Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL MINI

HUBUNGAN PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MAKAN DENGAN


SULIT MAKAN ANAK PRASEKOLAH (3-5 TAHUN)

REZA FADHILLA
1811142010062

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes YARSI SUMBAR
BUKITTINGGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan Proposal Mini yang berjudul “Hubungan Perilaku Ibu dalam
Pemberian Makan dengan Sulit Makan Anak Prasekolah (3-5 tahun)”.
Shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW atas cahaya Islam yang
telah beliau wariskan diakhir zaman. Proposal Mini ini disusun dengan maksud
untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Metedologi Penelitian di Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan (STIKes) Yarsi Sumbar Bukittinggi dan untuk memenuhi tugas
akhir sebagai tugas ujian akhir semester (UAS) di semester VI ini.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan pengarahan dari berbagai
pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan proposal mini ini, sangatlah
sulit bagi penulis untuk menyelesaikan proposal mini ini, oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih terutama kepada Yth, Ibu Ns. Aulia Putri, S.Kep, M.
Kep selaku Pembimbing. Ibu Ade Sry Wahyuni, Ners. MNS dan bapak Ns.
Junaidy Suparman Rustam, S.Kep MNS, selaku Dosen Mata Kuliah Metodologi
keperawatan.
Dalam penyusunan Proposal Mini ini, Penulis menyadari atas kekurangan,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun demi perbaikan dimasa mendatang dan mudah-mudahan Proposal
Mini ini bermanfaat bagi kita semua Amin.

Bukittinggi, Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Perilaku Ibu dalam Memberikan
makan…....................................................................................................3
B. Sulit Makan Anak Prasekolah (3-5 tahun)........................................6
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep.............................................................................10
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian..............................................................11
B. Populasi dan Sample........................................................................11
C. Tempat dan Waktu Penelitian..........................................................11
D. Variable Penelitan dan Defenisi Operasional...................................12
E. Instrument Penelitian........................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak usia prasekolah merupakan usia tiga sampai lima tahun, masa ini terjadi pertumbuhan dan
perkembangan biologis, psikososial, kognitif dan spiritual yang begitu signifikan. Pertumbuhan
dan perkembangan anak usia prasekolah dipengaruhi oleh nutrisi, masalah tidur, kesehatan gigi,
pencegahan cedera serta cara orangtua dalam merawat anak yang sakit (Wong, 2009). Anak pada
usia prasekolah biasanya mengalami perkembangan psikis menjadi balita yang lebih mandiri,
autonom, dan dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta dapat lebih mengekspresikan
emosinya, cenderung senang bereksplorasi dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan khas yang
terbentuk ini turut mempengaruhi pola makan anak, yaitu mengalami proses perubahan pola
makan sampai mengalami kesulitan makan (Hidayat, 2012). Perilaku sulit makan merupakan
perilaku anak yang menolak untuk makan, hanya makan makanan tertentu saja, dan
menghabiskan porsi makan dengan lambat bahkan sering tidak menghabiskan porsi makan setiap
jam makan (Karaki, 2016). Kesulitan makan mempunyai gejala berupa memenuhkan atau
menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk didalam mulut, sama sekali tidak mau
memasukkan makanan ke dalam mulut, makan berlama-lama dan memainkan makanan, tidak
mengunyah tetapi langsung menelan makanan dan kesulitan makan dan sebagainya (Jurdawanto,
2016).
Angka kejadian masalah kesulitan makan di beberapa Negara cukup tinggi. Penelitian The
Gateshead Millenium Baby Study, 2006 di Inggris menyebutkan 20% orangtua melaporkan
anaknya mengalami masalah makan, dengan prevalensi tertinggi anak hanya mau makan makanan
tertentu. Survei lain di Amerika Serikat menyebutkan 19-50% orangtua mengeluhkan anaknya
sangat pemilih dalam makan sehingga terjadi defisiensi zat gizi tertentu (Waugh, 2006).
Penelitian Kesuma (2015) terdapat anak yang mengalami perilaku kesulitan makan sebanyak
(35,4%) di Riau, dengan jenis kelamin terbanyak perempuan (59,5%) dan mayoritas umur anak
adalah 5-6 tahun (82,3%). Kesulitan makan didapatkan pada 28 orang dari 79 orang subjek,
terdapat (67,1%) anak menghabiskan makanan dalam waktu lama (lebih dari 30 menit), (49,4%)
tidak tertarik mencoba makanan baru, (48,1%) menyukai makanan tertentu saja, (34,2%) anak
menggelengkan kepala saat diberikan makanan, (21,5%) anak menutup mulut rapat-rapat saat
diberikan makanan, (15,2%) anak membuang makanan yang diberikan. Hasil penelitian lainnya
yang dilakukan oleh Telaumbanua (2013) di Bekasi anak yang mengalami sulit makan sebanyak
31 orang (70,5%), yang tidak sulit makan sebanyak 13 orang (29,5%). Berdasarkan analisa
peneliti didapatkan bahwa ada kesulitan makan pada anak prasekolah di TK Nurul Hikmah Bantar
Gebang Bekasi. Kesulitan makan yang berat dan berlangsung lama berdampak negatif pada
keadaan kesehatan anak, keadaan tumbuh kembang dan aktifitas sehari-harinya. Di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas (2013), terdapat 19,6% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 5,7%
balita dengan gizi buruk dan 13,9% berstatus gizi kurang. Sedangkan di Sumatera Utara, terdapat
22,7% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 8,4% balita dengan gizi buruk dan 14,3%
berstatus gizi kurang. Sikap orangtua dan hubungannya dengan anak, atau biasa yang disebut pola
asuh, sangat menentukan terjadinya gangguan psikologis yang dapat mengakibatkan gangguan
makan. Gangguan makan disebabkan oleh perlindungan dan perhatian berlebihan pada anak,
orang tua yang pemarah, tegang terus menerus, kurangnya kasih sayang baik secara kualitas dan
kuantitas, kurangnya pengertian dan pemahaman orang tua terhadap kondisi psikologis anak
(Nafratilawati, 2014).
Pola asuh ibu sangat penting dalam tumbuh kembang anak dalam psikologis anak, kemampuan
bersosialisasi anak, kemandirian anak, serta perilaku sulit makan pada anak. Sikap ibu dapat
membentuk karakter anak menjadi sulit makan adalah cara menyiapkan makanan, cara
memberikan anak makan, menenangkan anak dengan meberikan makanan ringan, memaksa anak
untuk makan, terlambat memberikan makanan padat, dan ibu tidak membiasakan anak makan
tepat waktu (Nafratilawati, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terdapat hubungan perilaku ibu dalam pemberian makan dengan sulit makan pada anak
usia 3-5 tahun?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan umum
Untuk mengetahui perilaku ibu dalam pemberian makan anak usia prasekolah (3-5 tahun)

2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui perilaku ibu dalam pemberian makan anak usia 3-5 tahun
2. Untuk mengetahui perilaku sulit makan anak usia prasekolah
3. Untuk mengetahui hubungan perilaku ibu dalam pemberian makan dengan sulit makan
pada anak 3-5 tahun

1.4 Manfaat Penelitian


1. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam
bidang pendidikan keperawatan, khususnya keperawatan anak mengenai pentingnya
pengetahuan tentang hubungan perilaku ibu dalam pemberian makan dengan sulit makan pada
anak usia 3-5 tahun.
2. Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi dalam pelayanan
keperawatan tentang hubungan perilaku ibu dalam pemberian makan dengan sulit makan pada
anak usia 3-5 tahun.
3. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya dan sekaligus untuk
menambah pengetahuan agar dapat mengetahui hubungan perilaku ibu dalam pemberian
makan dengan sulit makan pada anak usia 3-5 tahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan Anak


1. Definisi Perilaku
Menurut Notoadmodjo (2007) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia
baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan
dari luar (Skiner, 1983 dalam Notoadmodjo, 2007). Berdasarkan pengertian tersebut
Skiner membedakan adanya dua respons, yaitu:
a) Respondent respons atau reflexive, yaitu respons yang timbulkan
olehrangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya cahaya
terangmenyebabkan mata tertutup. Respons ini mencakup perilaku
emosional,misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih.
b) Operant respons atau instrumental respons, yaitu respons yang timbul
danberkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Misalnya apabila petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik
kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya, maka petugas kesehatan
tersebut akan lebih baik dalam melaksanakan tugasnya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Dalam Memenuhi Kebutuhan Nutrisi
Anak.
1. Pengetahuan Gizi ibu
Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga,
dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan samapai
mengahasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap objek.Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh
melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata)
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Slamet (2009) pengetahuan ibu dapat diperoleh dari pendidikan atau
pengamatan serta informasi yang didapat seseorang. Pengetahuan dapat
menambah ilmu dari seseorang serta merupakan proses dasar dari kehidupan
manusia. Melalui pengetahuan manusia dapat melakukan perubahan-perubahan
kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang.

2. Pendidikan ibu
Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. (Sarwono, 1992
dalam Nursalam, 2011). Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi
akanmempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang
yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Orang yang berpendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan
berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dcari
gagasan tersebut (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang
anak. Ibu yang memiliki tingkatpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima
pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak (Gabriel, 2008). Orang tua yang
makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya
(Soetjiningsih, 2004).
Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang
positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa
studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan
nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut Hidayat
(1980) dalam Lutfi (2010) ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang
memilih makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu
yang berpendidikan rendah.
3. Pekerjaan Ibu
Menurut Sediaoetama (2006), pekerjaan adalah mata pencaharian, apa yang
dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.
Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)
dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan
lain-lain.
Menurut Afriyenti (2002) dalam Lutfi (2010) seorang ibu yang tidak bekerja di
luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam mengasuh serta merawat
anak. Ibu yang bekerja tidak dapat memberikan perhatian kepada anak balitanya
apalagi mengurusnya sehingga ibu yang bekerja waktu untuk merawat anak
menjadi berkurang (Sediaoetama, 2006).
Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja dibatasi oleh waktu mereka
untuk kegiatan rumah tangga termasuk pengelolaanmemiliki pendidikan tinggi
akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian
pangan buat keluarga (Hardinsyah, 2007). Saat wanita dari keluarga menengah ke
bawah lebih mengalokasikan untuk kegiatan bekerja di luar rumah, biasanya
mereka akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan di rumah tangga
dengan cara mengurangi frekuensi memasak dan mengurangi jenis makanan yang
dimasak yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas gizi pada menu makanan
anggota keluarga tersebut (Hardinsyah, 2007).

4. Pendapatan Keluarga
Menurut Berg (1986) dalam Parsiki (2003) pendapatan dianggap sebagai salah
satu determinan utama dalam dalam diet dan status gizi.Ada kecenderungan yang
relevan terhadap hubungan pendapatan dan kecukupan gizi keluarga. Hukum
Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang
dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi
(hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat
rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat, tetapi
jika pendapatannya naik maka makanansumber karbohidrat yang dibeli akan
menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan produk sayuran
(Soekirman, 2000).
Menurut Suhardjo (2003) pada keluarga yang pendapatannya rendah, tentu
rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan itu.Bila pendapatan
menjadi semakin baik, maka jumlah uang dipakai untuk membeli makanan dan
bahan makanan itu juga meningkat, sampai suatu tingkat tertentu dimana uang
tidak banyak berubah.
Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan
kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi
warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan
anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan (Hardinsyah, 1997 dalam
Lutfi 2010). Besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari
pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu keluarga akan
mempengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga akan
menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang
(Yuliana, 2004).
5. Sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah respon individu yang masih bersifat
tertutup terhadap suatu rangsangan dan sikap tidak dapat diamati secara langsung
oleh individu lain. Sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap
merupakan suatu faktor pendorong individu untuk melakukan tindakan
(perilaku).Sikap merupakan kecenderungan merespon (secara positif atau negatif)
orang, situasi atau objek tertentu.Sikap mengandung suatu penilaian emosional
atau afektif (senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan tentang suatu
objek), dan konatif (kecenderungan bertindak) (Sarwoni (2007) dalam Maulana
(2010)).
Sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur sikap yaitu kognitif,
afektif, dan konatif.
a. Komponen kognitif (cognitive). Disebut juga komponen perceptual, yang
berisi kepercayaan yang berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek
sikap dengan apa yang dilihat dan diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran,
pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan informasi dari orang lain. Sebagai
contoh, seseorang tahu kesehatan itu sangat berharga jika menyadari sakit dan
terasa nikmatnya sehat.
b. Komponen afektif (komponen emosional). Komponen ini menunjukkan
dimensi emosional subjektif individu terhadap objek sikap, baik bersifat positif
(rasa senang) maupun negatif (rasa tidak senang). Reaksi emosional banyak
dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang benar terhadap
objek sikap tersebut.
c. Komponen konatif (komponen perilaku). Komponen ini merupakan
predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang
dihadapinya.

