TENTANG
Menimbang : a.
bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi
kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga
merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan;
b.
bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c.
bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan
mendatang serta keseimbangan ekologis;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Ketiga Undang-undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
3.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil;
2.
Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah termasuk dalam pengertian
ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara;
3.
Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai
peruntukan -peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya;
4.
Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan
kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air;
5.
Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda
tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.
Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu;
7.
Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air;
8.
Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfaatan atau penggunaan air,
pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan atau fungsi ekologis;
9.
Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus
ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air;
10. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu
sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan;
11. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke
dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah;
13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan
beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
14. Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair;
15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu
usaha dan atau kegiatan;
2
16. Pemerintah adalah Presiden beserta para Menteri dan Ketua/Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen;
17. Orang adalah perseorangan, dan atau kelompok orang dan atau badan hukum;
18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan;
Pasal 2
Penyelenggaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 4
(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai dengan peruntukannya
agar tetap dalam kondisi alamiahnya.
(2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui
upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air.
(3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada:
a.
sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
b.
mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
c.
akuifer air tanah dalam.
(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB II
PENGELOLAAN KUALITAS AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 5
(1) Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat
Bagia Kedua
Pendayagunaan Air
Pasal 7
Pasal 8
d.
Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 9
Pasal 10
Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan 9.
Pasal 11
(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan atau penambahan parameter pada air yang
lintas batas Propinsi dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah kewenangan
Pemerintah.
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan
memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
Pasal 12
(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran
dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahankan dan meningkatkan kualitas air.
Pasal 16
(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air dan
mutu air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air.
(2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu
air dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air limbah dari dua atau lebih laboratorium maka
dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
(2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan menggunakan
laboratorium rujukan nasional.
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 18
(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas propinsi dan atau lintas
batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang berada pada
Kabupaten/Kota.
Pasal 19
Pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (1) dapat
menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 20
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing
dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang:
Pasal 23
(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber
air.
(2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
(3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:
a. pemberian izin lokasi;
b. pengelolaan air dan sumber air;
c. penetapan rencana tata ruang;
5
d.
pemberian izin pembuangan air limbah;
e.
penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air.
(4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan Menteri.
Bagian Kedua
Retribusi Pembuangan Air Limbah
Pasal 24
(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dikenakan retribusi.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Penanggulangan Darurat
Pasal 25
Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat
dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pasal 26
Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan.
BAB IV
Pasal 27
Pasal 29
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan
pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib menyampaikan laporannya kepada Bupati/Walikota/Menteri.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak
Pasal 30
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan
pengendalian kualitas air serta pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6
Pasal 31
a. Melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
b. Mengendalikan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 32
Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat
mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 34
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan
izin aplikasi air limbah pada tanah.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan
izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sekurang-kurangnya sekali
dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri.
BAB VI
PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN
PEMBUANGAN AIR LIMBAH
Bagian Pertama
Pemanfaatan Air Limbah
Pasal 35
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib
mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
(3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 36
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya:
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
Pasal 37
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib
mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air.
Pasal 38
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib
menaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin.
7
(2) Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan:
a.
kewajiban untuk mengolah limbah;
b.
persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan;
c.
persyaratan cara pembuangan air limbah;
d.
persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat;
e.
persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah;
f.
persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan wajib
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan;
g.
larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau melepaskan dadakan;
h.
larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dan upaya penaatan batas kadar yang dipersyaratkan;
i.
kewajiban melakukan suatu swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau.
(3) Dalam penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radio
aktif, Bupati/Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang tenaga atom.
Pasal 39
(1) Bupati/Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (2) didasarkan pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air.
(2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum dapat ditentukan,
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis
dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pasal 41
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya:
a.
pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b.
pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c.
pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin
kepada Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pembuangan
air limbah ke air atau sumber air layak lingkungan, maka Bupati/Walikota menerbitkan izin pembuangan air
limbah.
(6) Penerbitan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin.
(7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuangan air limbah ditetapkan oleh Bupati/Walikota
dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan Menteri.
(8) Pedoman kajian pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 42
Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan atau sumber air.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 43
(1) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan untuk meningkatkan
ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.
pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup.
b.
penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif.
(4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dengan membangun sarana dan prasarana pengelolaan
limbah rumah tangga terpadu.
(5) Pembangunan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja
sama dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 44
(1) Bupati/Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2).
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan
daerah.
Pasal 45
Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang
tercantum dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Pasal 46
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(2) dan Pasal 45 berwenang:
a.
melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan, perekaman audio visual, dan pengukuran;
b.
meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepentingan, karyawan yang bersangkutan, konsultan,
kontraktor, dan perangkat pemerintahan setempat.
c.
membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan, antara lain dokumen perizinan,
dokumen AMDAL, UKL, UPL data hasil swapantau, dokumen surat keputusan organisasi perusahaan;
d.
memasuki tempat tertentu;
e.
mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang dibuang, bahan baku, dan bahan penolong;
f.
memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi, utilitas, dan instalasi pengolahan limbah;
g.
memeriksa instalasi, dan atau alat transportasi;
h.
serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan.
(2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi pembuatan denah,
sketsa, gambar, peta, dan atau deskripsi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pengawasan.
Pasal 47
Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlihatkan surat tugas dan atau tanda pengenal.
BAB VIII
Bagian Pertama
Sanksi Administrasi
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 42, Bupati/Walikota berwenang menjatuhkan
sanksi administrasi.
Pasal 49
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 25, Bupati/Walikota/Menteri
berwenang menerapkan paksaan pemerintahan atau uang paksa.
Bagian Kedua
Ganti Kerugian
Pasal 50
(1) Setiap perbuatan melanggar ketentuan berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
9
Bagian Ketiga
Sanksi Pidana
Pasal 51
Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, dan Pasal 42,
yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Baku mutu air limbah untuk jenis usaha dan atau kegiatan tertentu yang telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 53
(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk aplikasi pada tanah, maka dalam jangka
waktu satu tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memiliki izin pemanfaatan air limbah
pada tanah dari Bupati/Walikota.
Pasal 54
Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan
selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 55
Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan pasal 12 ayat (1) belum atau
tidak ditetapkan, berlaku kriteria mutu air untuk Kelas II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah
ini sebagai baku mutu air.
Pasal 56
(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku
mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
(2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air dalam Peraturan
Pemerintah ini, maka baku mutu air sebelumnya tetap berlaku.
Pasal 57
(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu air limbahnya, maka baku mutu air limbah
yang berlaku di daerah tersebut dapat ditetapkan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Propinsi.
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 59
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3409) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 60
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan perundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
10
Ditetapkan di : Jakarta
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
Lambock V. Nahattands
11
PARAMETER SATUAN
KELAS
KETERANGAN I II III IV
FISIKA
KIMIA ORGANIK
FISIKA
MIKROBIOLOGI
-Fecal coliform Jml/100 ml 100 1000 2000 2000 Bagi pengolahann air minum secara konvensional, fecal coliform <
-Total coliform Jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 2000 jml/100 mL dan Total coliform < 10000 jml/100 mL
RADIOAKTIVITAS
KIMIA ORGANIK
FISIKA
Heptachlor dan
heptachlor epoxide
ug/L 18 (-) (-) (-)
Lindane ug/L 56 (-) (-) (-)
12
Keterangan :
mg
= milligram
ug
= microgram
ml
= milliliter
= Liter
Bq
= Bequerel
MBAS
= Methyne Blue Active Substance
ABAM
= Air Baku untuk Air Minum
Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum.
Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termaksud, parameter tersebut tidak dipersyaratkan.
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
ttd
13
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
UMUM
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat
tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan
tingkat mutu air yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air
merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiahnya.
Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas
air pada sumber air di luar hutan lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya
memelihara fungsi air sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air.
Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang
kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi
kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan
menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada
akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion).
Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat penting maka harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus
dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu
air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan bermanfaat bagi
kehidupan dan perikehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna
menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia memerlukan air
yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran
yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya. Agar air
dapat bermanfaat secara lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan
perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di samping nilai ekologik, dan sosial budaya.
Upaya pemulihan kondisi air yang cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila
dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang menyebabkan pencemarannya. Demikian pula
bila kondisi air yang cemar dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air yang cemar
Berdasarkan definisinya, Pencemaran air yang diindikasikan dengan turunnya kualitas air sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat tertentu
tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah
terjadinya pencemaran air, juga merupakan arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau dipertahankan
oleh setiap program kerja pengendalian pencemaran air.
Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (designated beneficial water uses), juga didasarkan
pada kondisi nyata kualitas air yang mungkin berada antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu,
penetapan baku mutu air dengan pendekatan golongan peruntukkan perlu disesuaikan dengan menerapkan
pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas air). Penetapan baku mutu air yang didasarkan pada peruntukan semata
akan menghadapi kesulitan serta tidak realistis dan sulit dicapai pada air yang kondisi nyata kualitasnya tidak layak
untuk semua golongan peruntukan.
14
Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan kondisi airnya, akan dapat dihitung
berapa beban zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat tetap berfungsi
sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan daya tampung beban pencemaran bagi air
penerima yang telah ditetapkan peruntukannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air dianggap tidak memadai lagi,
karena secara substansial tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana dikandung dalam Undangundang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada dan atau mengalir melintasi batas
wilayah administrasi pemerintahan, maka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
tidak hanya dapat dilakukan sendiri-sendiri (partial) oleh satu pemerintah daerah. Dengan demikian
harus dilakukan secara terpadu antar wilayah administrasi dan didasarkan pada karakter ekosistemnya
sehingga dapat tercapai pengelolaan yang efisien dan efektif.
Keterpaduan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ini dilakukan melalui upaya
koordinasi antar pemerintah daerah yang berada dalam satu kesatuan ekosistem air dan atau satu
kesatuan pengelolaan sumber daya air antara lain daerah aliran sungai (DAS) dan daerah pengaliran
sungai (DPS). Kerja sama antar daerah dapat dilakukan melalui badan kerja sama antar daerah.
