Anda di halaman 1dari 6

Pokok Pemikiran Nasaruddin Umar; Tafsir Gender dalam Al-Quran

Oleh : Sitti Nur Rahma (30100121015)

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar.

Email : nurrahmaa1410@gmail.com

Pendahuluan

Al-Quran merupakan ide murni yang bersifat absolut, artinya yang paling mengetahui

secara persis adalah Pengarangnya yang juga Maha Absolut. Sehingga sepanjang sejarah Islam

bermunculan ulama ahli tafsir dengan berbagai karya-karyanya, beragam pendekatan dan latar

belakang budayanya yang melahirkan nuansa perbedaan dan pengkayaan kita dalam memahami

Al-Quran. Artinya pemahaman kita tentang Al-Quran tidak pernah terbebaskan dari unsur

penafsiran dan pengaruh subyektifitas ulama dan kita sendiri. Demikian juga halnya mengenai

perspektif gender menurut Al-Quran, tentunya ada beragam pendapat yang muncul, dipengaruhi

oleh kondisi dan struktur sosial ekonomi setiap masyarakat tertentu.

Pembahasan tentang perbedaan laki laki dan perempuan masih banyak menyimpan

beberapa masalah, baik subtansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat.

Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas, namun efek yang timbul akibat

perbedaan tersebut mengakibatkan perdebatan yang melahirkan seperangkat konsep budaya

dalam realita kehidupan.1 Hal ini dibuktikan mulai dari pembagian kerja antara laki-laki dan

1
Sakdiah, “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran Karya Prof. Dr. Nasaruddin Umar”, Pusat
Jurnal UIN Ar-Raniry (2022): h. 2.
perempuan, hubungan antara generasi tua dan generasi muda, dan bahkan relasi antara suami dan

isteri dalam masyarakat perkotaan berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Penulis mencoba mengkaji bagaimana konsep kesetaraan gender di dalam Al-Quran.

Namun, fokus pembahasan kali ini hanya pada pokok pemikiran Nasaruddin Umar mengenai

kesetaraan gender dalam Al-Quran.

Pembahasan

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, salah satu tokoh Islam di Indonesia, lahir di Ujung-Bone,

Sulawesi Selatan pada 23 Juni 1959. Putra dari pasangan Andi Muhammad Umar dan Bunga

Tungke. Ayahnya merupakan pendiri pondok pesantren Al-Ikhlas Ujung Bone. Nasaruddin

Umar sendiri merupakan alumni pondok pesantren As’adiyah Sengkang tahun 1976. Beliau

pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama RI dari tahun 2011 sampai 2014. Beliau juga

merupakan pendiri organisasi lintas agama untuk Masyarakat Dialog antar Umat Beragama dan

juga merupakan anggota dari Tim Penasehat Inggris-Indonesia yang didirikan oleh mantan

perdana Inggris, Tony Blair2. Nasaruddin Umar juga sebagai guru besar Ilmu Tafsir UIN Syarif

Hidayatullah, dan Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta. Pada tahun

2016, beliau dikukuhkan sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal sampai sekarang oleh menteri

Agama Lukman Hakim Saifuddin di pemerintahan Jokowi.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasaruddin ini dipicu oleh kegelisahan intelektual beliau

sebagai seorang akademisi dan cendekiawan muslim terhadap problematika yang muncul di

kalangan umat Islam, berkaitan dengan persoalan gender. 3 Secara sederhana, terdapat dua
2
Pengurus Pusat Pondok Pesantren As’Adiyah Sengkang, “Biografi Prof.Dr.KH.Nasaruddin Umar, MA”,
Situs Resmi Pondok Pesantren As’adiyah. http://asadiyahpusat.org/2016/01/biografi-prof-dr-kh-nasaruddinumar-
ma/. (28 Januari 2016).
3
Nasltotul Janah, “Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran Karya Nasaruddin
Umar”, Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), vol. 12 no. 2 (April 2017): h. 173.
problematika; Pertama, tumpang tindihnya pemahaman masyarakat antara konsep gender dan

biologis/sex/jenis kelamin; Sesungguhnya di dalam Al-Quran terdapat istilah-istilah yang harus

kita bedakan, yang satu menunjuk kategori seksual-biologis sedangkan yang lain menunjuk pada

konsep jender, namun sering dikaburkan. Kedua, karena persoalan pertama inilah kemudian

muncul pemahaman dan penafsiran agama yang terkesan mengandung bias gender.

Relasi seksual adalah hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang didasarkan

pada tuntutan dan kategori biologis. Sedangkan relasi jender adalah sebuah konsep dan realitas

sosial yang berbeda dimana pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan

pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologis melainkan pada kualitas, skill,

dan peran berdasarkan konvensi sosial (Nasaruddin, 2001). Nasarudin berasumsi bahwa

ketidakadilan gender bukanlah bersumber dari watak agama itu sendiri namun berasal dari

pemahaman dan 4pemikiran keagamaan yang dipengaruhi oleh konstruksi social.

