Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT & KRITIS


MYASTANIA GRAVIS & KEJANG
Intan Fauziah Dwi Lestari
PSIK A 2016
1 Myastania Gravis

2 Kejang
MYASTANIA GRAVIS
Definisi
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf (nervus)
dan sistem otot (muskulus). Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang.
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf (nervus)
dan sistem otot (muskulus).
Etiologi
• Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi
reseptor asetilkolin (Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun.
• Etiologi dari penyakit ini adalah:
1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau kelebihan kolinesterase
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita Miastenia Gravis
• Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
1. Infeksi (virus)
2. Pembedahan
3. Stress
4. Perubahan hormonal
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan:
• Antikolinesterase
• Laksative atau enema
• Sedatif
• Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kelas I
Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal
2. Kelas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
a. Kelas II a
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang
ringan
b. Kelas II b
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
3. Kelas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang
a. Kelas III a
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
b. Kelas III b
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Lanjutan...
4. Kelas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan
otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
a. Kelas IV a
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot
orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
b. Kelas IV b
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan.
Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan
intubasi.
5. Kelas V
Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Manifestasi Klinis
• Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan. Kelemahan otot
terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari.
• Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
1. Kelemahan otot yang progresif pada penderita
2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat
4. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
5. Otot mata sering terkena pertama (ptosis , diplopia) , atau otot faring lainnya (disfagia , suara
sengau)
6. Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
7. Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
8. Tidak ada atrofi atau fasikulasi
Patofisiologi
Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor (AChR). Kondisi ini
mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran
ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.
Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun
demikian diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75% pasien
Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien menunjjukan hiperplasi timus yang
menandakan aktifnya respon imun dan 10% berhubungan dengan timoma.
Patofisiologi
PATOFISIOLOGI

11
Pemeriksaan Penunjang
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik setelah istirahat. Tersering
menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama
triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dapat pula
mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak.
2. Tes klinik sederhana:
a. Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan
akan terjadi ptosis (tes positif).
b. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan menghilang secara bertahap (tes positif).
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular
juction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam
30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon
disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek
sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin.
Lanjutan...
4. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila
perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis
maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
5. Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody. Pada pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat
menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun. Anti-muscle-specific
kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab. Anti-asetilkolin reseptor antibodiHasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mendiagnosis suatu Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75% dari penderita dengan Miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma
tanpa Miastenia gravissering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.
Lanjutan...
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuro muscular melalui 2 teknik:
a. Single-fiber Electromyography (SFEMG). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan
jarum single-fiber, yang memilikipermukaan kecil untuk merekam serat otot penderita, sehingga
SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat
otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah
reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak) Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen
yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret,
atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai
komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
1. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat napas dan
kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat antikolinesterase.
Penanganan & Indikasi Farmakologi
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis adalah:
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan
2. (pengangkatan timus melalui pembedahan)
3. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)