6. Dukungan keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga, dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah
suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Anggota keluarga saling
berinteraksi satu sama lain dan masing- masing mempunyai peran sosial: suami,
istri, anak, kakak, adik. Keluarga mempunyai tujuan yaitu menciptakan dan
mempertahankan perkembangan fisik, psikologis dan sosial budaya (Mubarok,
2006).
Dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara emosional dan
memberikan pengaruh positif yang berupa informasi, bantuan instrumental,
emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota keluarga yang terdiri dari
suami, orang tua, maupun saudara lainnya.
Cohen & Syme (1985) dalam Lastri (2009), mengklasifikasikan dukungan sosial
dalam empat kategori yaitu:
a. Dukungan informasi, yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh individu.
Dukungan ini meliputi memberikan nasehat, petunjuk, masukan, atau penjelasan
bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam mengahadapi situasi yang
dianggap membebani.
b. Dukungan emosional, yang meliputi mendengarkan, bersikap terbuka,
menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami,
ekspresi kasih sayang.
c. Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara langsung
bersifat fasilitasi atau materi, misalnya menyediakan fasilitasi yang diperlukan,
meminjamkan uang, member makan, atau bantuan yang lain.
d. Dukungan penilaian, dukungan ini bisa berbentuk penilaian yang positif,
penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu
Dukungan keluarga sangat berarti bagi seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan khususnya di bidang kesehatan, dimana peran keluarga adalah sebagai
provider, penyedia, dan perawatan anak serta sosialisasi dan dukungan untuk
memelihara dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga.Dukungan terbesar
diberikan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya (Widiyanti, 2006)

3. Tipe Pola Asuh Orangtua


Terdapat beberapa pendapat mengenai tipe pola asuh orangtua diantaranya adalah
tipe pola asuh menurut Wong (2009). Wong berpendapat bahwa ada tiga tipe pola
asuh orangtua, yaitu :

a. Pola asuh otoriter (Diktator)

Wong (2009) menjelaskan pola asuh otoriter (Diktator) adalah pola asuh orangtua
yang mencoba untuk mengontrol perilaku dictator dan sikap anak melalui
perintah perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh
dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan
absolut, sikap mematuhi kata-kata mereka dan menghormati prinsip serta
kepercayaan keluarga tanpa kegagalan. Orangtua menghukum secara paksa setiap
perilaku yang berlawanan dengan standar orangtua. Otoritas orangtua dilakukan
dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam
mengambil keputusan.
Menurut Baumrind (1971 dalam Santrock, 2007) menjelaskan pola asuh otoriter
adalah pola asuh yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk
mengikuti perintah-perintah orang tua, dan menghormati pekerjaan serta usaha.
Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul anak,
memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orang tua
otoriter menunjukkan batas-batas tegas dan tidak memberi peluang yang besar
kepada anak untuk berbicara atau bermusyawarah.

Pola asuh otoriter hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin
berupa penarikan diri dan rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati- hati
sering kali mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang
cenderung untuk menjadi sensitif, pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah, dan
tunduk. Mereka cenderung lebih sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi
mudah dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika penggunaan
kekuasaan diktator orangtua disertai dengan supervisi ketat dan tingkat kasih
sayang yang masuk akal. Jika tidak, penggunaan kekuasaan diktator lebih
cenderung untuk dihubungkan dengan perilaku menentang dan antisosial (Wong,
2009).

b. Pola asuh permisif (Laissez-Faire)

Wong (2009) menjelaskan pada pola asuh ini, orangtua memiliki sedikit kontrol
atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orangtua yang
bermaksud baik ini bingung antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka
menghindari untuk memaksa standar perilaku mereka dengan mengizinkan anak
mereka untuk mengatur aktifitas sendiri sebanyak mungkin. Orangtua
menganggap diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak bukan merupakan
model peran. Tetapi jika peraturan memang ada, orangtua menjelaskan alasan
yang mendasarinya, mendukung pendapat anak dan berkonsultasi dengan mereka
dalam pembuatan keputusan. Mereka memberlakukan kebebasan dalam
bertindak, disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-batasan yang
masuk akal, dan tidak mencegah anak merusak rutinitas di rumah. Orangtua
jarang menghukum anak karena sebagian besar perilaku dianggap dapat diterima.
Mereka sangat

memanjakan dan menuruti segala keinginan anak. Anak-anak dari orang tua yang
permisif sering kali tidak mematuhi, tidak menghormati, kurang percaya diri,
tidak bertanggungjawab, dan secara umum tidak mematuhi kekuasaan.

c. Pola asuh demokratis (Otoritatif)

Wong (2009) menjelaskan pola asuh demokratis adalah pola asuh orangtua yang
mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan alasan peraturan
secara negatif anak dan mengizinkan mereka untuk menyuarakan keberatannya
terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol orangtua kuat dan konsisten
tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan keamanan. Kontrol difokuskan
pada masalah, tidak ada penarikan rasa cinta atau takut pada hukuman. Orangtua
membantu pengarahan diri pribadi, yaitu suatu kesadaran mengatur perilaku
berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk melakukan hal yang salah, bukan
karena takut tertangkap atau takut dihukum. Standar realistis orang tua dan
harapan masuk akal menghasilkan anak dengan harga diri tinggi, sangat interaktif
dengan anak lain.
Menurut Baumrind (1971 dalam Santrock, 2007) menjelaskan pola asuh
demokratis adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi
masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.
Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan
kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Bila perilaku anak memenuhi standar
yang diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian
atau persetujuan orang lain (Hurlock, 2010).

