*
dan
*
, sedangkan transisi n
*
jarang terjadi (Fessenden and
Fessenden, 1989). Transisi yang terjadi pada tanin yaitu transisi
*
akibat
adanya ikatan rangkap terkonjugasi dan transisi n
*
karena adanya elektron
bebas. tanin mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi oleh karena itu
menunjukkan pita serapan yang kuat pada daerah ultraviolet dan tampak
(Harborne, 1987). Senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi seperti tanin akan
mengalami penyerapan radiasi pada panjang gelombang yang lebih besar dari 217
nm (Sastrohamidjojo, 2007).
Spektrofotometer UV-Vis dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis
senyawa tanin. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti tanin dapat
ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan
mengalami pergeseran puncak serapan yang terjadi. Metode ini secara tidak
langsung juga berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metal yang terikat
pada salah satu gugus hidroksil fenol. Pereaksi geser yang biasa digunakan adalah
NaOMe/NaOH, NaOAc, NaOAc/H
3
BO
3
, AlCl
3
dan AlCl
3
/HCl (Markham, 1988).
2.6.2 Identifikasi dengan Spektrofometer FTIR
Pada analisis spektrokimia, spektrum radiasi elektromagnetik digunakan
untuk menganalisis spesies kimia dan menelaah interaksinya dengan radiasi
elektromagnetik. Dasar analisis spektroskopi adalah interaksi radiasi dengan
spesies kimia. Daerah radiasi spektroskopi infra merah atau infrared spectroscopy
(IR) berkisar pada bilangan gelombang 12800-10 cm
-1
, atau panjang gelombang
0,78-1000 m. Daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan
praktis adalah 4000-690 cm
-1
(2,5-1,5 m). Daerah ini biasa disebut dengan
daerah IR tengah (Khopkar, 1990). Ikatan-ikatan yang berbeda (C-C, C=C, C-O,
O-H, N-H) mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda dan ikatan-ikatan tersebut
dalam molekul organik dapat dideteksi dengan mengidentifikasi frekuensi-
frekuensi karakteristiknya sebagai pita serapan dalam spektrum IR
(Sastrohamidjojo, 2007). Kegunaan yang paling penting dari spektroskopi
inframerah adalah untuk identifikasi senyawa organik, karena spektrumnya sangat
kompleks dan terdiri dari banyak puncak-puncak. Spektrum inframerah
mempunyai sifat fisik dan karakteristik yang khas, artinya senyawa yang berbeda
akan mempunyai spektrum yang berbeda dan kemungkinan dua senyawa
mempunyai spektrum sama adalah sangat kecil (Hayati, 2007).
Pada dasarnya Spektrofotometer FTIR (Fourier Trasform Infra Red)
adalah sama dengan Spektrofotometer IR dispersi, yang membedakannya adalah
pengembangan pada sistem optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati
sampel (Giwangkara, 2007). Spektrofotometer IR dispersi menggunakan prisma
(grating) sebagai pengisolasi radiasi, sedangkan spektrofotometer FTIR
menggunakan interferometer yang dikontrol secara otomatis dengan komputer.
Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat
sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan
tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur pada
struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebut
terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi (Suseno dan
Firdausi 2008). Spektrofotometer FTIR (Fourier Trasform Infra Red) dapat
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Hayati, 2007). Secara umum
lebih baik digunakan bagan korelasi (correlation chart) untuk mengidentifikasi
gugus fungsi hasil analisis IR (Khopkar, 1990).
Analisis FTIR tanin standar, puncak utama yang dikenali adalah 768 cm
-1
,
782 cm
-1
, 794,5 cm
-1
, 822 cm
-1
, 1062 cm
-1
, 1110 cm
-1
, 1202 cm
-1
, 1250 cm
-1
, 1284
cm
-1
, 1350 cm
-1
, 1450 cm
-1
, 1520 cm
-1
, 1620 cm
-1
dan 3423 cm
-1
(Ibrahim, 2005).
Senyawa tanin jika dianalisis dengan spektrofotometri inframerah akan
mempunyai serapan yang spesifik, yaitu serapan di daerah frekuensi 3150-3050
cm
-1
dengan intensitas tajam akibat rentangan C-H aromatik, serapan lebar antara
3500-3200 cm
-1
akibat rentangan O-H, C=O keton pada 1725-1705 cm
-1
dan C-O
eter pada 1300-1000 cm
-1
(Sastrohamidjojo, 1991). Senyawa aromatik mempunyai
empat puncak serapan di daerah frekuensi 1450-1600 cm
-1
, sekalipun belum tentu
keempat-empatnya muncul (Noerdin, 1986). Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian dari Hayati dkk (2010) bahwa dalam daun belimbing wuluh terdapat
senyawa tanin yang dapat dilihat dari beberapa gugus fungsi hasil analisis dengan
spektrofotometer FTIR pada Gambar 2.7 dan Tabel 2.2
Gambar 2.7 Spektra inframerah ekstrak tanin (Hayati dkk, 2010)
Tabel 2.2 Nilai bilangan gelombang ekstrak tanin pada daun belimbing wuluh
Puncak Bilangan gelombang ekstrak
tanin (cm
-
)
Jenis vibrasi Intensitas
1 3392,7
Rentangan
asimetri OH
m-s
2 2932,1
Rentangan CH
sp
3
m-w
3 2360,9 CO
2
(udara) w
4 2137,2 Rentangan C=C
5 2000
Overtone
aromatik
w
6 1607,0 C=O vs
7 1515,4 ; 1448, 1 ; 1404,0
Rentangan
cincin aromatik
s-m
8 1263,7
R-O-Ar (eter
aromatik)
s
9 1058,7
C-O alkohol
sekunder
s
10 833,8 ; 668,8 ; 553,3
C-H out plane,
p-substitusi
benzen
w-m
11 768,7 ; 606,4
OH out of plane;
o-subtitusi
benzen
w-m
Keterangan: vs = very strong; s = strong; m = medium; w = weak
Sumber : Hayati dkk (2010)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 - Februari 2010 di
Laboratorium Organik dan Biotek Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Laboratorium
Organik dan Instrumen Universitas Brawijaya Malang dan Laboratorium
Instrumen Universitas Negeri Surabaya.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1 Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan pada penelitian ini meliputi beaker glass
dengan berbagai ukuran, gelas ukur dengan berbagai ukuran, corong pisah, labu
ukur 100 mL, gelas arloji, timbangan mettler, vacum rotary evaporator, pengaduk
kaca, waterbath, kertas saring, pipa kapiler, plat KLT silika G60 F
254
, bejana
pengembang, tabung reaksi, pipet tetes, seperangkat alat UV-Vis merk Shimadzu,
seperangkat alat FTIR merk IR Buck M500 Scientific.
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun belimbing
wuluh, dipilih daun muda yang segar dan diambil diujung ranting. Tanaman ini
diperoleh dari daerah Kerto Malang - Jawa Timur. Bahan-bahan kimia yang
digunakan berderajat pa meliputi: aseton, akuades, asam askorbat 10 mM,
kloroform, etil asetat, gelatin, formaldehid 3 %, natrium asetat, HCl pekat, FeCl
3
1 %, FeCl
3
5 %, toluen, ferri sulfat, asam asetat glasial, asam asetat, n-butanol,
metanol, NaOH 2 M, AlCl
3
5 %
,
AlCl
3
1 %, H
3
BO
3
, pelet KBr.
3.3 Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
a. Preparasi sampel
b. Ekstraksi tanin dengan metode maserasi
c. Pencarian eluen terbaik senyawa tanin dengan kromatografi lapis tipis
d. Fraksinasi tanin dengan kromatografi lapis tipis preparatif
e. Identifikasi senyawa tanin dengan UV-Vis dan FTIR
f. Analisis data
3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian
eksperimental laboratorik. Proses ekstraksi dilakukan dengan pelarut aseton : air.
Ekstrak dipisahkan menggunakan KLT dengan beberapa eluen, antara lain: toluen
: etil asetat (3:1), forestal (asam asetat glasial : H
2
O : HCl pekat) (30:10:3), etil
asetat : metanol : asam asetat (6:14:1), n-butanol : asam asetat : air (4:1:5),
metanol : etil asetat (4:1), Etil asetat : Kloroform : asam asetat 10 % (15:5:2).
Eluen yang memberikan pemisahan paling baik akan digunakan dalam pemisahan
dengan KLT preparatif. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi menggunakan
spektrofotometri UV-Vis dan FTIR.
3.5 Cara Kerja
3.5.1 Persiapan Sampel
Daun belimbing wuluh yang muda dicuci bersih dengan air dan diiris
kecil-kecil kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 30-37 C selama 5 jam
dan diblender sampai diperoleh serbuk. Hasil yang diperoleh digunakan sebagai
sampel penelitian (Nuraini, 2002).
3.5.2 Ekstraksi Tanin dari Daun Belimbing Wuluh dengan Metode
Modifikasi Nuraini (2002)
Serbuk daun belimbing wuluh ditimbang sebanyak 50 gram kemudian
direndam dengan 400 mL pelarut aseton : air (7:3) dengan penambahan 3 mL
asam askorbat 10 mM. Ekstrak tanin dipekatkan dengan menggunakan vakum
rotary evaporator dan pemanasan di atas waterbath pada suhu 40-50 C. Cairan
hasil ekstrak kemudian diekstraksi dengan kloroform (4x25 mL) menggunakan
corong pisah sehingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan kloroform (bawah) dipisahkan
dan lapisan air 1 (atas) diekstraksi dengan etil asetat (1x25 mL) dan terbentuk 2
lapisan. Lapisan etil asetat 1 (atas) dipisahkan dan lapisan air 2 (bawah)
dipekatkan dengan vacum rotary evaporator.
3.5.3 Uji Kualitatif Ekstrak Daun Belimbing Wuluh dengan Reagen
1. Filtrat 1 (hasil ekstraksi aseton : air) dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi
masing-masing sebanyak 3 mL. Ekstrak pada tabung pertama direaksikan
dengan 3 tetes larutan FeCl
3
1 %. Jika ekstrak mengandung senyawa tanin
akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua. Pada tabung kedua
ditambahkan dengan larutan gelatin jika terbentuk endapan putih maka positif
mengandung tanin. Pada tabung ketiga digunakan untuk membedakan tanin
katekol dan galat dengan cara menambahkan ekstrak dengan formadehid 3 % :
asam klorida (2:1) dan dipanaskan dalam air panas dengan suhu 90 C jika
terbentuk endapan merah muda merupakan tanin katekol. Filtrat dipisahkan
dengan disaring dan dijenuhkan dengan Na-Asetat dan ditambahkan FeCl
3
1
% adanya tanin galat ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tinta atau
hitam.
2. Lapisan air 1 dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi masing-masing sebanyak
3 mL. Ekstrak pada tabung pertama direaksikan dengan 3 tetes larutan FeCl
3
1
%. Jika ekstrak mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau
kehitaman atau biru tua. Pada tabung kedua ditambahkan dengan larutan
gelatin jika terbentuk endapan putih maka positif mengandung tanin. Pada
tabung ketiga digunakan untuk membedakan tanin katekol dan galat dengan
cara menambahkan ekstrak dengan formadehid 3 % : asam klorida (2:1) dan
dipanaskan dalam air panas dengan suhu 90 C jika terbentuk endapan merah
muda merupakan tanin katekol. Filtrat dipisahkan dengan disaring dan
dijenuhkan dengan Na-Asetat dan ditambahkan FeCl
3
1 % adanya tanin galat
ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tinta atau hitam.
