Anda di halaman 1dari 25

ACUTE

BACTERIAL
RHINOSINUSITIS
KELOMPOK 5
SHIFT C 2016

SELASA, 26 SEPTEMBER 2017


KELOMPOK 5
▪ 260110160086 Hanifahzin Khatami
▪ 260110160103 Luthfi Hargo S.
▪ 260110160116 Arida Safira
▪ 260110160117 Gita Widi S.
▪ 260110160118 Iznintyas Ajeng M.
▪ 260110160119 Michelle Ferdinand
▪ 260110160120 Atikah Khairunnisa
▪ 260110160121 Sheila Frizqia J.
MAIN MENU

Pemeriksaan
Anatomi dan
Gejala Klinis Biokimia
Fisiologi
Klinik

Evaluasi dan
Terapi Terapi Non Monitoring
Farmakologi Farmakologi Terapi
ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Sinus Maksila
▪ Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar dan
terdapat pada daerah tulang maksila.
▪ Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 mL, sinus
kemudian berkembang mencapai ukuran maksimal yaitu
15 mL (34 x 33 x 23mm) saat berusia 15-18 tahun.
▪ Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan
Sumber : google.com
M2), kadang kadang juga gigi taring dan gigi molar M3.
Akar-akar gigi tsb dapat menonjol ke dalam sinus
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan rinosinusitis.
(Mangunkusumo, 2007)
2. Sinus Frontal
▪ Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk
sejak bulan keempat fetus.
▪ Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Volume sinus ini sekitar 6–7 mL (28 x 24 x 20
mm).
▪ Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior Sumber : google.com
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini.
(Mangunkusumo, 2007)
3. Sinus Etmoid
▪ Sinus etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi
yang baru dilahirkan. Pada saat janin yang berkembang
pertama adalah sel anterior diikuti oleh sel posterior.
▪ Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai umur 12 tahun.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15
mL (33 x 27 x 14 mm).
▪ Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang
sempit, disebut resesus frontal yang berhubungan dengan sinus
frontal. Di dalam etmoid anterior terdapat suatu penyempitan Sumber : google.com
yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
rinosinusitis frontal dan peradangan di infindibulum dapat
menyebabkan rinosinusitis maksila. (Mangunkusumo, 2007)
4. Sinus Sfenoid
▪ Sinus sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar
tengkorak, tidak berhubungan dengan dunia luar sehingga
jarang terkena infeksi.
▪ Sinus ini terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibentuk di dalam kapsul rongga
hidung dari hidung janin dan tidak berkembang hingga usia
3 tahun.
▪ Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan
volume sekitar 7,5 mL (23 x 20 x 17 mm). Sebelah superior Sumber : google.com
sinus sfenoid berbatasan dengan fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring,
sebelah lateral dengan sinus kavernosus dan a. karotis
interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
posterior di daerah pons. (Mangunkusumo, 2007)
GEJALA KLINIS (Mayor & Minor)

1. Migrain (sakit kepala sebelah)


2. Tension headache (sakit kepala yang terlalu
tegang)
3. Dental abscess (Bagian mulut/sekitar gigi
berdarah)
4. Demam
5. Batuk Sumber: Rosenfeld, et al., 2015

6. Mudah lelah
7. Hyposomia (menurunnya indera penciuman)
8. Tekanan yang berlebih di telinga
(Rosenfeld, et al., 2015)
PEMERIKSAAN BIOKIMIA KLINIK

▪ Blood exam : ESR naik, C-protein level naik.


