Anda di halaman 1dari 59

 Hampir setiap manusia pernah mengalami

masalah tidur
 Satu dari tiga orang
 Cina : 23,5% anak usia 2 tahun
 Swiss : 20% anak usia 3 tahun
 Amerika : 84% anak usia 4 tahun
 Indonesia: batita: 41%  BISQ (Brief Infant Sleep
Questionaire).
 40% lansia mengalami gangguan tidur(Carney
et al., 2005).
SEGAR;SEHAT;
TIDUR HEMAT ENERGI;
ISTIRAHAT;
PERIODE PEMULIHAN

GANGGUAN TIDUR

PERILAKU
HIPERSOMNIA INSOMNIA
TIDAK WAJAR

Kelelahan,
Paling Menetap
berkurangnya
sering dan serius
energi
ditemui (10-15%)
Kurang konsentrasi
iritabilitas
kesukaran dalam memulai tidur atau
mempertahankan keadaan tidur (Sadock
(2007),

kondisi tidur yang tidak memuaskan secara


kuantitas dan atau kualitas, yang berlangsung untuk
satu kurun waktu tertentu
(PPDGJ III)

kesulitan mulai atau mempertahankan tidur, atau


tidur yang tidak dalam dan berlangsung selama 1
bulan/lebih.
(DSM IV)
 Tidak semua gangguan tidur adalah insomnia
 Kebutuhan tidur bersifat individual
 Dikenal istilah short sleeper dan long sleeper
(Dirjen Pelayanan Medik, 2000).
 short sleeper, tidur selama 5 jam sudah dirasa
cukup dan dapat merasa segar
 long sleeper walaupun sudah tidur selama 10
jam tetap merasa belum segar (Carlson, 1992).
 Menurut Maslim (2001), short sleeper
membutuhkan waktu tidur hanya 3-4 jam per
hari sementara long sleeper 7-8 jam per hari.
1. Berdasarkan penyebab
2. Berdasarkan onset
3. Berdasarkan bentuknya ( pattern of insomnia)
4. Bardasarkan etiologinya
 insomnia primer bila tidak berhubungan
dengan gangguan mental atau faktor organik*
 insomnia sekunder bila berhubungan dengan
gangguan mental atau faktor-faktor organik

