Anda di halaman 1dari 79

ASUHAN

KEGAWATAN MATA
DAN TELINGA

Intan Fauziah Dwi Lestari


PSIK A 2016
1161040000022
TRAUMA PADA
MATA
DEFINISI

• Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan cedera pada
mata. Trauma mata adalah penyebab umum kebutaan unilateral pada anak dan
dewasa. (Augsburger & Asbury, 2014).
• Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata. Perlukaan yang ditimbulkan
dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata
ETIOLOGI
1. Mekanik, meliputi:
a. Trauma oleh benda tumpul, misalnya: Terkena tonjokan tangan, terkena
lemparan batu, terkena lemparan bola, terkena jepretan ketapel, dan lain
-lain.
b. Trauma oleh benda tajam, misalnya: Terkena pecahan kaca, terkena
pensil, lidi, pisau, besi, kayu, terkena kail, lempengan alumunium, seng,
alat mesin tenun.
2. Non Mekanik, meliputi:
a. Trauma oleh bahan kimia: Air accu, asam cuka, cairan HCL, air keras,
coustic soda, kaporit, jodium tincture, baygon, bahan pengeras bakso,
semprotan bisa ular, getah papaya, miyak putih.
b. Trauma fisis
Trauma termik (hipermetik) misalnya terkena percikan api dan
terkena air panas.
Trauma radiasi misalnya terkena sinar ultra violet, sinar infra
merah, sinar ionisasi dan sinar X.
MANIFESTASI KLINIS
1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya
2. Memar pada sekitar mata
3. Penurunan visus
4. Penglihatan ganda
5. Mata bewarna merah
6. Nyeri dan rasa menyengat
7. Mata terasa Gatal
8. Fotofobia
9. Hematoma palpebra
10. Edema konjungtiva, kornea
11. Erosi kornea
12. Iridoplegia (Kelumpuhan otot sfingter pupil)
13. Iridodialisis (iris terlepas dari pangkalnya)
14. Hifema (darah di dalam bilik mata depan)
15. Ablasi Retina (terlepasnya retina dari koroid)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Slit lamp: untuk melihat kedalaman cedera di segmen anterior bola mata.

2. Tes fluoresin: digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan jelas.

3. Tonometri: untuk mengetahui tekakan bola mata.

4. Pemeriksaan fundus yang di dilatasikan dengan oftalmoskop indirek : untuk mengetahui


adanya benda asing intraokuler.

5. Tes Seidel: Untuk mengetahui adanya cairan yang keluar dari mata.

6. Pemeriksaan ct-scan dan USG B-scan: digunakan untuk mengetahui posisi benda asing.

7. Electroretinography (ERG): untuk mengetahui ada tidaknya degenerasi pada retina.

8. Pengukuran tekanan IOL dengan tonography: mengkaji nilai normal tekanan bola mata
(normal 12-25 mmHg).

9. Pemeriksaan Radiologi: untuk membantu dalam menegakkan diagnosa, terutama bila


ada benda asing.
PENATALAKSANAAN
Palpebra
a. Hematoma palpebra, pengobatan dilakukan dengan pemberian kompres dingin untuk menghentikan perdarahan dan
menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorbsi darah dapat dilakukan kompres hangat kelopak
mata.(FKUI Edisi V, 2014)
b. Abrasi dan laserasi palpebra, pengobatan dilakukan apabila terjadi abrasi karena partikel benda asing harus segera
dikeluarkan dengan irigasi. Luka kemudian diirigasi dengan saline serta ditutup dengan salep antibiotik dan kasa steril.
Bila terjadi laserasi palpebra maka dilakukan tindakan bedah. (Ausburger, 2014)
Konjungtiva
a. Edema konjungtiva, pengobatan dilakukan dengan pemberian dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di
dalam selaput lendir konjungtiva. Bila terjadi kemotik konjungtiva dapat dilakukan insisi untuk mengeluarkan cairan
konjungtiva (.(FKUI Edisi V, 2014)
b. Hematoma subkonjungtiva, pengobatan dini ialah dengan kompres hangat. Perdarahan subkonjungtva akan hilang atau
diabsorbsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati. (FKUI Edisi V, 2014)
Kornea
a. Edema kornea, pengobatan dilakukan dengan pemberian larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau garam hipertonik 2-8 %,
glukosa 40% dan larutan albumin. Bila terjadi peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan
untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak. (FKUI Edisi V, 2014)
b. Erosi kornea, pengobatan dilakukan dengan pemberian anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihata
n dan menghilangkan rasa sakit. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotik sprektrum luas seperti kloramfenikol
dan sulfasetamid tetes mata. Bila mengabitkan spasme siliar, maka diberikan siklopegik aksi- pendek seperti tropikmida.
(FKUI Edisi V, 2014)
LANJUTAN
Uvea
a. Hifema, pengobatan dilakukan dengan parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan pada
pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam
atau bila 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang. (FKUI Edisi V, 2014)
b. Iridodialisis, pengobatan dilakukan dengan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas. (FKUI
Edisi V, 2014)
c. Iridoplegia, pengobatan dilakukan dengan tirah baring untuk mencegah terjadinya kelelahan sfingter. (FKUI Edisi V,
2014)
d. Iridosiklitis, bila terjadi uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terjadi infeksi berat,
maka dapat diberikan steroid sistemik. (FKUI Edisi V, 2014
Lensa
a. Luksasi lensa anterior, penatalaksanaan awal berupa azetasolamida untuk menurunkan tekanan bola mata dan ekstraksi
lensa. (FKUI Edisi V, 2014)
b. Luksasi lensa posterior, pengobatan dilakukan dengan ekstraksi lensa. (FKUI Edisi V, 2014)
c. Katarak trauma, pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya
dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lenda
intraokuler primer atau sekunder. Ekstraksi lensa dilakukan bila terjadi penyulit seperti glaukoma dan uveitis. (FKUI
Edisi V, 2014)
LANJUTAN

