Anda di halaman 1dari 174

Sawahlunto

Sejuta
Cerita Rakyat
Sawahlunto
Sejuta
Cerita Rakyat
Kumpulan Cerita Terbaik
Sayembara Menulis Cerita Rakyat 2020

KOMUNITAS LITERASI OMBILIN


iv | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

SAWAHLUNTO SEJUTA CERITA RAKYAT

Penulis:
Komunitas Literasi Ombolin

Editor:
Muhammad Subhan, Armadison,
Fadilla Jusman, Anita Aisyah

Penyunting:
Tim Salmah Publishing

Desain sampul:
Nur Afandi

Penata letak:
Nur Afandi

Penerbit:

Jl. Mangga, Gang Mangga IV


No. 16, Sukajadi, Kota Pekanbaru, Riau
Call Centre: 0813-7189-0115
IG: Salmah_Publishing

Cetakan pertama, Juli 2020


xvi + 158 hlm. 13 x 21 cm

ISBN:

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apa pun secara
elektronik maupun mekanis, tanpa izin tertulis dari penerbit
All Rights Reserved
Testimoni

Cerita Rakyat merupakan investasi utama


dalam mengembangkan kawasan wisata.
—Eka Wahyu, Ketua DPRD Sawahlunto

Tidak hanya lisan, cerita rakyat kekayaan


budaya juga mesti tertulis dan turun
temurun dari satu generasi ke generasi
selanjutnya.
—Effendy Mardianto Dt. Rajo Sampono,
Komisaris J&E Tangerang

Kehadiran buku ini turut menjaga


kekayaan akan keragaman cerita yang
dimiliki masyarakat Kota Sawahlunto.
—Jaswandi, S.E., CV Putri Surya Pratama
Natural
vi | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Setiap daerah memiliki cerita tersendiri


yang patut dan layak disimak. Untuk cerita
rakyat Sawahlunto, kita bisa temukan
dalam buku ini.
—Junaidi Nur, Kapolres Sawahlunto

Buku ini merupakan kekayaan yang


dimiliki Kota Sawahlunto. Kekayaan yang
harus dipertahankan setiap generasi.
—Novendra Hidayat, Direktur Eksekutif
IMPROVE Indonesia, Founder Persatuan
Perantau Muda Sawahlunto (Parmato)
SAMBUTAN

Menjual Cerita Rakyat


untuk Wisatawan
SAYA menyambut baik hadirnya buku Sawahlunto
Sejuta Cerita Rakyat. Bagi saya buku ini sangat spesial,
karena tak banyak, bahkan belum ada, buku yang
mengangkat banyak cerita yang tersebar di tengah
masyarakat. Cerita yang hidup disampaikan secara
lisan turun temurun dari generasi ke generasi.
Selaku kepala daerah, saya sangat mengapresiasi
dan berterima kasih atas langkah yang dilakukan
Komunitas Literasi Ombilin dalam melaksanakan
Sayembara Cerita Rakyat Sawahlunto, yang kemudian
mengemas naskah-naskah menjadi satu buku yang
sangat layak untuk dimiliki setiap warga Sawahlunto
dan wisatawan yang berkunjung.
Sawahlunto sangat kaya dengan keberagaman
budaya dan suku bangsa, yang membuat kota ini
bagaikan Indonesia kecil. Hampir seluruh suku dan
viii | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

budaya di nusantara ada di kota seluas 279,5 kilometer


persegi ini.
Banyak cerita yang ada di tengah masyarakat yang
belum terbukukan, bertahan secara turun temurun
melalui cerita yang disampaikan dari generasi ke
generasi berikutnya. Banyaknya cerita rakyat anak
negeri di Sawahlunto, tak bisa dipungkiri. Hampir
di setiap nagari, desa dan kelurahan hingga dusun
punya cerita yang layak untuk disimak dan diketahui
khalayak ramai.
Cerita rakyat ini sangat penting bagi pariwisata
Sawahlunto ke depan. Bahkan, di negara maju pun
cerita rakyat setempat dikaitkan dengan objek wisata
dan dijual sebagai bumbu penyedap untuk menarik
wisatawan berkunjung.
Begitu pula Sawahlunto, yang kini tengah
mengembangkan pariwisata. Butuh banyak dukungan
semua pihak untuk menjadikan Sawahlunto sebagai
daerah tujuan pariwisata utama di Sumatera Barat.
Kini, keberadaan buku Sawahlunto Sejuta Cerita
Rakyat yang memuat banyak cerita tentang Sawahlunto
akan dapat memperkaya khazanah literasi kota ini.
Kota yang punya sejarah panjang pertambangan
batubara, nan kini diakui UNESCO sebagai Warisan
Dunia.
Selain itu, buku yang memuat naskah-naskah
peserta sayembara cerita rakyat ini, dapat mendorong
semangat literasi masyarakat, yang cenderung
disibukan dunia maya dalam genggamannya.
Komunitas Literasi Ombilin | ix

Buku ini secara tersirat mengungkapkan, bahwa


cerita rakyat di Kota Sawahlunto masih sangat banyak
dan sangat layak untuk dibukukan agar bisa bertahan
dari satu generasi ke generasi mendatang.

Sawahlunto 7 September 2020

Deri Asta, S.H.


Wali Kota Sawahlunto
SAMBUTAN

Industri Pariwisata
Dikemas Cerita Rakyat
BEGITU ide Sayembara Cerita Rakyat Sawahlunto
dibentangkan Komunitas Literasi Ombilin, kami
langsung tertarik dan memberikan dukungan serta
support. Bagi kami, cerita rakyat adalah kekayaan
daerah yang dapat dieksplorasi untuk menumbuhkan
dan mengembangkan pariwisata.
Bagi PT Bukit Asam Pertambangan Ombilin
sendiri, dengan adanya Sayembara Cerita Rakyat
Sawahlunto menghadirkan sebuah nuansa untuk
mengenang kembali sejarah keberadaan tambang
tertua di Indonesia, yang selalu siap memberikan
kontribusi dalam memajukan pariwisata tambang di
Kota Sawahlunto.
Industri pariwisata yang dikemas dengan cerita
rakyat tak pernah habis ditelan waktu dan masa. Beda
dengan industri pertambangan, seperti batubara yang
dibatasi waktu dan masa.
Komunitas Literasi Ombilin | xi

Upaya Komunitas Literasi Ombilin menggali


dan mengeksploitasi cerita rakyat yang ada di tengah
masyarakat sangat layak untuk diapresiasi. Apalagi
cerita rakyat yang disayembarakan itu dijadikan,
tentunya menjadi buah tangan dan buah cerita yang
perlu dibaca bagi masyarakat setempat dan wisatawan
dari kota yang satu-satunya sejarah pertambangan di
dunia yang diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia.
Keberadaan buku ‘Sejuta Cerita Rakyat
Sawahlunto’ ini akan semakin membuat status
Warisan Dunia semakin menarik untuk dikunjungi.

Yulfaizon
General Manager PTBA UPO
ANTARAN KATA

Akhirnya, Jadi Untaian


Cerita Rakyat
SEMUA ini bermula dari keisengan belaka pada Juni
2020, saat pandemi coronavirus merebak melanda
negeri ini. Semua aktifitas terbelenggu karena
pembatasan sosial berskala besar. Menulis, aktifitas
yang aman, nyaman dan produktif di tengah pandemi
coronavirus.
Lahirlah Komunitas Literasi Ombilin (KOLOM)
Sawahlunto, yang menggagas sayembara menulis
bertajuk Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat. Nyata,
Sawahlunto menyimpan banyak pundi-pundi Cerita
Rakyat yang belum dikemas dengan baik. Semua
hanya sebatas kaba, mengalir dari mulut ke mulut.
Lalu, lenyap setelah tukang cerita berlalu.
Penulis muda berbakat, dari pelajar, mahasiswa
dan masyarakat luas menumpahkan kreatifitas
Komunitas Literasi Ombilin | xiii

menulisnya dalam cerita pendek rakyat Sawahlunto


dari berbagai sisi pandang. Mereka penulis ini datang
dari berbagai kota dan kabupaten di Sumatra Barat,
Lampung, Jakarta, Batam, Malang, Kalimantan, Riau
dan Thailand.
Agar Sayembara Sejuta Cerita Rakyat Sawahlunto
tidak berlalu begitu saja, kami dari KOLOM
menuangkan dalam buku, karya penulis yang dinilai
terbaik.
Harapan kami, buku ini menjadi motivasi
menggerakan minat baca semua kalangan dan
mempertajam literasi masyarakat pembaca.
Meski cerita yang disajikan salam buku ini
bersifat fiksi, tetapi enak dibaca dan perlu. Cerita yang
awalnya berupa kaba, dan berkembang dari mulut ke
mulut, mereka coba kembangkan dan sajikan dari
sudut pandang dan penafsiran, akhirnya, jadi untaian
cerita rakyat.

Komunitas Literasi Ombilin


Daftar Isi
Testimoni v
Sambutan Wali Kota Sawahlunto
| Menjual Cerita Rakyat untuk Wisatawan vii
Sambutan General Manager PTBA UPO
| Industri Pariwisata Dikemas Cerita Rakyat x
Sambutan Komunitas Literas Ombilin
| Akhirnya, Jadi Untaian Cerita Rakyat xii

Losuang Manangih
Alee Kitonanma (Alexander)
(Terbaik 1 Kategori Umum) 1

Batang Lunto Kuali Timbago


Maya Sandita
(Terbaik 2 Kategori Umum) 7

Tukang Tenun dan Orang Bunian


Yusrizal Karana
(Terbaik 3 Kategori Umum) 13

Danau Tanah Hitam


Windia Naurah Auda
(Terbaik 1 Kategori Pelajar) 20
Komunitas Literasi Ombilin | xv

Kisah Orang Rantai


Noor Alifah
(Terbaik 2 Kategori Pelajar) 27

Bujang Timbago
Budi Saputra 31

Hantu Tambang Ombilin


Agus Setiawan 37

Timbago, Perempuan Itu, dan Dendam yang


Tak Usai
Sepno Fahmi 42

Asal-Usul Nama Nagari Kolok


Nofri Endrawita, S.Pd.SD. 48

Lubuk Nago
Desi Kirana Aza 53

Lengkang Si Anak Malang (Asal Mula


Nagari Silungkang)
Indrawati, S.Pd. 59

Jami Jobang, Perjodohan Berujung Maut


Adrial 66

Wanita Berkebaya di Lapangan Segitiga


Efji MR. 73

“Selamat Pagi Oom Bill Hiejn” (Cerita


Asal Mula Nama Tambang Batubara Ombilin)
Rita Ariani, S.Pd. 81
xvi | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Inyiak Balang Lubuak Simalukuik


di Kampung Teleng
Melia Rosalinda 88

Si Ikan Kalang
Ummu Hasan 95

Inyiak Puncak Polan


Tuti Yuliana, S.Pd.I., S.Pd. 101

Hikayat Bujang Juaro dan Kawanan Ciling


Arif P. Putra 107

Alkisah Sitimbago Raya


Mahareta Iqbal Jamal 114

Pena Emas Sang Demang


Maiyulastri,S.Pd.SD 120

Lubang Hitam Mbah Soero


Dila Ayu Arioksa 126

Sikalang Tempo Doeloe


Suharti, S.Pd. 133

Bayang-Bayang Roh Leluhur dalam Pertunjukan


Kuda Kepang Etnik Jawa di Kota Sawahlunto
Lismomon Nata 139

Legenda Batu Puti


Nova Hendra 146

Kisah Ikan dan Pemuda yang Malang


Dina Ramadhanti 151

Tentang Tim Kurator 157


Losuang Manangih
Alee Kitonanma (Alexander)
(Terbaik 1 Kategori Umum)

D arah mengalir di bagian tumit kanan Balu. Tidak


sengaja ia menginjak serpihan kayu runcing dari
pohon kecil yang ia tebang, saat membersihkan lahan
hutan untuk membuat ladang ubi kayu, di perbukitan
tidak jauh dari tempat ia tinggal. Berkali-kali pria
paruh baya itu meremas rumput di sekitar, kemudian
ditempelkan ke tumitnya. Ia meringis sambil terus
menyumpal bagian luka kakinya.
Setelah lukanya tidak berdarah lagi, Balu melihat
kiri kanan. Tiada siapa-siapa selain pohon-pohon dan
semak belukar yang tengah ia bersihkan. Kemudian ia
berjalan beberapa langkah ke depan, tetapi tiba-tiba
langkahnya terhenti, ketika mendapati benda keras di
hadapannya. Ia pukul-pukulkan parang yang ia bawa
ke arah benda itu, sehingga ada bunyi berdentang
keras. Disingkapnya semak yang membungkus benda
besar itu, hingga tampaklah sebuah losuang atau
batu lesung, tempat untuk menumbuk padi atau
2 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

bahan makanan lainnya. Sebuah losuang yang cukup


besar dan masih sangat bagus, walau tampak sudah
berusia. Cekungannya juga cukup besar, sehingga
bisa menampung banyak bahan makanan yang akan
ditumbuk.
Ia tampak bergembira. Balu kemudian buru-
buru pulang dan menutup losuang dengan daun serta
beberapa kayu. Ia juga tidak sabar untuk memberitahu
dua adiknya, Samin dan Indai tentang kabar itu.
Bergegas ia pulang, menyeret langkahnya, walau
sebelah kakinya berjalan dengan tidak normal.
“Min, Dai.... Di mana kalian? Cepat keluar, mau
aku tunjukkan sesuatu!” seru Balu saat sampai di
halaman rumahnya.
“Mereka sudah pulang ke rumah masing-masing,
bersama dengan anak-anaknya,” ucap istri Balu yang
keluar dari pintu rumah kayu itu.
“Oh, ya sudahlah. Besok saja. Kini bersihkan
luka ini dulu, terpijak kayu runcing aku tadi,” ujar
Balu kepada istrinya sambil masuk ke rumah dan
menceritakan tentang batu losuang yang ia temukan.
Di salah satu perbukitan daerah Sawahlunto itu
konon kabarnya memang hanya tiga keluarga yang
tinggal dulunya, yang kini dikenal dengan Desa
Lumindai. Mereka kakak beradik, Balu, Samin, dan
Indai. Balu memiliki dua orang anak, laki-laki dan
perempuan. Sedangkan Samin memiliki tiga orang
anak laki-laki dan si bungsu Indai memiliki dua anak
perempuan.
Komunitas Literasi Ombilin | 3

Pada zaman dahulu, jauh sebelum kedatangan


penjajah ke Indonesia hingga ke Sawahlunto,
mendapatkan batu losuang adalah rezeki yang besar.
Apalagi selama ini tiga kakak beradik itu kalau
mau menumbuk bahan makanan harus turun bukit
berjalan cukup jauh, dan membayar upah kepada yang
punya lesung.
Ketika pagi tiba, Samin dan Indai sudah datang ke
rumah Balu, yang tidak begitu jauh, dengan membawa
bekal makanan untuk sekeluarga. Begitu rutinitas
mereka sehari-hari, berkumpul.Ada saja yang akan
dikerjakan, seperti berladang dan memasak bersama.
Setelah menyampaikan hal tentang losuang,
Balu dan adik-adiknya serta suami istri dan anak-
anaknya mendatangi batu losuang itu, sekalian untuk
bergotong-royong membuka lahan, membersihkan
semak-semak di sekitar situ.
Mereka pun sepakat membawa losuang itu pulang
ke rumah Balu.Namun, anehnya batu itu tidak bisa
diangkat, bahkan digeserpun tidak bisa, walau sudah
mereka angkat bersama-sama. Akhirnya, mereka
putuskan untuk tetap membiarkan losuang itu berada
di sana, dan mereka manfaatkan ketika menumbuk
bahan makanan.
Balu dan adik-adiknya kemudian jadi sering ke
sana. Ladang itu mereka garap bersama.Apa saja
yang ditanam tumbuh dengan subur. Bahan makanan
bisa mereka tumbuk setiap saat kapan pun mereka
inginkan. Mereka hidup dengan rukun dan damai.
4 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Losuang yang menjadi saksi persaudaraan mereka


juga tampak turut bahagia. Selalu siap memberikan
permukaan yang bersih dan kering. Lokasi itu juga
menjadi tempat bermusyawarah, bercengkerama, dan
makan bersama di kala siang.
Tahun terus berganti. Anak-anak mereka juga
bertambah. Balu dan Samin menyatakan ingin
merantau, mencari tempat peruntungan baru. Sebagai
laki-laki, mereka harus memberikan keistimewaan
kepada saudara perempuan mereka, apalagi Indai
merupakan anak bungsu.
Tibalah saatnya Balu dan Samin bersama keluarga
mereka untuk berangkat. Mereka memutuskan
untuk berpisah di batu losuang. Isak tangis mewarnai
perpisahan mereka di losuang itu. Mereka pun berjanji
untuk bertemu lagi satu atau dua tahun kemudian di
losuang, sambil menumbuk dan makan bersama.
Balu sekeluarga selanjutnya berjalan ke arah
Solok, sedangkan Samin sekeluarga berjalan ke arah
Sijunjung. Tinggal Indai bersama suami dan tiga
anaknya di sana, yang kehilangan semangat karena
selama ini sangat dekat dengan dua saudaranya.
Sudah satu tahun berlalu, belum ada kabar.
Kemudian bertepatan dengan tahun kedua, pada hari
yang dijanjikan, Indai duduk sendiri di pinggir lesung,
sembari menatap ke arah pemandangan yang luas di
bawah perbukitan. Rasa rindu kepada saudaranya
begitu dalam, sehingga Indai menangis sejadi-
jadinya karena tidak mendapat kabar apa pun tentang
saudaranya. Tanpa sadar, lobang lesung sudah penuh
Komunitas Literasi Ombilin | 5

dengan air mata Indai. Sebelum pulang ke rumah,


Indai kemudian membersihkan kembali losuang itu.
Besoknya, Indai meminta suaminya untuk datang
ke losuang itu, untuk melihat, barangkali saudaranya
datang menemuinya. Namun, sampai di sana suami
Indai hanya mendapati losuang penuh dengan air.
Lalu ia membersihkan air tersebut. Demikian juga
keesokan harinya, air terus ada dalam losuang itu,
padahal tidak hujan dan losuang selalu ditutup.
“Itu bukan air mataku. Losuang itu manangih.
Mereka turut sedih karena menunggu Uda Balu
dan Uda Samin yang tidak pulang-pulang, dan
losuangmungkin merasa sedih,” kata Indai kepada
suaminya.
Sudah puluhan tahun lamanya, tidak ada kabar
dari Balu dan Samin. Hingga Indai tua, dan meninggal
dunia, masih tidak ada kabar dari dua saudaranya itu.
Losuang itu masih terus menangis. Walaupun dalam
kondisi kemarau, tetap ada rembesan air di lubangnya.
Sampai saat ini, losuang yang berada di Puncak
Bukit Penjaringan, Dusun Guguak Bungo, Desa
Lumindai, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto,
masih berada di sana, dan tetap tidak pernah kering,
hingga dikenal dengan Losuang Manangih.
Masyarakat di sana sekarang masih menjadikan
tempat tersebut sebagai tempat pelaksanaan salah
satu tradisi budaya prosesi adat, yakni Bakaru Nagari,
sebagai sarana memanjatkan doa bersama kepada
Allah jelang memasuki hari besar agama Islam.
6 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Dalam prosesi Bakaru Nagari tersebut, yang


juga dijadikan sebagai momen untuk musyawarah
masyarakat adat setempat, dilaksanakan tepat di
Losuang Manangih, yang terus berair tanpa pernah
benar-benar kering lagi. (*)

Biodata:
Alee Kitonanma sebagai nama pena. Memiliki
nama asli Alexander. Lahir pada 8 November 1985
di Payakumbuh, Kotobaru Simalanggang. Pernah
bergiat di Teater Imambonjol, dan pernah bergabung
di Harian Padang Ekspres. Saat ini berdomisili di
Pekanbaru, dan nguli di Harian Tribun Pekanbaru dari
tahun 2011 sampai sekarang.
Batang Lunto
Kuali Timbago
Maya Sandita
(Terbaik 2 Kategori Umum)

J ika ditanya nama, bernamalah ia Malin Tombang. Laki-


laki yang tungkai kakinya panjang dan kulitnya gelap
dimakan terik siang. Malin Tombang hidup sendirian
di sebuah dangau Batang Lunto. Ia menunggui rumah
almarhum kakak ibunya, Mak Tuo. Malin Tombang
dibesarkan Mak Tuo sampai perempuan itu tutup usia.
Ibu Malin Tombang sendiri sudah lama meninggal
sebab gila. Perempuan itu melompat ke Batang Lunto
karena tak kuat mendengar berita bahwa ayah mereka
yang dirantai itu sudah tiada. Hingga Malin Tombang
menginjak usia tua, sang kakek tetap tak ada kabarnya.
Kini Malin Tombang sudah hidup setengah abad.
Seperti namanya, lelaki itu diberkahi banyak hal yang
bisa ditambang dari kepalanya. Ia lebih kuat mengingat
dibanding kerja keras menambang batubara atau
8 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

emas. Maka ceritanya selalu ditunggu-tunggu para


remaja surau usai salat Isya hingga tengah malam
tiba—dan mereka tidur di sana.
“Malam ini Malin akan cerita tentang orang rantai
lagi?” Seorang anak laki-laki bertanya pada Malin
Tombang.
Malin menggeleng. “Tidak. Malam kemarin dan
kemarinnya lagi sudah tentang orang rantai. Malin
hendak ceritakan yang lain kali ini.”
Mendengar hal itu, anak-anak dan remaja laki-
laki yang ada di sana duduk lebih rapat.
“Kalian tahu kalau di Lunto ini pernah ada
seorang rajo?”¹
Semua menggeleng, termasuk anak laki-laki yang
bertanya tadi. Ia menggeleng lebih cepat dari yang
lain.
Terus saja Malin Tombang membuka cerita bahwa
raja yang ia maksudkan adalah seorang penting yang
datang dari Pagaruyung. Ia menceritakan persis
seperti apa yang dulu Mak Tuo ceritakan padanya.
Raja itu bernama Sitimbago Raya, salah satu orang
penting di kerajaan Pagaruyung sana. Ia menarik diri
dari Pagaruyung sebab sebuah pemahaman yang tidak
lagi sejalan. Sitimbago Raya kemudian memutuskan
untuk berjalan jauh bersama pengikutnya hingga
sampai di sebuah wilayah tak berpenghuni. “Mereka
bermukim di gunung dan sungai yang airnya jernih
sekali.” Malin Tombang menunjuk ke arah rumahnya.
Berselang waktu, berganti hari, pekan ke pekan,
dan musim panen datang berulang kali, datang sebuah
Komunitas Literasi Ombilin | 9

berita. Raja Silungkang akan datang menyerang.


Tentu raja dan rakyatnya kaget bukan kepalang. “Apa
gerangan yang terjadi hingga Raja Silungkang jadi
marah sekali?” tanya Raja Sitimbago pada dirinya
sendiri. Seluruh rakyat pun bingung tidak mengerti.
Rakyat kerajaan Sitimbago sangatlah sejahtera.
Mereka hidup berkecukupan dan damai adanya.
Kerajaan Sitimbago juga sering berderma ke
Kubang dan Silungkang, bahkan kerap berlayar ke
Padangsibusuk demi hasil sawah-ladang yang sengaja
mereka antar.
Rupanya rasa iri lahir. Entah dari siapa, asung
fitnah sudah mengakar ke tanah, tumbuh menjalar
ke rumah-rumah dan atap kerajaan yang megah. Raja
Sitimbago seorang pemimpin yang zalim–katanya. Ia
memaksa rakyatnya bekerja keras agar hasil panen
melimpah dan bisa sombong ke kerajaan sebelah
dengan muslihat sedekah.
“Memaksa mereka seperti yang dilakukan Belanda
terhadap orang rantai?” tanya anak laki-laki yang tadi.
Malin Tombang mengangguk.
Mendengar berita yang demikian, mendidih
darah Raja Silungkang. Dilayangkannya pula kabar
itu ke Raja Padangsibusuk dan Kubang. Dalam waktu
singkat terjadilah perang!
Melawan tiga kerajaan sekaligus bukanlah hal
yang mudah bagi Raja Sitimbago dan rakyatnya.
Mereka tak pernah mengira akan diserang dan harus
berperang. Raja Sitimbago berpikir dengan membagi
hasil panen ke lain kerajaan, bisa membuat ikatan
persaudaraan.
10 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Akan tetapi, pemikiran semacam itu mesti segera


dikubur cepat-sepat sebelum pedang, panah, dan
tombak lawan melesat. Segala yang tajam itu tak mau
mendengar kata-kata. Mereka hanya tahu membantai
saja. Namun, Raja Sitimbago dan rakyatnya tidak
diam untuk bertahan, mereka melawan!
Sampai akhirnya kalahlah kerajaan Sitimbago.
Terkapar dan terlempar rakyatnya, bahkan hanyut di
Batang Lunto. Sebagian ditumpuk di tengah-tengah
medan perang. Raja Sitimbago terus berjuang meski
akhirnya gugur jua ia. Beberapa rakyat yang berhasil
selamat berurai air mata menyaksikan saudara dan
raja tercinta sudah tak bernyawa.
Mereka mendengar Raja Silungkang bicara dengan
kerasnya, “Raja Kubang, bagianmu tanah, sawah, dan
ladang. Raja Padangsibusuk, angkut olehmu ternak
yang banyak. Uang, emas, dan segala barang berharga
yang tertinggal adalah kepunyaanku!” Ia tertawa keras.
Mereka lalu pergi meninggalkan wilayah kerajaan
Sitimbago yang sudah tak berbentuk lagi. Sebagian
turun dari gunung dengan kuda, sebagian berlayar di
sungai dengan perahunya.
Di atas dataran yang tinggi itu melekat kenangan–
seorang raja yang baik lagi pemberani telah dibunuh
di sini. Maka bernamalah ia Gunung Timbago, serupa
nama Raja Sitimbago.
Sementara Lunto yang kembali terlunta, hanya
tersisa batang air dan beberapa petak sawah saja.
Dengan itu, mereka yang selamat bertahan hidup dari
muda ke tua, dari masa ke masa, dari dunia hingga
Komunitas Literasi Ombilin | 11

alam baka. Dipupuk dengan rasa ikhlas dan maaf yang


tak berbatas.
“Di sana mereka memasak harapan, agar di tanah
cekung ini ada rasa persaudaraan, ada rasa kasih
dan kebersamaan yang terus dialirkan. Begitulah
Sawahlunto kemudian pelan-pelan membaik dan
tumbuh dari Lunto, Kubang, Taratak Boncah, dan
Silungkang.” Malin Tombang menutup ceritanya.
“Malin katakan cekung? Apa itu seperti kuali?”
sebuah pertanyaan masih terlontar dari anak yang
tadi. Untuk hal bertanya, ia suka sekali.
Malin Tombang lagi-lagi mengangguk.
“Malin membuatku ingat pada pongek lapuak
ayam kampuang buatan amak-ku!² Magrib tadi masih
tersisa di kuali.” Lalu terdengar genderang lapar dari
perutnya yang besar. Semua tertawa.
Sebelum mereka beranjak tidur, Malin Tombang
berkata, “Besok setelah salat subuh, kita pergi
ke rumah Malin di Batang Lunto. Kita memasak
pongek bersama-sama dalam kuali timbago³sebagai
belanganya.” (*)

Batam, 29 Juli 2020

Catatan:
¹ Rajo: raja.
² Pongek Lapuak: ayam panggang, kulinerkhas Nagari
Lunto.
³ Kuali Timbago: kuali tembaga.
12 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Maya Sandita, sutradara, aktor, dan penulis.
Alumnus prodi seni teater ISI Padangpanjang (2019).
Berdomisili di Batam. Tergabung dalam FPL, KOPI
TANDA, PCRBM, Bagindo Rajo, dan Teater Ode
Batam. Beberapa cerpennya pernah diterbitkan
dalam antologi juga media cetak lokal dan nasional.
Peraih juara 1 dalam Lomba Menulis Cerita Rakyat
Berbahasa Minangkabau tingkat provinsi yang
diadakan oleh Disbud Sumatera Barat, dengan judul
cerita Batu Godang Putaran Toluak (2018). Maya bisa
dihubungi via Instagram @sanditaisme , Facebook
Maya Sandita, E-mail sanditacorp@gmail.com dan
ponsel/WA 0812-6861-9199.
Tukang Tenun dan
Orang Bunian
Yusrizal Karana
(Terbaik 3 Kategori Umum)

D ahulu kala, ada sepasang kakek dan nenek tukang


tenun kain songket yang sangat terkenal di Nagari
Silungkang. Ia tinggal di sebuah gubuk yang sudah
reot. Meski hidupnya sangat sederhana, mereka
sangat bahagia. Selain baik hati, mereka juga rajin
bersedekah.
Seluruh warga nagari sangat mengagumi hasil
karya nenek karena kain songket yang dibuatnya sangat
indah. Berbagai motif dan corak pernah ia buat, mulai
dari kaluak paku, pucuak rabuang, itiak pulang patang,
buruang merak, rangkiang, buruang dalam rimbo, dan lain
sebagainya. Ciri khas songket yang dibuat nenek ada
pada detail motif benang emas, perak, dan perunggu
yang tidak menutupi seluruh permukaan kain.
Jika malam tiba, nenek pun membentang
benang. Itu pertanda nenek mulai menenun kain
14 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

untuk membuat songket yang istimewa dan indah.


