Anda di halaman 1dari 81

KATA PENGANTAR

Dengan rendah hati, saya hadirkan di hadapan Anda

kumpulan cerpen berjudul "Ruang Transcendental". Karya ini

bukan hanya sekadar penulisan hasil magang, melainkan

sebuah perjalanan literer yang menggambarkan dedikasi,

penelusuran, dan cinta terhadap kebudayaan. Cerpen-cerpen

ini lahir dari langkah-langkah mahasiswa program studi Sastra

Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang

dengan penuh semangat mengeksplorasi keberagaman

budaya yang menghiasi bangsa kita.

Sebagai hasil akhir dari kegiatan magang, setiap

cerpen mencerminkan refleksi mendalam, dan penggalian

wawasan terhadap kekayaan budaya Indonesia. Di tengah-

tengah kesibukan perkuliahan dan tantangan magang, para

penulis dengan penuh antusiasme merangkai kata-kata untuk

1
menghadirkan potret-potret hidup yang terkandung dalam

kebudayaan kita.

"Ruang Transcendental" bukan hanya sekadar

kumpulan cerpen, tetapi juga pencerminan perjalanan

pembelajaran, penuh dengan penemuan dan pemahaman

baru. Tema kebudayaan menjadi benang merah yang

menghubungkan setiap cerita, mengajak pembaca merenung

tentang nilai-nilai, tradisi, dan identitas yang bersatu dalam

keragaman luar biasa bangsa ini.

Melalui kata-kata yang terpilih, mari kita bersama-sama

memasuki ruang dimensi kebudayaan yang mendalam. Saya

berharap, cerpen-cerpen ini dapat menginspirasi dan

memberikan sudut pandang baru tentang betapa pentingnya

menjaga dan menghargai warisan budaya kita.

Terima kasih kepada para mahasiswa yang telah

berkontribusi dalam pembuatan karya ini. Selamat menikmati

perjalanan di "Ruang Transcendental," di mana kebudayaan

menjadi jendela menuju pemahaman yang lebih mendalam.


2
Salam Kebudayaan, Jambi 13 Desember 2023

Tim Unja 2023

3
ANUGERAH BUDAYA

Karya : MAMIXAHFALAH

Suatu hari di sebuah Desa bernama Tanjung Sari akan

mengadakan pertunjukkan budaya untuk memperingati hari

kebangkitan budaya Jambi. Pagi itu masyarakat desa Tanjung

Sari sibuk mempersiapkan pertunjukan budaya, mereka

4
antusias dengan kegiatan yang akan datang. Ada seorang

pemuda setempat bernama Rizal dan seorang gadis bernama

Intan mereka merupakan warga asli dari desa Tanjung Sari.

Rizal seorang pemuda yang aktif di karang taruna pemuda

pemudi di desa Tanjung Sari begitupun juga dengan intan

mereka akan menampilkan sebuah pertunjukan tarian yang

ada di daerah sekitar Jambi.

“Intan, apa yang akan kamu tampilan besok dalam

rangkaian perayaan budaya.?” Ucap Rizal

“Aku akan menari tarian tradisional Jambi, tari piring

dua belas yang berasal dari kecamatan Muara Tembesi, aku

pernah belajar dari nenekku sendiri.” Ujar Intan

5
“Wah, itu luar biasa! Aku yakin kamu akan tampil

dengan memukau di panggung nanti. Aku sendiri akan

memperagakan tarian tauh, tarian ini berasal dari kabupaten

Muaro Bungo, tarian yang menceritakan kehidupan

masyarakat Jambi.” Jawab Rizal

“Bagus sekali! Aku ingin tahu lebih banyak tentang

tarian tauh.?” Ungkap Intan

“Nah, tarian Tauh merupakan tarian tradisional yang

terdapat di desa Rantau pandan kabupaten Bungo Provinsi

Jambi. Tarian ini menggambarkan pergaulan muda-mudi di

desa Rantau Pandan saat mereka bergotong royong

membantu dalam suatu tradisi yang disebut beselang” Jelas

Rizal

6
“Oh, beselang itu apa?” Tanya Intan

“Beselang adalah tradisi gotong royong dalam

masyarakat Jambi, khususnya di desa Rantau Pandan.

Masyarakat akan saling membantu dalam kegiatan seperti

membangun rumah, bekerja di sawah, atau merayakan

peristiwa penting. Tarian tauh mencerminkan kekompakan

dan kebersamaan dalam melaksanakan beselang.” Ucap Rizal

dengan jelas

“Aku ingin tahu juga bagaimana cerita di balik tarian

piring dua belas itu ntan” Tanya Rizal pada Intan

“Wah terdengar menarik. Jadi kalau tari piring dua

belas itu menceritakan tentang seorang gadis yang

menghadapi berbagai rintangan dan ujian dalam hidupnya.

7
dua belas piring yang dibawa oleh penari melambangkan dua

belas bulan dalam setahun, yang menjadi simbol perjalanan

hidup yang penuh lika-liku. Gerakan tarian ini melibatkan

keterampilan memegang dan menari dengan piring-piring

tersebut, menunjukkan keindahan dan keahlian penari.”

Ungkap Intan tentang tari piring

“Dalam penampilan besok apa ada pesan khusus yang

ingin kamu sampaikan melalui tarian piring dua belas ini?”

Tanya Rizal pada Intan

“Ada zal, tarian Piring mengajarkan kita tentang

pentingnya kerja sama, keindahan, dan semangat kehidupan

bersama. Melalui gerakan-gerakan yang tertentu, aku ingin

mengajak penonton untuk menjaga dan melestarikan budaya

Jambi." Jawab intan dengan semangat

8
"Wah bagus sekali Intan, kita memiliki tanggung jawab

masing- masing dalam menampilan tarian budaya Jambi. Ayo

kita latihan bersama-sama untuk memastikan penampilan kita

menjadi yang terbaik." Ajak rizal

"Setuju! latihan ini juga memberi kesempatan bagi kita

untuk bertukar pengetahuan tentang tarian kita masing-

masing." Jawab intan bersemangat

Mereka pun melanjutkan latihan mereka dengan

semangat. Dalam prosesnya, Rizal dan Intan berbagi

pengalaman mereka terkait dengan budaya Jambi. Merekapun

saling membantu dan memberikan masukan untuk

meningkatkan penampilan mereka. Keduanya merasa bangga

dapat mewakili budaya Jambi dan berharap penampilan

mereka dapat menginspirasi orang lain untuk menghargai dan

melestarikan budaya lokal.

9
Pada hari yang dinantikan, Rizal dan Intan naik

panggung dan menampilkan tarian mereka dengan penuh

semangat. Penonton terkesima dengan keindahan gerakan

mereka dan menyambut mereka dengan gemuruh tepuk

tangan. Melalui percakapan mereka, Rizal dan Intan

menyadari betapa pentingnya budaya Jambi dan bagaimana

budaya ini merupakan warisan yang perlu dilestarikan.

Perayaan hari kebangkitan budaya Jambi berakhir

dengan megah, meninggalkan kesan yang mendalam bagi

masyarakat desa Tanjung Sari. Rizal dan Intan merasa

bangga dan bersyukur atas kesempatan untuk berkontribusi

dalam menampilkan budaya Jambi. Mereka berjanji untuk

terus mempelajari dan menyebarkan pesan penting dari

budaya mereka kepada.

10
Betale menuju Mekah

Karya: Nurfadhila Fadlil Insani

Di bawah rembulan yang memancarkan kehangatan

dalam kesejukan malam, Balai Desa Kayu Aro menjadi saksi

persembahan jiwa yang terjadi setiap tahunnya. Semua warga

desa, dari yang berusia muda hingga yang berkepala putih,

11
berkumpul di tempat itu. Rintek tetua desa yang meresapi

kekayaan warisan leluhurnya, duduk di antara warga desa.

Suasana tenang terbentuk ketika Tinaleh, yang duduk

di anyaman bambu, membuka tirai pertemuan. "Saudara-

saudara," seru Tinaleh, suara seperti gema di lembah

menembus deru suara warga. “saatnya kita menata perjalanan

suci kita, taleh yang kita nantikan." Sambungnya.

Matanya yang penuh kehangatan melibatkan setiap

warga desa. Mereka merenungi tradisi naik haji yang hanya

dijalankan setahun sekali yang bukan tradisi semata,

melainkan sebuah tradisi yang memiliki nilai sejarah yang

mendalam. Rintek, duduk di sudut dengan mata berbinar,

menangkap setiap denting kata yang tercipta di ruang

bersama ini. Ini bukan sekadar pertemuan biasa ini adalah

ritual spiritual yang menghubungkan kisah masa lalu dan

harapan masa depan.

Welieng, perempuan tua yang hatinya lebih tua dari

usianya, membuka pembicaraan. "Dana Jemaah haji yang


12
akan berangkat tahun ini berasal dari ladang yang melambai,

dan tentu saja, dari kebun teh yang telah memberi kita

kehidupan."

Suara gemerisik dedaunan di luar menjadi latar yang

sesuai dengan kesunyian di dalam.