3. Lapisan air 2 dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi masing-masing sebanyak
3 mL. Ekstrak pada tabung pertama direaksikan dengan 3 tetes larutan FeCl
3
1
%. Jika ekstrak mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau
kehitaman atau biru tua. Pada tabung kedua ditambahkan dengan larutan
gelatin jika terbentuk endapan putih maka positif mengandung tanin. Pada
tabung ketiga digunakan untuk membedakan tanin katekol dan galat dengan
cara menambahkan ekstrak dengan formadehid 3 % : asam klorida (2:1) dan
dipanaskan dalam air panas dengan suhu 90 C jika terbentuk endapan merah
muda merupakan tanin katekol. Filtrat dipisahkan dengan disaring dan
dijenuhkan dengan Na-Asetat dan ditambahkan FeCl
3
1 % adanya tanin galat
ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tinta atau hitam.
3.5.4 Pemisahan Senyawa Tanin
3.5.4.1 KLT Analitik
Pada pemisahan dengan KLT analitik digunakan plat silika G 60 F
254
yang
sudah diaktifkan dengan pemanasan dalam oven pada suhu 100
C selama 10
menit. Masing-masing plat dengan ukuran 1 cm x 10 cm. Ekstrak tanin ditotolkan
pada jarak 1 cm dari tepi bawah plat dengan pipa kapiler kemudian dikeringkan
dan dielusi dengan fase gerak toluen : etil asetat (3:1) dengan pendeteksi ferri
sulfat (Yuliani, 2003 ), forestal (asam asetat glasial : H
2
O : HCl pekat) (30:10:3)
(Nuraini, 2002), etil asetat : metanol : asam asetat (6:14:1) dengan pendeteksi
aluminium klorida 5 % (Olivina, 2005), n-butanol : asam asetat : air (4:1:5)
(Sudarwanti, 2004), metanol : etil asetat (4:1) dengan pendeteksi AlCl
3
1 %
(Lidyawati, 2006), etil asetat : kloroform : asam asetat 10 % (15:5:2). Setelah
gerakan larutan pengembang sampai pada garis batas, elusi dihentikan. Noda yang
terbentuk masing-masing diukur harga R
f
nya, selanjutnya dengan memperhatikan
bentuk noda pada berbagai larutan pengembang ditentukan perbandingan larutan
pengembang yang paling baik untuk keperluan preparatif. Noda yang terbentuk
diperiksa dengan lampu UV-Vis pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.
3.5.4.2 KLT Preparatif
Pada pemisahan dengan KLT preparatif digunakan plat silika G 60 F
254
dengan ukuran 10 cm x 20 cm. Ekstrak pekat hasil ekstraksi dilarutkan dengan
aseton-air, kemudian ditotolkan sepanjang plat pada jarak 1 cm dari garis bawah
dan 1 cm dari garis tepi. Selanjutnya dielusi dengan menggunakan eluen n-butanol
: asam asetat : air (BAA) (4:1:5) yang memberikan pemisahan terbaik pada KLT
analitik. Setelah gerakan larutan pengembang sampai pada garis batas, elusi
dihentikan. Noda yang terbentuk masing-masing diukur harga R
f
nya. Noda-noda
diperiksa di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.
3.5.5 Identifikasi Senyawa Tanin
3.5.5.1 Identifikasi dengan Spektrofotometer UV-Vis
Isolat-isolat yang diperoleh dari hasil KLT preparatif, dilarutkan dengan
aseton : air dan disentrifuge kemudian dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis
merk Shimadzu. Masing-masing isolat sebanyak 2 mL dimasukkan dalam kuvet
dan diamati spektrumnya pada bilangan gelombang 200-800 nm.
Identifikasi dilanjutkan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2 M,
AlCl
3
5 %, AlCl
3
5 %/HCl, NaOAc, NaOAc/H
3
BO
3
. Kemudian diamati
pergeseran puncak serapannya. Tahapan kerja penggunaan pereaksi geser adalah
sebagai berikut:
a. Isolat yang dapat diamati pada panjang gelombang 200-800 nm, direkam dan
dicatat spektrum yang dihasilkan.
b. Isolat dari tahap 1 ditambah 3 tetes NaOH 2 M kemudian dikocok hingga
homogen dan diamati spektrum yang dihasilkan. Sampel didiamkan selama 5
menit dan diamati spectrum yang dihasilkan.
c. Isolat dari tahap 1 kemudian ditambah 6 tetes pereaksi AlCl
3
5 % dalam
metanol kemudian dicampur hingga homogen dan diamati spektrumnya.
Sampel ditambah denga 3 tetes HCl kemudian dicampur hingga homogen dan
diamati spektrumnya.
d. Isolat dari tahap 1 ditambah serbuk natrium asetat kurang lebih 250 mg.
Campuran dikocok sampai homogen menggunakan fortex dan diamati lagi
spektrumnya. Selanjutnya larutan ini ditambah asam borat kurang lebih 150
mg dikocok sampai homogen dan diamati spektrumnya.
3.5.5.2 Identifikasi Gugus Fungsi Senyawa Tanin dengan Spektrofotometer
FTIR
Isolat hasil KLT preparatif yang diduga senyawa tanin diidentifikasi
dengan menggunakan spektrofotometer FTIR. 0,2 g pelet KBr ditambahkan
dengan satu tetes isolat yang diduga senyawa tanin, dikeringkan kemudian
diidentifikasi dengan spektrofotometer FTIR merk IR Buck M500 Scientific
dengan panjang gelombang 4000-400 cm
-1
dengan spesifikasi kondisi alat sebagai
berikut:
Scan : 32 det/scan
Resolusi : 4
Tekanan : 80 Torr
3.6 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif yaitu dengan
memperhatikan pola pemisahan pada kromatogram dari berbagai eluen yang
digunakan. Eluen terpilih pada KLT analitik adalah yang memberikan pemisahan
yang baik (dilihat dari jumlah spot dan pola pemisahan), digunakan sebagai eluen
pada KLT preparatif untuk pemisahan senyawa tanin. Identifikasi senyawa tanin
dilakukan dengan memperhatikan bentuk umum spektrum UV-Vis sampel dalam
aseton, perubahan spektrum yang disebabkan oleh berbagai pereaksi penggeser.
Identifikasi gugus fungsional dapat diamati pada spektrum inframerah, sehingga
dapat ditentukan jenis-jenis senyawa tanin yang terdapat dalam daun belimbing
wuluh.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi Sampel Daun Belimbing Wuluh
Daun belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun
yang masih muda, karena kadar tanin pada daun muda lebih tinggi dari pada tanin
pada daun belimbing wuluh yang tua (Nurliana, 2006). Sampel sebanyak 250 g
dicuci untuk menghilangkan pengotor seperti debu yang menempel pada daun.
Sampel dipotong kecil-kecil dan dikeringkan. Pengeringan sampel dilakukan pada
suhu 30-40 C selama 5 jam untuk menghilangkan air dan mencegah terjadinya
perubahan kimia (daun cepat busuk sehingga dapat menghasilkan mikroorganisme
yang dapat merubah konformasi senyawaan kimia yang terkandung di daun
tersebut). Sampel yang telah kering diblender untuk memperluas permukaan serta
membantu pemecahan dinding dan membran sel, sehingga mempermudah d
memaksimalkan proses ekstraksi. Sampel yang diperoleh adalah serbuk yang
berwarna coklat kehijauan sebanyak 65 g (Lampiran 3).
4.2 Ekstraksi Senyawa Tanin dari Daun Belimbing Wuluh
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda (Rahayu, 2009).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi maserasi. Maserasi
adalah salah satu metode pemisahan senyawa dengan cara perendaman
menggunakan pelarut organik pada temperatur ruangan. Proses ekstraksi ini tidak
dilakukan dengan metode soxhlet karena dikhawatirkan ada golongan senyawa
tanin yang tidak tahan panas, selain itu senyawa tanin mudah teroksidasi pada
suhu yang tinggi yaitu 98,89 - 101,67
o
C. Proses maserasi sangat menguntungkan
dalam isolasi senyawa bahan alam karena selain murah dan mudah dilakukan,
dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga
metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut. Pelarut
yang mengalir ke dalam sel dapat menyebabkan protoplasma membengkak dan
bahan kandungan sel akan larut sesuai dengan kelarutannya (Lenny, 2006).
Sampel ditimbang sebanyak 50 g kemudian direndam dengan 400 mL
pelarut aseton:air yang mengandung 3 mL asam askorbat 10 mM selama 3 x 24
jam. Semakin lama waktu ekstraksi, kesempatan untuk bersentuhan makin besar
sehingga hasilnya juga bertambah sampai titik jenuh larutan. Kontak antara
sampel dan pelarut dapat ditingkatkan apabila dibantu dengan pengadukan. Pada
penelitian ini dilakukan pengadukan dengan menggunakan shaker dengan
kecepatan 150 rpm agar kontak antara sampel dan pelarut semakin sering terjadi,
sehingga proses ekstraksi lebih sempurna. Pelarut yang digunakan dalam
penelitian ini adalah aseton dan air dengan perbandingan (7:3). Pemilihan pelarut
ini karena senyawa tanin yang ada dalam belimbing wuluh merupakan senyawa
yang bersifat polar. Suatu molekul bersifat polar apabila tersusun atas atom-atom
yang berbeda dan molekul yang tersusun atas atom-atom yang sama. Kepolaran
suatu molekul ditentukan oleh harga momen dipolnya (). Suatu molekul bersifat
polar bila > 0 atau 0 dan nonpolar bila = 0 (Effendy, 2006). Robinson
(2005) menyatakan semakin banyak gugus hidroksil suatu senyawa fenol
memiliki tingkat kelarutan dalam air dan pelarut polar semakin besar. Struktur
senyawa tanin tersusun atas atom-atom yang berbeda dan tanin memiliki gugus
hidroksi lebih dari satu dan memiliki momen dipol tidak sama dengan nol ( 0)
yang menyebabkan tanin bersifat polar, sehingga harus dilarutkan dengan pelarut
yang bersifat polar. Didukung hasil penelititian Ummah (2010) bahwa dengan
pelarut campuran aseton dan air didapatkan kadar tanin lebih banyak yaitu 10,92
%. Pemakaian pelarut campuran aseton dan air bertujuan untuk memaksimalkan
ekstrak tanin. Pelarut aseton bisa meminimalkan interaksi antara tanin dengan
protein sehingga tanin bisa terekstrak semua dalam fasa air dan protein bisa larut
dalam aseton. Penambahan asam askorbat ke dalam pelarut bertujuan sebagai
antioksidan, sehingga tidak terjadi oksidasi pada senyawa tanin pada saat proses
ekstraksi.
Maserat yang sudah didapat disaring untuk memisahkan residu dan filtrat.
Filtrat yang diperoleh dipisahkan pelarutnya dengan menggunakan vacum rotary
evaporator dengan suhu 40-50 C. Vacum berfungsi untuk mempermudah proses
penguapan pelarut dengan memperkecil tekanan dalam vacum dari pada di luar
ruangan, sehingga temperatur di bawah titik didih pelarut dapat menguap. Filtrat
yang diperoleh berwarna coklat pekat kehijauan. Warna coklat kehijauan
terbentuk karena pelarut yang digunakan tidak hanya mengekstrak senyawa tanin
melainkan juga mengekstrak klorofil yang ada dalam tumbuhan. Klorofil dalam
tumbuhan memiliki dua sifat yaitu bersifat hidrofobik jika mengikat gugus CH
3
dan hidrofilik jika mengikat gugus CHO. Klorofil yang terdapat dalam daun
belimbing wuluh adalah klorofil yang bersifat hidrofobik, karena dilihat dari
warna pada saat ekstrak dilarutkan dengan kloroform warnanya menjadi hijau. Hal
ini dimungkinkan yang terlarut dalam kloroform adalah klorofil. Soekartono
(1988) menjelaskan bahwa klorofil tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut
dalam etanol, metanol, kloroform dan aseton.