Dalam koordinasi dan kerja sama tersebut termasuk dengan instansi terkait, baik menyangkut rencana
pemanfaatan air, pemantauan kualitas air, penetapan baku mutu air, penetapan daya tampung,
penetapan mekanisme perizinan pembuangan air limbah, pembinaan dan pengawasan penaatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk memelihara kualitas air untuk tujuan melestarikan fungsi
air, dengan melestarikan (conservation) atau mengendalikan (control). Pelestarian kualitas air
dimaksudkan untuk memelihara kondisi kualitas air sebagaimana kondisi alamiahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kondisi alamiah air pada sumber air dalam hutan lindung, mata air dan akuifer air tanah dalam secara
umum kualitasnya sangat baik. Air pada sumber-sumber air tersebut juga akan sulit dipulihkan
kualitasnya apabila tercemar, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk pemulihannya. Oleh karena itu
harus dipelihara kualitasnya sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air kualitas airnya perlu
dilestarikan sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata air di dalam maupun di luar hutan lindung.
Air di bawah permukaan tanah berada di wadah atau tempat yang disebut akuifer.
Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada di antara dua lapisan batuan geologis tertentu,
yang menerima resapan air dari bagian hulunya.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
15
Ayat (4)
Upaya pengendalian pencemaran air antara lain dilakukan dengan membatasi beban pencemaran
yang ditenggang masuknya ke dalam air sebatas tidak akan menyebabkan air menjadi cemar (sebatas
masih memenuhi baku mutu air).
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Rencana pendayagunaan air meliputi penggunaan untuk pemanfaatan sekarang dan masa yang
akan datang. Rencana pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu air dan
Ayat (2)
Air pada lingkungan masyarakat setempat dapat mempunyai fungsi dan nilai yang tinggi dari aspek
sosial budaya. Misalnya air untuk keperluan ritual dan kultural.
Ayat (3)
Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air yang digunakan sekarang ini ( existing uses) dan potensi
air sebagai cadangan untuk pemanfaatan di masa mendatang ( future uses).
Pasal 8
Ayat (1)
Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan
kegunaannya. Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan tingkatan yang terbaik. Secara relatif, tingkatan
mutu air Kelas Satu lebih baik dari Kelas Dua, dan selanjutnya.
Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan kemungkinan kegunaannya bagi suatu
peruntukan air (designated beneficial water uses).
Air baku air minum adalah air yang dapat diolah menjadi air yang layak sebagai air minum dengan
mengolah secara sederhana dengan cara difiltrasi, disinfeksi, dan dididihkan.
Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang
akan menjadi dasar untuk penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air yang
dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu.
Peruntukan lain yang dimaksud misalnya kegunaan air untuk proses industri, kegiatan penambangan
dan pembangkit tenaga listrik, asalkan kegunaan tersebut dapat menggunakan air dengan mutu air
sebagaimana kriteria mutu air dari kelas air dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk mengetahui informasi mengenai keadaan mutu air
saat ini (existing quality), rencana pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang diinginkan,
dan tingkat mutu air yang akan dicapai (objective quality).
16
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi pedoman untuk menentukan keadaan mutu air,
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pengetatan dan atau penambahan parameter tersebut didasarkan pada kondisi spesifik, antara lain
atas pertimbangan karena di daerah tersebut terdapat biota dan atau spesies sensitif yang perlu
dilindungi.
Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah yang tingkat kualitas airnya lebih baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air meliputi, antara lain rencana pemantauan,
pengharmonisasian operasi pemantauan kualitas air, pelaporan dan pengelolaan data hasil
pemantauan.
Pasal 14
Ayat (1)
Status mutu air merupakan informasi mengenai tingkatan mutu air pada sumber air dalam waktu
tertentu.
Tidak memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air tingkat kualitas
airnya lebih buruk dari baku mutu air.
Memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air tingkat kualitas airnya
sama atau lebih baik dari baku mutu air.
17
Dalam hal metoda baku penilaian status mutu air belum ditetapkan dalam peraturan perundangundangan,
dapat digunakan kaidah ilmiah.
Contoh parameter yang belum tercantum dalam kriteria mutu air sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah ini antara lain, parameter-parameter bio-indikator dan toksisitas.
Ayat (2)
Kondisi cemar dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti tingkatan cemar berat, cemar sedang,
dan cemar ringan. Demikian pula kondisi baik dapat dibagi menjadi sangat baik dan cukup baik.
Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara lain dengan menggunakan suatu indeks.
Pasal 15
Ayat (1)
Penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air yang dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, meliputi pula program kerja pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air secara berkesinambungan.
Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang direncanakan untuk dapat diwujudkan
dalam jangka waktu tertentu melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang berwenang melaksanakan akreditasi laboratorium dibidang
pengelolaan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Inventarisasi adalah pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk mengetahui sebab dan
faktor yang menyebabkan penurunan kualitas air.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
18
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil inventarisasi sumber pencemaran air diperlukan antara lain untuk penetapan program kerja
Ayat (4)
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Daya tampung beban pencemaran pada suatu sumber air dapat berubah dari waktu ke waktu mengingat
antara lain karena fluktuasi debit atau kuantitas air dan perubahan kualitas air.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pengenaan retribusi tersebut sebagai konsekuensi dari penyediaan sarana pengolahan (pengelolaan)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Pencemaran air akibat keadaan darurat dapat disebabkan antara lain kebocoran atau tumpahan bahan
kimia dari tangki penyimpanannya akibat kegagalan desain, ketidak-tepatan operasi, kecelakaan dan atau
bencana alam.
Upaya pengendalian pencemaran air dalam ayat ini antara lain dapat berupa prasarana dan sarana
pengelolaan air limbah terpadu (sewerage treatment plant). Upaya termaksud dapat dilakukan melalui
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Pejabat yang berwenang yang dimaksud antara lain, adalah Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.
Ayat (3)
Cukup jelas
19
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara
lain laboratorium kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan
kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir
sampah (TPA).
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang dimaksud dapat
berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan
atau pengendalian pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui
masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi
hasil pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas air, dan
rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi proses pengambilan keputusan, baik dengan cara
mengajukan keberatan maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian
dan atau perumusan kebijaksanaan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, dan
melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan
memungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pasal 32
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara
lain laboratorium kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan
kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir
sampah (TPA).
Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Pemberian informasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik atau papan pengumuman yang
meliputi antara lain:
20
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan format terminal data ( data base) pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Air limbah dari suatu usaha dan atau kegiatan tertentu dapat dimanfaatkan untuk mengairi areal
pertanaman tertentu dengan cara aplikasi air limbah pada tanah ( land aplication), namun dapat berisiko
terjadinya pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan atau air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha
atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Aplikasi pada tanah perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu secara spesifik berkenaan dengan
kandungan dan debit air limbah, sifat dan luasan tanah areal pertanaman yang akan diaplikasi, dan
jenis tanamannya, untuk mengetahui cara aplikasi yang tepat sehingga dapat mencegah pencemaran
tanah, air tanah, dan air serta penurunan produktivitas pertanaman.
Ayat (2)
Persyaratan penelitian dimaksud merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi. Oleh karena
itu maka persyaratan lain berdasarkan penelitian yang dianggap perlu dimungkinkan untuk
ditambahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Pedoman pengkajian meliputi, antara lain, petunjuk mengenai rencana penelitian, metode, operasi,
dan pemeliharaan.
Pasal 37
Cukup jelas
21
Pasal 38
Ayat (1)
Pembuangan air limbah adalah pemasukan air limbah secara pelepasan ( discharge) bukan secara
dumping dan atau pelepasan dadakan (shock discharge).
Air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bukan merupakan sisa kegiatan PLTA,
sehingga tidak termasuk dalam ketentuan Pasal ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Masuknya air limbah ke dalam air dapat menurunkan kualitas air tergantung beban pencemaran air
limbah dan kemampuan air menerima beban tersebut.
Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari baku mutu air berarti masih memiliki kemampuan untuk
menerima beban pencemaran. Apabila beban pencemaran yang masuk melebihi kemampuan air
menerima beban tersebut maka akan menyebabkan pencemaran air, yaitu kondisi kualitas air tidak
memenuhi baku mutu air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan atau slurry.
Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau penempatan material sisa usaha dan
atau kegiatan penambangan berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air.
Contoh dari pembuangan gas misalnya memasukkan pipa pembuangan gas yang mengandung unsur
pencemar seperti Ammonium dan atau uap panas ke dalam air dan atau pada sumber air.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Contoh kebijakan disinsentif antara lain dapat berupa pengenaan biaya pembuangan air limbah
yang lebih mahal dari tarif baku, menambah frekuensi swapantau, dan mengumumkan kepada
masyarakat riwayat kinerja penaatannya.
Pasal 44
Cukup jelas
22
Pasal 45
Hal tertentu yang dimaksud antara lain daerah belum mampu melakukan pengawasan sendiri, belum ada
pejabat pengawas lingkungan daerah, belum tersedianya sarana dan prasarana atau daerah tidak melakukan
pengawasan.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan
yang bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro kimia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Sanksi administrasi meliputi teguran tertulis, penghentian sementara, dan pencabutan izin melakukan
usaha dan atau kegiatan.
Pasal 49
Paksaan pemerintahan adalah tindakan untuk mengakhiri terjadinya pelanggaran, menanggulangi akibat
yang ditimbulkan oleh pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan atau pemulihan
atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan. Atau tindakan tersebut
di atas dapat diganti dengan uang paksa ( dwangsom).
Pasal 50
Ayat (1)
Pengaturan ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut
asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan atau perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya
perintah untuk:
a.
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku
mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
b.
memulihkan fungsi lingkungan hidup;
c.
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Tindakan tertentu yang dimaksud antara lain melakukan penyelamatan dan atau tindakan
penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan
untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari.
23
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
24
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 28 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa berdasarkan Pasal 35 jo Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kajian pemanfaatan air limbah ke
tanah merupakan persyaratan yang harus dilakukan dalam pengajuan permohonan izin
pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
b.
bahwa salah satu pemanfaatan air limbah ke tanah adalah pemanfaatan air limbah dari industri
minyak sawit pada perkebunan kelapa sawit;
c.
bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pedoman teknis pengkajian
pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah ditetapkan dengan Keputusan Menteri
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
5.