Welieng melanjutkan, " Nantinya akan dilantunkan

dengan Syair brazanji sebagai syair ratapan kita. Di dalamnya

terukir kebijaksanaan para leluhur kita. Kita harus

menceritakan setiap langkah kita dalam syair ini."

Warga desa mendengarkan, tak ada yang berani

mengganggu ketenangan. Ruang itu menjadi panggung di

mana masa lalu dan masa depan bertemu dalam alunan kata

yang mengalun.

"Pesan saya kepada kalian, saudara-saudara," seru

salah seorang warga dengan semangat yang membara, "kita

harus seperti air dan tanah, bersatu menjadi satu. Kita bukan

hanya warga desa yang berbagi tempat tinggal, tetapi

13
keluarga besar yang merindukan tanah suci bersama."

Lanjutnya.

Ingatan akan suara sungai Malaka melukiskan alam

yang meriah, menjadi saksi sejarah ketika Jemaah melepas

diri di pintu rimba dalam upacara khusuk ‘Belepeh Matai’.

Rintek, dengan kata-kata yang memikat, menggambarkan

momen sakral ini sebagai perpisahan di antara pepohonan tua

yang menyimpan cerita sejak zaman dulu.

Di balik daun-daun yang gemetar, mata mereka dipenuhi

cahaya senja yang merona. Belepeh Matai, sebuah tradisi di

rimba yang membebaskan setiap Jemaah dengan lembut,

membiarkan mereka mengarungi jejak para leluhur.

“Malam di rimba membawa aroma mistis, diiringi

nyanyian burung hantu yang bersahut-sahutan dengan

gemerisik daun yang bergoyang pelan.” Bisik Rintek,

melibatkan pendengar dalam atmosfer magis perjalanan awal.

14
Rintek menjelaskan betapa setiap langkah terasa

berirama, menggambarkan perjalanan sebagai tarian hati

yang melibatkan alam sebagai penonton setia.

"Sampai di padang yang tak bertepi, langkah kami

melambung seperti daun yang ditiup angin. Di sanalah, kisah

kami bercampur dengan sungai Malaka yang setia menjadi

saksi akan perjalanan kami menuju Mekah."

Dalam cahaya remang bulan, air sungai mengalir

begitu mendalam, melukiskan perjalanan spiritual mereka

yang tidak hanya dalam rimba yang sunyi, tetapi juga dalam

kerinduan yang dalam dan bersemi di hati masing-masing

Jemaah.

"Dan kemudian, di pelabuhan tulbayur. Suara ombak

memecah hening malam, menyambut para Jemaah di

persimpangan antara daratan dan lautan. Di sinilah, jiwa kami

menghadapi ujian baru, sebelum perjalanan melanjutkan jejak

ke tanah suci." Ucap Rintek, dengan kata-kata yang

melambangkan penuh rasa hormat, menceritakan betapa


15
pelabuhan itu menjadi peralihan antara dunia yang

ditinggalkan dan dunia yang akan dihadapi. Bagai sebuah

gerbang menuju Mekah yang penuh harapan dan ketakutan.

“Melangkah dari pelabuhan itu, tanah suci Mekah

menjadi tujuan akhir perjalanan kami. Tidak hanya kesejukan

embun di waktu Subuh yang menyentuh, tetapi juga

kehangatan ilmu yang menjalar di baitul mukadish, tempat

para jemaah menetap untuk belajar." Sambungnya.

Dalam keremangan malam, Rintek menciptakan

gambaran tentang bagaimana tanah suci menjadi ladang ilmu

dan spiritualitas. Mata Rintek berkaca-kaca ketika ia

menceritakan tentang mereka yang memilih menetap, menjadi

bagian dari sejarah hidup Mekah, dan bagaimana Kiyayi Haji

Muktat Ambai menorehkan namanya dalam buku kisah

perjalanan spiritual di sekepal tanah dari surga.

Malam-malam berlalu diiringi alunan dalam syair naik

haji yang dibawakan oleh Rintek. Cerita yang teranyam di atas

sajadah doa, menggambarkan sebuah perjalanan spiritual


16
yang penuh liku-liku. Dari bait yang pertama hingga bait

terakhir, syair itu menjadi kisah tentang kehidupan,

pengorbanan, dan keinginan untuk menyentuh baitul

mukadish.

“Baitul mukadish, terdengar dalam gema syair yang

ditulis dengan susah payah. Lembaran-lembaran syair

barsanji menjadi saksi bisu setiap langkah di tanah suci. Di

antara bait-bait yang meratapi perjuangan Mekah dan bait-bait

yang merayakan pertemuan dengan Allah."

Ratapan dalam syair menjadi corak dalam cerita naik

haji. Seperti anak panah yang menusuk kalbu, kata-kata

merangkai rasa kehilangan, kebersyukuran, dan keteguhan

hati.

"Di malam yang gulita, mereka bersimpuh dalam duka,

meratap kepergian yang tak pasti, namun di setiap tangisan itu

terdengar getar-getar kebahagiaan akan pertemuan yang

hakiki."

17
Rintek, sebagai penutur kisah, membawa pendengar

pada perjalanan malam yang memilukan namun penuh haru.

Ia menggambarkan setiap hembusan angin malam sebagai

saksi bisu yang menyaksikan keluarga dan sahabat yang

meratap di pembaringan mereka.

"Dalam gelap, terdengar lirih doa dan keluhan hati

yang terukir dalam syair. Semua itu menjadi bagian dari

perjalanan menuju baitul mukadish."

Setiap kata dalam syair menjadi perekat jiwa Jemaah

haji. Meski hanyalah kata-kata, ia merangkai relung-relung hati

yang penuh dengan kerinduan dan keikhlasan.

"Bait akhir menyentuh, seakan menggenggam erat

harapan dan kepasrahan. Mereka menorehkan keberanian di

setiap bait, seperti pedang yang melukis garis di medan

perang."

Dalam suasana hening malam taleh, Rintek menutup

lembaran syair dengan keharuan. "Inilah cerita kita, yang

18
tertoreh dalam syair naik haji. Tak hanya tentang sebuah

perjalanan fisik, melainkan perjalanan jiwa yang melintasi

samudra rasa. Setiap bait adalah tonggak sejarah yang kita

tinggalkan di tanah suci."

Seiring dengan sepenggal syair yang ditinggalkan di

balai desa, malam taleh melambai perlahan. Ia membawa

beban doa, tangisan, dan kebersamaan yang mengiringi

setiap Jemaah haji dalam meraih impian mereka menuju baitul

mukadish.

Sesaat sebelum berangkat, Jemaah berkumpul di pintu

rimba. Rintek memandang sekelilingnya, merasakan aura

kerinduan dan ketenangan. "Tempat ini adalah saksi bisu

setiap langkah perjalanan kita. Di sini, harapan dan doa

bersatu membentuk cahaya yang menerangi setiap hati yang

penuh haru."

Tiap sudut ruangan dipenuhi aroma harum dan suara

gemerincing tasbih yang membawa damai. Suasana haru

terasa begitu kental, seolah-olah kita berdiri diambang


19
gerbang surga. Pola duduk dan berdiri di balairung

memperlihatkan kekhusukan masing-masing Pengantar

jamaah. Ada yang duduk bersila dengan mata yang penuh

harap, seakan sedang berbicara dengan Sang Khalik. Ada

pula yang berdiri tegak, seolah-olah siap melangkah ke arah

takdir yang telah dituliskan.

Sentuhan cahaya yang masuk dari jendela-jendela

menyinari wajah-wajah yang penuh rasa syukur. Cahaya itu

bukan sekadar cahaya, melainkan sinar ilahi yang memandu

setiap langkah kita. Di dalam ruang ini, kita menemukan

kedamaian dan kehangatan yang melebihi kata-kata.

Setelah momen haru itu, giliran prosesi perpisahan

dengan keluarga. Rintek melihat setiap keluarga memberikan

dukungan terakhir. "Prosesi ini bukan hanya perpisahan,

melainkan ikatan batin yang tak akan pernah putus. Mereka

bertukar buku tabungan haji dengan penuh haru dan doa.

Setiap lembar buku tabungan haji seperti menyimpan sejuta

harapan. Lembaran itu menjadi saksi setiap langkah menuju

20
ke tanah suci dengan penuh pengorbanan . Kata-kata doa

yang terucap menjadi bekal rohaniah, melebur dengan aroma

harum para jemaah dan suara gemerincing tasbih.

Rintek menyoroti momen ketika buku tabungan haji

telah terisi sehingga mengantarkkan Jemaah menuju baitul

mukadish. "Mata yang berkaca-kaca, senyuman yang haru,

dan pelukan hangat dari keluarga. Semua tergambar dalam

momen perpisahan ini. Sebuah momen yang akan membekas

di dalam sanubari setiap Jemaah." Ucap Rintek.

Puncak keberangkatan terjadi di pintu rimba, di Kayu

Aro yang dikenal sebagai ‘Belepeh Matai’. Rintek menulis

dengan kata-kata yang menggambarkan nuansa magis dan

sakral. “Pintu rimba adalah gerbang awal perjalanan spiritual

kita. Setiap Jemaah dilepaskan dengan doa dan harapan dari

keluarga, seperti burung yang dilepas bebas ke angkasa."