Tipe mengasuh anak yang paling berhasil tampaknya adalah metode otoritatif.
Orangtua tidak membuat batasan yang kaku dan memaksa, tetapi tetap
mempertahankan kontrol yang kuat, terutama pada area ketidaksepakatan
orangtua dan anak. Sikap permisif disesuaikan dengan penetapan batas-batas
yang masuk akal dan konsisten. Orangtua saling membagi kekuasaan, dan kedua
orangtua menjadi pemimpin tetapi mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak.

2.2 Perilaku Sulit Makan Anak Pra Sekolah


1. Definisi Perilaku Sulit Makan
Perilaku sulit makan adalah perilaku anak yang menolak untuk makan, hanya makan
makanan tertentu saja, dan menghabiskan porsi makanan dengan lambat bahkan
sering tidak menghabiskan porsi makan setiap jam makan (Karaki, 2016).
Perilaku kesulitan makan merupakan fase perilaku makanan yang umum ditemui
pada anak. Faktor perilaku kesulitan makan yaitu faktor keterlibatan anak, faktor
perilaku makan orang tua, faktor penyediaan makanan, dan kontrol makanan
(Kesuma, 2015).
Kesulitan makan merupakan ketidakmampuan anak untuk mengkonsumsi sejumlah
makanan yang diperlukannya, secara alamiah dan wajar, yaitu dengan menggunakan
mulutnya secara sukarela. Masalah kesulitan makan sering dihadapi baik oleh orang
tua, dokter maupun petugas kesehatan lain (Soedibyo, 2009).

2. Gejala Sulit Makan Anak


Judarwanto (2016) mengungkapkan anak sulit makan jika hanya mampu
menghabiskan kurang dari 2/3 jumlah makannya sehingga kebutuhan nutrien tidak
terpenuhi. Beberapa tampilan klinis kesulitan makan pada anak dapat berupa
memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk dimulut
anak, makan berlama-lama dan memainkan makanan, makan hanya sedikit atau sama
sekali tidak mau memasukkan makanan dalam mulut, memuntahkan atau
menumpahkan makanan, menepis suapan dari orang tua, tidak dikunyah banyak
langsung ditelan.

3. Penyebab Kesulitan Makan


Kesulitan makan dapat terjadi pada semua kelompok usia anak, tetapi jenis kesulitan
makan dan penyebabnya berlainan, juga mengenai derajat dan lamanya. Penyebab
kesulitan makan mungkin karena disebabkan oleh satu penyakit atau kelainan
tertentu, tetapi bisa juga beberapa macam penyakit atau faktor bersama- sama.
Menurut Sunarjo (2013) faktor yang merupakan penyebab kesulitan makan dapat
dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :

A. Faktor nutrisi

Berdasarkan kemampuan untuk mengkonsumsi makanan, memilih jenis makanan, dan


menentukan jumlah makanan, anak-anak dapat dikelompokkan :

1. Konsumer pasif : pada bayi berusia 0-1 tahun

Pada bayi umumnya kesulitan makan karena faktor mekanis berkaitan dengan
keterampilan makan biasanya disebabkan oleh cacat atau kelainan bawaan pada mulut
dan kelainan neuro motoric. Selain itu dapat juga oleh kekurangan pembinaan /
pendidikan makan antara lain : manajemen pemberian ASI yang kurang benar; usia saat
pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau terlambat; jadwal
pemberian makan yang terlalu ketat; cara pemberian makan yang kurang tepat.

2. Konsumer semi pasif/semi aktif : anak balita 1-5 tahun

Kesulitan makan pada anak balita berupa berkurangnya nafsu makan makin meningkat
berkaitan dengan makin meningkatnya interaksi dengan lingkungan, mereka lebih mudah
terkena penyakit terutama penyakit infeksi baik yang akut maupun yang menahun,
infestasi cacing, dan sebagainya.

3. Konsumer aktif : anak sekolah dan remaja 6-18 tahun

Pada usia ini berkurangnya nafsu makan disamping karena sakit juga oleh karena faktor
lain misalnya waktu / kesempatan untuk makan karena kesibukan belajar atau bermain
dan faktor kejiwaan.
Kesulitan makan karena faktor kejiwaan biasanya pada anak gadis usia sekitar 10-12
tahun sesuai dengan awal masa remaja. Kesulitan makan mungkin mereka lakukan
dengan sengaja untuk mengurangi berat badan untuk mencapai penampilan tertentu yang
diabaikan. Sebaliknya mungkin terjadi nafsu makan yang berlebihan yang mengakibatkan
kelebihan berat yang berlanjut obesitas.

B. Faktor penyakit/kelainan organik

Berbagai unsur yang terlibat dalam makan yaitu alat pencernaan makanan dari rongga
mulut, bibir, gigi geligi, langit-langit, lidah, tenggorokkan, system saraf, system
hormonal, dan enzim-enzim. Maka dari itu bila terdapat kelainan atau penyakit pada
unsur organik tersebut pada umumnya akan disertai dengan gangguan atau kesulitan
makan, untuk praktisnya dikelompokkan menjadi :

a. Kelainan / penyakit gigi geligi dan unsur lain dalam rongga mulut
b. Kelainan / penyakit pada bagian lain saluran cerna
c. Penyakit infeksi pada umumnya

a) Akut : infeksi saluran pernafasan


b) Kronis : tuberculosis paru, malaria
c) Penyakit / kelainan non infeksi

Penyakit bawaan diluar rongga mulut dan saluran cerna :

a) Penyakit jantung bawaan, sindroma down


b) Penyakit neuromauskuler : cerebral palsy
c) Penyakit keganasan : tumor willems
d) Penyakit hematologi : anemia, leukemia
e) Penyakit metabolik/endokrin : diabetes mellitus
f) Penyakit kardiovaskuler