Filtrat hasil penyaringan difraksinasi dengan metode ekstraksi cair-cair
menggunakan corong pisah dengan pelarut kloroform untuk memisahkan
senyawa-senyawa nonpolar seperti klorofil, triterpen, lemak dan senyawa non
polar lain. Penambahan kloroform sebanyak 25 mL dan diulang 4 kali untuk
memisahkan senyawa nonpolar yang ada dalam ekstrak dan meningkatkan
koefisien distribusi. Penambahan kloroform menyebabkan terbentuk dua lapisan
yaitu lapisan atas (fasa air) yang berwarna coklat pekat dan lapisan bawah (fasa
kloroform) berwarna hijau, karena kedua pelarut tersebut memiliki berat jenis dan
kepolaran yang berbeda. Berat jenis kloroform lebih besar dari pada air sehingga
lapisan kloroform berada di bagian bawah.
Lapisan kloroform ditampung dan lapisan air difraksinasi lagi dengan
pelarut etil asetat untuk memisahkan senyawa polifenol yang bersifat polar selain
senyawa tanin seperti senyawa katekin, karena tanin sangat sedikit larut dalam etil
asetat. Penambahan etil asetat menyebabkan terbentuknya 2 lapisan yaitu lapisan
atas (fasa etil asetat) yang berwarna hijau muda yang dimungkinkan senyawa
polar selain tanin yang terlarut dalam etil asetat dan lapisan bawah (fasa air)
berwarna coklat pekat. Warna coklat pada lapisan air dimungkinkan dalam filtrat
tersebut terdapat senyawa tanin. Robinson (1995) memperkuat pendapat di atas
dengan menyatakan bahwa tanin dapat larut dalam air dan pelarut yang bersifat
polar dan menghasilkan warna coklat.
Fasa air yang diperoleh dipekatkan dengan vacum rotary evaporator pada
suhu 60-90 C untuk memisahkan pelarutnya yaitu etil asetat yang terlarut dalam
filtrat dan pelarut air, sehingga diperoleh ekstrak berwarna coklat tua. Untuk
mendapatkan ekstrak pekat maka ekstrak yang diperoleh di pekatkan lagi dengan
desikator dan diperoleh ekstrak pekat berwarna coklat tua dengan nilai rendemen
sebesar 10,78 % (Lampiran 2). Filtrat dari masing-masing perlakuan di uji
fitokimia dengan menggunakan reagen (Lampiran 3).
4.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin
Uji fitokimia merupakan uji kualitatif untuk menduga adanya senyawa
tanin pada ekstrak daun belimbing wuluh. Uji fitokimia yang dilakukan dalam
penelitian ini yaitu menambah ekstrak dengan reagen seperti larutan FeCl
3
1 %
yang hasil positifnya ditunjukkan dengan perubahan warna yaitu warna hijau
kehitaman atau biru tinta. Uji fitokimia yang kedua yaitu dengan menambahkan
gelatin dalam ekstrak dan ditunjukkan dengan adanya endapan putih. Reagen
yang ketiga untuk membedakan antara tanin katekol dan tanin galat. Larutan
formalin 3 % dan asam klorida (HCl) 1 N adalah larutan reagen yang digunakan
untuk mengetahui adanya senyawa tanin katekol yang ditunjukkan dengan
terbentuknya endapan merah muda, filtrat hasil uji tanin katekol direaksikan
dengan FeCl
3
1 % menghasilkan warna biru tinta atau hitam yang menunjukkan
adanya tanin galat (Lampiran 3).
4.3.1 Uji Fitokimia dengan Menggunakan FeCl
3
Uji fitokimia dengan menggunakan FeCl
3
digunakan untuk menentukan
apakah sampel mengandung gugus fenol. Adanya gugus fenol ditunjukkan dengan
warna hijau kehitaman atau biru tua setelah ditambahkan dengan FeCl
3
, sehingga
apabila uji fitokimia dengan FeCl
3
memberikan hasil positif dimungkinkan dalam
sampel terdapat senyawa fenol dan dimungkinkan salah satunya adalah tanin
karena tanin merupakan senyawa polifenol. Hal ini diperkuat oleh Harborne,
(1987) cara klasik untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana yaitu
menambahkan ekstrak dengan larutan FeCl
3
1 % dalam air, yang menimbulkan
warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat. Terbentuknya warna hijau
kehitaman atau biru tinta pada ekstrak setelah ditambahkan dengan FeCl
3
karena
tanin akan membentuk senyawa kompleks dengan ion Fe
3+
, seperti yang terlihat
pada Gambar 4.1.
3+
FeCl
3
+
3
Senyawaan Tanin
O OH
OH
OH
OH
+ 3 Cl
Gambar 4.1 Reaksi yang diusulkan antara tanin dengan FeCl
3
1%
Senyawa kompleks adalah senyawa yang pembentukannya melibatkan
pembentukan ikatan kovalen koordinasi antara ion logam atau atom logam dengan
atom non logam. Dalam pembentukan senyawa kompleks, atom atau ion logam
disebut sebagai atom pusat, sedangkan atom yang mendonorkan elektronnya ke
atom pusat disebut atom donor. Atom donor terdapat pada suatu ion atau molekul
netral. Ion atau molekul netral yang memiliki atom-atom donor yang
dikoordinasikan pada atom pusat disebut ligan. Suatu molekul dikatakan sebagai
ligan jika atomnya memiliki pasangan elektron bebas, memiliki elektron tak
berpasangan, atau atom yang terikat melalui ikatan (Effendy,2007).
Hasil uji fitokimia ekstrak daun belimbing wuluh dengan FeCl
3
menghasilkan suatu warna hijau kehitaman, karena reaksi antara tanin dan FeCl
3
membentuk senyawa kompleks. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga di dalam
ekstrak daun belimbing wuluh mengandung senyawa polifenol yang diduga
adalah senyawa tanin. Terbentuknya senyawa kompleks antara tanin dan FeCl
3
karena adanya ion Fe
3+
sebagai atom pusat dan tanin memiliki atom O yang
mempunyai pasangan elektron bebas yang bisa mengkoordinasikan ke atom pusat
sebagai ligannya. Ion Fe
3+
pada reaksi di atas mengikat tiga tanin yang memiliki 2
atom donor yaitu atom O pada posisi 4' dan 5' dihidroksi, sehingga ada enam
pasangan elektron bebas yang bisa dikoordinasikan ke atom pusat. Atom O pada
posisi 4' dan 5' dihidroksi memiliki energi paling rendah dalam pembentukan
senyawa kompleks, sehingga memungkinkan menjadi sebuah ligan.
4.3.2 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Larutan Gelatin
Uji fitokimia dengan menggunakan larutan gelatin merupakan mengujian
awal untuk memperkuat dugaan adanya senyawa tanin dalam ekstrak daun
belimibing wuluh. Harborne (1987) menyatakan bahwa semua tanin menimbulkan
endapan sedikit atau banyak jika ditambahkan dengan gelatin. Soebagio (2007)
menguji fitokimia senyawa tanin dari Ekstrak umbi bawang merah dengan
melarutkan sedikit akuades kemudian dipanaskan di atas penangas air lalu
diteteskan dengan larutan gelatin 1 % (1:1). Hasil positifnya yaitu terbentuknya
endapan putih.
Berdasarkan hasil penelitian ekstrak daun belimbing wuluh dari pelarut
aseton:air yang ditambah dengan gelatin menunjukkan adanya endapan putih yang
jumlahnya banyak, sehingga hasil yang didapat positif mengandung tanin, seperti
terlihat dalam reaksi di bawah ini:
O
OH
+
HN
H
C
CH
3
C
O
H
N
H
C
H
N
C
O
H
N
H
C
CH
2
CH
2
NH
C NH
2
NH
2
C
O
H
N CH
H
C
C
O
O
H
N
H
C
CH
2
CH
2
C O
O
C
O
N
C
O
H
N CH
H
C
O
N
CH
O
Tanin
Gelatin
NH
H
C
CH
3
C
O
N
H
C
H
N
C
O
N
H
C
CH
2
CH
2
NH
C NH
2
NH
2
C
O
H
N CH
H
C
C
O
O
H
N
H
C
CH
2
CH
2
C O
O
C
O
N
C
O
H
N CH
H
C
O
N
CH
O
O
OH
H
HO
HO
OH
OH
HO
OH
O
OH
HO
HO
OH
O
OH
HO
OH
OH
Gambar 4.2 Reaksi yang diusulkan antara tanin dan gelatin (Leemensand, 1991)
Reaksi antara tanin dan gelatin menghasilkan endapan berwarna putih.
Reaksi ini melibatkan terjadinya ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terjadi apabila
atom hidrogen terikat oleh dua atau lebih atom lain yang memiliki
keelektronegatifan tinggi seperti atom N, O dan F (Effendy, 2006). Ikatan
hidrogen yang terjadi dalam reaksi di atas adalah ikatan hidrogen jenis
intermolekul, karena atom H yang terikat dengan atom O dan N berasal dari dua
molekul. Atom H dari molekul tanin terikat dengan atom O pada gelatin dan atom
H dari molekul gelatin terikat dengan atom O pada tanin.
Apabila suatu protein bereaksi dengan senyawa kimia maka akan terjadi
perubahan konformasi protein. Perubahan konformasi alamiyah menjadi
konformasi yang tidak menentu merupakan suatu proses denaturasi yang
berlangsung secara reversibel. Penggumpalan protein biasanya didahului oleh
proses denaturasi yang berlangsung dengan baik pada titik isolistrik protein
tersebut (Poedjiadi,1994).
4.3.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Formalin 3 %,
HCl 1 N, FeCl
3
1 %
Uji fitokimia dengan menggunakan larutan formalin 3 %, HCl 1 N, FeCl
3
1 % merupakan uji awal untuk membedakan antara tanin katekol dan tanin galat.
Tanin katekol ditunjukkan dengan adanya endapan merah muda jika ekstrak
ditambah dengan larutan formalin 1 % dan HCl 1 N, sedangkan tanin galat
ditunjukkan dengan warna biru tinta atau hitam jika filtrat hasil uji tanin katekol
direaksikan dengan FeCl
3
1 %.
Tanin merupakan senyawa fenol sehingga dapat berkondensasi dengan
formaldehid. Hasil kondensasi tanin dengan formaldehid ditambahkan dengan
asam panas yaitu asam klorida (HCl), maka beberapa ikatan karbon-karbon
penghubung satuan terputus dan akan dibebaskan monomer antosianidin. Jika
dalam suatu sampel mengandung senyawa protoantosianidin atau tanin katekol
akan terbentuk warna merah jika direaksikan dengan HCl, sehingga apabila
ekstrak mengandung senyawa tanin katekol akan terbentuk endapan merah apabila
direaksikan dengan Formalin : HCl dengan perbandingan 2:1 (Harborne, 1987).
Filtrat hasil uji dengan formalin : HCl dipisahkan jika di dalam sampel
setelah diuji terbentuk endapan merah dengan disaring dan ditambahkan FeCl
3
1 % untuk menentukan tanin galat. Adanya tanin galat ditunjukkan dengan
terbentuknya warna biru tinta atau hitam. Berdasarkan hasil penelitian endapan
merah yang terbentuk banyak, dimungkinkan dengan pelarut aseton : air dapat
mengekstrak tanin lebih banyak.
Hasil uji fitokimia dari ekstrak tanin dari daun belimbing wuluh
menunjukkan bahwa di dalam daun belimbing wuluh diduga mengandung
senyawa tanin katekol dan galat. Hasil ini merupakan identifikasi awal adanya
kedua jenis tanin dalam daun belimbing wuluh.
