REZA FADHILLA
1811142010062
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Perilaku Ibu dalam Memberikan
makan…....................................................................................................3
B. Sulit Makan Anak Prasekolah (3-5 tahun)........................................6
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep.............................................................................10
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian..............................................................11
B. Populasi dan Sample........................................................................11
C. Tempat dan Waktu Penelitian..........................................................11
D. Variable Penelitan dan Defenisi Operasional...................................12
E. Instrument Penelitian........................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui perilaku ibu dalam pemberian makan anak usia 3-5 tahun
2. Untuk mengetahui perilaku sulit makan anak usia prasekolah
3. Untuk mengetahui hubungan perilaku ibu dalam pemberian makan dengan sulit makan
pada anak 3-5 tahun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Pendidikan ibu
Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. (Sarwono, 1992
dalam Nursalam, 2011). Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi
akanmempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang
yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Orang yang berpendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan
berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dcari
gagasan tersebut (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang
anak. Ibu yang memiliki tingkatpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima
pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak (Gabriel, 2008). Orang tua yang
makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya
(Soetjiningsih, 2004).
Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang
positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa
studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan
nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut Hidayat
(1980) dalam Lutfi (2010) ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang
memilih makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu
yang berpendidikan rendah.
3. Pekerjaan Ibu
Menurut Sediaoetama (2006), pekerjaan adalah mata pencaharian, apa yang
dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.
Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)
dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan
lain-lain.
Menurut Afriyenti (2002) dalam Lutfi (2010) seorang ibu yang tidak bekerja di
luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam mengasuh serta merawat
anak. Ibu yang bekerja tidak dapat memberikan perhatian kepada anak balitanya
apalagi mengurusnya sehingga ibu yang bekerja waktu untuk merawat anak
menjadi berkurang (Sediaoetama, 2006).
Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja dibatasi oleh waktu mereka
untuk kegiatan rumah tangga termasuk pengelolaanmemiliki pendidikan tinggi
akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian
pangan buat keluarga (Hardinsyah, 2007). Saat wanita dari keluarga menengah ke
bawah lebih mengalokasikan untuk kegiatan bekerja di luar rumah, biasanya
mereka akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan di rumah tangga
dengan cara mengurangi frekuensi memasak dan mengurangi jenis makanan yang
dimasak yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas gizi pada menu makanan
anggota keluarga tersebut (Hardinsyah, 2007).
4. Pendapatan Keluarga
Menurut Berg (1986) dalam Parsiki (2003) pendapatan dianggap sebagai salah
satu determinan utama dalam dalam diet dan status gizi.Ada kecenderungan yang
relevan terhadap hubungan pendapatan dan kecukupan gizi keluarga. Hukum
Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang
dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi
(hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat
rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat, tetapi
jika pendapatannya naik maka makanansumber karbohidrat yang dibeli akan
menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan produk sayuran
(Soekirman, 2000).
Menurut Suhardjo (2003) pada keluarga yang pendapatannya rendah, tentu
rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan itu.Bila pendapatan
menjadi semakin baik, maka jumlah uang dipakai untuk membeli makanan dan
bahan makanan itu juga meningkat, sampai suatu tingkat tertentu dimana uang
tidak banyak berubah.
Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan
kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi
warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan
anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan (Hardinsyah, 1997 dalam
Lutfi 2010). Besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari
pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu keluarga akan
mempengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga akan
menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang
(Yuliana, 2004).
5. Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah respon individu yang masih bersifat
tertutup terhadap suatu rangsangan dan sikap tidak dapat diamati secara langsung
oleh individu lain. Sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap
merupakan suatu faktor pendorong individu untuk melakukan tindakan
(perilaku).Sikap merupakan kecenderungan merespon (secara positif atau negatif)
orang, situasi atau objek tertentu.Sikap mengandung suatu penilaian emosional
atau afektif (senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan tentang suatu
objek), dan konatif (kecenderungan bertindak) (Sarwoni (2007) dalam Maulana
(2010)).
Sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur sikap yaitu kognitif,
afektif, dan konatif.
a. Komponen kognitif (cognitive). Disebut juga komponen perceptual, yang
berisi kepercayaan yang berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek
sikap dengan apa yang dilihat dan diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran,
pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan informasi dari orang lain. Sebagai
contoh, seseorang tahu kesehatan itu sangat berharga jika menyadari sakit dan
terasa nikmatnya sehat.
b. Komponen afektif (komponen emosional). Komponen ini menunjukkan
dimensi emosional subjektif individu terhadap objek sikap, baik bersifat positif
(rasa senang) maupun negatif (rasa tidak senang). Reaksi emosional banyak
dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang benar terhadap
objek sikap tersebut.
c. Komponen konatif (komponen perilaku). Komponen ini merupakan
predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang
dihadapinya.