C. Faktor gangguan/kelainan psikologis


a. Dasar teori motivasi dengan lingkaran motivasinya
Suatu kehendak/keinginan atau kemauan karena ada kebutuhan atau kekurangan
yang menimbulkan ketidakseimbangan. Orang membutuhkan makanan
selanjutnya muncul perasaan lapar karena di dalam tubuh ada kekurangan zat
makanan. Atau sebaliknya seseorang yang di dalam tubuhnya sudah cukup
makanan yang baru atau belum lama dimakan, maka tubuh belum membutuhkan
makanan dan tidak timbul keinginan makan.Hal ini sering tidak disadari oleh para
ibu atau pengasuh anak, yang memberikan makanan tidak pada saat yang tepat,
apalagi dengan tindakan pemaksaan, ditambah dengan kualitas makanan yang
tidak enak, misalnya terlalu asin atau pedas dengan cara menyuapi yang terlalu
keras, memaksa anak untuk membuka mulut dengan sendok. Hal ini semua
menyebabkan kegiatan makan merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan.
b. Pemaksaan untuk memakan atau menelan jenis makanan tertentu yang kebetulan
tidak disukai. Hal ini perlu pendekatan yang tepat dalam melatih anak mau
memakan makanan yang mungkin tidak disukai.
c. Suasana keluarga, khususnya sikap dan cara mendidik serta pola interaksi antara
orang tua dan anak yang menciptakan suasana emosi yang tidak baik. Tidak
tertutup kemungkinan sikap menolak makan sebagai sikap protes terhadap
perlakuan orang tua, misalnya cara menyuapi yang terlalu keras, pemaksaan
untuk belajar dan sebagainya.

4. Dampak Kesulitan Makan


Masalah kesulitan makan pada anak dapat berakibat buruk bagi tumbuh kembang
anak. Anak dapat mempunyai peluang besar untuk menderita kurang gizi
(underweight) karena makanan yang dikonsumsi dalam jumlah sedikit sehingga tidak
memenuhi kebutuhan jumlah nutrisinya.
Menurut Novi (2015) ada beberapa dampak dari kebiasaan malas makan bagi
kesehatan anak yaitu :
a. Anak akan tampak sangat kurus dan mengalami kemunduran pertumbuhan otot yang
tampak sangat jelas. Hal ini bisa diketahui ketika anak dipegang dan ketika diangkat.
Berat badan menjadi berkurang 60% dari berat badan normal anak seusianya.
b. Wajah anak tampak seperti orangtua. Muka juga akan tampak keriput dan cekung
sebagaimana layaknya wajah orang yang telah tua. Selain itu kepala anak seolah-olah
terlalu besar jika dibandingkan dengan bentuk kepalanya.
c. Otot tubuh terlihat lemah dan tidak berkembang dengan baik meskipun masih tampak
adanya lapisan lemak di daerah kulit.
Pada kesulitan makan yang berat dan berlangsung lama akan berdampak pada kesehatan
dan tumbuh kembang anak. Gejala yang timbul tergantung dari jenis dan jumlah zat gizi
yang kurang. Bila anak hanya menyukai makanan tertentu saja misalnya buah atau sayur
akan terjadi defisiensi vitamin A. Bila hanya mau minum susu saja akan terjadi defisiensi
besi. Bila kekurangan kalori dan protein akan terjadi kekurangan energi protein (Sunarjo,
2013).

5. Upaya Mengatasi Kesulitan Makan pada Anak


Menurut Irianto (2007) anak-anak sering mengalami kesulitan atau tidak mau makan
meskipun orangtua sudah menyiapkan makanan terbaik. Hal tersebut dapat diatasi
dengan berbagai upaya, antara lain :
a. Porsi kecil
Berikan makanan dalam porsi secukupnya (jangan banyak sekaligus), karena
anak akan bangga jika berhasil menghabiskan porsi makannya.
b. Beri pujian
Apabila anak mampu menghabiskan porsi makannya, berilah pujian sehingga
menyenangkan hati anak.
c. Biarkan anak mengambil porsinya sendiri
Berikan kebebasan kepada anak untuk mengambil makanannya sendiri sebab
anak akan merasa dihormati dan bertanggung jawab terhadap habisnya makanan
tersebut.
d. Beri makan saat lapar
Apabila hendak menyajikam jenis makanan baru yang belum dikenal anak,
sebaiknya diberikan pada saat anak lapar.
e. Hindari rasa bersalah
Apabila anak memecahkan peralatan makan, jangan dimarahi. Untuk itu, gunakan
peralatan yang terbuat dari plastik.
f. Sajikan hanya makanan yang terbaik
Berikan makanan yang padat kalori seperti daging, ikan, selai kacang, keju,
pisang, kacang-kacangan.
g. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
Biarkan anak makan sambil bermain-main atau apa saja yang disukainya.
h. Kurangi hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian
Televisi sering mengganggu perhatian anak pada waktu makan meskipun anak
tidak sungguh-sungguh menonton. Demikian juga halnya kehadiran kakak atau
anak lain juga menyebabkan anak kurang perhatian pada makanannya.
i. Biarkan anak makan lambat
Anak yang baru belajar makan biasanya sangat lambat menyelesaikan tugas
makannya. Untuk itu, sebaiknya biarkan ia makan dengan caranya sendiri dan
luangkan waktu untuk menemaninya.