4.4 Pemisahan Ekstrak Tanin dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
4.4.1 KLT Analitik
Pendugaan senyawa tanin daun belimbing wuluh dilakukan dengan
metode kromatografi lapis tipis (KLT). KLT merupakan suatu metode pemisahan
suatu senyawa berdasarkan perbedaan distribusi dua fasa yaitu fasa diam dan fasa
gerak. KLT yang digunakan terbuat dari silika gel dengan ukuran 1 cm x 10 cm
G60 F
254
(Merck). Penggunaan bahan silika karena pada umumnya silika
digunakan untuk memisahkan senyawa asam-asam amino, fenol, alkaloid, asam
lemak, sterol dan terpenoid. Plat KLT silika G60 F
254
diaktifasi pada suhu 100 C
selama 30 menit untuk menghilangkan air yang terdapat pada plat
(Sastrohamidjojo, 2007). KLT analitik ini digunakan untuk mencari eluen terbaik
dari beberapa eluen yang baik dalam pemisahan senyawa tanin. Eluen yang baik
adalah eluen yang bisa memisahkan senyawa dalam jumlah yang banyak ditandai
dengan munculnya noda. Noda yang terbentuk tidak berekor dan jarak antara noda
satu dengan yang lainnya jelas (Harborne, 1987). Penggunaan beberapa eluen
diharapkan mampu memisahkan komponen senyawa tanin yang terdapat dalam
ekstrak daun belimbing wuluh dengan baik. Pemisahan senyawa tanin dengan
KLT menggunakan beberapa eluen campuran toluen : etil asetat (3:1) dengan
pendeteksi ferri sulfat, asam asetat glasial : H
2
O : HCl pekat (forestal) (30:10:3),
etil asetat : metanol : asam asetat (6:14:1) dengan pendeteksi aluminium klorida 5
%, n-butanol : asam asetat : air (4:1:5), metanol : etil asetat (4:1) dengan
pendeteksi AlCl
3
1 %, etil asetat : kloroform : asam asetat 10 % (15:5:2)
(Lampiran 3), sedangkan data penampakan noda dari fasa air hasil KLT analitik
dapat dilihat di Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data penampakan noda dari fasa air hasil KLT analitik dengan beberapa
eluen dengan lampu Ultra Violet 254 nm dan 366 nm
No Eluen
Jumlah
noda
Keterangan
1 n-butanol : asam asetat : air (BAA) (4:1:5) 3 Terpisah baik
2 etil asetat : kloroform : asam asetat 10 %
(15:5:2)
2 Terpisah baik
3 asam asetat glasial : H
2
O : HCl pekat
(Forestal) (30:10:3)
1 Tak terpisah
4 metanol : Etil asetat (4:1) - Tak terpisah
5 etil asetat : metanol : asam asetat (6:14:1) - Tak terpisah
6 toluene : etil asetat (3:1) - Tak terpisah
Hasil pemisahan senyawa tanin dari fasa air dengan KLT analitik
menunjukkan bahwa Eluen campuran metanol : etil asetat (4:1), etil asetat :
metanol : asam asetat (6:14:1), toluen : etil asetat (3:1) tidak bisa memisahkan
senyawa tanin, karena dimungkinkan eluen yang digunakan tidak sama
kepolarannya. Senyawa tanin yang dipisahkan adalah senyawa yang bersifat
polar, sedangkan kepolaran eluen yang digunakan masih lebih rendah dari
senyawa yang akan dipisahkan, sehingga tidak terjadi pemisahan. Eluen asam
asetat glasial : H
2
O : HCl pekat (forestal) (30:10:3) mengghasilkan 1 noda, karena
dimungkinkan eluen tersebut kurang mampu untuk mengelusi senyawa tanin
sehingga senyawa yang akan dipisahkan masih tertinggal sebagian. Eluen Etil
asetat : Kloroform : asam asetat 10 % (15:5:2) menghasilkan 2 noda yang terpisah
dengan baik, tetapi masih lebih baik dengan eluen n-butanol : asam asetat : air
(BAA) (4:1:5) yang menghasilkan 3 noda yang terpisah dengan baik.
Eluen campuran n-butanol : asam asetat : air (BAA) (4:1:5) mampu
memberikan pemisahan terbaik, hal ini dapat dilihat dengan adanya noda yang
terpisah dengan baik dan jumlah noda paling banyak yaitu 3 noda. Karena dari
komposisinya, eluen tersebut bersifat sangat polar sehingga bisa memisahkan
senyawa tanin yang juga bersifat polar. Dengan demikian eluen ini digunakan
dalam pemisahan senyawa tanin dengan KLT preparatif. Adapun gambar plat
hasil KLT analitik eluen terbaik n-butanol : asam asetat : air (BAA) (4:1:5)
disajikan pada Gambar 4.3 dan Tabel 4.2.
a B c d
Gambar 4.3 a. Foto plat hasil KLTA ekstrak daun belimbing wuluh dengan eluen
BAA (4:1:5) dengan sinar UV 254 dan 366 nm, b. Ilustrasi noda
hasil KLTA ekstrak daun belimbing wuluh dengan eluen BAA
(4:1:5) dengan sinar UV 254 dan 366 nm, c. Foto hasil KLTA
ekstrak mimosa dengan eluen BAA (4:1:5) dengan sinar UV 366 dan
254 nm, d. Ilustrasi noda hasil KLTA ekstrak mimosa dengan eluen
BAA (4:1:5) dengan sinar UV 254 dan 366 nm.
Tabel 4.2 Nilai Rf dan warna noda hasil KLTA eluen terbaik n-butanol : asam
asetat : air (BAA) (4:1:5) dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm
Warna noda
Noda Nilai Rf
254 nm 366 nm
1. 0,53 Coklat kehijauan Coklat kehijauan
2. 0,61 Hijau Ungu kemerahan
3. 0,68 - Ungu kemerahan
KLT merupakan suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan
distribusi dua fasa. Fasa diam yang digunakan adalah plat silika gel yang bersifat
polar, sedangkan eluen yang digunakan bersifat sangat polar karena mengandung
air. Kepolaran fasa diam dan fasa gerak hampir sama, tetapi masih lebih polar fasa
gerak sehingga senyawa tanin yang dipisahkan terangkat mengikuti aliran eluen,
karena senyawa tanin bersifat polar. Dari ketiga noda yang ada maka noda yang
kedua adalah noda yang diduga senyawa tanin, yang memiliki nilai Rf sebesar
0,61 dan warna noda saat disinari dengan lampu UV 366 berwarna lembayung.
Hal ini diperkuat oleh Harborne (1987) bahwa tanin dapat dideteksi dengan sinar
UV pendek berupa noda yang berwarna lembayung, selain itu didukung dengan
Rf dari ekstrak tanaman mimosa (memiliki kadar tanin yang tinggi) yang dielusi
dengan eluen yang sama dengan nilai Rf sebesar 0,62.
4.4.2 KLT Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif merupakan suatu metode pemisahan
senyawa dalam jumlah besar (Townshend, 1995). Hasil pemisahan dengan KLT
preparatif hampir sama dengan KLT analitik hanya berbeda pada jumlah ekstrak
yang ditotolkan pada plat dan ukuran plat KLT yang digunakan. Plat yang
digunakan pada KLT preparatif adalah plat KLT silika gel G 60 F
254
dengan
ukuran yang lebih besar yaitu 10 cm x 20 cm. Eluen yang digunakan pada
pemisahan KLT preparatif adalah eluen terbaik hasil pemisahan pada KLT
analitik yaitu n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan perbandingan (4:1:5).
Noda yang dihasilkan pada plat KLT preparatif menghasilkan 3 noda. Pada
panjang gelombang 254 nm noda yang terlihat hanya 2 noda, sedangkan dengan
lampu UV dengan panjang gelombang 366 nm terlihat 3 noda dengan nilai Rf
seperti pada Tabel 4.2. Pemisahan dengan KLT analitik menghasilkan harga Rf
dari noda pertama sebesar 0,53 yang diduga senyawa antosianidin (Olivina,
2005). Noda kedua dan ketiga dengan nilai Rf 0,61 dan 0,68 diduga senyawa tanin
terkondensasi. Senyawa tanin diduga mempunyai nilai Rf 0,61, hal ini didukung
dari pengukuran standar tanin dari tanaman mimosa yang memiliki kadar tanin
yang besar dengan nilai Rf sebesar 0,62.
Noda-noda hasil KLT preparatif yang mendekati harga Rf tanin dari
tanaman mimosa dan warna yang menunjukkan tanin dikerok dan dilarutkan
dalam pelarut aseton:air (7:3), kemudian diidentifikasi menggunakan
spektrofotometri UV-Vis dan FTIR.
4.5 Identifikasi Senyawa Tanin
4.5.1 Identifikasi dengan Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer UV-Vis merupakan suatu metode identifikasi struktur
dari suatu senyawa. Spektrofotometer UV-Vis digunakan untuk menentukan
secara deskriptif senyawa tanin yang didapat dari hasil pemisahan senyawa
dengan KLT preparatif. Metode ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi
senyawa tanin dan menentukan pola oksigenasinya. Spektrofotometer UV-Vis
juga memberikan informasi adanya kromofor dari senyawa organik dan
membedakan senyawa aromatik atau senyawa ikatan rangkap yang terkonjugasi
dan senyawa alifatik rantai jenuh.
Dari panjang gelombang maksimum senyawa tanin terdapat satu pita yang
mempunyai panjang gelombang 300-550 nm yang diperkirakan adanya ikatan
*, seperti ikatan C=C terkonjugasi dan ikatan n-* berupa kromofor tunggal
seperti ikatan C=O (Sastrohamidjojo, 1991). Jika suatu molekul sederhana
dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi
elektromagnetik yang energinya sesuai. Apabila pada molekul yang sederhana
hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat pada
molekul maka akan terjadi satu absorpsi yang merupakan garis spektrum (Gandjar
dan Rohman, 2008). Dari hasil identifikasi senyawa tanin dari hasil pemisahan
dengan KLTP dengan spektrofotometer UV-Vis, maka isolat yang diduga
senyawa tanin memiliki satu garis spektrum pada panjang gelombang 331 nm. Hal
ini didukung dengan hasil identifikasi senyawa tanin dari tanaman mimosa yang
sebagai standar dari tanin karena memiliki kadar tanin yang besar sama-sama
memiliki satu garis spektrum pada panjang gelombang 318 nm. Energi yang
dibutuhkan untuk terjadi eksitasi relatif kecil sehingga panjang gelombang
maksimum yang teridentifikasi besar, karena struktur senyawa tanin memiliki
ikatan * yaitu pada cincin aromatik seperti pada Gambar 4.4.
O
HO
OH
OH
A
B 1
2
3
4
5
6
7
1'
6'
5'
4'
3'
2'
8
OH
Gambar 4.4 Struktur inti tanin
Senyawa tanin merupakan senyawa yang termasuk golongan senyawa
flavonoid, karena dilihat dari strukturnya yang memiliki 2 cincin aromatik yang
diikat oleh tiga atom karbon. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti
flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan
cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Dengan
demikian, secara tidak langsung cara ini berguna untuk menentukan kedudukan
gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksil fenol. Pada struktur
inti tanin di atas terdapat gugus hidroksil pada posisi 7 pada cincin A dan 4', 5'
pada cincin B.
Berdasarkan struktur tanin pada Gambar 4.4, terlihat adanya gugus
karbonil sebagai kromofornya dengan auksokrom misalnya OH. Substituen
gugus yang mempunyai elektron bebas atau elektron yang berdekatan dengan
lingkar benzen akan menyebabkan pergeseran pita serapan ke panjang gelombang
yang lebih besar.
Pada spektrum tanin puncak serapan maksimum yang dimungkinkan
adalah hasil transisi dari * dan ikatan n-*. Ikatan n-* merupakan transisi
forbidden sehingga intensitasnya selalu lebih kecil. Pada spektrum intensitas
terlihat hampir sama, hal ini dimungkinkan adanya glukosa, karena pada proses
ekstraksi tidak dilakukan suatu hidrolisis, sehingga meningkatkan intensitas n-*.
Metode hidrolisis tidak dilakukan karena tanin memiliki dua jenis yaitu salah
satunya tanin terhidrolisis, jika ekstrak dihidrolisis dengan asam dikhawatirkan
jenis tannin terhidrolisis yang diduga ada dalam ekstrak tersebut hilang.