Biasanya, nenek menenun kain hingga larut malam
dan berhenti menjelang fajar tiba. Sementara kakek
membantu menjualnya ke pasar. Uang hasil penjualan
songket mereka bagi tiga. Sepertiga ia gunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-sehari, sepertiga untuk
membantu fakir miskin dan anak yatim, dan sepertiga
lainnya ia simpan untuk naik haji.
Mendengar rencana kakek dan nenek ingin naik
haji, banyak orang menertawakannya, bahkan menjadi
bahan olok-olok orang kampung karena naik haji
membutuhkan biaya yang sangat banyak, sedangkan
sepasang kakek nenek ini adalah keluarga miskin
yang tidak mampu.
“Eee.... Haji karak kalun. Haji alah ka Makah alun.”
Begitulah warga kampung mengolok-olok kakek dan
nenek tersebut.
“Mana mungkin bisa naik haji? Sudah bau tanah,
mau menabung pula. Kapan bisa naik haji?” cimeeh
warga kampung.
Meski mendapat ejekan dari banyak orang,
kakek dan nenek ini tetap bergeming. Mereka tekun
menjalani profesi sebagai tukang tenun kain songket
dan mengumpulkan uang sebilih dua bilih untuk satu
tujuan, yakni naik haji!
Pada suatu masa, tibalah musim paceklik. Banyak
masyarakat yang tidak memiliki uang, sementara se­
mua harga barang makanan mahal. Jangankan hendak
membeli kain songket, untuk membeli makanan
Komunitas Literasi Ombilin | 15

saja susah. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang


terancam kelaparan, termasuk kakek dan nenek ini.
Sudah sebulan lebih kain songket nenek tidak
satu pun yang laku terjual, sementara bahan makanan
tidak ada lagi. Dengan berurai air mata, uang simpanan
haji terpaksa digunakan untuk membeli beras, lauk-
pauk, dan kebutuhan lainnya. Akhirnya, uang mereka
pun habis. Rencana untuk naik haji ke Baitullah pun
kandas.
Suatu hari, beberapa orang mendatangi gubuk reot
kakek dan nenek. Tujuannya hendak memesan kain
songket. Mereka datang bersama pasukan berkuda
lengkap dengan pakaian seperti pengawal istana.
“Raja memerintahkan kami untuk memesan kain
songket istimewa sebanyak seribu helai dan harus
selesai saat bulan purnama tiba,” tutur hulubalang
dari kerajaan Pulau Punjung, Dharmasraya itu.
Betapa terkejutnya kakek dan nenek ini. Bukan
saja karena yang datang adalah hulubalang raja,
tetapi juga karena pesanan songket yang jumlahnya
luar biasa. Jangankan membuat seribu helai, untuk
membuat satu helai saja, nenek membutuhkan waktu
satu bulan. Apalagi songket istimewa, dibutuhkan
waktu hingga tiga bulan. Seumur hidup mereka tidak
pernah menerima pesanan sebanyak ini.
Namun, apa mau dikata, perintah raja tidak
boleh dibantah. Belum selesai keterkejutan kakek dan
nenek, para hulubalang pun kembali ke istana dan
melaporkan kepada raja.
16 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Lama sepasang kakek dan nenek ini merenung,


sambil menatap bulan yang sudah berbentuk sabit
dari jendela kamar mereka. Itu artinya, bulan purnama
hanya tinggal beberapa hari lagi.
“Bagaimana mungkin membuat kain songket
seribu helai hanya dalam waktu beberapa hari?” Nenek
tak habis pikir. Mereka bukannya gembira mendapat
pesanan songket seribu helai, justru sebaliknya.
Kesedihan kakek dan nenek ini pun akhirnya terbawa
sampai mereka tertidur lelap di peraduan.
Keesokan harinya, seperti biasa, kakek bersiap-
siap pergi ke pasar untuk membeli benang dan
perlengkapan tenun untuk membuat songket. Akan
tetapi, betapa terperanjatnya si kakek ketika dilihatnya
setumpuk kain songket dengan motif benang emas
berada di atas meja. Ia pun berteriak-teriak memanggil
nenek untuk menyaksikan peristiwa ini.
Nenek mengamati motif songket yang ada di meja
itu. Ternyata sama persis dengan hasil pekerjaannya
selama ini, bahkan benang emas dengan motif kaluak
paku yang dipakai dalam tenun kain songket itu sangat
halus dan berkilau jika terkena cahaya.
Kakek dan nenek mulai kebingungan. Dari
mana asal kain songket ini? Mereka bahkan tidak
berani menghitung kain tersebut karena khawatir ini
merupakan jebakan atau disangka telah mencuri.
Kakek pun segera mengamati lingkungan sekitar
rumahnya, tetapi tidak ada jejak yang mencurigakan.
Kakek memperhitungkan, tidak mungkin kain songket
sebanyak ini dibawa oleh satu orang.
Komunitas Literasi Ombilin | 17

Karena lelah berpikir, kakek dan nenek kembali


tertidur di kamarnya. Namun, pada hari kedua terjadi
peristiwa serupa. Mereka menemukan setumpuk kain
songket lagi yang sangat indah di dekat tumpukan
pertama. Kali ini motifnya pucuak rabuang. Sangat unik
dan terkesan mewah dengan benang emasnya.
Karena penasaran, kakek dan nenek pun
memasang strategi. Mereka ingin mengetahui siapa
sebenarnya yang mengantarkan kain songket sebanyak
ini ke rumah. Tepat tengah malam, kakek dan nenek
bangun dari tidurnya dan mengintip apa yang terjadi
di ruang tengah rumah mereka.
“Astagfirullahalazim!” pekik nenek tertahan.
Ternyata nenek menyaksikan puluhan orang bunian
sedang bekerja menenun kain dengan sangat cepat
dan cekatan. Mereka membawa peralatan dan
bahan sendiri. Orang bunian yang tingginya hanya
sepinggang kakek itu ternyata cantik jelita. Mereka
asyik saja menenun benang hingga menjadi kain
songket dan setelah itu mereka menghilang ketika
kokok ayam terdengar.
Kakek dan nenek pun sadar bahwa ternyata orang
bunian ini membuat kain songket untuk mereka.
Setelah dihitung, jumlahnya pas seribu helai. Kakek
dan nenek pun sungguh bersukacita melihat kain
songket pesanan raja telah selesai hanya dalam waktu
tiga hari saja.
Hulubalang raja pun datang. Mereka membawa
kain songket sesuai pesanan raja sekaligus menjemput
kakek dan nenek untuk dibawa serta ke istana raja.
18 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Kakek dan nenek sangat bahagia karena raja


berkenan mengirim mereka untuk menunaikan ibadah
haji. Pulang dari haji, kakek dan nenek diangkat
sebagai orang tua oleh raja yang baik hati. Mereka
akhirnya tinggal di istana hingga tutup usia.
Begitulah akhirnya, kain songket Silungkang
menjadi pakaian kebesaran permaisuri dan pembesar
istana kerajaan Pulau Punjung. Konon, kain Songket
Silungkang yang seribu helai itu dipakai dalam pesta
perpindahan kerajaan Pagaruyung ke Batusangkar.
Kini, kain Songket Silungkang sangat terkenal hingga
mancanegara.

Bandar Lampung, Juli 2020

Biodata:
Dilahirkan di Tanjungkarang, pada 16 Januari 1968
sebagai Yusrizal. Namun, dalam perjalanan karirnya
menjadi reporter televisi nasional di Globaltv,
redaktur berita menambahkan nama di belakangnya
menjadi Yusrizal Karana karena lazimnya nama
reporter di dunia broadcast terdiri dari dua kata atau
lebih. Nama belakang itu adalah nama orang tuanya
yang telah meninggal sejak ia masih kecil. Nama itu
kemudian resmi menjadi nama pena penulis.
Wisudawan terbaik (summa cumlaude) Program
Pascasarjana Universitas Lampung 2012 ini,
memulai karirnya sebagai wartawan Lampung Post. Ia
pernah menjadi Pengawas Pemilu Bandar Lampung
pada 2014 dan Tenaga Ahli Komisi I DPR RI, periode
Komunitas Literasi Ombilin | 19

2014 – 2019. Ia telah mengunjungi seluruh wilayah


Zamrud Khatulistiwa dan melanglangbuana hingga
ke-12 negara mendampingi Anggota Komisi I DPR
RI dalam kunjungan kerja ke luar negeri. Ia produktif
menulis artikel di media massa dan sangat concern
dengan politik lokal.
Kini mantan Sekretaris Umum Senat Mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Lampung ini, sedang menyusun
sejumlah buku untuk menghadapi Pemilu 2024.
Danau Tanah Hitam
Windia Naurah Auda
(Terbaik 1 Kategori Pelajar)

D ahulu kala, di daerah Sawahlunto, Desa Talawi


Hilie, Kecamatan Talawi Mudiak, Sumatera Barat,
hiduplah seorang gadis cantik yang sangat angkuh
bersama ibunya yang sudah tua renta. Nama gadis
itu adalah Upiak Payuang. Kebiasaannya membawa
payung ke mana-mana membuat penduduk sekitar
memanggilnya demikian.
Ia memiliki paras yang sangat cantik, rambut
hitam panjang yang tergerai sepunggung, dan hidung
mancung serta pipi yang merah merona.
Kecantikan Upiak Payuang yang sudah tersohor
ke berbagai desa di daerah Sawahlunto bertolak
belakang dengan perilakunya. Ia memiliki sifat yang
sangat angkuh, tak jarang dia mengeluarkan kata-kata
yang membuat orang lain sakit hati.
Suatu pagi yang cerah, ibu Upiak Payuang yang
sudah beranjak dari tempat tidurnya membangunkan
Upiak Payuang.
Komunitas Literasi Ombilin | 21

“Piak, jagolah....”¹ ucapnya kepada Upiak Payuang


sambil menggoyangkan sedikit tubuh Upiak Payuang.
Seperti biasanya, Upiak Payuang hanya bergumam
sebentar, tidak menghiraukan panggilan sang ibu.
Ia lalu menutup tubuhnya dengan selimut berbulu
angsa dan kembali tidur. Seperti itulah perilaku buruk
Upiak Payuang setiap harinya di rumah.
Suatu hari Upiak Payuang berdandan di depan
kaca setelah bangun dan mandi pagi. Ketika ia sedang
sibuk dengan dandanannya, ibunya memanggil.
“Upiak! Jerangkan aia, amak panek bana habis
mencari kayu.”²
“Hah! Indak do mak, Upiak lah segeh ko ha, beko
kumuah baju Upiak, ado-ado seh Amak ko nyo. Karajoan
selah surang!”³ teriak Upiak dari dalam kamar.
Tidak lama kemudian ia mengambil payung
merahnya di pojok kamar dan bergegas keluar rumah
meninggalkan ibunya yang hanya bisa menunduk
kecewa dan sedih atas perlakuan putri semata
wayangnya itu.
“Upiak, pai kamaa Upiak?”⁴ tegur para gadis yang
sedang mencuci baju di sungai Batang Ombilin.
“Baa tu, manga batanyoan? Ndak kan pindah gai rancak
Upiak ka situ do, elok-elok selah mancuci, tunggu saatnyo
pangeran kera datang manjapuik kalian! Hahaha!”⁵
sahut Upiak Payuang sembari tertawa meledek ke­
pada gadis-gadis yang sedang mencuci tersebut.
Ia terus mengayunkan langkahnya yang gemulai
me­nelusuri tepian sungai Batang Ombilin nan
indah,ditemani payungnya. Ia memandang hamparan
22 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

sungai yang memesona itu dan sesekali membetulkan


letak selendangnya.
Dari sungai Batang Ombilin, Upiak Payuang pun
meneruskan langkahnya ke tempat pencucian batu bara.
Sesampainya di sana, ia melihat orang rantai sedang sibuk
bekerja. Orang rantai adalah sekelompok narapidana yang
dijadikan pekerja paksa oleh pemerintah Belanda untuk
mengolah batu bara. Selama bekerja kaki mereka dirantai.
Oleh karena itu, penduduk setempat menyebutnya sebagai
orang rantai.
Sudah setengah jam Upiak Payuang menghabiskan
waktu memandangi orang-orang yang sedang bekerja di
sana. Mbah Suro yang seorang mandor itu telah beberapa
kali mengedipkan mata kepada Upiak Payuang. Beberapa
pekerja lain juga mencoba mencari perhatian Upiak
Payuang. Namun, Upiak Payuang tidak menghiraukan
orang-orang yang menggodanya. Ia hanya menunggu Mak
Itam lewat. Mak Itam adalah kereta api berwarna hitam
yang mengangkut batu bara dari Kota Sawahlunto ke Kota
Padang. Menonton pekerjaan urang rantai, melihat si Mak
Itam yang panjang, dan digoda oleh sang mandor yang
terkenal dengan kekejamannya kepada pekerja di sana,
membuatnya merasa sangat puas.

***

Di suatu sore yang indah, Upiak Payuang


mendengar sirene dari silo. Silo adalah bangunan
yang digunakan untuk menyimpan batu bara yang
sudah dicuci. Sirene itu pertanda para narapidana
memulai pekerjaan mereka. Sebelum sirene berhenti
Komunitas Literasi Ombilin | 23

berbunyi, Upiak Payuang tersentak karena ada


seorang pria yang memanggilnya. Pria tersebut sangat
tampan, tampaknya ia adalah seorang pangeran. Upiak
Payuang yang parasnya cantik jelita itu membuat
sang pangeran terpesona hingga jatuh cinta padanya
dan berniat menikahinya. Upiak Payuang menyusun
banyak kebohongan untuk membuat pangeran percaya
bahwa ia adalah putri kerajaan. Ia berkata bahwa
ibunya itu adalah pengasuh yang sudah bersamanya
sejak ayah dan ibunya tiada. Pangeran pun dibuat
percaya dan semakin mencintai sang ‘putri’ yang
sebenarnya hanya berbohong.
Selanjutnya, Upiak Payuang bercerita kepada
sang ibu tentang kisah cintanya dan pangeran yang
dipenuhi oleh kebohongan. Ibunya lantas menangis,
tak percaya anaknya sendiri tidak mengakuinya
sebagai seorang ibu yang telah melahirkannya.
“Indak ado saketek pun raso sayang kau samo amak
do yo, Nak? Dengan bangganya kau bacarito bahwa ambo
adalah tukang asuah kau, luko hati amak,Nak. Bukak
talingo kau gadang-gadang Upiak Payuang, Fitriani,
anak kanduang amak, layia dari rahim amak, bukan anak
bangsawan Balando!” Ibunya menangis tersedu-sedu.
“Kalau Upiak katokan nan sabananyo Mak, indak
nio inyo samo Upiak do, lai jaleh dek Amak! Kini agiah
Upiak piti jo ameh nan banyak, Upiak ingin tunjuakkan ka
pangeran tu bahwasanyo Upiak anak rajo!” teriak Upiak
Payuang kepada ibunya.
Sambil menangis ibunya berkali-kali mengatakan
tidak punya uang. Kemudian Upiak Payuang punya
ide.
24 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

“Giko ajo Mak, jualah tanah Amak yang laweh tu,”


saran Upiak.
“Istigfar, Nak.... Jo aa kito ka iduik kalau tanah cie-
cieknyo nan kito punyo itu kito jua?”
“Amak tasarah Amak, Upiak pai jo pangeran,”¹
tandas Upiak Payuang dengan lantang.
Akhirnya, ibunya pun merelakan kebun tersebut.
Keesokan paginya, Upiak Payuang terpaksa
merebus jagung di belakang rumahnya karena
ibunya jatuh sakit. Namun, karena baru pertama
kali melakukannya dia merasa canggung. Mula-
mula ia mengambil tumpukan kayu bakar, kemudian
menyalakan api. Ketika Upiak Payuang ingin
mengambil panci yang tersangkut di dinding, tiba-tiba
kakinya tergelincir, membuat ia terduduk di depan
pembakaran bara. Untungnya ia terhindar dari api.
Ia pun merasa bersyukur karena tak menyentuh
api. Ia memijat pelan kakinya dan kembali bangkit
membawa jagung-jagung tersebut ke tungku untuk
direbus. Ketika sudah berada di dekat perapian, jagung
yang ia bawa terjatuh. Tak sengaja ia menginjak jagung
tersebut yang membuatnya langsung tersungkur ke
dalam perapian sehingga wajahnya terpanggang api.
Ia berlari keluar sambil menjerit minta tolong. Semua
mata yang melihatnya hanya terdiam, tidak ada
seorang pun yang mau menolongnya. Mungkin karena
ia tak pernah ramah kepada orang di sekitarnya.
Ia terus berlari hingga sampailah ia ke sebuah
danau. Akan tetapi, ia tergelincir lalu jatuh ke dalam
danau. Orang yang melihat tidak bisa berbuat apa-apa.
Komunitas Literasi Ombilin | 25

Sejak saat itu Upiak Payuang tak pernah lagi terlihat.


Kabarnya ia sudah tenggelam bersama kejahatan dan
keangkuhan yang ada dalam dirinya. Beberapa lama
setelahnya, danau itu semakin lama semakin tinggi
membentuk sebuah cekungan air tawar yang dipenuhi
oleh rerumputan di tepiannya.
Kini danau itu menjadi sebuah ikon di Kota
Sawahlunto bersama dengan dua danau lainnya.
Danau ini dikenal dengan nama Danau Tanah Hitam.

Catatan:
1
Piak, bangunlah.
2
Upiak, rebus air ibu lelah sekali habis mencari kayu.
3
Hah, tidak mau, Bu.Upiak sudah cantik sekarang nanti
kotor baju Upiak. Ada-ada saja Ibu ini. Kerjakan sajalah
sendiri.
4
Upiak mau pergi kemana.
5
Mengapabertanya-tanya? Tidak akan pindah kecantikan
Upiak ke kamu, fokus saja mencuci....Tunggu saatnya
pangeran kera datang melamar kalian semua.
6
Apakah tidak ada rasa sayangmu kepadaku, Nak. Dengan
bangganya kau bercerita bahwa aku adalah tukang asuh
kau, luka hatiku, Nak. Buka telingamu lebar-lebarUpiak
Payuang, Fitriani, anak kandung amak, lahir dari rahim
amak, bukan anak bangsawan Belanda.
7
Kalau aku bilang yang sebenarnya, pangeran tidak akan
mau bersamaku, Ibu, mengerti! Sekarang kasih aku uang
dan emas yang banyak, aku ingin menunjukkan bahwa
aku memang seorang anak raja.
8
Begini saja, Bu, juallah tanah Ibu yang luas itu untukku.
9
Istigfar, Nak.... Dengan apa kita hidup jika tanah satu
satunya itu kita jual.
10
Ibu hidup terserah dimana, dan aku akan pergi bersama
pangeran.
26 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Windia Naurah Auda, lahir 14 tahun lalu di Batam
pada 29 Juni 2006. Ia kini adalah siswi di SMP IT
An-Nahl Qita Boarding School, Payakumbuh, Sumatra
Barat. Tahun lalu sempat menjabat sebagai Wakil
Ketua Osis generasi pertama di sekolahnya. Orang
sekitar yang ia kenal banyak yang mengenalnya
dengan panggilan Rara. Si aneh yang periang ini
memiliki hobi membaca puisi, menulis cerpen,
membaca novel berbagai genre, dan menonton film.
Sejak kecil dunianya sudah digeluti dengan kegiatan-
kegiatan di sanggar budaya mulai dari menari, fashion
show, dance, dan lainnya. Kini baginya menulis adalah
salah satu hobi baru yang sangat menghiburnya.
Jejaknya bisa dilacak melalui akun Instagram
pribadinya @rarasngkr.
Kisah Orang Rantai
Noor Alifah
(Terbaik 2 Kategori Pelajar)

P ada zaman dahulu, penjajahan Belanda di Kota


Sawahlunto, Sumatra Barat, menyimpan banyak
sejarah dan misteri. Sejarahnya tidak akan lepas dari
cerita kelam orang rantai.
Di Sawahlunto terdapat Lembah Sungai Lunto
yang subur dan kemudian dialihfungsikan menjadi
daerah tambang mutiara hitam atau batu bara
pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda. Ahli
geologi yang ditugaskan, Willem Hendrik De Greve,
menyelidiki keberadaan batu bara di Sawahlunto.
Aktivitas pertambangan di Sawahlunto berdiri
sejak tahun 1892. Untuk mendukung aktivitas
pertambangan tersebut, pemerintah Hindia Belanda
menggunakan tenaga para narapidana yang diambil
dari warga pribumi dan dari tahanan penjara-penjara
di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumatra.
Di Sawahlunto inilah para narapidana itu
28 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

dikerahkan tenaganya habis-habisan untuk membuat


terowongan tambang berbekal alat seadanya.
Pekerja paksa itu disebut “orang rantai” karena
dalam kegiatan penambangan kaki dan tangan mereka
tetap di rantai dengan rantai yang dikaitkan antara kaki
satu dan kaki lainya. Setelah selesai bekerja, mereka
akan kembali ke tahanan yang berada di ruang bawah
tanah yang sudah disediakan pemerintah Belanda.
Di dinding tahanan, baik di dalam maupun di luar
ruangan dipasangkan pecahan kaca agar mereka tidak
bisa bersandar.
Siksaan berupa pencambukan sering kali diterima
dari mandor keji. Makanan yang diberikan kepada
mereka sangat terbatas.
Makanan itu dimasak di dapur umum yang
sekarang sudah dijadikan Museum Goedang Ransum
yang mengoleksi barang dan alat yang digunakan
untuk memasak saat itu.
Para pekerja yang telah sakit dan sekarat
ditempatkan di salah satu ruang di dalam terowongan
bernama “Rongga Pengorbanan”. Oleh karena
itu, banyak orang rantai meninggal dunia selama
berlangsungnya kerja paksa.
Pada tahun 2007, saat dibukanya bekas tambang
itu, banyak ditemukan tulang belulang manusia. Para
pekerja paksa itu tidak lagi menggunakan nama asli
mereka, melainkan berupa angka seperti 2432 atau
821 yang tertulis di tangan para napi. Oleh karena
itulah, banyak keluarga korban yang mencari makam
leluhur mereka di tanah Sawahlunto tidak bisa
Komunitas Literasi Ombilin | 29

menemukannya karena di tempat pemakaman hanya


tertulis angka. Para narapidana yang meninggal dunia
dimakamkan di beberapa tempat salah satunya di
kawasan Air Dingin.
Berkat jasa orang rantai inilah pemerintah Kolonial
Hindia Belanda bisa mengeruk mutiara hitam di perut
bumi Sawahlunto.
Saat ini menurut beberapa orang, banyak terjadi
hal-hal mistis di tempat bekas penambangan itu. Ada
pengunjung yang menangis sejadi-jadinya karena ia
mengaku dapat melihat suasana saat berlangsungnya
kerja paksa. Ada pula salah seorang petugas yang
menemukan sepotong tulang kaki manusia. Petugas
itu menyimpannya, lalu ia bermimpi didatangi
seseorang yang mempunyai tulang kaki tersebut,
meminta tolong padanya agar potongan tulang kaki
itu dimakamkan dengan benar sesuai dengan syariat
Islam.
Sekarang Kota Sawahlunto menjadi kota situs
budaya yang telah diakui oleh UNESCO. Banyak
sekali situs sejarah yang ada, yang sekarang dijadikan
tempat wisata, seperti terowongan tambang Loebang
Mbah Suro dan Goedang Ransum. GPK yang dulunya
dijadikan tempat pemerintah Belanda untuk berlibur
sekarang menjadi Gedung Pusat Kebudayaan di
Sawahlunto.
Sawahlunto kota wisata tambang yang berbudaya,
yang harus dilestarikan sampai kapan pun.
30 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Noor Alifah, lahir pada 3 November 2006 di Talawi,
Kota Sawahlunto, tercatat sebagai Pelajar SMP
Negeri 3 Sawahlunto, bercita-cita ingin menjadi
seorang penulis. Noor Alifah sudah menerbitkan dua
buku karangan, Buku Antologi Puisi dan Antologi
pantun, jejak bisa ditemukan di akun instagram @
nooralifah_16, Never give up on your dreams for they are
always waiting for you forever.
Bujang Timbago
Budi Saputra

A lkisah , pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang


terdapat di kota Sawahlunto, tersebutlah kisah tentang
seorang anak muda yang bernama Bujang Timbago. Ia
tinggal di sebuah rumah beratap rumbia bersama ibu
dan adik perempuannya. Semenjak usia lima tahun,
Bujang Timbago telah menjadi anak yatim. Sang ayah
meninggal dunia karena suatu penyakit yang diderita.
Meskipun tanpa sang ayah, Bujang Timbago tumbuh
sebagai anak lelaki yang cerdas dan pemberani.
Keseharian Bujang Timbago adalah menolong
sang ibu di ladang. Lain dari pada itu, ia juga mencari
kayu bakar di hutan dan beternak kambing. Tak
jauh dari rumahnya, terdapatlah sebuah lesung yang
dikemudian dikenal sebagai Losuang Manangih di Desa
Lumindai.
Losuang Manangih dikenal sebagai lesung yang
ajaib. Sebab dari lesung itu, konon akan selalu
mengeluarkan air walaupun telah dikeringkan.
Bujang Timbago sering membawa kambing
32 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

gembalaannya untuk merumput di sekitar Losuang


Manangih. Tak jarang pula, ia akan mengambil air
dalam lesung itu untuk diminumkan ke kambing
gembalaannya itu. Hasilnya pun menakjubkan.
Kambing-kambing itu pun tumbuh subur dan banyak
melahirkan anak tiap tahunnya.
Pada suatu pagi, Bujang Timbago tampak sibuk
bertanam di ladang. Tentu saja sebelum bertanam itu,
Bujang Timbago telah terlebih dahulu bersedekah dan
berdoa, yang pada perkembangannya dikenal dengan
istilah bakaru itu. Tujuannya tak lain dan tak bukan
agar tanaman yang ditanam menjadi subur, penuh
berkah, dan jauh dari hama atau gagal panen.
Dalam berladang, Bujang Timbago memegang
teguh catatan sang ayah yang ditemukan di bawah
ranjang setelah meninggal dunia itu. Hutan yang
lebat dan dipenuhi hewan buas, ibarat tanah yang
dibiarkan. Tanah yang dibiarkan, ibarat anak manusia
yang tak diajari kebaikan.
Kata sang ibu, maksud dari tulisan sang ayah,
bahwa tanah yang digarap dengan baik, maka akan
mendapatkan kebaikan pula dari tanah yang digarap
itu.
Kali ini, Bujang Timbago tampak menanam bibit
pohon pepaya di tanah ladang yang sangat subur
itu. Di ladang itu, puluhan pohon pisang seperti tak
habisnya berbuah semenjak sebatang bibitnya ditanam
sang ayah. Hingga buahnya pun sering dibagi-bagikan
kepada penduduk di desa itu.
Komunitas Literasi Ombilin | 33

“Bibit pisang itu begitu memberikan keberkahan,


Anakku. Adalah seorang lelaki tua yang kelaparan
pernah singgah pada suatu malam yang dingin itu. Ia
memberikan bibit pisang setelah dijamu makan malam
oleh ayahmu.” Begitulah sang ibu menceritakan
tentang berkahnya bibit pisang itu.
Setelah letih bertanam, Bujang Timbago pun
tertidur di pondok bambu. Dalam tidurnya itu,
ternyata ia bermimpi bahwa seekor anak kambingnya
diterkam harimau dan dibawa memasuki hutan.
Melihat anak kambingnya dibawa harimau,
Bujang Timbago pun tak tinggal diam.
Ia berlari mengejar harimau itu dan berniat akan
membuat perhitungan dengan pemangsa kambingnya
itu.
Namun setelah jauh berlari, Hasilnya pun nihil.
Bujang Timbago kehilangan jejak.
Dan tanpa disadari, ia telah berada pada sebuah
kampung yang dipenuhi orang-orang yang kakinya
dirantai sedang melakukan kerja paksa.
Begitu terbangun dari tidurnya, Bujang Timbago
pun segera melihat kedaaan kambing-kambing
peliharaannya. Ia khawatir, apakah seekor anak
kambingnya benar-benar dimangsa harimau seperti
yang ia lihat dalam mimpi itu?
Namun setelah sampai di kandang kambing,
maka serta merta legalah perasaan Bujang Timbago.
Kambing-kambing peliharaannya masih lengkap dan
terlihat segar bugar memakan rumput. Hanyalah
cuaca yang tiba-tiba berubah kala itu. Sinar matahari
34 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

tampak meredup dan Bujang Timbago serasa berada


di negeri senja meskipun matahari tepat berada di
atas kepalanya.
Perasaan hati Bujang Timbago pun menjadi sedikit
resah. Meskipun kedaaan sedikit gelap, itu sama
sekali tak mengurungkan niatnya untuk berkunjung
ke rumah seorang nenek yang berada di pinggir hutan.
Bujang Timbago ingin secepat mungkin memberikan
makanan dan tanaman sitawa dan sidingin pada sang
nenek yang diketahui sedang jatuh sakit itu.
“Nenek Ipuh sekarang sedang jatuh sakit.
Cepatlah kau ke sana untuk mengantar makanan dan
obat penawar ini, Wahai anakku.” Begitulah sang ibu
memberi kabar padanya tentang sang nenek yang
sering diberi makan kala ayahnya masih hidup itu.
Meskipun sang ayah telah tiada, ia pun
melanjutkan kebiasaan mengirim makanan kepada
Nenek Ipuh. Sebagaimana kala terjadinya gerhana
matahari itu. Bujang Timbago melangkahkan kaki
dengan cepat menyusuri hutan sambil membawa
gundukan yang terbungkus kain itu.
Tapi entah kenapa. Ketika ia melintasi sebuah
kelokan, Bujang Timbago melihat awan semakin
gelap hingga ia kesulitan melihat jalan setapak yang
biasa ia lalui itu. Bujang Timbago pun serta merta
berkata dalam hati, apakah gerangan sebenarnya yang
terjadi? Tanpa menghiraukan keadaan yang gelap,
Bujang Timbago tetap melangkah dengan perlahan
menyusuri hutan yang dipenuhi binatang buas itu.
Dan tak lama kemudian, maka tepat di bawah
pohon besar yang sangat rindang, Bujang Timbago
Komunitas Literasi Ombilin | 35

begitu terkejut akan pemandangan aneh yang ia


saksikan.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat
seorang lelaki tua berpakaian serba putih memegang
sebuah tongkat yang di ujungnya terpasang lentera
dengan cahaya berbagai warna.
Melihat pemandangan itu, mulut Bujang Timbago
seakan terkunci dan sulit berkata apa-apa. Terlebih
pula ia melihat beberapa ekor sapi yang mulutnya
dalam keadaan terikat dan tak bisa memamah sama
sekali. Tidak sampai di situ. Di sekeliling pengembala
dan sapi-sapi itu, turunlah gerimis tipis yang serta
merta membuatnya jatuh pingsan dan tertidur di
permukaan tanah.
“Barangkali maksudnya agar kau lebih hati-
hati menggembala kambing, Wahai anakku. Jangan
sampai kambing gembalaanmu masuk ke kebun
dan memakan tanaman yang merupakan hak orang
lain.” Begitulah sang ibu memberi nasehat setelah
mendengar ceritanya itu.
Bujang Timbago pun tak habis pikir dan bertanya-
tanya dalam hati. Siapakah gerangan sebenarnya yang
telah ia saksikan di tengah hutan belantara itu?
Bahwa bertahun-tahun kemudian dalam musim
demi musim berganti. Di negeri yang awalnya sepi
penduduk, maka pada akhirnya, menjelma menjadi
negeri yang multi etnis dengan penduduk yang hidup
rukun, damai, dan saling menghargai perbedaan itu.
(*)
36 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Budi Saputra. Lahir di Padang, 20 April 1990.
Alumnus STKIP PGRI Sumatra Barat. Sejak tahun
2008, aktif menulis cerpen, puisi, esai, feature, dan
resensi di berbagai media massa seperti Haluan,
Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili,
Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan, Tabloid
Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal
Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung
Pinang Pos, Kompas. Diundang pada Ubud Writers
and Readers Festival 2012 di Bali, Pertemuan Penyair
Nusantara (PPN) 5 Palembang (2011), dan PPN 6 di
Jambi (2012). Buku puisi tunggalnya berjudul Dalam
Timbunan Matahari (2016). Puisinya pernah menjadi
pemenang dalam berbagai perlombaan.
Hantu Tambang
Ombilin
Agus Setiawan

T ubuhku teronggok di lorong gelap nan pengap.