j. Mengganti suasana
Agar anak tidak bosan, berupayalah mengganti suasana makan, misalnya bagi
anak yang biasa makan di meja makan dapat divariasi dengan makan di teras,
minuman yang biasanya diminum langsung dari cangkir diganti dengan memakai
sedotan, makan yang biasanya hanya menggunakan tangan dapat menggunakan
sendok.
k. Biarkan anak memilih makanannya sendiri
Berikan alternatif makanan yang dapat dipilih anak, boleh saja mengajak anak
untuk mengkonsumsi makanan seperti yang dimakan anggota keluarga lainnya,
tetapi jangan sesekali memaksanya.
l. Bersikap cerdik
Agar kebutuhan anak akan zat-zat gizi dapat terpenuhi, orang tua harus cerdik
dalam menyediakan menu makanan terutama untuk balita. Sayuran dan buah-
buahan dalam bentuk aslinya terkadang tidak disukai anak. Untuk itu, anda bisa
menyajikan dalam bentuk makanan campuran, misalnya dibuat jus atau masakan
dengan sayuran yang dihaluskan.
m. Turuti keinginan anak
Pada umumnya anak menolak makanan campuran dalam satu piring, misalnya
nasi, sayur dan lauk jadi satu. Turuti keinginan anak dengan menyajikan berbagai
jenis makanan yang terpisah.
n. Jangan memaksa rapi
Anak lebih menyukai makan dengan caranya sendiri yang terkadang menjadi
berantakan. Untuk itu, diperlukan toleransi orang tua untuk tidak memaksa anak
makan dengan rapi sebab dengan cara tersebut anak akan lebih banyak
menghabiskan makanannya.
o. Mau menerima jawaban tidak
Apabila anak mengatakan “Sudah Kenyang” dan tidak mau makan lagi, jangan
paksa untuk makan mesti hanya satu suap lagi.
p. Bersabar
Selera makan anak cepat berubah sehingga jenis makanan yang kemarin
digemari, sekarang bisa saja dihindari. Untuk itu, dituntut kesabaran dari orang
tua.
q. Memberi hadiah
Jika anak dijanjikan akan diberi hadiah jika dapat menghabiskan makanannya, ini
dapat memberi motivasi kepada anak untuk menghabiskan makanannya.

2.3 Anak Prasekolah

Anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga sampai lima tahun. Masa ini terjadi
pertumbuhan dan perkembangan biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial yang
begitu signifikan. Pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak usia
prasekolah dipengaruhi oleh nutrisi, tidur dan aktivitas, kesehatan gigi, pencegahan
cedera dan asuhan keluarga dalam mengasuh anak (Wong, 2009).
Anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga setengah hingga enam tahun, sebelum
anak memulai pendidikan formal di sekolah. Anak prasekolah tidak lagi nampak seperti
bayi, dia belajar bersikap lebih dewasa dan bisa melakukan hal yang menyenangkan bagi
orang-orang dewasa dalam hidupnya ketika dia mendapatkan pengakuan dan pujian atas
karyanya.
Anak pada usia prasekolah biasanya mengalami perkembangan psikis menjadi balita yang
lebih mandiri, autonom, dan dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta dapat lebih
mengekspresikan emosinya. Di samping itu anak usia tersebut juga cenderung senang
bereksplorasi dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan yang khas yang terbentuk ini turut
mempengaruhi pola makan anak. Pada masa ini anak mengalami proses perubahan pola
makan dimana anak pada umumnya mengalami kesulitan untuk makan (Hidayat, 2012).
BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian pada dasarnya merupakan kerangka yang berhubungan
antara konsep-konsep yang diamati dan untuk di ukur melalui penelitian yang akan
dilakukan. Kerangka konsep penelitian pada dasarnya ditujukanpada penelitian yang
telah dirumuskan, serta didasari oleh kerangka teori yang disajikan dalam tinjauan
kepustakaan sebelumnya serta mendukung peneitian yang akan dilakukan. Kerangka
konsep terdiri dari variabel-variabel serta hubungan variabel yang satu dengan
variabel yang lainnya (Notoatmodjo,2012).
Pada penelitian ini variabel independennya adalah periku ibu dalam pemberian
makan dengan variabel dependennya sulit makan anak prasekolah (3-5 tahun).

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Perilaku dalam pemberian Sulit makan pada anak usia


makan prasekolah:

1. Pola Asuh Otoriter  Baik


2. Pola Asuh Permisif  Cukup
3. Pola Asuh Demokratis  Kurang

3.2 Definisi Operasional


1. Variabel Independen
Yang menjadi variabel independen dari penelitian ini adalah perilaku ibu dalam
pemberian makan meliputi pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis.

Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Independen

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
Perilaku Gambaran dalam Kuesioner pola Jumlah skor Nominal
ibu mengasuh anak asuh ibu berisi 18 yang
yang dilakukan pertanyaan dan didapatkan
oleh orang ibu menngunakan salah satu tipe
baik secara skala likert perilaku ibu
lebih
otoriter, dengan alternatif banyak atau
demokratis, dan pilihan jawaban: lebih dominan
permisif terhadap Tidak Pernah dari tipe
perilaku sulit (TP)=1 lainnya, yang
makan anak. Jarang (JR)=2 dikelompokkan
Kadang-kadang menjadi:
(KD)=3 a. Dominan
Sering (SR)=4 pola asuh
Selalu (SL)=5 Otoriter
b. Dominan pola
asuh demokratis
c.Dominan pola
asuh permisif

Nilai maksimum
untuk masing-
masing tipe pola
asuh adalah 30.
Nilai minimum
untuk masing-
masing tipe pola
asuh adalah 6.

2. Variabel Dependen
Yang menjadi variabel dependen dari penelitian ini adalah perilaku sulit makan
anak usia prasekolah.
Tabel 3.2
Definisi Operasional Variabel Dependen

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Perilaku sulit Perilaku anak yang Menggunakan Baik (37- Ordinal
makan anak usia menolak untuk makan, kuisioner 50)
prasekolah hanya makan makanan sebanyak 10 Cukup
tertentu saja, dan pernyataan (24-36)
menghabiskan porsi untuk Kurang
makanan dengan mengetahui
(10-23)
lambat bahkan sering perilaku sulit
tidak menghabiskan makan anak
porsi makan setiap jam dengan
makan menggunakan
skala Likert
positif:
Tidak Pernah
(TP)=1
Jarang (JR)=2
Kadang-kadang
(KD)=3
Sering (SR)=4
Selalu (SL)=5

3.3 Hipotesis
Hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha)
yaitu adanya hubungan antara pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan anak usia
prasekolah (3-5 tahun) di TK Al-Irsyad

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif.
Desain ini mengidentifikasi hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan
pada anak usia prasekolah (3-5 tahun) di TK Al-Irsyad. Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian Cross-Sectional yang pengambilan data
dilakukan sekali dalam suatu periode tertentu, artinya pengamatan dan
pengukuran variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini dilakukan
satu kali saja (Notoatmodjo, 2010).

