Kemudian dalam perkembangannya, pengaturan mengenai pengadaan tanah diatur oleh Perpres
nomor 36 tahun 2005. Dalam pasal 1 angka 3, Perpres nomor 36 tahun 2005 yang dimaksud
dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman
dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Akan tetapi, apabila upaya penyelesaian tidak menemui kesepakatan dan pembangunan
termasuk dalam kriteria kepentingan umum, penyelesaian dilakukan melalui jalan konsinyasi
dengan ganti rugi ditetapkan oleh panitia pengadaan tanah berdasarkan harga nilai jual objek
pajak atau NJOP dan dititipkan kepada pengadilan
Perubahan terhadap peraturan dilakukan melalui hadirnya UU nomor 2 tahun 2012 pasal 1
ayat 2 dan Perpres nomor 71 tahun 2012 pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan pengadaan
tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak.
Ketentuan tentang pengadaan tanah dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan demi kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah.
Sementara itu, pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum
dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain
● Jual beli
● Tukar-menukar
● Cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Pasal 1 angka 6 Perpres no 65 tahun 2006 penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti
rugi atas dasar musyawarah. Sementara itu, berdasarkan pasal 1 ayat 6 uu nomor 12 tahun 2012
pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara
melalui lembaga pertanahan.
Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi, dapat diberikan kompensasi
berupa penyertaan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khusus terhadap
tanah ulayat sebagai penghargaan dari hak komunal masyarakat adat, tidak mungkin diukur dengan
sejumlah uang, tetapi suatu rekognisi yang berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang
bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar berikut:
● Nilai jual objek pajak atau nilai nyata dengan memperhatikan nilai jual objek pajak tahun
berjalan berdasarkan penilaian tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia
● Nilai jual pembangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
bangunan
● Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
pertanian
Faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam pengadaan tanah untuk kebutuhan proyek proyek
pembangunan sebagai
● Pengadaan tanah untuk proyek pembangunan harus memenuhi syarat tata ruang dan tata guna
tanah
● Penggunaan tanah tidak boleh melibatkan kerusakan atau pencemaran terhadap kelestarian alam
dan lingkungan
● Penggunaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerugian masyarakat dan kepentingan
pembangunan
Kegiatan Belajar 2
Tata Cara Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum
Masalah pencabutan hak atas tanah didasari oleh Ketentuan Pasal 18 UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang UU Pokok Agraria yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum Termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat atas tanah dapat dicabut
dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.
Umumnya, pencabutan hak diadakan untuk keperluan usaha-usaha negara (pemerintah pusat
dan pemerintah daerah) karena menurut Pasal 18 UUPA hal itu hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan umum. Namun, dalam penjelasan umum UU Nomor 20 Tahun 1961, tidak
tertutup kemungkinan pencabutan hak juga diadakan guna pelaksanaan usaha-usaha swasta
asal itu benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang
diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya.
Instansi yang berwenang melakukan pencabutan hak atas tanah adalah presiden sebagai pejabat
eksekutif tertinggi setelah mendengar saran dari Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan menteri yang
bersangkutan, yaitu menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya
pencabutan hak itu (Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961)
Tata cara pencabutan hak atas tanah menurut UU Nomor 20 tahun 1961 terbagi dalam dua cara berikut:
1. Acara biasa (diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 1961),
a. Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu
kepada presiden dengan perantara Menteri Agraria melalui Kepala inspeksi yang bersangkutan.
Permintaan tersebut dilengkapi dengan
1) Rencana peruntukan dan alasan-alasannya bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan
pencabutan hak itu;
2) Keterangan tentang nama yang berhak--jika mungkin--serta letak, luas, dan macam hak dari
tanah yang akan dicabut beserta benda-benda yang bersangkutan;
3) Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut dan kalau ada juga orang-
orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.
b. Oleh Kepala inspeksi agraria di usahakan supaya permintaan itu dilengkapi dengan
pertimbangan barang kepala daerah yang bersangkutan dan tafsiran ganti kerugiannya paling
lambat dalam waktu 3 bulan. Taksiran itu dilakukan oleh suatu panitia penaksir yang anggota-
anggotanya diangkat dengan sumpah.
c. Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan kepala daerah dan taksiran ganti
kerugian tersebut dilanjutkan oleh Kepala inspeksi agraria kepada Menteri Agraria serta
pertimbangannya.
d. Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada presiden untuk mendapat keputusan
disertai dengan pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta menteri yang
bersangkutan, yaitu menteri yang di bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta di
lakukannya pencabutan hak itu.
e. Penguasaan tanah atau benda yang bersangkutan dapat dilakukan setelah ada surat keputusan
pencabutan hak dari Presiden dan setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang
ditetapkan oleh Presiden serta diselenggarakan penampungan orang-orang yang dimaksudkan
di atas.
2. Acara luar biasa/khusus (diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 1961) sebagai berikut.
a. Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah atau benda-
benda yang bersangkutan dengan segera pencabutan hak khususnya penguasaan tanah atau
benda-benda itu dapat diselenggarakan melalui cara khusus yang lebih cepat keadaan yang
sangat mendesak itu misalnya jika terjadi wabah atau bencana alam yang memerlukan
penampungan para korbannya dengan segera.
b. Dalam hal ini, permintaan untuk melakukan pencabutan hak diajukan oleh Kepala inspeksi
agraria kepada Menteri Agraria tanpa disertai taksiran ganti kerugian panitia penaksiran dan
kalau perlu dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan kepala daerah. Menteri
Agraria kemudian dapat memberi persetujuan kepada yang berkepentingan untuk segera
menguasai tanah atau benda tersebut biarpun belum ada keputusan mengenai permintaan
pencabutan hak dan ganti kerugiannya pun belum dibayar.
c. Jika telah dilakukan penguasaan, tetapi karena suatu alasan permintaan pencabutan hanya
ditolak oleh presiden; yang berkepentingan wajib mengembalikan tanah atau benda-benda yang
bersangkutan dalam keadaan semula atau memberikan kerugian yang sepadan kepada yang
mempunyai hak.
● Nilai jual objek pajak atau nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan nilai jual objek
pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian lembaga atau tim penilai harga tanah yang
ditunjuk oleh panitia.
● Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
bangunan.
● Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
pertanian.
Terima kasih