Tulisnya.

Langkah pertama di tanah rimba seperti menyentuh

keheningan rohaniah. Seakan-akan waktu berhenti sejenak.


21
Suara pepohonan dan kicauan burung menjadi latar belakang

doa-doa yang terangkat. Ini adalah momen sakral di mana

langit dan bumi bersatu dalam diam. Perjalanan ke tanah suci

tidak hanya di darat, tetapi juga di sungai Malaka.

Rintek menggambarkan pemandangan di atas kapal

dengan sajak yang penuh warna. “Kapal itu seperti perahu

zaman dahulu, melaju pelan di sungai yang membawa sejuta

harapan. Sungai Malaka adalah saksi bisu perjalanan kita

menuju takdir. Sinar matahari senja yang memantul di

permukaan air sungai seperti menghiasi perjalanan mereka.

Cahaya senja adalah peluk hangat dari Sang Pencipta.

Seakan-akan matahari turut merayakan langkah para jemaah

yang penuh ketakwaan”.

“Tibalah mereka di pelabuhan Tulbayur, suatu tempat

yang penuh kenangan dan sejarah. Pelabuhan ini adalah

saksi perjalanan panjang dari rimba, sungai, hingga ke lautan.

Di sini, Jemaah menapaki tanah suci dengan penuh syukur

dan harap. Di pelabuhan itulah, Jemaah memandang laut

22
dengan khidmat. Lautan yang luas seperti pintu gerbang yang

membawa mereka menuju tanah haram. Seakan-akan laut itu

membisikkan doa-doa keamanan dan kelancaran perjalanan.”

Sambung Rintek bercerita.

Tibalah mereka di Mekah, tempat suci yang diidamkan.

Rintek mengisahkan tentang Kiai Haji Muktat Ambai, sosok

yang menetap dan belajar di Mekah. Kisah Kiai Muktat Ambai

adalah kisah inspiratif yang menggambarkan betapa sakralnya

tanah suci. Beliau adalah bukti hidup bahwa Mekah tidak

hanya menjadi tujuan, melainkan juga sekolah rohaniah yang

abadi.

“Rintek menyelipkan beberapa bait syair yang

mencerminkan kerinduan dan penghargaan. Dalam doa-doa,

kita mencantumkan nama Kiai Muktat Ambai. Beliau adalah

bintang yang membimbing langkah-langkah kita di bumi suci

ini.” Rintek menyudahi cerita ini dengan penuh harap dan

keyakinan.

23
"Di bumi suci ini, kita meletakkan harapan dan doa-

doa. Setiap langkah kita adalah cerminan kebersamaan,

kesatuan, dan keyakinan. Semoga perjalanan spiritual kita di

Baitul Mukadish menjadi bekal abadi, mengukir kisah yang tak

terhapuskan dalam sejarah masyarakat Kerinci." Mengakhiri

ceritanya, Rintek menatap mata pembaca dengan senyuman

yang penuh makna. Karena pada akhirnya, perjalanan ini

adalah perjalanan bersama, membawa kita menuju baitul

mukadish dengan hati yang suci dan jiwa yang penuh cinta.

24
CANDI MUARO JAMBI

Karya : Mamixahfalah

25
Perkenalkan aku Tari, aku adalah salah satu siswi di

sekolah menengah atas di kota Jambi. Pada pagi ini tepatnya

tanggal 5 November 2023 aku bersama teman sekelasku akan

bertamasnya sambil belajar di salah satu candi yang berada

diprovinsi jambi tepatnya beralamat di Kecamatan Maro Sebo

Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi.

Candi yang akan kami datangi adalah sebuah

kompleks percandian agama Hindu-Buddha dimana kompleks

percandian ini merupakan kompleks percandian terluas di Asia

Tenggara dengan luas 3981 hektar.

Kami pergi bersama rombongan yang berisi aku,

teman sekelasku dan guru kelas beserta guru pendamping

lainnya. Kami sedang mengadakan belajar diluar kelas

sembari bertamasya dan belajar tentang Sejarah.

Di perjalanan aku dan temanku Lia tak henti-hentinya

mengucap kagum kepada pohon-pohanan yang begitu asri

berada disisi jalan. Aku dan Lia terus mengabadikan hal itu

lewat ponsel pintar milik kami.


26
“Tar, tolong fotokan aku dong” pinta Lia padaku, aku

pun lantas mengangguk dan mengambil ponsel ditangannya.

Ceklek

Ceklek

Ceklek

Kamera blits di ponselnya terus bersuara beriringan

dengan Lia yang terus berpose.

“Terimakasih Tari” Ucap Lia padaku dan aku pun

mengembalikkan ponselnya padanya.

Tak berselang lama bus yang kami tumpangi telah sampai

diarea parkiran kompleks percandian, aku beserta rombongan

pun segera turun dari bus secara bergantian.

Setelah turun dari bus, Ibu Cika sebagai wali kelas

kami meminta kami untuk berbaris lebih dulu yang mana

tujuan dari kami berbaris adalah untuk memberikankan kami

27
wejangan serta aturan-aturan yang harus kami taati saat

berada di kompleks percandian.

Setelah nasehat yang diungkapkan oleh Ibu Cika usai

kami pun dibubarkan lalu berjalan bersama masuk ke dalam

kompleks percandian.

Aku berjalan beriringan dengan Lia, disisi jalan banyak

sekali orang-orang disana yang menyewakan sepeda mereka

dan ada pula yang berjualan makanan ringan seperti

gorengan, pop mie dan jajanana lainnya.

“Tari, gimana kalau kita nyewa sepeda?” ajak Lia.

“Boleh li, kita tanyakan dulu aja dengan bu Cika” jawab

Tari. Dan keduanya pun sepakat lalu berjalan mendekat

kepada bu Cika yang sedang berjalan pelan di bagian paling

belakang barisan.

“Tari Lia kalian mau kemana?” Tegur bu Cika saat

melihat muridnya berjalan berlawanan arah darinya.

28
“Gini bu, saya sama lia mau nyewa sepeda bolehkah

bu?” ucapku saat kami udah di dekat bu Cika.

“Oh boleh” jawab bu Cika.

“Baik terimakasih ibu” ucap kami serentak, setelahnya

aku dan Lia pun menepi ke tempat penyewaan sepeda. Di

sana ada banyak macam sepeda yang disewakan ada sepeda

yang bisa dimainkan berdua, ada sepeda lipat, sepeda BMX

bahkan sepeda ontel pun mereka menyewakannya.

Aku pun memilih sepeda lipat sedangkan Lia memilih

sepeda BMX. Sebelum kami bawa bapak yang menyewakan

sepeda memeriksa lebih dulu kondisi sepeda yang akan kami

pakai tak lupa bapak tersebut juga memberikan kami air

minum yang masih bersegel dan mengatur tinggi tempat

duduk sepeda kami.

Setelah semuanya usai tak lupa aku dan Lia

berterimakasih dengan bapak penyewa lalu kembali

menggoes sepeda itu masuk ke dalam perkarangan komplek

29
percandian. Saat masuk ke sana kami mendapati banyak

sekali orang-orang yang sedang berliburan mengingat hari ini

adalah hari minggu hari dimana waktu bersama keluarga,

pacar dan teman untuk berkumpul.

Setelah kami sudah berada dirombongan ibu Cika lagi-

lagi meminta kami untuk berkumpul. Aku dan Lia pun segera

menepi dan memarkirkan sepeda yang kami sewa berada

dekat dengan kami duduk.

Disaat semuanya sudah berkumpul ibu Cika mulai

bersuara, Bu Cika membagikan kami tugas kelompok secara

berpasangan dimana tugasnya kami diminta untuk mencatat

sejarah tentang candi-candi yang ada di kompleks percandian

ini dan tak lupa disisipkan dengan foto.

Ternyata aku sekelompok lagi dengan Lia kami berdua

pun begitu senang. Setelah pembagian kelompok dan tugas

bu Cika membubarkan kami namun sebelumnya kami berdoa

bersama lebih dulu demi kelancaran kegiatan kami pada hari

ini.
30
Aku dan Lia Kembali menggoes sepeda milik kami, di

perjalanan kami tak lupa untuk mengabadikan tiap-tiap sudut

yang ada dikompleks percandian ini. Benar kompleks

percandian muaro Jambi ini begitu bagus dan indah sayang

kalau tidak diabadikan lewat ponsel.

Sebelum memulai tugas kami mengambil foto-foto

lebih dulu aku terus berganti dengan Lia dalam mengambil

sesi foto mungkin ada sekitar 50 foto yang sudah kami ambil

hari ini.

Dan sesi tugas pun dimulai aku dan lia dengan

semangat mencatat semua yang ada dikompleks percandian

ini karena di tiap candi selalu ada papan sejarah yang

menjelaskan tentang candi yang dibelakangnya.

Setelah merangkum semuanya kami pun mendapati

bahwa Candi Muaro Jambi adalah sebuah kompleks

percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara

yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan

Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Candi tersebut diperkirakan


31
berasal dari abad ke- 7 - 12 M. Candi Muara Jambi

merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling

terawat di Pulau Sumatra. Dan sejak tahun 2009 Kompleks

Candi Muaro Jambi telah dicalonkan ke UNESCO untuk

menjadi Situs Warisan Dunia.