4.2 Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan objek yang masuk ke dalam kriteria
sesuai dengan apa yang diteliti (Notoadmojo, 2010). Populasi penelitian
ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak usia prasekolah di Al-Irsyad
dan anak usia prasekolah.
2. Sampel
Menurut Notoadmojo (2010) sampel adalah objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi. Adapun kriteria inklusi dan
eksklusi yang akan di uji pada sampel yaitu dimana kriteria inklusi dari
sampel adalah ibu yang mempunyai anak usia prasekolah (3-5 tahun)
yang sulit makan, ibu yang memberi makan anaknya setiap hari, sehat
jasmani dan rohani, dan bersedia menjadi responden.
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
Slovin yaitu:

𝑁
𝑛 = 1 + 𝑁(𝑑2)

Keterangan:

N= besar populasi
n= besar sampel
d= tingkat signifikansi (p), dengan tingkat kesalahan yang dipilih
(d=0,05)

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di TK Al-Irsyad. Alasan memilih tempat ini
adalah adanya populasi yang mencukupi untuk dijadikan sampel. Peneliti juga
telah melakukan survey awal saat jam istrahat sebagian besar anak hanya sibuk
bermain dan sisanya sedang makan bekal yang disediakan oleh ibunya dan
beberapa ibu yang telah diwawancarai menyatakan anaknya mengalami sulit
makan dan juga tempat ini belum pernah dilakukan penelitian.

4.4 Instrumen Penelitian


Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat
pengumpulan data berupa kuesioner. Kuesioner yang terdiri dari 3 bagian yaitu:
kuesioner data demografi, kuesioner pola asuh orangtua, dan kuesioner perilaku
sulit makan.
1. Data Demografi

a. Karakteristik responden (ibu) meliputi: usia, pendidikan terakhir ibu,


pekerjaan ibu, agama, suku, status ibu.
b. Karakteristik anak meliputi: umur, jenis kelamin dan anak keberapa.

Kuesioner ini hanya digunakan untuk melihat distribusi demografi dari


responden saja dan tidak akan dianalisis terhadap hubungan periaku ibu dalam
pemberian makan dengan sulit makan anak.

2. Kuesioner Perilaku Pola Asuh Orang tua

Peneliti menggunakan kuesioner dari penelitian hubungan pola asuh orangtua


dengan tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja di
Kecamatan Banuhampu (2021) yang telah dimodifikasi. Kuesioner pola asuh
orangtua menggunakan skala likert, artinya jawaban responden telah termuat
dalam lima pilihan jawaban. Pilihan yang digunakan yaitu tidak pernah (TP),
jarang (JR), kadang-kadang (KD), sering (SR), dan selalu (SL). Kuesioner berisi
18 pernyataan dimana pola asuh otoriter sebanyak 6 pernyataan, pola asuh
demokratis sebanyak 6 pernyataan, dan pola asuh permisif sebanyak 6
pernyataan. Skor terendah adalah 6 dan skor tertinggi adalah 30, maka jawaban
tidak pernah (TP) nilai 1, jarang (JR) nilai 2, kadang- kadang (KD) nilai 3, sering
(SR) nilai 4, selalu (SL) nilai 5. Jika jumlah skor yang didapatkan salah satu tipe
pola asuh lebih banyak/ dominan dari tipe pola asuh lainnya, maka dapat
dikelompokkan menjadi: dominan pola asuh otoriter, dominan pola asuh
demokratis, dominan pola asuh permisif. Misalnya, skor untuk pola asuh otoriter
adalah 30, skor demokratis 24, dan permisif 20, maka pola asuh responden
adalah dominan otoriter, begitu seterusnya. Tetapi jika jumlah skor untuk ketiga
pola asuh mempunyai skor yang sama maka pola asuh yang diterapkan
responden kepada anaknya lebih dari satu tipe pola asuh.

3. Kuesioner Sulit Makan

Peneliti menggunakan kuesioner yang dibuat oleh Sri Lestari Handayani (2010)
yang telah dimodifikasi. Kuesioner terdiri dari 10 pernyataan. Tiap item
pernyataan dinilai menggunakan jenis skala Likert dengan nilai Tidak Pernah
(TP) nilai 1, Jarang (JR) nilai 2, Kadang-kadang (KD) nilai 3, Sering (SR) nilai
4, Selalu (SL) nilai 5. Hasil ukur dengan menggunakan rentang merupakan nilai
tertinngi dikurangi nilai terendah. Nilai tertinggi adalah 50 dan terendah adalah

10, maka rentangnya adalah 40. Banyak tingkatan perilakunya ada 3 yaitu tinggi
dengan nilai (37-50), sedang (24-36), dan rendah (10-23).

4.5 Uji Validasi dan Uji Rehabilitasi


1. Uji Validasi
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
atau kesahihan suatu instrument (Arikunto, 2013). Uji validitas instrument
bertujuan untuk mengetahui kemampuan instrument untuk mengukur apa
yang diukur (Notoatmodjo, 2010). Kuesioner ini divalidasi dengan
menggunakan validitas isi (Content Validity Index) yang dilakukan oleh
dosen ahli dalam bidang keperawatan anak dan komunitas. Hal ini dilakukan
dengan mengajukan kuesioner dan proposal penelitian kepada penguji
validitas. Ahli diminta untuk mengamati secara cermat semua item dalam tes
yang hendak divalidasi. Kemudian mengoreksi semua item yang telah dibuat.
Pada akhir perbaikan, ahli diminta untuk memberikan pertimbangan
bagaimana tes tersebut menggambarkan cakupan isi yang akan diukur.
Pertimbangan ahli tersebut juga menyangkut apakah semua aspek yang
hendak diukur telah dicakup melalui item pertanyaan dalam tes. Pernyataan
yang tidak valid langsung diganti oleh peneliti berdasarkan saran dari penguji
validitas (Sukardi, 2009). Peneliti telah melakukan perhitungan hasil uji
validitas instrument dengan menggunakan koefisien validitas isi Aiken’s.
Maka didapatkan hasil validitas instrument pola asuh adalah 0,89 dan
perilaku sulit makan anak 0,97. Sehingga instrument yang digunakan dalam
penelitian ini dikatakan valid.