Trauma kimia
a. Trauma asam, pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan selama
mungkin untuk menghilangkan larutan bahan yang mengakibatkan trauma (FKUI Edisi V, 2014)
b. Trauma basa, pengobatan dilakukan dengan secepatnya melakukan irigasi dengan garam fisiologik.
Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin, Penderita diberi siklopegiam antibiotika, EDTA untuk
mengikat basa. (FKUI Edisi V, 2014)
Trauma radiasi
a. Trauma sinar infra merah, pengobatan dilakukan dengan steroid sistemik dan lokal diberikan untuk
mencegah terbentuknya jaringan parut pada maukla atau untuk mengurangi gejala radang yang timbul
(FKUI Edisi V, 2014)
b. Trauma sinar ultra violet, pengobatan dilakukan dengan siklopgia, antibiotik lokal, analgetik, dana
mata ditutup selama 2-3 hari. (FKUI Edisi V, 2014)
PATOFISIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Trauma mata bisa disebabkan oleh karena mekanik dan non mekanik, semua ini menciderai
organ-organ mata yang menyebabkan terjadinya trauma mata. Trauma mata yang diakibatkan oleh cedera mekanik
pada jaringan bola mata akan menimbulkan suatu atau berbagai akibat klasik seperti: rasa sakit akibat trauma,
gangguan penglihatan berupa penglihatan kabur, perabengkalan, perdarahan atau luka terbuka dan bentuk mata
berubah.

Trauma oleh bahan kimia basa menyebabkan proses penyabunan membrane sel disertai dehidrasi
sel. Terjadi kerusakan jaringan yang menembus sampai ke lapisan yang lebih dalam dengan cepat dan berlangsung
terus hingga kerusakan terus terjadi lama setelah trauma. Terbentuk koagulase yang akan menambah kerusakan
kolagen kornea. Bila menembus bola mata, akan merusak retina dan berakhir dengan kebutaan. Bahan kaustik
soda dapat menebus bilik mata depan dalam waktu 7 detik. (Mansjoer, Arif, 2002).

Bahan kimia asam menyebabkan pengendapan atau pengumpalan protein permukaan sel, sehingga
bila konsentrasi tidak tinggi tidak akan destruktif seperti alkali. Asam membentuk suatu sawar prespitat pada
jaringan yang terkena, sehingga membatasi kerusakan lebih lanjut. Konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan
kerusakan yang lebih dalam seperti trauma alkali.(Mansjoer, Arif, 2002).
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
A. Anamnesa
1. Identitas pasien meliputi nama, usia (dapat terjadi pada semua usia), pekerjaan ,jenis kelamin
(kejadian lebih banyak pada laki-laki daripada wanita).
2. Keluhan utama : Klien biasanya mengeluh adanya penurunan penglihatan, nyeri pada mata, dan
keterbatasan gerak mata.
3. Riwayat penyakit sebelumnya : Riwayat penyakit yang mungkin diderita klien seperti DM yang dapa
t menyebabkan infeksi yang pada mata sulit sembuh
4. Riwayat penyakit sekarang : Yang perlu dikaji adalah jenis trauma, bahan yang menyebabkan trauma,
lama terkena trauma, dan tindakan apa yang sudah dilakukan pada saat trauma terjadi dan sebelum
dibawa ke RS
5. Riwayat psikososial : Pada umumnya klien mengalami berbagai derajat ansietas, gangguan konsep
diri dan ketakutan akan terjadinya kecacatan mata, gangguan penglihatan yang menetap atau mungkin
kebutaan.
B. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital (nadi, suhu, tekanan darah, dan pernapasan)
LANJUTAN
C. Pemeriksaan khusus pada mata:
1. Pemeriksaan bagian luar mata
Posisi mata: dikaji simetris / tidak, apakah exaptalamus.
Alis mata bulu mata dan kelopak mata.
Respon tutup mata dan berkedip.
Visus (menurun atau tidak ada).
Gerakan bola mata (terjadi pembatasan atau hilangnya sebagian pergerakan bolam mata).
2. Inspeksi area antara kelopak mata bawah dan atas apakah bebas edema.
3. Inspeksi sclera dan konjugtiva: melihat warna, perubahan tekstur dan konjungtiva bulbi (adanya
hiperemi atau adanya nekrosis).
4. Iris dan pupil diinspeksi normalnya saat diberikan cahaya iris kontraksi & nervus optikus terstimulasi.
5. Kornea (adanya erosi,keratitis sampai dengan nekrosis pada kornea).
LANJUTAN
No Data Diagnosa

1. DO : tampak meringis, bersikap Nyeri akut b.d agen pencedera fisik


protektif, gelisah (trauma)
DS : mengeluh nyeri

2. DO : pemeriksaan lapang pandang Gangguan persepsi sensori b.d gangguan


menurun, penurunan kemampuan penglihatan
identifikasi lingkungan (benda,
orang)
DS : menyatakan penglohatan kabur
, tidak jelas, penurunan area
penglihatan
DX SLKI SIKI
LANJUTAN
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x30 menit, dihara
pkan nyeri pasien berkurang, dengan KH :
1. Manajemen Nyeri
Observasi
1. Tingkat nyeri a. Identifikasi lokasi, karateristik, durasi, frekuensi, kualitas n
a. Keluhan nyeri menurun yeri
b. Keadaaan meringis menurun b. Identifikasi skala nyeri
c. Sikap protektif menurun c. Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan ny
d. Frekuensi nadi membaik eri
2. Kontrol nyeri d. Identifikasi respon nyeri non verbal
a. Keluhan nyeri menurun Terapeutik
b. Melaporkan nyeri terkontrol meningkat a. Berikan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
c. Kemampuan mengenali nyeri meningkat b. Kontrol yang memperberat rasa nyeri
d. Kemampuan mengenali penyebab nyeri Kolaborasi
a. Pemberian analgetik
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapk 1. Minimalisasi Rangsangan
an penglihatan pasien membaik, dengan KH Observasi
1. Persepri sensori a. Periksa status mental, status sensori, dan tingkat kenyamana
a. Ketajaman penglihatan meningkat n (nyeri, kelelahan)
Terapeutik
a. Batasi stimulasi lingkungan (cahaya, aktivitas)
b. Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori (terlalu t
erang)
Kolaborasi
a. Kolborasi pemberian obat yng mempengaruhi persepsi stim
ulus
GLAUCOMA
DEFINISI