Peraturan Perundang-undangan Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
6.
Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN
PEMANFAATAN AIRLIMBAHDARIINDUSTRIMINYAKSAWITPADA TANAHDIPERKEBUNANKELAPA
SAWIT.
Pasal 1
(1) Setiap pemrakarsa yang akan memanfaatkan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit wajib mengajukan permohonan pengkajian pemanfaatan kepada Bupati/Walikota.
(2) Permohonan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa
sawit didasarkan pada salah satu hasil kajian berikut ini :
a.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b.
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);
c.
Studi Mengenai Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) ;
d.
Dokumen Pengelolaan Lingkungan (DPL).
Pasal 2
Bupati/Walikota menyetujui usulan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit dengan syarat dan tata cara berpedoman pada Keputusan ini.
Pasal 3
d.
BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
e.
nilai pH berkisar 6-9;
f.
dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
g.
dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
h.
dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
i.
tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter;
j.
areal pengkajian seluas 10 – 20 persen dari seluruh areal yang akan digunakan untuk pemanfaatan air
limbah;
k.
pembuatan sumur pantau.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai kebutuhan
masing-masing daerah yang bersangkutan.
(3) Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
Pasal 4
Bupati/Walikota menerbitkan surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah
di perkebunan kelapa sawit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak usulan pengkajian diterima.
Pasal 5
Dalam surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit wajib dicantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a.
hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b.
metode dan frekuensi pemantauan;
c.
pelaporan hasil pemantauan yang disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur
provinsi yang bersangkutan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ;
d.
larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalan Keputusan ini;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku.
Pasal 6
Pasal 8
Persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan
dicabut apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.
Pasal 9
Berdasarkan hasil kajian seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), pemrakarsa mengajukan permohonan izin
pemanfaatan air limbah kepada Bupati/Walikota.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
26
A
PENDAHULUAN
Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah ini dibuat agar terdapat kesesuaian pemahaman
mengenai aspek-aspek yang harus ditinjau dalam menentukan kelayakan lingkungan dari suatu kegiatan
Selain itu, pengkajian dimaksudkan untuk mengetahui rona awal sebagai data dasar dalam penentuan ada
tidaknya pencemaran dan dalam pengelolaan pemanfaatan selanjutnya. Melalui pengkajian ini pemrakarsa
akan memperoleh pengalaman dalam mempersiapkan program pemantauan dan melaksanakannya.
Pada kenyataannya dalam menentukan ada atau tidaknya pencemaran tanah diperlukan waktu yang relatif
panjang karena tanah memiliki kemampuan penyanggaan yang tinggi untuk meredam pengaruh luar. Akan
tetapi agar pengkajian pemanfaatan air limbah segera mendapat kepastian status hukum, maka ditetapkan
waktu pengkajian selama minimal 1 (satu) tahun di mana dalam kurun waktu tersebut kecenderungan adanya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan dapat diketahui.
Guna meminimalisasi terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan akibat pemanfaatan air limbah
minyak sawit, maka di dalam pedoman ini dijelaskan hal-hal yang harus dilakukan baik oleh pemerintah, maupun
pemrakarsa dalam pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah.
B.
FUNGSI DAN TUJUAN
Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan dalam melakukan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri
minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit.
C.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kajian meliputi:
1.
Mengidentifikasi rencana pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah.
2.
Memperkirakan dan mengevaluasi pengaruh pemanfaatan air limbah industri minyak sawit terhadap tanah,
air tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat.
D.
TATACARA PENGKAJIAN
1.
Usulan kegiatan pengkajian pemanfaatan air limbah dan evaluasinya.
Dalam melakukan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah, pemrakarsa wajib terlebih dahulu memberitahukan
rencana kegiatan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah ( Land Application) kepada Bupati/Walikota dengan
menyampaikan surat pemberitahuan beserta usulan rencana pengkajian. Selanjutnya Bupati/Walikota
menyampaikan usulan pengkajian kepada Instansi yang bertanggung jawab.
2. Usulan pengkajian meliputi :
a. Lokasi dan Waktu Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah:
a.1. Lokasi:
a.1.1.
Pemrakarsa harus menetapkan luas seluruh lokasi lahan yang akan digunakan untuk
pemanfaatan air limbah.
a.1.2.
Pemrakarsa harus menetapkan luas lokasi yang akan digunakan untuk pengkajian dan kontrol
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.1.2.1. Luas lahan pengkajian adalah 10 -20 persen dari seluruh luas lahan yang diusulkan
untuk pemanfaatan air limbah.
a.1.2.2.Luas lahan kontrol adalah 1-5 persen dari luas lahan yang diusulkan untuk pemanfaatan
air limbah.
a.1.3.
Lahan pengkajian dan lahan kontrol harus merupakan bagian dari lahan yang akan mengalami
pemanfaatan air limbah pada tanah dan memiliki karakteristik, jenis dan usia tanam pohon
yang sama.
b.1. Flatbed system atau sistem parit datar adalah sistem irigasi yang ditampung dengan kolam-kolam
datar bersambung untuk lahan dengan ketinggian relatif tidak sama atau terasiring (Gb.1).
b.2. Furrow system (Gb. 2) atau sistem parit/saluran alir tertutup. Sistem furrow sendiri ada dua (2)
macam, yaitu: zig-zag furrow dan straight furrow. Zig-zag furrow digunakan di area dimana
kecuramannya relatif tinggi (lebih dari 30 derajat), hal ini dimaksudkan untuk memperlambat aliran
dan mengurangi erosi di area yang lebih tinggi dan mengurangi genangan di area yang lebih
rendah dimana dengan begitu diharapkan distribusi yang rata. Straight furrow digunakan di area
yang kecuramannya lebih rendah (di bawah 30 derajat).
b.3. Long Bed system (Gb. 3) atau sistem saluran panjang berbaris untuk lahan dengan ketinggian
sama atau rata dan tanah dengan permeabilitas rendah (daya serap ke dalam tanah tidak bagus).
Gb.1
Gb.2 Gb.3
c.
Dosis, debit dan rotasi pemanfaatan:
Mekanisme perhitungan dosis, debit, kebutuhan lokasi dan rotasi penyiraman atau pemanfaatan air
limbah dapat menggunakan contoh perhitungan sebagai berikut:
Luas Lokasi = Debit air limbah (m3/tahun)
Dosis air limbah (m3/ha/tahun )
Debit air limbah = Kapasitas olah Pabrik Kelapa Sawit x Rasio produksi air limbah
terhadap Produksi TBS.
Rasio ini berkisar antara 0,6 – 0,8 (m3 limbah/ton TBS diproduksi)
(a). 0 -20 cm
(b). 20 -40 cm
(c). 40 -60 cm
(d). 60 -80 cm
(e). 80 -100 cm
(f). 100 -120 cm
(a). Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil
dengan menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan
digunakan untuk mengukur parameter seperti pH, Kapasitas Tukar
Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur
tertentu serta tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau
lempung). Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan
menggunakan bor tanah mineral, sampel tanah diambil pada
setiap 20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis. Berat sampel
tanah terganggu yang diambil dengan menggunakan masingmasing
+ 0.5 kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam
kantong plastik rangkap 2 (dua). Dengan diberi label yang jelas
sesuai lokasi dan kedalamannya.
No Parameter Metode
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
pH dalam air
C-organik
N Total
P tersedia
Kation dapat ditukar K, Na, Ca, Mg
Kapasitas tukar kation
Kejenuhan Basa
Logam-logam berat (Pb, Cu, Cd, Zn)
Tekstur (pasir, debu, liat)
Minyak lemak
pH-meter
Walkley – Black
Kjeldahl
Bray I
NH40Ac pH 7.0
Diukur dengan atomic absorption
Spectrophotometer
(Ca+Mg+K+Na)/KTK * 100%
Destruksi basah
Pipet
Soklet
d.1.2.2.
Sampel Air Tanah
Lokasi
Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol,
lahan pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah dan sumur penduduk
terdekat yang lokasinya lebih rendah dan diperkirakan memiliki peluang tercemar
air limbah.
d.1.2.3.
Sampel Air Limbah
Lokasi
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air
limbah
Pengambilan Sampel
d.1.3.
Kebauan:
Pengukuran tingkat kebauan dilakukan di lokasi kebun yang digunakan untuk pengkajian
pemanfaatan air limbah pada tanah dan sekitarnya.
Parameter kebauan mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
50 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan.
d.1.4.
Dampak terhadap tanaman dan masyarakat disekitarnya.
Pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui dampak pemanfaatan air limbah pada
tanah terhadap tanaman adalah pengamatan hasil panen pada tandan buah segar yang
ada di lokasi kajian pemanfaatan air limbah dan di lahan kontrol. Sedangkan pengamatan
dampak terhadap masyarakat adalah pengamatan yang dilakukan terhadap masyarakat
terdekat dengan lokasi kajian pemanfaatan air limbah adalah pengamatan terhadap penyakit
Apabila dari hasil evaluasi tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan, maka pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dapat dilanjutkan. Sedangkan bila hasil
evaluasi menunjukkan adanya indikasi pencemaran maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus
dihentikan yang berarti persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dicabut dan pemrakarsa
harus melakukan pemulihan kualitas lingkungannya.
30
E.
PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PENGKAJIAN
Pengarahan yang wajib diberikan kepada pemrakarsa dalam menyusun Laporan Pelaksanaan Pengkajian
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit mengacu pada
sistematika berikut:
BAB I.
PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan ini mencakup:
I.1.
Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah ditinjau
dari:
a.
Kaitan rencana usaha/kegiatan dengan dampak penting yang ditimbulkan terhadap
lingkungan
b.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
c.
Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dikaitkan dengan konsep Nir Emisi
(Zero Emissions).
I.2.
Tujuan
Pada bagian ini disebutkan tujuan dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah dengan
mengacu kepada beberapa aspek, antara lain:
a.
Aspek Hukum : sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin pemanfaatan air limbah ke
tanah untuk aplikasi pada tanah (Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82
II.1.