6. Dukungan keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga, dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah
suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Anggota keluarga saling
berinteraksi satu sama lain dan masing- masing mempunyai peran sosial: suami,
istri, anak, kakak, adik. Keluarga mempunyai tujuan yaitu menciptakan dan
mempertahankan perkembangan fisik, psikologis dan sosial budaya (Mubarok,
2006).
Dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara emosional dan
memberikan pengaruh positif yang berupa informasi, bantuan instrumental,
emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota keluarga yang terdiri dari
suami, orang tua, maupun saudara lainnya.
Cohen & Syme (1985) dalam Lastri (2009), mengklasifikasikan dukungan sosial
dalam empat kategori yaitu:
a. Dukungan informasi, yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh individu.
Dukungan ini meliputi memberikan nasehat, petunjuk, masukan, atau penjelasan
bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam mengahadapi situasi yang
dianggap membebani.
b. Dukungan emosional, yang meliputi mendengarkan, bersikap terbuka,
menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami,
ekspresi kasih sayang.
c. Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara langsung
bersifat fasilitasi atau materi, misalnya menyediakan fasilitasi yang diperlukan,
meminjamkan uang, member makan, atau bantuan yang lain.
d. Dukungan penilaian, dukungan ini bisa berbentuk penilaian yang positif,
penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu
Dukungan keluarga sangat berarti bagi seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan khususnya di bidang kesehatan, dimana peran keluarga adalah sebagai
provider, penyedia, dan perawatan anak serta sosialisasi dan dukungan untuk
memelihara dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga.Dukungan terbesar
diberikan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya (Widiyanti, 2006)
Wong (2009) menjelaskan pola asuh otoriter (Diktator) adalah pola asuh orangtua
yang mencoba untuk mengontrol perilaku dictator dan sikap anak melalui
perintah perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh
dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan
absolut, sikap mematuhi kata-kata mereka dan menghormati prinsip serta
kepercayaan keluarga tanpa kegagalan. Orangtua menghukum secara paksa setiap
perilaku yang berlawanan dengan standar orangtua. Otoritas orangtua dilakukan
dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam
mengambil keputusan.
Menurut Baumrind (1971 dalam Santrock, 2007) menjelaskan pola asuh otoriter
adalah pola asuh yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk
mengikuti perintah-perintah orang tua, dan menghormati pekerjaan serta usaha.
Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul anak,
memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orang tua
otoriter menunjukkan batas-batas tegas dan tidak memberi peluang yang besar
kepada anak untuk berbicara atau bermusyawarah.
Pola asuh otoriter hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin
berupa penarikan diri dan rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati- hati
sering kali mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang
cenderung untuk menjadi sensitif, pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah, dan
tunduk. Mereka cenderung lebih sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi
mudah dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika penggunaan
kekuasaan diktator orangtua disertai dengan supervisi ketat dan tingkat kasih
sayang yang masuk akal. Jika tidak, penggunaan kekuasaan diktator lebih
cenderung untuk dihubungkan dengan perilaku menentang dan antisosial (Wong,
2009).
Wong (2009) menjelaskan pada pola asuh ini, orangtua memiliki sedikit kontrol
atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orangtua yang
bermaksud baik ini bingung antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka
menghindari untuk memaksa standar perilaku mereka dengan mengizinkan anak
mereka untuk mengatur aktifitas sendiri sebanyak mungkin. Orangtua
menganggap diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak bukan merupakan
model peran. Tetapi jika peraturan memang ada, orangtua menjelaskan alasan
yang mendasarinya, mendukung pendapat anak dan berkonsultasi dengan mereka
dalam pembuatan keputusan. Mereka memberlakukan kebebasan dalam
bertindak, disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-batasan yang
masuk akal, dan tidak mencegah anak merusak rutinitas di rumah. Orangtua
jarang menghukum anak karena sebagian besar perilaku dianggap dapat diterima.
Mereka sangat
memanjakan dan menuruti segala keinginan anak. Anak-anak dari orang tua yang
permisif sering kali tidak mematuhi, tidak menghormati, kurang percaya diri,
tidak bertanggungjawab, dan secara umum tidak mematuhi kekuasaan.
