KPU adalah anggota Association of World Election Bodies (A-WEB) atau perkumpulan
lembaga penyelenggara pemilu internasional. A-WEB sendiri merupakan asosiasi lembaga
penyelenggara pemilu dari seluruh dunia yang bermarkas di Korea Selatan.
Di tingkat regional, KPU juga adalah partisipan dari Asian Electoral Stakholder Forum
(AESF) yakni forum dua tahunan LPP dan masyarakat sipil yang peduli dengan Pemilu di
Asia.
Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)
Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu).
Panwaslak ini muncul oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang
dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Dan palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada
Pemilu 1977 jauh lebih massif.
Pada era reformasi, lembaga pengawas pemilu juga berubah nomenklatur dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah
lembaga adhoc terlepas dari struktur KPU yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi,
Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Penguatan kelembagaan Pengawas Pemilu melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai dengan tingkat kelurahan/desa dengan urutan Panitia
Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan Pengawas
Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali
dengan dibentuknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi
(Bawaslu Provinsi).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kelembagaan Pengawas Pemilu dikuatkan kembali dengan
dibentuknya Lembaga tetap Pengawas pemilu di tingkat Kabupaten
DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
DKPP pertama kali dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003
dengan nama Dewan Kehormatan yang sifatnya ad hoc dan berasal dari unsur
internal KPU
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 posisi Dewan Kehormatan diperkuat
namun masih tetap bersifat ad hoc yang unsurnya berasal dari KPU dan eksternal
KPU
Undang Nomor 15 tahun 2011 posisi Dewan kehormatan Pemilu semakin kuat,
bersifat tetap dan diberi nama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang
bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu mulai dari
tingkat KPU sampai dengan KPPS. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
l
Awalnya berdasar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, DKPP menangani dugaan pelanggaran kode etik
pada semua tingkatan penyelenggara pemilu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tugas DKPP dibatasi hanya untuk memeriksa dan
memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU
dan Bawaslu sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota dan penyelenggara Pemilu di Luar negeri.
Sementara penanganan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ad hoc, kecuali penyelenggara
ad hoc di luar negeri, diserahkan kepada KPU dan Bawaslu sesuai dengan tingkatan.
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Sekretariat Jenderal DKPP berada di bawah
Kementarian Dalam Negeri.
DKPP dapat membentuk Tim Pemeriksa Daerah di setiap Provinsi yang bersifat ad doc.
Dalam perkembangan penegakan kode etik penyelenggara Pemilu adalah bahwa penegakan kode etik dan
perilaku tidak hanya berlaku untuk jajaran KPU dan Bawaslu, tetapi juga mengikat DKPP itu sendiri.
Hubungan KPU-Bawaslu-DKPP
Secara formal yuridis KPU, Bawaslu dan DKPP adalah LPP dengan satu
kesatuan fungsi yang berbeda. KPU sebagai penyelenggara pemilu, Bawaslu
sebagai pengawas pemilu dan DKPP sebagai penegak kode etik penyelenggara
pemilu.
KPU, Bawaslu dan DKPP, dengan posisi yuridis, historis dan empiris masing-
masing, dituntut membangun relasi yang kritis sekaligus sinergis dalam
menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan berintegritas.