* Termasuk insomnia non organik


 Sindrom Insomnia Psikik:
 Gangguan bipolar, Anxietas , Panik, Fobia
 Sindroma Insomnia Organik
 Hyperthyroidism, Putus Obat Penekan SSP
(benzodiazepine, phenobarbital, narkotika). Zat
perangsang SSP (caffein, amphetamine, ephedrine)
 Sindrom Insomnia Situasional
 Gangguan penyesuaian, perubahan sleep-wake
schedule
 Sindrom Insomnia Penyerta
 Gangguan fisik+insomnia, gangguan Jiwa+insomnia
 Insomnia dapat sebagai simptom penyerta atau
berdiri sendiri sebagai diagnosa
 Menyertai gangguan jiwa
 Anxietas, depresi, bipolar, psikotik, skizofrenia dan
sebagainya
 Menyertai gangguan fisik
 Sebagai diagonosa; Insomnia Non Organik.
 transient insomnia yang berlangsung selama
beberapa hari, short term insomnia yang
berlangsung selama 1-3 minggu
 chronic insomnia yang berlangsung selama lebih
dari 3 minggu (Edinger & Means, 2005).
 Transient dan short term insomnia berhubungan erat
dengan faktor presipitasi, misalnya stresor sosial
 chronic insomnia biasanya bersifat kompleks dan
hubungannya dengan suatu faktor presipitasi
tidak jelas.
 Faktor presipitasinya mungkin muncul berbulan-bulan
atau bertahun-tahun sebelum timbulnya keluhan
insomnia.
 Beberapa penelitian menemukan adanya faktor
predisposisi insomnia yang dikarakteristikkan sebagai
hiperarousal, yang disebabkan karena faktor psikologis,
kognitif, maupun afektif (Edinger & Means, 2005).
 Difficulty in initiating sleep (DIS) = Sleep onset
Insomnia, yaitu sulit masuk tidur (sleep latency
> 30 menit)
 Difficulty in maintaining sleep (DMS) = sleep
maintenance insomnia, yaitu bisa tidur tapi
sering terbangun
 Early morning waking, without further sleep
(EMW) = sleep onset insomnia, yaitu dengan
terbangun dinihari dan sulit tidur lagi.
 biologi dan psikologi
 penyalahgunaan zat/obat adiktif/intoksikasi
 lingkungan/kebiasaan yang kurang baik,
pengkondisian negatif (negative conditioning).
 Adanya lesi maupun degenerasi thalamus akan
menyebabkan insomnia (Yudofsky, 1997).
 Teori lainnya menduga bahwa insomnia
berkaitan erat dengan neuroendokrin, terutama
pengaruh ACTH-kortisol, hiperprolaktinemia,
dan hormon pertumbuhan terhadap slow-wave
sleep (Carney et al., 2005).
 Serotonin diperkirakan merupakan
neurotransmiter utama dalam sistem saraf
pusat yang berhubungan dengan proses tidur.
 Penelitian pada kucing menunjukkan bahwa
lesi di nuclei raphe akan menyebabkan insomnia
total.
 Lesi subtotal akan menyebabkan gangguan
tidur yang bervariasi. Hasil ini menunjukkan
bahwa serotonin merupakan bagian integral
dari pengaturan sistem tidur (Jones, 2005)
 Regulasi kolinergik memegang peranan
penting dalam pengaturan tidur. Tidur REM
berada dibawah kontrol langsung neuron
kolinergik, terutama kolinergik yang berasal
dari traktus nukleus batang otak (Yates, 2005).
 Melatonin, hormon dari glandula pineal yang
disekresikan terutama pada malam hari (saat
gelap), diperkirakan berperan dalam proses tidur-
bangun (Czeisler & Khalsa, 2005; Haimov et al.,
1994).
 Kadar melatonin tertinggi dalam darah terjadi
pada saat tidur di malam hari dan kadar terendah
adalah pada siang hari atau saat bangun.
 Pemberian melatonin dapat menginduksi tidur,
dapat mempertahankan tidur atau keduanya
(Czeisler & Khalsa, 2005)).
 Etiologi terjadinya insomnia dapat dibagi
menjadi tiga yaitu
1. faktor ekstrinsik misalnya cahaya, kebisingan,
higiene, suhu, kelembaban dan perubahan
lingkungan sekitar
2. faktor instrinsik dibagi dalam penyebab organik
misalnya gangguan atau penyakit organik dan
psikologis contohnya depresi, cemas berkabung serta
higiene tidur/aktivitas mental sebelum tidur, dan
3. faktor iatrogenik misalnya penggunaan obat-obatan
maupun makanan tertentu (Hamdy, 1994; Carney et
al., 2005; Amir, 2007).
 Penyebab lain yang diperkirakan berhubungan
dengan insomnia pada perempuan adalah
menopause. Penelitian di Perancis yang
melibatkan 1000 perempuan setengah baya
menunjukkan adanya hubungan antara
menopause dengan gangguan tidur. Hal ini
diperkirakan sebagai efek dari perubahan
endokrin. Pada perempuan yang mendapat
terapi estrogen dilaporkan mengalami
perbaikan dalam tidurnya (Anonim, 2007;
Amir, 2007).
 Higiene tidur yang buruk pada lansia sering
merupakan penyebab insomnia dan
merupakan faktor yang dapat diatasi oleh
lansia itu sendiri di rumah (Bliwise, 2000;
Carney et al., 2005; Amir, 2007).
 Jadwal tidur yang kacau, perkiraan kebutuhan
tidur yang berlebihan dapat menyebabkan
tidur siang yang terlalu banyak serta terlalu
banyak waktu untuk tidur. (Carney, 2005;
Amir, 2007).
 Kebiasaan makan yang buruk, kurang olah raga,
penggunaan kafein, alkohol dan obat-obatan lain
dapat berpengaruh terhadap timbunya insomnia
(Yates, 2005; Feldman & Abernathy, 2000; Amir,
2007).
 Penyebab yang berasal dari faktor psikologis dan
psikososial juga harus diperhatikan.
 Menurut Kupfer dan Reynolds (2004), lansia yang
hidup sendiri baik karena kematian pasangan atau
perceraian lebih sering mengalami insomnia
dibandingkan dengan mereka yang masih hidup
berpasangan. Status sosial ekonomi yang rendah
juga berhubungan dengan terjadinya insomnia.
A. Pembentukan Sel
B. Penyimpanan energi metabolisme
C. Termoregulator
D. Maturasi neuron
E.Perubahan sekresi hormon  Sekresi Growth
hormon selama fase tidur gelombang lambat (Fase
tidur III dan IV)
F. Pengaturan air seni
 Penelitian oleh Ancoli dan Roth menunjukkan
bahwa pada penderita insomnia mengalami
lebih banyak kesulitan dalam menghadapi
situasi stress walaupun hanya stress ringan,
kesulitan dalam berkonsentrasi dan lebih
banyak mengalami gangguan dalam daya
ingat atau memori. (Feldman & Abernathy,
2000).
1. Transient Insomnia hanya berlangsung 2-3 hari
2. Shortterm insomnia, berlangsung sampai 3
minggu
3. Longterm Insomnia, berlangsung dalam
periode yang waktu yang lebih lama dan
biasanya disebabkan oleh kondisi medik atau
psikiatrik

