Anda di halaman 1dari 8

MANAJEMEN PRODUK HALAL

Dosen Pengampu :
Dr. Lucky Enggrani Fitri, S.E., M.Si.
Heni Pratiwi, S.E., M.A.

Disusun oleh :

Maharani Putri

C1F020017

R-010

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JAMBI
2022
Panduan Halal

Berkembangnya usaha berlabel halal saat ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi usaha mikro
kecil menengah(UMKM). Label halal diyakini mampu menjadi daya tarik bagi konsumen khususnya umat
muslim. Namun, tidak semua produk UMKM mampu mengantongi sertifikat halal karena harus melalui
uji laboratorium yang tidak mudah dan terjangkau. Aspek pengembangan sektor usaha mikro kecil
menengah (UMKM) pun bukan hanya sebatas memberikan fasilitas permodalan saja. Masalah
manajemen produksi, pemasaran hingga daya saing juga menjadi kelemahan mereka dalam
mengembangkan usaha. Berkembangnya usaha berlabel halal saat ini juga menjadi tantangan tersendiri
bagi UMKM, sehingga label halal menjadi kajian yang menarik untuk dibahas.

Selama ini kesadaran atas konsumsi makanan dan minuman yang halal belum tertanam kuat di
tengah-tengah masyarakat, baik dari kalangan produsen, penjual ataupun konsumen. Namun syu’ur
(perasaan) keislaman masih sangat terasa dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini tampak dalam
rutinitas keseharian masyarakat yang masih memperhatikan aturan Islam baik dalam hal ibadah ataupun
muamalah

Di Indonesia, pemerintah melimpahkan wewenang (otorisasi) pengawasan kehalalan dan


keharaman makanan dan obat serta kosmetik ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM). Dalam pelaksanaan kewajiban pengawasan
peredaran makanan dan minuman yang halal, LPPOM MUI membuat kebijakan menerbitkan Sertifikasi
Halal.

Sertifikasi halal sendiri merupakan proses memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahapan
untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi, serta sistem jaminan halal sebuah produk telah
memenuhi standar LPPOM MUI (Akim et al., 2018). Dalam kebijakan Sertifikasi Halal ini, LPPOM MUI
bertindak sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menyatakan kehalalan atau keharaman dengan
mekanisme dan ketentuan standar pemeriksaan yang telah ditetapkan. Masyarakat luas, utamanya
industri yang memproduksi makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik diharapkan pro aktif
mengajukan permohonan peninjauan atas kehalalan produk yang dihasilkan.

Untuk menjalankan model Sertifikasi Halal LPPOM MUI ini maka diperlukan sosialisasi dan
penyadaran yang cukup gencar tentang arti pentingnya ‘label halal’ baik ke produsen, penjual maupun
konsumen. Karena jumlah masyarat muslim yang sangat banyak (baik jumlah maupun sebaran) dan
variasi dan jumlah produk makanan dan minuman yang beredar di tengah masyarakat juga cukup
banyak meliputi cakupan jangkauan wilayah yang luas maka dibutuhkan peran serta sosialisasi dengan
melibatkan banyak pihak dan pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi.

Sebelum produsen mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, maka terlebih dahulu
disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Produsen menyiapkan suatu Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System).


2. Sistem Jaminan Halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan
bagian dari kebijakan manajemen perusahaan.
3. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal.
Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang
dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam
melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.
4. Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Procedure) untuk
mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin.

5. Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan
dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran ; dari mulai direksi sampai karyawan
memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik.

6. Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah sistem
jaminan Halal yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaiman mestinya.

7. Untuk melaksanakan butir 6, perusahaan harus mengangkat minimum seorang Auditor Halal
Internal yang beragama

Proses Sertifikasi Halal dilaksanakan sebagai berikut :

1. Setiap produsen yang mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi formulir
yang telah disediakan dengan melampirkan : a) Spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan
tambahan dan bahan penolong serta bagan alir proses; b) Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal
dari MUI Daerah (produk lokal) atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI
(produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya; c) Sistem Jaminan Halal yang
diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya.

2. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen setelah formulir
beserta lampiranlampirannya dikembalikan ke LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya.

3. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM
MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang
Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.

4. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi
semua persyaratan yang telah ditentukan.

5. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setalah ditetapkanstatus


kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.

6. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal, harus mengangkat Auditor Halal
Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal. Jika kemudian ada prubahan dalam penggunaan
bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, Auditor Halal Internal
diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketikberatan penggunaannya”. Bila ada perubahaan
yang terkait dengan

Pengawasan atas produk halal yang beredar di masyarakat tidak bisa dilakukan hanya oleh satu
pihak, dalam hal ini LPPOM MUI selaku pemegang tunggal badan yang berhak mengeluarkan Sertifikat
Halal. Tetapi juga harus melibatkan seluruh pihak yang terkait, mulai dari produsen, penjual dan
distributor serta konsumen akhir produk. Institusi perguruan tinggi juga dituntut untuk dapat terlibat
dalam upaya penyadaran produk halal dan sertifikasi halal tersebut ke pemangku kepentingan melalui
program pengabdian masyarakat. Pelatihan diawali dengan sasaran produsen atau UMKM dan jejaring
distributor produksinya untuk memastikan pemahaman atas produk halal dan sertifikasi halal. Dalam
tahap ini, tim pengabdian masyarakat akan bekerja sama dengan LPPOM MUI Kabupaten Pangandaran.
Setelah mengetahui arti penting dan berbagai prosedur atau persyaratan dalam pengajuan sertifikasi
halal, diharapkan produsen dan UMKM di wilayah Kabupaten Pangandaran dapat segera mengajukan
Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI. Untuk itu, tim pengabdian masyarakat juga akan melakukan
pendampingan atas upaya pengajuan Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI. Masyarakat selaku konsumen juga
memiliki kepentingan atas kepastian informasi produk halal yang beredar. Selain itu, masyarakat juga
dapat berperan sebagai pengawas produkproduk yang diduga tidak halal atau diragukan kehalalannya
dengan melaporkan setiap produk tersebut kepada pihak berwenang. Kesadaran akan arti penting
produk halal tersebut dapat ditumbuhkan melalui pelatihan tentang cara pengenalan produk halal dan
sertifikasi halal.

Halal Supply Chain

Produk halal dapat dijamin kehalalan produk tersebut apabila memiliki setifikat halal. Sertifikat
halal didapatkan apabila UMKM mengajukan sertifikasi halal dan memenuhi syaratsyarat yang sudah
ditetapkan. Sertifikasi halal adalah proses yang harus dilalui untuk mendapatkan sertifikat halal (Giyanti
et al., 2019). Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau
LPPOM MUI pada awalnya menjadi lembaga resmi yang mengeluarkan sertifikat produk halal di
Indonesia.

Namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH)
dijelaskan bahwa penyelenggara JPH adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bekerja
sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan MUI sebagai penerbit fatwa halal (Permata, 2018).
Meskipun belum terealisasi secara penuh, proses formal pemeriksaan dan pengeluaran sertifikat halal
menjadi wewenang negara melalui BPJPH yang merupakan lembaga negara (Permata, 2018).

Sertifikat halal yang dimiliki tidak serta merta menimbulkan dampak yang terlihat pada profit
UMKM. Penelitian Giyanti & Indriastiningsih (2019a) menunjukkan bahwa profit UMKM sebelum dan
sesudah memiliki sertifikat halal, tidak memiliki perbedaan yang signifikan sehingga perlu dianalisis
bagaimana cara mengoptimalkan penerapan dari sertifikasi halal untuk meningkatkan profit UMKM.
Penelitian ini akan menganalisis halal supply chain management untuk merumuskan bagaimana cara
mengoptimalkan penerapan sertifikasi halal untuk meningkatkan profit UMKM.

Penting bagi UMKM halal untuk menyadari dan mengetahui faktor-faktor yang terlibat dalam
rantai pasok makanan halal (halal food supply chain) yang berperan penting melindungi jaminan halal
dalam produksi makanan (the halal integrity of the food products) (Tieman, 2011; Zulfakar et al., 2014).

Kebijakan halal (halal policy) menjadi landasan dasar dalam penerapan halal. Komitmen top
management dalam melaksanakan halal menentukan sukses atau tidak penerapan halal yang dilakukan
UMKM halal tersebut (Ahmad et al., 2016; Din & Daud, 2014; Jais, 2016; Khan et al., 2018; Talib et al.,
2014; Zulfakar et al., 2014). Top management yang memiliki komitmen yang kuat akan mendorong
organisasi di dalam UMKM tersebut untuk menerapkan kebijakan halal sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan (Khan et al., 2018). Penerapan kebijakan halal akan memberikan standar yang jelas bagi
UMKM mulai dari bahan mentah hingga produk jadi.
Kontrol Logistik (Logistics Control) Standar yang ada dalam kebijakan halal menjadikan rantai
pasok untuk UMKM menjadi jelas. Pemisahan bahan baku halal dan non-halal menjadi penting untuk
diperhatikan, jika tidak dipisahkan akan menyebabkan kontaminasi bahan baku halal (Din & Daud,
2014). Hubungan kerja antara UMKM halal dan supplier merupakan hubungan yang saling bergantung
dan saling menguntungkan sehingga hubungan yang baik akan meningkatkan kemampuan UMKM halal
dan supplier dalam menghasilkan produk halal yang berkualitas dan bernilai (Din & Daud, 2014). Selain
itu, kontunuitas dalam pemenuhan bahan baku dapat berjalan dengan lancar. Hubungan kerja yang baik
dengan pemasok bahan baku dapat menjadi strategi untuk pemenuhan bahan baku secara kontinu
(Akbarizan et al., 2018). Hal tersebut akan berdampak pada waktu proses untuk distribusi dan
pemesanan bahan baku lebih efisien.

Supply Chain Resources Manusia menjadi faktor penting dalam melaksanakan kebijakan halal.
Maka dari itu pelatihan terhadap karyawan mengenai penerapan kebijakan dan prosedur halal harus
dilakukan. Selain menjaga komitmen UMKM halal dalam menerapkan kebijakan halal, pelatihan dapat
meningkatkan keahlian karyawan (Din & Daud, 2014; Khan et al., 2018; Nor et al., 2016; Talib et al.,
2014). Karyawan yang terlatih akan memiliki tingkat produktivitas yang lebih baik daripada karyawan
yang tidak menerima pelatihan. Pelatihan juga dapat mengurangi biaya proses yang timbul karena
karyawan melakukan kesalahan sehingga terjadi ketidaksesuaian produk ataupun pengulangan proses
produksi.

Supply Chain Business Processes (Proses Bisnis SC) UMKM halal tidak mengalami peningkatan
profit setelah melakukan sertifikasi karena pencatatan keuangan yang kurang jelas dan Standar
Operational Procedure (SOP) yang tidak jelas. Padahal dalam suatu proses bisnis pencatatan keuangan
serta SOP menjadi hal yang penting. Namun pada praktiknya, masih banyak UMKM yang tidak
melakukan pencatatan keuangan dan tidak memiliki SOP. Pencatatan keuangan akan memberikan
informasi yang jelas mengenai alur keuangan UMKM halal sehingga kecil kemungkinan terjadi salah
perhitungan. SOP akan membantu UMKM halal melakukan proses bisnis (Adisatriyo et al., 2019). SOP
dapat mengurangi tingkat kesalahan yang terjadi dan mengefisiensikan waktu proses. UMKM halal
dapat menggunakan platform bisnis untuk meningkatkan efisiensi dalam proses bisnis UMKM halal.
Platform bisnis tersebut terdiri dari sistem perencanaan sumberdaya perusahaan, ecommerce, serta
data analisis dan virtualisasi merupakan implemantasi proses bisnis secara fungsional (Hassan et al.,
2017).

Struktur Jaringan Supply Chain Struktur jaringan untuk stakeholder seperti pemasok,
manufaktur, distributor, retailer, dan konsumen juga harus menjadi perhatian UMKM halal (Tieman et
al., 2012). Struktur jaringan yang baik dapat mengoptimalkan proses yang terjadi sehingga akan
berdampak pada peningkatan profit yang didapat. Membangun struktur jaringan yang baik dapat
membantu UMKM halal memasarkan produk. Melakukan kerja sama dengan pihak lain seperti supplier,
manufaktur, distributor, dan retail dengan strategi rantai pasok yang handal akan membantu UMKM
halal dalam memenuhi kepuasan pelanggan (Akbarizan et al., 2018). Kepuasan konsumen akan
berdampak pada peningkatan penjualan. Penjualan yang meningkat tentu akan berbanding lurus
dengan profit yang akan didapat.

Penelitian ini disimpulkan bahwa UMKM halal dapat meningkatkan profit usaha dengan
melakukan beberapa cara sebagai berikut: • Komitmen top management dalam penerapan kebijakan
halal • Kontinuitas pemenuhan bahan baku • Membangun hubungan kerja (perjanjian kerja sama)
dengan pemasok bahan baku • Pelatihan untuk karyawan mengenai penerapan kebijakan halal • SOP
dan pencatatan keuangan yang jelas • Membangun struktur jaringan yang baik untuk pihak yang
terlibat. Model halal supply chain management (SCM) ini masih konseptual. Penelitian lanjutan dapat
mengembangkan model halal SCM ini secara empiris.

Halal Value Chain

Bagi konsumen Muslim, makanan halal merupakan produk dengan sertifikasi halal ditandai
dengan lambang halal pada kemasan. Perkembangan makanan dan minuman halal terus mengalami
peningkatan seiring dengan pertumbuhan populasi muslim. Penelitian ini bertujuan untuk
mengumpulkan dan menganalisa jurnal yang berhubungan dengan value chain dan perspektif kesadaran
masyarakat terhadap makanan halal. Metode penelitian bersifat kualitatif. Hasil penelitian bahwa
kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi makanan dan minuman halal dapat mendorong Halal
Value Chain (HVC). Saran untuk dilakukan riset mendalam berhubungan dengan faktor pendorong dan
penghambat halal value chain di daerah.

Value chain atau biasa dikenal dengan rantai nilai adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
suatu perusahaan untuk menghasilkan produk atau jasa (Porter, 1985). Apabila dihubungkan dengan
industri, maka rantai nilai makanan memainkan aspek penting untuk mengubah komoditas pertanian
menjadi produk akhir untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Pengembangan industri makanan dan minuman halal dimulai dari menjaga nilai kehalalan
produk dari hulu ke hilir. Suatu produk harus terjaga kehalalannya mulai bahan baku hingga produk jadi
yang siap konsumsi. Manajemen Penanganan produk harus berbeda dan terpisahkan antara yang halal
dengan tidak halal.

Strategi value chain menginginkan adanya integrasi dari input, produksi, distribusi, pemasaran,
dan komsumsi hasil akhir produk. Kesemuanya harus menunjukkan nilai syariah tidak boleh bercampur
dengan makanan tidak halal. Dalam hal pembiayaanpun harus menggunakan keuangan syariah.
Asuransinya juga syariah untuk meminimalisasi risiko usaha.

Dalam proses penerbitan sertifikasi halal, setidaknya akan ada tiga komponen yang bekerja di
dalamnya yaitu BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Indonesia
telah memiliki panduan sertifikasi halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia yaitu
Requirements of Halal Certification HAS 23000 (Policies, Procedures and Criteria).

Pangsa pasar produk halal sangat luas. Namun saat ini, Perbedaan dalam standardisasi dan
sertifikasi produk halal di setiap negara menjadi hambatan industri makanan halal Indonesia untuk
menembus pasar internasional. Oleh sebab itu, harus ada upaya pengembangan pangsa pasar agar
Indonesia bukan hanya menjadi target pangsa pasar konsumsi makanan halal terbesar, namun dapat
menjadi produsen makanan halal terbesar dengan berbagai potensi yang dimilikinya.

Dalam Masterplan ekonomi Syariah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2019-2024,
setidaknya ada lima program unggulan memperkuat halal value chain, yaitu : 1. Membangun kawasan
industri halal dan halal hub di berbagai daerah sesuai dengan comparative advantage masing-masing
daerah unggulan. 2. Memperkuat infrastruktur untuk meningkatkan efektivitas dan standarisasi proses
sertifikasi halal di Indonesia (Halal Center, Lembaga Penjamin Halal, perwakilan BPJPH, Sistem Informasi
Halal, dll) 3. Meningkatkan jangkauan (outreach) melalui sosialisasi/edukasi publik halal lifestyle 4.
Program Insentif bagi lokal dan global player untuk berinvestasi dalam mendukung perkembangan HVC
secara komprehensif (mulai dari bahan baku, produksi, distribusi dan promosi) 5. Memperkuat kerja
sama dan pengakuan internasional untuk memperluas pasar produk halal Indonesia, diantaranya
melalui standardisasi dan harmonisasi dengan dibentuknya international halal center di Indonesia.
(Bappenas, 2019).
DAFTAR PUSTAKA

https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+panduan+halal&btnG=#d=gs_qabs&t=1664153679023&u=%23p
%3DI25Mw0FfLEEJ

https://jurnal.uns.ac.id/performa/article/view/46379

https://journal.uii.ac.id/CIMAE/article/view/13362

Anda mungkin juga menyukai