan kepada kabupaten/kota secara pro rata berdasarkan kesenjangan tersebut.
Dana ini merupakan pendorong utama untuk menuju pemerataan dan perimbangan fiskal daerah.
Walaupun proporsi kesenjangan fiskal telah mengalami peningkatan, pentingnya formula kesenjangan
fiskal dalam mekanisme distribusi hanya bersifat parsial karena hanya 50 persen total DAU yang
didistribusikan menggunakan formula kesenjangan fiskal.
Faktor yang perlu diingat dalam formula perhitungan DAU bahwa jika satu kabupaten/kota memutuskan
menurunkan gaji mereka, mereka akan menerima dana diskresionari yang lebih besar melalui komponen
peningkatan kesenjangan fiskal (FG), tetapi perolehan dana itu masih jauh lebih kecil daripada
pengurangan jumlah gaji. Sementara hal ini tidak akan memberikan penalti kepada kabupaten/kota yang
melakukan pemotongan gaji, hal ini mungkin bisa atau tidak bisa menjadi insentif yang cukup bagi
kabupaten/kota. Sementara itu, seluruh kabupaten/kota yang tidak melakukan pengurangan terhadap
anggaran gaji mereka akan menerima dana yang lebih besar. Sebaliknya, jika seluruh kabupaten/kota
melakukan pemotongan terhadap pembayaran gaji, maka perolehan merekabukan hanya akan lebih
signifikan, semua kabupaten/kota yang memiliki kesenjangan fiskal positif (sekitar 95 persen dari seluruh
kabupaten/kota pada 2006) tetapi akan memiliki jumlah dana diskresionari yang lebih besar. Insentif
fiskal ini hanya berlaku jika kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk mengangkat dan memberhentikan
pegawainya untuk melakukan identifikasi terhadap jumlah efektif dari PNS yang dibutuhkan untuk
menyediakan layanan dasar kepada masyarakat.

Asumsi yang realistis tentang peningkatan harga minyak internasional dalam anggaran pemerintah pusat
telah menyebabkan peningkatan angka nominal sebesar 64 persen total dana DAU yang tersedia di
tingkat pusat, 99 tetapi 57 persen dari peningkatan ini telah diserap oleh pembayaran gaji secara penuh
pemerintah kabupaten/kota, yang menyisakan hanya 43 persen untuk didistribusikan menggunakan
formula kesenjangan fiskal (lihat Gambar 4.1). Distribusi peningkatan anggaran pada 2006 sangat
beragam di setiap daerah. Lebih dari setengah provinsi dan kabupaten/kota telah menerima lebih dari 60
persen dan 40 kabupaten/kota mengalami peningkatan anggaran sebesar lebih dari 160 persen. Sebagian
besar kabupaten/kota di kawasan Indonesia Timur (kecuali NTB, NTT, dan beberapa daerah di Sulawesi)
dan Kalimantan memperoleh manfaat sangat besar dari peningkatan DAU ini (Bank Dunia, 2007).

Gambar 4.1
Komposisi DAU secara keseluruhan
Di Papua lebih dari setengah pemerintah daerah menerima peningkatan sebesar 100 persen atau bahkan
lebih. Terdapat perbedaan yang sangat jauh di Sumatera dan Aceh, di mana kabupaten yang merupakan
produsen minyak tidak mengalami kenaikan DAU sedangkan beberapa pemerintah daerah menikmati
peningkatan DAU sampai lebih dari 160 persen. Kabupaten/kota di Java, Bali, NTB dan, NTT sebagian
besar mengalami peningkatan di bawah rata-rata, tetapi masih cukup signifikan yaitu sekitar 50 persen
(lihat peta pada Gambar 4.2).

Kabupaten/kota yang tidak kaya dengan sumber daya alam menerima DAU lebih besar jika DAU itu
didistribusikan murni berdasarkan formula kesenjangan fiskal. Bank Dunia melakukan simulasi alokasi
DAU pada 2006 dengan hanya menggunakan formula kesenjangan fiskal, tanpa memperhatikan
komponen pembayaran gaji pegawai, cadangan pengaman, dan memungkinkan untuk melakukan alokasi
nol di kabupaten/ kota yang memiliki tingkat kesenjangan fiskal negatif. Gambar 4.3 memberikan
rangkuman mengenai pendapatan fiskal per kapita pemerintah daerah berdasarkan provinsi. Beberapa
kabupaten/kota yang kaya minyak seperti Aceh Utara, Bengkalis di Riau dan Kutai di Kalimantan Timur
menerima alokasi nol. Total pendapatan fiskal mereka mengalami penurunan.
Jika dana DAU seluruhnya dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fiskal, kabupaten/yang miskin
akan menerima sumber daya yang lebih besar. Alokasi DAU berkorelasi positif dengan perhitungan
angka kemiskinan kabupaten/kota, karena formula DAU mengandung variabel seperti PDRB (lihat
Gambar 4.3).
Koefisien korelasi formula kesenjangan fiskal yang murni untuk alokasi DAU 2006 dengan angka
kemiskinan adalah 0,29 dan angka ini signifikan pada tingkat 5 persen. Jika kita berasumsi bahwa
kemiskinan mencerminkan tingkat kemajuan pembangunan, maka formula yang murni itu akan
memberikan dampak lebih menyetarakan melalui distribusi pendapatan fiskal yang lebih seimbang.

Anda mungkin juga menyukai