Persoalan jender merupakan wilayah yang terbuka untuk ditafsirkan dengan

mempertimbangkan konteks sosialnya. Kenyataan biologis yang membedakan keduanya telah

melahirkan dua teori besar, teori nature dan teori nurture. Teori nature menganggap perbedaan

peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati (nature). Anatomi biologi laki-laki yang berbeda

dengan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini.

Laki-laki memainkan peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, kuat,

tangguh. Sementara organ reproduksi pada peremuan dinilai membatasi ruang gerak, seperti

hamil, melahirkan, dan menyusui. Perbedaan ini melahirkan pemisahan fungsi dan

tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan. Teori nurture beranggapan perbedaan relasi

gender laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan konstruksi

4
Ibid. h. 168.
masyarakat.5 Dengan demikian, peran sosial yang selama ini berkembang di masyarakat

dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin keagamaan, menurut paham nurture hal demikian

bukanlah kehendak Tuhan dan bukan pula sebagai determinasi biologis melainkan sebagai

produk konstruksi sosial. Apakah Al-Quran lebih dekat kepada teori pertama atau teori kedua?

Fakta menariknya bahwa ternyata Al-Quran konsisten menggunakan istilah-istilah khusus

dalam mengungkapkan fenomena tertentu. Jika yang ingin diungkapkan dari segi biologis laki-

laki dan perempuan maka Al-Quran seringkali menggunakan al-dzakar untuk laki-laki dan al-

untsa untuk perempuan seperti dalam Q.S Al-Imran/3:36. Bahkan penggunaan kata ini juga

ditujukan kepada biologis binatang di Q.S Al-An’am/6:143. Sementara itu jika yang hendak

diungkapkan dilihat dari segi sosial atau aspek gender laki-laki dan perempuan, maka Al-Quran

seringkali menggunakan kata ar-rajul/ar-rijal untuk laki-laki (Q.S Al-Baqarah/2:228) dan kata

al-mar’ah/an-nisa untuk perempuan. Istilah ini tidak pernah digunakan kepada makhluk biologis

selain manusia.

Nasarauddin Umar mengungkapkan bahwa terdapat 10 faktor yang menyebabkan

terjadinya bias gender dalam penafsiran Al-Quran, yaitu pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan

qira’at., pengertian mufradat, penetapan rujukan, kata ganti, penetapan batas pengecualian

(istitsna), bias dalam kamus bahasa Arab, bias dalam metode tafsir, pengaruh riwayat isra illiyat,

bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fiqih.

Kesimpulan

5
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, dengan kata pengantar oleh
Quraish Shihab (Jakarta: Paramadina, 2001), h. xxi.
Naskah-naskah terjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia tidak dibedakan

pengertian antara ar-rajul dan al-dzakar. Kedua kata tersebut merujuk pada satu arti yaitu laki-

laki. Dalam beberapa hal terjemahan Al-Quran ke dalam Bahasa Inggris lebih baik daripada

Bahasa Indonesia.6 Al-Quran terjemahan Abdullah Yusuf Ali dijadikan sebagai terjemahan resmi

pemerintah Arab Saudi. Ar-rijal diterjemahkan dengan kata the man dan an-nisa diterjemahkan

dengan the women. Sedangkan al-dzakar diterjemahkan the male dan al-untsa diterjemahkan

dengan kata the female. Al-Quran tidak membenarkan teori nurture atau teori nature akan tetapi

Al-Quran cenderung lebih membuka jalan terhadap kecerdasan-kecerdasan manusia di dalam

memahami pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.

Persepsi yang mengendap dialam bawah sadar masyarakat ialah jika seseorang

mempunyai atribut biologis maka itu menjadi identitas jender yang bersangkutan, lalu kemudian

akan ditentukan peran sosial dalam masyarakat. Padahal sesungguhnya peran gender tidak mesti

ditentukan oleh atribut biologis.

DAFTAR PUSTAKA

Sakdiah. “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran Karya Prof. Dr. Nasaruddin Umar”.

Pusat Jurnal UIN Ar-Raniry (2022).


6
Ibid. h. 165
Pengurus Pusat Pondok Pesantren As’Adiyah Sengkang. “Biografi Prof.Dr.KH.Nasaruddin

Umar, MA”. Situs Resmi Pondok Pesantren As’adiyah.

http://asadiyahpusat.org/2016/01/biografi-prof-dr-kh-nasaruddinumar-ma/. (28 Januari

2016).

Janah, Nasltotul. “Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran Karya

Nasaruddin Umar”. Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), vol. 12 no. 2 (April

2017): h. 168-173.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, dengan kata pengantar

oleh Quraish Shihab. Jakarta: Paramadina, 2001.

Anda mungkin juga menyukai