Indikasi pemberian anti insomnia terutama untuk transient insomnia dan


shortterm insomnia
I. NREM (Non Rapid Eyes Movement)
 Fase I : PERALIHAN DARI KEADAAN SADAR  TERLELAP
 Fase II : DITANDAI ADANYA ‘SLEEP SPINDLE’ DAN ‘K-COMPLEX’
 Fase III : peralihan………
 Fase IV : TIDUR PALING LELAP/KESADARAN SANGAT TURUN

II. REM (Rapid Eyes Movement)


Karakteristik REM Non REM
Aktivitas neuron, MENINGKAT MENURUN
suhu dan pons, nucleus genikulatus
metabolisme otak lateralis, korteks oksipital
PET: ekstrastriata korteks visual
Aktivitas simpatis MENINGKAT MENURUN

Aktivitas MENURUN MENINGKAT


parasimpatis
OTONOM Ereksi pada laki-laki dan (-)
pembesaran klitoris pada wanita.
 PROSES TIDUR = Suatu siklus yang terdiri dari :

 Stadium Jaga (wake, gelombang beta)


 Stadium 1 (gelombang alfa, theta)
 Stadium 2 (gelombang delta 20%)
 Stadium 3 (gelombang delta 20-50%)
 Stadium 4 (gelombang delta >50%)= delta sleep
 Stadium REM (Rapid Eye Movement)= REM sleep
 Suatu siklus berlangsung sekitar 90 menit,
sehingga terjadi sekitar 4, 5 siklus tidur yang
teratur pada tidur yang normal
 Tidur ringan = stadium 1 dan 2
 Tidur dalam = stadium 3 dan 4(non REM sleep)
 Tidur dangkal = stadium REM (terjadi
mimpi)

 Obat golongan Benzodiazepine tidak


menyebabkan “REM supression & rebound”
 Pada kasus depresi terjadi pengurangan “delta
sleep” (gel delta <20%), sehingga tidak pulas
tidurnya dan mudah terbangun.
 Pada awal depresi terjadi defisit “REM sleep”
(0-10 %, dimana pada orang normal sekitar
20%) yang menyebabkan tidur sering
terbangun akibat mimpi buruk (REM sleep
bertambah untuk mengatasi defisit), sehingga
siklus tidur menjadi tidak teratur
(disorganized)
 Obat anti-depresi (trisklik & tetrasiklik)
menekan dan menghilangkan “REM sleep”
dan meningkatkan “delta sleep” sehingga
pasien tidur nyaman tidak diganggu mimpi
buruk. Bila obat mendadak dihentikan terjadi
“REM rebound” dimana pasien akan
mengalami mimpi-mimpi buruk lagi
1. Mandi air hangat
2. Minum susu hangat
3. Penerangan kecil
4. Singkirkan  anak takut
5. Suhu kamar nyaman
6. Mainan antusias
7. Tidur tetap di waktu yang sama
8. Tempat tidur nyaman
9. Dibacakan cerita
 Magnesium : merelaksasi otot
 Kalsium : calming effect
 Vitamin B kompleks: mendorong tercapainya kondisi istirahat
 Pemacu serotonin:
 karbohidrat kompleks (roti atau crackers)
 Vitamin B3 (Niasin) (kacang-kacangan, ikan atau daging ayam)
 Hindari :
 bumbu menyengat, kafein, makanan berpengawet
 karbohidrat sederhana (gula, sirup)
 Makanan berprotein tinggi seperti daging sapi mencegah
produksi serotonin
 Monosodium glutamate (MSG): reaksi stimulan
 Tiramin (keju, cokelat, sayur bayam, dan tomat) merangsang
keluarnya norepinephrine sehingga otak terjaga
1. Cognitive Behavioral
2. Pharmacological
3. Sleep Hygiene Education
4. Environmental Change
5. Medical Treatment
6. Psychiatric Treatment
Switching drugs protocol from benzodiazepine
Serotonin Meningkatkan hypnotic effect, tidur delta, menghambat
neuron kolinergik

Norepinephrine Neuron Noradrenergic di LC menghambat tidur REM


Acetylcholine Neuron Kolinergik menghambat sinkronisasi EEG kortikal

Dopamin Mediasi efek membangunkan. Kekurangan ngantuk

GABA Memperkuat efek hipnotik

Adenosine Memicu tidur

Interleukin Memicu tidur gelombang lambat (NREM)

