Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH AGAMA

“HUBUNGAN OBAT-OBATAN MEDIS

DENGAN LABEL HALAL MUI”

Disusun Oleh:

Diah Mita Widiani (191141017)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bahaya keamanan obat-obatan yang termasuk kategori berbahaya “yang haram dan atau
yang meragukan” efek yang ditimbulkannya memang tidak tampak sebagaimana efek dari
cemaran kimia, fisik, dan mikrobiologi yang langsung berimplikasi pada masalah kesehatan.
Bahaya atas kategori halal ini berimplikasi pada ketenangan jiwa konsumen muslim dan sekali
tercemar maka tidak dapat dielakan efek kerugiannya cukup besar baik financial maupun
kepercayaan konsumen terhadap produk tersebut.

Masyarakat Indonesia 90% nya adalah muslim. Karenanya keamanan itu bagi 90%
masyarakat Indonesia harus terpenuhi. Sertifikasi halal pada produk makanan yang menjadi
konsumsi masyarakat, merupakan salah satu upaya perlindungan pemerintah terhadap
masyarakat secara umum.

Dengan adanya sertifikasi halal pada produk obat-obatan yang menjadi konsumsi
masyarakat, merupakan salah satu upaya perlindungan pemerintah terhadap 90% masyarakat
konsumen muslim, namun selain dilihat dari sudut keyakinan masyarakat, labelisasi atas produk
obat yang beredar di masyarakat dapat menunjukkan bahwa obat tersebut juga layak digunakan
baik oleh kaum muslim maupun non-muslim.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu labelisasi?

2. Kenapa obat-obatan medis tidak diberi label halal MUI?

3. Apa hambatan labelisasi obat-obatan di Indonesia?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan khusus

1. Labelisasi pada produk obat diharapkan dapat menurunkan peredaran obat palsu yang
tidak layak dikonsumsi.

1.3.2 Tujuan umum

1. mengetahui tentang labelisasi

2. mengetahui kenapa obat-obatan medis tidak diberi label halal MUI

3. mengetahui hambatan labelisasi obat-obatan di Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Labelisasi

Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk
sesuai dengan syariat islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label
halal. Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan produk
yang diproduksinya, dan sertifikat halal ini dapat dipindahtangankan. Setiap orang yang
memproduksi suatu produk untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam
dan atau dikemasan dan label tersebut memuat sekurang-kurangya informasi mengenai nama
produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama, dan alamat pihak
yang memproduksi, keterangan tentang halal dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa (pasal
30 UU pangan No.7 tahun 1996 tentang label dan iklan pangan).

Produk halal yaitu produk yang memenuhi syariat kehalalan sesuai dengan syariat islam
yaitu:

a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi


b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal
dari organ manusia, darah, kotor-kotoran dan lain sebagainya.
c. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembilih menurut tata cara syariat
Islam.
d. Semua tempat penyimapanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi
atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata
cara yang diatur dalam syariat Islam.
e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

Dengan perkembangan teknologi dan era globalisasi, produk-produk olahan, baik


makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika dikategorikan ke dalam kelompok
musytabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya
mayoritas non muslim, walaupun bahan dan produknya barang suci dan halal. Sebab dalam
proses pengolahannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram atau tidak
suci.

Sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI sejak tahun 1994 diberikan setelah produk
tersebut mengalami pemeriksaan yang seksama oleh LPPOM dan disidangkan dalam Komisi
Fatwa MUI. Sertifikat ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal. Kenyataan
yang ada di lapangan, bahwa sertifikasi halal ini dapat dikeluarkan apabila ada permintaan
dan kerelaan produsen untuk diperiksa proses produksinya.
Proses sertifikasi halal:

1. Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya, harus mengisi formulir
yang telah disediakan dengan melampirkan:

a. spesifikasi dan sertifikasi halal bahan baku, bahan tambahan dan penolong serta
bagian alir proses.
b. Sertifikasi halal atau surat keterangan halal dari MUI daerah (produk lokal) atau
sertifikat halal dari lembaga islam yang telah diakui MUI (produk impor) untuk
bahan dari hewan dan turunannya.
c. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku
pelaksanaannya.
2. Tim Auditor LP-POM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen setelah
formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LP-POM MUI dan diperiksa
kelengkapannya.
3. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LP-
POM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk
diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan kehalalannya.
4. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum
memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.
5. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status
kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
6. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal, harus mengangkat Auditor
Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal. Jika kemudian ada perubahan
dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses
produksinya, editor Halal Internal diwajibkan segera melaporkan untuk
mendapatkan ”ketidak beratan penggunaannya”. Bila ada perusahaan yang terkait dengan
produk halal harus dikonsultasikan dengan LP-POM MUI oleh Auditor Halal Internal.

