Anda di halaman 1dari 7

Filsafat & Gambaran Kehidupan Manusia

Telah berabad-abad, wayang (utamanya wayang kulit / wayang purwa) menjadi sarana & media pendidikan budi pekerti bangsa Nusantara, khususnya Jawa, Sunda, Bali. Tuntunan tentang sikap hidup yang perlu dimiliki tiap insan manusia disampaikan melalui bentuk pertunjukan yang demikian memukau dan berisi aneka seni adiluhung. Ini tertuang dalam bentuk wayang dengan aneka rupa, motif hiasan dan warna, cerita, cara pentas / pakeliran, musik instrument (gamelan), tembang, seni pedalangan (cepengan & sabetan / cara memegang & memainkan wayang, suluk, dsb). Sabetan ini pada adegan perang tanding menggambarkan ketrampilan pencak silat. Wayang mengajarkan hal-hal seperti: keadilan, kebenaran, kejujuran, kesehatan, kepahlawanan, nasionalisme, kesusilaan, psikologi, filsafat dan berbagai dinamika kehidupan. Kesenian wayang mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang Jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang Jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dialog di alur cerita / lakon yang ditampilkan.

Dalam wayang seolah-olah orang Jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, tetapi juga model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan. Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai-nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain. Wayang adalah gambaran watak manusia. Terdapat tidak kurang dari 200 gambaran watak manusia!! Perlu anda sekalian ketahui, ahliahli psikologi dewasa ini yang mengacu pada ilmu barat hanya memahami antara 4 32 macam watak dasar manusia. Mulai dari Socrates (500 SM) dengan teori 4 kepribadian dasar (Sanguinis watak periang gembira, Koleris pekerja & pemimpin, Melankolis pemikir dan Phlegmatis pencinta damai) hingga Myerr Briggs (akhir abad 20) dengan 16 kepribadian utama manusia, Eneagram (watak manusia dari profil wajah), dsb. Menurut para ahli tadi, tiap manusia memiliki semua sifat yang ada, namun ada satu atau dua sifat yang dominan / menonjol. Wayang telah jauh lebih mendetail dalam mengenali watak manusia dan dinamikanya. Seluruh watak dalam wayang pun bisa saja dimiliki oleh seseorang dalam kehidupannya. Pagi hari bisa saja menjadi Gatotkaca, tapi malam hari menjadi Sengkuni. Adalah sifat manusia yang pikiran & emosinya senantiasa berubah-ubah. Terlebih jika kita belum paham jati diri kita dan tidak rajin berlatih mengendalikan dan mengolah diri. Kita akan mudah terombang-ambing oleh segala dinamika kehidupan yang beraneka ragam, baik dan buruk. Dalam wayang, watak manusia dilukiskan pada wujud: 1. raut muka/wajah (pola & bentuk mata, hidung, mulut; warna muka, posisi muka, hiasan kepala, dsb) 2. ukuran, bentuk & perhiasan tubuh [badan kecil (Arjuna, Nakula, Sadewa, Sumbadra, dsb), badan besar (Bima, Kangsa, dsb), badan dewa & pendeta berjubah (Batara Guru, Brama, resi Bisma, dsb), kera (Anoman, Subali, dsb), raksasa (Batara Kala, Kumbakarna, dsb), punggawa (Buta Cakil, Pragola, dsb), humoris (Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dsb); badan terbuka tanpa hiasan atau dengan hiasan, dsb.] Dengan penggambaran yang detail pada wayang, kita yang dikaruniai akal budi jika sering memperhatikan diri kita & orang-orang sekitar, saat melihat wayang akan segera paham watak seperti apa yang digambarkan dalam tiap sosok wayang melalui kemampuan rasa kita. (Orang Barat / modern lebih mengutamakan rasio / akal nalar, sedangkan tradisi luhur kita adalah mengutamakan rasa, dimana rasa tingkatannya lebih dalam & kuat dari rasio. Orang yang rasanya sudah terolah pasti telah memiliki rasio yang baik, namun orang dengan rasio baik belum tentu rasa-nya hidup. Namun saat ini orang Barat mulai menyadari pentingnya olah rasa,