Sedangkan untuk puncak serapan yang dimungkinkan terjadi karena transisi n-*
atau -* disebabkan atom O pada gugus hidroksil yang terikat pada cincin
benzen, selain memberikan transisi n-* bisa juga -* karena adanya resonansi.
Penentuan spektrum menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan penambahan
perekasi geser NaOH 2 M, AlCl
3
5 %, AlCl
3
5 %/HCl, NaOAc, NaOAc/H
3
BO
3
dapat dilihat dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data spektrum UV-Vis dari isolat sebelum dan sesudah penambahan
pereaksi geser
Panjang gelombang
Pergeseran
panjang
gelombang
Dugaan distribusi
Isolat Isolat Isolat
Pereaksi
1 2 3 1 2 3 1 2 3
---- 331,0 331,0 - - - - - - -
NaOH 341,5 333,5 - +10,5 +2,5 - 4-OH 4-OH -
NaOH 5
menit
341,5 333,0 - +10,5 +2,0 - 4-OH 4-OH -
AlCl
3
5
%
328,0 331,0 - -3,0 tetap - Mungkin o-di
OH pada cincin
A
Mungkin
o-diOH
pada
cincin A
-
AlCl
3
5
% + HCl
331,0 333,0 - tetap +2,0 - Mungkin o-
diOH pada
cincin A
Mungkin
o-di OH
pada
cincin A
-
NaOAc 329,0 329,0 - -2,0 -2,0 - Gugus yang
peka terhadap
basa, misal 6,7
atau 7,8 atau
3,4-diOH
Gugus
yang peka
terhadap
basa,
misal 6,7
atau 7,8
atau 3,4-
diOH
-
NaOAc
+ H
3
BO
3
330,0 331,5 - -1,0 +0,5 - o-diOH pada
cincin A (6,7)
atau (7,8)
o-diOH
pada
cincin A
(6,7) atau
(7,8)
-
Sumber: Markham, 1988
Dari data spektrum di atas didapatkan senyawa tanin yang mungkin dari
hasil KLT preparatif dibawah sinar UV 254 dan 366 nm adalah isolat 2. Hal ini
dikarenakan isolat 2 memiliki panjang gelombang maksimum yang hampir sama
dengan tanin standar. Untuk mengetahui posisi gugus hidroksi pada senyawa tanin
dapat ditentukan dengan menambahkan suatu pereaksi geser.
Keterangan:
1. Spektra UV-Vis
isolat 2
2. Spektra UV-Vis
isolat 2 ditambah
NaOH 2M
Gambar 4.5 Spektra UV-Vis isolat 2 yang ditambahkan dengan NaOH 2 M
O
HO
O
OH
A
B 1
2
3
4
5
6
7
1'
6'
5'
4'
3'
2'
8
OH
Gambar 4.6 Struktur senyawa tanin yang ditambah dengan NaOH 2 M
Penambahan NaOH 2 M menyebabkan adanya pergeseran panjang
gelombang yang lebih besar, diduga hal ini disebabkan terjadinya ionisasi pada
gugus hidroksil 4bebas (posisi gugus hidroksil di nomor 4 pada cincin B)
sehingga memperpanjang sistem delokalisasi elektron dari struktur inti tanin,
akibatnya energi yang digunakan untuk transisi elektron akan lebih rendah.
Dengan demikian akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih besar (efek
batokromik) (Markham,1988). Pada struktur inti tanin pada Gambar 4.4 terdapat
gugus hidroksil pada posisi nomor 4 pada cincin B, sehingga dapat dikatakan
bahwa dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2 M dapat menunjukkan gugus
hidroksil pada posisi 4-OH yang terdapat pada struktur inti tanin.
Pereaksi geser AlCl
3
5 % yang ditambahkan menggeser posisi absorbansi
maksimum pada isolat 1 sebesar 328,0 nm dan isolat 2 sebesar 331,0 nm yang
terlihat cenderung tetap, sedangkan kenaikan intensitas dari spektra yang
terbentuk dikarenakan dalam isolat masih terdapat glukosa yang bisa menaikkan
intensitas. Hal ini menunjukkan bahwa pada posisi 4 dan 5 terdapat gugus o-
diOH (orto-dihidroksi) yang membentuk komplek dengan Al yang bersifat labil.
Sedangkan penambahan AlCl
3
5 %/HCl juga menghasilkan pergeseran pada isolat
1 sebesar 331,0 nm dan isolat 2 sebesar 333,0 nm dan intensitasnya menurun.. Hal
ini dikarenakan terputusnya glukosa, sehingga membentuk transisi n-*. Dengan
adanya transisi n-* maka membutuhkan energi yang kecil sehingga panjang
gelombangnya semakin besar. Penurunan intensitas dikarenakan glukosa yang ada
dalam isolat sudah terhidrolisis oleh asam, karena glukosa yang terikat pada tanin
mudah terhidrolisis dengan adanya penambahan asam (Harborne, 1987) seperti
pada Gambar 4.7. Hal ini menunjukkan adanya gugus o-diOH pada cincin A.
Struktur inti senyawa tanin memiliki gugus o-diOH pada posisi 4' dan 5' pada
cincin B dan juga memiliki o-diOH pada cincin A.
Keterangan:
1. Spektra UV-Vis isolat 2
2. Spektra UV-Vis isolat 2
ditambah AlCl
3
5 %/HCl
3. Spektra UV-Vis isolat 2
ditambah AlCl
3
5 %
Gambar 4.7 Spektra UV-Vis isolat 2 yang ditambahkan dengan AlCl
3
5 %, AlCl
3
5 %/HCl
Penambahan pereaksi geser NaOAc menyebabkan pergeseran lebih kecil.
Pergeseran ini terjadi karena ionisasi pada gugus yang peka terhadap basa, yang
pada senyawa tanin dimiliki oleh gugus 6,7 atau 7,8 atau 3,4-diOH (Markham,
1988). Penambahan NaOAc/H
3
BO
3
akan membentuk kompleks dengan gugus o-
diOH pada semua posisi kecuali atom C
5
dan C
6
. Penambahan NaOAc/H
3
BO
3
terjadi pergeseran ke kanan sebesar 0,5 nm yang mengarah pada substitusi posisi
o-diOH pada cincin A (6,7) atau (7,8). Hal ini dikarenakan terputusnya glukosa,
sehingga membentuk transisi n-*. Dengan adanya transisi n-* maka
membutuhkan energi yang kecil sehingga panjang gelombangnya semakin besar.
Sedangkan penurunan intensitas disebabkan adanya glukosa yang terikat pada
tanin sudah terhidrolisis oleh asam yaitu asam borat. Seperti pada Gambar 4.8.
Keterangan :
1. Spektra UV-Vis isolat 2
2. Spektra UV-Vis isolat 2
ditambah NaOAc/H
3
BO
3
3. Spektra UV-Vis isolat 2
ditambah NaOAc
Gambar 4.8 Spektra UV-Vis isolat 2 yang ditambahkan dengan NaOAc,
NaOAc/H
3
BO
3
Dari hasil identifikasi senyawa tanin dengan spektrofotometer UV-Vis
dapat diduga bahwa senyawa tanin yang ada dalam daun belimbing wuluh yaitu
flavan-3,6,7,4',5'-pentaol, atau flavan-3,7,8,4',5'-pentaol seperti pada Gambar 4.9.
O HO
OH
OH
H0 OH
Flavan-3,6,7,4',5'-pentaol
O
HO
OH
OH
OH
OH
Flavan-3,7,8,4',5'-pentaol
Gambar 4.9 Struktur yang diusulkan senyawa tanin dalam daun belimbing wuluh
Hasil dari identifikasi dengan spektrofotometer UV-Vis diperkuat dengan
identifikasi senyawa tanin dengan spektrofotomter FTIR.
4.5.1 Identifikasi dengan Spektrofotometer FTIR
Spektrofotometer FTIR merupakan suatu metode identifikasi gugus fungsi
dari suatu senyawa berdasarkan perbedaan momen dipol. Molekul yang memiliki
perbedaan momen dipol yang dapat bervibrasi dan dapat terbaca oleh sinar FTIR.
Sebelum menganalisis senyawa tanin, dibuat pelet KBr sebagai media identifikasi.
Bilangan gelombang yang sering digunakan dalam analisis senyawa bahan alam
yaitu di daerah IR tengah (4000-400 cm
-1
). Hasil identifikasi senyawa tanin
dengan spektrofotometer FTIR dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Interpretasi Spektra FTIR dari Isolat 2 dan ekstrak tanin
Keterangan: vs = very strong; s = strong; m = medium; w = weak
Bilangan gelombang (cm
-
)
Puncak
Isolat 2
Ekstrak
tanin
Pustaka
Jenis vibrasi Intensitas
1 3372,4 3392,7 3500-3000
Rentangan
asimetri OH
m-s
2 - 2932,1 3000-2900 Rentangan CH sp
3
m-w
3 - 2360,9 CO
2
(udara) w
4 - 2137,2 1645-1615 Rentangan C=C
5 2071,8 2000 2000-1660 Overtone aromatik w
6 - 1607,0 1700-1650 C=O vs
7 1625,8
1515,4 ;
1448, 1 ;
1404,0
1400 - 1630
Rentangan cincin
aromatik
s-m
8 - 1263,7 1280-1220
R-O-Ar (eter
aromatik)
s
9 - 1058,7 1120-1080
C-O alkohol
sekunder
s
10 -
833,8 ;
668,8 ;
553,3
420 - 900
C-H out plane, p-
substitusi benzen
w-m
11 782,5
768,7 ;
606,4
900-650
OH out of plane;
o-subtitusi
benzene
w-m
Hasil spektrum inframerah dari hasil pemisahan KLTP menunjukkan
bahwa isolat 2 mengandung gugus fungsi seperti rentangan asimetri O-H dari
gugus alkohol yang terikat pada gugus alifatik dan aromatik. Puncak serapan
sangat lebar terbentuk pada bilangan gelombang 3372,4 cm
-1
, sebagai akibat dari
vibrasi ikatan hidrogen intramolekul (Sastrohamidjojo, 2001). Pelarut yang
digunakan adalah aseton : air yang bersifat sangat polar yang mempengaruhi
serapan-serapan O-H. Karena dimungkinkan gugus O-H yang terbaca pada
spectrum IR dari gugus pelarut (aseton : air) sehingga pada bilangan gelombang
3500-3000 cm
-1
terbentuk serapan O-H yang sangat melebar. Adanya ikatan
hidogen di dalam molekul menyebabkan bergesernya pita serapan ke bilangan
gelombang yang lebih rendah.
Bilangan gelombang 2071,8 cm
-1
menunjukkan puncak serapan C-H
deformasi keluar bidang. Pada spektrum ini tidak terlihat adanya pita serapan
karbonil di daerah 1700 cm
-1
, tetapi terdapat pita serapan agak melebar di
bilangan gelombang 1625,8 cm
-1
dimungkinkan merupakan pita gabungan dari
uluran C=O dan serapan ikatan rangkap C=C aromatik. Hal ini mungkin
dikarenakan kuatnya efek resonansi gugus karbonil dengan cincin aromatik.
Sebab adanya resonansi maka kepadatan elektron pada C=O berkurang dan
memberikan karakter ikatan tunggal. Akibatnya menggeser serapan ke frekuensi
yang lebih rendah (Sastrohamidjojo,2001). Sedangkan menurut Markham (1988)
melebarnya serapan pada bilangan gelombang 1625,8 cm
-1
dikarenakan adanya
glukosa yang terikat pada tanin. Dugaan senyawa tanin diperkuat dengan adanya
cincin aromatik yang tersubstitusi pada posisi orto yang ditunjukkan dengan
puncak serapan pada bilangan gelombang 782,5. Puncak-puncak spesifik tersebut
merupakan puncak spesifik dari senyawa tanin, sehingga memperkuat dugaan
bahwa dalam isolat 2 hasil pemisahan senyawa tanin dengan KLTP mengandung
senyawa tanin dapat dilihat pada Lampiran 5.
