PERDALIN KOTAPRAJA
SINERGI PROGRAM PPI DAN PPRA
DALAM MENSUKSESKAN
A K R E D I TA S I K A R S V E R S I 2 0 1 6
P E K A L O N G A N , 5 A G U S T U S 2 0 1 7
ETIKA KESEHATAN
DALAM PEMBERIAN ANTIBIOTIK
S E T YO T R I S N A D I
2
I. PENDAHULUAN
Pengelolaan Antibiotik di Indonesia harus diberikan sesuai
norma etika, disiplin dan hukum, sehingga penggunaan
antibiotika dapat dilakukan dengan bijak dan rasional.
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan
berlebihan selain berdampak pada tingginya biaya
kesehatan dpat menimbulkan masalah kesehatan yang
serius lahirnya bakteri “Super Bug” yang sangat sulit
untuk diatasi.
“Bakteri super” yang bersifat multi-resisten terhadap
berbagai jenis antibiotik ini telah menjadi ancaman
serius dalam bidang kesehatan di seluruh dunia.
5
Sejak tahun 2000-an, angka kematian penderita
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri multi-
resisten terus meningkat dengan tajam, baik infeksi
yang terjadi di rumah sakit maupun dikomunitas.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada tahun
2050 diperkirakan 10 juta orang per tahun
meninggal karena infeksi bakteri yang resisten
terhadap antibiotik di seluruh dunia.
Seperempat diantaranya terjadi di negara-negara
berkembang. Prevalensi kematian tertinggi akibat
infeksi bakteri multi-resisten terjadi di Asia sebanyak
4,7 juta, diikuti Afrika dengan 4,1 juta, sekitar 390
ribu di Eropa dan 317 ribu di Amerika.
6
Penyumbang masalah resistensi antibiotika: peresepan
antibiotik tidak rasional, penjualan antibiotik tanpa resep
dokter, pasien yang tidak menaati regimen penggunaan
antibiotik, dan penggunaan obat pada ternak ayam dan
ikan yang nantinya dikonsumsi oleh manusia.
(Maksum) 7
Dari 12 sampel yang telah di identifikasi didapatkan bakteri penyebab OMSK
pada penelitian ini yaitu 58,33% disebabkanoleh S. aureus, 33,33% disebabkan
oleh P. aeruginosa dan 8,33% disebabkan oleh P. vulgaris. Hasil uji sensitivitas
bakteri menunjukkan semua bakteri sensitif terhadap antibiotik ciprofloxacin
tetapi resisten terhadap amoxicillin dan cefixime (Anggraeni, dkk. 2016)
Dari 71 catatan medik didapatkan total penggunaan antibiotik sebesar 39,4
DDD/100 dan ceftriaxone merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan
yaitu sebesar 10,6 DDD/100 pasien. Penilaian dengan kategori Gyssens
didapatkan hasil sebesar 55,1% memenuhi kategori 0 (rasional); 1,6% kategori
IIA (tidak rasional karena dosis tidak tepat); 1,6% kategori IIB (tidak rasional
karena tidak tepat interval); 0,5% kategory IIC (tidak rasional karena tidak tepat
cara pemberian); 5,9% kategori IIIA (tidak rasional karena pemberian yang
terlalu lama); 2,2% kategory IIIB(tidak rasional karena pemberian yang terlalu
singkat); 7,7% kategori IVA (tidak rasional karena ada antibiotik lain yang lebih
efektif); 1,1% kategori IVB (tidak rasional karena ada antibiotik lain yang
kurang toksik); 4,3% kategori IVC (tidak rasional karena ada antibiotik lain
yang lebih murah); 3,8% kategory IVD (tidak rasional karena ada antibiotik lain
yang lebih spesifik); dan 16,2% kategori V (tidak rasional karena tanpa ada
indikasi). Berdasarkan tipe terapi didapatkan 35,1% ADE; 19,5% ADET; 29,7%
ADD; 15,7% ADU. Kesimpulan : Terdapat ketidaktepatan penggunaan antibiotik
di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi. (Febiana, dkk. 2011)
8
II. TINDAK PIDANA KEDOKTERAN
Pelanggaran dalam pelaksanaan tindakan medis (medico crime), yang terdiri
dari:
1. Medico-patient crime (tindak pidana yang dilakukan terhadap pasiennya,
contoh : mengambil handphone ketika pasiennya sedang tidur) dan
2. Medico-professional crime (tindak pidana dengan menggunakan ilmu dan
ketrampilan medisnya, seperti euthanasia atau melakukan tindakan medis
yang tidak berdasarkan medical indication demi mendapatkan uang lebih
banyak).
