Anda di halaman 1dari 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Pneumonia

2.1.1. Pengertian Pneumonia Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun

bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes RI, 2002). Pneumonia merupakan penyakit batuk pilek disertai napas sesak atau napas cepat. Napas sesak ditandai dengan dinding dada bawah tertarik ke dalam, sedangkan napas cepat diketahui dengan menghitung tarikan napas dalam satu menit. Untuk balita umur 2 tahun sampai 5 tahun tarikan napasnya 40 kali atau lebih dalam satu menit, balita umur 2 bulan sampai 2 tahun tarikan napasnya 50 kali atau lebih per menit, dan umur kurang dari 2 bulan tarikan napasnya 60 kali atau lebih per menit (Depkes, 1991).

2.1.2. Penyebab Pneumonia Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa.

a. Bakteri Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008). b. Virus Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008). c. Mikoplasma Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis

usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008). d. Protozoa Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009). 2.1.3. Klasifikasi Pneumonia 1) Berdasarkan Umur a. Kelompok umur < 2 bulan 1) Pneumonia berat Bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38C atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 C), pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang. 2) Bukan pneumonia Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.

b. Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun 1) Pneumonia sangat berat Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan. 2) Pneumonia berat Batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum. 3) Pneumonia Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa penarikan dinding dada. 4) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding dada. 5) Pneumonia persisten Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang kuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan (WHO, 2003).

2) Berdasarkan Etiologi
Tabel 2.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Etiologinya

Grup Bakteri

Aktinomisetes Fungi

Riketsia Klamidia Mikoplasma Virus

Protozoa

Penyebab Streptokokus pneumonia Streptokokus piogenesis Stafilokokus aureus Klebsiela pneumonia Eserikia koli Yersinia pestis Legionnaires bacillus Aktinomisetes Israeli Nokardia asteroides Kokidioides imitis Histoplasma kapsulatum Blastomises dermatitidis Aspergilus Fikomisetes Koksiela burneti Chlamydia trachomatis Mikoplasma pneumonia Influenza virus, adeno Virus respiratory Syncytial Pneumositis karini

Tipe Pneumonia Pneumoni bakterial

Legionnaires disease Aktinomisetes pulmonal Nokardia pulmonal Kokidioidomikosis Histoplasmosis Blastomikosis Aspergilosis Mukormikosis Q fever Chlamydial Pneumonia Pneumonia mikoplasmal Pneumonia virus

Pneumonia pneumosistis (pneumonia plasma sel)

Sumber : Alsagaff dan Mukty, 2010. 2.1.4. Gejala Klinis dan Tanda Pneumonia a. Gejala Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada

sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala (Misnadiarly, 2008). b. Tanda Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. Batuk nonproduktif Ingus (nasal discharge) Suara napas lemah Penggunaan otot bantu napas Demam Cyanosis (kebiru-biruan) Thorax photo menujukkan infiltrasi melebar Sakit kepala Kekakuan dan nyeri otot Sesak napas Menggigil Berkeringat

m. Lelah n. o. Terkadang kulit menjadi lembab Mual dan muntah

2.1.5. Cara Penularan Penyakit Pneumonia Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat juga

cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Azwar, 2002). 2.1.6. Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Pneumonia Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita (Depkes, 2004), diantaranya : a. Faktor risiko yang terjadi pada balita Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : 1. Status gizi Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000). 2. Status imunisasi Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada

balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi. 3. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure, 2000). 4. Umur Anak Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Daulaire, 2000). b. Faktor Lingkungan Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan resiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh diantaranya :

1. Ventilasi Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen (Semedi, 2001). 2. Polusi Udara Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor (Lubis, 1989). 2.1.7. Pencegahan Penyakit Pneumonia Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau keluarga terutama ibu rumah tangga, karena pneumonia sangat dipengaruhi oleh kebersihan di dalam dan di luar rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk menghindari terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia :

1. Perawatan selama masa kehamilan Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan. 2. Perbaikan gizi balita Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat memberikan

perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding balita yang tidak mendapatkannya. 3. Memberikan imunisasi lengkap pada anak Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. 4. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk. Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.

5. Mengurangi polusi di dalam dan di luar rumah Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia. 6. Menjauhkan balita dari penderita batuk. Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia karena malnutrisi.

2.1.8. Program Pemberantasan Penyakit ISPA Program P2ISPA merupakan program yang menangani masalah ISPA yang ditujukan pada kelompok balita. a. Mengumpulkan dan menganalisa data penyakit b. Melaporkan kasus penyakit menular c. Menyembuhkan penderita sehingga tidak lagi menjadi sumber infeksi d. Pemberian imunisasi e. Pemberantasan vektor

f. Memberikan penyuluhan kesehatan. Masalah yang menjadi prioritas untuk ditanggulangi adalah pneumonia beserta komplikasinya. Penanggulangan penyakit pneumonia menjadi fokus kegiatan program P2ISPA. Program ini mengupayakan agar istilah pneumonia lebih dikenal masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi tentang penanggulangan pneumonia (Sibarani, 1996).

2.2.

Konsep Balita Perkembangan seorang anak secara umum digambarkan melalui periode-

periode. Salah satunya adalah periode Bawah Lima Tahun (BALITA) merupakan salah satu periode manusia setelah bayi sebelum anak-anak awal. Rentang usia balita dimulai dari 1 sampai 5 tahun. Periode usia ini disebut juga periode usia prasekolah. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang memengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan bagi perkembangan selanjutnya (Djaeni, 2000).

2.3.

Pencegahan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pencegahan adalah proses,

cara, tindakan mencegah atau menahan agar sesuatu tidak terjadi. Dengan kata lain pencegahan merupakan tindakan. Maka pencegahan identik dengan perilaku.

2.4.

Perilaku

2.4.1. Batasan Perilaku Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis, semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dengan demikian yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku manusia merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan yaitu: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun bersifat aktif yaitu dengan tindakan (Sarwono, 1997).

2.4.2. Perilaku Kesehatan Berdasarkan batasan perilaku Skiner dalam Notoatmodjo (2007), maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: 1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintanance) Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila mana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek yaitu: a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bila mana telah sembuh dari penyakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin. c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman juga dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut (Notoatmodjo, 2003). 2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan Sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati

sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri (Notoatmodjo, 2003). 3. Perilaku kesehatan lingkungan Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Becker dalam Notoatmodjo (2003) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan yaitu : a. Perilaku hidup sehat (healthy behaviour) Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. b. Perilaku sakit (illness behaviour) Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : penyebab, gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya. c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour) Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain

(terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Menurut Kosa dan Robertson dalam Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang

bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkannya dan kurang berdasarkan pada pengetahuan biologis. Memang kenyataannya demikian, tiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan berbeda, meskipun gangguan kesehatannya sama.

2.4.3. Determinan Perilaku Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbedabeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dibedakan atas: 1. Determinan atau faktor internal Yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal Yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Menurut Blum dalam Notoatmodjo ( 2003), perilaku manusia merupakan faktor yang memengaruhi status kesehatan individu selain faktor lingkungan, pelayanan kesehatan dan keturunan (herediter). Selanjutnya teori Green dalam Notoatmodjo (2007) menyebutkan perilaku dilatarbelakangi oleh 3 faktor utama

yakni: faktor predisposing (faktor pemudah), enabling (faktor pendukung) dan reinforcing (faktor penguat). Dari kedua konsep tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut : Keturunan

Pelayanan Kesehatan

Status Kesehatan

Lingkungan

Perilaku

Proses Perubahan

Faktor Predisposing

Faktor Enabling

Faktor Reinforcing

Komunikasi Penyuluhan

Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Sosial

Training

Pendidikan Kesehatan ( Promosi Kesehatan ) Gambar 2.1 Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan. 2.4.4. Faktor Predisposing (Faktor Pemudah) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku

kesehatan, misalnya dalam pencegahan penyakit pneumonia diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tentang penyakit pneumonia. Di samping itu, kepercayaan dari tradisi dapat menghambat ibu untuk memeriksakan anak ke sarana kesehatan. Karena faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku maka sering disebut faktor pemudah (Notoatmodjo, 2007). a. Pendidikan Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap, karena didasari oleh kesadaran. Memang kelemahan dari pendekatan pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2005). Menurut Notoatmodjo (2003), orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Menurut Feldstein dalam Nainggolan (2008), bahwa tingkat pendidikan dipercaya memengaruhi permintaan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan yang tinggi akan memungkinkan seseorang untuk mengetahui dan mengenal gejalagejala awal. Kunjungan ke dokter yang rendah adalah sebagai akibat rendahnya pendidikan dan sikap yang masa bodoh terhadap pelayanan kesehatan. b. Pekerjaan Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Anderson dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. c. Penghasilan Keluarga Masyarakat berpenghasilan rendah mempunyai suatu prevalensi sakit, kelemahan, kronitas penyakit dan keterbatasan kegiatan karena masalah kesehatan. Ditambah pula bahwa mereka lebih sukar mencapai pelayanan kesehatan, dan bila dapat mencapainya akan memperoleh mutu pelayanan kesehatan yang lebih rendah dibanding dengan lapisan masyarakat menengah atas (Zulikfan, 2004). Tingkat penghasilan merupakan penghasilan yang diperoleh bapak dan ibu yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga semakin besar jumlah pendapatannya, maka taraf kehidupan akan semakin baik. Status sosial ekonomi dianggap sebagai salah satu faktor risiko penting untuk pneumonia, karena

penderita pneumonia pada balita banyak ditemukan pada kelompok keluarga dengan sosial ekonomi rendah (Kartasasmita, 1993). d. Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengertahuan adalah apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu hal yang didapat secara formal maupun informal. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan terdiri dari 6 (enam) tingkatan, yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisa (Analysis) Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesa (Synthesis) Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada. f. Evaluasi (Evaluation) Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. organisasi

2.4.5. Faktor Enabling (Faktor Pendukung) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana/fasilitas bagi masyarakat misalnya puskesmas, rumah sakit, polindes, dokter atau bidan swasta, dan lain-lain. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung terwujudnya perilaku kesehatan maka disebut juga faktor pendukung.

a. Ketersediaan sarana kesehatan Menurut Notoatmodjo (2007), meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat tinggi tentang kesehatan, namun fasilitas kesehatan yang tidak mendukung maka tindakan tentang kesehatan tidak akan terwujud. Oleh karena itu pengetahuan dan kesadaran yang tinggi harus diikuti dengan ketersediaan sarana kesehatan yang baik sehingga terwujud perilaku hidup sehat. b. Jarak ke sarana kesehatan Rochman (1994) menyatakan bahwa keterjangkauan/jarak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan.

2.4.6. Faktor Reinforcing (Faktor Penguat) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku petugas kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan yang positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh/acuan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Faktor ini disebut juga sebagai faktor penguat. Dukungan dari Petugas Kesehatan. Menurut Nur (2004) kerjasama dan penyuluhan dari petugas kesehatan sangat diperlukan sebagai contoh/acuan dalam melakukan tindakan kesehatan. Peran petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap perilaku ibu dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit pneumonia. Menurut Sarfino dalam Smet (1994), dukungan petugas kesehatan merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, di mana perasaan subjek bahwa

lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang diketahui. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kepmenkes RI, 2005). Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan petugas kesehatan adalah dukungan yang diberikan oleh petugas kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan baik itu berupa penyuluhan, saran dan tindakan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada ibu.

2.5.

Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan latar belakang, tujuan dan manfaat, maka kerangka konsep

penelitian adalah sebagai berikut: Variabel bebas Faktor Predisposing: - Tingkat Pendidikan - Pekerjaan - Penghasilan keluarga - Pengetahuan Faktor Enabling: Sarana Kesehatan: - Ketersediaan - Jarak Faktor Reinforcing: Dukungan petugas kesehatan dari Pencegahan penyakit pneumonia pada balita Variabel Terikat

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

2.6.

Hipotesis Penelitian Dari gambar kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah

terdapat pengaruh faktor predisposing (meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga, dan pengetahuan), faktor enabling (meliputi: ketersediaan serta jarak sarana kesehatan) dan faktor reinforcing (meliputi: dukungan petugas kesehatan) ibu balita terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita di Kelurahan Batangberuh Kecamatan Sidikalang Tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai