Anda di halaman 1dari 3

Faktor Kultur-Historis: Zeitgeist Prinsip pertama yang penting dan perlu kita catat adalah bahwasanya sebuah teori,

paradigma atau pandangan-dunia tidak mungkin lahir dan hidup dalam kevakuman sosio-kultur-historis. Sedemikian besarnya korelasi yang terjadi antara konteks sosio-historis dan pandangandunia yang dianut, sehingga Jurgen Habermas menyebut theory of knowledge (epistemologi) sebagai sebuah teori sosial (Habermas, 1972). Demikian pula halnya dengan konsep-konsep dan teori-teori ilmiah sangat dipengaruhi oleh etos, epos, nilai budaya dan semangat zaman (zeitgest) ketika teori itu diformulasikan.6 Dalam konteks inilah, sistem heliosentris Copernicus sangat populer bukan terutama karena datadata teknis ilmiahnya, melainkan karena interpretasi filosofisnya yang menempatkan manusia sebagai subyek yang aktif dalam kosmos. Sistem heliosentris menempatkan bumi setara dengan planet-planet lain untuk ikut mengitari matahari sebagai pusat tata surya. Hal ini ditafsirkan sebagai pemberontakan terhadap kosmologi tradisional yang teologismetafisis, dan sekaligus menempatkan manusia penghuni bumi setara dengan makhluk-makhluk lainnya. Namun, pada saat yang sama, keadaan seperti itu ditafsirkan sebagai upaya aktif pencarian jati diri sendiri secara otonom dan rasional, tidak menerima .nasib. atau peran secara taken for granted. John Marks (Marks, 1990) menyebutkan bahwa istilah revolusi dalam frase .Revolusi Ilmiah. dan atau yang belakangan .Revolusi Industri. terinspirasi oleh judul karya Copernicus On the Revolution of the Heavenly Spheres yang terbit tahun 1543. Istilah Revolusi Kopernikan ini pun digunakan oleh filsuf besar Abad Pencerahan Immanuel Kant (w. 1804). Mengacu kepada perubahan revolusioner pandangan kosmologis itu, Kant menyebutkan bahwa sistem filsafatnya berbeda secara revolusioner dengan filsafat tradisional. Filsafat tradisional mengarahkan subyek kepada obyek, sedang filsafat modern (Abad Pencerahan) yang dibangun Kant sebaliknya, yaitu obyek yang harus mengarahkan diri kepada subyek. Oleh karena itu, Kant mengubah pendekatan yang tidak lagi mulai dari obyek-obyek, melainkan dari subyek. Ia memulainya dengan penyelidikan kritis terhadap subyek sendiri (Kant, 1984).7 Dengan demikian, revolusi astronomis yang dilakukan oleh Copernicus merupakan representasi semangat zaman (zeitgeist) yang mengisi sosiokultur Eropa ketika itu. Peradaban modern bermula dari petualangan manusia Eropa untuk mencanangkan kedaulatan dirinya atas segenap kehidupannya di dunia. Mereka berpetualang mencari jati dirinya, hakekat eksistensi kemanusiaannya melalui gerakan-gerakan seperti Renaisans (Renaissance), antroposentrisme filsafat/pemikiran modern, Reformasi dan Pencerahan (Enlightenment, Aufklarung). Renaisans8 (kelahiran kembali) menyuguhkan pandangan baru tentang hakekat manusia dengan mencanangkan humanisme yang menitikberatkan kesadaran individual sebagai subyek yang otonom.9

Manusia tidak lagi menganggap dirinya hanya sebagai peziarah di dunia (viator mundi), melainkan sebagai pencipta dunia (faber mundi). Manusia Eropa ketika itu seakan terlahir kembali setelah ribuan tahun tertidur dalam masa Darks Ages. Mereka mengklaim terinspirasi oleh peradaban Yunani- Romawi (Greco-Roman), yang sebetulnya mereka warisi langsung dari peradaban Islam yang telah mencapai kejayaan ketika mereka masih dalam Dark Ages.10 Dalam suasana semangat humanisme itu juga lahir seorang Descartes (w. 1650) yang merasa terpanggil untuk ikut serta dalam kafilah peradaban baru. Ia pun mencari pendasaran dan landasan filosofis yang sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist) ketika itu. Dan ia menemukan fundasi primer filosofisnya, yaitu: Cogito ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Doktrin dasar Cartesian yang berwatak subyek-antroposentristik ini merupakan representasi zeitgeist sekaligus pembangun kesadaran modern yang hingga kini masih tertanam kuat pada dunia modern. Dalam suasana zeitgeist seperti itu, manusia modern memberontak terhadap cara berpikir metafisis atau pun teologis. Mereka menganggap segenap nilai-nilai tradisi, terutama yang berasal agama, sebagai belenggu kebebasan dan kreativitas mereka dalam petualangan itu. Maka, langitlangit suci dikoyakkan melalui gerakan kebudayaan dan pemikiran; salah satu diantaranya yang revolusioner adalah melalui .interpretasi-kontekstual. kosmologi Kopernikan. Revolusi Kopernikan lebih merupakan representasi zeitgeist ketika itu, dan yang pada gilirannya berpengaruh besar terhadap perjalanan perkembangan pemikiran modern selanjutnya. Disebut sebagai .interpretasi kontekstual. karena peta langit heliosentris yang dibuat Copernicus diinterpretasikan sedemikian rupa guna dijadikan alat perlawanan terhadap ajaran Gereja, padahal sebagaimana yang telah disebutkan Nasr (1968) bahwa semua hal yang astronomis baru pada Copernicus dapat ditemukan pada teori dan peta langit yang dibuat astronom Muslim Ibn Syathir, murid Nashiruddin al-Thusi, pendiri observatorium Maragha pada abad ke-13 M. Perbedaannya adalah peta langit astronom Muslim tidak diinterpretasikan sebagai alat perlawanan terhadap agama. Secara teknis pun peta langit yang dibuat Tycho Brahe sudah cukup memadai menjelaskan fenomena gerak benda-benda langit, namun komunitas ilmiah ketika itu lebih memilih sistem Copernicus. Galileo, misalnya, lebih memilih Copernicus daripada Tycho Brahe atau Kepler yang mengajukan sistem kosmologis non-Copernicus dan sekaligus nonPtolemeus (Marks, 1990). Demikian pula tokoh utama revolusi ilmiah, Isaac Newton, juga mendukung kosmologi Copernicus karena lebih sesuai dengan filsafat alamnya (kosmologi) yang mekanistik-deterministik. Bahwa heliosentrisme Kopernikan lebih merupakan interpretasi ilmuwan modern abad ke-17 M makin disadari pada awal abad ke-20 M ketika Teori Relativitas Umum dicetuskan oleh Albert Einstein. Menurut Teori Relativitas, penggambaran peta langit apakah geosentris ataukah heliosentris tergantung kepada titik acuan yang kita pilih. Jadi, sebetulnya secara teknis-ilmiah tidak terlalu persoalan apakah memilih geosentris ataukah heliosentris Mengapa Bukan Al-Thusi?

Di bagian muka telah kita uraikan latar belakang dan faktor-faktor yang berperan dalam melahirkan fenomena bahwa sistem heliosentris dicetuskan oleh Copernicus. Disebutkan bahwa kemunculan revolusi Kopernikan itu dipengaruhi oleh semangat zaman (zeitgeist) dan nilai sosiokultur Eropa ketika itu, yaitu lahirnya gerakan-gerakan seperti humanisme, renaisans, dan antroposentrisme. Meskipun secara teknis-ilmiah, peta langit yang dibuat Copernicus bukan sesuatu yang baru, bahkan, diduga menjiplak model planet al-Thusi dari observatorium Maragha karena kemiripannya, namun Copernicus tercatat sebagai pencetus teori heliosentris. Yang baru bagi dunia astronomi dan dunia ilmiah umumnya adalah interpretasi filosofis terhadap model planet yang non-Ptolemeus, yaitu filsafat subyek-antroposentristik dan kosmologi yang mekanistik.

Anda mungkin juga menyukai