Tata cara pemeriksaan (audit) di lokasi produsen (perusahaan):


1. Surat resmi akan dikirim oleh LP-POM MUI ke perusahaan yang akan diperiksa, yang
memuat jadwal audit pemeriksaan dan persyaratan administrasi lainnya.
2. LP-POM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi:
i. Nama Ketua tim dan anggota tim.
ii. Penetapan hari dan tanggal pemeriksaan.
3. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat tugas
dan indentitas diri, akan mengadakan pemeriksaan (auditing) ke perusahaan yang
mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen
diminta bantuannya untuk memberikan informasi yang jujur dan jelas.
4. Pemeriksaan (audit) produk halal mencakup:
i. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk.
ii. Observasi lapangan.
iii. Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi atau
turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu.

Masa berlaku sertifikat halal:


1. Sertifikat Halal hanya berlaku selama dua tahun, untuk daging yang diekspor Surat
Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan.
2. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LP-POM MUI akan
mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang bersangkutan.
3. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar
kembali untuk Sertifikat Halal yang baru.
4. Produsen yang tidak memperbaharui Sertifikat Halalnya, tidak dizinkan lagi
menggunakan Sertifikat Halal tersebut dan dihapus dari daftar yang terdapat dalam
majalah resmi LP-POM MUI, Jurnal Halal.
5. Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LP-POM
MUI.
6. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika
karena sesuatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib
menyerahkannya.
7. Keputusan MUI yang didasarkan atas fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.

Sistem pengawasan:
1. Perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Sidak LP-POM
MUI.
2. Perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap 6 ( enam ) bulan
setelah terbitnya Sertifikat Halal.

Prosedur perpanjangan sertifikat halal:


a. Produsen yang bermaksud memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus mengisi
formulir pendaftaran yang telah tersedia.
b. . Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk.
c. Perubahan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, serta jenis pengelompokan
produk harus diinformasikan kepada LP-POM MUI.
d. Produsen berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi, sertifikat
halal, dan bahan alir proses.
2.2 Obat-Obatan Medis Tidak Diberi Label Halal MUI

Perkembangan era globalisasi membawa dampak ke dalam kehidupan manusia yang ada
di bumi tercinta ini. Gaya hidup “Modern” dengan kemajuan ilmu dan teknologi apakah
telah membawa kita lupa akan nilai-nilai agama yang harus dijaga. Indonesia dengan 90%
masyarakat muslim seharusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintah dalam membuat
kebijakan yang terkait dengan masalah pangan dan obat-obatan. Sebagai agama yang
diyakini tentu saja hal ini harus tetap menjadi dasar bagi umatnya dalam berperilaku.

Bagi umat islam pentingnya pemerintah untuk membuat kebijakan tentang wajibnya
labelisasi halal pada pangan dan obat-obatan tidaklah dipandang berlebihan. Sebab bagi umat
islam, kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsi atau dipakai mutlak harus
diperhatikan, karena hal tersebut sangat menentukan diterima atau ditolaknya amal ibadah
kita oleh Allah SWT kelak di akhirat. Jika apa yang kita konsumsi atau kita gunakan itu suci
dan halal, amal ibadah kita diterima oleh Allah. Sebaliknya, jika haram atau tidak suci, amal
ibadah kita pasti ditolak-Nya, selain itu kita pun dipandang telah berbuat dosa.

Kebersihan, kesucian, dan baik atau buruk suatu pangan dan produk lainnya termasuk
kosmetik dan obat yang digunakan orang islam senantiasa terkait dengan hukum halal atau
haram. Oleh karena itu, umat islam perlu mengetahui informasi yang jelas tentang halal dan
haram pangan dan produk lainnya seperti makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan dan
barang lainnya.

Permasalahan yang ada saat ini adalah apakah masyarakat mengetahui mana yang halal
dan mana yang haram. Sebab, kini dengan kemajuan IPTEK yang luar biasa pada pengolahan
pangan, obat-obatan dan kosmetika, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa untuk
mengetahui kehalalan dan kesucian hal-hal tersebut bukanlah persoalan yang mudah.
Mengingat untuk mengetahuinya diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam tentang
IPTEK di bidang pangan, obat-obatan dan kosmetika, selain itu juga pengetahuan-
pengetahuan tentang kaidah-kaidah hukum islam. Hal ini sesuai dengan hadist nabi, yang
artinya:

“yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun sudah jelas, dan diantara kedua hal tersebut
terdapat yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan
manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa yang berhati-hati dari perkara syuhbat,
sebenarnya ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya… “(H.R. Muslim)
Masyarakat muslim Indonesia mulai menyadari bahwa banyak pangan dan produk
lainnya yang diragukan kehalalannya karena mereka tidak menemukan petunjuk yang
menandakan bahwa pangan dan produk lainnya itu halal dikonsumsi dan digunakan.