Terapi farmakologi
1. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6
mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah, menelan, dan beberapa
aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg.
Lanjutan...
2. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan bertahap (5-10
mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai
dosis minimal efektif.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, obat ini diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg
BB/hari/oral selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan fungsi hati.
4. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari
selama 2 hari.
Lanjutan...
5. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan
berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan
memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang
akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Jumlah
dan volume dari penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4 liter
sebanyak 5x dalam 2 minggu.
6. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan Miastenia gravis
generalisata. Timektomi diindikasi pada terapi awal pasien dengan keterlibatan ekstremitas
bawah dan bulbar.
Efek Farmakologis
Efek samping
1. Anticholinesterase
Efek samping lain yang muncul yaitu akumulasi Ach pada muscarinic receptor pada otot polos
sehingga muncul stimulasi otot polos pada abdomen dan menyebabkan abdominal cramping.
Peningkatan flatus, diare dan menurunnya frekuensi buang air kecil.
2. PE : plasma exchange
Efek samping : nausea, kepala terasa dingin, menggigil.
3. Kortikosteroid
Efek samping : peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster.
4. Azhatriopine
Efek samping : flu-like syndrome(reaksi alergi), leukopenia, hepatoxicity
5. Cylosporine A : dosis awal 5-6 mg/kg per hari. Pengaturan dosis kadar serum CVA. berdasarkan
Efek samping : renal toxicity, hypertension
Pencegahan
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya myasthenia gravis, karena bukan disebabkan oleh sesuatu yang bisa kita hindari.
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan status
b. Keluhan utama : kelemahan otot
c. Riwayat kesehatan
d. Pemeriksaan fisik :
a) B1(breathing) : dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan
otot diafragma
b) B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
c) B3(brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata
atau dipoblia
d) B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih
e) B5(bowel) : kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun,
hipersalivasi, hipersekresi
f) B6(bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih
Lanjutan...
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Outcome: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien
kembali efektif
Kriteria hasil :
• Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
• Bunyi nafas terdengar jelas
• Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi
• Kaji Kemampuan ventilasi
• Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkansetiap perubahan yang
terjadi.
• Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk
• Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)
Lanjutan...
b. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal
Outcome : Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam
kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
• Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor
resiko dan melindungi diri dari cedera.
• Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan
keamanan
Intervensi
• Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
• Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
• Evaluasi Kemampuan aktivitas motorik
Lanjutan...
c. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan
neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral
Outcome : Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
• Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
• Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi
• Kaji komunikasi verbal klien.
• Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien
• Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel khusus
bila perlu
• Antisipasi dan bantu kebutuhan klien
• Ucapkan langsung kepada klien dengan berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan
jawaban ”ya” atau”tidak” dan perhatikan respon klien
• Kolaborasi: konsultasi ke ahli terapi bicara
Lanjutan...
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
Outcome : Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
• Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi
dan perubahan yangsedang terjadi
• Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
• Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi
• Kaji perubahan darigangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
• Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien
• Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan
• Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya
sebanyak-banyaknya
• Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
Lanjutan...
3. Evaluasi
a. Pola napas kembali efektif
b. Terhindar dari resiko cedera
c. Tidak terjadi hambatan dalam komunikasi
d. Citra tubuh klien meningkat
KEJANG
Definisi
Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan tiba –
tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak. Jika
gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik
terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum
Etiologi
 Idiopatik atau timbul dari penyebab  Space Occupaying lesions a. Tumor
yang tidak diketahui otak b. Malformasi arteri vena
(AVM) c. Hematoma subdural d.
 Cryptogenic atau timbul dari Neurofibromatosis
penyebab yang diduga yang tidak  Infeksi Cerebral a. Bakteri atau virus
diketahui atau tidak jelas meningitis. b. Radang otak c. Abses
 Gejala atau yang timbul dari otak otak
yang dikenal kelainan  Kejang demam atipikal
 Trauma serebral dengan hilangnya  Faktor genetic, seperti kromosom yg
kesadaran . Secara umum, tidak ada abnormal
risiko jika hilangnya kesadaran  Gangguan pembuluh darah serebral,
kurang dari 30 menit. seperti : hemoragis dan trombosis
 Asidosis hipoksia
 Riwayat keluarga
Manifestasi Klinis
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
1) anda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka
merah, dilatasi pupil.
2) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
3) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
4) Kejang tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
b. parsial kompleks.
1) Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel
yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
Manifestasi Klinis
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan
3) keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
4) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
5) Kehilangan kesadaran hanya sesaat
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang
berlangsung kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke
tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan
Klasifikasi
 Kejang Parsial (fokal)  Kejang umum (konvulsi atau non-
1. Kejang parsial sederhana (tanpa konvulsi)
gangguan kesadaran) 1. lena/ absens
2. Kejang parsial kompleks (dengan 2. mioklonik
gangguan kesadaran) 3. klonik
3. Kejang parsial yang menjadi umum 4. tonik
(tonik-klonik, tonik atau klonik)
5. tonik-klonik
6. atonik/ astatik
 Kejang epileptik yang tidak
tergolongkan
Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepasnya muatan proksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan nornal yang
terganggu akibat dari keadaan patologis. Aktivitas kejang berlangsung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan di otak. Lesi di
otak pun dapat memicu kejang seperti lesi di otak tengah, thalamus dan korteks serebrum yang kemungkinan besar bersifat
epilepthogenic, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak pada umumnya tidak memicu kejadian kejang. Kejadian kejang
patologis nya sebagai berikut.
Instabilitas membrane sel searaf sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan, aktivasi tersebut membuat neuron-neuron
lebih hipersensitif dengan ambang untuk melepas muatan sehingga muatan menurun dan apabila terpicu akan melepas muatan
secara berlebihan.
Pelepasan dari muatan akan menyebabkan terjadinya kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi GABA (Gama-Amino-Butirat Acid).
Terjadinya ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang akan mengganggu kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan tersebut akan menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selam dan setelah kejang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik sexara drastic. Pelepasan muatan listrik sel-sel
saraf motoric meningkat diperkirakan 1000/detik. Aliran di daerah otak, proses pernafasan dan glikolisis jaringan pun meningkat.
Asetilkolin dapat ditemukan di cairan serebrospinalis selama dan setelah kejadian kejang. Pada kejadian kejang diduga besar
terjadi nya deplesi asam glutamate selama aktivitas kejang
Patofisiologi
Pemeriksaan Penunjang
• Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dianjurkan pada anak-anak dengan hemodinamik yang tidak stabil. Sangat dipertimbangkan untuk
melakukan pungsi lumbal pada anak kurang dari 12 bulan dan anak kurang dari 18 bulan.
• Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang demam sederhana, tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur klinis
dari gangguan neurologis, misalnya mikrosefali atau makrosefali, defisit neurologis yang sudah ada, defisit neurologis post-
iktal bertahan selama lebih dari beberapa jam, atau ketika ada kejang demam berulang yang kompleks, atau kejang yang
dicurigai bukan kejang demam Magnetic Resonance Imaging lebih sensitif dibandingkan Computed Tomography untuk
mendeteksi proses intrakranial yang dapat menyebabkan kejang.1
• Electroencephalography (EEG)
Kelainan epileptiform relatif umum didapatkan pada anak-anak dengan kejang demam. EEG sendiri memiliki sensitivitas yang
rendah pada anak di bawah usia tiga tahun dengan kejang dan peran yang terbatas dalam diagnosis gangguan ensefalopatik
akut.
• Pemeriksaan Laboratorium
• Pemeriksaan Radiologi
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah
ada atau tidaknya kelainan struktural diotak .
Penanganan
• Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah untuk menilai dan mendukung saluran
napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah
beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia.2,4 Penilaian awal
terdiri dari :
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Disability
5. Exposure
• Menilai kembali ABC
Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang berlangsung atau setiap 30 menit setelah
kejang sampai tingkat kesadaran kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi. Jika
memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri
Lanjutan (Indikasi & Efek Samping Farmakologi)
• Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)
Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi
Terapi lini pertama:
Diazepam
Indikasi: Pemakaian jangka pendek pada ansietas atau insomnia, tambahan pada putus alkohol akut, status
epileptikus, kejang demam, spasme otot.
Efek Samping: mengantuk, kelemahan otot, ataksia, reaksi paradoksikal dalam agresi, gangguan mental, amnesia,
ketergantungan, depresi pernapasan, kepala terasa ringan hari berikutnya, bingung. Kadang-kadang terjadi: nyeri
kepala, vertigo, hipotensi, perubahan salivasi, gangguan saluran cerna, ruam, gangguan penglihatan, perubahan
libido, retensi urin, dilaporkan juga kelainan darah dan sakit kuning, pada injeksi intravena terjadi: nyeri,
tromboflebitis dan jarang apneu atau hipotensi.
Midazolam