Kebun
Pada bagian ini menjelaskan teknik budidaya yang diterapkan di kebun bersangkutan, meliputi:
a.
Penanaman
Secara singkat dijelaskan tahun tanam, susunan dan jarak tanam;
b.
Perawatan Tanaman
Perawatan yang dilakukan meliputi penyulaman, penanaman tanaman sela,
pemberantasan gulma, pemangkasan, pemupukan, replanting, kastrasi, penyerbukan
buatan serta pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penjelasan tentang pemupukan
diuraikan secara rinci, menyangkut jenis pupuk, dosis, waktu pemberian, cara pemberian
dan pemanfaatan air limbah jika telah dilakukan;
c.
Panen
Dijelaskan secara singkat kriteria matang panen yang diterapkan, cara panen, rotasi dan
sistem panen.
II.2.
Pabrik
Pada bagian ini diuraikan secara singkat tentang pengolahan hasil serta pengolahan dan
pemanfaatan limbah sebagai berikut:
a.
Produksi
Jelaskan berapa besar produksi (ton TBS/ha/tahun) yang dicapai dan kandungan rendemen
(prosentase/tonTBS);
b.
Pengolahan Hasil
Diuraikan secara singkat pengangkutan TBS ke pabrik, perebusan TBS, perontokan dan
pelumatan buah, pemerasan atau ekstrasi minyak sawit, pemurnian dan penjernihan minyak
sawit, pengeringan dan pemecahan biji, agar disajikan dalam flow diagram neraca bahan
termasuk neraca air, bahan baku, bahan penolong dan sumber air yang digunakan;
31
a.
Rona lingkungan hidup wilayah kegiatan dibatasi pada komponen-komponen lingkungan
yang berkaitan dengan pengkajian pemanfaatan air limbah atau berpotensi terkena
dampak;
b.
Komponen-komponen lingkungan hidup pada butir a harus digambarkan secara jelas
dan detail.
Berikut ini adalah beberapa komponen lingkungan hidup yang minimal harus tergambar dalam Rona
Lingkungan. Pemrakarsa dapat menelaah komponen lingkungan yang lain di luar komponen tersebut
apabila dianggap penting dan terkait dengan pemanfaatan air limbah. Pada lokasi pemanfaatan air
limbah di lahan perkebunan dan lokasi lahan kontrol disajikan pada peta skala minimal 1:50.000.
III.1.
Morfologi Lahan
Bagian ini berisi gambaran menyeluruh tentang kelerengan (kemiringan lereng) dan bentuk. Kondisi
morfologi ini akan sangat berpengaruh terhadap arah aliran air tanah dan air permukaan yang
secara tidak langsung akan mempengaruhi arah aliran air limbah yang dimanfaatkan di permukaan
tanah. Kemiringan lereng diwujudkan dalam bentuk Peta Kemiringan Lereng (contoh terlampir)
dan bentuk lahan diwujudkan dalam bentuk Peta Bentuk Lahan. Peta Kemiringan Lereng harus
memuat informasi Kelas lereng sebagaimana diuraikan dalam Tabel 4.
Datar 0-3%
Landai 3-8%
Agak Miring
Miring
Agak Curam
Curam
Sangat Curam
8-16%
16-30%
30-45%
45-65%
>65%
b.1.
Apabila topografi lokasi kebun relatif datar, disimpulkan dari komponen tanah pada
sebagian besar lokasi kebun atau yang diambil secara acak dan representatif dari seluruh
lokasi kebun;
b.2.
Apabila topografi kebun miring atau bergelombang, perlu dibedakan rona tanah pada
lokasi yang mempunyai ketinggian relatif besar dengan rona tanah pada ketinggian yang
relatif kecil
32
c.
Sifat Geofisik Tanah
Pada bagian ini harus tergambar stabilitas tanah yaitu kerawanan terhadap bahaya lingkungan,
seperti: longsor dan gempa.
III.3. Hidrologi
Dua komponen hidrologi yang perlu diperhatikan adalah:
a.
Air Permukaan (surface water) yang mencakup semua air pada tubuh air di permukaan, misalnya:
sungai, anak-anak sungai dan alur sungai, danau, pond dan rawa. Data yang diperlukan adalah:
a.1.
Peta air permukaan (surface water) dan data lain tentang air permukaan:
a.1.1.
Berisi informasi sungai, anak-anak sungai dan alur sungai;
a.1.2.
Buffer area (100 m dari tepi/bibir sungai utama atau 50 m dari tepi anak-anak sungai pada
saat pasang tertinggi;
a.1.3.
Sifat aliran (mengalir sepanjang tahun, mengalir pada musim tertentu atau jika hanya ada
hujan saja);
a.1.4.
Pola aliran (dendritik, anguler, trelis, dan lain-lain);
a.1.5.
b.1.1.
Peta Topografi
Yang memuat informasi kontur ketinggian dan kemiringan lereng;
b.1.2.
Peta Geologi
Diperlukan untuk mengetahui tipe aquifer ;
b.1.3.
Data kecepatan infiltrasi dan kapasitas infiltrasi
Yang diambil di beberapa lokasi sesuai dengan perbedaan morfologi (lereng/bentuk lahan);
b.1.4.
Peta air tanah
Yang memuat informasi kedalaman air tanah (dengan variasi musim) dan arah aliran
tanah dan tipe aquifer;
b.1.5.
Lokasi dan jumlah sumur pantau
Ditentukan berdasarkan:
(a). Arah aliran air tanah;
(b). Morfologi;
(c). Jarak dari lokasi pemanfaatan air limbah;
(d). Kedalaman air tanah;
(e). Kecepatan infiltrasi (yang ini perlu dibuat formulanya dan alasan-alasannya);
b.1.6.
Kualitas air tanah
Yang diambil pada sumur pantau;
b.1.7.
Pola pemanfaatan air tanah
Yang memuat informasi:
(a). Untuk air minum, mandi, cuci;
(b). Industri;
33
Data tentang iklim di lokasi kebun diperlukan untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap kelayakan
pemanfaatan air limbah dan dampak pemanfaatan air limbah terhadap lingkungan.
a.
Komponen iklim yang perlu ditelaah antara lain curah hujan, jumlah hari hujan, arah dan
kecepatan angin serta iklim.
b.
Penelaahan yang dilakukan untuk setiap komponen iklim adalah rata-rata bulanan dan tahunan
minimal selama lima tahun terakhir. Untuk arah dan kecepatan angin yang perlu ditelaah hanya
pada ketinggian yang umum untuk kawasan pemukiman.
c.
Perubahan-perubahan pola iklim juga perlu ditelaah, terutama yang menimbulkan pengaruh
yang sangat nyata, misalnya menyebabkan terjadinya banjir atau tanah longsor.
d.
Data komponen-komponen iklim diambil dari stasiun klimatologi atau Badan Meteorologi dan
Geofisika sistem pengamatan terdekat.
BABIV. PENGKAJIANPEMANFAATANAIRLIMBAH
Pengamatan dilakukan terhadap masyarakat terdekat dengan lokasi pemanfaatan air limbah
terhadap vektor penyebab penyakit.
BAB V.
KESIMPULAN
Bagian ini harus memuat kesimpulan teknis hasil pengkajian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini diutarakan pustaka atau referensi yang digunakan untuk keperluan penyusunan laporan
pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pada bagian ini dilampirkan data pendukung seperti Peta Lokasi, Peta Bentuk Lahan, dan data-data
pendukung lainnya yang dianggap perlu.
F.
PEMANTAUAN/PENGAWASAN DAN EVALUASI HASIL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGKAJIAN
Pengamatan dan pengawasan dalam pengkajian ini dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab yang
ditunjuk oleh Bupati/Walikota setelah pemrakarsa mendapatkan persetujuan pelaksanaan pengkajian
pemanfaatan air limbah. Pengamatan dan pengawasan dilaksanakan terhadap kondisi tanah, air tanah, air
limbah, dan lain-lain secara berkala dan ditekankan pada dampak terhadap lingkungan serta dampak terhadap
tanaman dan masyarakat disekitarnya seperti yang tertulis dalam butir-butir dalam mekanisme pengkajian.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo,MPA.
35
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 29 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN SYARAT DAN TATA
CARA PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT.
Pasal 1
Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah
Pasal 2
(1) Pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa
sawit diajukan berdasarkan hasil kajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit.
(2) Pedoman pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman
Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
Pasal 3
(1) Persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dalam hal pengajuan izin pemanfaatan air limbah industri sawit pada
tanah di perkebunan kelapa sawit, yaitu:
a.
BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
b.
nilai pH berkisar 6-9;
c.
dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
d.
dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
e.
dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
f.
tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter; dan
g.
pembuatan sumur pantau.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai dengan
kebutuhan masing-masing daerah yang bersangkutan.
(3) Pedoman tentang syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
36
Pasal 4
Pasal 5
Surat Keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib
mencantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a.
hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b.
metode dan frekuensi pemantauan;
c.
pelaporan hasil pemantauan, dilakukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota sekurang-kurangnya
dilakukan 6 (enam) bulan sekali dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur provinsi yang bersangkutan
dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ;
d.
larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalam Keputusan ini;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku .
Pasal 6
Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan atas pelaksanaan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit
pada tanah di perkebunan kelapa sawit.
Pasal 7
Izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila
ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.
Pasal 8
(1) Bagi pemrakarsa yang telah mendapatkan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah
perkebunan di perkebunan kelapa sawit, pada saat Keputusan ini ditetapkan izin tersebut dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.
(2) Apabila persyaratan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan dengan Keputusan ini, maka wajib
disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah Keputusan ini ditetapkan.
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003
ttd
ttd
Hoetomo,MPA.
37
I. PENDAHULUAN
Air limbah yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pemupukan pada tanah
perkebunan karena air limbah tersebut pada kondisi tertentu masih mengandung unsur-unsur hara yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Pemupukan dengan air limbah ini pada umumnya dilakukan dengan mengalirkan
air limbah yang berasal dari kolam penanganan limbah ke parit-parit yang ada di perkebunan. Akan tetapi di sisi
lain, pemanfaatan air limbah pada tanah juga secara potensial menimbulkan pencemaran lingkungan atau
bahkan akan menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit di kawasan pemanfaatan air limbah itu sendiri.