Kompleks percandian Muaro Jambi terletak pada

tanggul alam kuno Sungai Batanghari. Situs ini mempunyai

luas 12 km persegi, panjang lebih dari 7 kilometer serta luas

sebesar 260 hektar yang membentang searah dengan jalur

sungai. Situs ini berisi 110 candi yang sebagian besar masih

berupa gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas

(diokupasi). Dalam kompleks percandian ini terdapat pula

beberapa bangunan berpengaruh agama Hindu.

Di dalam kompleks tersebut tidak hanya terdapat candi tetapi

juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam

32
tempat penampungan air serta gundukan tanah yang di

dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam kompleks

tersebut minimal terdapat 85 buah menapo yang saat ini

masih dimiliki oleh penduduk setempat. Selain tinggalan yang

berupa bangunan, dalam kompleks tersebut juga ditemukan

arca prajnaparamita, dwarapala, gajahsimha, umpak batu,

lumpang/lesung batu. Gong perunggu dengan tulisan Cina,

mantra Buddhis yang ditulis pada kertas emas, keramik asing,

tembikar, belanga besar dari perunggu, mata uang Cina,

manik-manik, bata-bata bertulis, bergambar dan bertanda,

fragmen pecahan arca batu, batu mulia serta fragmen besi

dan perunggu. Selain candi pada kompleks tersebut juga

ditemukan gundukan tanah (gunung kecil) yang juga buatan

manusia. Oleh masyarakat setempat gunung kecil tersebut

disebut sebagai Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.

Meskipun kompleks candi ini sebagai Warisan Budaya

Dunia, candi ini mengalami kemunduran dalam pengelolaan.

Ini diperparah oleh adanya industri sawit dan batubara di

33
sekitar kompleks. Bahkan sejumlah candi dan menapo

(tumpukan bata berstruktur candi) berada persis di tengah-

tengah lokasi pabrik dan areal penimbunan batubara.

Pariwisata massal juga turut memperparah keadaan, dengan

adanya persewaan sepeda, yang sering kali melindas

menapo, dan adanya kompleks candi yang digunakan sebagai

pasar malam, mulai dari komidi putar dan tong setan yang

dipasang di tengah candi. Selain itu, kawasan konservasi

arkeologis itu belum lagi dimasukkan ke rencana tata ruang

kabupaten dan provinsi. Disayangkan, pengalokasian wilayah

untuk ini belum ada.

Setelah merangkum semuanya mereka berdua pun

kompak untuk mencari kedai makanan demi mengisi

kekosongan perut. Aku dan Lia memilih untuk makan di kedai

pak Edi yang mana kedai itu menjual berbagai macam mie,

ada pop mie, mie goreng, mie kuah, mie tek-tek dan lain

halnya.

34
“Mau pesan apa dek?” Tanya ibu siska, istri dari pak

Edi saat aku dan Lia sudah duduk di kursi dalam kedai

mereka.

“Saya mie tek-tek buk” Jawab Lia

“Saya mie kuah buk” ujar ku kemudian.

“Baik tunggu sebentar ya dek disiapkan dulu” ungkap

Ibu Siska lalu setelahnya ia kembali ke dalam bagian belakang

kedainya tepat ibu siska dan pak edi membuat pesanan

mereka.

Tak berselang lama makanan yang kami pesan pun

datang tak lupa aku mengucap terimakasih kepada ibu Siska

yang telah menghidangkan makanan enak ini untuk kami

santap.

“Kelihatannya enak banget ni tar” ungkap Lia sembari

terus meniup nium mie tek-tek pesanannya sebelum masuk

kedalam mulut mungilnya.

35
“Iya Lia” jawabku.

Kami pun menyantap makanan yang telah kami pesan

dengan penuh nikmat setelahnya kami pun membayarnya dan

kembali ke rombongan karena bu Cika menginformasikan di

grup chat kelas untuk kumpul ditempat pertama kami duduk

tadi.

Setiba di rombongan aku dan Lia duduk berdampingan

dengan teman yang lainnya dan bu Cika bersama dua guru

pendamping duduk di paling depan kami, mereka sedang

menyiapkan sebuah papan dan pengeras suara.

“Baiklah kalian sudah mengerjakan tugas yang ibu

pinta tad ikan?” Tanya bu Cika dengan mic ditangannya yang

tentu di dengar jelas oleh teman-teman yang lain bahkan

orang yang berada di dekat kami pun mungkin dapat

mendengarnya pula.

“Sudah bu” jawab kami serentak.

36
“Kalau begitu coba kalian bersama dengan kelompok

kalian mempresentasikannya ke depan sini dan jangan lupa

untuk mengirim hasil foto yang ibu pinta tadi di grup saat

kalian mempresentasikan.

“Baik buk” Jawab kami lagi.

Dan sesi presentasi kelompok pun dimulai, satu

persatu kelompok mulai mempresentasikan hasil kerja

kelompok mereka. Aku dan Lia berada di urutan nomor lima

setelah kelompok Randi dan Rio maju. Aku dan Lia mulai

menjelaskan apa saja yang telah kami dapat tadi dan setelah

penjelasan usai kami dipersilahkan untuk duduk tak lupa ibu

Cika dan teman lainnya memberikan apresiasi kepada kami

yang telah dengan bertepuk tangan.

Matahari yang tadinya masih malu-malu untuk hadir

saat kami datang kini sudah mulai untuk pamit, maka dengan

itu pula kami bersama rombongan pun berangsur angsur

untuk pulang dan menyudahi perjalanan kami pada hari yang

panjang ini.
37
MANDI SAFAR

Karya: Oktavia Pratiwi

Saat ayam baru berkokok di tepian jendela depan

kamar, ibu sudah berteriak dari arah dapur untuk memanggil

namaku.

“Ratna!”

“Ratna!”

38
“Ratna!”

Bagai alunan musik yang indah aku jadikan suara

panggilan ibu menjadi lagu tidurku, bukan terbangun aku

malah semakin terlelap namun dalam detik berikutnya aku

tersadar saat ibu sudah menyiramku dengan air dingin.

“Akhh.. ibu…” teriakku saat ibu dengan wajah

marahnya telah berdiri disamping ranjangku.

“Dimana kuping kamu ha? Ibu sudah capek-capek

teriak kamu masih tidur! Tidak baik anak gadis masih tidur di

jam segini! RATNA!!”

“Iya bu.. Ratna udah bangun dari tadi.” ucapku sambil

mengucek dua kelopak mataku.

“Sudah sana siap-siap bereskan bajumu!”

“HAH! Ibu mau ngusir Ratna?” mataku melotot saat

ibu memintaku untuk membereskan baju.

“IYA!!” teriak ibu menggelegar.

39
“Ibu..!” rengekku.

“Sudah bereskan bajumu Ratna!” ucap ibu sekali lagi,

aku tentu menangis mendengarnya sebesar itukah salahku

sampai ibu mau mengusirku.

“Ratna salah apa bu sampai mau diusir?” pecah sudah

tangisku di pagi hari yang sudah terik ini.

Ayah yang tadi sedang memberi makan ayam kate

kesayangannya pun sampai datang ke kamarku karena suara

tangisku yang begitu menyayat hati.

“Ada apa ini bu? Kenapa Ratna pagi-pagi sudah

menangis?” tanya ayah saat sudah sampai di depan kamarku.

“A-ayah..” aku melepas pelukkanku pada ibu dan

berlari ke arah ayah dan memeluknya.

“Kenapa Ratna?” tanya ayah kepadaku.

40
“Ayah, ibu mau ngusir Ratna” aduku pada ayah,

walaupun ayah tampangnya seperti preman pasar tapi aku

tidak setakut itu padanya berbeda dengan ibu.

“Ngusir apa bu?” tanya ayah pada ibu.

“Siapa yang mau ngusir ibu cuma nyuruh dia bereskan

pakaiannya” jelas ibu pada ayah.

“Tuh kan ayah ibu mau ngusir Ratna.” rengekku

kembali pada ayah.

“Ibu..” ucap ayah sembari mengelus kepalaku.

“Ah sudahlah banyak sekali drama di rumah ini.” ucap

ibu setelahnya meninggalkan aku dan ayah yang masih

menangis.

Ayah melepas pelukanku lalu mendudukanku ke atas

ranjang, “Ibu bukan mau ngusir kamu Ratna, ibu minta kamu

mengemas pakaian karena kita mau kerumah nenek pagi ini.”

41
jelas ayah padaku, aku yang tadi masih menangis kini

berubah menjadi diam setelah mencerna ucapan ayah.

“Jadi sekarang kamu siapin pakain kamu sebentar lagi

kita akan berangkat.” pinta ayah lalu ia pergi keluar dari

kamarku.

“Aaaaa…” teriak aku yang merasa bodoh karena

sudah buat drama di pagi hari.

“Sudah jangan teriak teriak cepat kemas pakaianmu

RATNA.” teriak ibu dari arah dapur.