Ragaku membusuk perlahan. Bermula dari
membengkaknya kulit sekujur tubuh, perut
menggembung, lalu meledak. Satu bola mataku copot
beberapa hari kemudian, dicungkil puluhan belatung.
Kini menggelinding ke sana-ke mari, menjadi
rebutan tikus-tikus yang rakus. Aku tak sendirian.
Keberadaanku dikelilingi sebagian orang-orang rantai
yang turut menjadi bangkai. Ada yang telentang, ada
pula yang duduk mendekap kedua kakinya. Aku ingat
semua nama benda, angka, dan peristiwa. Namun,
aku lupa siapa namaku sebenarnya.

***

Aku dan saudara-saudaraku dikirim ke kota ini


dengan kapal besar membelah lautan. Aku sebut
38 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

saudara karena mereka bernasib sial sepertiku. Harta


dirampas, kebebasan direnggut, dan tak jarang istri-
istri mereka juga digagahi. Ada yang terpaksa, ada
juga yang sukarela menjadi gundik para bedebah itu.
Saat memasuki kota ini, mataku terbelalak.
Pemandangan di sini bagai taman nirwana yang jatuh
dari angkasa. Tuhan memberikan anugerah keindahan
alam luar biasa pada kota ini. Barisan bukit hijau
ditancapkan mengelilingi kota. Air Sungai Ombilin
jernih sebening kristal. Batang-batang pohon tak perlu
ditanam, cukup dilempar dan dibiarkan saja. Esok
atau lusa pucuk daun muda lekas tumbuh menyapa.
Setelah turun dari kapal, aku dan orang-orang
rantai dipaksa mengangkut batu, menyusun bata, serta
membangun rumah-rumah besar beratap segitiga
bertingkat. Begitu bangunan selesai didirikan, mereka
yang bersenjata bedil itu segera mengambil pecut
untuk mencambuki kami satu per satu. Pekerjaan
belum selesai. Kotak-kotak kayu berisi beberapa ketel
raksasa harus segera dibongkar dan diletakkan di atas
tungku pembakaran.
Beberapa hari kemudian aku dan saudara-
saudaraku digiring menuju ke tempat lain, tak jauh
dari gedung-gedung yang baru saja kami bangun.
Tugas kami selanjutnya adalah melubangi perut bumi.
Membuat lorong-lorong dalam tanah seperti hewan
pengerat. Batu-batu sewarna arang kami pisahkan. Rel-
rel dibentangkan untuk mempercepat pengusungan
dari dalam ceruk. Konon, batu itu bernama batu api.
Aku mendengar percakapan dari penjaga, batu hitam
Komunitas Literasi Ombilin | 39

yang dikeruk dari lambung bumi ini akan dikirim


ke negeri jauh menyeberangi samudra. Batu-batu
tersebut akan dipakai untuk menghangatkan rumah
kala musim salju menyelimuti sebagian Eropa, juga
sebagai bahan bakar kapal, penggerak lokomotif, dan
tenaga bagi mesin-mesin pabrik.
Di dalam gua memanjang ini kami kehilangan
orientasi arah mata angin. Utara, selatan, barat, dan
timur berganti kiri dan kanan. Siang dan malam tak
pasti kami tahu. Lamanya waktu, kami tandai dengan
rambut yang memanjang, kumis dan jenggot yang
tumbuh subur seperti semak-semak.
Kami diperlakukan bagaikan binatang. Nyawa
kami seolah tak berharga sama sekali. Jatah makanan
tak pasti setiap harinya. Seringkali ransum itu berupa
nasi setengah bubur tanpa lauk. Rasanya juga tak
karuan. Barangkali sudah bercampur kencing kecoak
atau direbus dengan cacahan daging tikus.
Sejak menjadi pesakitan, pandangan mataku
tak lepas dari sosok kakek misterius yang datang
belakangan. Setiap kali menatap matanya, badanku
terasa menggigil. Sorot mata kakek berikat kepala
itu tajam, seolah tak ada apa pun di dunia ini yang
ditakutinya. Namanya Mbah S. Badannya kurus,
tetapi tenaganya seolah tak pernah kalah dengan
yang lebih muda. Otot-ototnya liat. Suaranya seperti
mengandung sihir bagi siapa saja yang mendengarnya.
Ia makan dengan porsi sedikit sekali. Jatah makannya
seringkali dibagi dengan orang-orang yang bekerja
di dekatnya. Pria tua itulah yang menyuntikkan
40 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

kembali semangat bertahan hidupku ketika hampir


padam. Kata-katanya seolah mengandung bara yang
membakar dada.
“Kita tak ‘kan menang kalau mengandalkan
otot sendiri. Kita harus bersatu melawan bajingan-
bajingan itu.” Suara magis Mbah S merobek gulita di
dalam ceruk bumi.
Rencana itu telah dibulatkan, lalu diedarkan
melalui bisik-bisik para tawanan. Aku mengumpulkan
kerikil di dalam kantong celanayang akankugunakan
untuk menandai hari datangnya jatah makanan. Tak
mungkin menghitung pergantian waktu secara pasti.
Keluar dan masuknya orang rantai diatur sesuka hati
oleh seorang mandor bersenjata api.
Hal terpenting yang harus dilakukan adalah
memutus rantai secepatnya. Masing-masing tahanan
sudah berbagi tugas. Ada yang melumpuhkan penjaga
di tiap pertigaan lorong, ada pula yang merampas
pistol mandor. Semua telah diperhitungkan dengan
matang.

***

Kerikil di kantongku genap berjumlah dua puluh.


Hari ini adalah hari yang dinanti. Pemberontakan
itu akan dimulai tepat ketika jatah makanan diantar.
Waktu terbaik adalah saat para penjaga sedang lengah.
Aku menunggu aba-aba. Debar jantung naik turun tak
menentu.
Suara aba-aba terdengar dari ujung lorong. Dengan
cekatan orang-orang bergerak menyerbu para begundal
itu. Pedang beradu cangkul. Beberapa kali terdengar
Komunitas Literasi Ombilin | 41

suara letupan pistol membelah keributan. Aku


mengambil sebongkah batu besar. Tanganku masih
terikat rantai, sedang rantai kakiku sudah berhasil
diputuskan terlebih dahulu. Aku berteriak sambil
berlari membabi buta. Satu orang berkulit pucat kaget
dengan kedatanganku. Ia lari tunggang-langgang, lalu
jatuh tersandung rel. Setelah kuhampiri, kuremukkan
kepalanya dengan hantaman batu berulang-ulang. Aku
menjerit keras sekali. Kubayangkan itu adalah kepala
bajingan yang mengambil istriku sebagai gundiknya.
Sang mandor berhasil kabur. Persoalan terbesar
kini berada di mulut lorong. Satu-satunya pintu
masuk dan keluar. Beberapa orang yang nekat keluar
disambut dengan berondongan pelor. Aku dan
beberapa orang bertahan di lubang laknat ini. Tanpa
makanan dan minuman. Aku dan orang-orang rantai
dibiarkan mati pelan-pelan. Mbah S ditangkap, entah
dibawa ke mana. Yang jelas, ia tak pernah kembali lagi
ke dalam lorong terkutuk ini.
Hari ini satu abad telah berlalu. Aku menjadi
hantu gentayangan. Aku ingat semua nama benda,
angka dan peristiwa. Namun, aku lupa siapa namaku
sebenarnya.

Biodata:
Agus Setiawan. Lahir di Kota Sragen, 7 September
1984. Sehari-hari bekerja sebagai penjual batik.
Menulis dan membaca dikerjakannya di sela-sela
menunggu dan melayani pembeli. Ayah dua orang
anak ini kini tinggal di pinggiran Jakarta.
Timbago, Perempuan
Itu, dan Dendam yang
Tak Usai
Sepno Fahmi

A dalah Timbago, salah seorang panglima perang


ratusan tahun yang lalu, yang kerap tidak juga
meluluhkan hati seorang perempuan yang begitu
diincar-incar oleh bala tentara perang.
Kala itu, saat gelap belum sepenuhnya lerai dari
pagi, terdengar entakkan kaki yang ganas dari bilik
sebelah. Gerutu Timbago yang menentang tetap saja
tidak dihiraukan oleh Raja Silungkang. Seluruh tubuh
Timbago seolah dilesapi tulang-belulang menyaksikan
tatapannya yang kosong melompong.
Kesempatan untuk membuktikan diri menjadi
lelaki yang membanggakan—tidak seperti Paligan
Alam yang hanya duduk diam mengamati siasat
perang—kembali terpental. Segala alasan yang ia
Komunitas Literasi Ombilin | 43

berikan dan akan digunakan untuk meyakinkan Raja


Silungkang tiba-tiba raib entah ke mana. Padahal sesuai
kesepakatan, esok begitu matahari menjelang, ia dan
Paligan Alam harus sudah ada di gelanggang untuk
memperagakan silek, syarat untuk menjadi panglima
di medan perang. Disatukan bukan untuk menyatu,
melainkan untuk mempertaruhkan harga diri. Siapa
yang menang, dia yang pantas menyandang predikat
yang diimpi-impikan oleh bala tentara kerajaan.
Ia atau Paligan Alam yang akan kalah?
Sesungguhnya itu tak pernah penting lagi baginya.
Satu-satunya hal yang dipikirkannya saat Raja
Silungkang menuntut untuk melawan Paligan Alam
hanyalah peluang untuk memenangi hati perempuan
itu. Ia hanya ingin membuktikan bahwa ia yang
pantas menjadi panglima perang kerajaan Silungkang,
bukanlah Paligan Alam.

***

Di sisi lain, Timbago acap kali menculik dan


merampas gadis-gadis untuk dijadikan pemuas
nafsu syahwatnya. Kezaliman Timbago itu membuat
keresahan dan kemarahan penduduk sekitar. Dari
hari ke hari, desas-desus kegalauan hati masyarakat
terus menyelinap dari mulut ke mulut lainnya, ke
rumah-rumah, dan menjadi bahan diskusi di berbagai
sudut nagari. Mungkin saja ini yang menjadi alasan
Raja Silungkang tidak pernah menganggap ia layak
menjadi panglima perang untuk mempertahankan
wilayah kerajaan.
44 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Pesan itu lagi-lagi berkesiur dibawa angin dan


menyusupi benaknya. Tanpa pikir panjang, sebelum
fajar mengangkangi gelanggang, ia pergi meninggalkan
kerajaan yang telah membesarkan namanya—bukan
karena takut, tetapi sebagai laki-laki Minang pantang
musuh dicari, kalau tibo jan dielakkan—melintasi
semak belukar, menuruni tubir, dan mendaki tebing
terjal. Ia melakukannya berulang-ulang, sepertinya
ke mana hendak sungai menemukan hilir, tentulah
menjadi petunjuk untuknya menemukan kehidupan
yang baru. Namun, yang paling berat saat kaki tak
seirama dengan pikirannya adalah perempuan itu.
Apa boleh buat, ini keputusan yang tak mungkin lagi
untuk dijangkau ke belakang, bukan?

***

Tepat di kaki gunung, ia menghentikan niatnya


untuk mengembara, dan menjadikannya tempat itu
sebagai wilayah baru. Ia mendirikan pula kerajaan
kecil yang disebut sebagai Kerajaan Timbago.
Timbago memimpin dengan gayanya sendiri. Ia
menjadi penguasa yang tetap berpegang kepada
satu janji yang hampir setiap bertemu penduduk
nagari selalu diselipkannya, tentang mengembalikan
apa yang sudah lama menjadi haknya. Nyawa harus
dibayar nyawa, begitupun dengan harga diri. Kali
ini, Timbago tidak lagi membebani penduduknya,
bahkan perilakunya yang tidak sopan terhadap gadis-
gadis sudah sejak lama menjadi abu. Semuanya hanya
kenangan masa lalu, sebab yang harus dituju adalah
Komunitas Literasi Ombilin | 45

masa depan. Tidak peduli apa pun yang akan terjadi,


yang terpenting berani memperbaiki diri.
Kesabaran sudah menemui celah, rasa tabah
yang sekian tahun dirawat dalam dada itu mendadak
tumbang oleh dendam yang sepintas lalu merasuki
kepalanya. Ia berdiri mematung mengingat kembali
tentang hari-hari lalu yang masih tertulis lengkap
dengan kisah kasihnya, dan baru berhenti geming
ketika salah seorang penduduk membisiki tentang
sebuah wilayah yang harus segera dijajah.
Sudah menjadi adat waktu itu, kerajaan-kerajaan
di Minang berambisi memperluas wilayahnya masing-
masing, memperkuat bala tentara dan menyiapkan
persenjataan yang cukup. Salah satunya panah baipuh
(panah beracun milik kerajaan Timbago), senjata yang
digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk
mempertahankan diri apabila diserang.
Hingga tibalah hari di mana perang bertandang—
sebelum Timbago hendak menyerang Kerajaan
Silungkang—ingin rasanya ia berlari menyongsong
kerumunan, mencari, dan membunuh Paligan Alam.
Namun, tiba-tiba saja panglima perang menghadang
dengan menunggangi kuda hitam, hal yang tidak
terduga menjadi cambuk yang berkali-kali merobek
jantung. Saat dendam sudah di depan mata, tetapi
yang datang bukanlah perkara semula. Memang,
perkara dengan Paligan Alam bukanlah satu-satu hal
yang harus dituntaskan.
Selang kemudian, Paligan Alam menampakkan
diri—tepat di belakang perempuan yang menunggangi
46 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

kuda, layaknya waktu itu, perempuan yang tanpa


bersalah menunggangi hatinya—dengan gagah berani
bersikeras menudingnya dengan sebutan pecundang.
Ia tentu saja tidak menerima, ingin ditanyakannya
kepada perempuan itu apa alasan yang sebenarnya,
saat ia luput meninggalkan kerajaan Silungkang
begitu saja.
Belum sempat lidah mengeluarkan kata, jolong-
jolong bala tentara kerajaan Silungkang menyerang
dan membabi buta tanpa ampun. Bala tentara beserta
penduduk kerajaan Timbago yang diserang tiba-
tiba tanpa persiapan alat perang terpaksa mengundi
nasibnya sendiri, sebab panah baipuh walau beracun
belum tentu akan mengalahkan bala tentara kerajaan
Silungkang yang tak terhitung jumlahnya. Banyak
tentara dan penduduk kerajaan Timbago yang tewas,
termasuk Timbago. Tersungkur bersimbah darah
terkena tembakan panah baipuh milik kerajaannya.
Entah siapa yang menembakinya diam-diam, mungkin
saja karena ada dendam yang selama ini disurukkan,
seperti angin yang dapat dirasa, tapi tidak bisa
disaksikan oleh mata.

***

Ratusan tahun berlalu setelah pertumpahan


darah itu berakhir, wilayah pusat kerajaan Timbago
dimanfaatkan oleh anak nagari dengan menjadikannya
areal persawahan. Inilah asal mula terbentuknya nama
Kota Sawahlunto. Selain itu, penduduk setempat
menyebut wilayah tersebut sebagai Gunung Timbago,
Komunitas Literasi Ombilin | 47

yang dijadikan destinasi wisata di Kota Sawahlunto


saat ini. Juga terdapat suku dengan nama suku
Timbago di sekitar Dusun Guguk Balang dan beberapa
tempat lainnya di Kota Sawahlunto. Ini membuktikan
bahwa Timbago memang benar adanya.

Bayang, 20 Juli 2020

Biodata:
Sepno Fahmi lahir di Bayang, Pesisir Selatan,
Sumatra Barat. Merupakan anggota Dapur Sastra
Jakarta (DSJ), Sastra Bumi Mandeh (SBM), dan
aktif mengelola Rumah Baca Pelopor 19. Beberapa
tulisan pernah dimuat di beberapa media massa dan
antologi bersama. Facebook: Sepno Fahmi. WhatsApp:
0812 6680 5090. e-Mail: sepnofahmi43@gmail.com.
Asal-Usul Nama
Nagari Kolok
Nofri Endrawita, S.Pd.SD.

P ada zaman dahulu, daerah yang dihuni oleh orang-


orang masih sangat sedikit dan lebih banyak hutan
belantara yang menjadi sumber mata pencaharian.
Masyarakat pada umumnya mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari dengan memanfaatkan hutan di
sekitar wilayah pemukiman mereka untuk bercocok
tanam. Masyarakat waktu itu masih berpindah dari
satu tempat ke tempat lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka.
Di daerah tersebut, hiduplah sebuah keluarga
yang memiliki empat orang anak laki-laki yang telah
dewasa. Melihat orang tua mereka yang mulai susah
memenuhi kebutuhan hidup dari hutan di sekitarnya,
timbullah niat dalam hari keempat pemuda ini untuk
mencari daerah baru yang bisa mereka olah untuk
menyambung hidup.
Komunitas Literasi Ombilin | 49

Pada suatu malam, di saat bulan purnama


begitu terang, duduklah keempat kakak beradik
itu bersama orang tua mereka. Mereka berembuk
menyampaikan niatan hati kepada orang tua. Sudah
merupakan kebiasaan dalam keluarga itu, melakukan
rembukan atau musyawarah saat akan mengambil
suatu keputusan. Sadanciang bak basi saciok bak ayam.¹
Itulah hal yang selalu diutamakan oleh kedua orang
tua mereka.
Akhirnya dengan hati yang berat, kedua orang tua
mereka mengizinkan anak-anak mereka berangkat
ke daerah baru untuk menata kehidupan baru dan
membawa amanah agama mereka.
Tibalah hari yang telah ditetapkan untuk
melakukan perjalanan. Dengan bekal yang telah
disiapkan oleh bundo kanduang tersayang, berangkatlah
keempat kakak beradik itu dengan semangat yang
tinggi. Besar harapan mereka akan menemukan tempat
menetap baru. Tempat menetap yang bisa mereka
olah untuk dijadikan sebagai tempat pemukiman
dan tempat berladang. Dengan basmalah, mulailah
mereka ayunkan langkah untuk meniti dan merenda
masa depan.
Selama perjalanan, banyak hal yang telah mereka
lewati dan hutan belantara yang mengiringi langkah
mereka. Berhari-hari mereka berjalan, belum ada satu
pun daerah yang bisa mereka jadikan sebagai lahan
tempat tinggal. Belum ada kampung yang mereka
temui. Hal ini menambah rasa lelah bagi keempat
kakak beradik ini. Namun, di ujung rasa lelah mereka
50 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

selalu memanjatkan doa kepada Yang Mahakuasa agar


dapat segera menemukan daerah yang cocok untuk
dijadikan tempat tinggal dan bisa diolah menjadi
ladang serta bisa sebagai tempat bagi mereka untuk
berbagi ilmu agama.
Setelah berminggu-minggu melakukan per­jalan­
an, sampailah mereka di daerah nan sangat elok
dan menawan. Angin berembus sepoi-sepoi, seolah
dengan senang hati menyambut keempat kakak
beradik itu. Dari puncak bukit tempat mereka berdiri,
terhampar pemandangan nan indah yang membawa
kesejukan pada mata dan hati yang melihatnya.
Sejauh mata memandang tampaklah area hijau yang
menyejukkan mata. Aliran sungai meliuk-liuk bagai
seekor ular yang sedang beristirahat dari lelahnya.
Aliran sungai yang kemudian hari disebut sebagai
Batang Air Malakutan oleh masyarakat sekitarnya.
Batang air yang akan memberikan warna kehidupan
bagi masyarakat yang menetap di pinggirannya.
Kilauan pucuk-pucuk pohon seolah melambaikan
tangan menyambut mereka, mengucapkan salam
selamat datang kepada keempat beradik kakak dari
perjalanan panjangnya.
Rasa lelah yang menghampiri keempat kakak
beradik, seolah terbayar dengan pemandangan yang
menakjubkan ini. Duduklah mereka sejenak untuk
melepaskan lelah kaki yang telah mereka ayunkan.
Selanjutnya, mereka sepakat untuk beristirahat
sejenak di tempat ini. Ketika duduk melepaskan lelah,
terbetiklah gagasan dari si sulung. Siapa yang tertidur
Komunitas Literasi Ombilin | 51

akan ditinggalkan di daerah ini. Hal itu disetujui


oleh ketiga adiknya. Kemudian masing-masing mulai
mencari tempat untuk beristirahat.
Setelah puas beristirahat, mereka berniat untuk
melanjutkan lagi perjalanan. Mereka pun berkumpul
kembali ke tempat semula. Setelah sampai, ternyata
hanya tiga orang yang kembali. Tidak tampak sama
sekali si sulung. Setelah ditunggu beberapa saat,
ternyata si sulung tak jua menampakkan batang
hidungnya. Lalu ketiga adiknya mencari di sekitar
tempat mereka beristirahat.
Setelah dicari-cari, akhirnya mereka menemukan si
sulung yang takolok² di bawah pohon besar beralaskan
dedaunan. Tampak raut kelelahan di wajahnya. Begitu
lelapnya, sehingga si sulung tak mendengar panggilan
ketiga adiknya.
Melihat kakaknya tertidur pulas, adik-adiknya
teringat pada perjanjian mereka sebelumnya. Matahari
semakin tinggi, sementara si sulung tetap takolok
dengan pulasnya.
Dengan berat hati, akhirnya perjalanan dilanjutkan
oleh mereka bertiga, mencari tempat lainnya. Sejak
saat itu, tempat itu dinamakan Nagari Kolok.

Catatan:
¹ Seia sekata, satu pendapat atau kompak.
² Takolok: tertidur.
52 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Nofri Endrawita, S.Pd.SD. Penulis dilahirkan
di Kolok Sawahlunto tanggal 3 November 1976.
Mengenyam pendidikan mulai SD sampai SMA
di Kota Sawahlunto. Tahun 2002 menamatkan
pendidikan PGSD di UNP. Tahun 2009 menamatkan
S.1 PGSD di UT. Sekarang penulis bertugas di SDN
28 Santur sebagai Kepala Sekolah.
Lubuk Nago
Desi Kirana Aza

“Y ung ! Kali ini saja, kau kawanilah ibu ke sawah.


Padi kita harus dialiri air, Nak!” Rukiyah menatap
Buyung, anaknya dengan wajah penuh harap.
Bukannya menjawab, Buyung malah meninggalkan
ibunya yang sedang berdiri di halaman, menunggu
sang anak yang tadinya meraut bambu untuk dibuat
layang-layang.
“Yung! Ibu tidak mungkin pergi sendiri. Semalam
hujan lebat, ibu khawatir banyak binatang melata di
rimba menuju sawah kita. Setidaknya ibu ada kawan
bicara,” bujuk ibunya dengan suara lembut.
“Pekerjaanku tanggung, Bu! Nanti sore ada lomba
layangan di kampung sebelah,” jawabnya dengan
muka masam.
Rukiyah tidak mau memaksa anaknya yang sudah
terlihat kesal. Wanita itu tidak mau emosi yang keluar
dari bisikan hati membuat anaknya mendapatkan
petaka, sebab jika seorang ibu sudah marah walau
54 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

hanya dalam hati, bisa berakibat tidak baik untuk si


anak.
Rukiyah akhirnya memilih pergi sendiri ke sawah,
sedangkan Buyung kembali meneruskan pekerjaannya
meraut bilah, sebatang demi sebatang. Mulutnya
terdengar lirih menyanyikan lagu layang-layang.
“Kuambil buluh sebatang,
kupotong sama panjang. Kuraut dan kutimbang
dengan benang.
Kujadikan layang-layang.... Bermain, berlari.
Bermain layang-layang.
Berlari kubawa ke tanah lapang.
Hatiku riang dan senang....”
Anak itu sepertinya tidak peduli dengan ibunya
yang mungkin dipatuk ular atau terjerembap di jalan
licin. Yang ada di pikirannya hanya bermain dan
bersenang-senang.
Bilah-bilah yang diraut mulai dirangkai menjadi
layang-layang. Sampai akhirnya sebuah layangan
besar berhasil dibuat anak itu. Buyung terlalu asyik
dengan pekerjaannya sehingga lupa kalau hari telah
sore dan dia merasakan perutnya mulai lapar.
Buyung langsung ke dapur, membuka periuk nasi.
Seonggok nasi yang seperti bongkahan Puncak Polan
dan tiga potong tahu menjadi santapan anak itu.
Karena terlalu lapar, Buyung lupa menyisakan nasi
untuk sang ibu.
Setelah kenyang, Buyung merasakan badannya
gerah. Ketika orang makan di saat terlalu lapar, organ
Komunitas Literasi Ombilin | 55

di dalam perutnya bekerja sehingga keringat mengucur


dari seluruh pori-pori. Buyung beranjak dari meja
dapur, lalu keluar rumah dan menutup pintu dari luar.
Suara siulan terdengar dari mulutnya saat berjalan
menuju sebuah lubuk di pinggir hutan. Dalam hati dia
sudah berencana mengajak tiga sahabatnya berenang
sebelum main layang-layang. Namun, langkahnya
terhenti ketika sang ibu menegur dari arah depannya.
“Mau ke mana lagi kamu, Yuang?”
“Ke lubuk, Bu! Gerah sekali badanku setelah kena
miang betung,” jawabnya datar.
Sang ibu menghampirinya dan berusaha menahan
anaknya untuk tidak pergi ke sungai yang dalam itu.
Hari sudah menuju senja, wanita itu takut anaknya
lupa waktu dan masih berenang sampai jangkrik
berdendang.
“Kamu sudah bereskan sisa-sisa bilah
layanganmu? Sudahkah kamu membersihkan rumah
dan menjerangkan air untuk minum?” Ibunya
menatap Buyung penuh kasih.
Rukiyah memang tidak pernah marah pada
Buyung, tetapi bukan memanjakan anaknya. Hanya
saja sikap sang ibu yang lemah lembut membuat
Buyung merasa di atas angin. Dia tidak pernah
mendengarkan nasihat ibunya. Mengangguk di depan,
tetapi menggeleng di saat berada di belakang sang ibu.
“Nanti aku bereskan, Bu. Lagi pula hanya pergi
mandi saja, tidak pergi main!” sangkalnya dengan
mulut memanjang.
56 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

“Kalau hanya mandi, mengapa mesti ke sungai?