4.6 Hasil Penelitian Senyawa Tanin dari Daun Belimbing Wuluh dalam
Prespektif Islam
Segala sesuatu yang diciptakan Allah dimuka bumi ini pasti memiliki
manfaat dan kegunaannya. Demikian pula Allah menciptakan manusia dengan
banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain. Manusia diberi
akal dan pikiran dengan tujuan untuk memikirkan dan mengungkap segala sesuatu
yang ada di dunia, seperti firman Allah dalam surat at Thaha ayat 53.
%!# _ 39 {# #Y 7= 39 $ W7 & $9# [$
$_z' / %[`& i ;N$7 L
"Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah
menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air
hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-
tumbuhan yang bermacam-macam".
Allah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk. Allah menempatkan manusia di bumi dengan
menghamparkannya agar mereka dapat menikmati hidup dan berakal guna meraih
kehidupan yang lebih mulia dan tinggi. Allah menjadikan manusia di bumi ini
agar ia menyadari bahwa ada jarak antara ia dan tujuan hidupnya. Ada jalan yang
harus ditempuhnya guna mencapai tujuan hidup itu yakni pendekatan diri kepada
Allah dan upaya masuk ke hadirat Nya, sebagaimana halnya ia menempuh jalan-
jalan di permukaan bumi ini untuk mencapai arah yang ditujunya. Allah
menurunkan air dari langit berupa air hujan. Air hujan mengandung banyak
senyawa kimia yang dibutuhkan tumbuhan, salah satunya adalah nitrogen.
Nitrogen bebas dapat difiksasi terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar
(misalnya jenis polongan) dan beberapa jenis ganggang. Molekul nitrogen sangat
stabil, oleh karena itu pemutusan menjadi atom-atomnya untuk bereaksi dengan
bahan kimia membentuk senyawa organik atau anorganik nitrogen dengan proses
berenergi tinggi. Nitrogen bebas dapat bereaksi dengan hidrogen atau oksigen
dengan bantuan kilat/ petir yang membentuk senyawa amonia (NH
3
), ion nitrit
(N0
2
-
), dan ion nitrat (N0
3
-
).
Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH
3
),
ion nitrit (NO
2
-
), dan ion nitrat (NO
3
-
). Beberapa bakteri yang dapat memfiksasi
nitrogen terdapat pada akar yang berbintil, selain itu terdapat bakteri dalam tanah
yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang
bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob.
Nitrogen yang diikat biasanya dalam bentuk amonia. Amonia diperoleh
dari hasil penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan
dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga
menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh akar tumbuhan. Selanjutnya oleh
bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi amonia kembali, dan amonia diubah
menjadi nitrogen yang dilepaskan ke udara. Nitrogen yang dilepaskan ke udara
terakumulasi dalam atmosfer dan berkumpul dalam awan, sehingga air hujan yang
turun banyak mengandung nitrogen. Air hujan tersebut meresap dalam tanah dan
ditumbuhkan dari air itu aneka macam dan jenis tumbuhan kemudian Allah
memberi hidayah kepada manusia untuk memanfaatkannya.
Orang yang berakal akan mencari tahu segala sesuatu yang akan dan
sudah terjadi di dunia ini, seperti halnya tumbuh-tumbuhan yang diciptakan oleh
Allah. Tumbuhan-tumbuhan yang diciptakan Allah di muka bumi ini tidaklah sia-
sia. Banyak penelitian menyebutkan bahwa tumbuhan-tumbuhan mengandung
senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari salah satunya
pemanfaatan sebagai obat atau pengawet alami. Allah membuktikannya dengan
diturunkan oleh Nya hujan sebagai sumber kehidupan, dan agar manusia dapat
mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Allah telah
menjelaskannya dalam surat al Anam ayat 99:
%!# & $9# [$ $_z' / N$7 e. & $_z'
#Zz l ${6m $Y62#I 9# $= #% # ;M_ i
5>$& G9# $9# $Y6K >7F 3 ## <) O #) O&
4 ) 39 ;M 5)j9
"Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan
dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari
tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma
mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami
keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa.
Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah)
kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman".
Firman Allah SWT dalam surat al An'am ayat 99 yang menjelaskan bahwa
Allah SWT menurunkan air hujan dari awan, kemudian dengan air tersebut Allah
mengeluarkan setiap jenis tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam bentuk, ciri
khas serta berbeda-beda tingkatan kelebihan dan kekurangannya (al Maraghi,
1992), meskipun semuanya tumbuh di tanah yang sama dan dialiri dengan air
yang sama.
Surat al An'am ayat 99 menggambarkan bentuk luar dari tumbuhan yang
merupakan obyek kajian morfologi tumbuhan. Salah satu morfologi yang
ditunjukkan dari ayat tersebut yaitu mayang kurma yang mengurai dari tangkai-
tangkai yang menjulai adalah ciri-ciri morfologi tumbuhan kurma.
Surat al An'am ayat 99 juga menggambarkan morfologi tumbuhan yang
berupa daun yaitu fa akhrajna minhu khadhiran (kami keluarkan dari daun-daun
yang menghijau) yaitu Allah SWT mengeluarkan dari tanaman tersebut daun yang
menghijau (ash Shiddieqy, 2000). Bagian tumbuhan yang nampak dari kejauhan
adalah daun yang biasanya berwarna hijau. Walaupun semua daun kelihatan hijau,
tetapi secara morfologi masing-masing daun berbeda dari berbagai sisi. Daun
belimbing wuluh yang muda lebih lembut dan memiliki rambut halus sedangkan
daun yang sudah tua memiliki warna hijau yang lebih tua dan kaku serta
kandungan dan manfaatnya berbeda. Senyawa tanin yang ada dalam daun
belimbing wuluh muda lebih besar dari pada daun yang sudah tua, sedangkan
kandungan klorofil yang ada dalam daun belimbing wuluh yang masih muda
relatif lebih sedikit dari pada daun yang sudah tua. Hal ini ditunjukkan dari warna
daun muda yang hijau kemerahan, sedangkan daun yang sudah tua warnanya hijau
gelap. Dari tumbuhan yang menghijau tersebut dikeluarkan butir yang banyak,
maksudnya dari tumbuhan yang menghijau khususnya daun memiliki kandungan
kimia yang dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Daun belimbing wuluh yang
terlihat hijau dan sering terbuang sia-sia memiliki kandungan kimia seperti
senyawa tanin yang dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri, obat antidiare dan
pengawet alami.
Pada surat al An'am ayat 99 Allah menutup ayat dengan Sesungguhnya
pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang beriman, karena orang-orang yang beriman itu hidup, bekerja, berfikir dan
memahami sehingga untuk mendapatkan bukti dari ayat tersebut yang dapat
menunjukkan mereka kepada perbuatan yang mengesakan Allah SWT (al Jazairi,
2007). Selain itu, dengan memperhatikan secara mendalam maka akan ditemukan
rahasia-rahasia alam tumbuh-tumbuhan seperti kandungan dan manfaat dari
tanaman tersebut dengan adanya penelitian (al Maraghi, 1992). Hal ini merupakan
tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bagi orang-orang yang mau berfikir tentang
kebesaran Allah SWT dalam makhluk ciptaan Nya (al Maraghi, 1992).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Eluen yang terbaik untuk pemisahan senyawa tanin dari daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dengan menggunakan kromatografi lapis tipis
(KLT) analitik adalah eluen n-butanol : asam asetat : air dengan perbandingan
(4:1:5)
b. Jenis senyawa tanin yang diperoleh dari hasil pemisahan ekstrak daun
belimbing wuluh dengan kromatografi lapis tipis diduga adalah flavan-
3,6,7,4',5'-pentaol atau flavan-3,7,8,4',5'-pentaol.
5.2. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang identifikasi jenis senyawa
tanin yang ada pada daun belimbing wuluh menggunakan metode
spektrofotometer lain seperti MS dan NMR.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul. 2008. Air Belimbing Wuluh Sebagai Alternatif. http://id.shvoong.com.
diakses tanggal 21 maret 2009
Abdurrahman, D. 1998. Isolasi Tanin Dari Daun Kaliandra (Calliandra
calothyrsus). Skripsi Jurusan Kimia Institut Pertanian Bogor
Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta
Al Jazairi. 2007. Tafsir Al Qur'an Al Aisar Jilid 2. Jakarta: Darussunnah
Al Maraghi, A.M. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maraghi 7. Semarang: CV. Toha
Putra Semarang
Amnur. 2008. Cikal Bakal Averrhoa Bilimbi. http://amnurherbal.com. Diakses
tanggal 2 Juni 2009
Anonymous. 2005. Senyawa Antimikroba Dari Tanaman.
http://indobic.or.id/berita_detail.php?id_berita=124. Diakses tanggal 2
Maret 2009
Anonymous. 2008. Identifikasi Senyawa Isoflavon Pada Limbah Cair Tahu,
http://tahujegrot.blogspot.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009
------------. 2009. Ekstraksi. http://id.wikipedia.org/wiki/Ekstraksi. Diakses
tanggal 2 Maret 2009
Arifiyani, D. 2007. Pengaruh Ekstrak Air Daun Belimbing Wuluh Dan Jus Buah
Dan Batang Nanas Terhadap Perilaku Model Tikus Stroke.
http://digilib.itb.ac.id. Diakses tanggal 2 Maret 2009
Arland. 2006. IPTEK OBAT: Belimbing Wuluh. www.mencintai-
islam@yahoogroups.com/belimbimngwuluh. Diakses tanggal 1 Maret
2009
Ash Shiddieqy, M.H.T. 2000, Tafsir Al-Qur'an Majid An-Nuur. Jakarta: PT.
Pustaka Rizki Putra
Atang. 2009. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.).
http://togakita.com/khasiat/belimbing-wuluh-averrhoa-bilimbi-l.html.
Diakses tanggal 1 Maret 2009
Bate, S. 1972. Detection And Determinant of Ellagitannin:Phytochemistry And
International Journal Of Plant Biochemistry Vol II. England: Pragaman
Press
Cannas, A. 2001. Tannins: Chemical Analysis.
http://www.ansci.cornell.edu/plant/toxicagents/tannin/chem.html.
Animal Science Webmaster CU. Diakses tanggal 2 Maret 2009
Cheong, W.J., et.al. 2005. Determination Of Catechin Compounds In Korea
Green Tea Influsions Under Various Extraction Conditions By High
Performance Liquid Chromatography. department of chemistry ang
institute of basic research, inha university, bull. Korea
chem.sec.2005.vol.26, no.5
Dalimarta, S. 2008. 36 Resep Tumbuhan Obat Untuk Menurunkan Kolesterol.
Jakarta: Penebar Swadaya
Dasuki, U. 1991. Sisitematika Tumbuhan Tinggi. Bandung: Pusat Universitas
Ilmu Hayati ITB
Effendy. 2006. Teori VSEPR, Kepolaran dan Gaya Antarmolekul. Malang:
Bayumedia Publishing
Effendy. 2007. Perspektif Baru Kimia Koordinasi. Malang: Bayumedia
Publishing
Etherington, R. 2002. A Dictionary Of Descriptive Terminology: Vegetable
Tannin. http://palimpsest.standart.edu./don/dt.3686.html. Diakses
tanggal 2 Maret 2009
Faradisa, M. 2008. Uji Efektifitas Antimikroba Senyawa Saponin Dari Batang
Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn). Skripsi Jurusan
Kimia UIN Malang
Fessenden R. J. dan J. S. Fessenden. 1982. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid 1.
Terjemahan Aloysius Handyana Pudjatmaka. Jakarta: Erlangga
Fieser, F.L. 1961. Advanced Organic chemistry, Reinhold Publishing Co. New
York. hal 800-804
Faharani, G.B. 2009. Uji Aktifitas Antibakteri Daun Belimbing Wuluh Terhadap
Bakteri Streptococcus Aureus dan Achercia Coli secara Bioautografi.