Dengan melihat kondisi tersebut di atas dan untuk mengurangi resiko pencemaran lingkungan yang terjadi
maka pemanfaatan air limbah pada tanah dapat dilakukan setelah pemrakarsa melakukan pengkajian dan
mendapat izin dari Bupati/Walikota. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Guna mempermudah pelaksanaan pemberian izin pemanfaatan air limbah pada tanah oleh Bupati/Walikota
maka perlu disusun Pedoman Perizinan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah.
II.
PROSEDUR PERMOHONAN IZIN
Prosedur pemberian izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah adalah sebagai berikut:
1.
Pemrakarsa menyampaikan permohonan Izin kepada Bupati/Walikota untuk melaksanakan pemanfaatan
air limbah pada tanah. Pengajuan Permohonan Izin Pelaksanaan pemanfaatan air limbah dilakukan setelah
pemrakarsa selesai melakukan pengkajian aplikasi air limbah pada tanah dan melampirkan dokumendokumen
berikut:
a) Laporan hasil pengkajian pemanfaatan air limbah (land application);
b) Dokumen AMDAL/SEMDAL/DPL/UKL/UPL yang telah mencantumkan rencana pelaksanaan
2.
Bupati/Walikota memberikan penugasan kepada Instansi yang bertanggung jawab dan mempunyai
kewenangan dalam menangani pengendalian dampak lingkungan di kabupaten/kota (Bapedalda/Dinas
Lingkungan Hidup/Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditunjuk) untuk
melakukan evaluasi terhadap permohonan izin tersebut. Penugasan ini diberikan segera oleh Bupati/
Walikota setelah menerima permohonan izin dari pemrakarsa.
3.
Instansi yang bertanggung jawab melakukan evaluasi terhadap usulan rencana kegiatan pemanfaatan air
limbah pada tanah yang meliputi:
a.
Pengecekan kelengkapan dokumen yang dilakukan segera setelah mendapat penugasan dari Bupati/
Walikota.
1).
Jika dokumen yang diajukan oleh pemrakarsa sudah lengkap (seperti yang telah disebutkan di
atas), pemrakarsa akan diminta untuk mengadakan presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan
air limbah;
2).
Jika dokumen yang diajukan kurang lengkap, pemrakarsa akan diberi waktu untuk melengkapi
kekurangan dokumen. Setelah dievaluasi dan dinyatakan lengkap, pemrakarsa akan diminta untuk
mengadakan presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan air limbah.
b.
Verifikasi teknis yang dimaksudkan adalah untuk mengetahui kelayakan teknis dari permohonan izin
tersebut. Kegiatan verifikasi teknis meliputi:
1).
Permintaan presentasi kepada pemrakarsa di dekat lokasi kajian pemanfaatan air limbah yang
dilaksanakan setelah kelengkapan dokumen terpenuhi, dihadiri oleh Instansi yang bertanggung
jawab yang ditunjuk Bupati/ Walikota dan Instansi Teknis terkait. Evaluasi presentasi meliputi
kesesuaian muatan presentasi dengan materi yang ditulis dalam laporan dan atau ketentuan
yang tertuang dalam persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah. Hasil evaluasi
ini akan dicantumkan dalam rekomendasi;
2).
Evaluasi terhadap laporan secara tertulis dan dari presentasi pemrakarsa.
Evaluasi terhadap Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah meliputi:
38
2.1. Evaluasi terhadap muatan teknis Laporan Hasil Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah termasuk
ketepatan teknik analisis dan teknik evaluasi data;
2.2. Evaluasi terhadap kesesuaian muatan Laporan Hasil Pengkajian Air Limbah dengan
persyaratan dalam persetujuan pengkajian yang meliputi media yang harus dipantau, parameter
yang harus dipantau, metode analisis, dll.
3).
Kunjungan Lapangan dan Pengambilan Sampel
Kunjungan lapangan ini dimaksudkan untuk mengecek kondisi lapangan dan kesesuaiannya
dengan hal-hal yang tertuang dalam Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air
Limbah termasuk titik pemantauan, kondisi titik pemantauan, dan sampel yang diambil. Kegiatan
4.1. Penerbitan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan layak
administrasi (kelengkapan dokumen dan prosedur perizinan diikuti) dan tidak menunjukkan
adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dalam pelaksanaan
pemanfaatan air limbah; atau
4.2. Penolakan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan tidak layak
administrasi dan atau ada indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Total waktu yang diperlukan untuk kegiatan verifikasi teknis adalah 21 (dua puluh satu) hari kerja
c.
Penerbitan atau Penolakan Izin sesuai dengan kelayakan teknis dari permohonan izin tersebut.
1). Izin diterbitkan oleh Bupati/Walikota segera setelah ada rekomendasi dari Instansi yang bertanggung
jawab. Pemrosesan Permohonan Izin Pemanfaatan Air Limbah ini memerlukan total waktu kurang
lebih 90 (sembilan puluh) hari kerja sampai diterbitkannya izin pelaksanaan ataupun penolakan
izin.
Izin diterbitkan dengan mencantumkan masa berlaku dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pemrakarsa dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah pada tanah, seperti: baku
mutu air limbah yang dimanfaatkan, kewajiban melakukan pemantauan, melaporkan hasil
pemantauannya kepada Instansi yang bertanggungjawab, dll.
2).
Penolakan izin pemanfaatan air limbah pada tanah disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada
pemrakarsa segera setelah Bupati/Walikota menerima laporan rekomendasi penolakan dari instansi
yang bertanggung jawab.
39
Adapun secara sistematis Prosedur Perizinan Land Application (LA) ditampilkan sebagai diagram
berikut ini :
Melengkapi dokumen
Dokumen lengkap
Presentasi Merekomendasikan
permintaan diadakannya
presentasi
Surat permintaan
pengadaan presentasi
Melakukan kunjungan lapangan
serta verifikasi teknis dan
evaluasi terhadap presentasi
tersebut
Tidak
Layak teknis
Layak
Merekomendasikan
penolakan izin
Tidak dapat
laksanakan LA
Penerbitan Surat
Penolakan Izin
Melaksanakan LA Penerbitan Surat Izin
Merekomendasikan
Pemberian Izin
Kegiatan LA Berlanjut
Indikasi
pencemaran
Rekomendasi
Meneruskan LA
Pemantauan
Laporan
Penugasan Pengawasan
Pelaksanaan LA dan Evaluasi
Laporan Pemantauan
Pengawasan Pelaksanaan LA
dan Evaluasi Laporan
Pemantauan
Tidak
ada
Ada
IV. SURAT KEPUTUSAN IZIN PELAKSANAAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH
Keputusan izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah dapat mengacu pada format berikut:
a. Format Surat Keputusan penetapan izin:
KEPUTUSAN
……………………….
NOMOR : KEP/
……../ /
TENTANG
IZIN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADATANAH KEPADA
PERKEBUNAN ……………………..
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. Bahwa sebelum pemberian izin pembuangan air limbah pada tanah, harus dilakukan
melalui pengkajian dampak air limbah terhadap kualitas tanah dan air tanah;
b. Bahwa berdasarkan penilaian terhadap hasil pengkajian tentang pembuangan air limbahpada tanah yang dilakukan
oleh ………… dianggap telah memenuhi syarat-syarat danketentuan-ketentuan yang diperlukan dalam pemberian izin
aplikasi air limbah pada tanah;
c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan keputusan MenteriNegara Lingkungan Hidup tentang
pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah kepada
…………………….
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup(Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air danPengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, TambahanLembaran Negara Nomor 4161);
3. …………………….
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan izin aplikasi air limbah pada tanah kepadaNama Perusahaan :
Alamat :
Nama Unit Usaha/Pabrik :
Alamat Pabrik :
Jenis Industri :
Status Modal Perusahaan :
Izin Usaha Industri : 1.
2.
Nomor akte Pendirian Perusahaan :
Penanggung Jawab Perusahaan:
KEDUA : Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA wajib mentaati segalapersyaratan dan
V.
PEMANTAUAN
A.
Mekanisme Pemantauan
Bupati/Walikota meminta kepada penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk melakukan kegiatan
pemantauan segera oleh pemrakarsa atau penanggung jawab usaha setelah memperoleh Surat Keputusan
Izin Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah. Hasil pemantauan tersebut wajib disampaikan kepada Bupati/
Walikota, Gubernur dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Adapun pemantauan minimal yang wajib diminta
oleh Bupati/Walikota kepada pemrakarsa adalah:
1.
Air Limbah
a.
Lokasi pengambilan sampel
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air limbah (titik terakhir
sebelum dimanfaatkan ke lahan)
3.
Tanah
a.
Lokasi
Tanah yang akan dianalisa adalah tanah di lahan sekitar lokasi pemanfaatan air limbah, rorak
(saluran/parit yang digenangi air limbah), dan antar rorak (antara parit dan tanaman) pada enam
kedalaman, yaitu: 0-20cm; 20-40cm; 40-60cm; 60-80cm; 80-100cm dan 100-120cm. Pengambilan
sampel tanah di parit dilakukan setelah kerak limbah yang menumpuk dipermukaannya dibuang
atau disisihkan dari parit
b.
Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel tanah disajikan pada
tabel berikut:
45
c.
Pengambilan Sampel:
Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel tanah yaitu sampel tanah
terganggu dan sampel tanah utuh.
-Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan menggunakan
skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk mengukur parameter seperti pH,
Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur tertentu serta
tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau lempung). Untuk sampel tanah yang
terganggu diambil dengan menggunakan bor tanah mineral, sampel tanah diambil pada setiap
20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis. Berat sampel tanah terganggu yang diambil
dengan menggunakan masing-masing + 0.5 kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam
kantong plastik rangkap 2 (dua). Dengan diberi label yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.
-
Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan menggunakan ring sampler
dan digunakan untuk mengukur bobot isi, porositas dan permeabilitas. Pengambilan sampel
tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, masingmasing
2 (dua) sampel. Satu sampel digunakan untuk mengukur porositas dan bobot isi,
sedang sampel lainnya digunakan untuk mengukur permeabilitas.
