Anda di halaman 1dari 7

IDENTITAS BUKU :

 Judul buku : 168 Jam Dalam Sandera


 Penulis : Meutya Hafidz
 Penerbit : Mizan
 Cetakan : Kedua, Oktober 2007
 Tebal : 280 Halaman

NAILA NOELANY
XII MIPA 1
SINOPSIS SINGKAT

Buku yang mengisahkan perjuangan Meutya Hafid, seorang reporter Metro TV dan rekannya –
Budiyanto, juru kamera yang mendampinginya, ketika disandera oleh mujahidin di Ramalah, Irak,
Februari 2005 silam, dimana disandera oleh Mujahidin Irak. Mereka diculik tiba-tiba saat sedang
berhenti di POM Bensin. Seluruh bangsa pun khawatir, berdoa demi keselamatan mereka, dan
mengusahakan pembebasan secepatnya.

168 jam lamanya Meutya dan Budi berada dalam sandera. Di dalam sebuah gua kecil di tengah
gurun Ramadi. Tidur beralaskan batuan dan dibuai oleh suara bom dan tembakan. Di sana
mereka belajar tentang kepasrahan total kepada Yang Kuasa, karena telah begitu dekatnya
dengan kata “mati”. Di sana mereka diingatkan, bahwa jika Tuhan menghendaki, segalanya bisa
terjadi. Dan, di sana pula mereka berdua disadarkan, betapa nyawa sangat berharga,
dibandingkan berita paling ekslusif sekalipun.
NILAI SOSIAL

 “Meski begitu, dia tetap ramah menyambut kami… “ Hal. 19


 “Muhammad kembali menawarkan roti, tetapi aku mengelengkan
kepala seraya tersenyum.” Hal. 77
NILAI MORAL

 “Sudah menjadi kebiasaanku setiap meliput daerah konflik,


memohon maaf dan doa kepada kerabat terdekat.” Hal.20
 “Kali ini sikapnya lebih sopan ketimbang sepuluh lelaki Irak tak
berseragam tadi. Dia pun meminta maaf sebelum
memerpersilahkan kami berlalu.” Hal. 31
 “Pengalaman itu membuat kami lebih hati-hati.” Hal. 32
 “… mereka menunjukkan sikap yang santun dan baik. “ Hal. 125
NILAI BUDAYA

 “Kami makan tanpa piring. Ibrahim menyebutnya cara makan khas


Arab.” Hal. 80
NILAI AGAMA

 “Sebagai orang beragama, aku harus percaya takdir.” Hal. 36


 “Setelah mulutnya menganggungkan nama Allah, jeritan sang
sandera menggema, diikutitakbir dari para lelaki di belakangnya.”
Hal. 59
 “Mulutnya komat-kamit entah berdoa atau sekedar penawar rasa
takut. “ Hal. 88
 “Kalau kita masih bersua dengan hari esok, dan bisa bertemu
keluarga, kita harus betul-betul bersyukur kepada Allah.” Hal. 147
NILAI ESTETIKA

 “Batu besar di bawah selimutku serasa menusuk punggung. Cahaya


lampu minyak semakin redup. Dengkuran kelima lelaki saling
bersahutan.” Hal. 54

Anda mungkin juga menyukai