Aku mengusap airmata yang masih mengenang di

pelupuk mataku “Iya bu..” ujar ku secara lirih.

Setelah drama panjang pagi tadi, kini aku ayah dan ibu

sudah berada di dalam mobil, kami sekeluarga akan

berangkat kerumah nenek yang berada di desa wisata air

hitam tepatnya terletak di jalan Air hitam laut Kabupaten

tanjung jabung timur Provinsi Jambi.

42
Kami berangkat pukul sepuluh pagi, estimasi sampai

rumah nenek kurang lebih dua jam. Selama perjalanan aku

memilih untuk tidur. Hingga tibalah kami di rumah nenek pada

pukul dua belas siang.

Rumah nenek begitu asri. Kiri dan kanan rumah masih

banyak pohon-pohon menjulang tinggi tidak hanya itu nenek

juga sama dengan ayah yang suka sekali memelihara ayam.

Dulu waktu aku kecil aku sering dikejar oleh ayam-ayam

nenek karena dulu aku sering mengusili mereka.

Saat sampai kami pun disambut hangat oleh nenek,

aku yang masih mengantuk pun tak lepas dari ciuman manja

yang nenek selalu berikan kepadaku.

“Cucung cantik nenek apa kabar?” tanya nenek

sembari kami masuk ke dalam rumah.

“Alhamdulillah baik nek” ucapku kepada nenek sembari

menyalimi tangan keriputnya.

43
“Alhamdulillah, sudah makan cung?” tanya nenek

kembali kepadaku.

“Sudah nek.” jawabku sambil tersenyum ceria.

“Yaudah kamu istirahat dulu aja ke kamar ya.” ucap

nenek dan aku pun mengangguk lalu berjalan masuk ke

kamar yang biasa menjadi tempat ku untuk beristirahat.

Oh iya dirumah ini, nenek hanya tinggal seorang diri

karena kakek sudah meninggal dua tahun yang lalu

sedangkan paman dan bibiku yang lain banyak yang merantau

keluar kota termasuk ayahku, tapi terkadang nenek selalu

ditemani oleh tante isa, tante itu adalah tetangga nenek yang

usianya 10 tahun diatasku. Tante isa sering bantu-bantu

dirumah nenek.

Saat malam hari aku, nenek, ayah dan ibu sudah

duduk rapi di meja makan. Malam ini ibu dan nenek masak

tempoyak, salah satu menu makanan kesukaan aku kala

berkunjung kerumah nenek.

44
“Wahh tempoyak!!” teriak aku kesenangan.

“Nenek kamu tau aja kesukaan cucung

kesayangannya ni.” sindir ayah.

“Padahal kan ayah juga suka tempoyak huuu.” sindirku

pada ayah.

“Iya kamu ni Hendri.” tegur nenek pada ayah, anak

sulungnya.

“Belain aja terus cucung kesayangannya mak.” sindir

ayah terhadapku.

“Iya dong kan Ratna cucung kesayangan nenek, nenek

juga kesangan Ratna.” ucapku sembari memeluk nenek yang

sudah duduk disampingku.

“Yaaa.. kalah deh ayah kalau gini.” ucap ayah.

Setelah senda gurau sebelum makan itu selesai kini

mereka berempat pun mulai makan bersama. Ibu dengan

45
telaten mengambilkan makanan untuk ayah dan aku

mengambilkan makanan untuk nenek.

“Terimakasih cung” ucap nenek setelah menerima

piring pemberianku.

“Sama-sama nenek” balasku sambil tersenyum

kearahnya.

“Besok ada acara mandi safar kita kesana semua ya.”

ucap nenek sembari menyuapkan makanan kedalam

mulutnya.

“Mandi safar itu apa nek?” tanyaku

“Kamu nggak tau mandi safar ya cung? Jadi mandi

safar itu mandi yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari

bencana atau mala petaka.” jelas nenek padaku.

“Kenapa tidak mandi dirumah aja nek?” tanyaku

penasaran.

46
“Di desa ini sudah tradisi cung, jadi tiap rabu terakhir

pada bulan Safar semua masyarakat desa wisata air hitam

dan pendatang yang lain akan berbondong-bondong ke air

hitam itu untukmengikuti upacara mandi shafa.r”

“Oh sudah tradisi ya nek, kok tiap Ratna kesini tidak

ada nek mandi shafar?”

“Karena tiap Ratna kesini mungkin belum harinya.”

“Oh mugkin ya nek, wah Ratna udah nggak sabar buat

ikut upacara mandi shafar.” ucapku semangat.

“Besok kita kesana sama-sama ya.”

“Iya nek.”

Keesokan harinya pagi-pagi sekali aku bersama nenek

sudah siap untuk mengikuti upacara mandi shafar. Bahkan

aku yang biasanya paling susah untuk bangun pagi pun kini

sudah terlebih dahulu bangun dari pada nenek dan ibu.

47
Aku dan nenek pergi duluan ke pantai Babussalam Air

Hitam Laut untungnya pantai itu tidak jauh dari rumah nenek

jadi kami bisa berjalan kaki. Sesampainya disana aku

dikagetkan dengan begitu banyak orang yang sudah berlalu

lalang di dekat pantai tidak terpikir olehku seantusias ini

orang-orang mengkuti kegiatan upacara mandi Shafar.

Upacara mandi shafar ini dimulai tepat pukul delapan

pagi, yang dibuka langsung oleh bapak wakil Bupati Tanjung

jabung Timur yaitu bapak Robby Nahliansyah.

Oh iya selama kegiatan pembukaan itu aku baru tau

ternyata ada sejumlah pantangan yang mereka jalankan mulai

terbitnya fajar hingga terbenamnya matahar. Pantangan

tersebut pada prinsipinya adalah tidak melakukan aktivitas

yang menantang bahaya (berisiko tinggi), seperti nelayan tidak

pergi melaut, anak-anak dilarang bermain jauh dari rumah

untuk menghindari kecelakaan, dilarang menebang pohon,

menyakiti binatang dan lain-lain. Dan pada hari ini saat

pelaksanaan upacara mandi Safar, warga masyarakat

48
mempersiapkan segala peralatan segera setelah waktu

sembahyang subuh berlalu.

Adapun Persiapan dan pelaksanakan upacara mandi

Safar secara umum mengikuti tahap-tahap berikut ini: 1)

Seminggu sebelum hari pelaksanaan upacara para anggota

keluarga dan kaum kerabat telah berkumpul untuk

menyepakati hidangan dan peralatan makanan yang akan

dibawa ke tempat pelaksanaan upacara. Tradisi makan

bersama (saprahan) ini biasanya digelar setelah aktivitas

mandi atau membrsihkan diri selesai dilaukan. Makanan

tersebut terdiri dari ketupat lemak, nasi lengkap dengan sayur

dan lauk pauk, serta kue-kue tradisional seperti apam, lepat

lau dan lainnya. 2) Selain menyepakati dan membagi tugas

yang berkaitan dengan hidangan untuk makan bersama,

dilakukan pula persiapan peralatan upacara mandi Safar.

Salah satu perlengkapan upacara terpenting adalah daun

menjuang atau daun andung.

49
Daun ini diambil dari batang sejenis tumbuhan semak

yang daunnya lebar dan tebal, dengan warna hijau

kemerahan. Daun tak bertulang ini mudah dibentuk sesuai

keinginan. 3) Setelah daun tersedia, daun-daun ini akan

diserahkan kepada tetua kampung yang bisa membuat tulisan

berupa petikan ayat suci Al-Quran di atas permukaan daun

menjuang tersebut. Tulisan yang disebut Salamun Tujuh atau

tujuh kesejahteraan itu ditorehkan di atas permukaan daun

menggunakan benda-benda yang keras dan runcing, misalnya

lidi daun kelapa yang dibuat menyerupai pensil. 4) Daun

menjuang yang telah ditulisi akan dibawa pulang, lalu

diletakkan di atas ambang pintu rumah. Sebagian lagi

direndam di dalam air yang nanti akan dipergunakan untuk

mandi tolak bala ataupun diminum oleh seluruh anggota

keluarga. Air yang disiapkan untuk mandi disebut air tolak

bala, sedangkan air yang disiapkan untuk diminum disebut air

doa selamat. 5) Di pagi hari setelah melaksanakan salat

Subuh, tepatnya hari Rabu terakhir di bulan Safar, peserta

upacara menuju tempat pelaksanaan upacara secara


50
berkelompok. Di tempat upacara yang lazimnya berupa pantai

dan sungai yang mengalir ini mereka mandi dan

membersihkan diri. Air rendaman daun menjuang yang telah

ditulusi Salamun Tujuh dapat dipergunakan untuk mandi. Para

anggota keluarga yang lebih senior akan memulai upacara ini

diikuti oleh anggota lain yang berusia lebih muda. Tata cara

mandi/membersihkan diri dilakukan sesuai ajaran agama

Islam, layaknya mandi wajib. Sambil membasahi seluruh

anggota tubuh, masing-masing peserta upacara membaca niat

di dalam hati. Niat tersebut sangat beragam, misalnya agar

terhindar dari bencana atau malapetaka, selalu mendapatkan

keberuntungan dan kesehatan, diberi kemurahan rezeki, dan

cepat mendapatkan pasangan hidup bagi laki-laki atau

perempuan yang belum menikah. Setelah aktivitas

pembersihan diri selesai dilakukan, digelar tradisi makan

bersama atau saprahan. Seluruh anggota keluarga berkumpul

menyantap hidangan yang telah mereka bawa dari rumah.