Toh, di rumah kita ada sumur.” Ibunya terus menahan.
Sampai akhirnya Buyung berteriak pada perempuan
yang melahirkannya itu.
“Ibu ini! Semuanya dilarang. Ke situ tak boleh,
ke sini jangan. Buat ini salah, melakukan itu salah.
Ibu tak usah atur-atur aku lagi. Aku ‘kan sudah besar,
Bu!”
Rukiyah tertegun mendengar jawaban sang anak.
Dadanya bergemuruh kuat. Rasa lelah dan dahaga
membuatnya tidak bisa mengontrol emosi. Wanita
itu membalas ucapan sang anak dengan wajah marah.
“Anak tidak tahu diuntung. Ibu melarang kamu
ke lubuk karena hari sudah hampir senja. Apa kamu
tidak takut dimakan ular naga yang bersarang di gua
dasar lubuk itu?”
“Itu hanya takhayul! Mana mungkin ada ular naga
di dalam sungai kecil seperti di baruh.”
Buyung tidak menggubris nasihat ibunya. Dengan
berlari-lari kecil dia menuju lapangan di mana ketiga
temannya sedang bermain pistol-pistolan buah jambu
air.
“Kalian mau ikut aku tak? Mandi-mandi ke
lubuk?” tanya Buyung setelah keempatnya berdiri di
pinggir lapangan.
Semua setuju. Akhirnya, empat sekawan itu pergi
menuju lubuk di pinggir hutan. Wajah mereka terlihat
sangat riang, langkah dipercepat saat menuruni jalan
setapak.
Komunitas Literasi Ombilin | 57

Desau air terjun dari ketinggian lima meter yang


jatuh ke lubuk membuat semangat mereka menggebu-
gebu. Terbayang betapa asyiknya terjun bersama air
yang tercurah ke dalam lubuk berair jernih di bawah
sana.
Mereka berkejaran, dahulu-mendahului menuju
puncak air terjun. Buyung yang pertama melompat.
Anak itu menyelam menuju dasar, lalu kembali ke
permukaan sambil mengusap wajahnya. Ia tersenyum
congkak ke arah teman-temannya yang masih berdiri
di atas sana.
Puas memanas-manasi ketiga sahabatnya, Buyung
kembali menyelam ke dasar lubuk, kemudian matanya
melihat ada sebuah gua berukuran besar. Hatinya
mulai bertanya-tanya, apakah benar yang dikatakan
sang ibu? Sayangnya, Buyung lebih menuruti rasa
penasarannya. Dengan sombong anak itu terus
berenang ke arah gua.
Tanpa disadarinya, ternyata di dasar gua memang
ada seekor ular naga yang bergulung. Melihat Buyung,
ular itu melepaskan gulungannya dan melilit tubuh
anak itu. Ekornya yang menyembul ke permukaan
membuat ketiga sahabat Buyung lari pontang-panting
dengan tubuh gemetar.
Sejak saat itu, lubuk di daerah Sumpahan tersebut
diberi nama Lubuk Nago.
58 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Desi Kirana Aza merupakan seorang manusia biasa
yang ingin meninggalkan jejak nama melalui tulisan.
Tinggal di kampung tidak membuatnya berdiam diri
dan menahan ide yang hinggap dalam kepala. Meski
memiliki banyak keterbatasan, wanita berkacamata
ini tidak pernah berhenti menulis, walau dalam satu
hari hanya dua paragraf. Instagram Desi Kirana Aza.
Facebook Desi Kirana Aza. Twitter Desi Kirana Aza.
Facebook Fanspage Kumpulan Cerita Desi Kirana Aza.
Lengkang Si
Anak Malang
(Asal Mula Nagari Silungkang)
Indrawati, S.Pd.

P ada zaman dahulu, ada seorang anak laki-laki dari


keluarga petani sederhana yang dilahirkan tidak
sempurna. Kedua tangannya tumbuh tidak normal
karena masing-masing tangan tersebut memiliki
enam jari. Jika dijumlahkan menjadi dua belas. Selain
itu, kedua kakinya pun bengkok. Jari kakinya tumbuh
mencuat ke segala arah. Kalau berjalan, ia terpaksa
mengingsut karena kakinya tidak mampu menopang
tubuhnya untuk berdiri. Mungkin karena kakinya
basalengkang, teman-temannya memanggilnya si
Lengkang.
Meski Lengkang dikaruniai fisik yang tidak
sempurna, ia tidak pernah merasa rendah diri apalagi
menyesali keadaan. Baginya, semua itu adalah
60 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

anugerah dari Yang Maha Pencipta. Lengkang yakin


bahwa apa pun yang diciptakan Yang Mahakuasa,
pasti ada maksud dan tujuannya.
Nagari Sawahlunto nan indah permai selalu
menjanjikan kemakmuran bagi siapa saja yang ingin
berusaha. Begitu pula keluarga si Lengkang, meski
hidup sederhana, mereka tidak pernah merasa
kekurangan. Begitulah masyarakat Sawahlunto pada
umumnya, pandai bersyukur.
Namun, pada suatu masa, datanglah musim
kemarau yang panjang. Sungai kering kerontang,
ranting pohon pun meranggas, sementara sawah dan
ladang tidak kalah kritisnya. Tanahnya merekah, retak-
retak bagaikan bekas dioyak gampo. Banyak ternak
yang mati karena rumput telah berubah menjadi
akar kering yang memilukan hati. Curah hujan yang
dinanti-nanti pun tiada juga datang menitik.
Persediaan pangan mulai mengancam jiwa yang
kelaparan. Tak ada barang berharga yang bisa dijual
untuk ditukar dengan makanan. Satu-satunya cara
untuk bertahan hidup adalah meminjam beras kepada
salah seorang saudagar kaya raya, yang tinggal di
negeri sebelah.
Kemarau panjang akhirnya membawa keluarga
Lengkang dalam perangkap utang yang makin dalam.
Tak tahan menanggung beban hidup yang terlalu
berat, kedua orang tua Lengkang pun jatuh sakit. Satu
per satu orang tua Lengkang akhirnya dipanggil Yang
Mahakuasa. Tak dapat diuraikan betapa sedihnya hati
Lengkang ditinggal kedua orang tuanya dalam waktu
Komunitas Literasi Ombilin | 61

yang hampir bersamaan. Kini tinggallah Lengkang


sebatang kara.Dunia menjadi kelam. Ia begitu gamang
menghadapi hidup ini.
Malam berganti siang, pekan berganti bulan, dan
musim pun berubah. Hujan seakan membalas dendam
setelah kemarau panjang mendera bumi. Seluruh anak
nagari sangat bersukacita menyambut musim tanam.
Mereka beramai-ramai turun ke sawah. Nagarinan
elok, subur, dan makmur kembali menunjukkan
pesonanya yang anggun. Namun, apa mau dikata,
Lengkang tidak dapat meneruskan pekerjaan orang
tuanya sebagai petani karena keterbatasan fisiknya.
Satu-satunya kepandaian Lengkang adalah mem­
buat berbagai kerajinan rotan sebagaimana yang
pernah diajarkan mendiang ibundanya. Desakan hidup
membuat Lengkang harus bekerja keras. Dengan
segala keterbatasannya, Lengkang pergi ke hutan
hendak mencari rotan. Baginya, manjadda wajadda
adalah pedoman hidup yang harus ia pegang teguh.
“Siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan
berhasil,” gumam Lengkang dalam hati.
Rupanya dengan kaki Lengkang yang tidak
sempurna, terletak kelebihan yang ada pada dirinya.
Ia justru pandai memanjat pohon apa saja dengan
cepat. Kakinya yang bengkok seolah menjadi alat yang
andal untuk memanjat pohon. Alam telah menempa
hidupnya menjadi seorang pemberani, tangguh, dan
cekatan. Dalam waktu singkat, ia berhasil memperoleh
rotan yang diperlukan.
62 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Dengan sabar dan tekun ia mulai menganyam


beberapa helai rotan. Jarinya yang dua belas itu sangat
terampil membuat untaian rotan menjadi sesuatu
yang sangat menarik dan indah. Hanya beberapa
hari saja, ia sudah menyelesaikan meja dan kursi,
yang semuanya terbuat dari bahan rotan. Bukan itu
saja, Lengkang juga sangat mahir membuat berbagai
anyaman yang terbuat dari daun pandan. Dalam
waktu sekejap saja, puluhan helai tikar cantik telah ia
selesaikan.
Keandalan Lengkang membuat berbagai kerajinan
tangan tersohor ke penjuru nagari. Saudagar kaya,
tempat orang tua Lengkang meminjam beras pun
terkejut mendengar berita tersebut. Ia mendatangi
Lengkang yang sedang bekerja dengan tekun di sudut
rumahnya. Betapa terperanjatnya saudagar ini ketika
melihat jari-jemari Lengkang menjalin anyaman. Jari
dua belasnya bagaikan gurita, bekerja dengan sangat
cepat. Hasil kerajinan Lengkang pun sungguh luar
biasa. Saudagar itu tidak pernah melihat hasil kerja
kerajinan rotan dan daun pandan yang seindah ini.
Sang saudagar pun mulai berpikir untuk menguasai
hasil kerajinan tangan Lengkang. Dengan alasan utang
piutang dengan orang tuanya, saudagar itu menagih
utang kepada Lengkang. Lengkang terkejut karena
utang orang tuanya menjadi berlipat ganda karena
dihitung dengan bunga beserta dendanya. Kemudian
Lengkang dipaksa membayarnya dengan barang-
barang hasil kerajinan tangannya.
Komunitas Literasi Ombilin | 63

Sebagai bentuk balas budi dan bakti kepada


almarhum kedua orang tuanya, Lengkang
menerima apa pun keinginan saudagar itu. Lagi
pula, Lengkang anak satu-satunya, sangat pantaslah
Lengkang menyelesaikan segala utang piutang orang
tuanya semasa hidup.
Sejak saat itu, Lengkang bekerja siang malam
untuk membuat kerajinan tangan, sesuai permintaan
saudagar itu. Namun, anehnya sejak kedatangan
saudagar tersebut, mata Lengkang tidak bisa tidur.
Tak ada rasa letih ataupun lelah. Sejak pagi hingga
pagi lagi, Lengkang menganyam dan menjalin rotan
dan daun pandan sesuai pesanan.
Tidak terhitung berapa banyaknya barang
kerajinan yang telah dibuat Lengkang. Semuanya
diserahkan kepada saudagar itu. Sifat tamak dan
serakah saudagar itu pun mulai tampak. Meski utang
kedua orang tuanya sudah terhitung lunas, saudagar
itu terus saja meminta hasil kerja si Lengkang.
Saudagar kaya yang tamak itu mulai kewalahan
menampung hasil karya si Lengkang karena tidak ada
tempat untuk menyimpan barang-barang tersebut.
Akhirnya, saudagar itu meletakkannya di pinggir jalan
begitu saja. Maksudnya, agar siapa saja yang tertarik
untuk membeli barang-barang tersebut dengan
mudah dapat memilihnya.
Seiring berjalannya waktu, saudagar kaya yang
tamak itu pun menyadari kesalahannya. Barang-
barang kerajinan yang bukan menjadi haknya
dikembalikan kepada si Lengkang. Hanya dalam
64 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

waktu sekejap, si Lengkang menjadi kaya raya berkat


hasil kerja kerasnya.
Begitulah akhirnya. Barang hasil kerajinan si
Lengkang terkenal sampai ke seantero nusantara dan
mancanegara. Siapa pun yang melintasi jalan menuju
Sawahlunto akan melihat kerajinan tangan tradisional
si Lengkang dengan berbagai rupa, corak, dan warna.
Barang kerajinan tangan si Lengkang hingga kini
membanjiri pasar tradisional Sawahlunto.
Sebagai ungkapan terima kasih dan penghargaan
atas inspirasi dan kreativitas si Lengkang, nagari
itu pun dinamai Silungkang, yang sesungguhnya
berasal dari nama salah satu anak nagari yang sangat
luar biasa. Sosok yang tidak pernah mengenal kata
menyerah, dan senantiasa berbakti kepada kedua
orang tuanya.(*)

Biodata:
Meski telah mengabdi sebagai Aparatur Sipil Negara
(ASN) puluhan tahun menjadi guru, Indrawati,
kelahiran Tanjungkarang, 16 Januari 1961, juga
bangga menjalani peran sebagai ibu rumah tangga.
Ibu dari tiga anak ini juga tidak henti-hentinya
berkreasi di bidang seni. Istri dari Yose Rizal ini
pernah mengenyam pendidikan di Universitas Negeri
Padang (dulu IKIP) di bidang seni, dan menyandang
gelar sarjana Seni Drama Tari dan Musik
(Sendratasik). Baginya, dunia seni adalah bagian dari
kehidupannya yang tidak dapat dipisahkankarena
Komunitas Literasi Ombilin | 65

jiwa seninya sudah muncul sejak ia masih belia.


Meski lahir di Tanjungkarang, tetapi masa
pendidikannya ia selesaikan, mulai dari SD, SMP, dan
SPG di Bukittinggi. Guru salah satu SMA di Lubuk
Alung, Padang Pariaman, ini hampir menguasai
semua alat musik. Ia juga mahir mengajarkan anak-
anak didiknya menari. Tak heran jika banyak anak
didiknya pandai menari di sejumlah pentas seni.
Jami Jobang,
Perjodohan
Berujung Maut
Adrial

M enjodohkan anak perempuan dulunya hampir


terjadi di setiap daerah di Ranah Minangkabau. Sebut
saja kisah Siti Nurbaya yang dijodohkan oleh orang
tuanya dengan Datuak Maringgih yang memiliki
kekuasaan dan harta berlimpah. Namun, jodoh
tersebut berujung maut bagi Siti Nurbaya.
Kisah Siti Nurbaya tidak hanya sebuah cerita
bibir atau dongeng orang-orang dulunya. Di Talawi,
Kota Sawahlunto, cerita perjodohan yang berujung
maut juga sempat beredar di negeri ini. Jami Jobang,
demikian masyarakat Talawi menyebutnya. Sebuah
cerita perjodohan yang berujung maut dengan
pembunuhan sadis terhadap sang perempuan yang
dijodohkan.
Komunitas Literasi Ombilin | 67

Kisah ini diawali dengan dua keluarga di Bukit


Gadang, Talawi, yang telah melakukan perjodohan
sejak janin masih dalam kandungan. Kedua pasangan
suami istri ini sepakat menjodohkan bayi yang ada
dalam kandungan jika berlainan jenis kelamin.
Ternyata, kedua pasangan suami istri ini melahirkan
bayi yang berlainan jenis kelamin, kemudian per­
jodohan pun langsung terjadi saat itu.
Kedua bayi tersebut diberi nama Jami Jobang
dan Janesa. Sejak kecil hingga remaja kedua anak
ini terlihat akrab, bahkan kedua orang tua telah
melontarkan kesepakatan mereka bahwa sejak Jami
Jobang dan Janesa berada dalam kandungan, mereka
telah dijodohkan.
Namun, memasuki usia dewasa, persoalan hidup
dan perilaku keremajaan Jami Jobang membuat kedua
orang tua Janesa mengambil sikap berseberangan
dengan perjodohan yang telah mereka sepakati. Orang
tua Janesa justru menerima pinangan orang lain yang
bernama Soma.
Soma merupakan sosok yang bertolak belakang
dengan Jami Jobang. Soma adalah seseorang yang alim
dan memiliki harta yang lebih dibanding Jami Jobang
yang dikenal sebagai preman kampung saat itu. Soma
juga merupakan orang yang paling pandai mengaji di
Talawi saat itu. Banyak masyarakat yang menjadikan
Soma sebagai guru mengaji.
Melihat perbedaan Jami Jobang dan Soma,
orang tua Janesa menerima pinangan Soma untuk
68 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

memperistri Janesa. Pinangan itu berlangsung ketika


usia Janesa memasuki umur 18 tahun.
Berita pinangan itu pun sampai ke telinga Jami
Jobang. Rasa dendam dan amarah kepada Janesa yang
menerima pinangan Soma pun berkecamuk dalam hati
Jami Jobang. Seperti orang yang kalap, Jami Jobang
terus berusaha mencari jalan bagaimana agar Janesa
dan Soma tidak menikah.
Berbagai upaya telah dilakukan Jami Jobang untuk
menghalangi pernikahan Janesa dengan Soma, bahkan
dia menuntut kedua orang tua Janesa agar melihat
kembali kesepakatan yang telah mereka lakukan
bersama kedua orang tuanya untuk menjodohkan
anak mereka. Akan tetapi, orang tua Janesa tidak
menanggapinya mengingat perilaku Jami Jobang yang
tidak baik, sedangkan yang meminang Janesa adalah
orang baik serta memiliki harta yang lebih.
Dalam kondisi kalap, Jami Jobang memiliki
niat buruk untuk membunuh Janesa. Baginya, lebih
baik Janesa dibunuh daripada melihatnya menikah
dengan orang lain. Perasaan ingin membunuh itu
terus berkecamuk dalam pikirannya. Dia memikirkan
bagaimana cara membunuh Janesa dan waktu yang
tepat untuk melakukannya.
Jami Jobang kemudian mendapatkan ide untuk
membunuh Janesa sewaktu Janesa sendirian di
rumah. Dia berpikir, pembunuhan itu akan lebih
mudah dilakukan ketika orang tua Janesa pergi ke
pasar. Saat hari pasar, biasanya Janesa sendirian di
rumah. Itulah kesempatan yang dipilih Jami Jobang
Komunitas Literasi Ombilin | 69

untuk menjalankan niat jahatnya kepada Janesa.


Setelah mendapatkan waktu yang tepat, dua
hari sebelum hari pernikahan Janesa dengan Soma,
Jami Jobang menjalankan niat jahatnya. Dia telah
menyiapkan pisau yang tajam untuk membunuh
Janesa. Pisau diselipkan di belakang punggungnya
agar tidak terlihat oleh orang lain.
Setelah mengetahui Janesa lagi sendiri di rumah,
dia mencoba berpura-pura bertemu Janesa. Melihat
tidak ada kejanggalan pada Jami Jobang, Janesa
melayaninya dengan baik, bahkan Janesa menjamu
Jami Jobang makan siang dan sempat bercakap-cakap.
Setelah Jami Jobang makan, dia langsung
menjalankan niat jahatnya membunuh Janesa. Pisau
tajam yang telah disiapkannya sejak dari rumahnya
dihunjamkan ke tubuh Janesa. Saat itu juga, Janesa
langsung roboh karena tusukan pisau tajam itu
dihunjamkan ke beberapa bagian tubuh Janesa.
Tidak sampai di situ, Jami Jobang memotong-
motong bagian tubuh Janesa hingga menjadi beberapa
bagian. Pembunuhan yang sangat sadis. Melihat
potongan-potongan tubuh Janesa yang terhampar di
lantai rumah itu, Jami Jobang sadar kalau perbuatannya
sangat sadis dan langsung meninggalkan rumah
Janesa menuju kantor wali yang berada di dekat Pasar
Talawi.
Dengan napas tersengal-sengal akibat berlari dari
Bukit Gadang (rumah Janesa) menuju kantor wali,
Jami Jobang menyerahkan pisau bekas membunuh
Janesa kepada Angku Palo (kepala wali).
70 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

“Pociklah pisau ambo, Ongku. Ambo alah mambunuh


kambiang urang. Sabanta lai ado urang yang manjopuik
pisau ko mah ongku.” (Ambillah pisau saya ini, Angku.
Saya telah membunuh kambing orang. Sebentar lagi
akan ada orang yang mengambil pisau ini.)
Tidak lama berselang, puluhan massa mendatangi
kantor wali untuk membunuh Jami Jobang karena
perbuatan biadabnya. Melihat keramaian dan
kericuhan itu, aparat berupaya mengamankan Jami
Jobang supaya tidak dihakimi massa. Jami Jobang pun
ditangkap dan selanjutnya dikirim ke penjara Nusa
Kambangan di Cilacap.
Penangkapan Jami Jobang sebenarnya tidak
disukai masyarakat. Masyarakat berharap Jami Jobang
juga dibunuh bersama-sama. Kampung Talawi pun
heboh dengan kejadian pembunuhan sadis yang
pertama kalinya ini dilihat oleh masyarakat.
Di dalam penjara, Jami Jobang merenungkan
nasibnya sambil berdendang. Di masa muda, dia
dikenal pandai berdendang dengan lelucon-lelucon
yang dibuatnya. Dia meratapi dan menyesali
perbuatan yang telah dilakukan kepada Janesa, wanita
yang dijodohkan oleh orang tuanya untuk menjadi
istrinya.
Dendang penyesalannya yang diucapkan Jami
Jobang, yaitu:
Ai ai ambo yo lah basalah, tabunuah kambiang urang.
Kok gantuang, gantuang lah ambo, gantuang di tandan
pisang masak.
Komunitas Literasi Ombilin | 71

Kok bunuah bunuahlah ambo, cobuan ambo kadalam


aia kopi.
Kok tembak, tembak lah ambo, tembak jo paluru onde-
onde.

Artinya:
Hai-hai saya memang bersalah, telah membunuh
kambing (anak) orang.
Kalau digantung, gantunglah saya di tandan
pisang masak.
Kalau dibunuh saya, ceburkanlah saya di air kopi.
Kalau tembak, tembaklah saya, tembak dengan
peluru onde-onde (sejenis makanan).

Demikian lirik dendang yang selalu diden­


dangkannya di dalam penjara. Dilihat dari lirik,
Jami Jobang hanya mementingkan selera makannya.
Itu tandanya, selama di dalam penjara dia tidak
mendapatkan makanan.
Selang beberapa waktu, Jami Jobang pun bisa
lepas dari penjara. Entah bagaimana dia bisa keluar
dari penjara, sampai kini tidak ada yang tahu mengapa.
Dia pun menuju kampung halamannya di
Talawi dengan berjalan kaki. Sebuah perjalanan yang
membutuhkan bertahun-tahun untuk bisa sampai di
Talawi dari Nusa Kambangan.
Dalam perjalanannya, di Jambi, Jami Jobang
menikah di sana dan memiliki seorang anak. Di usia
tuanya baru dia kembali ke Talawi dan masyarakat
72 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

pun sudah tidak mengingat lagi perbuatan yang


dilakukannya ketika remaja dulu.
Sementara itu, Soma sejak kejadian pembunuhan
Janesa hanya bersabar dan terus memberikan ilmu
mengajinya kepada masyarakat Talawi, bahkan dia
telah mendirikan surau untuk tempat masyarakat
belajar mengaji.
Kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi
masyarakat Talawi kala itu bahwa perjodohan tidak
selalu membuahkan hasil yang baik, tetapi ada juga
yang berujung maut.(*)

Biodata:
Adrial. Bekerja pada kantor Dinas Kebudayaan,
Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota
Sawahlunto. Cerita ini ditulis berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Zamran (lahir tahun 1935)
di Desa Talawi Mudiak. Kalau terjadi kesalahan atau
alur cerita yang kurang tepat, penulis mohon maaf.
Bagian cerita ini juga untuk memperkaya khazanah
cerita dalam kegiatan randai.
Wanita Berkebaya di
Lapangan Segitiga
Efji MR.

D i penghujung usianya sebagai kota tambang,


Sawahlunto memang lebih identik dengan sebutan
Kota Tua. Usianya kini telah melampaui angka seratus
tahun, setelah 1 Desember 1888 silam ditetapkan
sebagai tanggal kelahirannya. Tua bukan berarti
semakin lusuh dan renta. Tuanya kota tua ini bak
kelapa saja, semakin tua justru semakin berminyak.
Tidak hanya menjadi kota berlimpah batu bara
dengan kualitas terbaik, daerah yang menjadi salah
satu sumber pendapatan bagi kolonial Belanda ini juga
menyimpan banyak cerita. Kisah ini mungkin salah
satu dari banyak cerita yang ada. Di mana kawasan
yang kini menjadi salah satu etalase kota, menyimpan
cerita mistik yang menarik untuk disimak.
Kisah ini terjadi sekitar pertengahan tahun
sembilan puluhan, tepatnya di kawasan yang kini
akrab disebut Lapangan Segitiga, yang menjadi pusat
74 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

berkumpulnya masyarakat dan pengunjung kota di


kala sore tiba. Kala itu Lapangan Segitiga Sawahlunto
masih jauh dari keramaian, belum seramai hari
ini. Pohon mahoni yang tinggi dan rimbun berdiri
menjulang seolah mendominasi di depan kantor
utama perusahaan tambang batu bara tertua tersebut.
Sebut saja Nandi, pria yang berprofesi sebagai
pegawai negeri yang kini sudah hampir tiga puluhan
tahun menetap di Sawahlunto. Waktu itu Nandi
belum lama menerima SK pengangkatannya sebagai
abdi negara, pegawai negeri sipil golongan II. Ia
mencoba menikmati udara di kawasan kota tua. Kala
itu, kendaraan di Sawahlunto masih terbilang sangat
jarang. Wajar, masa-masa yang jauh dari era reformasi
apalagi zaman kekinian.
Nandi merupakan warga Indonesia yang tanah
kelahirannya di selatan Pulau Sumatra. Sebelumnya,
ia begitu lama mengadu nasib di Pulau Jawa. Jalan
hidup mengantarkannya memilih profesi sebagai abdi
negara sejak menerima surat pengangkatan dirinya
sebagai pegawai negeri sipil di Kota Sawahlunto.
Dengan meminjam motor dinas pelat merah
milik atasannya, Nandi yang belum genap satu
bulan menetap di Sawahlunto berkeliling kota,
menikmati udara malam di kota berbentuk kuali
itu. Jam yang mulai menunjukkan pukul 23.55 WIB,
tidak menyurutkan dirinya berkendara di hari Kamis,
malam Jumat.
Entah apa yang mendorongnya untuk berkeliling
kota, Nandi begitu semangat seorang diri berkendara.
Komunitas Literasi Ombilin | 75

Singkat cerita, sesampainya ia di kawasan depan


kantor Perusahaan Negara Tambang Batu Bara
Ombilin, Nandi memarkir kendaraannya. Jam pun
mulai melampaui tengah malam. Suasana sunyi mulai
merasuki tulang, dilengkapi dengan temaramnya
lampu di kawasan Lapangan Segitiga itu.
Saat itu pengelolaan listrik untuk Kota Sawahlunto
sedang dalam masa transisi. Jika sebelumnya dikelola
Perusahaan Negara Tambang Batu Bara Ombilin, kini
beralih ke perusahaan listrik negara alias PLN. Proses
transisi itu mengakibatkan setrum listrik sering mati.
Sambil duduk di jok motor Honda Win tersebut,
dari kejauhan Nandi melihat sesosok wanita berkebaya
bergerak ke arahnya. Tanpa rasa curiga, Nandi hanya
berpikir mungkin sang wanita yang berjalan dengan
menenteng tas berikut selendang dan sepatu berhak
tinggi tersebut baru kembali dari kondangan.
Wanita berkebaya yang dilengkapi sanggul itu
terlihat semakin mendekat. “Mungkin baru pulang
dari kondangan Mbak Titik Puspa ini,” ujar Nandi
dalam hati memperhatikan dengan saksama.
Wanita berkebaya itu berjalan di tepi trotoar, tepat
di depan rumah dinas milik perusahaan tambang yang
kini digunakan salah satu bank pelat merah, pada
tengah malam, dan kebetulan malam Jumat pula.
Tanpa curiga, Nandi menyapa dan bertanya ke mana
tujuan sang wanita tersebut.
“Jalan ke mana, Mbak? Malam-malam sendirian,”
tanya Nandi.
76 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Namun wanita itu tidak menjawab pertanyaannya.