B.
Format Laporan
Bupati/Walikota meminta kepada pemrakarsa yang telah mendapat izin air limbahnya untuk berkewajiban
menyampaikan laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah secara berkala kepada instansi
yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada Bupati/Walikota,Gubernur dan Menteri Lingkungan Hidup.
Penyusunan Laporan Pemantauan Pemanfaatan Air Limbah mengacu pada sistematika sebagai berikut:
I.
Umum
1.
Nama dan atau nomor laboratorium :
2.
Nama Perusahaan :
3.
Alamat :
4.
Jenis Kegiatan Usaha :
5.
Lokasi Pengambilan Contoh :
6.
2. Air tanah
Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu Limbah Cair
(permenkes)
No Parameter Kadar
(mg/l)
Beban
(kg/ton)
No Parameter Kadar(mg/l)
Beban
(kg/ton)
3.
Tanah
Hasil Uji Laboratorium
No Parameter Kadar
(mg/l)
Beban
(kg/ton)
1. pH dalam air
2. C-organik
3. N total
4. P-tersedia
5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg
6. Kapasitas Tukar Kation
7. Kejenuhan Basa
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd)
9. Tekstur (Pasir, debu, liat)
10. Minyak/lemak
IV.
Kesimpulan
Uraian memenuhi baku mutu atau tidak memenuhi Baku Mutu Limbah Cair
Tempat, tanggal
Pemrakarsa
(nama terang)
47
VI.
EVALUASI PEMANTAUAN
Evaluasi laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit dilakukan
oleh Instansi yang bertanggung jawab dan ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Evaluasi dilaksanakan dengan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan
yang meliputi:
1.
Kondisi tanah
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Hoetomo, MPA.
48
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 37 TAHUN 2003
METODAANALISISKUALITASAIRPERMUKAANDANPENGAMBILANCONTOHAIR PERMUKAAN
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diperlukan
pemantauan kualitas air dengan menggunakan suatu metoda analisis kualitas air permukaan
dan pengambilan contoh air permukaan;
b.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Contoh Air Permukaan
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
6.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG METODA ANALISIS KUALITAS
AIR PERMUKAAN DAN PENGAMBILAN CONTOH AIR PERMUKAAN.
Pasal 1
Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan Standar Nasional
Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional.
Pasal 2
(1) Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan SNI dengan nomor kelompok 13.060.10.
Pasal 3
Apabila metoda analisis kualitas air permukaan dan pengambilan contoh air permukaan untuk parameter tertentu
belum ditetapkan dalam SNI maka dilakukan dengan Metoda Standard ( Standard Methods) yang diterbitkan oleh
Pasal 4
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Maret 2003
ttd.
ttd.
Hoetomo, MPA.
49
50
51
52
ttd
Nabiel Makarim,MPA,MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinyaDeputi MENLH Bidang KebijakanDan Kelembagaan Lingkungan Hiup,
Hoetomo,MPA.
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 110 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu menetapkanKeputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung BebanPencemaran Air Pada Sumber Air;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran NegaraTahun 1997 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan KewenanganProvinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan LembaranNegara Nomor 3952);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan PengendalianPencemaran Air
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor4161);
5.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas KeputusanPresiden Nomor 101
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, SusunanOrganisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA
TAMPUNGBEBANPENCEMARANAIR PADA SUMBERAIR.
a.
Daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukanbeban
pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
b.
Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah;
c.
Metoda Neraca Massa adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran air dengan
menggunakanperhitungan neraca massa komponen-komponen sumber pencemaran;
d.
Metoda Streeter-Phelps adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber airdengan
menggunakan model matematik yang dikembangkan oleh Streeter-Phelps;
Pasal 2
(1) Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air.
(2) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ditetapkanberdasarkan debit minimal pada tahun yang bersangkutan atau tahun sebelumnya.
(3) Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat(1),
digunakan metoda perhitungan yang telah teruji secara ilmiah, yaitu :
a. Metoda Neraca Massa;
b. Metoda Streeter-Phelps.
Pasal 3
(1) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air dengan metoda neracamassa
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
(2) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air limbah pada sumber air dengan metodaStreeter-
Phelps sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II.
Pasal 4
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuandan
teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakanmetoda di luar
metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat rekomendasi dari instansi
yangbertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
ttd
Salinan sesuai dengan aslinyaDeputi I MENLH Bidang Kebijakandan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
53
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air Metoda Neraca Massa
I.
Pendahuluan
Penentuan daya tampung beban pencemaran dapat ditentukan dengan cara sederhana yaitu dengan
menggunakan metoda neraca massa. Model matematika yang menggunakan perhitungan neraca massa dapat
digunakan untuk menentukan konsentrasi rata-rata aliran hilir (down stream) yang berasal dari sumber pencemar
point sources dan non point sources, perhitungan ini dapat pula dipakai untuk menentukan persentase perubahan
laju alir atau beban polutan.
Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan massa konstituen dihitung
secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan
perhitungan
CR = S CiQi = S Mi
S Qi S Qi
II.
Prosedur penggunaan
Untuk menentukan beban daya tampung dengan menggunakan metoda neraca massa, langkah-langkah yang
harus dilakukan adalah :
1.
Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber
pencemar;
2.
Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber pencemar;
3.
Tentukan konsentrasi rata-rata pada aliran akhir setelah aliran bercampur dengan sumber pencemar dengan
perhitungan :
CR = S CiQi = S Mi
S Qi S Qi
III.
Contoh Perhitungan
Untuk lebih jelasnya, maka diberikan contoh perhitungan penggunaan Metoda Neraca Massa berikut ini.
2
Q3
CDO.1
CBOD.3
CCI.1
CDO.3
CDO.1
CCI.3
CDO.3
Q2
CBOD.2
Q4
CDO.2
CBOD.4
CCl.2
CDO.4
1
3
CDO.2
CC1.4
CDO.4
54
Keterangan :
1.
Aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber-sumber pencemar
2.
Aliran sumber pencemar A
3.
Dengan menggunakan data-data di atas maka dapat dihitung DO pada titik 4, sebagai berikut :
Konsentrasi rata-rata DO pada titik 4 adalah
= 4,86 mg/L
Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara perhitungan yang sama seperti di
atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/L, 8,87 mg/L dan 0,12 mg/L. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1
maka akan seperti yang disajikan pada Tabel 1.2
Apabila aliran pada titik 4 mempunyai baku mutu BM X, maka titik 4 tidak memenuhi baku mutu perairan untuk BOD,
sehingga titik 4 tidak mempunyai daya tampung lagi untuk parameter BOD. Akan tetapi bila terdapat aliran lain
(misalnya aliran 5) yang memasuki di antara titik 1 dan 4, dan aliran limbah masuk tersebut cukup tinggi mengandung
C1-dan tidak mengandung BOD, maka aliran 5 masih dapat diperkenankan untuk masuk ke aliran termaksud. Hal
tersebut tentu perlu dihitung kembali, sehingga dipastikan bahwa pada titik 4 kandungan C1 lebih rendah dari 600
mg/L.
55
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Nomor : 110 Tahun 2003
Tanggal : 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Streeter – Phelps
I. Pendahuluan
Pemodelan kualitas air sungai mengalami perkembangan yang berarti sejak diperkenalkannya perangkat lunak
DOSAG1 pada tahun 1970. Prinsip dasar dari pemodelan tersebut adalah penerapan neraca massa pada
sungai dengan asumsi dimensi 1 dan kondisi tunak. Pertimbangan yang dipakai pada pemodelan tersebut
adalah kebutuhan oksigen pada kehidupan air tersebut (BOD) untuk mengukur terjadinya pencemaran di badan
air. Pemodelan sungai diperkenalkan oleh Streeter dan Phelps pada tahun 1925 menggunakan persamaan
kurva penurunan oksigen (oxygen sag curve) di mana metoda pengelolaan kualitas air ditentukan atas dasar
defisit oksigen kritik Dc.
II.
Deskripsi
Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses pengurangan oksigen terlarut
(deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses
peningkatan oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran sungai.
Proses Pengurangan Oksigen (Deoksigenasi) Streeter – Phelps menyatakan bahwa laju oksidasi biokimiawi
senyawa organik ditentukan oleh konsentrasi senyawa organik sisa (residual).
dL/dt = -K’.L…………..………………………………………………………………..(2-1)
dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/L)
t : waktu (hari)
K’ : konstanta reaksi orde satu (hari-1)
Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan sebagai BOD ultimate dan Lt
adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1) dinyatakan sebagai
dL/dt = -K’.L………...………………………………………………………………….(2-2)
Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah :
Lt = Lo.e (K’.t) ....................................................................................................................(2-3)
Penentuan K’ dapat dilakukan dengan :
rD = -K’L............................................................................................................................(2-4)
56
T : temperatur, oC
Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary District of Chicago untuk berbagai
macam badan air (tabel 2-1).
Table 2-1 Konstanta Reaerasi
Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai sumbu tegak dan waktu atau jarak
sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan
reaerasi adalah kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva penurunan
oksigen (oxygen sag curve).
Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik buangan, maka konsentrasi konstituen
pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah
Qr Cr + Qw Cw ................................................................(2-9)
Co =
Qr + Qw
dengan :
Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah pencampuran, mg/L
Qr = laju alir sungai, m3/detik
Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran, mg/L
Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/L
Perubahan kadar oksigen di dalam sungai dapat dimodelkan dengan mengasuksikan sungai sebagai reaktor alir
sumbat.
Neraca massa oksigen :
Akumulasi = aliran masuk – aliran keluar + deoksigenasi + reoksigenasi
dx
Substitusi dV menjadi A dx dan A dx/Q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi
57
dt Dt
maka persamaan 2-13 menjadi
dD = K’L + K’ 2 D ......................................................................................... (2-16)
dt
Substitusi L
dD +K’2D=K1Loe-k1t ...................................................................................... (2-17)
dt
jika pada t=0, D-Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi
Persamaan 2-18 merupakan persamaan Streeter-Phelps oxygen-sag yang biasa digunakan pada analisis sungai.
Gambar kurva oxygen-sag ditunjukkan pada gambar 2-1 berikut ini.
Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO
terendah yang dicapai akibat beban yang diberikan pada aliran tersebut. Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama
dengan nol, maka
K’2-K’
K’ K’Lo
58
Xc = tc v .............................................................................................................................................. (2-21)
Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan defisit DO yang paling rendah
(kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak
(posisi, xC) kondisi kritis dengan menggunakan persamaan 2.21.
Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan.
Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan 2.18. Persamaan tersebut adalah :
K’
K’2
III.
Prosedur Penggunaan
Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu menentukan apakah beban yang
diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan
persamaan 2.19 dan 2.20. Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu menentukan beban
BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini
diperlukan persamaan 2.22.
Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K’ dan K`2 dan data BOD ultimat. Penentuan
K’ dapat menggunakan berbagai metoda yang tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan
metoda Thomas, yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan persamaan
empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang disajikan pada Tabel 2.1
Perlu dicatat bahwa harga K’, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan yang banyak digunakan untuk
memperhatikan fungsi temperatur adalah :
Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD 5 20, yaitu BOD yang ditentukan pada temperatur
20 0C selama 5 hari dengan menggunakan persamaan berikut :
Dengan K’ menyatakan laju deoksigenasi dan 5 menyatakan hari lamanya penentuan BOD.
1.
Tentukan laju deoksigenasi (K’) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K’ pada intinya adalah menggunakan
persamaan 2.3. Kemudian diperlukan serangkaian percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif
rumitnya penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan Eddy untuk penentuan
harga K’ tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K’ (basis logaritmit, 20 0C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari1.
Pada intinya pengukuran K’ melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan panjang hari
pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi
untuk mendapatkan nilai K’.
Berikut ini contoh yang diambil dari Metcalf dan Eddy :
T,hari 2 4 6 8 10
Y,mg/L 11 18 22 24 26
(t/y)1/3 0,57 0,61 0,65 0,69 0,727
Dengan t menyatakan waktu pengamatan dan y nilai BOD (exerted) Metoda Thomas adalah mengalurkan (t/y)1/3
terhadap t sesuai dengan persamaan berikut :
K’ adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La menyatakan BOD ultimat.
59
Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K’ dan La dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K’ = 0,228 hari
-1 dan La = 29,4 mg/L.
Berhubung nilai K’ didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20 0 C, maka nilai K’ yang diperoleh
adalah data untuk temperatur yang sama.
2.
Tentukan laju aerasi (K’2) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau data pada Tabel 3.1
3.
Tentukan waktu kritik dengan persamaan 2.20 :
tc = 1 1n[K’2[1-D0(K’2-K’)]].........................................(2-20)
K’2-K’
K’ K’Lo
Dc = K’
K’2
5.
Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD maksimum yang diizinkan dengan
menggunakan persamaan 2.22.
IV.
Contoh Perhitungan
Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu sumber pencemar yang tentu
(point source) :
1.
Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata 115.000m m 3/hari (1,33 m3/detik) dibuang
ke aliran sungai yang mempunyai debit minimum 8,5 m 3/detik.
2.
Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23 0C.
3.
BOD5 20 air limbah adalah 200 mg/L, sedangkan BOD sungai adalah 2mg/L. Air limbah tidak mengandung
DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung DO=6 mg/L sebelum bercampur dengan limbah.
4.
Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K’ pada temparatur 20 0C adalah 0,3 hari-1
5.
Nilai K’2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 20 0C adalah 0,7 hari-1.
Berdasarkan data-data di atas akan dihitung :
1.
Harga Dc, tc dan Xc,
2.
Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD5 20 maksimum pada air limbah yang masih
diperbolehkan masuk ke sungai tersebut.
Langkah-langkah penyesuaian :
1.
Tentukan temperatur, DO dan BOD setelah pencampuran :
a. Temperatur campuran = [(1,33)(35) + (8,5)(23)]/(1,33+8,5) = 24,6 OC.
b. DO campuran = [(1,33)(0) + (8,5)(6)]/(1,33 + 8,5) = 5,2 mg/L
c. BOD campuran =[(1,33)(200)+(8,5)(2)]/(1,33+8,5)=28,8 mg/L
d. Lo campuran = 28,8/[-e(0,3)(5)] = 37,1 mg/L (pers. 2.25)
2.
Tentukan defisit DO setelah pencampuran. Tentukan dahulu DO jenuh pada temperatur campuran dengan
menggunakan tabel kejenuhah oksigen. Dari tabel diperoleh nilai DO jenuh = 8,45 mg/L Defisit DO pada
keadaan awal (Do) = 8,45 – 5,2 = 3,25 mg/L
3.
Koreksi laju reaksi terhadap temperatur 24,6 OC
a. K’ = 0,3 (1,047)24,6-20 = 0,37 hari-1
b. K`2 = 0,7 (1,0,16) 24,6-20 =0,75 hari-1
4.
Tentukan tc dan Xc dengan menggunakan persamaan 2.20 dan 2.21.
a.
c.
Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 – e (-0,3)(5)} = 16,97 mg/L
d.
Jadi BOD pada limbah yang dizinkan:
16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5)
1,33 X = 166,81 – 17 = 149,81
X = 112,6 mg/L
1.
Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/L, agar DO air sungai tidak kurang
dari 2 mg/L.
2.
Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber pencemar yang tentu (point
source).
61
Lampiran III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Nomor : 110 Tahun 2003
Tanggal : 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air.
Metoda QUAL2E
I. Pendahuluan
QUAL2E merupakan program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif dan yang paling banyak
1.
mengetahui karakteristik sungai yang akan dimodelkan dengan membandingkan data yang telah diambil
langsung dari sungai tersebut.
2.
mengetahui kelakuan aliran sepanjang sungai bila terdapat penambahan beban dari sumber-sumber
pencemar baik yang tidak terdeteksi maupun yang terdeteksi,
3.
dapat memperkirakan pada beban berapa limbah suatu industri dapat dibuang ke sungai tersebut agar tidak
membahayakan makhluk lainnya sesuai baku mutu minimum.
II.
Deskripsi
Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif. Program
ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter
konstituen dengan mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini dapat juga
digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan menitikberatkan pada mekanisme perpindahan
secara adveksi dan disperse searah dengan arus.
Selain melakukan simulasi perhitungan neraca oksigen, seperti yang telah dijelaskan di atas, program QUAL2E
dapat mensimulasikan neraca nitrogen dan fosfor. Gambar 3.1. berikut ini dapat menggambarkan hubungan
antar konstituen dengan menggunakan program simulasi QUAL2E.
Gambar 3.1 Interaksi antar konstituen utama dalam QUAL2E
Keterangan:
a1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-N/mg-A
a2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-P/mg-A
a3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-O/mg-A
a4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-O/mg-A
a5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-O/mg-N
a6 = Laju pengambilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit , mg-O/mg-N
s1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari
s2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-P/ft2-hari
s3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-N/ft2-hari
62
dO
2341611 622
dt
d
dt.5
4800DmK220 =
d1.25
4.
Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan batasan kedalaman 0.4 – 11.0 ft
dan kecepatan dari 0,1 – 5 ft/detik.
63
9.4 ( u.0.67)
K220 = x 2.31 ....................................................................(3-5)
d1.85
5.
Thacktor dan krenkel (1966)
u*
K220 = 10.8 ( 1+ F0.5) x 2.31 ......................................................... (3-6)
d
u*
F=
........................................................................................ (3-7)
n g.d
nn
u* = d.Se.g=
U.n g
1.49d1.167 .................................................................................(3-8)
6.
Langbien dan Durun (1967)
u
u2 . n2
Se = ................................................................................... (3-12)
(1.49)2d4/3
2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta
2.1
Nomor aliran
2.2
Nama aliran
2.3
Titik awal sungai
2.4
Titik akhir sungai
2.5
Merupakan sumber sungai atau tidak ?
2.6
ttd.
ttd
Hoetomo, MPA.
65
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 111 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air
Atau Sumber Air;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
6.
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT
DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU
SUMBER AIR.
Pasal 1
Setiap usaha dan atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung radioaktif ke air atau sumber air.
Pasal 2
Bupati/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air yang melanggar baku mutu
Pasal 3
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin
tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian analisis mengenai
dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
(3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Pasal 4
(1) Permohonan izin membuang air limbah ke air atau sumber air wajib dilengkapi data dan informasi dengan
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) di atas merupakan salah satu syarat permohonan
izin pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas, permohonan izin wajib dilengkapi dengan :
a.
dokumen hasil kajian pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air;
b.
hasil pemantauan pengelolaan lingkungan pada bulan terakhir;
c.
dokumen lain yang terkait dengan pengisian formulir sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini;
66
Pasal 5
a.
Pasal 7
Izin pembuangan air limbah ke tanah di atur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
ttd.
ttd
Hoetomo, MPA.
67
LAMPIRAN
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 111 Tahun 2003
Tanggal : 27 Juni 2003
Jenis Industri:
Baterai Kering
Minyak Nabati
Pupuk Urea
Cat
Minyak Sawit
Sabun, detergen
Etanol
MSG
Soda Kostik
Farmasi
Pelapisan logam
Pengilangan minyak
Tapioka
Karet
Penyamakan kulit
Tekstil
Kayu Lapis
Pestisida
Lainnya, ________
Penambangan
Rumah sakit
Lainnya,_________
Jenis permohonan:
Baru
Perpanjangan
II. INFORMASI UMUM
1. Lokasi Kegiatan/Usaha
a. Jalan/Desa/Kelurahan :
b. Kecamatan :
c. Kabupaten/Kodya :
d. Provinsi :
e. Kode Pos :
f. Telepon :
g. Facsimile :
2. General Manager :
3. Kontak Person
a. Nama:
b. Jabatan:
c. Telepon:
4. Lokasi Kantor Pusat (jika berbeda dengan lokasi kegiatan/usaha)
a. Jalan/ Desa/ Kelurahan :
b. Kecamatan :
c. Kabupaten/ Kodya :
d. Provinsi :
e. Kode Pos :
f. Telepon :
g. Facsimile :
5. Jika kegiatan/ usaha merupakan bagian dari suatu group perusahaan (Holding Company), sebutkan:
a. Nama Group :
b. Alamat (jalan/desa/ kel.) :
c. Kecamatan :
d. Kabupaten/Kodya :
e. Provinsi :
f. Kode Pos :
68
a.