Contoh dokter yang telah melakukan medico-patient crime (medico-patient
crime dan medico-professional crime) adalah Harold Shipman, seorang dokter
umum, yang telah membunuh tidak kurang dari 250 pasiennya dengan
menggunakan diamorphine dosis mematikan. Dokter tersebut telah melakukan
medico-crime dengan cara memalsukan buku kunjungan pasien (visiting
books), memalsukan medical records (falsified their medical records),
mendapatkan secara melanggar hukum dan menggunakan obat terlarang
(unlawfully obtained and used controled drugs), mencuri perhiasan (stole items
of his victims jewllery), dan memalsukan surat wasiat (falsified his last victim’s
will).
KONTRIBUSI KTD (KEJADIAN TIDAK DIHARAPKAN)
10
PREVENTABLE ADVERSE EVENT (KARENA ERROR)
11
III. ISU ETIKA KESEHATAN
“Etika dalam kesehatan melibatkan interaksi antara
kesehatan masyarakat (yang melindungi kesejahteraan
masyarakat) dan pengobatan individu (yang melindungi
kesejahteraan individu), dan juga harus
mempertimbangkan masalah-masalah etika yang
timbul” (Coughlin & Beauchamp, 1996)
12
PRINSIP KODE ETIK KESEHATAN
1. INTER-PROFESIONAL
Didalam pelayanan kesehatan dikenal beberapa profesi
yang saling berdampingan dan berkaitan (inter dan
intraprofesi), termasuk didalamnya antara lain : dokter &
dokter gigi, apoteker/ahli farmasi, perawat, bidan dll.
13
ETIKA PROFESI
1. Etika kedokteran
2. Etika kedokteran gigi
3. Etika profesi bidan
4. Etika profesi keperawatan
5. Etika profesi apoteker
6. Etika profesi gizi
7. Etika profesi kesehatan masyarakat
8. Etika profesi kesehatan lingkungan
ETIKA INTERPROFESI
PROFESI
Istilah profesi berasal dari : Bahasa Latin
“professio”, yang berarti pernyataan atau janji.
Bahasa Inggris “to profess”, yang berarti mengaku
atau menyatakan.
PROFESIONAL
Orang yang dengan kebebasannya telah
mengucapkan suatu sumpah kepada Allah SWT
dan janji kepada publik untuk melayani
masyarakat yang menginginkan suatu kebaikan
tertentu.
Pengucapan sumpah dan janji tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh suatu
pahala/berkah dari Allah dan kepercayaan (trust)
dari masyarakat.
CIRI-CIRI PROFESI
Mempunyai ciri–ciri :
1. Profesi memerlukan pendidikan berkelanjutan
(extended education).
2. Profesi memiliki cabang ilmu tersendiri
(theoretical body of knowledge), yang akan
membimbing kearah ketrampilan, kemampuan
dan norma tertentu.
3. Profesi memberikan pelayanan spesifik (specific
service).
4. Profesi memiliki kemandirian dalam membuat
decision dan execution (autonomy).
5. Profesi memiliki kode etik (a code of ethics for
practice). (Potter, 2001)
KODE ETIK
22
A. MENGHORMATI HARKAT MARTABAT
23
B. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
Persetujuan sukarela
Persetujuan individu; kelompok/ masyarakat
Penjelasan tidak boleh selektif
Tidak boleh mempengaruhi secara berlebihan (penekanan)
Isu khusus:
pasien yang berada dibawah pengaruh orang lain
(narapidana, PSK, pekerja pabrik)
pasien tersembunyi (gay, transeksual)
pasien terasing
Perlu modifikasi dalam pemberian PSP
24
C. MENJAGA KERAHASIAAN
(CONFIDENTIALITY)
25
D. MEMAKSIMALKAN MANFAAT
Obat disampaikan kepada pasien : langsung / tidak
langsung
Peningkatan kapasitas lokal, misal pelatihan
petugas kesehatan lokal, kelengkapan peralatan,
dsb
E. MEMINIMALKAN RISIKO/KERUGIAN
Mencegah kerugian pada pasien, misal: waktu,
privasi, nama baik, dsb
Mengantisipasi dan meminimalkan risiko fisik,
psikis, sosial & mencari solusi
Mencegah/meminimalkan kerugian akibat publikasi,
misal: tidak sesuai norma/ budaya, kehilangan harga
diri
26
F. TIDAK ADA BEDA DALAM MANFAAT
27
G. MENCEGAH KONFLIK KEPENTINGAN
28
H. PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
29
KONDISI
Lebih dari 50% obat-obatan di dunia
diresepkan dan diberikan secara tidak tepat,
tidak efektif, dan tidak efisien
Terbalik dengan kondisi tersebut diatas, 1/3
penduduk dunia kesulitan mendapatkan
akses memperoleh obat esensial harus
dilakukan upaya untuk tercapainya “cost