Prostaglandin Meningkatkan waktu tidur


 Pada umumnya digunakan psikofarmaka
berupa benzodiazepin
 Tidak ada ggn lab.
Yang berhubungan
dengan pemakaian
benzodiazepine.
 Insomnia
 Gangguan kecemasan
 Gangguan panik dan fobia sosial
 Depresi
 Bipolar I
 Akathisia
 Putus Alkohol
 Kondisi lainnya; untuk kecemasan situasional
terutama untuk tindakan medis dan relaksan
otot.
 Sistem saraf pusat:
 Sedasi
 Ataxia
 Efek amnesia
 Gggn inhibisi kepribadian (belum jelas
mekanismenya).
 Inkotinensia
 Depresi pulmonar.
 Komplikasi selama kehamilan masih belum
jelas.
 Kemungkinan terjadinya abnormalitas
palatum,
 Secara umum, penggunaannya selama
kehamilan relatif lebih aman jika masalah
klinisnya lebih berat daripada resiko.
 Jika ibu mengkonsumsi benzodiazepine saat
hamil, maka anaknya cenderung mempunyai
kesulitan dengan adaptasi terhadap obat pada
pembuluh darahnya.
 Penghentian tiba-tiba dari dosis yang
relatif tinggi  konvulsi.
 Penghentian tiba-tiba, tidak
direkomendasikan.
 Pengalaman klinis: sindrom akibat putus
zat dapat dihindari dengan pengurangan
dosis yang baik.
 Pertama, pasien dapat kambuh dengan kembalinya keluhan
awal,
 Kedua, pasien dapat mengalami gejala putus obat, yang secara
umum terjadi dalam waktu beberapa hari setelah penghentian
obat
 Kemudian menurun akhirnya hilang pada minggu ke 2-3.
 Rebound :
 Gejala yang muncul tiba-tiba bahkan bisa lebih
parah dari gangguan sebelumnya
 Relaps
 Keadaan tidak stabil atau peningkatan simptom
yang muncul 3-4 minggu setelah medikasi
dihentikan yang menunjukkan kembalinya
kecemasan.
 Pada kasus transient (2-3 hari)dan shortterm
insomnia (s/d 3 minggu)
 Pada longterm insomnia dicari faktor yang
mendasari
 Proses tidur+suatu siklus yang terdiri atas:
 Stadium jaga (wake)
 Stadium 1( gelombang alfa, beta dan theta )
 Stadium 2 ( gelombang delta 20 % )
 Stadium 3 ( gelombang delta 20 – 50 % )
 Stadium 4 ( gelombanh delta > 50 % ) = Delta Sleep
 Stadium REM ( rapid eye movement ) = REM Sleep.
 Satu siklus berlangsung sekitar 90 menit,
sehingga terjadi sekitar 4 – 5 siklus tidur yang
teratur pada tidur yang normal.
 Pada keadaan :
 Tidur ringan = stadium 1 dan 2
 Tidur dalam = stadium 3 dan 4 (Non REEM
Sleep)
 Tidur dangkal = stadium REM (terjadi
mimpi)
 Pemilihan Obat
 Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal
dengan :
 Intial Insomnia = sulit masuk kedalam proses tidur.
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep
Inducing Anti-Insomnia”, yaitu golongan
benzodiazepine (short Acting).
Misalnya pada Gangguan Anxientas.
 Pemilihan Obat

 Delayed Insomnia = proses tidur terlalu cepat


berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur
selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
“Prolog latent phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan
heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)
Misalnya pada Gangguan Depresi.
 Pemilihan Obat
 Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal
dengan :
 Broken Insomnia=siklus proses tidur yang normal
tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa
bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan
adalah bersifat “Sleep Maintaining Anti-Insomnia”,
yaitu golongan phenobarbital atau golongan
Benzodiazepine (Long Acting). Misalnya pada
gangguan stres psikosial
 Pemberian tunggal dosis anjuran 15’-30’
sebelum tidur
 Dosis awal dinaikkan secara bertahap sampai
mencapai dosis efektif dan dipertahankan
sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya
tapering off.
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan
peningkatan dosis lebih perlahan-lahan untuk
menghindari oversedation dan intoksikasi
 Pemakaian obat anti insomnia sebaiknya
sekitar 1-2 minggu saja tidak lebih dari 2
minggu, agar risiko ketergantungan kecil.
Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan “sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan berikutnya
 Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh
karena psychological Dependence (habituasi)
sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan
tidur dapat ditanggulangi.

Anda mungkin juga menyukai