Anda di halaman 1dari 18

SERTIFIKASI HALAL

DALAM INDUSTRI
MAKANAN
Disusun Oleh: Nonis Aprillianti
Nim : 2109060035
PART 01

Latar Belakang
1. Indonesia adalah negara dengan penduduk penduduk
Muslim terbesar dunia. Berdasarkan data Global Religious
Futures (“Countries by Religion )
2. Perkembangan zaman yang terjadi ikut mempengaruhi
sektor makanan dan konsumsi publik
3. Gaya hidup halal dan thayibban mulai menjadi tren di
dunia seiring perkembangan industri halal global serta
peningkatan kesadaran masyarakat akan kesehatan.
Kehalalan kini tidak sekadar terkait budaya atau agama,
akan tetapi sudah menjadi bagian dari perluasan
segmentasi pasar internasional.
4. Melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2013 tentang
Jaminan Produk Halal (JPH), negara mewajibkan setiap
pelaku usaha untuk memproduksi dan mengedarkan
produk halal atau mencantumkan secara tegas keterangan
tidak halal pada kemasan produk apabila menggunakan
bahan yang diharamkan.
5. Kepemilikan sertifikasi halal oleh pelaku usaha
dapat mendorong peningkatan kepercayaan
konsumen dan menambah nilai suatu produk.
Sertifikasi halal juga dapat mendorong
peningkatan daya saing pelaku usaha dalam
menjangkau pangsa pasar yang lebih luas baik
domestik maupun internasional.
6. Sertifikat halal merupakan pengakuan
kehalalan suatu produk yang diterbitkan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).
Sedangkan label halal adalah tanda kehalalan
suatu produk. Sebelumnya, pengurusan sertifikat
halal dilakukan di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun sejak 17 Oktober 2019, pengurusan
sertifikat halal dilakukan di BPJPH Kemenag.
LANDASAN HUKUM DAN RUJUAKAN
SYARI'AH
Al-Qur'an
LANDASAN HUKUM:
1. UU NO 33 TAHUN 2014
HADIST
2. PP NO 31 TAHUN 2019
3. PMA NO 26 TAHUN 2019
4. KMA 982 TAHUN 2109 FATWA MUI
UU NO 33 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
Produk yang masuk, beredar, diperdagangkan di Indonesia wajib bersertikasi Halal

Makanan, minuman, 01
obat, kosmetik, 02
produk kimiawi,
produk kimiawi, Barang gunaan
produk biologi, yang di pakai,
produk rekayasa
genetik 04 digunakan atau
03 dimanfaatkan
oleh masyarakat
PART 02
ALUR LAYANAN
SERTIFIKASINYA
HALAL
Ada tiga aktor yang diatur dalam UU No 33 tahun 2014, terlibat dalam proses Sertifikasi
Halal, yaitu BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal atau LPH, dan MUI.

1. BPJPH misalnya, memiliki tugas menetapkan aturan/regulasi, menerima dan


memverifikasi pengajuan produk yang akan disertifikasi halal dari Pelaku Usaha (pemilik
produk), dan menerbitkan sertifikat halal beserta label halal.

2. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), bertugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian


kehalalan produk yang diajukan untuk sertifikasi halalnya. Pemeriksaan ini dilakukan oleh
auditor halal yang dimiliki oleh LPH.

3. Yang berperan dalam proses sertifikasi halal adalah MUI. MUI berwenang menetapkan
kehalalan produk melalui sidang fatwa halal. Ketetapan halal ini, baik yang terkait dengan
standar maupun kehalalan produk.

"Sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH didasarkan atas ketetapan halal MUI,”
PART 03

LAYANAN SERTIFIKASI
HALAL
SELF DECLARE
Sesuai aturan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal, pada 17 Oktober 2024 mendatang akan
diterapkan kewajiban sertifikasi halal untuk tiga jenis produk,
salah satunya makan dan minuman.
Untuk mendukung hal tersebut, Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag)
membuka pendaftaran Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) 2023
untuk 1 juta kuota bagi pelaku usaha mikro kecil (UMK).
Self Declare adalah pernyataan status halal produk usaha mikro
dan kecil oleh pelaku usaha itu sendiri. Self Declare itu sendiri
tidak serta merta pelaku usaha dapat menyatakan produknya
halal, namun tetap ada mekanisme yang mengaturnya.
Adapun persyaratan Sertifikasi Halal Gratis ini, sesuai Keputusan Kepala
BPJPH nomor 150 tahun 2022, sebagai berikut:
1. produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan
kehalalannya;
2. proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana;
3. memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);
4. memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp500 juta yang
dibuktikan dengan pernyataan mandiri;
5. memiliki lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) yang terpisah
dengan lokasi, tempat dan alat proses produk tidak halal;
6. memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT),
Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan/minuman
dengan daya simpan kurang dari 7 (tujuh) hari, atau izin industri lainnya atas
produk yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait;
Lanjutan
7. produk yang dihasilkan berupa barang sebagaimana rincian jenis produk dalam lampiran keputusan ini;
8. bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya;
9. tidak menggunakan bahan berbahaya;
10. telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal;
11. jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil
sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang sudah
bersertifikat halal;
12. menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual
dan/atau semi otomatis (usaha rumahan bukan usaha pabrik);
13. proses pengawetan produk sederhana dan tidak menggunakan kombinasi lebih dari satu metode
pengawetan;
14. bersedia melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme pernyataan mandiri
secara online melalui SIHALAL
Masa penahapan pertama kewajiban sertifikasi halal yang telah
dimulai sejak 17 Oktober 2019 akan berakhir pada 17 Oktober
2024. Berdasarkan Pasal 140 PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, terdapat tiga
kelompok produk yang wajib bersertifikasi halal paling lambat di
akhir masa penahapan pertama tersebut yaitu produk makanan
dan minuman, bahan tambahan pangan dan bahan penolong
untuk produk makanan dan minuman, serta hasil sembelihan dan
jasa penyembelihan.
CONTOH
BENTUK
SERTIFIKAT
HALAL
Logo halal

Bentuk
Sertifikat:
THANK YOU
MWEHEHE

Anda mungkin juga menyukai