Nandi tanpa menghiraukan, justru kembali bertanya,
“Mbak dari mana, ya? Kok berani jalan sendiri saja
malam-malam?” Nandi kembali mencoba bertanya.
Kali ini, wanita berkebaya itu menghentikan
langkahnya.
“Saya dari Danau Maninjau, mau ke Silinduang
Bulan,” jawabnya datar.
Nandi yang belum begitu mengenal daerah
Sawahlunto Sumatra Barat malah bertanya lagi.
“Bukankah Danau Maninjau itu jauh, Mbak? Naik
apa Mbak ke sini?” Nandi keheranan.
Sebelum ada jawaban dari sang wanita, Nandi
pun kembali melanjutkan pertanyaan, tentang daerah
Silinduang Bulan.
“Silinduang Bulan itu di mana, ya, Mbak?”
Bukannya menjawab, wanita berkebaya itu justru
menatap Nandi dengan pandangan yang semakin
tajam. Tanpa berkedip, sang wanita terus menatapi
wajah Nandi. Nandi yang balik menatap dalam
temaramnya cahaya justru mendapati muka wanita
yang mengalami perubahan.
Wanita yang semula berparas cantik bak artis Titik
Puspa, sekarang berubah menyeramkan. Mukanya
perlahan mulai berbulu, ditambah kumis yang tumbuh
memanjang. Matanya juga terlihat memerah dengan
tatapan yang semakin tajam. Tak satu pun jawaban
keluar dari mulut wanita itu.
Yang muncul justru bau harum, bau semerbak
bunga melati yang membuat bulu kuduk berdiri tegak.
Komunitas Literasi Ombilin | 77

Nandi merasa ingin buang air kecil. Namun, rasa sesak


itu dikalahkan oleh rasa takut yang melampaui batas.
Seakan ingin berlari, tetapi badan tiba-tiba gemetar
dan kaki terasa berat untuk diangkat. Di antara rasa
takut itu, Nandi pun mencoba mengengkol motor
agar segera tancap gas meninggalkan sang wanita.
Dengan jantung yang berdebar kencang, beberapa
kali usaha Nandi menghidupkan motornya justru
gagal. Entah engkolan yang ke berapa, motor pelat
merah itu berhasil hidup. Nandi pun memutar gas
motornya sekuat mungkin.
Seolah tak terkendali, motor berjalan zig-zag ke
kiri dan kanan, bak berkendara di jalan rusak. Nandi
pun terus menancap gas motornya, berupaya menjauh,
sejauh mungkin dari Lapangan Segitiga. Jauh dari
wanita berkebaya yang menyeramkan itu.
Tidak berapa lama, Nandi melihat kantor polisi,
Polsek Kota Sawahlunto. Dengan cepat Nandi masuk
ke halaman kantor itu dan berhenti di sana. Secepat
kilat ia pun langsung berlari masuk ke kantor tersebut.
Begitu masuk, seorang petugas jaga di polsek
yang melihat Nandi tergesa-gesa langsung bertanya
tentang apa yang terjadi.
“Ada apa, Pak? Kok ketakutan seperti itu?” tanya
polisi.
Dengan napas yang masih sesak, Nandi pun hanya
bisa menunjuk-nunjuk ke arah Lapangan Segitiga.
“I-itu, itu....” Nandi tergagap.
Melihat kondisi Nandi yang ketakutan, polisi
muda itu berlalu ke belakang mengambil segelas air
78 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

putih, kemudian menawarkannya pada Nandi untuk


diminum. Dengan hanya sekali tegukan, Nandi
menghabiskan air yang diberikan.
“Tadi ada wanita berkebaya. Begitu saya sapa dan
ajak bicara, wajahnya berubah menyeramkan,” ujar
Nandi dengan suara sedikit serak.
Nandi melanjutkan ceritanya dari awal hingga
dirinya sampai di kantor Polsek Kota Sawahlunto.
Mendengar cerita itu, polisi tersebut menyarankan
agar Nandi menginap saja di kantor polisi, tidak
pulang hingga pagi hari.
“Tenang, Pak. Agar lebih aman sebaiknya Bapak
menginap saja di sini, hingga pagi tiba. Kawasan
Lapangan Segitiga itu memang sedikit angker. Tidak
hanya Bapak. Sebelumnya, banyak masyarakat
bertemu dengan wanita yang seperti Bapak ceritakan
tadi,” kata sang polisi.
Malahan, lanjutnya, tidak hanya wanita ber­
kebaya, masyarakat juga sering mendapati adanya
none Belanda yang keluyuran tengah malam, bahkan
ada juga wanita berambut panjang berkain putih yang
kerap bergelantungan di pohon mahoni.
Nandi pun menerima tawaran untuk menginap
di kantor polisi. Memanfaatkan sebuah kursi panjang,
Nandi merebahkan badan dan berusaha memejamkan
mata, mengurai kelelahan yang menyelimutinya
semenjak di Lapangan Segitiga tadi.
Hanya dalam hitungan menit, Nandi pun
larut dalam tidurnya. Namun, kelelahan tadi tidak
menghadirkan kepulasan bagi Nandi. Dalam alam
bawah sadarnya, Nandi justru kembali didatangi sang
Komunitas Literasi Ombilin | 79

wanita berkebaya. Dengan seulas senyum, wanita


berkebaya itu menghampiri Nandi dan mengajak pria
lajang itu berkeliling Lapangan Segitiga dan duduk di
bawah pohon mahoni.
Namun, Nandi justru ketakutan. Putra selatan
itu teringat akan wajah seram wanita berkebaya dan
tatapan tajam mata merah yang menusuk matanya
ketika bertemu di Lapangan Segitiga tengah malam
tadi. Dalam mimpinya, tanpa sempat bertanya siapa
nama wanita itu, Nandi mengambil langkah seribu,
lari menjauh.
Dalam kelelahannya berlari, Nandi terbangun
dari tidurnya, seiring azan subuh yang dilantunkan
muazin dari musala Rutan Sawahlunto yang berdiri di
depan kantor Polsek Kota. Setelah duduk dari rebahan
bangku panjang tadi, Nandi pun mohon izin kepada
polisi jaga untuk mengambil wudu dan salat subuh,
sekaligus izin pulang kembali ke kontrakannya.
“Terima kasih atas tumpangannya, Pak. Saya
sekalian izin pulang,” ujar Nandi yang kemudian
bersalaman dan berlalu menuju motornya yang
terparkir di halaman Polsek Kota Sawahlunto.
Cerita wanita berkebaya di Lapangan Segitiga
Sawahlunto ini hanya beredar dari mulut ke mulut,
hampir sirna seiring dengan semakin majunya
kawasan yang menjadi etalase utama Sawahlunto
yang kini berlabel warisan dunia sebagai kawasan
sejarah tambang batu bara yang ditetapkan UNESCO
pada Juli 2019 lalu. (*)
80 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Efji MR. Warga Kecamatan Barangin, Kota
Sawahlunto, yang sedang belajar menulis. Mudah-
mudahan bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta
pariwisata
“Selamat Pagi
Oom Bill Hiejn”
(Cerita Asal Mula Nama
Tambang Batubara Ombilin)

Rita Ariani, S.Pd.

P ada suatu masa, ada sebuah negeri yang indah


permai. Negeri itu berada di sebuah lembah yang
sangat subur, dikelilingi hamparan padang rumput
sabana dengan perbukitan hijau yang dilalui aliran
sungai yang bening. Pada kedua sisi sungai yang
meliuk lampai itu, terhampar sawah yang luas.
Saat itu padi sedang menguning. Kala cahaya surya
berpendar memantulkan sinarnya, hamparan padi
itu berkilau bak bongkahan emas. Sungguh bagaikan
zamrud di khatulistiwa. Negeri nan elok rupa itu,
konon diciptakan ketika malaikat sedang tersenyum.
Negeri yang subur makmur itu rupanya tidak saja
menampilkan alam nan memesona, tetapi memiliki
82 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

kekayaan yang tidak ternilai harganya. Menurut


keyakinan para tetua kampung kala itu, dalam perut
bumi negeri ini mengandung semacam bongkahan
batu yang unik. Batu yang dipercaya sebagai kiriman
dari surga yang mulanya diciptakan dari permata
putih dan diperuntukkan bagi orang yang bersyukur
kepada YangMaha Pencipta. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu, setibanya di bumi, batu itu
mengalami perubahan warna.
Untuk membuktikan keyakinan itu, beberapa
anak nagari menggali tanah hingga beberapa meter di
atas perbukitan itu. Keyakinan para tetua kampung
itu menjadi kenyataan. Batu cadas itu berwarna hitam
legam, keras bukan alang kepalang. Pecahannya
menimbulkan kilauan seperti batu akik pemanis jari.
Ketika dibakar, batu hitam itu lambat laun berubah
warna menjadi merah merona. Panasnya menusuk
hingga tulang sumsum. Sungguh panas membara.
Batu itu kemudian dikenal dengan batu bara. Nagari
Sawahlunto sungguh membawa berkah dengan
kandungan alam yang ada di dalamnya.
Syahdan, pada masa penjajahan, datanglah
rombongan orang asing ke negeri itu. Mereka mem­
bawa peralatan lengkap, mulai dari cangkul, martil,
gerobak tangan, dan lain-lain, yang diangkut bersama
pasukan berkuda.
Tidak lama setelah kedatangan orang asing itu,
mereka mendiami lahan perbukitan batubara hingga
bertahun-tahun lamanya. Anak nagari dengan adat dan
segala kesantunannya menerima pendatang tanpa rasa
Komunitas Literasi Ombilin | 83

curiga. Namun, lama-lama situasi menjadi berbeda.


Semua jadi berubah. Orang asing yang semula hanya
menumpang di tanah nansubur itu, perlahan-lahan
menguasai hingga akhirnya merampas semua lahan
perbukitan.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu,
Pieter Mijer, mengumumkan untuk melakukan
penambangan secara besar-besaran. Kebijakan itu
diputuskan setelah diketahui kandungan sumber
daya alam dan potensi ekonominya untuk diekspor ke
Nederland. Batubara yang ada di perut bumi Nagari
Sawahlunto kemudian dieksploitasi menggunakan
alat seadanya.
Guna melakukan penambangan batu bara itu,
Pieter Mijer memerintahkan kerja paksa atau rodi
bagi setiap laki-laki yang berusia dewasa. Sedangkan
perempuan harus menyediakan makanan untuk para
pekerja, yangdidatangkan dari Pulau Jawa dan sebagian
lagi dari masyarakat Sawahlunto dan sekitarnya.
Para pekerja rodi ini kemudian dikenal dengan nama
manusia rantai.
Mulai saat itu, anak nagari bersama pribumi
lainnya menjalani masa yang sangat kelam. Hidup
dalam penderitaan, gelap, seakan tiada masa depan
lagi. Mereka harus melupakan hamparan padi yang
menguning, air sungai nan bening, atau bongkahan
batu bara yang akan membawa kesejahteraan di masa
depan. Anak nagariharus menerima kenyataan hidup
di bawah tekanan dengan siksaan hukuman cambuk
bagi yang bermalas-malasan.
84 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Tidak ada hari libur. Setiap hari, baik siang maupun


malam, dipaksa melakukan penggalian hingga belasan
meter ke dalam perut bumi. Tidak sedikit di antara
pekerja rodi yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal
dunia karenanya. Para penjajah itu memperlakukan
anak bangsa dengan semena-mena. Mereka tidak
segan-segan menghardik, melecut dan memukul para
pekerja rodi tanpa ampun. Tak boleh kenal saudara
maupun handai taulan. Pekerja rodi juga tak boleh
berpunya selain baju di badan.
Gubernur Hindia Belanda kemudian menunjuk
beberapa pejabat pemerintah yang disebut amtenar,
yang sebagian diambil dari anak nagari. Sedangkan
jabatan penting diduduki oleh orang Belanda.
Dari sekian banyak amtenar, ada seseorang yang
menarik yang perhatian. Ia bernama Van Bill Hiejn.
Pemuda ini dikirim oleh Raja Belanda Willem
III dari Nederland untuk memata-matai pekerja
tambang. Setelah merapat di Pelabuhan Emmahaven
(sekarang dikenal sebagai Teluk Bayur), ia langsung
menuju Sawahlunto. Ia membawa misi Raja untuk
mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang
perkembangan yang berkaitan dengan pertambangan.
Ternyata, kehadiran Van Bill Hiejn membawa
kehidupan baru bagi anak NagariSawahlunto, yang
ketika itu hidup dengan penuh kemelaratan, hina dan
nestapa. Pemuda gagah ini memiliki rasa kemanusiaan
yang luar biasa, belas kasihan kepada para pekerja
rodi, baik kepada anak nagari maupun pekerja dari
Komunitas Literasi Ombilin | 85

negeri seberang. Para pekerja memanggilnya Oom Bill


Hiejn.
Jika surya memancarkan sinarnya, Oom Bill Hiejn
tak lupa menyebarkan senyumnya dan menyapa ramah
para pekerja. Terkadang ia memberi sesuatu kepada
pekerja tambang dari saku baju atau celananya. Ada-
ada saja yang ada di sakunya, seperti de sigaar (cerutu),
de chocolade (cokelat), de pinda (kacang), dan makanan
kecil lain ala Eropa.
Sebagai mata-mata Raja, Van Bill Hiejn tidak
saja bekerja sebagai amtenar, tetapi terkadang ia juga
menjelma sebagai guru bahasa Belanda bagi anak-anak
pekerja tambang. Terkadang Van Bill Hiejn menjadi
teman bermain mereka. Tak jarang ia memberi de
chocoladekepada siapa saja yang ia suka.Kebaikan hati
Van Bill Hiejn sungguh menjadi obat penawar duka
bagi anak bangsa yang hidup dalam penderitaan.
“Selamat pagi, Oom Billin,” sapa anak-anak.
“Goedemorgen, selamat vagee,” jawab Bill Hiejn
dengan senyumnya.
Mulanya telinga Bill Hiejn agak geli mendengar
anak-anak menyapa dirinya dengan Oom Billin.
Namun, setelah dipahami Van Bill Hiejn jadi mengerti
karena lidah anak-anak nagari sulit melafalkan kata
dalam bahasa Belanda. Jadilah Bill Hiejn menjadi Bill
Hin, lama-lama menjadi Billin. Sejak saat itu, nama
Oom Billin menjadi akrab di telinga masyarakat
Sawahlunto.
Pada suatu hari, terjadi musibah besar. Galian
tambang batu bara yang berbentuk terowongan yang
86 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

dalam itu tiba-tiba runtuh. Van Bill Hiejn terkejut


mendengar berita itu. Ia segera menuju lokasi untuk
mencari informasi dan mengetahui peristiwa yang
sebenarnya.
Dengan rasa perikemanusiaan yang tinggi,
ia mengerahkan segala kemampuannya untuk
menyelamatkan para pekerja tambang yang terjebak
dalam terowongan. Ia bersama ratusan pekerja
tambang membongkar reruntuhan batu yang menutup
lubang terowongan itu. Sebagian pekerja yang terjebak
berhasil diselamatkan, sebagian lagi terkurung dalam
terowongan yang gelap gulita.
Akan tetapi, menjelang akhir misi penyelamatan
itu, Van Bill Hiejn justru terjebak dalam terowongan.
Ia bersama pekerja tambang lainnya tak bisa keluar
akibat runtuhan susulan. Suara jeritan pilu menggema
di terowongan itu.
“Vraag om hulp!” jerit Oom Billin. Teriak minta
tolong menggema berulang-ulang.
Namun, apa mau dikata? Malang tak dapat
ditolak mujur tak dapat diraih, Van Bill Hiejn tidak
bisa diselamatkan. Ia terkubur hidup-hidup bersama
ratusan pekerja tambang lainnya. Oom Billin akhirnya
dinyatakan meninggal dunia.
Sejak saat itu, pemerintah Hindia Belanda
memberi nama “Tambang Batu Bara Ombilin” sebagai
bentuk penghormatan kepada Van Bill Hiejn atau
Oom Billin. (*)
Komunitas Literasi Ombilin | 87

Biodata:
Bungsu dari tujuh bersaudara ini dilahirkan sebagai
Rita Ariani, di Pringsewu, pada 27 Mei 1979. Anak
dari pasangan Musnimar Musa dan Amir Sutan
Sati ini, menghabiskan masa kecilnya di Lampung
sebagai perantau. Setelah tamat SMA, ia pulang
bersama orangtuanya ke kampung halaman di Nagari
Sungaitanang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Guru SD IT Insan Kamil Bukittinggi ini, pernah
mengenyam pendidikan Strata satu di Universitas
Negeri Padang, pada Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD), dan berhak menyandang
gelar Sarjana Pendidikan. Wanita mungil yang
hobi membaca cerita detektif ini, memiliki falsafah
hidup “Manjadda Wajadda”, siapa yang bersungguh-
sungguh, maka ia akan berhasil. Ia tak pernah
menyerah menaklukkan hati anak didiknya untuk
selalu belajar dan beribadah. Ia juga selalu membuka
diri untuk menerima kritik dan saran dari pihak
mana saja untuk memperbaiki kualitas anak
didiknya. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan
membagi No. Handphone-nya 081363106767.
Inyiak Balang
Lubuak Simalukuik di
Kampung Teleng
Melia Rosalinda

L olongan anjing di malam itu terasa mencekam dan


membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya
menjadi berdiri. Mencekam dan seperti ada aura
mistis di setiap lolongannya.
Saling bersahutan dari ujung bukit ke bukit
seberang karena Kota Sawahlunto dikelilingi bukit
bagaikan kuali, dengan pusat kota berada di tengahnya.
Lubuak Simalukuik adalah bagian dari
Kampung Teleng yang sekarang berada bawah
naungan wilayah Kelurahan Pasar, Kecamatan Lembah
Segar di Kota Sawahlunto.
Pada saat ini, tak banyak masyarakat yang tahu
tentang daerah Lubuak Simalukuik ini.
Hanya orang-orang sepuh dan tokoh masyarakat
Komunitas Literasi Ombilin | 89

yang lahir sebelum tahun ’45, jauh sebelum masa


kemerdekaan, yang masih ingat dan menyimpan
kenangan tentang sebuah tempat milik keluarga
turun-temurun, menyimpan kisah misteri tentang
keberadaan inyiakbalang¹ yang berada di Lubuak
Simalukuik, Kampung Teleng.
Pada zaman penjajahan Belanda, konon
ceritanya Angku Lareh² yang memimpin daerah di
Desa Kubang dan wilayah Lubuak Simalukuik adalah
bagian dari Desa Kubang dengan rumah adatnya yang
berlokasi di daerah Lontiak Maloweh.
Menurut kabar, Angku Lareh adalah seorang
pemimpin wilayah Desa Kubang dan tokoh yang
punya banyak ilmu sakti. Dia punya akuan³ yang
selalu melindunginya dan juga memelihara inyiak
balang yang setia mengikutinya ke mana pun dia pergi.
Menjaganya dari perampok dan tentara Belanda yang
selalu ingin menangkapnya.
“Suri, mana baju hitam yang aku pakai kemarin?“
tanya Angku Lareh kepada istrinya setelah tak
ditemukannya baju itu di balik pintu. Baju itu
baju kebesarannya sebagai Angku Lareh. Rupanya
baju itu dibawa oleh inyiak balang, harimau yang
menjaganya.
“Tidak tahu, Angku,“ jawab Suri.
“Mungkin Angku lupa membawanya dari sasaran
silat di Padang Elok,” tambahnya.
Penduduk mengenal Angku Lareh sebagai guru
silat yang disegani pada masa itu.
Nama beliau yang sebenarnya adalah Haji Salim.
90 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Beliau salah satu tokoh pejuang kemerdekaan dari


Desa Kubang. Kalau baju itu ada pada inyiakbalang,
berarti ada bahaya yang akan menimpa mereka
ataupun keluarganya.
Angku Lareh sangat disegani dan ditakuti oleh
para pejuang lainnya dan juga para penjajah yang
menguasai tambang batu bara di Kota Sawahlunto.

***

Malam itu di tengah hujan gerimis yang turun


sejak sore terlihat beberapa sosok mengendap-endap
di belakang rumah Angku Lareh. Mereka berpakaian
hitam dengan pisau dan tongkat kayu, juga ada
gadubang⁴ di tangannya mereka masing-masing.
Senter yang tadinya diarahkan ke tanah tiba-
tiba dimatikan, lalu terdengar suara burung hantu,
yang merupakan isyarat bagi mereka untuk segera
menyerang masuk ke dalam rumah Angku Lareh yang
berada di wilayah Lubuak Simalukuik.
Terdengar jeritan tertahan dari salah seorang laki-
laki yang mencoba masuk dengan mencungkil pintu
bagian belakang rumah itu. Dia jatuh tergeletak,
menggelepar bersimbah darah. Lalu dua senter
besar yang bersinar dalam gelapnya malam beralih
ke samping rumah dan tak lama terdengar lagi suara
seperti benda berat yang terjatuh di tanah disertai
rintihan kesakitan. Dari kejauhan suara anjing
melolong bersahut-sahutan, ditambah suara jangkrik
yang membuat suasana terasa tidak nyaman. Para
Komunitas Literasi Ombilin | 91

penyusup berpakaian hitam itu tak satu pun yang


selamat. Semuanya tewas secara mengenaskan.
Inyiak balang menancapkan taringnya tepat di
leher para penyusup itu, hingga mereka terkapar
berlumuran darah, mata terbeliak dan nyawa mereka
melayang seketika. Mereka adalah suruhan tentara
Belanda untuk membunuh Angku Lareh yang
dianggap tidak patuh kepada Belanda karena turut
berjuang bersama rakyat dari penjajahan Belanda.
Angku Lareh beserta keluarganya telah di­
selamatkan oleh si inyiak balang, yang konon adalah
pengikut setianya.

***

Dekat pintu gua di kaki bukit yang jarang dilalui


oleh manusia, seekor harimau betina terbaring dengan
tubuh luka bekas tembakan. Sekitar tiga peluru
bersarang di tubuhnya. Luka paling parah ada di perut
sebelah kirinya, yang tidak berhenti mengeluarkan
darah. Tak ada kegarangan dari si harimau sama sekali.
Di dekat tubuhnya yang kian melemah karena
kehabisan darah, sepasang harimau kecil memandang
dan menjilati tubuh induknya itu dan sesekali
menggeram lirih, mungkin karena rasa haus dan lapar
yang dirasakan mereka.
Angku Lareh merasa ada yang tidak lazim ketika
burung gagak terbang berputar di dekat gua yang ia
tahu angker dan jarang dilalui manusia. Juga terdengar
suara dengungan lalat hijau di sekitar tempat itu
membuatnya penasaran.
92 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Dalam tiga ayunan langkah, Angku Lareh sudah


berada di dekat gua dan melihat seekor harimau
betina yang sekarat bersama dua anaknya. Tanpa
ragu-ragu dengan segera dihampirinya harimau itu.
Dia mendapatkan si harimau terluka parah sedangkan
dua anaknya kehausan dan kelaparan.
Harimau itu mengaum seperti rintihan meminta
pertolongan. Dengan segera dikeluarkannya tabung
bambu berisi air minum yang dibawanya dari rumah
tadi. Diusapnya kepala harimau itu dan diberikannya
seteguk demi seteguk air ke mulut harimau betina itu
dan juga kepada dua anaknya.
Tatapan inyiak balang itu sepertinya memohon
untuk menyelamatkannya serta dua anaknya.
Mengiba dan tidak berdaya dia mengaum, tetapi
nyaris tak terdengar karena luka parah yang
dideritanya membuatnya lemah. Walau tak ada
kata, tetapi yang pasti mereka sudah menjalin rasa
persaudaraan. Ada kesepakatan yang terjalin untuk
saling menjaga di antara mereka. Dengan kekuatan
yang ada, Angku Lareh membopong induk harimau
itu dan membawanya masuk ke dalam gua, diikuti
oleh kedua anak harimau. Dibaringkannya perlahan
dan dengan hati-hati dibersihkannya darah dan luka
akibat tembakan di tubuh harimau itu.
Angku Lareh dengan ilmu batin yang dimilikinya
mencabut peluru yang masih bersarang di tubuh si
harimau dan menotok uratnya untuk menghentikan
pendarahan yang terjadi. Anak-anak harimau me­
Komunitas Literasi Ombilin | 93

mandang ibunya dan sesekali mengaum serta menjilati


bulu ibunya yang masih basah oleh darah.
Berminggu-minggu lamanya Angku Lareh bolak-
balik berkunjung ke gua membawa makanan dan
obat-obatan untuk ketiga harimau itu. Tak ada rasa
takut akan dimakan, yang ada hanya belas kasihan
ingin menolong. Pada minggu keempat, kondisi induk
harimau itu sudah membaik. Bisa berjalan mengitari
gua walau masih sempoyongan. Angku Lareh tetap
berkunjung ke gua mereka, menjadi sahabat yang
berbeda dunia.
Tahun berganti tahun, jalinan persaudaraan
antara Angku Lareh dan harimau yang biasa disebut
inyiak balang terjalin turun-temurun. Sebagai ucapan
terima kasihnya, harimau-harimau itu selalu menjaga
Angku Lareh beserta keluarganya. Mereka menjaga
dan melindungi setiap waktu dengan apa yang mereka
punya.
Sampai saat ini inyiak balang Lubuak Simalukuik
di Kampung Teleng itu tetap ada dan bukan rahasia
lagi karena mereka juga sering menampakkan diri
di rumah para cucu-cucu dari Angku Lareh. Tidak
ada masyarakat yang takut bertemu dengan mereka
karena sudah terbiasa.
Keluarga besar Angku Lareh turun-temurun
sering bertemu dan ditemui oleh si inyiak balang
walaupun kadang mereka yang telah lama hidup di
kota lain merasa aneh terhadap harimau yang sering
mendatangi rumah di kampung mereka di Lubuak
Simalukuik, Kampung Teleng di Kota Sawahlunto.
94 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Demikianlah cerita keluarga Angku Lareh dan


inyiak balang Lubuak Simalukuik di Kampung Teleng.
(*)

Catatan:
¹ Inyiak balang: sebutan untuk seekor harimau.
² Orang yang memiliki kekuasaan di Desa.
³ Makhluk halus sebangsa jin.
4
Gadubang: parang.

Biodata:
Melia Rosalinda. Lebih dikenal dengan panggilan
selebritasnya Tek Saleha di dunia maya. Kelahiran
Sawahlunto. Berusia 54 tahun bersama seorang
suami didampingi oleh dua orang putra-putri yang
telah dewasa. Dapat dihubungi di 0813 6370 6506.
Si Ikan Kalang
Ummu Hasan

Sawahlunto, 1920
Lima tahun mendekam dalam penjara Sungai
Durian bukanlah hal mudah. Selama itu pula tubuhku
terpasung oleh belenggu berupa rantai besi yang
suaranya selalu gemerincing ketika dibawa bergerak.
Bukan kemauanku berada di tempat pembuangan ini.
Jika saja bukan demi harga diri keluarga, tak mungkin
kuhilangkan nyawa seorang morsase Belanda di
pinggir tegalan suatu petang di Purworejo. Darahnya
menggenangi tanah sementara kawanan gagak riuh
menari di atas kepala, menyoraki keberanianku.
Aku puas! Namun, setelah itu ketuk palu hakim
mengharuskanku membayar semuanya dengan
penderitaan sebagai orang rantai di Sawahlunto.
Setelah bebas dari penjara, aku pun memutuskan
untuk menetap di kota tambang ini dengan berbagai
pertimbangan. Selanjutnya, aku mulai bekerja sebagai
masinis lori batu bara dan bertemu jodoh dengan
96 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Ratmini. Kami tinggal di gubuk mungil bersama


puluhan pekerja tambang lain di Pelan Karang Anyar.
Sejak tinggal dan bekerja di sana, aku mendapat
kawan sekaligus tetangga dekat. Kang Karjo namanya.
Dia pula yang mengajariku banyak hal baru. Bukan
cuma soal pekerjaan, tetapi juga yang lainnya.
Tentang tayuban setiap malam Minggu di Lapangan
Segitiga, tentang trik memenangkan judi kartu, juga
cara menyiasati perut kosong saat gaji sebagai buruh
belum keluar, yaitu dengan memancing ikan di Kali
Item.
“Pelan Karang Anyar sudah semakin ramai, Min.
makin banyak orang memilih tinggal di sini. Kurasa
sudah saatnya kita cari daerah baru untuk hunian,”
kata Kang Karjo suatu saat ketika kami membakar dua
ekor ikan kalang di tepi kali.
“Iya, Kang, tetapi ke mana kita harus pindah?
Lagi pula apa Belanda akan setuju?”
“Sepertinya daerah sepanjang Kali Item ini bisa jadi
pilihan. Kita akan jadi orang pertama yang tinggal di
sini. Kamu lihat, daerah ini sangat mendukung untuk
jadi hunian. Ada sumber air dan juga rumah sakit di
seberangnya. Kudengar Belanda pun berencana akan
membuat jalan dari sini menuju pembangkit listrik di
Desa Salak itu. Dan yang terpenting, kita tidak perlu
jauh-jauh berjalan kaki dari Pelan Karang Anyar kalau
mau memancing ikan kalang!” Kang Karjo tersenyum
lebar lalu menggigit ikan kalang bakarnya.
Khusus mengenai si ikan kalang, ia adalah ikan
endemik sungai sini. Bentuknya menyerupai ikan
Komunitas Literasi Ombilin | 97

gabus dengan sisik berwarna hitam keabu-abuan.