Makna yang terkandung di dalam upacara mandi Safar adalah

sebagai berikut: 1) Aktivitas mandi melambangkan hakikat


51
penyucian diri dan mengambil berkah dari para nabi. 2) Daun

menjuang yang ditulisi Salamun Tujuh dan daun menjuang

yang diletakkan di atas air mandi merupakan harapan akan

mengalirnya berkah doa dari daun-daun tersebut kepada

manusia (peserta upacara); 3) Ketupat yang merupakan

hidangan inti dalam upacara melambangkan harapan agar

bencana yang akan dan/atau sedang menimpa keluarga dapat

terlepas; 4) Salamun Tujuh yang ditorehkan di atas daun

menjuang merupakan doa-doa yang dipanjatkan agar tercipta

kesejahteraan bagi seluruh alam, diberikan kesejahteraan bagi

para nabi yang terhindar dari bencana dan telah memberikan

teladan, serta datangnya kesejahteraan di hari yang dianggap

naas tersebut.

Aku begitu banyak tau setelah mengikuti sederetan

kegiatan upacara mandi shafar ini, meski badan lelah karena

kegiatannya begitu panjang namun aku begitu senang bahkan

aku meminta sama ayah untuk ikut lagi tahun depan.

52
TARIAN SEKAPUR SIRIH

Karya: Oktavia Pratiwi

53
Di kelas 11 di salah satu sekolah menegah atas Kota

jambi, pagi ini sedang belajar mata Pelajaran seni budaya

dengan ibu Riska sebagai guru seni budaya di SMA tersebut.

Saat usai memaparkan materi pelajaran bu Riska membentuk

sebuah kelompok dan memberikan mereka tugas menari. Tak

hanya itu ibu Riska juga meminta mereka membuat

rangkuman tentang sejarah singkat dari tarian yang akan

mereka tarikan.

Saat pembagian kelompok, Rani, Citra, Tama dan Riko

berada dalam satu kelompok yang sama. Mereka pun diminta

untuk duduk dikelompok masing-masing yang bertujuan agar

mereka dapat mendikusikan tugas yang diberikan oleh ibu

Riska.

54
“Jadi kita ambil tarian apa?” ucap Tama membuka

suara.

“Gimana kalau tarian iyo-iyo?” tawar Rani.

“Emang kamu tau tarian iyo-iyo Rani ?” tanya Citra.

Rani mengendikkan bahunya lalu berucap “Ga tau”

“Ya ampun Rani kalau kamu tidak tau gimana kita

menarikannya?” gerutu Riko.

“Ya aku kan cuma memberi saran, emang tarian apa

yang bisa kita tarikan?” ucap Riska kemudian.

“Gimana kalau tarian Sekapur Sirih aja, sepertinya

tarian itu mudah dan aku dulu pernah menarikannya waktu

sekolah dasar. Insyallah masih ingat sedikit-sedikit

gerakannya.” usul Citra.

“Boleh tu, kamu bisa ngajarin kami cit.” ujar Riko

mengindahkan usulan dari Citra.

55
“Sebelum praktek lebih baik kita membuat rangkuman

tentang tarian Sekapur Sirih aja sekarang, jadi pekerjaan kita

akan cepat selesai.” usul Tama

“Boleh-boleh, sini kalian bisa cari referensi di google

lalu nanti aku yang catat di buku agenda kelompok.” ujar Rani

menawarkan diri.

“Oke Ran.” jawab mereka serempak.

Menit demi menit telah terlewati. Rani, Citra, Riko dan

Tama pun mulai merangkum tentang kebudayaan Jambi

tertutama kesenian tari jambi yang nantinya mereka tarikan

yaitu tari Sekapur Sirih.

Dari catatan yang telah mereka rangkum didapati

bahwa tarian Sekapur Sirih merupakan tergolong tarian yang

baru di provinsi Jambi, yaitu diperkenalkan pada tahun 1962.

Adapun pencipta Tari Sekapur Sirih sendiri adalah seorang

seniman kondang Daerah Jambi yang bernama Firdaus

Chatap.

56
Saat pertama kali dikenalkan, tari penyambut tamu

khas Jambi ini hanya berupa gerakan dasar. Kemudian,

gerakan dasar itu dikembangkan hingga jadi seperti sekarang.

Tak hanya pada gerakan, pengembangan juga dilakukan

dengan menambah iringan musik dan lagu. Pengembangan-

pengembangan tersebut membuat Tari Sekapur Sirih semakin

populer di kalangan masyarakat Jambi.

Sebagai tarian penyambut tamu, Tari Sekapur Sirih

memiliki makna yang mendalam terkait penghormatan kepada

orang lain. Selain itu, Tari Sekapur Sirih juga sebagai

ungkapan rasa syukur dan bahagia masyarakat Jambi atas

kedatangan tamu agung tersebut.

Selain itu, Tari Sekapur Sirih juga sebagai ungkapan

rasa syukur dan bahagia masyarakat Jambi atas kedatangan

tamu agung tersebut. Biasanya Tari Sekapur Sirih dipentaskan

oleh 9 orang penari perempuan, 3 orang penari laki-laki, 1

orang bertugas membawa payung, dan 2 orang sebagai

pengawal.

57
Properti yang digunakan dalam tarian ini antara lain

wadah yang berisi lembaran daun sirih, payung, dan keris.

Tarian ini menceritakan tentang gadis-gadis Jambi yang

sedang berias dan bersiap untuk menyerahkan pemberian

berupa Sekapur Sirih.

“Eh di tarian ini ada pakai properti, kita harus nyiapin

propertinya juga berarti?” tanya Rani semberi mencatat

rangkuman mereka.

“Iya Ran nanti kita cari sama-sama ya propertinya

kalau tidak kita buat saja dari bahan-bahan sederhana.”

ungkap Citra.

“Oh oke Citra.” jawab Rani.

Tidak terasa jam pelajaran terakhir pun telah usai,

mereka berempat yang masuk kelompok tari serempak keluar

bersama dari dalam kelas. Keempatnya berencana untuk kerja

kelompok.

58
Tempat mereka kerja kelompok yaitu di rumah Rani,

alasannya karena rumah Rani lah yang paling dekat dari

sekolah jadi mereka tak perlu bersusah payah memesan

kendaraan umum untuk pergi kerja kelompok.

Setapak demi setapak mereka lewati jalanan yang

berawal aspal kini berubah menjadi tanah liat tak mereka

hiraukan demi sampai dirumah Rani. Perjalanan yang mereka

kira hanya memakan waktu lima menit ternyata sudah sepuluh

menit mereka berjalan dan berakhir sampai di depan rumah

Rani. Wajah lusuh karena kelelahan berjalan tampak tergurat

di wajah keempat sekawan itu. Rani sebagai pemiliki rumah

membukakan pintu dan mempersilahkan temannya untuk

masuk.

Keempatnya pun masuk ke dalam rumah Rani, dan

tanpa ba bi bu lagi mereka serentak menselonjorkan kakinya.

Rani sebagai pemilik rumah dengan sigap mengambilkan air

minum untuk temannya. Ia membawa senampan air jeruk

dingin dengan empat gelas bersejajar di atasnya.

59
“Diminum dulu airnya ya teman-teman, aku tau kalian

pasti capek kok.” ucap Rani mempersilahkan temannya untuk

minum.

Citra, Riko dan Tama yang tadinya sedang berbaring di

lantai rumah kini serentak berdiri demi mengambil segelas

minum yang ditawarkan oleh Rani.

Glug… glug… glug…

Segelas air jeruk itu pun tandas diminum ke empat

sekawan tanda bukti bahwa mereka benar-benar dilanda

kehausan yang teramat sangat.

Selesai memberi minum temannya Rani masuk

kembali ke dapur mengambil cemilan untuk mereka makan

sembari mengerjakan tugas kelompok.

Sekembalinya Rani ke ruang tamu, ketiga temannya

sudah tertidur dengan lelap, rencana kerja kelompok yang

mereka rencanakan berakhir dengan kandas.

60
Rani membiarkan temannya untuk berisitirahat ia

memilih ke kamarnya guna mengganti baju sekolahnya

menjadi baju rumahan. Tidak lama ia berganti pakaian, kini

Rani kembali ke dapur untuk bergegas mencuci piring bekas

makan semalam. Rani adalah gadis yang rajin dan telaten

dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun pekerjaan

sekolah ia tidak suka pekerjaannya ditunda-tunda menurutnya

waktu adalah uang.

Tidak butuh waktu lama pekerjaan rumah telah selesai

Rani kerjakan, kini ia kembali ke ruang tamu dan tepat saat ia

sampai di ruang tamu ternyata ketiga temannya sudah

bangun lebih dulu. Mereka bertiga sedang mengerjakan

pekerjaan yang berbeda, Citra sedang membaca buku novel

kesukaannya sedangkan Tama dan Riko asyik bermain game

di ponselnya.