2. Uji Rehabilitasi
Setelah dilakukan uji validitas kemudian dilanjutkan dengan uji reliabilitas.
Uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya dan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten
bila dilakukan dua kali atau lebih dengan menggunakan alat ukur yang sama
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Polit & Beck (2012) suatu instrument dikatakan reliable jika nilai
koefisiennya lebih dari 0,7. Berdasarkan hasil yang diperoleh oleh peneliti
kedua kuesioner memiliki nilai koefisien lebih besar dari 0,7, sehingga
kuesioner tersebut dikatakan reliable.

4.6 Analisis Data


1. Pengolahan Data
Proses pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Editing
Editing adalah kegiatan melakukan pemeriksaan kembali kuesioner yang
telah diisi oleh responden, meliputi kelengkapan isian dan kejelasan
jawaban dan tulisan.
2. Coding
Coding adalah proses merubah data yang berbentuk huruf menjadi data
yang berbentuk angka. Hal utama yang harus dilakukan pada kegiatan ini
adalah memberikan kode untuk jawaban yang diberikan responden
penelitian. Penilaian pola asuh orang dan perilaku sulit makan anak untuk
jawaban “Tidak pernah” diberi kode 1, “Jarang” diberi kode 2, “Kadang-
kadang” diberi kode 3, “Sering” diberi kode 4, dan “Selalu” diberi kode
5.
3. Processing
Processing yaitu memasukkan data ke dalam computer untuk diproses.
4. Cleaning
Cleaning yaitu melakukan pembersihan dan pengecekan kembali data
yang telah dimasukkan. Kegiatan ini diperlukan untuk mengetahui
apakah ada kesalahan ketika memasukkan data.
5. Komputerisasi
Komputerisasi digunakan untuk mengolah data dengan computer.

2. Teknik Analisa Data


Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan
hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan anak. Proses pengolahan
data dilakukan dengan:

1. Analisa Univariat

Tujuan analisa univariat adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan


karakteristik setiap variabel penelitian. Dalam analisis univariat ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini, analisa univariat digunakan untuk
menganalisa karakteristik responden, variablel perilaku ibu dalam pemberian
makan, dan sulit makan anak.

2. Analisa Bivariat

Analisa ini digunakan untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel


independen dan variabel dependen. Peneliti melakukan analisis bivariat yang
bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan perilaku ibu dalam pemberian
makan dengan sulit makan anak usia prasekolah (3-5 tahun) di TK Al-Irsyad.
Penulis menggunakan teknik statistik analisa chi-square dengan nilai
kemaknaan (α = 0,05). Apabila nilai x2 hitung > x2 tabel atau nilai
probabilitas (p) < 0,05, maka Ho ditolak, yaitu ada hubungan antara variabel
bebas dan terikat. Apabila nilai x2 hitung < x2 tabel atau nilai probabilitas (p)
> 0,05, maka Ho diterima, yaitu tidak ada hubungan antara perilaku ibu
dalam pemberian makan dengan sulit makan anak prasekolah (3-5 tahun) di
TK Al-Irsyad.

DAFTAR PUSTAKA

Elfindri, E. Hasnita, Z. Abidin, R. Machmud dan Elmiyasna. 2011.


Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Baduose Media
Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2010).Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta:


Rineka Cipta.

Novi.(2015). Kebiasaan - kebiasaan buruk sehari - hari bahayanya bagi


kesehatan fisik dan mental anak. Yogyakarta: Aash Books.

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2012). Nursing research: Generating and


assesing evidence for nursing practice (9th ed.). Philadelphia:
Lippincott.

Rahman, A. N. (2016).Hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit


makan pada anak prasekolah di Taman Kanak-kanak Al-
Ikhwah Pontianak. Jurnal Keperawatan. Universitas
Tanjungpura.

Rohmasari, A. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi sulit makan pada


balita di Kelurahan Tonatan Kecamatan Ponorogo Kabupaten
Ponorogo. Jurnal Keperawatan. Universitas Muhammadiyah
Ponorogo.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 2.


Jakarta: Penerbit Erlangga.

Setiawati, S. & Dermawan, A. C. (2008).Proses pembelajaran dalam


pendidikan kesehatan. Jakarta: Trans Info Media.

Soedibyo, S. & Mulyani, R. L. (2009).Kesulitan makan pada pasien: survei


di Unit Pediatri Rawat jalan Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo Jakarta. Diunduh pada tanggal 12
November 2017 dari http://saripediatri.idai.or.id/.

Hidayat, A. A. (2012). Pengantar ilmu keperawatan anak 1. Jakarta:


Salemba Medika.

Widiyanti. Faktor-Faktor Perilaku Ibu Balita Yang Berhubungan Dengan


Status Imunisasi Dasar Pada Balita di Desa Cibening
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Tahun 2008. Skripsi.
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia. 2009

Wong, L. Donna. Pedoman Klinis Keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.


2008

Yuliana. Pengaruh Gizi, Pengasuhan, Lingkungan terhadap Pertumbuhan


dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah. Tesis. Bogor:
Sekolah Pascasarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB . 2004

Yunitasari, Winda. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu


tentang Gizi Seimbang terhadap Status Gizi Balita Usia 3-4
Tahun di Posyandu RW 21 Kelurahan Mekar Jaya Kecamatan
Sukmajaya Depok. Skripsi. UPN. 2011

Yupi Supartini, S.Kp, MSc. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak.
EGC: Jakarta, 2004

Anda mungkin juga menyukai