sehingga mulai mengembangkan Kecerdasan Emotional / Spiritual. Kita yang sudah diwarisi ajaran luhur jangan sampai kalah dan tertinggal!!!) Sesaat melihat Arjuna kita pasti dapat merasakan getaran pesona kesatria, wibawa, keagungan, keluhuran, kesabaran dan ketampanan Arjuna. Saat melihat Buta Cakil kita akan segera tahu watak angkara murka, serakah, bodoh, kejam, dan keangkerannya. Lalu dengan mudah kita akan mengidentifikasikan diri kita sebagai Arjuna dengan berbagai sifat positifnya. Namun, benarkah demikian? Janganjangan justru kita ini si Buta Cakil yang merasa telah menjadi Arjuna, atau rumangsa bisa? Lakon wayang adalah gambaran dinamika kehidupan. Kelir adalah panggung kehidupan kita. Wayang adalah sifat-sifat dalam diri kita ataupun sifat di lingkungan kita. Kita tidak bisa selalu menjadi sang Arjuna yang senantiasa lemah lembut tapi cekatan dalam bertindak, sabar dan jujur, tekun mengolah diri. Jika kita kurang hati-hati dan waspada dalam hidup ini, sering jkali kita turun derajat menjadi Buta Cakil. Mudah marah, tersinggung, bertindak bodoh, tidak tahu kebenaran sejati, merasa paling hebat, ingin unjuk gigi. Sifat dasar atau hakekat diri kita yang berupa percikan sinar Ilahi, yang senantiasa baik / utama akan bertarung dengan pengaruh buruk dari pandangan dan pikiran yang tidak benar yang akan mewujud dalam tindakan (perbuatan / kata-kata yang tidak benar).

Makna Umum Simbolis Wayang


1.

Wayang Purwa adalah perlambang kehidupan manusia di dunia ini. Pada intinya, wayang berasal dari dewa-dewa bernama Hyang Manikmaya (Betara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Mereka adalah putera dari Hyang Tunggal. Hyang Tunggal tidak diwujudkan dalam wayang. Kedua putera itu muncul secara bersamaan dalam bentuk cahaya. Manikmaya bercahaya bersinar-sinar. Ismaya bercahaya kehitam-hitaman. Kedua cahaya ini berebut untuk mendapatkan status sebagai yang tertua diantara mereka. 2. Kemudian Hyang Tunggal bersabda, bahwa yang tertua adalah cahaya yang kehitam-hitaman, tetapi diramalkan bahwa dia tak dapat berjiwa sebagai Dewa Ia diberi nama Ismaya. Karena ia memiliki sifat sebagai manusia maka dititahkan supaya tetap tinggal di dunia dan mengasuh turunan Dewa yang berdarah Pendawa. Maka diturunkanlah ia kedunia dan bernama Semar, yang berbentuk manusia yang sangat jelek rupa. 3. Cahaya yang bersinar terang diberi nama Manikmaya dan tetap tinggal di Suralaya (kerajaan Dewa). Manikmaya merasa bangga, karena tidak mempunyai cacat dan sangat berkuasa. Tetapi sikap yang demikian itu menyebabkan Hyang Tunggal memberinya beberapa kelemahan.

4. Kedua kejadian ini merupakan perlambang. Ismaya adalah lambang badan manusia yang kasar dan Manikmaya lambang kehalusan bathin manusia. Raga kasar (Semar) senantiasa menjaga kelima Pendawa yang berujud Panca indera atau kelima perasaan tubuh manusia: indera penciuman (Yudistira); indera pendengaran (Werkodara); indera penglihatan (Arjuna); indera perasa (Nakula), dan indera peraba (Sadewa). 5. Tugas dari Semar adalah menjaga kesejahteraan Pendawa , supaya mereka menjauhi peperangan dengan Korawa (rasa amarah). Tetapi Hyang Manikmaya lah yang senantiasa menggoda sehingga Pendawa dan Kurawa tidak pernah berhenti berperang. Hingga akhirnya terjadilah Baratayuda, di mana Pendawalah yang menjadi pemenangnya.
Dikutip dan disarikan dari Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa, Balai Pustaka, Jakarta, 1968.

Wayang as World Masterpiece of Art Pada akhir 2003, UNESCO (United Nations for Educations, Social & Cultural Organization) sebuah badan di bawah PBB yang mengurusi tetang pendidikan, sosial dan budaya, menetapkan Wayang Kulit/Wayang Purwa sebagai karya adiluhung dunia (world masterpiece). Ini adalah pengakuan dunia terhadap seni wayang yang sangat berperan dalam pendidikan mental bangsa. Seluruh dunia, diwakili UNESCO badan PBB telah mengakui keluhuran seni wayang. Kita bangsa pewaris seni tersebut jangan sampai tidak tahu dan tidak mengenal seni tontonan dan tuntunan wayang. Wayang bukan sekedar hiburan pelepas kebosanan, tapi lebih dalam adalah tuntunan hidup. Mari kita terus mencari keluhuran yang tersimpan dalam wayang. Gambaran & Makna Menanggap Wayang (dari Dalang, Wayang dan Kelengkapannya) Filosofinya: 1. Orang yang nanggap wayang : Digambarkan Hyang Maha Widhi Wasa. 2. Dhalang : Gambaran dari Trimurti/Tritunggal. 3. Wayang : Gambaran dari manusia (titah) 4. Kelir : Angkasa (langit) 5. Debok (pohon pisang) : Bumi (bantolo) 6. Blencong (lampu) : Gambaran tatasurya: Surya (matahari), Candra (bulan), Lintang (bintang) 7. Gamelan : Menggambarkan busana hidup atau kebutuhan hidup manusia (sandang pangan, kesenangan, dll.) Gambaran & Makna Pada Diri Manusia.

1. Orang yang nanggap wayang 2. Dalang 3. Wayang 4. Kelir 5. Debok 6. Blencong 7. Gamelan 8. Kotak (tempat menyimpan wayang) 9. Gunungan (jawa kayon) 10. Cempala (membunyikan dhog-dhog-dhog) 11. Kepyak (bunyi crek-crek-crek)

: : : : : : : : : : :

Diumpamakan Sang Hyang Atma (jiwanya manusia) Cipta-esir, ya cipta esiring manusia (rasa sejati) Gambaran perilaku & nafsunya manusia yang pecah diwujudkan panca indra. Alam pikir/Cita-cita (angen-angening manusia) Gambaran raganya manusia Pramana (simbolis jantung yang menjadi tanda dari kehidupan) Kebutuhan hidup manusia (sandang pangan dan kesenangan). Gambaran asal usuling dumadi. Jawa: Sangkaning titah lan paraning titah sawise tilar donya (hidup-mati kembali ke-asalnya) Gambaran kehidupan. Kayon dari kata Khayun = urip (hidup) Menggambarkan detak jantung kehidupan. Menggambarkan jalannya darah kehidupan manusia.

Gambaran Cerita Pewayangan yang Dilakonkan Dalang dalam Pagelaran Wayang. Urutan adegan: 1. Jejer (pathet nenem): Menggambarkan keadaan dan proses cipta (sedyaning cipta) 2. Kedatonan, sang raja bertemu dengan prameswari: Menggambarkan manunggalnya cipta dan rasa sehingga menjadi karsa, yaitu karsa untuk melaksanakan & menciptakan keturunan. 3. Paseban luar (njaba): Menggambarkan lahirnya bayi atau keturunan 4. Bodolan (budaling prajurit): Menggambarkan geraknya jabang bayi 5. Jejer sabrangan/dutho: Menggambarkan jabang bayi sudah tumbuh menjadi anak atau bocah yang sudah mempunyai keinginan. 6. Perang gagal: (perang prajurit yang disebutkan no 1 melawan prajurit sabrangan no 5). Perangnya belum ada pepati (kurban) menggambarkan anak atau bocah belum dewasa, belum bisa menahan dan mengarahkan keinginan dan belum bisa mengendalikan hawa napsunya. 7. Jejer pandhita: Didahului gara-gara (bambangan atau satria muda) menghadap pandhita. Menggambarkan: Anak/bocah sudah tumbuh besar dan dewasa, terbuka pintu hatinya berkeinginan mencari ilmu pengetahuan dan ilmu guna kasantikan (kesaktian), untuk bekal hidupnya mendatang. 8. Adegan di tengah alas /hutan - danawa 3 (Danawa, Togog dan Mbilung Saraita): Alas itu menggambarkan kemuraman atau kegelapan hati (petenging ati). Danawa 3, menggambarkan watak angkara murka yang menyebabkan kemuraman hati (petenging ati). Sang Satria muda bertemu dengan Danawa, sehingga terjadi perang tanding yang disebut perang kembang, sehingga danawa tersebut akhirnya mati. Itu menggambarkan satria muda (pemuda) tersebut sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya dan kemurkaannya, karena sudah mempunyai

bekal ilmu guna kasantikan & ilmu kasampurnan urip. Setelah selesai perang kembang terus ganti Pathet Manyura: Dari bahasa jawa kuna Manyura artinya: Merak (nama burung). Jadi artinya Pathet Manyura (merak) merupakan penggambaran situasi sudah mendekati pagi (perang esuk). 9. Adegan aneka warna (warna-warna): Menggambarkan bahwa hidup itu mengalami berbagai macam peristiwa kehidupan, seperti: Senang-susah, terang-gelap, timbul-tenggelamnya suatu kehidupan. 10. Perang brubuh diiringi gending Sampak: Ratu sabrangan dan semua prajuritnya menyerbu pada negara adegan jejeran pertama (1). Terjadi perang amuk-amukan (perang brubuh) sehingga pada akhirnya ratu dan prajurit sabrang semua sirna (tumpes tapis). Tetapi kalau ratunya itu penjelmaan satriyo atau penjelmaan putri, pasti akan badar berubah ujud menjadi wujud atau rupa yang sebenarnya/sejati. Biasanya yang menyelesaikan perang brubuh kalau jamannya Pandawa adalah Bhima (Wrekudara), kalau pada jamannya Prabu Rama Wijaya pasti Hanuman. Bhima dan Hanuman itu disebut Bhayusuta yang artinya: Anak sang Bhayu, maksudnya: Angin kecil yaitu: Nafas (ambegan). Jadi proses geraknya perang dari Bhima (Wrekudara) dan Hanuman pada perang brubuh menggambarkan pernafasan yang cepat (ngungkut) dibarengi memfungsikan pancadriya pada saat itu baik sadar maupun tanpa disadari, saat manusia mengalami sekarat (sakaratul maut) menghadapi kematian. 11. Kumpulnya para ratu (serta para raja putra): Yang disebutkan pada adegan akhir, itu menggambarkan keadaan hati atau perasaan yang lega, marem dan keikhlasannya hati karena sudah berhasil menumpas dan menyelesaikan gangguan perjalanan hidup sehingga bisa mencapai ketentraman yang terwujud pada saat mengalami sakaratul maut dan meninggal dunia dengan tenang dan mati sempurna.

WAYANG DAN PEMBINAAN KEPRIBADIAN BANGSA (Wayang and Nations Character B uilding) Kepribadian suatu bangsa tercermin dari nilai-nilai yang dianut. Kita sebagai bangsa yang luhur sejak dulu kala memiliki nilai-nilai luhur yang terus diajarkan melalui wayang. Nilai-nilai Luhur Contoh dalam Wayang Spiritualitas - Bima bertemu Dewa Ruci, diri sejatinya, sehingga dapat mengetahui rahasia hidup dan mati, manunggaling kawula Gusti. - Dalam setiap masalah selalu dicari jalan keluar melalui tahapan hening diri (bertapa), memohon petunjuk Yang Ilahi yang akan menolong melalui cara yang paling pas. Kejujuran Tidak menipu / berbohong / mengaku-aku miliknya orang lain. Ini sifat para ksatria. Menghargai - Pandawa senantiasa meminta nasihat Prabu Kresna atau Semar yang dipandang sebagai tokoh bijak. kebijaksanaan - Para Resi / Begawan sangat dihormati dan dipatuhi nasehatnya. - Setiap keputusan penting diambil sesudah berhening diri sehingga kebijaksanaan muncul

Kesederhanaan Semangat & Perjuangan Suka menolong Tegas & ksatria

Para Pandawa tidak pernah berpesta pora, hidup sederhana, berpikir sederhana namun bijak Dalam setiap lakon, untuk mencapai cita-cita senantiasa penuh perjuangan mulai dari perang kembang, perang gagal hingga perang brubuh. Ini adalah makna perang melawan nafsu angkara dalam diri yang harus terus diperjuangkan dengan penuh semangat. Tanpa pamrih, semua ksatria segera menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan, bahkan meskipun jiwanya terancam. - Semua tokoh jelas watak, nama dan asal-usul serta kelompoknya. Tidak ada yang plin-plan / double-agent / mana hadap. - Kalau berperang berhadap-hadapan langsung, jika kalah mengaku kalah. Nasionalisme Kumbakarna mau berperang melawan musuh yang akan mengancam negara bukan untuk membela Rahwana saudaranya yang menyebabkan Alengka diserbu. Membela yang benar - Yang senantiasa dibela adalah kebenaran dan keadilan, bukan harta dan kedudukan. - Bahkan Dewa jika dipandang salah, bisa dilabrak & dihajar oleh titah. Cinta seni adiluhung Bentuk dan karakter wayang, pakeliran, musik, cerita dsb telah diakui sebagai world masterpiece yang kaya filosofi. Humoris Tokoh Punakawan yang karikaturis & lucu, Antasena yang suka biyayakan, Hyang Narada yang humoris. Kesetiaan - Dewi Sinta rela dibakar untuk membuktikan kesetiaannya. - Prinsip lebih baik mati daripada berkhianat pada kebenaran. - Prabu Yudhistira tidak mau masuk surga apabila anjing yang selalu menyertainya tidak diperkenankan ikut serta. Kerjasama / Sesama ksatria tidak pernah berebut menjadi yang paling hebat, namun membaktikan kemampuannya demi kejayaan bersama. Tiap teamwork ksatria Pandawa memiliki kehebatan masing-masing yang disinergikan (manunggal). Untuk menjaga wilayah, Gatutkaca mengawasi angkasa, Antareja mengawasi lautan dan daratan. Percaya Diri & Setiap permasalahan selalu dihadapi dengan percaya diri dan kemampuan yang dimiliki terus diasah. mampu Lemah lembut & Tokoh ksatria dengan mata liyepan (setengah terbuka), memandang ke bawah, bertutur kata lembut. rendah hati Menjunjung sifat Mandiri, cerdas, waspada, jujur, gemar menolong, berbakti pada orang tua, sakti, dsb utama

Setiaji ( Bhayumanunggal.web.id)

Anda mungkin juga menyukai