Wong (2009) menjelaskan pola asuh demokratis adalah pola asuh orangtua yang
mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan alasan peraturan
secara negatif anak dan mengizinkan mereka untuk menyuarakan keberatannya
terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol orangtua kuat dan konsisten
tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan keamanan. Kontrol difokuskan
pada masalah, tidak ada penarikan rasa cinta atau takut pada hukuman. Orangtua
membantu pengarahan diri pribadi, yaitu suatu kesadaran mengatur perilaku
berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk melakukan hal yang salah, bukan
karena takut tertangkap atau takut dihukum. Standar realistis orang tua dan
harapan masuk akal menghasilkan anak dengan harga diri tinggi, sangat interaktif
dengan anak lain.
Menurut Baumrind (1971 dalam Santrock, 2007) menjelaskan pola asuh
demokratis adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi
masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.
Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan
kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Bila perilaku anak memenuhi standar
yang diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian
atau persetujuan orang lain (Hurlock, 2010).
Tipe mengasuh anak yang paling berhasil tampaknya adalah metode otoritatif.
Orangtua tidak membuat batasan yang kaku dan memaksa, tetapi tetap
mempertahankan kontrol yang kuat, terutama pada area ketidaksepakatan
orangtua dan anak. Sikap permisif disesuaikan dengan penetapan batas-batas
yang masuk akal dan konsisten. Orangtua saling membagi kekuasaan, dan kedua
orangtua menjadi pemimpin tetapi mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak.
A. Faktor nutrisi
Pada bayi umumnya kesulitan makan karena faktor mekanis berkaitan dengan
keterampilan makan biasanya disebabkan oleh cacat atau kelainan bawaan pada mulut
dan kelainan neuro motoric. Selain itu dapat juga oleh kekurangan pembinaan /
pendidikan makan antara lain : manajemen pemberian ASI yang kurang benar; usia saat
pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau terlambat; jadwal
pemberian makan yang terlalu ketat; cara pemberian makan yang kurang tepat.
Kesulitan makan pada anak balita berupa berkurangnya nafsu makan makin meningkat
berkaitan dengan makin meningkatnya interaksi dengan lingkungan, mereka lebih mudah
terkena penyakit terutama penyakit infeksi baik yang akut maupun yang menahun,
infestasi cacing, dan sebagainya.
Pada usia ini berkurangnya nafsu makan disamping karena sakit juga oleh karena faktor
lain misalnya waktu / kesempatan untuk makan karena kesibukan belajar atau bermain
dan faktor kejiwaan.
Kesulitan makan karena faktor kejiwaan biasanya pada anak gadis usia sekitar 10-12
tahun sesuai dengan awal masa remaja. Kesulitan makan mungkin mereka lakukan
dengan sengaja untuk mengurangi berat badan untuk mencapai penampilan tertentu yang
diabaikan. Sebaliknya mungkin terjadi nafsu makan yang berlebihan yang mengakibatkan
kelebihan berat yang berlanjut obesitas.
Berbagai unsur yang terlibat dalam makan yaitu alat pencernaan makanan dari rongga
mulut, bibir, gigi geligi, langit-langit, lidah, tenggorokkan, system saraf, system
hormonal, dan enzim-enzim. Maka dari itu bila terdapat kelainan atau penyakit pada
unsur organik tersebut pada umumnya akan disertai dengan gangguan atau kesulitan
makan, untuk praktisnya dikelompokkan menjadi :
a. Kelainan / penyakit gigi geligi dan unsur lain dalam rongga mulut
b. Kelainan / penyakit pada bagian lain saluran cerna
c. Penyakit infeksi pada umumnya
j. Mengganti suasana
Agar anak tidak bosan, berupayalah mengganti suasana makan, misalnya bagi
anak yang biasa makan di meja makan dapat divariasi dengan makan di teras,
minuman yang biasanya diminum langsung dari cangkir diganti dengan memakai
sedotan, makan yang biasanya hanya menggunakan tangan dapat menggunakan
sendok.
k. Biarkan anak memilih makanannya sendiri
Berikan alternatif makanan yang dapat dipilih anak, boleh saja mengajak anak
untuk mengkonsumsi makanan seperti yang dimakan anggota keluarga lainnya,
tetapi jangan sesekali memaksanya.
l. Bersikap cerdik
Agar kebutuhan anak akan zat-zat gizi dapat terpenuhi, orang tua harus cerdik
dalam menyediakan menu makanan terutama untuk balita. Sayuran dan buah-
buahan dalam bentuk aslinya terkadang tidak disukai anak. Untuk itu, anda bisa
menyajikan dalam bentuk makanan campuran, misalnya dibuat jus atau masakan
dengan sayuran yang dihaluskan.
m. Turuti keinginan anak
Pada umumnya anak menolak makanan campuran dalam satu piring, misalnya
nasi, sayur dan lauk jadi satu. Turuti keinginan anak dengan menyajikan berbagai
jenis makanan yang terpisah.