▪ Tes imunodefisiensi : Memeriksa
immunoglobulin studies dan HIV serologic test.
▪ Nasal sitology : Memeriksa adanya allergic
rhinitis, eosinophilia, nasal polyposis, dan aspirin
sensitivitas.
▪ Cultur nasal secretion : Untuk memeriksa koloni
dari bakteri atau organisme lain, dimana
dibedakan dengan flora normal, dikatakan Sumber : google.com
patogen bila didapatkan lebih dari 104 CFU/unit.
Sebelumnya dapat dilakukan asprasi dari sinus
yakni langsung antral puncture (tusukan).
▪ Pemeriksan Radiologi : Meliputi pemeriksaan X-ray dengan berbagai
posisi, CT scan dan MRI. USG dan paranasal biopsy juga dapat
dilakukan untuk mengevaluasi sinusitis. Mempunyai sensitivitas 76 %,
spesifisitas 79 %.
Gambaran rontgen yang sering ditemukan pada rinosinusitis maksila
adalah :
 Penebalan mukosa lebih dari 4mm
 Gambaran suram atau gelap pada sinus maksila
 Air fluid level
Sumber : google.com
Walaupun demikian kadang-kadang gambaran penebalan mukosa,
gambaran suram pada sinus tidak selalu menggambarkan
rinosinusitis terutama pada anak-anak usia kurang dari 1 tahun.
Karena bentuk sinus maksilia yang masih kecil dan jaringan lunak pipi
memberi bayangan suram / gelap. (Suyitno, 1996)
CT-Scan
Dengan CT-scan didapatkan informasi
yang lebih terperinci tentang sinus
paranasalis dan kelainan di komplek
osteomeatal. Jadi CT-scan dapat
mendiagnosis lebih tepat, hanya
memerlukan biaya lebih tinggi dan tidak
smua rumah sakit memiliki alat CT-scan.

(Josephson dan Roy, 1999)

Sumber : google.com
MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang
unggul untuk menggambartakan
kelainan jaringan lunak dalam sinus
paranasalis. Akan tetapi karena
pemeriksaan yang terbatas pada
kelainan struktur tulang, MRI bukan
bukan merupakan alat pemerikasaan
pilihan untuk mengevaluasi
rinosinusitis akut maupun rinosinusitis
kronik.

(Josephson dan Roy, 1999) Sumber : google.com


TERAPI FARMAKOLOGI

Amoxicillin dianggap sebagai


antibiotic lini pertama untuk
kebanyakan pasien dengan
rinosinusitis bakteri akut.
Trimethoprim / sulfamethoxazole
(Bactrim, Septra) dan macrolide
adalah alternatif dari amoxicillin
untuk mengobati rinosinusitis
bakteri akut pada pasien yang
alergi terhadap penicillin
▪ Terapi Pokok
Meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari,
kecuali bila menggunakan azitromisin.
Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika
dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang
kompleks diperlukan tindakan operasi.

(Binfar Depkes RI, 2005)


▪ Terapi Pendukung
Terdiri dari pemberian analgesik dan dekongestan.
Penggunaan antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh
alergi 47, namun perlu diwaspadai bahwa antihistamin akan
mengentalkan sekret.
Pemakaian dekongestan topikal dapat mempermudah pengeluaran
sekret, namun perlu diwaspadai bahwa pemakaian lebih dari lima hari
dapat menyebabkan penyumbatan berulang.

(Binfar Depkes RI, 2005)


TERAPI NON FARMAKOLOGI

1. Menghirup udara yang hangat.


2. Menghirup uap dari rebusan garam atau air.
3. Menghirup astringent dalam bentuk sediaan
inhealer.
Terapi non-farmakologi ini digunakan
sebagai pereda gejala dari penyakit
rhinosinusitis.

Sumber : google.com

(Nightingale, dkk, 2003)


EVALUASI DAN MONITORING

EVALUASI
1. Saat Awal Terapi
▪ Informasi berikut dari saat awal kasus harus disertakan dalam formulir laporan
kasus akhir yang berisi:
• tanggal kunjungan
• tanda dan gejala klinis dari sinusitis saat ini
• riwayat sinusitis yang lalu atau alergi pernafasan (termasuk alergi pada awal
gejala selama periode dua minggu sebelum onset gejala sinusitis)
• hasil pemeriksaan klinis termasuk telinga, hidung, tenggorokan dan gigi
• pemeriksaan radiologis (CT, x-ray atau ultrasound)
• kultur kuantitatif tusukan sinus dan uji kerentanan antimikroba (jika ada)
(CDER, 1998)
• hasil uji laboratorium.
2. Saat Menjalani Terapi
Dalam praktik klinis, dokter melihat pasien sekitar 3 sampai 5 hari menjalani
terapi untuk mengevaluasi respons pasien terhadap terapi.
▪ Jika pasien berjalan dengan baik, terapi berlanjut
▪ Jika pasien dianggap gagal dalam terapi, obat tersebut dihentikan dan pasien
diberi antimikroba lain
▪ Jika pasien menjlani terapi, terdapat beberapa yang ditemukan (misal:
riwayat, pemeriksaan fisik, hasil uji laboratorium) harus didokumentasikan
dalam catatan pasien
▪ Jika pasien dihubungi melalui telepon, dokumentasi pertanyaan spesifik yang
diajukan dan tanggapan yang diberikan harus direkam. Kunjungan ini sangat
disarankan agar dapat dilakukan penelitian yang baik, namun kalau tidak ini
bukan satu-satunya alasan untuk tidak melakukan evaluasi.
(CDER, 1998)
3. Akhir Masa Terapi
Dokter melihat pasien hampir menyelesaikan terapi sehingga
mengoptimalkan perawatan pasien.
Jika pemeriksaan klinis dan tes lainnya dilakukan pada kunjungan
ini, akan masuk dalam catatan kasus. Namun, kunjungan ini tidak
dianggap sebagai uji coba kunjungan penyembuhan