• Sekelompok penyakit kerusakan saraf optik yang biasanya disebabkan oleh peningkatan
tekanan okular pada papil saraf optik. (James, Bruce : 2006)
• Penyakit mata yang kronis dan berjalan progresif, dengan kerusakan pada serangkaian jalur
serabut saraf retina dan diskus optikus disertai bintik buta pada penglihatan luas lapang
pandang yang khas. Faktor resiko utama adalah peningkatan tekanan pada bola mata/tekanan
intra okular (TIO) (Goldberg : 2017)
ETIOLOGI
• Tekanan pada intraokular yang terjadi karena ketidakseimbangan
produksi humour aqueous, hambatan aliran aqueous dan tekanan
vena episklera.
• Faktor resiko :
– Tekanan darah rendah/tinggi
– Autoimun
– Degenerasi primer sel ganglion
– Riwayat glaukoma pada keluarga
– Usia > 45 tahun.
KLASIFIKASI
MANIFESTASI KLINIS
• Glaukoma sudut terbuka : TIO >21 mmHg, ada gambaran sudut bilik mata depan
terbuka, ada kerusakan papil nervus optikus glaukomatosa, gangguan lapang
pandang, sakit kepala, sakit mata.
• Glaukoma sudut tertutup : ada gambaran sudut bilik mata depan tertutup, mata
kabur mendadak, pusing, mual muntah, mata merah, bengkak, berair, terdapat halo
(pelangi disekitar obyek), kornea tampak edema dan keruh.
• Glaukoma sekunder terjadi karena TIO meningkat/penyakit lain : galukoma pigmen
tasi, akibat kelainan lensa, trauma, pasca operasi, akibat steroid.
• Glaukoma kongenital timbul saat lahir atau dalam tahun pertama dengan TG : mata
berair berlebihan, peningkatan diameter kornea, kornea berkawan karena edema
epitel, fotofobia.
• Glaukoma absolut : kebutaan total, mata lelah, kornea keruh, nyeri periorbital
(Vaughan : 2010)
LANJUTAN

• Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga).


• Pandangan kabut, melihat halo sekitar lampu.
• Mual, muntah, berkeringat.
• Mata merah, hiperemia konjungtiva, dan siliar.
• Visus menurun.
• Edema kornea.
• Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut terbuka).
• Pupil lebar lonjong, tidak ada refleks terhadap cahaya.
• TIO meningkat.( Anas Tamsuri, 2010)
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Tonometri : pengukuran tekanan intraokular. Rentang tekanan intraokular normal
adalah 10-21 mmHg.
• Gonioskopi : memungkinkan visualisasi langsung struktur – struktur sudut. Apabila
keseluruhan anyaman trabekular, taji sclera, dan processus iris dapat terlihat, sudut
dinyatakan terbuka. Apabila hanya garis Schwalbe atau sebagian kecil dari anyaman
trabekular yang dapat terlihat, sudut dinyatakan sempit. Apabila garis Schwalbe
tidak terlihat, sudut dinyatakan tertutup.
• Pemeriksaan Lapangan Pandang : automated perimeter (misal Humphrey,
Octopus, atau Henson), perimeter Goldmann, Friedmann fiel analyzer, dan layar
tangent.
• Oftalmoskopi : Untuk menentukan apakah tekanan bola mata telah menganggu
saraf optik. (Ilyas : 2010)
PENATALAKSANAAN
Beta blockers (Timolol, betaksolol, levobunolol)
– Indikasi : menurunkan produksi humour aqueous
– Kontraindikasi : CHF, PPOK, asma
– Efek samping : Toksisitas kornea, reaksi alergi, bradikardi, bronkospasme
Karbonik anhydrase inhibitor (dorzolamide, brinzolamide, Asetozolamid)
– Indikasi : menurunkan produksi humour aqueous
– Kontraindikasi : alergi sulfonamide, batu ginjal, penyakit anemia sel sabit
– Efek samping : sensai rasa metalik, dermatitis, edema kornea, sindrom steven-johnson, malaise,
anorexia
Agonis alfa adrenergic (Brimoinidine)
– Indikasi : memperbaiki aliran queous
– Efek samping : reaksi alergi, somnolen, nyeri kepala
Terapi Bedah dan Laser
– Iridoplasti, Iridektomi dan Iridotomi Perifer : mengurangi tekanan dangan mengeluarkan bagian iris
untuk membangun kembali outflow aqueus humor.
– Trabekuloplasti Laser : menimbulkan luka bakar pada trabecular meshwork dan kanal Sclem
sehingga mempermudah aliran keluar aqueous humour.( Ilyas S : 2010)
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
– Primer : Periksa ABC
– Sekunder : SAMPLE
– Pemfis :
• Head to toe
• Mata : Visus (Ketajaman penglihatan normal/menurun se
cara progresif/mendadak pada glaukoma akut, kornea ede
ma dan keruh, refleksi cahaya pupil dapat +/-, lensa bisa
keruh/adanya iris shadow, nyeri periorbita,
LANJUTAN