Banyak umat bertanya, bagaimana kami tahu bahwa suatu makanan itu halal atau tidak
kalu tidak ada label.? Dalam hal ini MUI memang tidak berdaya, sebab masalah label adalah
haknya pemerintah. MUI akan mendukung labelisasi melalui sertifikasi yang dikeluarkan
oleh LP-POM. Pada tahun 1996 setelah mengalami diskusi yang panjang maka dapatlah
dicapai kerjasama antara Depkes-Depag-MUI tentang labelisasi halal. Hingga saat ini,
piagam kerja sama tersebut menjadi landasan tindak bagi pihak terkait dalam melaksanakan
sertifikasi dan labelisasi. Pemerintah sertifikat dan label halal dilakukan melalui satu pintu
pemeriksaan dilakukan oleh tim gabungan Depkes-Depag-MUI, kemudian disidangkan oleh
tenaga ahli MUI dan akhirnya kehalalan ditentukan oleh komisi fatwa MUI yang dikeluarkan
sebagai sertifikat halal.

Sebagai masyarakat, harapan akan perlindungan sebagai konsumen dilakukan tidak


setengah-setengah, kerjasama antara DEPKES-DEPAG-MUI tentang labelisasi halal,
diharapkan menjadi titik awal peran pemerintah untuk melihat sisi kebutuhan batin
masyarakat mayoritas atas kenyamanan produk yang dikonsumsi. Selain itu diharapkan
pemerintah dapat memberikan kewenangan yang luas bagi lembaga masyarakat, dalam hal
ini MUI sebagai lembaga yang mengawasi produk yang beredar di masyarakat.

Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005
menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang meminta pencantuman tanda halal.
Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal
selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Dengan
semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan dan obat-obatan
diolah menjadi berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dilempar untuk
dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk bahan pangan serta obat-
obatan tidak menerapkan sistem sertifikasi halal.

Data Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM MUI) menunjukkan belum ada satupun obat yang beredar di Indonesia memiliki
sertifikat halal.

Sebagai sebuah lembaga di bawah MUI, dalam melaksanakan proses sertifikasi halal, LP-
POM-MUI menggunakan prosedur baku sebagai panduan pelaksanaan, yang kemudian
dituangkan dalam bentuk SOP (Standard Operation Procedure). Panduan ini senantiasa
dikembangkan dan terus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan maupun perkembangan ilmu
dan teknologi.
2.3 Hambatan Labelisasi Obat-Obatan di Indonesia

Latar belakang permasalahan yang perlu didudukkan dalam kerangka pembaharuan


pengaturan mengenai jaminan produk halal, adalah:

1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk


halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat islam
terhadap pangan dan produk lainnya. Keadaan demikian menjadikan umat islam
menemui kesulitan dalam membedakan mana yang halal dan mana yang haram,
menimbulkan keraguan lahir dan ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi dan
menggunakan produk pangan maupun obat-obatan.
2. Tidak adanya kepastian hukum mengenai instituisi mana di dalam sistem tata Negara
dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi atau lembaga penjamin halal
terhadap pangan dan produk lainnya.
3. Produksi dan peredaran produk sulit dikontrol sebagai akibat meningkatnya teknologi
pangan, rekayasa genetic, iradiasi, dan bioteknologi.
4. Sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar
halal nasional) yang ditetapkan pemerintah seperti halnya sistem yang dipraktekkan
di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan
label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan
label halal.
5. Sistem informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan
masyarakat belum sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-
produk yang halal.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pentingnya labelisasi obat di masyarakat. Halal dan haram bukanlah persoalan sederhana
yang dapat diabaikan, melainkan masalah yang amat penting dan mendapat perhatian besar
dalam ajaran agama islam. Karena masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama
manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Allah SWT, seorang muslim tidak dibenarkan
mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya.

3.2 Saran

Seharusnya dalam rangka menunjang pengembangan produk halal diperlukan sosialisasi


dan pengawasan, untuk itu perlu dibentuk kelompok kerja pangan halal yang diharapkan dapat
dikoordinasikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Girindra A., Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal: LP POM MUI, Jakarta, 2005
2. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI, Pedoman untuk
Memperoleh Sertifikat Halal, Jakarta, 2002
3. Jurnal LPPOM-MUI Halal, Plasenta Dalam Kosmetika, Jakarta, 2005
4. Lembaga Pengkajian pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI, Sistem Jaminan Halal,
Jakarta, 2005
5. UU RI, Nomor 8 tahun 1999, Perlindungan Konsumen
6. UU RI Nomor 7 tahun 1996, Pangan
7. PP RI, Nomor 69 tahun 1999, Label dan Iklan Pangan

Anda mungkin juga menyukai