PENYAKIT KRONIK
KELOMPOK 4 :
JIHAN FADHILLA
MALVINDA NOFERINA
NADIA ASTUTI
NURHADIYA FAUZIA
REZA FADHILLA
RISKA PUTRI ADINDA
ROUNII
PENGERTIAN KELOMPOK RENTAN
Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi bencana adalah individu atau
kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya
yang pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu
yang sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua orang yang
menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi
sosial yang sedang mereka hadapi.
IDENTIFIKASI KELOMPOK BERESIKO
( PENYAKIT KRONIK )
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih rentan terhadap efek lanjut
dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang
lebih buruk pasca bencana. Kelompok-kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil
dan menyusui, lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan. Identifikasi dan
pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan informasi dan data demografi akan mempermudah
perencanaan tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat (Morrow, 1999;
Powers & Daily, 2010; World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN), 2009).
Orang cacat dan memiliki penyakit kronios karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat rentan
saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di masyarakat dan tidak dilibatkan pada
semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan bencana (Klynman et al., 2007).
TINDAKAN YANG SESUAI UNTUK KELOMPOK RENTAN
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-petugas
yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010)
• Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan
tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan
persalinan, dll.
• Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan dan penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh
berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana
dan tidak terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih
parah lagi ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dan gangguan pernapasan.
LANJUTAN...
Pra bencana
• Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit kronis
• Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
• Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan
kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)
• Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi korban dengan penyakit kronik
• Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
• Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
• Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan bencana sejak masa normal
LANJUTAN...
Saat bencana
• Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
• Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
• Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
• Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan
siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa
dan sebagainya.
LANJUTAN...
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman
untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah secara lembut
pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
• Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa
membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
• Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi
panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata
sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).
LANJUTAN...
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana adalah
• Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk
menemukan masalah kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus mengetahui latar
belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan memahami
penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
• Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana, diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung,
ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien penyakit
gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah
• Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat
dengan teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi
pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat
tersebut dan obat yang diberikan di rumah sakit.
LANJUTAN...
Pasca bencana
• Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
• Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
• Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
• Kebutuhan kesehatan
• Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
• Kebutuhan air
• Kebutuhan sarana dan prasarana
• Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
LANJUTAN...
• Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut peningkatan dysphemia
• Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri.
• Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
• Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan debu)
SUMBER DAYA YANG TERSEDIA DILINGKUNGAN UNTUK KEBUTUHAN KELOMPOK BERESIKO.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun
jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan bencana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lingkungan
yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya
• Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan
terhadap kejadian bencana.
• Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti :
beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan
penyakit kronis, dsb
• Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi
pengungsian dll.
• Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi
depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
• Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO) yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok beresiko
seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre), dll.
LINGKUNGAN YANG SESUAI DENGAN KEBUTUHAN KELOMPOK BERESIKO
Setelah kejadian bencana , adalah penting sesegera mungkin untuk menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan
kelompok berisiko untuk berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana, diantaranya
• Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk terus memberikan ASI kepada anaknya dengan cara
memberikan dukungan moril, menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
• Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan
kebersihan diri, belajar/ sekolah, dan bermain.
• Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas generasi misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk
mengurangi resiko isolasi social dan depresi.
• Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang
dapat diakses oleh mereka.
• Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit kronis dan infeksi.