ANALISA DATA DX
DS : Mengeluh nyeri di mata dan Nyeri akut b/d agen pencedera
sekitarnya (orbita, kepala, gigi dan fisiologis
telinga)
DO : mata merah, bengkak, TIO
meningkat, gelisah, diaforesis
DS : Penglihatan kabur Gangguan persepsi sensori b/d
DO : Distorsi sensori gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan Resiko cedera dd gangguan penglih
atan
DX SLKI SIKI
Nyeri akut b/d agen pencedera fisiologis Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan Manajemen nyeri
Kontrol nyeri meningkat dengan KH : 1. Monitor efek samping penggunaan analgesi
1. Penggunaan analgesik menurun k
2. Melaporkan nyeri terkontrol meningkat 2. Kontrol lingkungan yang memperberat nyer
3. Kemampuan menggunakan teknik nonfarmakolo i
gis meningkat 3. Berikan teknik nonfarmakologis untuk men
gurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi pemberian analgesik
Pemberian analgesik
1. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberi
an analgesik
2. Monitor efektifitas analgesik
3. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis algesi
k, sesuai indikasi.
Gangguan persepsi sensori b/d gangguan pe Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan Minimalisasi rangsangan
nglihatan Fungsi sensori membaik dengan KH : 1. Periksa status mental, status sensori, dan tin
1. Ketajaman penglihatan meningkat gkat kenyamanan (nyeri, kelelahan)
2. Batasi stimulus lingkungan (cahaya)
3. Kolaborasi pemberian obat yang mempenga
ruhi persepsi stimulus.
Resiko cedera dd gangguan penglihatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan Manajemen kesehatan lingkungan
Tingkat cedera menurun dengan KH : 1. Hilangkan bahaya keselamatan lingkunga
1. Toleransi aktivitas meningkat n (fisik, biologi dan kimia)
2. Kejadian cedera menurun 2. Modifikasi lingkungan untuk meminimalk
3. Ekspresi wajah kesakitan menurun an bahaya dan resiko
3. Sediakan alat bantu kemanan lingkungan (
pegangan tangan)
RETINALDETACHMENT
DEFINISI ETIOLOGI
• Trauma
• Akibat adanya robekan pada retina
• Ablasi retina (retinal detachment) adalah • Cairan masuk kebelakang dan mendorong retina
pemisahan retina sensorik, yakni lapisan (rhematogen) atau terjadi penimbunan eksekuda
fotoreseptor (sel kerucut dan batang) dan t dibawah retina sehinggan retina terangkat (non
jaringan bagian dalam, epitel pigmen rhematogen), atau tarikan jaringan parut pada
retina dibawahnya. (Ilyas, 2015) badan kaca (traksi)
• Penimbunan eksekudat : akibat penyakit koroid,
• ablasio retina atau retinal detachment misalnya skleritis, koroditis, tumor retrobulbar,
adalah lepasnya retina sensoris dari epitel uveitis dan toksemia gravidarum.
pigmen yang terdiri dari nonregmatogen • Jaringan parut pada badan kaca dapat
(tanpa robekan retina) dan regmatogen disebabkan DM, proliferatife, trauma, infeksi
(dengan robekan retina). (Tamsuri, 2011) atau pasca bedah. (John, 2015)
MANIFESTASI KLINIS
• Floaters (terlihat benda melayang-layang). Terjadi karena adanya kekeruhan di vitreua oleh
adanya darah, pigmen, retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu sendiri
• Photopsia / Light flashes (kilatan cahaya) tanpa ada sumber cahaya disekitarnya. Terjadi saat
mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam gelap.
• Penurunan penglihatan. Penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti tetutup tirai yang
semakin lama semakin luas. Pada keadaan lanjut dapat terjadi penurunan penglihatan yang
berat.
• Ada semacam tidai tipis berbentuk parabola yang naik prlahan-lahan dari mulai bgian bawah
sampai akhirnya menutupi pandangan.
• Pada pemeriksaan fundus okuli, tampak retina yang terlepas berwarna pucat dengan pembuluh
darah retina yang berkelok-kelok disertai atau tanpa robekan retina
KLASIFIKASI
1. Rhegmatogenous Retina Detachment (RRD). Diawali dengan adanya
robekan (break) pada retina yang menyebabkan masuknya cairan yang
berasal dari vitreus yang mencair (liquefaction) di antara lapisan
sensoris retina & RPE.
2. Non Rhegmatogenous Retinal Detachment
1. Traction Retinal Detachment: terlepasnya lapisan sensoris dari
RPE akibat dari tarikan oleh membran vitreoretina. Membran
tersebut terbentuk pada kasuskasus: Proliliverative Diabetic
Retinopathy; Retinopathy of Prematurity; Sickle Cell Retinopathy
& penetrating posterior segment trauma.
2. Exudative Retinal Detachment: masuknya cairan yang berasal dari
choriocapillary ke rongga subretina dengan cara menembus/
melewati lapisan RPE yang rusak. Pada umumnya terjadi pada
kasus-kasus : severe hypertension; choloridal tumor; neovaskuleris
asi subretina; retinoblastoma dan lainlain.
(Budiono, 2013)
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan Laboratorium. Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta antara lain glaukoma, diabetes mellitus, ma
upun kelainan darah
• Pemeriksaan dengan oftalmoskopi direct and indirect
• Pemeriksaan ketajaman penglihatan
• Test refraksi
• Pemeriksan respon refleks pupil
• Pemeriksaan tes pengenalan warna
• Pemeriksaan slit lamp biomicroscopy dengan bantuan lensa seperti :
• Lensa kontak Goldman 3 mirror
• Lensa Hruby
• Lensa +78 D. + 80 D atau +90 D
• Pemeriksaan tekanan intraokuler (TIO)
• Pemeriksaan Ultrasonografi, yaitu ocular B-Scan ultrasoografi juga digunakan untuk mendiagnosis ablasio retina dan keadaan p
atologis lain yang menyertainya seperti proliverative vitreoretinopati, benda asing intraokuler. Selain itu ultrasonografi juga dig
unakan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan ablasio retina eksekudatif misalnya tumor dan posterior skleritis Angiog
rafi fluoresensi
• Visual Evoked Response (VER)
• Elektroretinograf (ERG)
• Elektrookulargraf (EOG)
PENATALAKSANAAN
PRE-OPERATIF
1. Sedikitnya 5 – 7 hari sebelum operasi, penderita sudah harus masuk
rumah sakit, harus tirah baring sempurna (Bedrest total).
2. Kepala dan mata tidak boleh digerakan, mata harus di tutup segera
3. Kedua mata ditetesi midriatik sikloplegik seperti: Atropin tetes 1 %
4. Operasi ablasio retina mengguna kan anestesi umum tetapi bila
menggunakan anestesi lokal maka 1 jam sebelum operasi diberikan
luminal (100 mg) atau largactil (100 mg) IM, kemudian ½ jam sesudah
nya diberi pethidine (50 mg) dan Phenergan (25 mg) IM.
LANJUTAN
OPERATIF
1. Scleral buckle. Tujuan skleral buckling adalah untuk melepaskan tarikan vitreous pada robekan retina,
mengubah arus cairan intraokuler, dan melekatkan kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur
meliputi lokalisasi posisi robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan
skleral buckle (sabuk).
2. Retinopeksi pneumatik. Metode yang sering digunakan pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika
terdapat robekan tunggal pada bagian superior retina.Tujuan dari retinopeksi pneumatik adalah untuk
menutup kerusakan pada retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu yang cukup lama
hingga cairan subretina direabsorbsi. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan
gelembung gas (SF6 atau C3F8) ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan
retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan.
3. Pars Plana Vitrektomi. Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat diabetes dan
juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaann
ya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen pada
ruang vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus cutre untuk
menghilangkan berkas badan kaca (vitreuos stands), membran, dan perlengketan-perlengketan.
LANJUTAN
POST OPERATIF
1. Monitor posisi kepal. Posisi kepala dan badan, arah miringnya kepala, tergantung posisi/keadaan
sewaktu operasi yaitu kearah mana punksi cairan subretina dilakukan. Pada robekan yang sangat besar,
posisi kepala dan badan dipertahankan sedikitnya 12 hari.
2. Pergerakan mata. Pergerakan mata, bila operasi dilakukan dengan kombinasi cryo atau diathermi
koagulasi dengan suatu implant atau scleral buckling, maka kedua mata ditutup selama 48 -72 jam
sedang badan boleh bergerak untuk mencegah pergerakan matanya. Bila hanya menggunakan cryo atau
diathermi saja mata ditutup selama 48 jam samapai cairan subretina diabsobsi.
3. Obat-obat. Selama 24 jam post-operasi diberikan obat anti nyeri (analgesik) Asam Mefenamat 3 X 500
mg, bila mual muntah berikan obat anti muntah. Sesudah 24 jam tidak perlu diberikan obat-obat, kecuali
bila merasa sakit. Penggantian balut dilakukan setelah 24 jam, saat itu mata ditetesi dengan Atropin tetes
steril 1 %. Bila kelopak mata bengkak, diberikan Kortikosteroid lokal disertai babat tindih (druk verban)
dan kompres dingin
4. Lamanya mobilisasi dan pemeriksaan lanjutan (follow – up).
ASUHAN KEPERAWATAN
 Keluhan utama. Diisi tentang keluhan
Identitas atau biodata klien Meliputi yang dirasakan klien pada saat dilakukan
1. Nama nya pengkajian pertama kali dengan klien.
2. Umur  Riwayat
3. Agama 1. Riwayat penyakit : trauma mata,
4. Jenis kelamin riwayat inflamasi (koroiditis),
5. Alamat riwayat myopia, retinitis.
6. Suku bangsa 2. Psikososial : kemampuan
7. Status perkawinan beraktivitas, gangguan membaca,
resiko jatuh, berkendaraan
8. Pekerjaan
9. Pendidikan
10. Tanggal masuk rumah sakit
11. No. RM
LANJUTAN
Pengkajuan umum
1. Usia
2. Gejala penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipotiroid
3. Gejala penyakit mata : nyeri mata, penurunana ketajaman penglihatan, kemeng bagian belakang
mata (koroiditis) retinitis)
Pengkajian khusus mata
1. Fotopsia (seperti melihat halilintar kecil), terutama pada tempat gelap; merupakan keluhan dini
ablasio retina
2. Bayangan titik-titik pada penglihatan hingga terjadi kehilangan penglihatan.
3. Kehilangan lapang pandang; gambaran kehilangan penglihatan menunjukan kerusakan pada area
yang berlawanan. Jika kehilangan pada area inferior, kerusakan (ablasi) terjadi pada area superior.
4. Sensasi mata tertutup (jika robekan luas).
5. Pemeriksaan funduk okuli dengan oftalmoskop didapatkan gambaran tampak retina yang terlepas
berwarna pucat dengan pembuluh darah retina yang berkelok-kelok disertai atau tanpa robekan
retina.
LANJUTAN
No Masalah Dx Etiologi
1. • DS : Penderita mengeluh penglihatannya Gangguan persepsi Gangguan
sebagian seperti tetutup tirai, melihat benda sensori penglihatan
melayang-layang, melihat kilatan cahaya,
mengalami penurunan penglihatan
• DO : Pada pemeriksaan ditemukan
penurunan lapang pandang , Tekanan intrao
kuler biasanya sedikit lebih tinggi, norm
al, atau rendah, Electroretinography (ERG
) dibawah normal atau tidak ada, pada peme
riksaan funduskopi terdapat hasil salah
satunya retina yang mengalami ablasio
tampak sebagai membran abu -abu merah
muda yang menutupi gambaran vaskuler
koroid
LANJUTAN
Nyeri a Masalah Dx Etiologi
kut
2. • DS : mengeluh nyeri Nyeri akut Agen pencedera fisik
• DO : tampak meringis, nadi (prosedur operasi)
meningkat, gelisah, TD meningkat
, RR meningkat, bersikap protektif
LANJUTAN
DX SLKI SIKI