Dagingnya yang kenyal amat digemari banyak orang.
Sayangnya, jumlah ikan ini tidaklah banyak alias
sudah mulai langka. Tak ayal, jika bisa mendapat ikan
lezat ini rasanya sudah seperti menang undian seratus
gulden saja.
Kang Karjo lantas menyampaikan idenya ke
Mandor Suro sebagai yang dituakan di lokasi tambang
ini dan beliau menyetujuinya. Tentu saja setelah
melakukan lobi-lobi dengan Belanda. Satu per satu
warga Pelan Karang Anyar mulai memadati daerah
pinggiran Kali Item hingga suatu hari Kang Karjo yang
dipilih Mandor Suro untuk menjadi ketua kampung
merasa gusar. Tak lain tak bukan karena semenjak
daerah ini ramai penduduk, hasil tangkapan ikan
kalangnya otomatis makin berkurang.
Lambat laun, ikan kalang semakin langka. Tak
jarang Kang Karjo pulang memancing dengan tangan
hampa. Kalaupun terpaksa, ikan baung atau ikan
gariang tangkapannya yang akan dimasak. Mungkin
memang sampai di sini nasib dan keberadaan ikan
kalang kegemarannya.
Suatu hari, Meneer Pieter Van Boer berpatroli
mengunjungi lokasi hunian baru para pekerja
tambang. Mandor Suro juga turut serta mengiringi
direktur Ombilinmijnen[1]. Bule berpakaian beskap
putih itu ingin memastikan bahwa kampung baru ini
aman dihuni dan tidak akan mengganggu jalannya
aktivitas penambangan.
98 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Sesuai arahan Mandor Suro sebelumnya, Kang


Karjo mengumpulkan para penduduk kampung di
rumah tinggi--demikian para penduduk menyebut
bangunan rumah sakit bergaya arsitektur Belanda
ini. Sebagian berbisik-bisik penasaran kenapa mereka
diminta datang oleh Kang Karjo. Sebagian yang lain
diam menyimak keadaan.
“Mandor.” Suara Meneer Pieter memecah suasana.
“Ja, Meneer.”
“Ik² rasa daerah ini cukup memadai jadi kampung
baru. Apa nama kampung ini, Mandor?»
Mandor Suro melayangkan pandangan ke arah
Kang Karjo. Memintanya untuk menjawab pertanyaan
si Meneer. Lelaki berperawakan jangkung itu dengan
ragu mendekat ke arah Meneer dan Mandor Suro.
“Maaf, Meneer, kampung ini belum ada nama.”
“Wat?[3] Belum ada nama!”
Si Meneer mendengkus kesal. Sementara semua
yang hadir dalam rapat itu tak ada yang berani
menjawab.
“Mandor, jij[4] tahu, ik harus bikin laporan ke
atasan ik di Sijunjung untuk buat afdeling[5] kampung
ini. Laporan itu nanti juga mesti kasih lihat gubernur
jenderal di Batavia. Apa mau ik bilang, hah? Ik
tidak mau tahu. Cepat putuskan sama je, apa nama
kampung ini atau kalian ik suruh kembali ke kampung
Pelan Karang Anyar!”
Sontak memucat seluruh pribumi di sana.
Tak menyangka si Meneer akan murka. Kang Karjo
Komunitas Literasi Ombilin | 99

menatapku lemas. Agaknya ia benar-benar buntu kali


ini.
Dengan memberanikan diri, aku pun mulai
bersuara di tengah suasana yang menegangkan.
“Maaf, Meneer Pieter. Maaf, Mandor Suro. Ini hanya
sekadar usul dari saya. Bagaimana jika kampung ini
diberi nama seperti nama ikan kalang yang hanya
hidup di Kali Item? Kampung Kalang.”
Meneer Pieter, Mandor Suro dan Kang Karjo saling
berpandangan. “Bagaimana sedulur? Apa kalian juga
setuju dengan usul Parmin?” tanya Mandor Suro
kemudian ke arah hadirin.
“Setuju!” hadirin pun menjawab serempak karena
memang tidak ada usulan lain yang lebih baik.
Maka sejak saat itulah kampung pinggir Kali Item
ini disebut Kampung Kalang yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Desa Sikalang oleh masyarakat
Sawahlunto hingga sekarang. Walaupun ikan kalang
sudah punah, setidaknya ia akan tetap dikenang lewat
nama Sikalang ini. (*)

Catatan:
[1] Ombilinmijnen: tambang batu bara Ombilin
[2] Ik: saya
[3] Wat: apa
[4] Jij: kamu
[5] Afdeling: surat perjanjian wilayah perbatasan
100 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Perempuan kelahiran Surabaya, 39 tahun lalu ini
kerap disapa Ummu Hasan di media sosial. Karyanya
antara lain novel Romansa Senja dan beberapa
antologi. Tulisannya selain dimuat di Komunitas
Bisa Menulis, juga menghiasi wall Facebook. Tinggal
lama di Sawahlunto membuat kota ini seperti tanah
air kedua baginya dan selalu jadi inspirasi tulisan,
di antaranya adalah Mata Rantai (versi cerpen,
Kementerian Pendidikan Dinas Cagar Budaya dan
Permuseuman, Jakarta 2019), Mata Rantai versi
cerbung KBM, Novel Jebakan Mertua (duet dengan
Desi Kirana Aza, Biru Magenta 2019), cerpen
Bayangan di Gudang Ransum, Alek Baburu dan Dai Si
Mar (Aksara di Ranah Bundo, Karos Publ, 2019).
Penikmat prosa dan puisi juga ibu dari empat anak
ini kini menetap di Thailand. Dapat dihubungi
melalui WA +62 87865916089 dan Fb/ Messenger
UmmuHasan Anita.
Inyiak Puncak
Polan
Tuti Yuliana, S.Pd.I., S.Pd.

S ebelum sampai kepada cerita tentang Inyiak Puncak


Polan, setidaknya kita wajib mengenal terlebih dahulu
asal-usul nama Puncak Polan. Sebelumnya penulis
telah melakukan wawancara pada hari Jumat, tanggal
26 Juni 2020 kepada narasumber yang bernama Bapak
Akmal Rangkayo Batuah. Beliau lahir di Kubang, 28
Juli 1942, menjabat sebagai Tuo Kampung dalam
organisasi KAN Kubang (Ketua seksi penyelesaian
Sako Pusako, Harta pusaka KAN Kubang).
Menurut ceritanya, Puncak Polan yang terletak
di Kelurahan Kubang Sirakuk Selatan ini, tepatnya
di Kubang Sirakuk Atas, dulunya dinamai dengan
Sawah Kobautuo. Daerah yang dulunya menjadi
areal perladangan dan persawahan yang dikerjakan
oleh warga Kubang. Perbukitan di Puncak Polan ini
102 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

dinamakan dengan Bukik Sugar, sedangkan puncaknya


dinamai dengan Puncak Polan.
“Puncak iyo Puncak Polan, tapi nan bukik
tetap Bukik Sugai atau Sugar,” tegas Pak Akmal
menceritakan asal-usul sejarah Bukik Sugar dan
Puncak Polan.
Nama Puncak Polan menurutnya berawal dari
kisah seorang pastor yang berkewarganegaraan
Polandia, mendaki Bukik Sugar dan mencapai puncak­
nya. Namun, tidak tahu pasti apa alasannya, ia tidak
pernah kembali setelah mendaki puncak Bukik Sugar.
Berita hilangnya pastor ini segera menyebar, sehingga
menimbulkan julukan baru untuk Puncak Sugar
yaitu Puncak Polan. Nama ini hingga sekarang masih
melekat.
Kisah hilangnya pastor tersebut banyak juga
dikaitkan oleh masyarakat sekitar dengan adanya
inyiak (sebutan untuk harimau) di Puncak Polan.
Banyak warga yang percaya, pastor tersebut dimangsa
oleh binatang buas inyiak itu. Kisah Inyiak Puncak
Polan sudah tidak lagi menjadi rahasia umum, bahkan
warga sekitar Puncak Polan, khususnya daerah
Kubang Sirakuk Atas mempercayai adanya inyiak di
Bukik Sugar atau di Puncak Polan.
Berdasarkan keterangan narasumber pada tanggal
6 Juni 2020 beliau adalah orang yang tinggal di sekitar
Bukik Sugar, yang akan menceritakan kisah nyatanya
berjumpa dengan inyiak Puncak Polan. Nuraini adalah
seorang wanita yang lahir pada 6 Juni 1966. Ia tinggal
di Kubang Sirakuk Atas tepatnya di bawah kaki Bukik
Komunitas Literasi Ombilin | 103

Sugar. Ia akan menceritakan sejarah tentang Inyiak


Puncak Polan. Merinding rasanya bulu roma penulis,
baru mendengar kata inyiak saja sudah ngeri. Ditambah
lagi, ia akan menceritakan kisah yang pernah ia alami.
Semasa usianya masih SD, ia tinggal bersama
orang tua yang rumahnya terletak di bawah kaki Bukik
Sugar. Di sekitar rumahnya masih kental dengan
suasana hutan dan masih banyak semak belukar. Ayah
Nuraini yang bernama Midun, waktu itu memelihara
hewan ternak sapi. Sapi dipelihara karena sangat
mudah mencari makanannya di sekitar rumah.
Kisah tentang penampakan Inyiak Puncak Polan
dimulai. Ketika itu waktu magrib hampir tiba.
Tiba-tiba Nuraini dan ayahnya mendengar auman
inyiak yang mengerikan dan khas. Ia dan ayahnya
langsung keluar rumah dan pandangan mata mereka
tertuju pada kandang sapi yang terletak tak jauh
dari rumahnya. Tepatnya di depan rumah yang letak
kandangnya sedikit lebih tinggi dari rumah di lereng
perbukitan Sugar.
Kaget bukan kepalang, Nuraini yang waktu
itu masih berusia SD berdiri ketakutan di samping
ayahnya. Belum berani ia beranjak karena ngeri
melihat inyiak yang menggigit leher sapinya. Inyiak
itu bahkan menggotong sapi tersebut ke atas Bukik
Sugar dengan berjalan menggunakan dua kakinya,
dan dua kaki lainnya memegang badan sapi yang
ia gigit. Bisa dibayangkan bagaimana kengerian
peristiwa itu. Mendengar ceritanya saja sudah ngilu
dan menyeramkan.
104 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Ayah Nuraini yang begitu berani, berusaha


mengejar inyiak itu sambil membawa parang.
“Apo salah jawi den, mangakaobaok jawi den.”
Itulah kata-kata yang keluar dari ayah Nuraini.
Kalimat itu diceritakan kembali oleh sang anak,
Nuraini, kepada penulis. Setelah ayahnya mengejar,
dan melontarkan kalimat itu, tak selang berapa lama
inyiak melihat ke arah Pak Midun dengan tatapan
marah. Inyiak itu melemparkan dengan kuat sapi
yang ia pikul tadi ke arah bawah kembali. Inyiak pun
bergegas meninggalkan tempat kejadian itu.
Tanpa meninggalkan jejak, ia begitu saja
menghilang setelah melemparkan sapi yang sempat
ia pikul dengan kakinya. Itulah cerita Nuraini. Ia
berkisah bahwa sapi yang dilemparkan tadi masih
hidup, meski sekarat. Ayahnya sempat memotong
leher sapi itu supaya bisa dimanfaatkan dan tidak
merugi karena sapinya mati sia-sia.
Kejadian itu berkembang di masyarakat sekitar
Bukik Sugar, bahwa munculnya inyiak di sekitar
tempat tinggal mereka menandakan ada telah
terjadi suatu hal yang melanggar norma masyarakat.
Kebetulan atau tidak, anggapan masyarakat itu
terbukti. Selang beberapa hari setelah kejadian inyiak
yang menampakkan diri itu, terbongkar sebuah
rahasia. Salah satu warga sekitar Bukik Sugar atau
Puncak Polan terbukti telah berbuat yang tidak pantas
kepada gadis lain, padahal ia adalah laki-laki yang
sudah memiliki istri.
Komunitas Literasi Ombilin | 105

Kejadian inyiak yang menyambangi dan me­


nampakkan diri kepada warga Bukik Sugar atau
Puncak Polan, bukan yang pertama kali. Nuraini
juga berkisah bahwa dahulu ada sekelompok remaja
yang melakukan kemah di atas Puncak Polan. Sebagai
muda-mudi yang berkemah pada umumnya, mereka
awalnya begitu gembira menikmati indahnya malam
di Puncak Polan. Namun, mereka terkejut setelah
seluruh anggota kemah dilempar dengan pasir. Hal
yang ganjil dan tidak mungkin itu terjadi karena
keisengan salah seorang dari mereka atau orang lain.
Begitu takutnya sekelompok muda-mudi itu, tanpa
pikir panjang langsung mengemas semua peralatannya
dan turun dari Puncak Polan dengan segera. Mereka
meyakini hal itu dilakukan oleh inyiak Puncak Polan,
yang awalnya mereka anggap hanya takhayul. Benar
saja setelah mereka mengalaminya sendiri, mereka
percaya bahwa kemunculan inyiak adalah teguran
kepada mereka karena telah sombong dan berbuat
sesukanya di tanah itu.
Demikianlah cerita Inyiak Puncak Polan yang
dianggap masyarakat sekitar ada. Percaya atau tidak,
ketika inyiakmenampakkan dirinya, berarti di daerah
sekitar telah terjadi suatu hal yang melanggar norma
masyarakat, dan inyiak datang untuk mengingatkan
tanpa mencelakai orang-orang yang ada di sekitar.(*)

Biodata:
Memiliki nama Lengkap Tuti Yuliana, S.Pd.I., S.Pd.
Seorang Guru dan juga seorang istri sekaligus ibu
106 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

dari Azka Nararya Zia dan Razanna Tsurayya Nuha.


Lahir di Kotabumi pada 10 Juli 1987. Menulis
merupakan kegiatan yang digemari. Karya yang
dihasilkan yaitu buku dengan judul The Amazing of
Kota Arang, Kupetik HikmahMu dan Demam Pentigraf.
Merupakan judul buku karangan penulis yang
jumlahnya tak banyak. Setidaknya kedepan bisa
segera melahirkan karya baru kembali.
Hikayat Bujang Juaro dan
Kawanan Ciling
Arif P. Putra

I a tebas semak Bukit Aua Surantih menuju jalan


ke Solok, menapaki jejak ciling yang lari setelah
memorakporandakan ladang ubinya. Tidak ia pikirkan
jalanan yang rimba, lenguh harimau yang mungkin
sewaktu-waktu bisa saja memangsa. Itu akan menjadi
kematian yang menyedihkan, alih-alih mengejar
mangsa malah dijadikan mangsa. Namun, berangnya
sudah tak dapat ditahan. Ia siapkan bekal seadanya
untuk mengejar gerombolan ciling menuju arah Bukit
Aua dan mungkin akan menembus Hutan Langgai
menuju Solok.
Perjalanan panjang itu telah dimulai oleh Bujang
Juaro menuju Bukit Aua, sejak beberapa kali ladang
ubinya dirusak kawanan ciling. Kata seorang peladang,
gerombolan ciling itu berasal dari balik Bukit Aua dan
itu berada di Solok. Tidak ia pikirkan lagi, ia ikuti
108 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

jejak ciling dengan seekor anjing kumbang yang biasa


ia gunakan untuk berburu. Sewaktu ciling menghabisi
ladang ubi, anjing kumbang miliknya tidak dapat
berbuat banyak karena rombongan ciling itu begitu
ganas, sampai menyondang si anjing dan membuatnya
berguling turun gunung. Bujang Juaro tahu anjing itu
bakal ketakutan kalau berhadapan lagi dengan ciling,
tetapi karena ada tuannya, pastilah anjing akan berani
kembali kalau sudah bertemu dengan kawanan ciling.
Berhari-hari Bujang Juaro menaiki dan menuruni
bukit, sehingga sampai ia di salah satu kampung. Ia
tanyai di mana bukit yang biasanya dijadikan warga
berburu ciling. Tujuan Juaro waktu itu supaya tidak
ada yang curiga dengannya, lantaran masyarakat
setempat terlihat waspada atas kehadirannya. Bujang
cemas bila warga mencurigai ia sebagai seseorang
yang jahat, bisa gagal ia melepaskan berang kepada
kawanan ciling.
Selepas dari kampung tersebut, sampailah ia di
Silungkang. Di sana ia menginap di rumah seorang
peladang yang ia temui di perjalanan turun bukit.
Ia sebutkan kedatangannya sebagai peladang yang
hendak mencari pekerjaan ke Ombilin. Ia katakan
bahwa ia mendapat kabar di sana sedang dicari pekerja
sebagai tukang tambang. Sesampainya di rumah
peladang tadi, Bujang Juaro mengatakan bahwa ada
kampung di balik bukit sebelum sampai Silungkang,
yang sontak membuat peladang tadi terkejut.
“Wah, Silungkang merupakan kampung pertama
di daerah Solok. Di bukit itu, setahu saya tidak ada
kampung lagi,” katanya.
Komunitas Literasi Ombilin | 109

“Saya menemukan kampung di sana, Pak, dan


orang-orang itu nyata. Memang, sih, agak pendek-
pendek.” ujar Bujang Juaro kepada peladang.
“Itu bukan kampung kali, mungkin saja kampung
orang bunian.”
Mendapati cerita demikian, merinding bulu kuduk
Juaro mendengarnya. Diceritakan oleh peladang
tentang kampung orang bunian, juga tentang mitos
gerombolan ciling yang biasanya berkeliaran. Ladang
ia juga pernah disatroni kawanan ciling tersebut,
tetapi nahas, tiap dipasang jerat tidak pernah ada
yang terperangkap.
“Benar, Pak, ladang saya juga begitu. Padahal
sudah saya pasang jerat di sekeliling, tetapi tidak
pernah ada yang terperangkap. Saya tidak tahu lagi
bagaimana cara mereka masuk ladang.” Mendengar
cerita Juaro, peladang tadi langsung menyuruh dia
untuk tidur. “Besok coba saya tanya kepala kampung,
jalan menuju ke Ombilin.”

***

Berangkatlah Bujang Juaro menuju Muaro Kalaban,


tempat cerita Tanjuang Ampalu yang dikabarkan oleh
kepala kampung Silungkang. Katanya, di sana ada
pedati yang tiap hari pulang pergi menuju Ombilin
mengangkut beras. Kalau nasib baik, pedati tersebut
juga bisa ditumpangi. Jika harus berjalan kaki menuju
Ombilin, akan memakan waktu berhari-hari. Ia
lewati kembali bukit-bukit dan hulu sungai di daerah
tersebut, mengingat nama kampung Muaro Kalaban
110 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

sebagai tujuan berikutnya. Kalau tidak bertemu juga


kubangan ciling, maka harus dilanjutkan ke kampung
berikutnya. Di Muaro Kalaban ia berinisiatif tinggal
agak lama, mencari pekerjaan untuk bekal perjalanan.
Sudah sebulan lebih dia di sana, telah ikut pula
berburu dengan masyarakat setempat. Namun, tiap
Juaro pergi berburu, tiap itu pula ciling tak pernah
tampak. Kejaran anjing pencari selalu putus di tengah
rimba, tidak ada yang sampai rebah. Maka dicoba
pula oleh Bujang Juaro tidak pergi berburu, malah
merebahkan banyak ciling. Bujang Juaro berpikir
anjing kumbangnya membawa sial, lalu ia coba
menjual anjing tersebut kepada seorang pemburu,
tetapi tidak satu pun orang yang mau memulangkan
upah makan si kumbang. Pemburu beralasan bahwa
anjing kumbang milik Juaro terlalu kecil untuk
dijadikan anjing pemburu.
Anjing kampung dari Surantih itu tidak jadi
dijual oleh Bujang Juaro. Sebagai anjing kampung,
si kumbang termasuk anjing yang patuh—juga bagak
kepada ciling. Cuma karena ukurannya yang kecil, ia
tidak terlalu mencolok dibandingkan anjing pemburu
lainnya. Maka tetap dipelihara oleh Bujang Juaro
anjing kumbang itu. Ia putuskan tidak akan menjual
anjing tersebut apa pun situasinya, terlebih lagi anjing
kumbang itu sering menjadi penjaga Bujang sewaktu
di rimba. Menghalau ular, beruk, kera dan binatang
lainnya.
Setelah berbulan-bulan Juaro tinggal di Muaro
Kalaban, ia akhirnya mendapat jalur bagus untuk
Komunitas Literasi Ombilin | 111

menyusuri hutan menuju Ombilin. Mengapa dia


memilih Ombilin sebagai tujuan utama sejak per­
temuannya dengan peladang? Peladang men­ cerita­
kan bahwa di Ombilin ada sekelompok orang
yang memelihara puluhan ciling, guna melakukan
perusakan terhadap ladang orang yang berkuasa di
Ombilin. Masyarakat di sana dikuasai oleh orang
sipit, sebagian masyarakat lainnya disuruh kerja paksa
sebagai penambang batu bara, dan sebagian lainnya
disekap di sebuah terowongan; dirantai dan dicambuk.
Itu sebabnya saat Bujang Juaro menceritakan tentang
ciling, peladang tidak lagi menggubris ceritanya. Dia
tahu betul apa yang dialami Bujang Juaro tidak akan
menemukan hasil apa-apa, selain masuk terowongan
sebagai pekerja. Di kampung Silungkang dan Muaro
Kalaban sudah tidak menjadi rahasia lagi, tiap bulan
orang-orang ditangkap dan dibawa ke Ombilin sebagai
pekerja, yang bertahun-tahun tak pernah pulang.
Berangkatlah Bujang Juaro menuju Ombilin.
Ia tidak berhenti lagi di kampung selanjutnya. Di
bukit Sula, Bujang Juaro menginap. Rimba yang
menyimpan dingin membuat Bujang Juaro dan anjing
kumbangnya terpaksa tidur di sebuah gua. Juaro
sampai lupa membedakan antara subuh dan malam
karena halimun tak pernah beranjak dari hutan.
Pohon-pohon diselimuti awan putih, membuat
pandangan Juaro serasa masih malam saja. Maka ia
tes si kumbang untuk mengejar beruk, biar gema
salak anjing itu sampai ke luar dan Juaro bisa menerka
arah turun gunung. Namun, tak mau menyalak anjing
112 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

kumbang itu, beruk mempermainkan dia dari atas


pohon. Tak lama berselang, seorang pria menyapa
Bujang yang sedang kebingungan. Pria yang sama yang
ia temui di Silungkang. Kaget Bujang Juaro dibuatnya,
menyahutlah pria itu kepada Bujang.
“Hoi, Bujang. Masih di sini saja kau?”
Pria itu heran menatap Bujang. Bujang pun
demikian, ia kebingungan melihat kedatangan pria
yang sama di Silungkang.
“Bukankah ini sudah menuju Ombilin, Pak?
tanya Bujang Juaro. Tak sempat menjawab, pria itu
meninggalkan Bujang Juaro.
Di tengah hutan, Bujang Juaro kehilangan akal.
Ditambah pula si kumbang tak lagi mengeluarkan
suara. Beruk telah mempermainkannya. Setelah
lama duduk bermenung, ia lihat gua yang semalam
dijadikan tempat istirahat. Gua itu mengeluarkan
suara riuh, tetapi tak kunjung menampakkan wujud.
Bujang masih duduk, bermenung di sebuah pohon
rindang. Ia tidak tahu sedang di mana, Ombilin, atau
terowongan yang dimaksud peladang Singkulan.
Dia kian kebingungan, setelah tak lagi melihat
anjing kumbangnya. Bujang Juaro telah menemukan
pencariannya, meski ia tak tahu apa sebenarnya yang
ia cari; kawanan ciling atau pekerjaan yang tak sudah-
sudah. (*)
Komunitas Literasi Ombilin | 113

Biodata:
Arif P. Putra, berasal dari Surantih, Kabupaten
Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Buku tunggalnya
yang telah terbit yakni “Suara Limbubu” (JBS,
Yogyakarta 2018) dan sebuah novel “Binga” (Purata
Publishing, 2019). Pernah tergabung dalam antologi
dan nominasi 20 Cerpen terbaik lomba PCINU-
Maroko, nominasi II pada LCPA 2 ASEAN 2018
DEMA FTIK-IAIN serta antologi lainnya. Karyanya
pernah dimuat di beberapa media, seperti Suara
Merdeka, Haluan, Solopos, Rakyat Sultra, Minggu Pagi
dan lainnya.
Alkisah
Sitimbago Raya
Mahareta Iqbal Jamal

Akankah kematian menjemput malam ini? Atau esok hari?


Perang masih belum berkesudahan. Sementara
satu persatu nyawa terus berguguran. Mayat-mayat
bergelimpangan di atas tanah dengan berlumuran
darah. Yang masih tersisa berupaya untuk terus
bertahan hidup dan berharap besok adalah akhir dari
segala mimpi buruk. Hari-hari kian terasa cekam.
Malam makin membuat tubuh disayat dingin. Demam
sepanjang malam, desir darah berkecipak di dada
semua orang.
Sementara itu, wilayah kekuasaan mulai me­
nunjukkan tanda-tanda kehancuran. Gersang dan
panas. Takut dan cemas. Namun, hasrat untuk
mempertahankan masihlah belum hilang dari badan.
“Bagaimanapun juga, kita harus tetap mem­
pertahankan wilayah kita.” Sang raja terus memberikan
Komunitas Literasi Ombilin | 115

semangat kepada para tentara. “Jangan biarkan raja


Silungkang yang tamak itu merebut Lunto dari tangan
kita. Seraaaaaang!”
Tentara yang tersisa tidak punya pilihan selain
terus berperang melawan para tentara Kerajaan
Silungkang. Tak satupun di antara mereka yang
balik kanan saat pertempuran. Bendera peperangan
masih terus berkibar di udara. Tak ada tanda-tanda
menyerah dari salah satu pihak atau bersepakat untuk
gencatan senjata. Bayang-bayang kematian kini seolah
berjarak sejengkal dari kepala sang raja. Pikirannya
terbang entah kemana. Satu-satunya cara untuk tetap
bertahan adalah melawan!
Dalam suasana hati yang kalut, pikiran sang raja
terlempar pada saat-saat awal mula ia mendirikan
kerajaan yang ia cintai ini. Kerajaan yang kemudian ia
beri nama Kerajaan Sitimbago Raya.

***

Pada zaman dahulu di daerah bernama Lunto,


berdirilah sebuah kerajaan bernama Sitimbago Raya.
Sang raja yang bernama Sitimbago adalah raja yang
terkenal arif dan bijaksana. Rakyat kerajaan Sitimbago
Raya hidupberkecukupan. Wilayahnya subur, kaya
akan sumber daya alam. Sang raja begitu mencintai
rakyatnya. Rakyat pun patuh serta hormat kepada
sang raja. Kemesraan sang raja dan rakyat sehingga
hidup mereka tenteram dan damai membuat orang-
orang dari kerajaan lain sering merasa cemburu.
116 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Seorang raja tentu memiliki kewajiban untuk


melindungi rakyatnya. Hingga pada suatu hari, sang
raja berkeinginan untuk membangun pertahanan
kerajaan dengan pasukan tentara yang kuat dan
tangguh. Sang raja meminta kepada rakyat untuk
bergabung menjadi tentara kerajaan. Sang raja
kemudian memerintahkan orang-orang di kerajaan
serta rakyatnya untuk berkumpul di depan istana.
“Kepada seluruh rakyat yang saya cintai. Sudah
saatnya kerajaan Sitimbago Raya, kerajaan yang
begitu kita cintai, harus memiliki tentara setangguh
baja untuk mempertahankan kerajaan kita. Kita harus
lebih kuat lagi! Jangan sampai kerajaan-kerajaan lain
berupaya merebut kekuasaan kita. Meski kita benci
pertempuran, bukan berarti kita harus berdiskusi
dengan orang-orang yang berusaha merebut wilayah
kita. Kerajaan kita kuat! Kerajaan kita adalah kerajaan
yang akan terus hidup dalam kesejahteraan!”
Semua rakyat bersorak. Tepuk tangan bergema
di udara. Gelombang kepercayaan semakin menjadi-
jadi kepada sang raja. Mereka paham bahwa keinginan
sang raja pasti bertujuan untuk kepentingan kerajaan
dan kebaikan rakyat banyak. Mereka percaya dengan
semua keputusan dan keinginan sang raja. Rakyat
terus bersorak meneriaki nama sang raja.
“Hidup Raja Sitimbago! Hidup Raja Sitimbagooo!
Hidup kerajaan Sitimbago Rayaaa!”
Sorakan perlahan berhenti ketika sang raja
mengangkat tangan kanannya. Sang raja kemudian
mengakhiri pengumuman. Rakyat perlahan me­ning­
Komunitas Literasi Ombilin | 117

galkan istana untuk mempersiapkan diri guna berlatih


esok hari.
Pada hari-hari berikutnya, halaman istana
dipenuhi dengan latihan para tentara-tentara kerajaan
Sitimbago Raya. Mereka diajari berbagai ilmu seni
bela diri dan cara menggunakan alat persenjataan.
Para tentara berlatih dengan tekun sesuai perintah
dan arahan, hingga semua tentara sudah dirasa siap
bertempur jika suatu waktu kerajaan Sitimbago Raya
diserang oleh kerajaan lain.
Pada suatu pagi, teriakan seorang tentara dari
luar istana mengabarkan kepada sang Raja bahwa
kerajaan Sitimbago Raya akan diserang oleh kerajaan
Silungkang.