(CDER, 1998)
4. Setelah Masa Terapi (Test-of-Cure)
Kunjungan ini harus dilakukan sekitar 1 sampai 2 minggu setelah
selesainya terapi.
▪ Dari hasil evaluasi klinis, termasuk status dari semua tanda dan gejala
yang ada sejalan dengan munculnya tanda dan gejala sinusitis baru,
harus didokumentasikan.
▪ Hasil pemeriksaan radiografi harus didokumentasikan dan
menggunakan modalitas yang sama digunakan untuk mendiagnosis
infeksi (seperti, C.T., rontgen sinus, atau ultrasound). Jika punktur sinus
itu dilakukan, hasil pengujian kerentanan kultur dan antimikroba harus
didokumentasikan
(CDER, 1998)
5. Saat Masa Akhir dari Akhir Terapi
Kunjungan tambahan tidak diperlukan, kecuali untuk pasien yang tidak
terlihat dalam masa test-of-cure atau yang mengalami kegagalan saat
ujian uji coba

(CDER, 1998)
DAFTAR PUSTAKA

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care
untuk Infeksi Saluran Pernapasan. Tersedia online melalui website.
binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PC_INFEKSI.pdf
[diakses pada tanggal 26 September 2017 pukul 07:10WIB].
Department of Health and Human Serviices Food and Drug Administration
Center for Drug Evaluation and Research (CDER). 1998. Guidance for
Industry Acute Bacterial Sinusitis — Developing Antimicrobial Drugs for
Treatment. Tersedia online di
https://www.fda.gov/ohrms/dockets/98fr/2565dft.pdf. Diakses pada
tanggal 26 September 2017 pukul 03:15 WIB]
Dipiro, Joseph. 2006. Pharmacotherapy A Photophysiology Approach 6th Edition.
New York: McGraw-Hill.
Josephson G, Roy S. 1999. Pediatrics Rhinosinusitis: Diagnosis and
Management. International Pediatrics Vol 14(1): 15 – 21.
Lau J, Zucker D, Engels EA, et al. 1999. In: AHRQ Evidence Report
Summaries. Rockville (MD): Agency for Healthcare Research and
Quality (US); 1998-2005. 9. Diagnosis and Treatment of Acute
Bacterial Rhinosinusitis: Summary. Tersedia online melalui
website https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11860/
[diakses pada tanggal 26 September 2017 pukul 06:12WIB]
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Nightingale. C., Paul Ambrose, Thomas M. File, Jr. 2003. Community-
Acquired Respiratory Infections: Antimicrobial Management vol 31 of
Infection disease an therapy. Florida : CRC Press.
Rosenfeld, RM., Piccirillo JF., Chandsakher SS., Brook I., Ashok KK.,
Kramper M., Orlandi RR., Palmer JN., Patel ZM., Peters A., Walsh SA.,
and Corrigan MD. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult
Sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg Vol 2(152): S1-S39.
Suyitno S, 1996. Sinusitis Maksila pada Anak di RSUD Dr. Kariadi
Semarang Kumpulan Naskah Ilmiah Pertemuan tahunan Perhati.
Batu-Malang, 788 – 797.

Anda mungkin juga menyukai