FMIPA UI Jakarta
Giner-Chavez, B.I. dan Cannas, A. 2001. Tannins: Chemichal Structural The
Struktur Of Hydrolysable Tannins.
http://www.ansci.cornell.edu/plant/toxicagents/tannin/image/int.big.gif.
cornert university. Diakses tanggal 2 Maret 2009
Giwangkara, E.G. 2007. Spektrofotometer Infra Merah Transformasi Fourier.
(Online).
http://persembahanku.wordpress.com/2007/05/28/spektrofotometer-
infra-merah-transformasi-fourier. Diakses tanggal 16 Maret 2009
Gohen. 1976. Encyclopedia of Chemical Technology, 3
nd
. New York. hal 294
Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Terjemahan Ketaren S. Jakarta:
Universitas Jakarta
Hagerman, A.E. 1998. Tannins Chemistry. hagermae@muohiu.edu. Diakses
tanggal 2 Maret 2009
Hayati, E.K. 2007. Dasar-Dasar Analisis Spektroskopi. Malang: Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang
Hayati, E.K, Jannah, A. dan Fasya, A.G. 2010. Aktivitas Antibakteri Komponen
Tanin Ekstrak Daun Blimbing Wuluh (Averrhoa Billimbi L) Sebagai
Pengawet Alami. Laporan Penelitian Kompetitif Depag. Malang: UIN
Malang
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Bandung: ITB
Haslam, E. 1996. Natural Polyphenol (Vegetable Tannins) As Drugs And
Medicines: Possible Modes Of Action. Journal of natural product. hal
205-215
Horvart. 1981. Tannins: Definition. 2001.
http://www.ansci.cornell.edu/plants/toxicagents/tannin/definition.html.
animal science webmaster, Cornert University. Diakses tanggal 2 Maret
2009
Ibrahim, M.N.M., dkk. 2005. Extraction of Tannin from Oil Palm Empty Fruit
Bunch. Diakses tanggal 6 Maret 2009
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Penerbit UI-Press
Ledder, J. 2000. Averrhoa bilimbi.
http://www.chuckiii.com/reports/miscellaneous/averrhoa-bilimbi.html,
chuckIII's colleggeresourses. Diakses tanggal 2 Maret 2009
Leemensand, 1991. Plant Resourees of South East Asia 3 Dye and Tanin
Production Plant. Netherland : Pudoc Wagengan
Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida. Medan:
MIPA Universitas Sumatera Utara
Lidyawati, dkk. 2006. Karakterisasi Simplisia dan Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L.). http://bahan-alam.fa.itb.ac.id. Diakses tanggal 2
Juni 2009
Luthana, Y.K. 2009. Prosedur Ekstraksi Senyawa Fenol dan Antibakteri dan
Tanaman Gambir yang Disertai Metode Analisisnya.
http://yongkikastanyaluthana.wordpress.com. Diakses tanggal 21 Mei
2009
Malik, J. dkk. 2009. Sari Hasil Penelitian Mangium (Acacia Mangium Willd.).
Diakses tanggal 16 Maret 2009
Markham, R.K. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: ITB.
Makkar, H.P.S dan Becker, K. 1998. Do Tannins In Leaves Of Trees And Shrubs
From African And Himalayan Regions Differ In Level And Acactivity?
Argoforestry systems. Hal 59-68
Meiyanto, E., dkk. 2008. Ekstrak Etanolik Biji Buah Pinang (Areca catechu L.)
Mampu Menghambat Proliferasi Dan Memacu Apoptosis Sel MCF-7.
Majalah Farmasi Indonesia, 19 (1) hal 12-19, Diakses tanggal 2 Maret
2009
Noerdin, D. 1986. Elusidasi Struktur Senyawa Organic Dengan Cara
Spektroskopi Ultralembayung Dan Inframerah. Bandung: Angkasa
Nuraini, F, 2002, Isolasi Dan Identifikasi Tannin Dari Daun Gamal (Gliricidia
sepium (Jackquin) kunth ex walp.), skripsi Jurusan Kimia Universitas
Brawijaya Malang
Nurliana, D.R. 2006. Perbandingan Kadar Tanin Pada Daun Tua Dan Daun
Muda belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi l.) Dengan Metode
Spektrofotometri Visibel. http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptums-
gdl-s1-2007-dwiriskanu-4738&node=1125&start=96. Diakses tanggal 2
Juni 2009
Olivina, P., dkk. 2005. Telaah Fitokimia Dan Aktivitas Penghambatan Xantin
Oksidase Ekstrak Kulit Batang Salam (Syzygium polyanthum (Weight)
Walp.). Skripsi Jurusan Farmasi ITB Bandung, Diakses tanggal 2 Maret
2009
Pansera, M.R., dkk. 2004. Extraction Of Tannin By Acacia Mearnsii With
Supercritical Fluids. Journal Internasional Brazilian Archives of Biology
And Technology. Hal 197-201
Pudjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press
Rahayu, L. 2009. Isolasi dan Identivikasi senyawa flavonoid dari Biji Kacang
Tunggak (Vigna unguiculata L. Walp). Skripsi Tidak Diterbitkan.
Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Brawijaya
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Kosasih
Padmawinata. Bandung: ITB
Sastrohamidjojo, H. 1991. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Sastrohamidjojo, H. 2007. Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Shihab, M.Q. 2002. Tafsir Al Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an.
Jakarta: Lentera Hati
Soebagio, B. 2007. Pembuatan Gel Dengan Aqupec HV-505 dari Ekstrak Umbi
Bawang Merah (Allium cepa, L.) Sebagai Antioksidan. Jurnal fakultas
farmasi universitas padjajaran. Diakses tanggal 25 Januari 2010
Soekartono. 1988. Isolasi Suatu Flavonol dari Fraksi Etil Asetat Daun Krinyuh
(Euptoim pallescents. Pc, Asteraceaece). Skripsi jurusan farmasi ITB.
http://bahan-alam-itb.ac.id. Diakses tanggal 2 Maret 2009
Solomons, G.T. 1976. Organic Chemistry, 4
th
ed, john wiley and sons. New
York. hal 838-839
Subiarto, M. 2002. Penyerapan Sr-90 Dengan Tannin. Hasil Penelitian P2PLR
(Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif). Diakses tanggal
16 April 2009
Subyakto dan Prasetyo, B. 2003. Pemanfaatan Langsung Serbuk Kayu Akasia
Sebagai Perekat Papan Partikel., Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis
Vol. 1 - 20 No. 1. Diakses tanggal 16 April 2009
Sudarmadji, S. 1996. Teknik Analisis Biokimia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Sudarwanti, dkk. 2004. pengaruh ekstrak bulbus allium sativum L. dan rimpang
curcuma longa L. terhadap profil lipoprotein tikus wistar dengan resiko
aterosklerosis serta uji aktivitas antiagregasi platelet dan
antiperoksidasi LDL secara in Viitro. Tesis Jurusan Farmasi ITB
Bandung. Diakses tanggal 2 Maret 2009
Suseno, J.E., dan Firdausi, K. S. 2008. Rancang Bangun Spektroskopi FTIR
(Fourier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi.
Berkala Fisika Vol 11 No.1: 23-28
Thomas, A.N.S. 2007. Tanaman Obat Tradisional 2. Yogyakarta: Kanisius
Townshend, A. 1995. Encyclopedia of Analytical Science, Vol. 2. London:
Academic Press Inc
Tyler, C.B. 1947. Organic Chemistry For Students Of Agriculture. London 2
nd
Allan
Ummah, M.K. 2010. Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa
Tanin pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) (Kajian
Variasi Pelarut). Skripsi Jurusan Kimia Universitas Islam Negeri
Mualana Malik Ibrahim Malang
Wijayakusuma, H. 2006. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Darah Tinggi.
Jakarta: Penebar Swadaya
Yuliani, S., dkk. 2003. Kadar Tannin dan Quersetin Tiga Tipe Daun Jambu Biji
(Psidium guajava). Bulletin TRO vol.XIV No. 1
LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Kerja
L.1.1 Diagram Alir Penelitian
- Preparasi sampel
- Ekstraksi dengan cara maserasi dengan pelarut
aseton-air
- Pemisahan dengan menggunakan KLT Analitik dan
KLT Preparatif
- Identifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis
dan Spektrofotometer IR
L.1.2 Preparasi sampel
- dicuci bersih dengan air
- dipotong kecil-kecil dan dikeringkan dalam oven
pada suhu 30-37 C
- diblender sampai halus
Daun belimbing wuluh
Sampel
Daun belimbing wuluh
Sampel
Ekstrak tanin
Isolat-isolat
Data/spektrum
L.1.3 Ekstraksi Tanin dari daun Belimbing Wuluh dengan Metode Modifikasi
Nuraini (2002)
- dimaserasi dengan 400 mL aseton:air (7:3) + 3 mL asam askorbat
10 mM selama 3x24 jam dan dishaker
- disaring dengan corong buchner
- diuji kualitatif dengan reagen
- Dipekatkan dengan vacum rotary evaporator
- diekstraksi dengan kloroform (4x25 mL)
- diuji kualitatif dengan reagen
- diekstraksi dengan etil asetat
(1x25 mL)
- diuji kualitatif dengan reagen
- dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator
50 g sampel
Maserat Kasar
Filtrat Residu
Lapisan kloroform (bawah) Lapisan air (atas)
Lapisan air 2 (bawah) Lapisan etil asetat 1 (atas)
Ekstrak tanin
L.1.4 Uji Kualitatif Ekstrak Daun Belimbing Wuluh dengan Reagen
L.1.4.1 filtrat 1
- dimasukkan dalam 3 tabung reaksi masing-masing 3 mL
- ditambah 3 tetes
larutan FeCl
3
1 % - ditambah larutan gelatin - ditambah
formaldehid 3
% : asam
klorida (2:1)
- dipanaskan
panas dengan
suhu 90 C
(jika terbentuk
endapan merah
muda
merupakan
tanin katekol)
- disaring
-ditambah dengan FeCl
3
1 %
(jika terbentuk warna biru tinta
atau hitam merupakan tanin galat)
Sampel
Tabung 1
Tabung 2 Tabung 3
Hasil
Hasil
Filtrat Residu
Hasil
L.1.4.2 Lapisan Air 1
- dimasukkan dalam 3 tabung reaksi masing-masing 3 mL
- ditambah 3 tetes - ditambah larutan gelatin - ditambah
larutan FeCl
3
1 % formaldehid 3
% : asam
klorida (2:1)
- dipanaskan
panas dengan
suhu 90 C
(jika terbentuk
endapan merah
muda
merupakan
tanin katekol)
- disaring
-ditambah dengan FeCl
3
1 %
(jika terbentuk warna biru tinta
atau hitam merupakan tanin galat)
Sampel
Tabung 1
Tabung 2 Tabung 3
Hasil
Hasil
Filtrat Residu
Hasil
L.1.4.3 Lapisan Air 2
- dimasukkan dalam 3 tabung reaksi masing-masing 3 mL
- ditambah 3 tetes
larutan FeCl
3
1 % - ditambah larutan gelatin - ditambah