Midazolam termasuk dalam kelas obat yang disebut benzodiazepin, yang menghasilkan efek menenangkan pada
otak dan saraf (sistem saraf pusat). Obat ini bekerja dengan meningkatkan efek dari kimia alami tertentu (GABA)
di otak.. efek samping : Mual, muntah;Mengantuk, pusing;Penglihatan kabur;Pilek , bersin;
Lanjutan (Indikasi & Efek Samping Farmakologi)
 Paraldehyde
• Paraldehyde adalah obat untuk mengobati gangguan kejang tertentu. Obat ini juga telah digunakan dalam
pengobatan alkoholisme dan dalam pengobatan untuk kondisi saraf serta mental sehingga dapat menenangkan
atau membuat santai pasien yang gugup atau tegang dan juga untuk membantu tidur. Gejala overdosis
1. Urin keruh
2. Kebingungan
3. Jumlah urin sedikit
4. Pernapasan cepat dan dalam
5. Tremor otot
6. Mual atau muntah (menerus atau sesekali)
7. Gugup, gelisah, atau lekas marah
8. Sesak napas atau pernapasan lambat atau masalah pernapasan
9. Detak jantung lambat
10. Kram perut parah
11. kelemahan tubuh parah
Lanjutan (Indikasi & Efek Samping Farmakologi)
Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :
 Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama. Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang
terkontrol dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil daripada
fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama anti konvulsan lini kedua oleh British Working Party.2
Phenytoin digunakan untuk mencegah dan mengurangi kejang akibat epilepsi, terutama untuk kejang jenis tonik-klonik dan
kejang parsial. Juga digunakan untuk mengatasi aritmia jantung dan merelaksasi otot.
• Efek samping :
• Mual, muntah dan konstipasi
• Kurang nafsu makan.
• Sakit kepala
• Tremor.
• Gelisah.
• Nyeri dan pendarahan pada gusi
• Penggunaan jangka panjang pada anak-anak dapat memberikan efek perubahan mental dan kognitisnya.
Lanjutan (Indikasi & Efek Samping Farmakologi)
 Fenobarbital
fenobarbital adalah obat untuk mengendalikan dan mengurangi kejang. Kondisi: Penanganan darurat terhadap
kejang akut pada pasien epilepsi.
Efek samping yang dapat timbul setelah menggunakan phenobarbital adalah:
1. Merasa lelah.
2. Mengantuk.
3. Pusing.
4. Sakit kepala.
5. Sensitif atau mudah marah.
6. Disartria, yaitu melemahnya otot-otot bicara.
7. Ataksia, yaitu kondisi berkurangnya kendali otot dan koordinasi gerakan tubuh, seperti berjalan atau
mengambil benda.
8. Kesemutan.
9. Vertigo
Asuhan Keperawatan
Pengkajian keperawatan 3. Riwayat kesehatan
1. Anamnesa a. Riwayat kesehatan sekarang
1. Nama b. Riwayat kesehatan keluarga
2. TTL 4. Pola nutrisi
3. Jenis kelamin 5. Pola eliminasi
4. Umur 6. Istirahat
5. Pekerjaan 7. Personal hygiene
6. Alamat 8. Pengkajian Fisik : head to toe
7. Agama dengan melakukan teknik observasi,
8. Pendidikan palpasi, auskultasi dan perkusi
9. Biodata orang tua (untuk
data pasien bayi)
2. Keluhan utama
Lanjutan
1. Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan neurologik, peningkatan
TTV, yang biasanya terjadi pada anak yang mengalami kejang. Kejang terutama terjadi pada anak golongan umur 6 bulan –
4 tahun. Pemeriksaan fisik dipengaruhi oleh usia anak dan organime penyebab, perubahan tingkat kesadaran, irritable,
kejang tonik-klonik, tonik, klonik, takikardi, perubahan pola nafas, muntah dan hasil pungsi lumbal yang abnormal.
2. Psikososial atau faktor perkembangan. : Umur, tingkat perkembangan, kebiasaan (apakah anak merasa nyaman, waktu
tidur teratur, benda yang difavoritkan), mekanisme koping, pengalaman dengan penyakit sebelumnya.
3. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga, Lama berlangsungnya kejang, Frekuensi terjadinya kejang dalam 1
tahun, Adanya anggota keluarga yang pernah menderita kejang sebelumnya.
4. Pengkajian Neurologik : Tanda – Tanda Vital (Suhu, tekanan darah, denyut jantung, TD, Denyut nadi)
5. Hasil pemeriksaan kepala : Fontal : menonjol, rata, dan cekung, Lingkar kepala ( di bawah umur 2 tahun ), Bentuk umum,
Reksi pupil, Ukuran, Reaksi terhadap cahaya, Kesamaan respons
6. Tingkat kesadaran : Kewaspadaan (respon terhadap panggilan dan perintah ), Iritabilitas, Letargi dan rasa mengantuk,
Orientasi terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
7. Afek : Alam perasaan, labilitas.
8. Aktivitas kejang : Jenis dan lamanya.
9. Fungsi sensoris : Reaksi terhadap nyeri, Reaksi terhadap suhu
10.Refleks : Refleks tendo superfisial dan dalam, Adanya refleks patologik ( misalnya : Babinski )
11.Kemampuan intelektual : Kemampuan menulis dan menggambar, Kemampuan membaca
Lanjutan
• Pemeriksaan
1. Aktifitas dan istirahat
• Gejala : keletihan,kelemahan umum,keterbatasan dalam beraktivitas atau bekerja yang di timbulkan oleh diri sendiri
atau orang terdekat atau pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
• Tanda : perubahan tonus atau kekuatan otot, gerakan involunter atau kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
2. Sirkulasi
• Gejala : Ikfal,hiperfensi,peningkatan nadi,sianosis
• Postiktal : tanda-tanda fital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
3. Eliminasi
• Gejala : inkontinensia episodic
• Tanda : Iktal adalah peningkatan tekanan kandung kemih tonus spingfer. Postikal adalah otot relaksasi yang
mengakibatkan inkontinensia ( baik urin atau Fekal ).
4. Makanan dan Cairan
• Gejala : sensivitas terhadap makanan , mual atau muntah yang berhubungan efektifitas kejang.
• Tanda : kerusakan jaringan atau gigi ( cidera selama kejang)
Lanjutan
5. Nyeri atau kenyamanan
• Gejala : sakit kepala, nyeri otot, atau punggung, nyeri abdominal
• Tanda : tingkah laku yang berhati-hati, perubahan pada tonus otot, tingkah laku distraksi atau gelisah
6. Pernafasan
• Gejala : iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun atau cepat peningkatan sekresi mucus.
7. keamanan
• Gejala : riwayat terjatuh atau trauma, fraktur
• Tanda : trauma pada jaringan lunak atau ekimosis penurunan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh.

Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b/d gangguan neuromuskular
2. Hipertermia b/d peningkatan laju metabolism
3. Risiko cedera b/d kejang
DX NOC NIC

Pola napas tidak 1. Respiratory status : airway Manajemen Jalan Napas


efektif patency 1. Observasi
2. Respiratory status : ventilation a. Monitor pola napas, bunyi napas tambahan, dan sputum
3. Vital sign status 2. Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan airway dengan head-tilt dan chin-lift
Kriteria Hasil : b. Posisikan semi fowler atau fowler
1. Mendemonstrasikan teknik c. Beri minum hangat
batuk efektif, sura nafas bersih d. Lakukan fisioterapi dada dan suction
2. Menunjukan airway yang paten e. Lakukan hiperoksigenasi sebelum suction endotrakeal
f. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
g. Beri O2, bila perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan intake cairan 200ml/day
b. Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
a. Pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
Pemantauan Respirasi
1. Observasi
a. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napasRespiratory status : airway patency
b. Monitor pola napas
c. Monitor kemampuan batuk efektif
d. Monitor adanya produksi sputum
e. Monitor adanya sumbatan airway
f. Palpasi kesimetrisam ekspansi paru
g. Monitor SaO2
h. Monitor nilai AGD
i. Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
a. Atur interval pemamtauan respirasi sesuai kondisi
b. Dokumentasi
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b. Jelaskan hasil pemantauan, jika perlu
DX NOC NIC

Hipertemia b/d peningkatan • Thermoregulation Manajemen hipertemia


laju metabolism a. Observasi
Kriteria Hasil : 1. Identifikasi penyebab hipertemia
1. Suhu tubuh dalam rengtang normal 2. Monitor suhu tubuh
2. Nadi dan RR dalam rentang normal 3. Monitor kadar elektrolit
3. Tidak ada peribahan warna kulit dan 4. Monitor haluaran urine
tidak ada pusing 5. Monitor komplikasi akibat hipertemi
b. Terapeutik
1. Sediakan lingkungan yang dingin
2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
3. Basahi atau kipasi permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hyperhidrosis
6. Lakukan pendinginan eksternal (selimut hipotermia, kompres dingin)
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
8. Berikan oksigen, jika perlu
c. Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit IV, jika perlu
Regulasi temperature
a. Observasi
1. Monitor suhu bayi sampai stabil
2. Monitor suhu tubuh anak tiiap 2 jam, jika perlu
3. Monitor TD, RR dan N
4. Monitor warna kulit dan suhu kulit
5. Monitor dan catat tanda dan gejala hipertemia
b. Terapeutik
1. Pasang alat pembantu suhu kontiniu, jika perlu
2. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
3. Gunakan Kasur pendingin, water circulating blankets, ice pack, atau gel pad dan IV cooling catheterization untuk
menurunkan suhu tubuh
4. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan klien
c. Edukasi
1. Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat stroke
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
Dx NOC NIC

Risiko cedera b/d kejang NOC Environment Management (Manajemen lingkungan)


• Risk Kontrol 1. Sediakan Iingkungan yang aman untuk pasien
Kriteria Hasil : 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai
1. Klien terbebas dari cedera dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan
2. Klien mampu menjelaskan riwayat penyakit terdahulu pasien
cara/metode untuk mencegah 3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
injury/cedera memindahkan perabotan)
3. Klien mampu menjelaskan 4. Memasang side rail tempat tidur
faktor resiko dari 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
lingkungan/perilaku personal 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah
4. Mampu memodifikasi gaya dijangkau pasien.
hidup untuk mencegah injury 7. Membatasi pengunjung
5. Menggunakan fasilitas kesehatan 8. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
yang ada 9. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
6. Mampu mengenali perubahan 10.Memindahkan barang-barang yang dapat
status kesehatan membahayakan
11.Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.

Anda mungkin juga menyukai