1. Gangguan Setelah dilakukan tindak keperawatan, Minimalisasi Rangsangan


ersepsi sensori diharapkan fungsi sensori membaik. a. Observasi
b/d 1. Periksaan status sensori dan tingkat kenyamanan
Gangguan Kriteria hasil : b. Terapeutik
penglihatan 1. Ketajaman penglihatan meningkat 1. Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban
sensori
2. Batasi stimulus lingkungan
3. Kombinasikan prosedur/tindakan dalam satu
waktu, sesuai kebutuhan
c. Edukasi
1. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/
tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat
LANJUTAN
DX SLKI SIKI

2. Nyeri akut b Setelah dilakukan tindak keperawatan, di Manajemen Nyeri


/d Agen penced harapkan kontrol nyeri meningkat. a. Observasi
era fisik (prose 1. Identifikasi PQRST
dur operasi) Kriteria hasil : 2. Identifikasi respon nyeri non verbal
1. Penggunaan analgesik menurun 3. Identifikasi faktor pemberat nyeri
2. Melaporkan nyeri terkontrol mening 4. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
kat 5. Monitor efek samping analgesik yang diberikan
3. Kemampuan menggunakan teknik n b. Terapeutik
onfarmakologi meningkat 1. Beri terapi nonfarmakologis
2. Kontrol lingkungan yag memperberat nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
c. Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi pereda nyeri
3. Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
4. Ajarkan teknik non farmakologis
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
LANJUTAN
Dx NOC NIC
2. Pemberian Analgesik
a. Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgesik
5. Monitor efektifitas analgesik
b. Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgesim yang disukai untuk mencapai analgesik optimal
2. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu atau bolus opioid untuk mempertahanka
n kadar dalam serum
3. Tetapkan target efektifitas analgesik untuk mengoptimalkan respon pasien
4. Dikumentasikan respon tergadap analgesik dan efek yang tidak diinginkan
c. Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
EPITAKSIS
DEFINISI ETIOLOGI
Epitaksis (Mimisan) adalah perdarahan LOKAL SISTEMIK
hidung diawali oleh pecahnya pembuluh 1. Trauma 1. Kelainan
darah di dalam selaput mukosa hidung. 2. Infeksi darah
80% perdarahan berasal dari pembuluh
3. Neoplasma 2. Penyakit
darah Pleksus Kiesselbach (area Little).
4. Kelainan kardiovaskular
Pleksus Kiesselbach terletak di septum
nasi bagian anterior, di belakang kongenital 3. Gangguan
persambungan mukokutaneus tempat 5. Diviasi hormonal
pembuluh darah yang kaya anastomosis. sputum 4. Alkoholisme
6. Pengaruh 5. DM & Sirosis
lingkungan hati
6. Infeksi akut
PATOFISIOLOGI
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah.
Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang
cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang atas) interna
yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan arteri sfenopalatina.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis (fasial=muka).
Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleks
us kiesselbach (little’s area).

Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu
lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang).
PATOFISIOLOGI
Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area, merupakan sumber perdarahan paling
sering dijumpai pada anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti
sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana Epistaksis anterior
(dikutip dari Schlosser RJ, 2013)
PATOFISIOLOGI
Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior yang disebut pleksus
Woodruff’s. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia
, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.
(dikutip dari Schlosser RJ, 2013)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang.
Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk
memperkuat
diagnosis epistaksis.

1. Pemeriksaan darah tepi lengkap.


2. Fungsi hemostatis
3. EKG
4. Tes fungsi hati dan ginjal
5. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
6. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusit
is, benda asing dan neoplasma.
PENATALAKSANAAN
TATALAKSANA GAWAT DARURAT
1.Pertama adalah menjaga ABC
A : airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk.
B : breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke bel
akang tenggorokan
C : circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus
intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi.
Posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior sehingg
a mencegah penyumbatan jalan napas.

2. Hentikan perdarahan
• Tekan pada bagian depan hidung selama 10 menit.
• Tekan hidung antara ibu jari dan jari telunjuk.
• Jika perdarahan berhenti tetap tenang dan coba cari tahu apa faktor pencetus epistaksis dan hindari.
LANJUTAN
3. Jika perdarahan berlanjut :
• Dapat akibat penekanan yang kurang kuat
• Bawa ke fasilitas yang
• Dapat diberikan vasokonstriktor (adrenalin 1:10.000, oxymetazolin-semprot hidung) ke daerah perdarahan.
Apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia (perak nitrat) atau pemasangan tampon hidung.

Jika Terjadi Perdarahan Anterior


Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya,
perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil
. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan
Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus
berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau
salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau
dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus
dapat menekan asal perdarahan. Tampon di pertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2
hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang
tampon baru
LANJUTAN
Jika terjadi perdarahan posterior
Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh karena itu, penderita harus
segera dibawa ke puskesmas atau RS. Biasanya petugas medis melakukan pemasangan
tampon belakang. Caranya, kateter dimasukkan lewat lubang hidung tembus rongga
belakang mulut (faring), kemudian ditarik keluar melalui mulut. Pada ujung yang keluar
melalui mulut ini dipasang kasa dan balon. Ujung kateter satunya yang ada di lubang
hidung ditarik, maka kasa dan balon ikut tertarik dan menyumbat rongga hidung bagian
belakang. Dengan demikian diharapkan perdarahan
berhenti.
Jika tindakan ini gagal, petugas medis mungkin akan melakukan kauterisasi. Langkah lain
yang mungkin dipertimbangkan adalah operasi untuk mencari pembuluh darah yang
menyebabkan perdarahan, kemudian mengikatnya. Tindakan ini dinamakan ligasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Anamnesa
Identitas klien: Nama, alamat, umur, jenis kelamin

2. PRIMARY SURVEY

3. SEKUNDER SURVEY
Anamnesa SAMPLE (Symptom, Alergi, Medikasi, Past Illnes, Last Meal, Event/Environment)

4. PEMERIKSAAN FISIK
1. B1 : peningkatan respirasi diakibatkan peningkatan kebutuhan O2 sebagai bentuk kompensasi l
aju metabolik yang ditandai dengan dispnea dan takipnea
2. B2 :peningkatan metabolism menstimulasi produk katekolamin yang menyebabkan peningkata
n kontraktilitas jantung, nadi, dan CO. ditandai dengan takikardi, palpitasi, TD meningkat, perf
usi perifer menurun dan fibrilasi atrium
3. B3 : peningkatan metabolism di serebral menyebabkan pasien menjadi irritable, penurunan kon
sentrasi, agitasi, takut, delirium, kejang, apatis, depresi dan menyebabkan koma
4. B4 : perubahan pola berkemih (polyuria, nocturia)
5. B5 : kehilangan BB, diare, mual dan muntah
6. B6 : kelelahan dan kelemahan otot
LANJUTAN
No Analisa Data Masalah Etiologi

1. DS: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Hipersekresi Jalan Napas


Mengatakan Sesak na
pas (Dispnea)
DO :
Epitaksis (perdarahan
dari hidung)
Gelisah

Dx : Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif b.d Hipersekresi Jalan Napas

2. DS: Nyeri
Merasa nyeri di hidung, kepala danten
ggorokan
DO :
Gelisah dan Meringis

Dx : Nyeri
LANJUTAN
Dx SLKI SIKI
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
…..x…. diharapkan sesak klien membaik, • Manajemen Jalan Napas
dengan KH: Observasi
1. Tidak ada Dipsnea 1.Monitor Pola Napas (Frekuensi, Kedalaman, Usaha Napas)
2. Kepatenan Jalan Napas 2.Monitor Bunyi Napas (Misal. Gurgling, mengi, ronkhi)
3. Saturasi Oksigen dalam Rentang Normal 3.Monitor sputum/ cairan yang keluar dr hidung

Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Posisikan Semi Fowler
3. Keluarkan sumbatan
4. Berikan oksigen jika perlu untuk mempertahankan saturasi
Oksigen