n. Jangan memaksa rapi
Anak lebih menyukai makan dengan caranya sendiri yang terkadang menjadi
berantakan. Untuk itu, diperlukan toleransi orang tua untuk tidak memaksa anak
makan dengan rapi sebab dengan cara tersebut anak akan lebih banyak
menghabiskan makanannya.
o. Mau menerima jawaban tidak
Apabila anak mengatakan “Sudah Kenyang” dan tidak mau makan lagi, jangan
paksa untuk makan mesti hanya satu suap lagi.
p. Bersabar
Selera makan anak cepat berubah sehingga jenis makanan yang kemarin
digemari, sekarang bisa saja dihindari. Untuk itu, dituntut kesabaran dari orang
tua.
q. Memberi hadiah
Jika anak dijanjikan akan diberi hadiah jika dapat menghabiskan makanannya, ini
dapat memberi motivasi kepada anak untuk menghabiskan makanannya.
Anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga sampai lima tahun. Masa ini terjadi
pertumbuhan dan perkembangan biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial yang
begitu signifikan. Pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak usia
prasekolah dipengaruhi oleh nutrisi, tidur dan aktivitas, kesehatan gigi, pencegahan
cedera dan asuhan keluarga dalam mengasuh anak (Wong, 2009).
Anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga setengah hingga enam tahun, sebelum
anak memulai pendidikan formal di sekolah. Anak prasekolah tidak lagi nampak seperti
bayi, dia belajar bersikap lebih dewasa dan bisa melakukan hal yang menyenangkan bagi
orang-orang dewasa dalam hidupnya ketika dia mendapatkan pengakuan dan pujian atas
karyanya.
Anak pada usia prasekolah biasanya mengalami perkembangan psikis menjadi balita yang
lebih mandiri, autonom, dan dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta dapat lebih
mengekspresikan emosinya. Di samping itu anak usia tersebut juga cenderung senang
bereksplorasi dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan yang khas yang terbentuk ini turut
mempengaruhi pola makan anak. Pada masa ini anak mengalami proses perubahan pola
makan dimana anak pada umumnya mengalami kesulitan untuk makan (Hidayat, 2012).
BAB III
KERANGKA KONSEP
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Independen
Nilai maksimum
untuk masing-
masing tipe pola
asuh adalah 30.
Nilai minimum
untuk masing-
masing tipe pola
asuh adalah 6.
2. Variabel Dependen
Yang menjadi variabel dependen dari penelitian ini adalah perilaku sulit makan
anak usia prasekolah.
Tabel 3.2
Definisi Operasional Variabel Dependen
3.3 Hipotesis
Hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha)
yaitu adanya hubungan antara pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan anak usia
prasekolah (3-5 tahun) di TK Al-Irsyad
BAB IV
METODE PENELITIAN
𝑁
𝑛 = 1 + 𝑁(𝑑2)
Keterangan:
N= besar populasi
n= besar sampel
d= tingkat signifikansi (p), dengan tingkat kesalahan yang dipilih
(d=0,05)
Peneliti menggunakan kuesioner yang dibuat oleh Sri Lestari Handayani (2010)
yang telah dimodifikasi. Kuesioner terdiri dari 10 pernyataan. Tiap item
pernyataan dinilai menggunakan jenis skala Likert dengan nilai Tidak Pernah
(TP) nilai 1, Jarang (JR) nilai 2, Kadang-kadang (KD) nilai 3, Sering (SR) nilai
4, Selalu (SL) nilai 5. Hasil ukur dengan menggunakan rentang merupakan nilai
tertinngi dikurangi nilai terendah. Nilai tertinggi adalah 50 dan terendah adalah
10, maka rentangnya adalah 40. Banyak tingkatan perilakunya ada 3 yaitu tinggi
dengan nilai (37-50), sedang (24-36), dan rendah (10-23).
2. Uji Rehabilitasi
Setelah dilakukan uji validitas kemudian dilanjutkan dengan uji reliabilitas.
Uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya dan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten
bila dilakukan dua kali atau lebih dengan menggunakan alat ukur yang sama
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Polit & Beck (2012) suatu instrument dikatakan reliable jika nilai
koefisiennya lebih dari 0,7. Berdasarkan hasil yang diperoleh oleh peneliti
kedua kuesioner memiliki nilai koefisien lebih besar dari 0,7, sehingga
kuesioner tersebut dikatakan reliable.
1. Analisa Univariat
2. Analisa Bivariat
DAFTAR PUSTAKA
Yupi Supartini, S.Kp, MSc. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak.
EGC: Jakarta, 2004