***

Tentara kerajaan Sitimbago Raya semakin


berkurang jumlahnya. Raja Sitimbago berada dalam
keadaan yang terdesak. Ingin rasanya sang raja
memilih untuk mundur dan menyelamatkan sisa-
sisa tentara yang masih tertinggal. Namun, melihat
tentara dari kerajaan Silungkang yang juga berkurang,
membuat Raja Sitimbago memutuskan untuk terus
berperang mempertahankan kerajaan hingga titik
darah penghabisan. Tak mungkin ia menyerah begitu
saja dan melupakan perjuangan rakyat yang rela mati
demi mempertahankan kerajaan Sitimbago Raya.
Menyerah bukanlah jalan untuk menyelesaikan
peperangan. Lebih baik mati berkalang tanah daripada
118 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

hidup berputih mata.Jika ingin perdamaian, maka


bersiaplah untuk berperang!
Darah akhirnya menetes jua dari dada yang
terluka. Derasnya serupa air mata yang mampu
membuatanak sungai pada kedua pipi. Raja Sitimbago
tersabet senjata. Pekiknya melengking hingga ke
udara. Tentara yang tersisa berusaha menyelamatkan
sang raja, membawanya menjauh dari serangan
tentara lain.
“Raja Sitimbago! Raja Sitimbago! Bertahanlah!
Kami akan menyelamatkanmu!”
Sang raja melihat seorang prajurit yang berusaha
membuka baju perangnya, lalu mengobati bagian
dadanya yang terasa perih dan sakit. Samar ia lihat
wajah prajurit tersebut. Suaranya pun terdengar sayup
seperti orang sedang berbisik pelan. Apakah ini adalah
akhir dari perjuangannya mempertahankan kerajaan
Sitimbago Raya?Akankah kematian menjemput
malam ini? Atau esok hari?
Perlahan mata sang raja mulai tertutup. Dalam
upaya berpasrah diri, sang raja melihat seseorang
berbaju putih bersih berdiri di belakang tentaranya.
Seseorang berbaju putih itu mengulurkan tangan
kepada raja Sitimbago sambil tersenyum. Raja
Sitimbago mencoba meraih tangan tersebut dan ia
berhasil.
Raja Sitimbagopergi dalam iringan isak dan
teriakan yang lengkingnya mampu membelah udara
saat itu juga.Langit tiba-tiba menjadi kelam. Hujan
deras kemudian turun, menciptakan genangan-
Komunitas Literasi Ombilin | 119

genangan air mata darah di tanah kerajaan Sitimbago


Raya.(*)

Biodata:
Mahareta Iqbal Jamal. Lahir di Padang, 11 Maret
1995. Sedang menamatkan studi di Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Bergiat di UKMF Metasinema FIB Unand dan Lab.
Pauh 9. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan esai
pernah dimuat di media cetak lokal, seperti Haluan
dan Padang Ekspres, serta media online lokal dan
nasional, seperti sumbarsatu.com, garak.id, geotimes.
co.id, infoscreening.co, mariviu.com, dan lain-lain. Saat
ini menetap dan berproses di Padang.
Pena Emas
Sang Demang
Maiyulastri,S.Pd.SD

P ada zaman dahulu setelah akhir Perang Padri,


Minangkabau dikuasai Belanda. Pemerintah Belanda
merombak struktur pemerintahan di Kabupaten
Sawahlunto/Sijunjung menjadi kelarasan-kelarasan.
Nagari Kolok, Sian Balau, Kundi, Koto Tinggi,
termasuk Kelarasan Padang Ganting. Kemudian
sistem kelarasan dihapus dan diganti dengan sistem
Demang dan Asisten Demang.
Di bawah Demang adalah Nagari Hoofd yang
lazim disebut Rakyat Angku Palo dan wilayah kerjanya
nagari-nagari. Nagari Kolok, Talawi, Sijantang, Lunto,
Kubang, Silungkang, Padang Sibusuk, Pamuatan, Batu
Manjulur, Muaro Bodi dan Palangki, termasuk Koto
Baru dan Kabun berada dalam daerah Sawahlunto
Ginri (Kademangan Sawahlunto).
Komunitas Literasi Ombilin | 121

Di suatu masa, diceritakan Kademangan


Sawahlunto dipimpin oleh seorang demang. Demang
tersebut sangatlah kaya raya dan memiliki wilayah
kekuasaan yang luas di Sawahlunto. Beliau terkenal
dengan pergaulannya yang luas, bahkan karena
sangat kayanya, demang tersebut memiliki pena yang
seluruhnya terbuat dari emas, termasuk tintanya.
Karena hal tersebut, pemerintah Belanda yang
ada di Sawahlunto langsung menunjuk beliau untuk
menjadi demang di Kademangan Sawahlunto. Hal ini
bertujuan agar pemerintah Belanda bisa bekerja sama
dengan rakyat Sawahunto. Dari bisik-bisik rakyat
sekitarnya, dikabarkan Belanda sangat berminat
untuk memiliki pena emas tersebut. Selain itu,
diyakini bahwa pena emas tersebut memilik kekuatan
tersendiri, yang membuat demang tersebut bisa tetap
bertahan dengan kekuasaannya.
Namun, demang tersebut tidak percaya begitu
saja dengan orang Belanda karena dia tahu orang
Belanda itu licik dan punya politik adu domba yang
sangat kental. Beliau sudah belajar dari sejarah,
bagaimana rakyat dipecah belah oleh orang Belanda
demi keuntungan pribadi mereka saja. Demang juga
tahu bahwa orang Belanda mengincar pena emas
miliknya tersebut.
Dalam menjalankan pemerintahannya, sang
demang selalu berusaha bertindak adil dan bijaksana.
Karena beliau tahu, betapa banyak pihak yang ingin
menggulingkan kekuasaannya, bahkan Belanda,
meskipun telah menunjuknya menjadi demang. Dia
122 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

berusaha dengan baik menjaga pena emas tersebut


agar tidak jatuh ke tangan yang salah.
Sebagai demang, banyak wanita yang tertarik
padanya. Pada zaman tersebut, memang sudah lazim
bagi seorang lelaki di Minangkabau untuk memiliki
lebih dari satu istri. Para wanita di Minangkabau
tidak keberatan untuk menjadi istri yang kedua,
ketiga, bahkan keempat. Yang penting bagi mereka,
sang lelaki berbagi kasih sayang dengan adil kepada
mereka. Apalagi bagi seorang pejabat seperti demang.
Seperti suatu keharusan untuk memiliki istri lebih
dari satu. Bagi para wanita, pesona seorang demang
begitu memikat karena ketampanan dan kekayaannya,
sehingga banyak orang tua yang menyodorkan anak
gadis mereka kepada demang untuk dijadikan Istri.
Demikian juga dengan demang tersebut yang
memiliki dua orang istri. Dari dua istri tersebut, sang
demang memiliki empat orang anak. Dua anak dari
istri pertama, laki-laki dan perempuan, serta dua dari
istri kedua, juga laki-laki dan perempuan. Anak-anak
demang tersebut memiliki karakter yang berbeda-
beda. Anak pertama laki-laki dari istri pertama sangat
pintar, sehingga disekolahkan yang tinggi oleh demang.
Sedangkan adiknya yang perempuan biasa saja, tetapi
memiliki sifat yang baik dan suka membantu bekerja
di sawah, walaupun ayahnya seorang demang. Oleh
karena itu, dia menjadi anak kesayangan demang.
Namun, karena ada suatu persoalan, akhirnya
demang dan istri pertamanya berpisah sehingga
kedua anak mereka terpaksa tinggal terpisah dengan
Komunitas Literasi Ombilin | 123

demang tersebut. Demang sangat sedih, berpisah


dengan putri kesayangannya. Namun apa daya, ibu
sang putri tidak mengizinkan putri tinggal bersama
demang.
Kehidupan sang putri tidak lagi seperti dulu,
ketika masih tinggal bersama ayahnya. Dia harus
bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sang demang memang meninggalkan harta yang
cukup bagi anak-anak dari istri pertamanya. Entah
bagaimana cara ibunya menggunakan harta tersebut
sehingga tidak bersisa sama sekali untuk sang putri.
Apalagi setelah sang ibu menikah kembali. Ibunya
sibuk dengan keluarga barunya sehingga kurang
perhatian terhadap putrinya tersebut. Sementara itu,
sang demang begitu sibuk, jarang bertemu dengan
putrinya.
Suatu hari sang putri terkejut dengan kedatangan
pengawal sang demang ke rumahnya. Si pengawal
membawa berita buruk, sang demang sedang
sakit parah. Beliau ingin berjumpa dengan putri
kesayangannya. Beliau seperti ingin menyampaikan
suatu wasiat, yang hanya boleh diketahui oleh sang
putri. Oleh karena itu, dikirimnyalah pengawal
tersebut secara rahasia tanpa diketahui siapa pun
juga.
Namun, sungguh malang ternyata nasib sang
putri. Sesampainya di kediaman sang demang,
ternyata demang sudah sekarat. Sang putri hanya
diizinkan oleh istri kedua sang demang untuk melihat
dari jauh. Sang putri hanya bisa memandang dengan
124 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

tatapan sedih kepada demang yang sedang meregang


nyawa di atas tempat tidur. Diiringi dengan doa dan
isak tangis orang-orang di sekitarnya, sang demang
mengembuskan napas terakhirnya.
Setelah proses pemakaman sang demang selesai,
si pengawal yang menjemput putri sebelumnya
mendatangi sang putri. Dia menceritakan bahwa ia
mengetahui sedikit rahasia tentang apa yang ingin
disampaikan sang demang kepada putri kesayangannya
tersebut. Sebenarnya, sang demang ingin mewariskan
pena emasnya kepada sang putri. Namun, hal itu
urung terjadi karena sang demang meninggal terlebih
dahulu, sebelum niatnya tersebut terlaksana.
Sang putri mendapat kabar dari pengawal
itu, bahwa ternyata pena emas tersebut sudah
disembunyikan oleh istri kedua sang demang. Tidak
ada seorang pun yang mengetahui di mana keberadaan
pena emas itu, bahkan sampai istri demang tersebut
meninggal, keberadaan pena emas tersebut masih
menjadi misteri. Namun, ada beberapa orang yang
menyampaikan kepada sang putri, bahwa pena emas
tersebut ada bersama anak perempuan demang yang
paling kecil dari istri keduanya.
Akan tetapi, sang putri tidak lagi menghiraukan
keberadaan pena emas tersebut. Dia sudah
mengikhlaskannya. Dia pun tidak pernah lagi berusaha
mencari keberadaan pena emas. Hanya cerita saja yang
disampaikan kepada anak cucunya, bahwa dia adalah
anak dari seorang demang yang adil dan bijaksana,
yang memiliki pena emas dengan tinta emas, sebagai
Komunitas Literasi Ombilin | 125

pengingat bagi penerusnya untuk menjaga cerita


tersebut dalam kenangan mereka selamanya.(*)

Biodata:
Maiyulastri, S.Pd.SD. Lahir di Desa Kolok Mudik
Keacamatan Barangin Kota Sawahlunto, Tanggal 17
Mei 1983. Saat ini ia bekerja sebagai Guru PNS di
SDN 03 Lubang Panjang Kecamatan Barangin Kota
Sawahlunto. Ada dua buku yang sudah ber ISBN dan
dua artikel karyanya yang terbit di koran Singgalang.
Buku pertamanya berjudul Ayo Membaca dan Menulis
Puisi (2018). Buku ini ia khususkan untuk anak-
anak SD kelas 1 dan 2. Buku kedua sebuah memoir
dengan judul dari Harau ke Sawahlunto (2019)
Lubang Hitam
Mbah Soero
Dila Ayu Arioksa

S ungai Ombilin jernih mengalir damai. Ketika matahari


di ubun-ubun kepala, airnya akan memantulkan warna
biru langit tanpa tiang. Menjadi napas kehidupan bagi
pribumi dan makhluk hidup sekitar. Tepian jalan
setapak pribumi bertatapan dengan hutan semak
belantara. Sembari angin melayang yang diiringi
nyanyian burung murai, pohon bermahkota daun
ikut menari. Begitu pun pohon kelapa milik pribumi,
menjulang kelangit, berporos ditanah yang subur dan
luhur. Mereka pribumi yang menanam, merawat, dan
memanennya dengan penuh sukacita.
Tanah kelahiran pribumi ini dikelilingi oleh
Bukit Barisan yang sambung-menyambung di desa
asri terpencil. Itulah Sawahlunto, sebuah desa tanpa
kebisingan, jauh dari masalah politik, ekonomi, dan
administrasi yang difokuskan pemerintah Hindia
Komunitas Literasi Ombilin | 127

Belanda. Sama tuanya dengan umur dunia. Nafsu yang


bergelora selalu mendesak para orang kulit putih.
Menyongsong, mencari berkelana diberbagai pelosok
negeri, dan secara gamblang melihatkan keinginan
untuk menguasai negeri ini tanpa ampun.
Tak disangka, berlian hitam di perut bumi
Sawahlunto segera diketahui oleh mereka. Ketika
ekspedisi dan eksplorasi dilakukan kawanan kulit
putih itu, mereka langsung datang berbondong-
bondong untuk memburu berlian hitam atau batubara
di Sawahlunto, supaya semua isi perut bumi tersebut
menjadi miliknya.
Pada 1 Desember 1888 pemerintah Hindia
Belanda membentuk Sawahlunto menjadi sebuah
kota. Waktu itu, negeri ini masih terombang-ambing
di peta dunia untuk merdeka. Penduduknya yang
berasal dari pegawai dan pekerja tambang. Sebagian
besar berasal dari luar Sawahlunto.
Kekurangan sumber daya manusia, menjadikan
rakyat Indonesia sebagai budak di negeri sendiri.
Mereka yang berkulit putih dengan kekuasaan
dan kehebatannya pada masa itu menjadikan Kota
Sawahlunto berdenyut tiap detik tanpa henti.
Sehingga kegiatan aktif penambangan menghidupkan
jalur transportasi ekonomi, politik, dan yang paling
berkesan untuk rakyat Indonesia hanya kesengsaraan
yang berulang.
Waktu terus berputar. Manusia pun berubah
menjadi tua dan mati. Perputaran jabatan terus
berlangsung. Sampai akhirnya Mbah Soero dibuang
128 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

dari kota kelahirannya. Mbah Soero adalah lelaki Jawa


tulen lahir pada tahun 1859. Namaaslinya Raden
Kohar. Ayahnya bernama Raden Soerowijaya atau
Samin Sepuh. Mbah Soero juga dikenal dengan nama
samaran Samin Soerontika. Wajahnya teduh, beralis
mata tebal, tatapannya tegas, dan berkulit sawo
matang. Semua orang memanggilnya “Mbah Soero”
karena dirinya ahli ilmu kebatinan.
Sebelumnya, Mbah Soero seorang pendiri dan
pelopor ajaran Samin. Kelompok Samin lahir dan
berkembang di daerah kawasan Blora, Jawa Tengah.
Setiap tahun pengikut ajaran Saminisme semakin
meningkat. Mereka menolak dengan keras untuk
membayar pajak di tanah sendiri. Akhirnya, Belanda
mulai terusik dan gelisah. Tidak hanya diam
membisu, para kawanan Belanda yang bekerja sama
dengan pribumi mendatangi rumah Mbah Soero.
“Soero, Soero!Keluar kau dari gubukmu ini!”
Mbah Soero berjalan keluar. Tanpa bergegas dan
rasa panik, Mbah Soero menjawab panggilan itu
dengan sopan.
“Ada apa Ndoro mampir ke pemondokan saya?”
tanyanya heran.
“Enggak usah banyak alasan, aku ra sudi melihat
sampean!” jawabnya marah.
Sembari Ndoro berbicara, senapan yang berpeluru
diarahkan oleh kawanan Ndoro kepada Mbah Soero.
“Di tanah Blora ini aku tak sudi kau rusak tatanan
pemerintah yang telah berlaku!” tegasnya lagi dengan
nada suara tinggi.
Komunitas Literasi Ombilin | 129

Mbah Soero menjawab bagaikan air yang


menyiram kobaran api. “Bumi ini milik kita dan
ciptaan Gusti, tak ada bedanya.”
“Aku ra suka sampean berbicara enggak karuan
itu.”
“Kalau begitu katamu, Soero, tidak ada salahnya
jika aku memindahkanmu ke daerah lain dan berjayalah
kau di sana!” perintah orang Belanda dengan terbata-
bata menggunakan bahasa Indonesia. Secara halus
ingin membuang Mbah Soero.
“Baik, bagiku bumi itu sama.” Jawaban Mbah
Soero sontak disetujui oleh pengikutnya.
Pada tahun 1908 Mbah Soero dengan pengikutnya
dipindahkan ke Sawahlunto. Mbah Soero menjadi
orang yang beruntung, sebagai pribumi yang dipercaya
dan disegani oleh Kolonial Belanda. Ia memiliki jiwa
kepemimpinan dan jujur, sehingga Mbah Soero
dinobatkan menjadi mandor pertambangan batu bara
di Kota Sawahlunto.
Selama proses penambangan berlangsung, Mbah
Soero tidak sekedar mandor. Namun, dia juga ikut
bekerja. Belacung digunakan untuk mengeluarkan
berlian hitam yang menempel di dinding lubang.
Setiap hari diayunkan Mbah Soero dan kawanan
penambang lainnya. Di dalam lubang yang lembap,
gelap, panas, dan kedap udara itu, banyak cerita dan
derita yang dialami Mbah Soero bersama penambang
lainnya. Hawa dingin yang menusuk ke tulang tiap
pagi dirasakan para penambang. Supaya tidak ada
yang kabur, kaki dan tangan penambang yang bekas
tahanan dirantai besi.
130 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Mbah Soero merasa iba kepada saudaranya


sendiri. Namun, dibalik itu hidupnya juga tergantung
si pemilik senapan berkulit putih. Para penambang
bekerja hingga mandi keringat dari ujung kepala
sampai kaki, tetapi diberi makan tak layak dan upah
yang tak masuk akal. Badan yang ringkih, memukul
kerasnya batubara, meraup tumpukan batubara, dan
menarik batubara dengan gerobak keluar lubang.
“Lebih bergegas lagi!” perintah si kulit putih
sambil menendang tubuh penambang yang lamban.
Sampai tiba saatnya waktu yang ditunggu oleh
semua orang, mereka akan diberi upeti untuk makan
anak-istri di kampung yang tak mungkin mereka
jumpai lagi. Mbah Soero memanggil para tambang
dengan menyebut nomor yang ditato di tubuh setiap
penambang.
Setelah pembagian upeti selesai, semua kembali
ke aktivitas semula. Nafsu manusia yang tak pernah
puas, selalu melakukan berbagai cara mencari
kenikmatan sesaat. Sebagian mereka berkumpul di
ruangan tertutup untuk bermain judi. Tak jarang para
penambang bertengkar hebat satu sama lain, gara-
gara kalah berjudi atau merampas uang temannya.
Suatu ketika, pria bertato 405 tidak puas dengan
upah kerja yang diterima. Akhirnya, dia merampas
uang penambang lain. Namun, penambang tato 317
menolakdan langsung meninggalkannya. Merasa
diacuhkan, emosi pria bertato 405 membara sampai
ke puncak ubun-ubun. Karena kesal dia memukul
penambang 317 sampai babak belur. Mbah Soero
datang untuk melerai pertengkaran. Namun, si kulit
Komunitas Literasi Ombilin | 131

putih menarik paksa Mbah Soerokarena bagi mereka


pertengkaran sampai mati itu adalah tontonan sejati.
Kalau ada yang mati, jasad mereka langsung dibuang
ke lubang batubara tersebut. Sangat memilukan.
Pembuangan Mbah Soero dari tanah kelahiran
dan meninggalkan keluarga di Blora, tak membuatnya
patah semangat. Kebaikan dan kejujuran Mbah Soero
sangat membekas di hati penambang batubara.
Kadangkala jika ada waktu, Mbah Soero melakukan
diskusi bersama para penambang.
“Kita mestiseng sabar karena mereka untung dan
memiskinkan negeri yang dijajah adalah hukum dan
kodratnya nasib negeri saat ini,” ucap Mbah Soero
dihadapan penambang yang berputus asa.
Selama menjadi mandor, Mbah Soero tidak lalai
dalam beribadah. Karena ketaatannya itu Mbah Soero
juga disegani oleh penambang lainnya. Berhubung
kebanyakan penambang berasal dari Pulau Jawa,
melakukan pendekatan emosional dan saling
mengingatkan sesama yang lain bukanlah hal yang
sulit bagi Mbah Soero. Wajar saja jika Mbah Soero
menjadi panutan banyak orang.
Tahun pun berganti, Mbah Suro semakin tidak
tahan dengan sikap dan kejahatan Belanda. Akhirnya,
Mbah Soeropun memberontak. Malang, tak bisa
dielakkan. Pada tahun 1914 Mbah Soero dibunuh
dandimutilasi oleh pihak Belanda. Menurut mitos
yang beredar, ilmu kebatinan Mbah Suro akan kembali,
jika mayat Mbah Suro tetap menyatu dalam satu
kuburan. Itulah keputusan sekaligus ketakutan pihak
132 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Belanda untuk memotong Mbah Soero. Potongan


tubuh tersebut sebagian dikuburkan di pemakaman
Tanjung Sari. Namun, beberapa potongan tubuh yang
lain dibuang entah ke mana.
Tragedi kematian Mbah Soero yang tragis tak
ada yang tahu. Akan tetapi, untuk mengenang sosok
tulen yang berjasa itu, lubang bekas penggalian batu
bara tersebut diabadikan dengan namanya, Lubang
Mbah Soero. Terletak di Tangsi Baru Kelurahan Tanah
Lapang, Kecamatan Lembah Segar. Dari tahun 2007
sampai sekarang telah menjadi objek wisata sejarah
yang selalu ramai dikunjungi warga dari berbagai
kota.(*)

Biodata:
Dila Ayu Arioksa, lahir di Mungka, Kecamatan
Mungka 18 Oktober tahun 1996. Menempuh kuliah
di ISI Padangpanjang dengan jurusan teater minat
Dramaturgi. Berawal kuliah di teater saya mencintai
empat hal seperti, panggung, penulisan, filsafat dan
penonton. Teruntuk dosen teater, senior, kawan
angkatan dan junior mereka sangat berperan aktif
dalam hidup saya. Teater mengajarkan saya untuk
bertanggung jawab dan ikhlas atas pilihan sendiri.
Teater juga yang memberi kesempatan kepada saya
untuk membaca hasil karya para pengarang dan
penyair hebat dari Yunani hingga negri ini. Hingga
akhirnya sebelum saya meninggalkan kota dingin
Padangpanjang, saya pun ikut bergabung dengan
Kelas Tanda Baca di Padangpanjang binaan Pak
Muhamad Subhan.
Sikalang
Tempo Doeloe
Suharti, S.Pd.

S ejak diberlakukan PSBB karena Pandemi Covid-19,


Yusuf belum pernah pulang kampung. Ada kerinduan
untuk bertemu kakung, eyang putri, uyut putri, Mbah
Tok, Mbah Tik, Om Habib dan Om Dzaky yang tak
bisa digantikan dengan percakapan telepon atau video
call. Yusuf merindukan untuk bisa bercengkerama
bersama mereka.
Kota Sawahlunto begitu lekat di hatinya. Sejak
kakung pensiun, begitu liburan sekolah atau akhir pekan
Yusuf selalu berharap bisa berkunjung ke Sawahlunto,
atau sebaliknya kakung dan Eyang Putri yang diminta
ke Padang. Perjalanan dari Padang ke Sawahlunto
membutuhkan waktu lebih kurang tiga jam dengan
jarak tempuh 95 km². Luas Kota Sawahlunto 273.45
km². Yusuf selalu menikmati perjalanan. Mendaki
di Sitinjau Laut sambil memandang keindahan Kota
134 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Padang dari ketinggian, memandang sawah menghijau


di tepi jalan Solok, bercanda riang dengan Hana
saat melewati jalan berliku dari Muara Kalaban ke
Sawahlunto. Menatap kagum puncak menara Masjid
Agung dan Puncak Bukit Polan melewati kelok sumur
Koncek dan Musium Kereta Api, meluncur ke GPK
belok kiri ke arah Sikalang. Melewati jalan yang rindang
arah Puncak Cemara tembus di Sapan. Melewati jalan
mendaki Santur dan turunan di Karang Anyar. Tibalah
di area Tambang Dalam menuju Sikalang.
Kota Sawahlunto terdiri dari empat kecamatan
yaitu Barangin, Lembah Segar, Silungkang dan Talawi.
Di Kecamatan Talawi keluarga Yusuf berdomisili
tepatnya di Desa Sikalang. Luas Desa 6,59 kilometer
persegi. Jarak dari kantor desa ke kantor kecamatan
adalah 7 kilometer, ke Balai Kota 10 kilometer dan ke
ibukota provinsi 104 kilometer. Desa Sikalang terdiri
dari 4 dusun yakni Dusun Kemiri, Tarandam, Bukit
Sibanta dan Muara Jaya.
Yusuf anak yang cerdas. Ia senang menggali ilmu
dan rasa ingin tahunya lebih besar dibanding usianya.
Kakung sering bercerita tentang kampung halamannya.
Biasanya kakung bercerita sambil berbaring bersama
Yusuf.
“Kung, kok nama desanya Sikalang?”
Kakung pun bercerita bahwa asal daerah tertulis
dan tergambar di peta Belanda. Aliran sungai yang
ada di Sikalang ini dahulunya bernama Lurah Gadang.
Lurah Gadang terbentuk dari adanya anak sungai yang
berhulu dari Lembah Santur, Kolok, Karang Anyar dan
Komunitas Literasi Ombilin | 135

bermuara di Sungai Ombilin. Menuju Sungai Ombilin


aliran air melewati Lurah Gadang. Dalam anak sungai
itu banyak isinya ikan kalang. Ikan kalang itu adalah
ikan lele. Maka selanjutnya daerah yang dilalui lurah
gadang lebih dikenal dengan Sikalang
Sikalang dikelilingi oleh perbukitan. Bukit
Langkok, Bukit Simaung dan Bukit Sibanta. “Mengapa
di­namakan Bukit Simaung dan Bukit Sibanta, Kung?”
“Dinamakan Bukit Simaung karena bukit itu
banyak pohon maung atau kluweg, dinamakan
Bukit Sibanta karena dahulunya dalam sejaran
Ninik Mamak, para puyang (datuk-datuk) melakukan
perjalanan dari Bukit Gagak di Sijantang menuju ke
Bukit Rantih untuk ziarah ke pusara keramat yang
ada di sana. Bukit Sibanta dijadikan sebagai tempat
persinggahan atau pemberhentian mereka sementara
untuk melepas lelah sebelum melanjutkan perjalanan
ke Bukit Rantih. Maka dinamakanlah bukit itu Bukit
Sibanta.” Kakung menjelaskan.
Uyut Putri dari tadi menyaksikan Yusuf dan
kakung-nya bercerita sambil tersenyum dan manggut-
manggut pertanda membenarkan cerita kakung.
“Uyut, Yusuf mau tanya sama Uyut, kok nama
tempat di Desa Sikalang ini lucu-lucu, ada Tangsi
Empat, Tangsi Rimbo, Tangsi Malang, Tangsi Gunung,
terus….” Yusuf mencoba mengingat-ingat sambil
garuk-garuk kepala.
“Tangsi Kemiri, Tangsi Kapuk, Tangsi Tarandam,
Tangsi Seberang, Tangsi Kresek.” Kakung melanjutkan.
136 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Yusuf tertawa senang dan riang karena dibantu oleh


kakung mengingat nama-nama tangsi yang ada.
“Tangsi itu dulu pada zaman Belanda adalah
sebutan untuk tempat tinggal para tahanan Belanda.
Karyawan tambang adalah tahanan-tahanan Belanda
yang berasal dari seluruh tanah air Indonesia.
Selanjutnya setiap asrama itu dikenal dengan tangsi,”
jawab Uyut.
“Contohnya tangsi Rante, itu digunakan untuk
para pekerja tambang yang dirantai kakinya biar tidak
bisa lari,” lanjut kakung menambahkan.
Sore itu mereka bercerita sangat seru, Yusuf
antusias bertanya dan kakung serta uyut bersemangat
menjelaskan. Setelah menyeruput teh manis hangat
uyut pun menjawab pertanyaan cicitnya.
“Tangsi Empat yang terletak di simpang Rantih
itu karena jumlah rumahnya ada empat. Tangsi
Rimbo itu karena asramanya ada di area hutan, hutan
disebut rimbo. Tangsi Malang karena letak posisi
asrama berbeda dari asrama lainnya/malang arahnya.
Tangsi Gunung karena letaknya di ketinggian. Tangsi
Kemiri, karena dahulu ada banyak pohon kemiri.
Tangsi Kapuk karena di sana tumbuh pohon kapuk
yang besar. Tangsi Tarandam karena setiap musim
hujan selalu terendam banjir, posisinya berada di
area yang lebih rendah dibanding tangsi yang lain.
Tangsi Kresek karena dindingnya hanya dari bambu
yang dianyam saja bila disentuh menimbulkan suara
kresek-kresek. Tangsi Seberang itu karena letaknya
berada di seberang sungai.” Uyut menjelaskan.
Komunitas Literasi Ombilin | 137

Begitu sederhananya pemberian nama asrama,


tetapi masih terkenal sampai sekarang.
“Kok ada yang namanya Pasar, Kung? Padahal
kalau mau belanja perginya ke Pasar Talawi atau Pasar
Sawahlunto, bukan Pasar Sikalang,” tanya Yusuf.
“Oh, dahulu itu memang pasar tempat jual
beli. Banyak pedagang dari luar juga yang datang.
Pembelinya dari Karang Anyar, Rantih, juga dari Desa
Salak”, jawab kakung.
“Ada yang Yusuf lupa, mengapa dinamakan
Rumah Tinggi?”
“Rumah tinggi itu adalah satu-satunya bangunan
yang bertingkat saat itu. Rumah pejabat-pejabat
Ombilin Belanda,” jawab kakung.
Dahulunya Desa Sikalang ini memiliki lapangan
hijau sepak bola, ada Gedung Pertemuan Buruh (GPB),
Gedung Pertemuan Karyawan (GPK), ada gudang, TK
Lignita, SD Bituminusa yang dibuat dari bekas Asrama
Bujangan karena kebutuhan akan pendidikan tingkat
SD, Balai Koperasi (BK) di sini karyawan setiap bulan
mengambil jatah beras dan lauk pauk. Poliklinik yang
melayani kesehatan karyawan untuk Karang Anyar,
Salak, Sikalang, Rantih.
Pada tahun 1982 dibangun dua asrama baru di
Tangsi Rimbo, SD Bituminusa dibongkar dijadikan
SD Inpres.
“Ayo, Yusuf mandi. Sebentar lagi waktu magrib
datang. Bersiap untuk berangkat ke masjid, biar tidak
terlambat.” Kakung mengakhiri kisahnya.
138 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

“Siap, Kung. Terima kasih atas ilmunya hari ini.