Edukasi
1.Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,jika tidak kontaindikasi
LANJUTAN
D SLKI SIKI
x
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan sel 1. Manajemen Nyeri
ama 1x30 menit, diharapkan nyeri pasien b Observasi
erkurang, dengan KH : a. Identifikasi lokasi, karateristik, durasi, frekuensi, kualitas nyeri
1. Tingkat nyeri b. Identifikasi skala nyeri
a. Keluhan nyeri menurun c. Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
b. Keadaaan meringis menurun d. Identifikasi respon nyeri non verbal
c. Sikap protektif menurun Terapeutik
d. Frekuensi nadi membaik a. Berikan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
2. Kontrol nyeri b. Kontrol yang memperberat rasa nyeri
a. Keluhan nyeri menurun Kolaborasi
b. Melaporkan nyeri terkontrol m a. Pemberian analgetik
eningkat
c. Kemampuan mengenali nyeri
meningkat
d. Kemampuan mengenali penye
bab nyeri
FRAKTUR TULANG
HIDUNG
DEFINISI
Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang dikenal juga sebagai patah tulang. Fraktur os
Nassal berarti patah tulang nassal (hidung)
KLASIFIKASI ETIOLOGI
• Fraktur hidung sederhana, dapat • Cedera traumatik, disebabkan oleh trauma
diperbaiki dengan anestesi lokal externa baik secara langsung maupun tidak
• Fraktur tulang hidup terbuka, Peru langsung
bahan dari tulang hidup disertai • Fraktur patologik, Fraktur tulang akibat
Laserasi kulit atau mukoperiosteu proses penyakit tertentu spt rakhitis
m rongga hidung
• Fraktur tulang nasoetmoid fraktur
hebat pada tulang hidung prosesus
frontal pars maksilla dan prosesus
nassal pars frontal menyebabkan
komplikasi
PATOFISIOLOGI
Gangguan traumatik os Nassal dapat menyebabkan deformitas Eksternal dan
obstruksi jalan napas yang bermakna akibat patahan tulang dan epitaksis yang terjadi
. Jenis dan kuatnya fraktur nassal tergantung pada kekuatan, arah dan mekanisme
cedera. Trauma nassal lateral dapat menyebabkan fraktur salah satu atau kedua os
nassal dan sering disertai dislokasi septum nassal sehingga mengakibatkan dorsum
nassi berbentuk S, Asimetri Apeks dan Obstruksi jalan napas. Trauma frontal secara
langsung dapat menyebabkan depresi dan pelebaran dorsum nassi dengan obstruksi
nassal. Cedera yg lebih parah dapat menyebabkan kominusi atau hancurnya os nassal
menjadi bagian bagian kecil.
MANIFESTASI KLINIS PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Deviasi dorsum nassi • Pemeriksaan Radiologi : foto polos


• Hematom kepala 3 sisi dan CT Scan hidung lateral
• bengkak pada hidung,
• Epitaksis
• nyeri tekan dan teraba pada
garis fraktur
PENATALAKSANAAN
Konservatif : pemberian Analgetik untuk mengurangi nyeri, Dekongestan untuk mengurangi
hematom mukosa, Vasokontriktor topikal dan bebat kassa untuk mengurangi perdarahan.
Operatif : ditujukan untuk kasus dengan perpindahan fragmen tulang
Penanganan fraktur nassal sederhana
Dapat dilakukan reposisi dengan analgesi lokal melalui pemasangan tampon lidokain 1-2%
dicampur dengan epineprin 1 : 1000%
Penanganan fraktur nassal kominutes
Fraktur nasal dengan fragmentasi tulang hidung ditandai dengan batang hidung nampak rata
(pesek); tulang hidung mungkin dinaikkan ke posisi yang aman tetapi beberapa fragmen tulang
tetap hilang. Bidai digunakan untuk memindahkan fragmen tulang ke posisi yang sebenarnya.
Untuk tujuan tersebut beberapa kasa vaselin dimasukkan ke dalam lubang hidung;
ASUHAN KEPERAWATAN
• Anamnesa
Jenis trauma, Kronologi kejadian trauma, onset kejadian
• Pemeriksaan fisik
Perubahan atau deviasi dorsum nassi, nyeri tekan, epitaksis, hematom
LANJUTAN

• Do : epitaksis, hematom mukosa hidung, devias SIKI


i septum nassi, bernapas melalui mulut, gelisah, • Monitor TTV
dispnea, gargling • Monitor saturasi oksigen
• Ds : mengatakan kesulitan bernapas • Monitor kepatenan jalan napas
• Dx : bersihan jalan napas tidak efektif • Posisikan pasien untuk
SLKI memaksimalkan ventilasi
• Status Respirasi : kepatenan jalan napas • Kolaborasi penghisapan dan
• Status respirasi : Ventilasi penghentian perdarahan
Kriteria Hasil :
1. TTV dalam rentang normal
2. Saturasi O2 dalam rentang normal
3. Kepatenan jalan napas, tidak ada dysnea
LANJUTAN
Do : nyeri tekan, gelisah, meringis, frekuensi nadi meningkat
Ds : mengatakan nyeri
Dx : nyeri akut
SLKI
• Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil
1. Keluhan nyeri menurun
2. TTV dalam batas normal
SIKI
• Manajemen Nyeri
• Identifikasi nyeri
• Monitor peningkatan nyeri
• Edukasi cara non farmakologis untuk mengurangi nyeri
• Edukasi identifikasi nyeri secar mandiri
TRAUMA
MEMBRAN TIMPANI
DEFINISI

Trauma telinga adalah trauma atau luka pada telinga yang mengenai telinga luar,
telinga tengah atau telinga dalam dan struktur yang berdekatan.
Trauma pada membran timpani disebabkan oleh tamparan tamparan, ledakan
(barotrauma), menyelam yang terlalu dalam, luka bakar ataupun tertusuk oleh benda
tajam seperti pisau, kunci, penjepit rambut dan benda tumpul seperti kapas pembersih
liang telinga (cotton bud).
ETIOLOGI

1. Trauma tumpul dan trauma tajam


Trauma tumpul dapat disebabkan oleh kecelakaan atau pukulan langsung
sedangkan trauma tajam disebabkan oleh tusukan. Kedua hal ini
menyebabkan perubahan tekanan mendadak di membran timpani sehingga
membran timpani pecah.
2. Trauma Kompresi (Barotrauma)
Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-
tiba di luar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau menyelam, yang
menyebabkan tuba gagal untuk membuka.
MANIFESTASI KLINIS