effective medical intervention”
30
TUJUAN
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
belanja obat sebagai salah satu upaya cost
effective medical interventions
Mempermudah akses masyarakat untuk
memperoleh obat dengan harga terjangkau
Mencegah dampak penggunaan obat yang
tidak tepat yang dapat membahayakan
pasien
Meningkatkan kepercayaan masyarakat
(pasien) terhadap mutu pelayanan
kesehatan
31
PRINSIP
1. TEPAT DIAGNOSIS DAN TEPAT INDIKASI
2. SESUAI DENGAN INDIKASI PENYAKIT
3. TEPAT PEMILIHAN OBAT
4. TEPAT DOSIS
5. TEPAT CARA PEMBERIAN
6. TEPAT INTERVAL WAKTU PEMBERIAN
7. TEPAT LAMA PEMBERIAN
8. WASPADA TERHADAP EFEK SAMPING OBAT
9. TEPAT INFORMASI
10.TEPAT PENILAIAN KONDISI PASIEN
11.OBAT YANG DIBERIKAN HARUS EFEKTIF DAN AMAN DENGAN MUTU TERJAMIN SERTA
TERSEDIA SETIAP SAAT DENGAN HARGA TERJANGKAU
12.TEPAT TINDAK LANJUT (FOLLOW UP)
13.TEPAT PENYERAHAN OBAT (DISPENSING)
14.PASIEN PATUH TERHADAP PERINTAH PENGOBATAN YANG DIBUTUHKAN
32
IV. KESIMPULAN
1. UPAYA DOKTER/RUMAH SAKIT
tindakan medis
yang benar
FAKTOR YG MEMPENGARUHI (+/-) UPAYA DOKTER/RS
indikasi lama
kualitas obat dosis cara
k o n d i s i - s a k i t
PENILAIAN KONDISI
PASIEN
DIAGNOSIS INDIKASI
HARGA
TERJANGKAU
TEPAT WASPADA
ESO
KEPATUHAN
PASIEN
34
3. HINDARI PENGGUNAAN OBAT TIDAK RASIONAL :
1. Polypharmacy
2. Penggunaan antibiotik secara tidak tepat dosis
dan indikasinya
3. Penggunaan injeksi yang berlebihan
4. Pemberian resep yang tidak sesuai dengan
indikasi klinis dan diagnosis
5. Swa medikasi yang tidak tepat
35
4. PERLU PENINGKATAN POR
1. REGULASI
2. EDUKASI
3. MANAJERIAL
4. FINANSIAL
(Bahaudin)
36
1. REGULASI
Menyusun pedoman/standar klinis
Menyusun Daftar Obat Esensial Nasional
(DOEN)
Menyusun peraturan/legislasi yang tepat
dan dilaksanakan secara konsisten
37
2. EDUKASI
Informasi kepada masyarakat tentang obat yang
diberikan secara independen dan transparan.
Pelatihan farmakoterapi berbasis penyelesaian
masalah (problem-based-learning/PBL) bagi
mahasiswa FK, Farmasi, kebidanan
(interprofessional education/IPE).
Pelatihan berkelanjutan tenaga kesehatan sebagai
persyaratan kredit profesi.
38
3. MANAJERIAL
Membangun sistem : lintas program dan
lintas sektoral untuk mengkoordinasikan
kebijakan POR (academic health
system/AHS/AHC)
Membentuk komite farmasi dan terapi di
rumah sakit dan tingkat kabupaten
Supervisi, audit dan umpan balik
Mengurangi praktik pemberian insentif
berlebihan kepada petugas kesehatan
39
4. STRATEGI FINANSIAL
Analisis Biaya POR di Puskesmas
Cost Effectivienes obat di Rumah Sakit
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Darwin E, Hardiman. (2014). Etika Profesi Kesehatan. Deepublish. Yogyakarta.
2. Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi profesi dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, Edisi 3, 2005.
3. Dahlan, Bioetika, Pertemuan Nasional Bioetika & Humaniora Kesehatan, FK UNDIP, Semarang, 2011
4. Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, Cetakan 4, 2008.
5. Agus Purwadianto, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan Penyelesaian Kasus
Konkrit Etik, Pertemuan Nasional Bioetika & Humaniora Kesehatan, FKUI, Jakarta, 2004
7. Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomnedical Ethics (6th ed.), Oxford University
Press, Oxford, 2008. (Irst ed. tahun 1979).
8. Catalano, J, T. : Ethical and Legal Aspect of Nursing, 2nd Ed, Mc Grawhill Inc, 1991.
9. Lewis, M, A; Tamparo.: Medical Law Ethics & Bioetthics For Health Professions,
10. Jonsen, A, R., Siegler, M., Winslade, W, J. : Clinical Ethics, a Practical Approach to Ethical Decision in
Clinical Medicine, 4th ed, Mc Graw- Hill Inc, 1998.
11. Bahaudin, N.Implementasi Kebijakan Penggunaan Obat Rasional. Direktur Bina Penggunaan Obat
Rasional. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI
12. Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
13. --------------. 2011. Etika Biomedis. Seri Filsafat Atmajaya : Yogyakarta : Kanisius.
41