formaldehid 3
% : asam
klorida (2:1)
- dipanaskan
panas dengan
suhu 90 C
(jika terbentuk
endapan merah
muda
merupakan
tanin katekol)
- disaring
-ditambah dengan FeCl
3
1 %
(jika terbentuk warna biru tinta
atau hitam merupakan tanin galat)
Sampel
Tabung 1
Tabung 2
Tabung 3
Hasil
Hasil
Filtrat Residu
Hasil
L.1.5 Pemisahan Senyawa Tanin
L.1.4.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Analitik
- dilarutkan dalam 1 mL aseton-air
- ditotolkan pada plat silika gel 60 F
254
berukuran 1x10 cm
- dielusi dengan campuran toluen : etil asetat (3:1), etil asetat: kloroform
: asam asetat 10 % (15:5:2), asam asetat glasial : H
2
O : HCl pekat
(30:10:3), n-butanol-asam asetat glasial-air (BAA) (4:1:5), metanol :
etil asetat (4:1), etil asetat : metanol : asam asetat (6:14:1)
L.1.4.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Preparatif
- dilarutkan dalam 1 mL aseton-air
- ditotolkan pada plat silika gel 60 F
254
berukuran 10x20 cm
- dielusi dengan pelarut terbaik hasil KLT analitik
- dikerok masing-masing noda
- dilarutkan dalam aseton-air
- disentrifuge untuk mengendapkan silikanya
- dipekatkan dengan gas N
2
/desikator vacuum
1 g ekstrak pekat
Noda
1 g ekstrak pekat
Noda-noda
Supernatant
Beberapa Isolat pekat
L.1.6 Identifikasi Senyawa Tanin
L.1.6.1 Identifikasi dengan spektrofotometer UV-Vis
- dimasukkan dalam kuvet
- diamati spektrumnya pada bilangan gelombang 200-800 nm
Identifikasi dilanjutkan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2M, AlCl
3
5 %,
AlCl
3
5 %/HCl, NaOAc, NaOAc/H
3
BO
3
- dimasukkan dalam kuvet
- diamati spektrumnya pada bilangan gelombang 200-800 nm
- ditambah 3 tetes NaOH 2 M
- dikocok hingga homogen
- dimasukkan dalam kuvet
- diamati spektrumnya
-
- didiamkan 5 menit
- diamati spektrumnya
5 mL isolat-isolat hasil KLTP
Spektrum
5 mL isolat yang diduga sebagai senyawa tanin
Spektrum
5 mL isolat yang diduga sebagai senyawa tanin
Spektrum
Spektrum
5 mL isolat yang diduga sebagai senyawa tanin
- ditambah 6 tetes pereaksi AlCl
3
5 % dalam metanol
- dikocok hingga homogen
- dimasukkan dalam kuvet
- diamati spektrumnya
- ditambah 3 tetes HCl
- dikocok hingga homogen
- dimasukkan dalam kuvet
- diamati spektrumnya
- ditambah 250 mg serbuk natrium asetat
- dikocok hingga homogen
- dimasukkan dalam kuvet
- diamati spektrumnya
-
- ditambah 150 mg asam borat
- dikocok hingga homogen
- dimasukkan dalam kuvet
- diamati spektrumnya
5 mL isolat yang diduga sebagai senyawa tanin
Spektrum
Spektrum
Spektrum
Spektrum
L.1.6.2 Identifikasi dengan spektrofotometer IR
- diteteskan pada 0,2 g KBr yang sudah jadi
- dikeringkan
- dianalisis dengan spektofotometer IR pada panjang gelombang
4000-400 cm
-1
- diamati spektrumnya
1 tetes Isolat cair
Spektrum
Lampiran 2. Perhitungan, Pembuatan Reagen dan Larutan
L.2.1 Pembuatan FeCl
3
1 %
1 % = (1 gram / gram total ) x 100 %
Gram total = 100 %. 1 gr / 1 % = 100 gram
Gram total = gram terlarut + gram pelarut
Gram pelarut = 100 gram 1 gram
= 99 gram
V air = gram pelarut / Bj air
Volume Air yang diambil adalah 99 ml untuk membuat FeCl
3
1 % dari 1
gram FeCl
3
padatan
L.2.2 Pembuatan AlCl
3
5 % dalam Metanol
kira-kira 5 g AlCl
3
segar dan kering (bila dimasukkan ke dalam air
harus berdesis) ditambahkan dengan hati-hati ke dalam 100 mL MeOH p.a,
bahan yang tersisa biasanya akan larut juga setelah beberapa waktu kemudian.
Simpanlah dalam botol plastik tertutup.
L.2.3 Pembuatan AlCl
3
1 %
1 % = (1 gram / gram total ) x 100 %
Gram total = 100 %. 1 gr / 1 % = 100 gram
Gram total = gram terlarut + gram pelarut
Gram pelarut = 100 gram 1 gram
= 99 gram
V air = gram pelarut / Bj air
Volume Air yang diambil adalah 99 ml untuk membuat AlCl
3
1 % dari 1
gram AlCl
3
padatan
L.2.4 Pembuatan NaOH 2 M
Molaritas NaOH =
V x NaOH Mr
1000 x NaOH g
2 M =
mL 100 x 40
1000 x NaOH g
g NaOH = 8 gram
Cara pembuatannya adalah NaOH sebanyak 8 g ditimbang. NaOH
dimasukkan ke dalam gelas ukur yang telah berisi air sedikit, dan ditambahkan
air sampai volume akhir tepat 100 mL. Larutan yang diperoleh harus disimpan
di dalam botol.
L.2.5 Pembuatan Larutan Gelatin
Serbuk gelatin 2,5 gram
NaCl jenuh 50 mL
Cara pembuatnnya adalah 2,5 gram serbuk gelatin dicampur dengan 50 mL
larutan garam NaCl jenuh, kemudiaan dipanaskan sampai gelatin larut
seluruhnya. Setelah dingin ditambahkan larutan gram NaCl jenuh dalam labu
ukur 100 mL sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.
L.2.6 Pembuatan Larutan Formalin 3 %
M
1
x V
1
= M
2
x V
2
40 % x V
1
= 3 % x 100 mL
V
1
= 7,5 mL
Cara pembuatannya adalah dipipet larutan formalin 40% sebanyak 7,5 ml
dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan dengan aquades
sampai tanda batas.
L.2.7 Pembuatan Asam Askorbat 10 mM
Mr C
6
H
8
O
6
= 176
Molaritas C
6
H
8
O
6
=
V x O H C Mr
1000 x O H C g
6 8 6
6 8 6
0,01 M =
mL 100 x 176
1000 x O H C g
6 8 6
6 8 6
O H C g = 0,176 g
6 8 6
O H C g =176 mg
Cara pembuatannya adalah
6 8 6
O H C sebanyak 176 mg ditimbang.
6 8 6
O H C
dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi air sedikit, dan ditambahkan air
sampai volume tepat 100 mL.
L.2.8 Pembuatan HCl
Sejumlah 50 mL HCl pekat bertingkat mutu pereaksi ditambahkan ke dalam
100 mL air suling.
L.2.9 Natrium asetat (NaOAc), digunakan serbuk NaOAc p.a anhidrat.
L.2.10 Asam borat (H
3
BO
3
), digunakan serbuk asam borat anhidrat tingkat mutu
p.a.
L.2.11 Perhitungan Berat Ekstrak Tanin
Berat beaker glass (A) = 64,2095 g
Berat beaker glass + ekstrak pekat (B) = 69,6018 g
Berat ekstrak pekat = B A
= 69,6018 g - 64,2095 g
= 5, 39 g
L.2.12 Perhitungan Rendemen
Rendemen = % 100
sampel Berat
ekstrak Berat
x
= % 100
02 , 50
38 , 5
x = 10,78 %
L.2.13 Perhitungan harga Rf
Eluen n-butanol : Asam asetat : Air (BAA) (4:1:5)
Harga R
f
=
pelarut ditempuh yang Jarak
senyawa ditempuh yang Jarak
Harga R
f 1
=
8,4
4,4
= 0,535
Harga R
f 2
=
8,4
5,1
= 0,61
Harga R
f 3
=
8,4
5,7
= 0,68
Harga R
f mimosa
=
8,4
5,2
= 0,62
Eluen Etil asetat : Kloroform : asam asetat 10 % (15:5:2)
Harga R
f
=
pelarut ditempuh yang Jarak
senyawa ditempuh yang Jarak
Harga R
f 1
=
8,2
2,5
= 0,0,31
Harga R
f 2
=
8,2
4,2
= 0,51
Eluen asam asetat glasial : H
2
O : HCl pekat (Forestal) (30:10:3)
Harga R
f
=
pelarut ditempuh yang Jarak
senyawa ditempuh yang Jarak
Harga R
f 1
=
7,7
5,5
= 0,71
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
L.3.1 Gambar daun belimbing wuluh dan daun belimbing wuluh yang sudah
dihaluskan (sampel).
L.3.2 Gambar maserasi daun belimbing wuluh menggunakan pelarut aseton-air
(7:3)
L.3.3 Gambar maserasi yang dibantu dengan shaker
Lapisan air
L.3.4 Gambar filtrat hasil maserasi daun belimbing wuluh dengan pelarut aseton-
air (7:3)
L.3.5 Gambar filtrat hasil maserasi daun belimbing wuluh dengan pelarut aseton-
air (7:3) sesudah divacum rotary evaporator
L.3.6 Gambar ekstraksi cair-cair filtrat sesudah divacum rotary evaporator dan
kloroform
Lapisan kloroform
L.3.7 Gambar ekstraksi cair-cair lapisan air (hasil ekstraksi dengan kloroform)
dan etil asetat dan hasil ekstraksi cair-cair.
Lapisan air
L.3.8 Gambar ekstrak pekat hasil ekstraksi cair-cair
Lapisan etil asetat
Lapisan air
L.3.9 Gambar hasil uji kualitatif dengan reagen
Ekstrak dengan FeCl
3
1%
Ekstrak dengan larutan Gelatin
Ekstrak ditambahkan dengan
Formalin + HCl
Endapan Merah hasil penyaringan
dari ekstrak yang ditambah
formalin+HCl
L.3.10 Gambar hasil KLTA menggunakan eluen campuran yang disinari dengan
lampu UV 254 nm dan 366 nm
Etil asetat : kloroform : asam asetat 10
% (15:5:2)
Asam asetat glasial : air : asam klorida
pekat (30:10:3)
Toluena : etil asetat (3:1)
Etil asetat : metanol : asam asetat
(6:14:1)
n-butanol : asam asetat : air (4:1:5)
Metanol : etil asetat (4:1)
L.3.11 Gambar hasil KLT preparatif menggunakan eluen n-butanol : asam asetat :
air (4:1:5) yang disinari dengan lampu UV 254 nm dan 366 nm
Lampiran 4. Hasil Spektra Spektrofotometer UV-Vis dari Hasil KLT
Preparatif
L.4.1. Hasil spektra spektrofotometer UV-Vis dari hasil KLT preparatif dibawah
lampu UV 254 nm dan 366 nm
L.4.1.1 Isolat 1
isolat 1
-0,2
0
0,2
0,4
0,6
0,8
0 200 400 600 800 1000
panjang gelombang
a
b
s
o
r
b
a
n
s
i
isolat 1
spektra isolat 1 + NaOH 2 M
-0,2
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 200 400 600 800 1000
Panjang gelombang
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
isolat 1
isolat 1+
NaOH 2 M
spektra isolat 1 + NaOH 2 M setelah 5 menit
-0,2
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 500 1000
panjang gelombang
a
b
s
o
r
b
a
n
s
i
isolat 1
isolat 1+ NaOH 2 M
setelah 5 menit
isolat 1 + NaOAc + H3BO3
-0,2
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 500 1000
panjang gelombang
a
b
s
o
r
b
a
n
s
i
isolat 1
isolat 1+ NaOAc
isolat 1 + NaOAc +
H3BO3
spektra isolat 1+ AlCl3+HCL
-0,2
0
0,2
0,4
0,6
0,8
0 200 400 600 800 1000
panjang gelombang
a
b
s
o
r
b
a
n
s
i
isolat 1
isolat 1 + AlCl3
isolat 1 + AlCl3 +
HCl
L.4.1.2 Isolat 2
Isolat 2
Isolat 2 ditambah NaOH 2M
Isolat 2 ditambah NaOH 2M dan
didiamkan selama 5 menit
Isolat 2 ditambah AlCl
3
5 %, AlCl
3
5
%/HCl
Isolat 2 ditambah NaOAc, NaOAc/H
3
BO
3
L.4.1.3 isolat 3
Lampiran 5. Hasil Spektra Spektrofotometer FTIR