Besok kita cerita-cerita lagi ya, Uyut. Yusuf mandi
dulu. Uyut mau mandi sama Yusuf?” Yusuf menuju
kamar mandi sambil tertawa melihat ekspresi uyut
yang manyun diajak mandi bareng Yusuf.(*)

Catatan:
Sibanta: sebentar (Minang)
Rimbo: hutan (Minang)
Malang: melintang (Jawa)
Kresek: suara bunyi yang ditimbulkan jika dinding diusap
tangan (Jawa)

Biodata:
Suharti, S.Pd. Lahir di Sijantang, 9 Nopember 1976.
Mengajar di SMKN 1 Sawahlunto sejak 1999. Buku
pertama yang ditulis adalah Semua Berawal dari SMK.
Selama Pandemi Covid-19 telah menyumbangkan
karya bersama dalam 6 buku antologi yaitu Tasbih
Senandung Rindu, Pentigraf, Semilir Angin Persahabatan,
Bangga Menjadi Guru, Guru Petualang, dan Cerita
Keajaiban Takdir. E-mail suharti70@ymail.com WA
081363125576.
Bayang-Bayang Roh Leluhur
dalam Pertunjukan Kuda Kepang
Etnik Jawa di Kota Sawahlunto
Lismomon Nata

D alam trance, suara lecut cambuk ditambah dengan


suara alat musik yang ritmenya semakin cepat memacu
jantung, beberapa orang pemain kuda kepang menari
tak beraturan. Gerakannya menyimbolkan karakter
tertentu. Dengan mata nanar, mereka melakukan
berbagai macam perilaku aneh, semakin tidak
terkendali. Namun, lambat laun mereka pun tenang,
bersamaan dengan suara musik yang juga semakin
pelan. Mereka mendekatkan diri pada sumber suara
musik dan pawang membisikan sesuatu. Tangannya
lurus menempel ke atas dengan tubuh kejang, lalu
menjatuhkan diri ke belakang dan kemudian kembali
sadar.
Itulah gambaran klimaks pertunjukan kuda kepang
di Sawahlunto. Sebagai kota yang masyarakatnya
140 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

multietnik, akulturasi yang terjadi membentuk


berbagai macam kebudayaan dan kesenian yang
menjadi kekayaan budaya bangsa. Salah satunya
adalah seni pertunjukan kuda kepang. Kesenian
ini pertama kali muncul sekitar tahun 1930 yang
diperkenalkan oleh orang Jawa tahanan pemerintah
Kolonial Belanda yang dikenal dengan sebutan ‘Orang
Rantai’.
Menurut cerita yang berkembang, awal keberadaan
tari kuda kepang ini adalah sebagai upaya dari orang-
orang Jawa yang merasa jenuh terhadap kerja mereka
sebagai buruh tambang dan juga untuk melepas rindu
akan kampung halaman. Seiring waktu berjalan,
pertunjukan kuda kepang yang pada awalnya hanya
digemari oleh orang Jawa saja mulai diminati oleh
masyarakat luas dari segala tingkatan usia sehingga
pertunjukan kuda kepang terus hidup dari masa ke
masa. Apalagi pertunjukan tersebut menampilkan
atraksi yang memukau, seperti mengunyah beling,
memakan bunga atau ayam hidup-hidup, membakar
diri, berjalan di atas pecahan kaca atau api, mengupas
kelapa muda dengan gigi dan lain-lain. Semuanya itu
dilakukan saat pemain kesurupan (trance).
Dengan demikian, tari kuda kepang selain
merupakan pertunjukan seni juga memiliki unsur
magis. Ada ritual yang harus dilaksanakan sebelum
pertunjukan hingga saat menyadarkan kembali si
penari kuda kepang yang kesurupan. Kesurupan
dalam pertunjukan kuda kepang berbeda dengan
kesurupan pada umumnya, di mana kesurupan dalam
Komunitas Literasi Ombilin | 141

pertunjukan kuda kepang diyakini bahwa roh leluhur


sengaja dipanggil oleh pawang melalui mantra untuk
kemudian merasuki jiwa (tubuh) para penari kuda
kepang, sedangkan kesurupan pada umumnya adalah
roh yang tidak dipanggil untuk merasuki tubuh
seseorang. Akan tetapi, roh tersebut datang dan masuk
sendiri ke dalam jiwa seseorang dengan berbagai
alasan, misalnya orang tersebut melanggar pantangan
di suatu tempat yang dikeramatkan, kondisi fisik yang
lemah, dan lain-lain.
Sebagai kesenian yang muncul di pedesaan Jawa,
awalnya kesenian ini berfungsi untuk upacara bersih
desa dan mengusir roh-roh jahat penyebab penyakit,
serta malapetaka lainnya. Seperti halnya di Desa Ori,
Jawa Tengah, setiap tanggal 15 Syakban dilakukan
ruwat. Rangkaian dari ritual tersebut adalah
pertunjukan kuda kepang, tetapi mereka menyebutnya
sebagai kuda lumping. Di sana, pertunjukan kuda
kepang dibagi menjadi tiga babak. Pertama, sekitar
pukul sepuluh pagi para pemain hanya menari diiringi
musik pengiring. Kegiatan tersebut dilakukan hingga
sebelum zuhur. Pada sesi ini tidak ada pemain yang
kesurupan. Setelah itu, mereka beristirahat dan
melaksanakan ibadah. Kemudian pada sesi kedua
setelah salat, para pemain kembali menari dan
diselingi dengan Tari Barong. Saat sesi ini sudah ada
pemain yang kesurupan, tetapi hanya beberapa orang
saja. Sore harinya, di sesi ketiga inilah para pemain
tidak membutuhkan waktu lama untuk menari dan
sebagian besar dari mereka mengalami kesurupan.
142 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biasanya momen inilah yang ditunggu-tunggu oleh


penonton karena pemain akan melakukan atraksi
yang luar biasa tersebut. Oleh karena itu, pawang
dalam pertunjukan memiliki peran penting, menjaga
para pemain agar tidak celaka.
Berbeda dengan Desa Ori, pertunjukan kuda
kepang di Sawahlunto biasanya dilakukan pada sore
hari yaitu setelah asar hingga setelah magrib. Meskipun
dahulunya sekitar akhir tahun 90-an rangkaian ritual
sebelum asar telah dimulai, yaitu rombongan para
pemain kuda kepang, pawang dan beberapa penonton
melakukan arak-arakan mulai dari titik kumpul,
biasanya di Lapangan Segitiga, menuju permakaman
umum di Pondok Kapua. Selama perjalanan pulang
pergi sekitar sepuluh kilometer, dibunyikanlah alat
musik pengiring tari kuda kepang, seperti Saron,
Bonang, Gong dan Kendang. Bunyi-bunyian tersebut
menjadi magnet yang menarik perhatian masyarakat
untuk keluar dan menyaksikan pertunjukan. Satu
hal yang menjadi pantangan dan mesti dihindari bila
ingin menonton, yaitu sebaiknya jangan memakai
baju warna merah karena roh yang masuk ke tubuh
pemain merasa terganggu dan akan mengejarnya.
Sesampainya di pekuburan, pawang memilih
salah satu kuburan untuk dijadikan tempat proses
ritual. Ia berkomunikasi dengan arwah para leluhur
yang disebut dengan karuhun atau endang. Selain
untuk memanggil serta menaklukkan roh-roh yang
ada di sekitar itu, yang nantinya akan merasuki para
pemain, juga dianggap sebagai perantara dalam doa
Komunitas Literasi Ombilin | 143

atau pengobatan serta harapan-harapan agar para


keturunan diberikan keselamatan.
Namun, beberapa tahun belakangan prosesi
ini jarang dilakukan lagi. Hal ini salah satunya
disebabkan karena pertunjukan kuda kepang saat ini
sudah dijadikan ikon ”Wisata Tambang Berbudaya”
dan rutin tampil menjadi hiburan rakyat. Selain itu,
pertunjukan kuda kepang juga digelar pada hari besar
nasional, seperti tahun baru dan Hari Kemerdekaan
Indonesia, ulang tahun kota, serta dalam acara
penyambutan tamu penting.
Eka Putra, salah seorang pawang kuda kepang
paguyuban Harapan Jaya (HJ) mengungkapkan bahwa
salah satu tujuan mereka melakukan pertunjukan
adalah untuk menghibur masyarakat, bahkan lebih
lanjut ia mengungkapkan kini atraksinya juga
diselingi ‘bambu gila’. Padahal bila kita membaca
di beberapa literatur, tarian bambu gila berasal dari
Maluku. Meskipun berasal dari daerah yang berbeda,
kedua kesenian tersebut dapat hadir dalam sebuah
pertunjukan yang sama, dipersatukan oleh kekuatan
magis, dalam bayang-bayang roh leluhur. (*)

Biodata:
Lismomon Nata, lahir di Kota Sawahlunto 30
Agustus 1984. Alumnus Sosiologi Antropologi
Universitas Negeri Padang (UNP) dan Pasca Sarjana
Jurusan Sosiologi Univesitas Andalas (UNAND).
Awal Bergiat dalam dunia sosial tahun 2004
dengan bergabung dengan LSM Jembatan (Jaringan
144 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Pemberdayaan Nagari) dalam program Pemilihan


Anggota Dewan dan Presiden secara langsung
bekerjasama dengan UNDP tahun 2004- 2005,
kemudian bergiat pada LSM Enviromental Parlement
Wacht (EPW) SUMBAR tahun 2006- 2007, di
kampus Penggagas terbentuknya Komunitas Anak
Sosiologi Antropologi (KAOS) UNP tahun 2006, dan
bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa UNP
(2005-2006).
Setelah menyelesaikan seluruh mata kuliahnya
pada semester keenam, Momon sapaan akrab pria
berkulit sawo matang ini ‘meninggalkan’ kampusnya
karena bergabung dengan Pusat Studi Kebijakan
dan Kependudukan (PSKK) Universitas Gajah
Mada bekerja sama dengan RAND Coorporation
Amerika sebagai Surveyor dan editor pada program
Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia
(Sakerti 07) tahun 2007-2008, kemudian kembali
dan menyelesaikan studinya dengan menulis
Makna Kesurupan Pertunjukan Kuda Kepang Pada
Etnik Jawa di Kota Sawahlunto, disamping itu juga
bergiat pada Forum Lingkar Pena (FLP) Sumbar.
Fasilitator Disaster Risk Reduction (DRR) bersama
Japan Emergency NGO’s Jepang dan Fasilitator
program Health Education bersama Mateser
International Jerman dalam rangka recovery Sumbar
pasca gempa 2009. Ia menjabat sebagai Direktur
LSM Pusaka Padang (2009-2010) dan pada tahun
2010 memutuskan untuk mengabdikan diri
sebagai Aparatur Sipil Negara dengan bergabung di
Komunitas Literasi Ombilin | 145

Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat. Pada


tahun 2015 ia mendirikan dan sekaligus Direktur
lembaga Dinamic Social Development Institute (DSDI)
hingga sekarang. Pengalaman mengajar semenjak
tahun 2005 s.d 2009 di LPK Adzkia dan tahu 2009
s.d awal tahun 2010 menjadi tentor berikat di
Bimbel Nurul Fikri. Melanjutkan kuliah Pascasarjana
di Universitas Andalas (UNAND) tahun 2013 hingga
2015, jurusan Sosiologi. Puisinya dimuat dalam
Antologi Puisi, ‘Kondom Bocor, Sobek Ujungnya’
(Magenta, 2011).
Legenda Batu Puti
Nova Hendra

P ada zaman dahulu, hiduplah seorang gadis yatim


yang cantik di Nagari Kubang. Puti, begitu orang
memanggilnya. Puti merupakan bahasa Minang dan
juga bahasa Indonesia yang berarti Putri. Panggilan
ini disandangnya karena kecantikannya sangat
memesona. Nagari Kubang adalah daerah yang
berbukit dan berlembah. Syahdan, Puti hidup bersama
ibunya yang sudah renta. Mata pencariannya adalah
bertani.
Di Nagari Kubang waktu itu, bermacam permainan
anak nagari berkembang pesat dan tumbuh menjadi
hiburan bagi masyarakat. Permainan anak nagari ini
ada yang positif, seperti randai, silek dan talempong.
Namun, ada juga yang bersifat negatif, seperti sabung
ayam, adu balam dan tanding layang-layang.
Setelah Puti menikah, ia dan suaminya tinggal di
rumah andenya (panggilan ibu di Nagari Kubang pada
waktu itu). Karena bapak si Puti sudah meninggal
dunia maka sejak itulah ibunya mengambil alih
Komunitas Literasi Ombilin | 147

peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga


dalam membesarkan si Puti. Sampai Puti membina
rumah tangga, ibunya tetap menjadi tulang punggung
pencari nafkah.
Puti tinggal di sebuah gubuk bersama suami dan
ibunya. Beberapa waktu kemudian Puti melahirkan
seorang bayi perempuan yang cantik. Namun, suami
Puti yang pemalas itu tidak mempunyai pekerjaan
tetap. Ia menghabiskan harinya dengan bermain
layang-layang, adu balam, dan sabung ayam.
Oleh sebab itu, ibunya harus bekerja lebih giat
lagi dalam mencari nafkah bagi dirinya dan juga
keluarga si Puti. Si Puti juga lebih suka mengikuti
suaminya bermain, ketimbang membantu andenya
mencari nafkah ataupun membantu pekerjaan rumah
tangga lainnya.
Setelah anak si Puti tumbuh semakin besar, belum
ada keinginan Puti dan suaminya untuk membina
rumah tangga yang mandiri tanpa menjadi beban
bagi sang ibu. Ibunya merasa kasihan pada cucunya
sehingga ia membanting tulang mencari nafkah.
Kehidupan ini tampaknya akan semakin berat karena
usianya telah uzur.
Ibu Puti sering memberi nasihat pada Puti dan
suaminya supaya jangan menghabiskan hari-harinya
dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Namun, apa
yang dikatakan oleh ibunya seakan tidak didengar oleh
mereka. Mereka tetap bermain dan menghabiskan
waktunya dengan kegiatan yang tidak bermanfaat.
Sebetulnya ibu si Puti tidak setuju Puti menikah
148 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

dengan suaminya ini, tetapi Puti tetap bersikeras


dengan pilihannya tersebut.
Pernah suatu kali sang ibu mengusir menantunya,
tetapi Puti marah pada ibunya. Ibunya tidak dapat
berbuat banyak karena rasa keibuannya. Setiap kali
pulang dari ladang, Puti sering tidak berada di rumah
yang tidak dirapikannya itu. Kondisi ini diperparah
oleh sikap suami Puti tidak santun terhadap
mertuanya.
Pagi itu sang ibu pergi ke ladang dan ke pasar
untuk menjual hasil ladangnya. Jualan yang dibawa ke
pasar tidak laku semua sehingga harus dibawa pulang
kembali. Sesampainya di rumah, ia tidak menemukan
Puti maupun suaminya. Keletihan ibunya makin
menjadi-jadi karena makanan sudah dihabiskan oleh
anak dan mantunya.
Akhirnya, Puti dan suaminya pulang juga. Pada
saat itu ibunya menasihati anak menantunya ini.
“Puti, anakku, mengapa kamu mengikuti suamimu
untuk mengadu balam itu? Seharusnya kamu bisa
mengurusi rumah dan memasak,” katanya sambil
menghidupkan api untuk memasak nasi. Namun,
apa yang terjadi kemudian? Puti malah membentak
ibunya. “Ande tidak perlu mengurusi kami!” Ia berlalu
sambil mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan
ibunya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan
tidak sopan oleh anaknya, sang ibu sangat marah.
Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka.
Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Puti
mengusir anak dan menantunya itu. Ia mengacungkan
Komunitas Literasi Ombilin | 149

tangannya sambil berkata, “Pergi dari rumahku ini.


*Nankamanjadi batulah kalian!”
Sesudah itu, Puti bersama suami dan anaknya
pergi menuju sebuah bukit batu di daerah gunuang
dan istirahat di sana beberapa saat. Tidak berapa lama
kemudian, angin bergemuruh kencang. Hujan dan
halilintar datang sambar-menyambar di daerah tempat
Puti dan keluarganya berhenti. Sebuah kilatan petir
menyambar Puti dan suaminya. Seketika itu tubuh
Puti yang menggendong anaknya sambil memegang
payung, serta tubuh suaminya perlahan menjadi kaku
dan lama-kelamaan akhirnya menjadi batu. Batu itu
berbentuk orang yang saling berjejer di daerah bukit
batu yang kini dinamakan Batu Puti.
Lokasi Batu Puti ini terletak di Dusun Lontiak
Malawe, Desa Pasar Kubang, Kecamatan Lembah
Segar, Kota Sawahlunto. Batu itu berwarna putih
dan terlihat mencolok dari kejauhan. Cerita si Puti
yang durhaka telah tertanam di hati masyarakat di
Nagari Kubang. Setiap generasi mendapatkan cerita
dari generasi sebelumnya. Orang tua bercerita kepada
anak-anaknya untuk mendidik mereka supaya jangan
durhaka kepada orang tua. Batu Puti jika dikelola
dengan baik tentulah bisa menjadi tempat tujuan
wisata karena pemandangan alamnya sangat eksotis
dan menawan. (*)

Catatan:
Nankamanjadi batulah kalian: semoga kalian akan menjadi
batu.
150 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Biodata:
Nova Hendra. Lahir di Kubang, 11 November 1974.
Bekerja sebagai wartawan. Berdomisili di Dusun
Luak Mani Desa Kubang Tangah Kecamatan Lembah
Segar, Sawahlunto.
Kisah Ikan dan
Pemuda yang Malang
Dina Ramadhanti

D i sebuah perkampuang bernama Desa Tabek


Sikalang, tinggallah seorang pemuda yang hidup dari
berjualan ikan di pasar. Setiap hari, ia memancing
sendiri ikan dari kolam ikan di samping rumahnya
dan menjualnya ke pasar. Pemuda yang biasa dipanggil
Bujang itu sangat menjaga ikan-ikan yang ada di
kolam itu, yang merupakan peninggalan ayahnya
semasa hidup. Bagi Bujang, ikan-ikan di kolam itu
sudah seperti pengganti keluarganya. Dari kolam ikan
itulah ia bisa bertahan hidup. Padahal, penduduk di
Desa Tabek Sikalang sebagian besar bekerja sebagai
penambang di pertambangan batu bara di desa itu.
Bagi Bujang, ia tidak harus menjadi penambang batu
bara seperti halnya orang-orang di desanya. Bujang
tidak akan pernah melupakan bahwa pertambangan
batu bara telah meninggalkan lubang di hatinya.
Pertambangan itu telah merenggut ayah dan ibunya.
152 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

Dahulu banyak warga di desanya dijadikan


sebagai manusia rantai pada zaman penjajahan
Belanda, bahkan sampai sekarang ada warga desanya
yang keberadaannya tidak diketahui. Katanya, sudah
terkubur di dalam pertambangan itu. Ayahnya memang
bukan korban sebagai manusia rantai, melainkan
korban robohnya pertambangan. Seseorang telah
melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab
dengan menyalakan peledak di area pertambangan.
Pertambangan itu roboh dan jadilah ayahnya korban
ledakan kala itu. Ibunya tak sanggup menanggung
kesedihan karena kepergian ayahnya. Ibunya jatuh
sakit dan pergi menyusul ayahnya. Sampai sekarang,
Bujang tidak mengetahui siapa pelaku peledakan
tersebut.
Suatu hari, ketenangan hidup Bujang mulai
terusik. Ia mendengar bahwa mandor di pertambangan
akan melakukan pelebaran wilayah pertambangan.
Kabarnya, sudah ditemukan jenis batu bara yang baru
di Desa Tabek Sikalang. Jenis batu bara ini sangat
langka. Masyarakat desa menjadi sangat senang
dengan kabar tersebut. Mereka dijanjikan akan
mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih
baik jika bersedia menerima rencana pelebaran area
pertambangan di Desa Tabek Sikalang. Bujang tidak
menyetujui hal tersebut.
”Bujang, kau harus bersedia mengorbangkan
kolam ikanmu demi kepentingan penduduk di desa
ini!” hardik Pemuka Desa suatu hari.
Komunitas Literasi Ombilin | 153

”Aku tidak mau. Mengapa aku harus mengor­


bankan ikan-ikanku? Silakan saja membuka area
pertambangan di desa ini, tetapi jangan mengusik
kolam ikanku. Kolam ikan itu adalah peninggalan
ayahku. Sampai kapan pun aku tidak akan menerima
ide konyol itu,” kata Bujang.
Warga desa sangat marah. Mereka merasa
kehidupan mereka telah dihalangi oleh Bujang. Bujang
mereka ikat di pohon besar samping kolam ikannya.
Warga desa tidak peduli dengan penolakan Bujang
karena hanya ia saja yang tidak menyetujui rencana
pembukaan area pertambangan itu. Bujang terus
memberontak karena kolam ikannya akan menjadi
korban warga desa. Warga desa mulai menimba air
dari kolam itu dan menyingkirkan ikan-ikan yang ada
di sana.
”Kalian tidak akan menemukan yang kalian cari
di kolam ikanku. Sekeras apa pun kalian berusaha
kalian tidak akan bisa menemukan apa-apa. Tolong
dengarkan perkataanku. Kalian terlalu serakah.
Mengapa kalian tidak menerima saja apa yang ada di
pertambangan itu? Batu bara yang ada di sana belum
lagi habis. Mengapa harus mengusik kolam ikanku?
Mengapa kalian harus berbuat seperti itu kepadaku?
Apa salahku? Aku hanya ingin hidup tenang. Mengapa
kalian tidak memberi kesempatan kepadaku? Ayah
dan ibuku sudah tidak ada lagi. Aku hanya memiliki
kolam ikan itu,” kata Bujang memohon.
Bujang terus saja meratap, tetapi orang-orang
tidak berhenti mengeringkan kolam ikannya. Ikan-
154 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

ikan yang ada di kolam itu tidak mereka pedulikan.


Ikan-ikan itu mati karena kekurangan air. Seorang
bocah merasa iba dan melepaskan ikatan Bujang.
”Bujang, kau harus tahu. Semalam aku mendengar
bahwa Mandor Barudin telah menghasut warga
desa untuk mengeringkan kolam ikanmu. Katanya,
tepat di bawah tanah di kolam ikanmu itu ada batu
bara langka. Batu bara langka itu sangat mahal dan
bisa menyejahterakan seluruh kehidupan warga
desa. Warga desa terhasut dan mengikuti perkataan
mandor itu. Mandor itu juga mengatakan jika kau
memberontak, kau akan diledakkan seperti ayahmu,”
kata Bocah itu.
Bujang sangat terkejut. Ia segera berlari mendekati
kerumunan warga yang tidak berhenti mengeringkan
dan menggali tanah di kolam ikannya. Bujang
memberontak. Ia berusaha mencegah warga. Namun,
ia tidak bisa berbuat apa-apa. Warga tanpa ampun
memukuli Bujang. Bocah yang tadi membantu bujang
melepaskan ikatannya dan berusaha melindungi
Bujang, tetapi warga terlalu beringas. Bocah itu
pingsan. Bujang tidak menyerah. Ia terus melawan
warga. Hingga akhirnya, seorang warga memukul
kepala Bujang dengan cangkulnya. Bujang roboh
dengan kepala berlumuran darah.
”Kalian tidak akan selamat dari ikan-ikan itu.
Kalian telah menganiaya orang yang tidak berdaya
hanya karena memperturutkan nafsu belaka. Kalian
telah diperdaya oleh seorang mandor yang jelas-jelas
bukan warga desa ini. Kalian akan menyesaal,” kata
Komunitas Literasi Ombilin | 155

Bujang dengan nafas terengah-engah dan berlinang


air mata.
Warga desa benar-benar telah dibutakan oleh
nafsu. Mereka terus menggali kolam itu. Akan tetapi,
mereka tidak menemukan batu bara yang mereka
cari. Mereka telah dibodohi oleh seorang mandor.
Mereka tidak mengetahui bahwa tidak semudah
itu menemukan lokasi pertambangan batu bara.
Mereka tidak menyadari bahwa mandor itu ingin
menyingkirkan seluruh keluarga Bujang. Karena
kesaksian ayah Bujang di pengadilan, ayah mandor
itu dijatuhi hukuman gantung. Ayah dari mandor itu
terlibat kasus perencanaan pembunuhan terhadap
seorang wanita yang diduga adalah selingkuhannya.
Mandor itu bersikeras bahwa ayahnya telah difitnah
dan akibat fitnah itu ayahnya harus mati di tiang
gantungan. Begitu ayah Bujang meninggal, ia tidak
puas karena masih ada anggota keluarga ayah Bujang
yang tersisa, yaitu Bujang. Untuk menyingkirkan
Bujang ia mulai mengatur siasat dengan menghasut
warga desa yang menginginkan kehidupan yang lebih
baik.
Mandor itu tidak diketahui keberadaannya
setelah membuat kerusuhan di Desa Tabek Sikalang.
Warga desa sangat menyesal karena tindakan mereka
yang ceroboh itu. Mereka tidak menemukan batu
bara langka yang mereka cari. Bahkan, mereka harus
menerima hukuman karena setiap kali mereka
memakan ikan, mereka selalu muntah-muntah dan
keracunan. Setiap kali mereka memasak ikan, ikan-
156 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

ikan itu seolah memberontak. Ikan yang mereka


goreng seolah berenang di minyak itu. Minyak-
minyak itu merembes ke tangan dan wajah mereka.
Semenjak muncul kejadian-kejadian aneh itu, tak satu
pun warga Desa Tabek Sikalang yang mengonsumsi
ikan. Perbuatan mereka yang tidak bertanggung
jawab telah menjadikan orang yang tidak bersalah
menjadi korban sedangkan orang yang seharusnya
diadili karena bersalah dibiarkan bebas begitu saja.
Setiap orang memang memiliki keinginan untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi,
untuk mendapatkan semua itu tidak harus dengan
mengorbankan kehidupan orang lain.(*)

Alahan Panjang, 30 Juli 2020

Biodata:
Dina Ramadhanti lahir di Alahan Panjang
pada 5 Mei 1989. Merupakan anak kedua dari
empat bersaudara dari pasangan Amel Edi dan Emil
Yenti. Menulis dijadikan sebagai hobi di sela-sela
menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri
Malang. Karya prosa yang pernah ditulis, yaitu:
Si Bujang Lenguang (2017), Kisah Kucing Pencuri
Makanan (2019), Kepergian Cik Aisyah (2020), Ulah
Atuk Rembang (2020). Nomor HP/WA yang dapat
dihubungi 082389985443. Alamat surel: dina_
ramadhanti89@yahoo.com.
Tentang Tim Kurator
MUHAMMAD SUBHAN. Menulis
puisi, cerpen, esai dan novel. Esainya
satu di antara tiga karya terbaik pilihan
kurator Festival Sastra Bengkulu
(Bengkulu Writers Festival) 2019. Puisinya
terpilih tiga besar Banjarbaru’s Rainy Day
Literary Festival 2019. Ia Penulis Emerging Indonesia
Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Buku
puisi terbarunya “Kesaksian Sepasang Sandal”
(2020). Pos-el: rinaikabutsinggalang@gmail.com.
HP/WA: 0821-6987-7399. Tinggal di pinggir Kota
Padangpanjang, Sumatra Barat.

ARMADISON. Lahir 11 Juli 1969.


Sejak 1990 aktif menulis di Harian
Umum Singgalang, Padang. Sehari-hari
sebagai Jurnalis. Saat ini menjabat Ketua
Komunitas Literasi Ombilin (KOLOM)
Sawahlunto. Literasi, baginya, potret
kecerdasan suatu bangsa.
158 | Sawahlunto Sejuta Cerita Rakyat

FADILLA JUSMAN. Putra Nagari


Kolok Sawahlunto. Lahir 12 Mei 1981.
Tamatan Universitas Negeri Padang ini
sehari-hari sebagai aparatur sipil negara.
Sejak 2004 lalu hingga saat ini masih
aktif menulis di media Harian Haluan,
Padang. Saat ini menjabat Sekretaris Komunitas
Literasi Ombilin (KOLOM) Sawahlunto. Menurutnya
literasi merupakan sarana diplomasi peradaban.

Anda mungkin juga menyukai