1. Sakit telinga yang cepat reda


2. Cairan bening, bernanah, atau berdarah dari telinga
3. Hilangnya pendengaran
4. Bunyi di dalam telinga (tinitus)
5. Sensasi berputar (vertigo)
6. Mual atau muntah yang dapat disebabkan oleh vertigo
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan dengan otoskopik merupakan tes yang dilakukan untuk memeriksa
saluran atau struktur dalam telinga. Prosedur ini menggunakan otoskop, alat berupa
teropong berukuran kecil yang dilengkapi cahaya.
2. Pemeriksaan ketajaman
3. Uji ketajaman garpu tala : Tes uji weber
4. Audiometri. Tes ini merupakan salah satu tes pendengaran menggunakan suara yang
volumenya diatur berbeda-beda untuk memeriksa kepekaan pendengaran.
5. Timpanometri. Tes timpanometri menggunakan alat khusus (timpanometer) yang
dimasukkan ke dalam telinga untuk memeriksa respons gendang telinga terhadap
perubahan tekanan yang ada.
6. Uji laboratorium. Dokter akan mengambil sampel untuk diuji dalam laboratorium
apabila terdapat cairan yang keluar dari telinga. Tes ini biasanya dilakukan untuk
mendeteksi ada atau tidaknya infeksi pada telinga.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Kedaruratan trauma telinga
1. Pasien diistirahatkan duduk atau berbaring
2. Atasi keadaan kritis ( tranfusi, oksigen, dan sebagainya )
3. Bersihkan luka dari kotoran dan dilakukan debridement,lalu hentikan perdarahan
4. Pasang tampon steril yang dibasahi antiseptik atau salep antibiotik.
5. Periksa tanda-tanda vital,
6. Pemeriksaan otoskopi secara steril dan dengan penerangan yang baik, bila mungkin dengan
bantuan mikroskop bedah atau loup untuk mengetahui lokasi lesi.
7. Pemeriksaan radiology bila ada tanda fraktur tulang temporal. Bila mungkin langsung dengan
pemeriksaan CT scan.
LANJUTAN

Penatalaksanaan Medis
1. Pemberian obat pereda rasa sakit. Apabila pecahnya gendang telinga menimbulkan gejala
berupa nyeri atau rasa sakit pada telinga, dokter akan menganjurkan pasien untuk
mengonsumsi obat pereda nyeri, seperti ibuprofen atau paracetamol.
2. Menambal robekan. Dokter juga dapat menambal robekan pada gendang telinga. Robekan
pada gendang telinga akan ditambal dengan kertas khusus. Kertas tersebut akan membantu
robekan pulih dan menyatu kembali.
3. Operasi. Operasi gendang telinga atau timpanoplasti masih tergolong jarang dilakukan.
Operasi ini dilakukan dengan mencangkok jaringan lain ke gendang telinga yang pecah.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Riwayat kesehatan
• Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh adanya nyeri, apalagi jika daun telinga disentuh, didalam telinga terasa penuh karena ada
nya penumpukan serumen atau disertai pembengkakan. Terjadi gangguan pendengaran, kadang-kadang disertai de
mam
• Riwayat penyakit sekarang
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan pertama yang di
berikan setelah kejadian.
• Riwayat penyakit dahulu
Pernah mengalami nyeri pada telinga sebelumnya
• Riwayat penyakit keluarga
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Inspeksi keadaan umum telinga, pembengkakan pada MAE, perhatikan adanya cairan atau bau, warna kulit telinga, pe
numpukan serumen, serta adanya peradangan.
b. Palpasi
Lakukan penekanan ringan pada daun telinga, apakah ada nyeri atau tidak.
LANJUTAN
Diagnosa Keperawatan

No Data fokus Diagnosa


1. DS : mengeluh nyeri Nyeri akut b/d agen pencedera fisiologis (inflamasi)
DO :
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif
3. Gelisah
4. Frek nadi meningkat
5. Sulit tidur
2. DS: mendengar suara bisikan Gangguan persepsi sensori : pendengaran b/d gangguan
DO : pendengaran
1. Distorsi sensori
2. Respon tidak sesuai
3. Bersikap seolah mendengar sesuatu
LANJUTAN
Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
Nyeri akut b/d agen pencedera Setelah dilakukan askep selama 2x24jam  Manajemen nyeri
fisiologis (inflamasi) diharapkan nyeri dapat teratasi dengan kriteria Observasi
1. identifikasi lokasi, Karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, inte
hasil: nsitas nyeri
1. keluhan nyeri menurun 2. identifikasi skala nyeri
2. kesulitan tidur menurun 3. identifikasi reaksi nyeri non verbal
3. pola nafas menbaik 4. identifikasi faktor yang memperberat atau memperingan nyeri
4. frekuensi nadi dalam rentang normal 5. identifikasi pengetahuan dan keyakinan respon nyeri
6. identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
5. melaporkan nyeri terkontrol 7. monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
6. Kemampuan mengenali nyeri meningkat 8. monitor efek samping penggunaan analgesik
7. kemampuan menggunakan teknik non far Terapeutik
makologi untuk mengurangi nyeri 1. berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (
misalnya TENS)
2. fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat
5. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik bila perlu
LANJUTAN
Gangguan persepsi sensori : Setelah dilakukan askep selama 2x24jam diharapkan  Miniamalisasi Rangsangan
pendengaran b/d gangguan gangguan persepsi sensori : pendengaran dapat teratasi Observasi
pendengaran dengan kriteria hasil : 1. Periksa status mental, status sensori.
1. Ketajaman pendengaran membaik / kembali Tingkat kenyamanan
normal Terapeutik
1. Diskusikan tingkat toleransi terhadap
beban sensori (mis. Bising)
2. Batasi stimulasi lingkungan
Edukasi
1. Ajarkan cara meminimallisasi stimul
us (misal. Mengurangi kebisingan)
Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam meminimalkan
prosedur/tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat yang
mempengaruhi persepsi stimulus
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, George L. 1997. Boles : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC
2. Cody, D Thane, Kern, Eugene & Pearson, W Bruce. 1991. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan.
Jakarta : EGC
3. Goldberg. (2017). Glaukoma : Langkah Penting Selamatkan Penglihatan Anda. Amsterdam : Kugler
Publication.
4. Ilyas S. (2010). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
5. Tamsuri, A. (2010). Gangguan Mata & Penglihatan; Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
6. TIM POKJA PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI
7. TIM POKJA PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI
8. TIM POKJA PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai