Anda di halaman 1dari 6

Tugas Akhir Kapita Selekta A Nama : Tenny Widya K NPM : 1206339203

Kapitalisme dalam Kebiajakan Pemerintah Pasca Nuklir Fukushima

Pada 11 Maret 2011 pukul 14:46 (waktu Jepang) terjadi gempa berskala 9,0 di Samudra Pasifik. Gempa ini merupakan gempa terdahsyat yang melanda Jepang sepanjang sejarah. Gempa selanjutnya menimbulkan peringatan tsunami untuk pantai Pasifik Jepang dan sedikitnya 20 negara, termasuk seluruh pantai Pasifik Amerika dari Alaska ke Chili. Peringatan tsunami yang dikeluarkan oleh Jepang adalah yang paling serius dalam skala peringatannya dengan tinggi gelombang diperkirakan mencapai 10 m (33 kaki). Kemudian tsunami melanda Jepang dan menyebabkan PLTN Onagawa, Fukushima I, Fukushima II dan Tkai secara otomatis padam setelah gempa. Associated Press Japan telah mengumumkan keadaan darurat setelah kegagalan sistem pendingin di PLTN Fukushima I. Kegagalan ini berdampak pada bocornya gas radioaktif sehingga warga sekitar reaktor dalam radius tertentu harus dievakuasi. (id.wikipedia.org) Peristiwa bocornya reaktor nuklir di Fukushima menjadi topik hangat dunia saat itu dan berlangsung hingga saat ini. Informasi yang diberikan kepada masyarakat pada dasarnya tidak sepenuhnya benar. Kondisi saat itu, masyarakat sangatlah kekurangan informasi mengenai kebocoran reaktor, tingkat keamanan dari radiasi dan tindakan yang harus diambil untuk menghindari radiasi. Hal ini menurut Uesugi Takashi dan Ito Mamoru dalam wawancara yang tertulis pada Truth to Power: Japanese Media, International Media and 3.11 Reportage dikarenakan media di Jepang banyak diseponsori pihak-pihak pengelola listrik sehingga cenderung menutupi kenyataan yang ada dan melakukan sensor terhadap pembicaraan yang mengarah pada pernyataan bahwa koebocoran reaktor itu berbahaya dan akan berdampak besar bagi kemudian hari. Tidak hanya itu, pemerintah Jepang bersama media memiliki kesepakatan bahwa keadaan aman, sedangkan informasi di luar negeri dari beberapa negara cenderung menyatakan tidak aman/sangat berbahaya. (McNeill, 2013) Terjadinya kebocoran reaktor menjadikan hampir seluruh negara-negara meninjau ulang penggunaan reaktor nuklir sebagai bahan penghasil energi, termasuk Jepang. Pada tulisan Jeff Kingston dalam Power Politics: Japans Resilient Nuclear Village diungkapkan bahwa pada Juli 2011 Perdana Menteri Naoto Kan mengumumkan bahwa ia tidak lagi percaya/yakin reaktor nuklir bisa dioperasikan dengan aman di Jepang karena sangat rawan gempa bumi dan tsunami. Selanjutnya pada Mei 2012 sekitar 50 reaktor Jepang ditutup untuk inspeksi keselamatan. Sedangkan rencana untuk meningkatkan energi nuklir untuk 50% pada kapasitas pembangkit listrik Jepang ditolak dan pada tahun 2012 pemerintah memberikan subsidi untuk meningkatkan energi terbarukan. (Kingston, 2012)
1

Sebuah gagasan yang memberikan titik pencerahan terhadap perhatian kehidupan masyarakat tersebut menjadi sebuah terobosan baru dalam meninjau ulang penggunaan nuklir. Perdana menteri telah melakukan upaya sebaik mungkin setelah gempa, tsunami dan ledakan reaktor nuklir. Langkah Perdana Menteri Kan yang menunjukkan anti nuklir menjadikan dia dimusuhi oleh banyak pihak yang tergabung dalam nuclear village. Dalam tulisan Kingston Ousting Kan Naoto: The Politics of Nuclear Crisis and Renewable Energy in Japan diungkapkan : Kan said, We must fundamentally review the way nuclear power has for many years been administered. The regulatory body and the functions to promote nuclear energy have been under the same government ministry. Kan also supports ending the power transmission monopoly exercised by the ten regional power-generating utilities as a way of giving renewable energy providers access to the energygenerating market. Such a move would help boost prospects of renewable energy, but is fiercely resisted by the utilities. So too was Kans plan for a comprehensive feed-in-tariff. (Kingston, 2011) Pernyataan yang dikeluarkan perdana menteri secara tersirat menunjukkan dukungan untuk mengurangi kapitalisme dalam perekonomian Jepang terutama dalam perdagangan listrik yang selama ini dimonopoli oleh pengusaha-pengusaha besar. Adanya perhatian perdana menteri terhadap kelangsungan hidup masyarakat dengan mengurangi dan menghentikan penggunaan nuklir mendapat tentangan dari kaum kapitalis Jepang dan pihak partai hingga METI seperti yang diungkapkan Kingston Kans renewable offensive was opposed by the LDP, the party that oversaw the expansion of Japans nuclear industry, and also by the leading business federations, Keidanren and Keizai Doyukai, the ten utilities, and METI, the ministry that has promoted the nuclear industry. (Kingston, 2011) Tindakan pihak yang menentang pemikiran Perdana Menteri Kan kemudian berusaha untuk menggulingkan Kan dengan berbagai berita palsu yang menyudutkan, desakan hingga menyalahkan Kan dalam permasalahan meledaknya reaktor nuklir dan permasalahan korban ledakan nuklir. Kan pada akhirnya mengundurkan diri sebagai perdana menteri dan penggantinya lebih pro-nuklir. Menurut Kingston, GNPisme yang sudah menjadi ideologi bagi Jepang pasca Perang Dunia II. Hal tersebut pada dasarnya memicu konsentrasi yang berlebih pada bidang ekonomi dengan mengesampingkan hal lain, terutama masalah kehidupan dan sosial masyarakat. Pemerintahan yang selanjutnya, banyak dipengaruhi oleh nuclear village sesuai dengan kepentingan mereka. Dalam Japan: Building a Galapagos of Power ? dikatakan bahwa: The nuclear village continues to argue that renewable energy is undesirable because of its cost, its variability due to changes in levels of sunshine, wind speed, and other factors. They were also not supportive of smart grids, because the interactive capacity of the smart grid allows the diffusion of renewables. (DeWit, 2012)
2

Pengaruh nuclear village sangatlah terlihat jelas sehingga pemerintah mengambil langkah nyata bahwa disetujuinya penggunaan nuklir lagi di Jepang. Hal tersebut sangat jelas dalam tulisan Kingston lainnya yaitu Power Politics: Japans Resilient Nuclear Village dimana tertulis Jonathan Soble observes, Under pressure from pro-nuclear business groups, it resolved to act flexibly and with constant verification and revision hedges that might keep the nuclear industry in business indefinitely. (Financial Times 10/24/2012). Peryataan tersebut menunjukkan kuatnya kelompok bisnis menekan dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Hal ini sangatlah nyata bahwa kapitalisme kuat kedudukannya di Jepang untuk saat ini. Kingston juga mengungkapkan bahwa inti dari semua ini yakni nuclear village mempertahankan hak veto atas kebijakan energi nasional dan pendapat masyarakat tidak akan menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan. Saat ini, tidak ada pihak yang mendapatkan kekuasaan dalam pemilu berikutnya yang akan berkomitmen untuk pentahapan keluar dari energi nuklir selama beberapa dekade mendatang. Sejauh ini, pemerintah melakukan pergantian badan pengawas nuklir menjadi NRA dengan memperbaharui pedoman keselamatan dan akan melanjutkan pengoprasian reaktor nuklir kembali. Dua partai besar di Jepang pun sudah memberikan lampu hijau untuk menghidupkan kembali penggunaan nuklir. Menurut Kingston, mungkin hanya dengan adanya tragedi nuklir lagi baru akan menghentikan kemenangan nuclear village dalam mendominasi Jepang. Terlihat bagaimana pihak dominan yang mendukung penggunaan nuklir demi keuntungan ekonomi mengesampingkan keamanan dan kehidupan masyarakat. Bagi mereka masyarakat sekitar reaktor nuklir berada sudah cukup diberikan fasilitas yang memadahi serta jaminan pekerjaan sebagai ganti dari keterancaman kehidupan akan adanya radiasi nuklir. Kenyataan memperburuk keadaan dimana pemerintah pun juga mengedepankan kepentingan ekonomi daripada melindungi masyarakat. Dalam tulisan Norimatsu, penulis Urashima Etsuko dalam merefleksi tragedi 11 Maret mengatakan If the governments job is to protect people and the environment, it was necessary to evacuate everyone who was at high risk, above all the most vulnerableinfants, children and pregnant womenand to contain radiation to the extent possible. What the government did was exactly the opposite: leaving far too many people in risk-affected areas, and spreading contamination throughout and beyond Japan through food, sludge, rubble, garden soil, and landfill. (Norimatsu, 2011) Kenyataan diabaikannya polling media Jepang yang menyatakan pendapat masyarakat menolak nuklir serta protes masyarakat yang turun di jalan menentang nuklir dengan dihidupkannya kembali reaktor-reaktor nuklir di seluruh Jepang dilanjutkan dengan tetap dilindunginya TEPCO dari kesalahan ledakan reaktor nuklir di Fukushima. Dalam tulisan Asia-Pacific Journal Feature, TEPCO yang menjadi pihak paling bertanggung jawab atas ledakan, namun dikarenakan adanya kesulitan keuangan dalam perusahaan itu maka beban kompensasi terhadap korban nuklir dibebankan kepada pajak yakni dengan dinaikkannya tarif listrik. Hal tersebut diungkap dalam tulisan di Tokyo Shimbun pada 27 Juli 2011.
3

Buruknya kenyataan tersebut dilengkapi dengan tulisan berjudul: Unforgivable TEPCOs Plan to Add Reactors in Fukushima, mengungkapkan di tengah-tengah salah satu krisis nuklir paling serius dalam sejarah dan dengan 30.000 rencana meninggal atau hilang dan hampir setengah juta orang kehilangan tempat tinggal dalam gempa bumi 11 Maret dan tsunami, Tokyo Electric Power Company (TEPCO) telah mengajukan untuk membangun lebih reaktor di Fukushima. Pemilik TEPCO menyampaikan rencana untuk menambah reaktor ketujuh dan kedelapan di lokasi yang terkena bencana Jepang kepada METI. Pemerintah didukung oleh media yang juga bekerjasama dengan TEPCO tetap menjalankan nuklir dengan mengatakan kepada publik bahwa kebocoran nuklir pada 11 Maret 2011 dalam tahap aman dan bisa diatasi. Hal tersebut terbukti dari salah satu pernyataan Mentri Pertanian Kano Mochihiko dalam kunjungannya di lahan pertanian yang disiarkan pada 7 September 2011 oleh NHK: One experiment involved scraping topsoil from paddies, resulting in a 75-percent cut in radioactive cesium from 10,000 to 2,600 becquerels per kilo, said the report, low enough for farmers to plant rice. The minister told Iitate's deputy mayor that the government would "go ahead with its decontamination plan as the experiments have proved successful.(Quintana, 2012) Pada kebijakan dekontaminasi, pemerintah membuang banyak uang dari pajak untuk proyek dekontaminasi yang menurut Ito Nobuyuki justru yang harus diutamakan membiarkan masyarakat pindah dan memulai pertanian di daerah lain. Dalam tulisannya, Quintana juga mengungkapkan bahwa ada kepentingan-kepentingan yang jauh lebih menarik daripada melihat alternatif untuk lingkungan dalam proyek dekontaminasi. Beberapa pemaparan diatas hanya sebagian kecil dari banyaknya hal yang terjadi pasca gempa, tsunami dan ledakan reaktor nuklir di Fukushima. Secara garis besar dapat dilihat bahwa kapitalisme mewarnai pengambilan dan hasil kebijakan pemerintah yang berkuasa. Eratnya hubungan pemerintah dengan pengusaha/kaum dominan di bidang ekonomi menjadikan perhatian kebijakan banyak berdasarkan pertimbangan ekonomi, termasuk tidak disepakatinya perpindahan penggunaan nuklir ke minyak bumi, gas alam maupun nikel/tembaga walaupun diberikan alasan untuk mengurangi efek pemanasan global/efek rumah kaca. GNPisme telah berakar kuat dan menjadi penyatu pihak-pihak ini sehingga kepentingan ekonomi dengan menekan masyarakat miskin untuk menerima pembangunan reaktor nuklir. Selama ini yang disebutkan sebagai permasalahan Jepang yaitu permasalahan masyarakat manula yang semakin bertambah, masalah ekonomi yang stagnan, masalah rekonstruksi gempa-tsunami dan kebocoran reaktor nuklir serta masalah krisis energi. Namun, dibalik permasalahan dua terakhir, muncul permasalah yang lebih serius yaitu semakin dominannya kapitalisme yang mengancam kehidupan masyarakat Jepang seluruhnya dan masyarakat terpinggirkan terkhususnya. Adanya diskriminasi pada kebijakan nasional seperti yang diungkap Norimatsu dalam tulisannya Fukushima and Okinawa the Abandoned People, and Civic Empowerment mengungkapkan bahwa
4

setiap diskriminasi terhadapan masyarakat pinggiran bertujuan untuk melindungi negara dan menjamin kebutuhan energi metropolis. Merujuk pada apa yang sedang hangat disoroti di Jepang tersebut, maka apabila kajian dipindahkan ke Indonesia akan ada beberapa indikasi yang serupa. Jauh sebelum Jepang mengalami tragedi 11 Maret 2011, Indonesia telah mengalami tragedi yang juga menyedot perhatian yaitu bencana semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur panas beracun ini terjadi dikarenakan kesalahan anak perusahaan Bakrie GroupPT Lapindo Brantas dalam pengeboran gas. Menurut pembahasan Asia Sentinel Correspindent, secara garis besar di dalam jurnal dikatakan bagaimana Bakrie Group berhasil menghindar dari berbagai regulasi pemerintahan sehingga segala kesalahan anakanak cabang Bakrie Group tidak pernah dinyatakan dihukum. Pemerintah pada kenyataannya tidak tegas mengadapi orang berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut diatas serupa dengan pemerintah Jepang dalam menghadapi TEPCO. Namun yang perlu dikhawatirkan selanjutnya yaitu ketika saat ini begitu marak korporasi pemerintah dengan pihak-pihak berkuasa yang menjadikan hukum tidak lagi tegas, seperti contoh peradilah anak Menteri Hata Rajasa yang dirasa mendapat hukuman ringan dibanding hukuman sebenarnya. Terbentuknya korporasi ini dapat meluas di berbagai bidang, tidak terkecuali di bidang ekonomi. Apabila di masa mendatang banyak industri besar dibangun, investor dari luar maupun dari dalam negeri meningkat, dengan mengacu pada perkembangan ekonomi Indonesia yang semakin maju, maka tidak menutup kemungkinan perhatian akan terarah pada perekonomian dibandingakan permasalahan kesehatan ataupun sosial masyarakat. Contoh nyata pada saat ini yaitu fasilitas publik yang disediakan untuk publik oleh Badan Negara, seperti kereta api, pada kenyataannya tidak dapat mengedepankan kepentingan kaum terpinggrikan/miskin dengan memasang tarif kereta yang mahal. Hal yang lebih parah lagi berita beberapa bulan terakhir tentang penghapusan kereta ekonomi untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan mengganti menjadi kereta berAC yang tentunya harga tiket lebih mahal. Ditemui dalam berbagai koran baik DetikNews, Tempo hingga Kompas banyak penolakan terhadapap keputusan tersebut. Pemerintah beserta badan-badan negara secara tidak sadar sudah mulai bergerak ke kapitalisme dengan mengedepankan perkembangan ekonomi negara yang pada dasarnya banyak menguntungkan pemerintah (sehingga hasilnya dikorupsi pejabat sendiri) dan kaum bermodal/kelas dominan. Beberapa permasalahan awal tahun ini yang menyoroti upah minimum pekerja juga menunjukkan bagaimana pengusaha dan industri memanfaatkan tenaga buruh. Menghadapi era glbalisasi dengan perdagangan bebas menjadikan semakin berkembangnya kapitalisme di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. Bibit-bibit kapitalisme saat ini sudah banyak terlihat dan kedepannya bukan tidak mungkin kapitalisme akan semakin menguat di Indonesia. Perlu ditinjau kembali beberapa kebijakan yang akan diambil pemerintah dalam perputaran ekonomi di Indonesia.

DAFTAR REFERENSI

Asia-Pacific Journal Feature. (2011). Tokyo Shimbun's Devastating Critique of Fukushima Compensation Bill, The Asia-Pacific Journal, August 03 diakses pada 09 April 2013 pukul 15.44 Asia Sentinel Correspindent. (2008). The Bakrie Group and Economic Meltdown in Indonesia, The Asia-Pacific Journal, October 15 diakses pada 19 April 2013 pukul 22.07 DeWit, Andrew. (2012). Japan: Building a Galapagos of Power? The Asia-Pacific Journal, Vol 10, Issue 47, No. 3, November 19 diakses pada 18 April 2013 pukul 20.45 Kingston, Jeff. (2012). Power politics: Japans Resilient Nuclear Village, The AsiaPacific Journal,Vol 10, Issue 43, No. 1, October 29 diakses pada 09 April 2013 pukul 14.35 Kingston, Jeff. (2011). Ousting Kan Naoto: The Politics of Nuclear Crisis and Renewable Energy in Japan, The Asia-Pacific Journal,Vol 9, Issue 39, No. s, September 26 diakses pada 18 April 2013 pukul 21.34 McNeill, David. (2012). Truth to Power: Japanese Media, International Media and 3.11 Reportage, The Asia-Pacific Journal, Vol 11, Issue 10, No. 3, March 11 diakses pada 09 April 2013 pukul 15.03 Norimatsu, Satoko Oka. (2011). Fukushima and Okinawan the Abandoned People and Civic Empowerment, The Asia-Pacific Journal, Vol 9, Issue 47, No. 3, November 21 diakses pada -9 April 2013 pukul 14.21 Quntana, Miguel. (2012). Radiation Decontamination in Fukushima: A Critical perspective From The Ground, The Asia-Pacific Journal, Vol 10, Issue 13, No. 3, March 26 diakses pada 09 April 2013 pukul 14.33 _____________ . (2011). Unforgivable- TEPCOs Plan to Add Reactors in Fukushima, The Asia-Pacific journal, April 04 diakses pada 09 April 2013 pukul 15.59 id.wikipedia.org diakses pada 18 April 2013 pukul 21.54

Anda mungkin juga menyukai