“Sudah bangun kalian?” tegur Rani.

61
“Kami ga tidur Ran, Cuma nutup mata aja tadi.” ujar

Riko sembari tangannya masih asyik bergeriliya diatas layer

ponselnya.

“Bohong banget suara ngorok kamu aja terdengar

sampai dapur Riko!” Sela Rani dan dibalas gelak tawa oleh

teman mereka yang lain.

“Sudahlah ko jangan bohong, kamu ngomong benar

aja kami tetap mikir kamu bohong.” tambah Tama yang suka

menggoda teman satunya itu.

“Jahat banget kalian!.” balas Riko. Meski di ledek

bergitu Riko tak mengambil hati ia sadar teman-temannya

hanya bercanda.

Lima belas menit kemudian kini semuanya telah duduk

dengan sejajar sembari menonton video yang sedang Rani

putar yaitu tarian Sekapur Sirih. Keempat sekawan itu tampak

fokus menonton tarian Sekapur Sirih yang sedang ditarikan

oleh lima orang di dalam video tersebut.

62
“Disitu lima orang sedangkan kita empat orang, jadinya

gimana?” Tanya Riko dengan matanya yang tetap fokus

menonton.

“Gak papa Riko, kita tetep bisa ngatur koreografinya

nanti” jawab Citra.

“Baiklah” pasrah Riko.

Setelah memutar video lebih dari tiga kali, kini mereka

mulai mempraktekkan tarian yang mereka tonton tadi dengan

Gerakan mereka sendiri dan dipimpin oleh Citra yang memiliki

pengalaman dalam menari Sekapur Sirih.

Satu

Dua

Tiga

Hitungan demi hitungan terus keluar dari mulut Citra

demi menyelaraskan Gerakan mereka semua. Tarian yang

63
mereka anggap mudah saat ditonton ternyata tidak semudah

itu saat di praktekkan.

Latihan tarian mereka pun berjalan sampai satu

minggu lamanya, dengan durasi latihan selama dua jam setiap

pulang sekolah. Dan kini tibalah saatnya mereka menunjukkan

hasil latihan mereka ke depan bu Riska dan teman-teman

sekelas. Saat nama kelompok mereka di panggil keempat

sekawan itu pun maju ke depan kelas.

Awalnya Riko dan Tama tampak malu-malu dalam

menggerakkan tubuh mereka namun saat sorak sorai dan

teput tangan dari teman-teman sekelas kini keduanya tampak

menikmati tarian mereka sampai tarian itu usai.

Bu Riska memberi teput tangan kepada keempat

sekawan tersebut yang telah berhasil menampilkan tarian

sekpaur sirih dengan baik.

“Berapa lama kalian Latihan?.” tanya bu Riska.

“Satu minggu bu.” jawab Citra.


64
“Satu minggu? Wah dalam waktu singkat kalian bisa

menari sebagus ini. Bagaimana kalau kalian menari diatas

pentas untuk kegiatan pentas seni minggu depan?” tawar Bu

Riska kepada mereka.

Citra tak langsung menjawab ia melirik ke tiga teman di

sampingnya, wajah mereka tampak ragu terlihat dari guratan

kening yang terlihat jelas dari Riko dan Tama.

“Kami pertimbangkan dulu ya bu.” jawab Citra

kemudian.

“Baiklah, kabarkan ibu segera ya. Supaya ibu

daftarkan nama kelompok kalian.” ujar ibu Citra.

“Baik bu.” Ucap keempatnya secara serentak.

65
TRADISI MAPPENRE’ BOLA

Karya: Nurfadhila Fadlil Insani

66
Dilingkungan yang baru menjadi tempat tinggal Shita,

suasana desa yang tenang dan damai menjadi sentuhan

akrab yang menyambut kehadiran keluarga besarnya. Shita

sebelumnya tinggal di desa ini bersama neneknya, yang juga

tetanggaku, kami sudah berteman sejak awal Shita pindah

kemari bersama neneknya. Lagi pula kami megenyam

pendidikan di sekolah yang sama. Rumah nenek Shita yang

berdiri kokoh dengan dinding yang terbuat dari kayu dan atap

genteng yang memberikan kesan tradisional. Sejauh mata

memandang, hijaunya pekarangan dan pepohonan rindang

menciptakan pemandangan yang menyejukkan. Halaman

yang luas dengan kebun-kebun kecil lengkap dengan sayur-

sayuran dan tanaman toga. Suara riang anak-anak desa yang

tengah asik bermain dan hamparan sungai kecil sepanjang

desa menambah kesan pedesaan yang autentik.

Pada hari itu, ketika keluarga besar Shita pertama kali

menginjakkan kaki di Desa Simpang Pandan, desa baru yang

67
akan menjadi tempat tinggal baru mereka. Suasana siang

yang terang memberikan sorotan indah dan menyala pada

penampilan mereka. Ayah Shita, Sakka Kareang dengan

gagahnya mengenakan ‘songkok recca’ yang merupakan

bagian dari pelengkap pakaian adat khas bugis yang selaras

dengan ekspresi wajahnya yang penuh kebanggaan.

Sementara itu ibunya, Andi Basna Kareang, tampil anggun

dalam balutan baju bodo berwarna merah jambu lengkap

dengan ‘lipa sabbe’ yang merupakan pakaian khas wanita

bugis lengkap dengan atribut perhiasan emas yang

menyilaukan disiang itu. Dengan penampilannya mereka telah

mencirikan akar budaya mereka. Pernah suatu ketika aku

duduk bercengkrama dengan nenek Shita, waktu itu aku

sedang menunggu Shita bersiap untuk berangkat kesekolah.

“Shita itu mahal ki nanti uang panaiknya.” Ucap Fuang

Lau’ Kareng

68
Akupun penasaran karena perkataan nenek Shita

dengan melontarkan pertanyaan, “kenapa begitu fuang?.”

Jawabku dengan penuh rasa penasaran.

“Tau ki gelar bangsawan ?” lanjut Fuang Lau’ Kareang.

“ Oh….Pernah saya dengar Fuang, tetapi fuang

apakah hal itu tidak menjadi masalah kedepannya fuang,

nantinya keluarga Shita akan disangka mata duitan Fuang,

bagaimana itu fuang?.” Tanyaku lagi agar rasa penasaranku

terjawab.

“Jadi begini ndi jelasnya, Shita itu bergelar Kereang

yang artinya keturunan raja bugis di makkasar ji, kasta

tertinggi itu ji namanya. Jadi tidak bisa kita kasih keorang lain ji

yang tidak sama gelar bangsawanya ndi. Ya memang kalu

orang tidak paham soal panaik itu, pastilah mereka berburuk

sangka kepada kita, sebab itulah ndi pentingnya untuk

menentukan kriteria calon pasangan untuk keluarga Bugis

terkhusus yang berdarah biru ndi, agar nantinya tidak susah

payah menjelaskan kenapa ji uang panaiknya anak kita itu


69
tinggi harganya.” Jawab Fuang lau’ Kareang dengan penuh

ekspresi.

“Memangnya Fuang apa itu maknanya dibalik uang

panaik orang bugis fuang?.” Tanyaku kembali.

“Banyak itu ndi maknanya, sebenarnya banyak sudah

terdengar ditelingaku ndi, orang-orang sibuk itu

mempermasalahkan jumlah uang panaik yang tinggi sekali

sampai kadang tidak direstui karna uang panaik itu, inilah

pentingnya ji memahami makna adat istiadat itu bagi generasi

muda ndi, agar tidak salah mengartikan ji. Dibalik uang panaik

kita orang bugis selain untuk kebutuhan biaya pernikahan itu

juga kita menghargai pihak Wanita, dibugis Wanita itu sangat

berharga. Maknanya itu bagus ndii jadi jangan ada lagi yang

salah mengartikan”. Jelas Fuang lau’ Kareang.

Tercermin jelas pula identitas keluarga Shita dari gelar

bangsawan yang ada dalam nama lengkapnya. Dari cerita

yang kudengar dari nenek Shita waktu itu, Aku terkesima

dengan nama tersebut yang merupakan gelar kebangsawanan


70
dengan kasta tertinggi di suku bugis. Kupikir-pikir mungkin

itulah yang menjadi alasan mereka selalu menjunjung tinggi

identitas budaya mereka. Selain itu aku juga paham akan

makna uang panaik dari suku Bugis yang sering menjadi

perbincangan di masyarakat yang sering dianggap tidak

masuk akal dan kadang terkesan mata duitan. Padahal jika

lebih ditelisik lagi maknanya sangatlah baik untuk calon

mempelai wanita.

Setibanya seminggu yang lalu di Desa ini, Keluarga

Shita berencana membangun rumah baru tepat di samping

rumah nenek Shita. Aku sangat bersemangat untuk

menyaksikan acara adat yang akan dijalankan. Aku bersama

Shita sudah berada di halaman rumah nenek Shita sambil

menggenggam pisang eppe’ (makanan khas Makassar).

Terlihat area tanah tepat di lokasi pembangunan juga sudah

dipenuhi dengan beberapa material bangunan. Tepat pukul 8

pagi waktu itu mereka memulai dengan tahap pertama

upacara, yaitu ‘Makkarawa Bola’. Dengan persiapan

71
sebelumnya dan segala bahan-bahan yang dibutuhkan,

termasuk ayam dan tempurung kelapa mereka memulai

upacara ‘Makkarawa Bola’ dengan doa dan harapan tulus,

dilantunkan untuk memohon berkah dari perlindungan bagi

rumah baru mereka.

Hari dengan beragam kegiatan, tetapi aku sangat

menikmati suasananya karena penuh dengan kehangatan.

Setelah tahap persiapan, tiba saatnya untuk melaksanakan

upacara ‘Mappatettong Bola’, yaitu saat rumah baru mereka

akan didirikan. Pada malam harinya sebelum pembangunan

dimulai, keluarga Shita dan beberapa tetangga dekat

berkumpul untuk membaca Kitab Barzanji. Pembacaan kitab

tersebut dilakukan dengan hikmat dan penuh dengan

kekhusukan. Sebuah tradisi yang selalu dilakukan menjelang

proses pembangunan rumah. Setelah selesai rangkaian acara

pembacaan ‘Kitab Barzanji’, para keluarga dan tetangga dekat

yang hadir dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah

dipersiapkan siang tadi. Keesokan harinya, dengan semangat

72
dan kerjasama yang tinggi, mereka mulai membangun rumah

baru mereka. Ayah Shita bergotong royong dengan tukang-

tukang merakit tiang-tiang dan memasang kerangka rumah.

Tradisi ini berlanjut hingga rumah selesai dibangun dan

siap untuk dihuni. Selang setahun lamanya pengerjaan rumah

keluarga Shita, tiba saatnya untuk melaksanakan upacara

terakhir, yang dikenal dengan ‘Maccera Bola’. Dalam upacara

ini, mereka memberi darah ayam sebagai tanda ucapan

syukur atas keberhasilan mereka dan sebagai bentuk

penghormatan kepada rumah baru mereka. Sebenarnya

kegiatan seperti ini tidak hanya untuk rumah baru saja,

upacara Maccera juga sering dilakukan untuk benda-benda

bergerak misalnya saat ada keluarga yang membeli

kendaraan baru seperti motor dan mobil. Aku sudah terbiasa

dengan semua ini, dan aku sangat senang bisa menjadi

bagian dan ikut serta dalam tradisi Bugis yang dibawa oleh

keluarga Shita, hal ini mengajarkanku banyak hal dalam

73
sebuah tradisi. Di mana pun kita berada kita harus menjunjung

dan menjalankan tradisi yang kita miliki.

Setelah waktu asar berlalu rangkaian upacara

‘Maccera Bola’ kembali dilanjutkan, lagi-lagi aku dan Shita ikut

serta menyaksikan acara yang akan berlangsung itu, kami

duduk di beberapa tumpukan batu bata. Saat darah ayam

disapukan pada tiang rumah, doa-doa dan mantra-mantra

dibacakan dengan penuh kekhusyukan oleh kakek Shita. Dari

kekhusyukan pembacaan mantra dan doa-doa aku melihat

raut wajah keluarga Shita seakan merasakan kehadiran roh

nenek moyang mereka yang melindungi dan memberkati

rumah barunya. Begitu juga tetangga dan kerabat yang hadir

dalam upacara ini merasakan aura keberkahan yang mengalir

di rumah baru tersebut begitu juga denganku. Sebelumnya

terdapat beberapa tetangga yang menyepelekan kegiatan

yang dilakukan oleh keluarga Shita, mereka beberapa kali

membicarakan hal-hal yang tidak baik terkait dengan

74
pelaksanaan tradisi adat yang beberapa kali dilangsungkan

oleh keluarga shita.

“Mau bangun rumah tapi seperti mau hajatan.” Cetus

Bu Marni.

“iyo mbak, gaada hubunganya mba, bangun rumah

sama nyiprat-nyipratin darah ayam, kaya sirik aja. Musrik

mbaak!.” Sambung Bbak suri dengan ekspresi sinis.

Beberapa pembicaraan tetangga yang sempat

terdengar ditelingaku dan Shita. Tetapi hal tersebut tidak

membuat Shita dan keluarganya berhenti untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tradisi yang

selama ini dijalankan. Bahkan tanpa memikirkan gunjingan

beberapa tetangga sekitar dengan penuh kebahagiaan,

keluarga Shita merayakan keberhasilan mereka dan

mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kuasa

atas keberkahan yang telah diberikan dan benar saja,

beberapa tetangga yang sebelumnya bersikap acuh dan

menyepelekan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh


75
keluarga besar Shita lama kelamaan menyadari bahwa

memegang teguh tradisi dan menjalankan upacara adat bukan

hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah bentuk penghormatan

kepada leluhur dan alam semesta.

Dalam perjalanan hidup mereka, keluarga Shita tidak

hanya menjalankan upacara adat pada saat membangun

rumah, tetapi juga dalam momen-momen penting lainnya,

seperti hari-hari besar lebaran, pernikahan, kelahiran, dan

kematian. Menurutku mereka adalah keluarga yang sangat

meyakini dan menjunjung tinggi keyakinan bahwa tradisi

adalah jalinan yang menghubungkan mereka dengan leluhur

dan generasi mendatang.

Kehadiran mereka ditengah-tengah masyarakat yang

sudah terpinggirkan dari kegiatan adat-istiadat juga

membuatku dan anak-anak desa mulai membuka diri untuk

berbagi pengetahuan dan pengalaman, karena dengan cara

melibatkan para tetangga untuk ikut serta dalam kegiatan

kebudayaan membuat orang lain memahami kekayaan

76
budaya dan tradisi. Dengan demikian nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam tradisi-tradisi adat, salah satunya seperti

Mappenre Bola tetap terjaga dan terus berkembang di tengah

masyarakat.

Melalui tradisi Mappenre Bola, keluarga Shita

mengajarkan kepada generasi muda tentang pentingnya

menghormati tradisi, memahami akar budaya mereka agar

tidak salah persepsi akan adat istiadat yang sedang dijalankan

dan merayakan keberagaman yang ada dalam masyarakat.

Mereka adalah teladan tentang bagaimana sebuah rumah

bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga simbol dari

kebersamaan, penghormatan, dan keberkahan.

77
PROFIL PENULIS

Namanya adalah Nurfadhila Fadlil

Insani, Akrab dipanggil Dhila, Lahir di

Pandan Jaya, Kec.Geragai Kabupaten

Tanjung Jabung Timur pada tanggal 13

Agustus 2001. Selain ketertarikannya

dengan dunia sastra Dhila juga memiliki hobi melukis dan

penikmat seni lukis. Ia merupakan mahasiswa Program Studi

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan,

Universitas Jambi. Saat ini beliau sedang mendalami dunia

kuliner kekinian.

Tulisan pertamanya termuat dalam Antologi Puisi

bertema Bangkit dengan judul Hujan Aksara(2020), yang

diterbitkan oleh Penerbit Olympus. Untuk lebih mengenalnya

teman-teman bisa menghubunginya melalui akun sosial media

miliknmnya berupa: gmail:@faadillah2019@gmail.com,

Instragram: @nurfdhillaanr dan Tiktok: @coffebund.

78
Oktavia Pratiwi, biasa di panggil

Via. Perempuan kelahiran Jambi,

14 Oktober ini pengagum tulisan

dan musik. Ia merupakan

mahasiswi Universitas Jambi,

jurusan Sastra Indonesia.

Perempuan satu ini mulai

menyelami kariernya sebagai penulis sejak awal tahun 2018.

Tulisan pertamanya termuat pada antology puisi yang berjudul

Semua Rasa (2023), yang di terbitkan pertama kali oleh

Hyang Pustaka.

Untuk kenal lebih dekat dengan Via, kalian bisa kunjungi:

Wattpad : ayaa_

Instagram : oktaviapratwi_

Youtube : oktaviapratiwi1766

79
Tweet : oktaviapra64051

Mamixahfalah, biasa disapa Mamix ia

adalah seorang perempuan yang masih

terus berusaha untuk meraih kehidupan

yang jauh lebih baik. Penulis lahir di

Sei.landai, Jambi, 09 Maret. Tidak ada

keahlian khusus dalam menulis, sebab yang ia tulis adalah

bagian dari kehidupannya sendiri dan sering membagikan

keresahannya dengan tulisan. Sekarang, ia tengah

menempuh studi Sastra Indonesia, Universitas Jambi.

Ia mulai meluangkan waktu dan aktif untuk menulis

sejak SMP ia juga kerap mengikuti berbagai event lomba

menulis. Tulisan pertamanya termuat dalam Antologi Puisi

dengan Judul Hujan di kota gelap, dan Dunia (2023), yang di

terbitkan pertama kali oleh Hyang Pustaka. Untuk lebih

mengenalnya dan lebih dekat hubungi melalui akun social

media ( instragram :mamix_ahflh09 )


80
81

Anda mungkin juga menyukai