Izin Usaha
Nomor :
Pemberi Izin:
1.
Tahun mulai operasi________________________________________________
2.
Total kebutuhan air dan sumbernya (m3/ bulan):
a. PAM ___________________________________________________________
b. Air Tanah ___________________________________________________________
c. Sungai ___________________________________________________________
d. Laut ___________________________________________________________
e. Lainnya ___________________________________________________________
3.
Kebutuhan air (m3/ hari) untuk:
a.
Produksi ___________________________________________________________
b.
Cooling water ___________________________________________________________
c.
Domestik ___________________________________________________________
d.
Lainnya ___________________________________________________________
4.
Bahan Baku dan Penolong *)
No Nama Bahan Nama Dagang Wujud
Sumber (%)
Domestik Import
5.
*)
untuk kegiatan non-industri harap dapat disesuaikan dengan kegiatannya, misalnya hotel dan rumah sakit
dilihat berdasarkan jumlah tempat tidur.
7.
Kapasitas Produksi senyatanya (per tahun)
No. Nama Produk Nama Dagang
Kapasitas
Jumlah Satuan
8. Waktu kegiatan/usaha
a.
Jumlah Gelombang Kerja (Shift) per hari ________ Shift
b.
Jumlah Jam Kerja Produksi:
1) ________________________ jam/ hari
2) ________________________ hari/bulan
3) ________________________ bulan/tahun
4) ________________________ hari/tahun
9. Kegiatan-kegiatan lainnya: _______________________________
V. INFORMASI LINGKUNGAN
1. Sertifikat yang telah dimiliki:
ISO 9000 Tahun____________________
Assesor*)_________________
ISO 14000 Tahun____________________
Assesor*)_________________
_________ Tahun____________________
Assesor*)_________________
2.
Apakah perusahaan Saudara mempunyai kebijaksanaan pengelolaan lingkungan?
Tidak
Ya (lampirkan)
3.
Apakah perusahaan Saudara dilengkapi dengan Dokumen Studi Lingkungan?
Tidak
Yaa
-Nomor Persetujuan (lampirkan): ______________________________
-Jenis Dokumen:
-Konsultan Pelaksana ______________________________________
-Alamat _________________________________________________
70
4.
Apakah perusahaan Saudara pernah melakukan Audit Lingkungan?
Tidak
Yaa
Manajemen Lingkungan, tahun _____________________________________
Auditor______________________________________________________
Audit Pentaatan (Compliance Audit), tahun ____________________________
Auditor______________________________________________________
Audit Resiko (Risk Assesment), tahun _______________________________
Auditor______________________________________________________
___________________________, tahun _____________________________
Auditor______________________________________________________
Koagulasi
Screening
Sedimentasi
Grinding
Anaerobik
Trickling Filter
Aerobik
Rotary Biological Contactor
Lampirkan lay out dan diagram alir proses instalasi pengolahan air limbahnya.
Ultrasonic Meter
Inductive meter
nama lengkap
Jabatan
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA
72
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 112 TAHUN 2003
TENTANG
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
6.
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.
Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate),
rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama;
2.
Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan;
3.
Pengolahan air limbah domestik terpadu adalah sistem pengolahan air limbah yang dilakukan secara bersamasama
(kolektif) sebelum dibuang ke air permukaan;
4.
Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen.
(2) Baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk pengolahan air limbah
Pasal 4
Baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini berlaku bagi :
a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan perniagaan, dan apartemen;
b. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter persegi; dan
c. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih.
Pasal 5
Baku mutu air limbah domestik untuk perumahan yang diolah secara individu akan ditentukan kemudian.
Pasal 6
(1) Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi dengan ketentuan sama
atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah domestik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka
berlaku baku mutu air limbah domestik sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 7
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan
dan Upaya Pemantauan Lingkungan dari usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
73
mensyaratkan baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air limbah domestik
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pasal 8
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan dan apartemen wajib :
a.
melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang ke lingkungan
tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan;
b.
membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan
air limbah ke lingkungan.
c.
membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air limbah.
Pasal 9
(1) Pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dilakukan secara bersamasama
(kolektif) melalui pengolahan limbah domestik terpadu.
(2) Pengolahan air limbah domestik terpadu harus memenuhi baku mutu limbah domestik yang berlaku
Pasal 10
(1) Pengolahan air limbah domestik terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi tanggung jawab
pengelola.
(2) Apabila pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjuk pengelola
Pasal 12
Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Apabila baku mutu air limbah domestik daerah telah ditetapkan sebelum keputusan ini :
a.
lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini,
maka baku mutu air limbah domestik tersebut tetap berlaku;
b.
lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka baku
mutu air limbah domestik tersebut wajib disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 14
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu air
limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan
ini.
Pasal 15
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
74
Lampiran
75
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 113 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
Menetapkan :
KEPUTUSANMENTERINEGARA LINGKUNGANHIDUPTENTANGBAKUMUTUAIRLIMBAHBAGI
USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1.
Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan
pengolahan/pencucian batu bara;
2.
Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas
oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama;
3.
Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;
4.
Kegiatan pengolahan/pencucian batu bara adalah proses peremukan, pencucian, pemekatan dan atau
penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa belerang dari batu bara tanpa mengubah sifat kimianya;
5.
Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan
batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian batu bara;
6.
Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur
pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air
permukaan;
7.
Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan
dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
8.
Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya
kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu
bara;
9.
Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan sesuai
dengan data penelitian atau data meteorologi dalam usaha dan kegiatan penambangan batu bara;
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan
ini.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
II Keputusan ini.
76
Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena keadaan
tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan
dan menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Gubernur dan Menteri.
Pasal 4
(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran
Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku
mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau hasil kajian Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu
bara mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan pengolahan air limbah yang
berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga
mutu air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 7
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib mengelola air yang terkena
dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (pond).
Pasal 8
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan
(point of compliance) air limbah dari kegiatan pertambangan.
(2) Lokasi titik penaatan
(point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada pada saluran
air limbah yang :
a.
ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena
pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan penambangan tersebut.
b.
keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu bara sebelum dibuang ke air
Pasal 10
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
pertambangan batu bara wajib untuk :
a.
melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah
dan mencatat debit air limbah harian;
b.
mengambil dan memeriksa semua kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan yang
dilaksanakan oleh pihak laboratorium yang telah terakreditasi;
c.
menyampaikan laporan tentang hasil analisis air limbah dan debit harian sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur
dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
77
Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam izin pembuangan
air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang diterbitkan.
Pasal 12
(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, baku mutu air limbah
bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib
disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air limbah
dalam Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.
Pasal 13
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu air
limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Keputusan ini.
Pasal 14
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
78
79
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 114 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang
perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Pengkajian
Untuk Menetapkan Kelas Air;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3838);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENGKAJIAN
UNTUK MENETAPKAN KELAS AIR.
(1)
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengkajian mutu air saat ini
untuk menentukan status air sebagai masukan bagi penyusunan program pengelolaan air atau program
pemulihan pencemaran air.
(2) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta bantuan pihak ketiga.
Pasal 2
(1)
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian mutu air,
perlu mendapatkan informasi tentang kebutuhan air untuk 15 (lima belas) tahun mendatang dan menyusun
saran pendayagunaan air dan penentuan kelas air.
(2) Pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta bantuan pihak ketiga.
(3)
Berdasarkan pengkajian mutu air untuk mendapatkan informasi tentang kebutuhan air dan penyusunan
pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan saran masukan dari masyarakat melalui
dengar pendapat.
(4)
Berdasarkan hasil dengar pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), kelas air pada :
a.
sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah
negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
80
b.
sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Propinsi.
c.
sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
Pasal 3
Pedoman pengkajian teknis untuk menetapkan kelas air akan ditetapkan dengan Keputusan tersendiri.
Pasal 4
(1) Apabila mutu air lebih baik atau sama jika dibandingkan dengan kelas air sebagaimana dimaksud dalam 2 ayat
(4), maka Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun program
pengelolaan air
(2) Apabila mutu air lebih buruk jika dibandingkan dengan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
atau dalam kondisi cemar, maka Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mengumumkan sumber air tersebut tercemar dan menyusun program pemulihan pencemaran air.
Pasal 5
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melaksanakan program pengelolaan air
atau program pemulihan pencemaran air sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 4.
Pasal 6
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, kelas air dan atau golongan
penetapan air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
ttd
Hoetomo, MPA
81
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 115 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air maka dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penentuan Status
Mutu Air;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
Menetapkan :
KEPUTUSANMENTERINEGARA LINGKUNGANHIDUPTENTANGPEDOMANPENENTUANSTATUS
MUTUAIR.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
a.
Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan
metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu
sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan.
c.
Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian
ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.
Pasal 2
(1) Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metoda STORET atau Metoda Indeks Pencemaran.
(2) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda STORET dilakukan sesuai dengan pedoman pada
Lampiran I Keputusan ini.
(3) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda Indeks Pencemaran dilakukan sesuai dengan
pedoman pada Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan
metoda di luar metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 4
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, status mutu air yang telah
ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.
82
Pasal 5
83
5.
Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat
dengan menggunakan sistem nilai.
III.
Contoh Perhitungan
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh berikut ini. Tabel 1.2. merupakan contoh penerapan penentuan
kualitas air menurut metoda STORET yang dilakukan oleh Unpad, Bandung. Data diambil dari sungai Ciliwung
pada stasiun 1. Pada tabel ini tidak diberikan data lengkap hasil analisa di sungai Ciliwung, tetapi hanya
diberikan nilai maksimum, minimum, dan rata-rata dari data-data hasil.
Cara pemberian skor untuk tiap parameter adalah sebagai berikut (contoh, untuk Hg):
a.
Hg merupakan parameter kimia, maka gunakan skor untuk parameter kimia.
b.
Kadar Hg yang diharapkan untuk air golongan C adalah 0.002 mg/l.
c.
Kadar Hg maksimum hasil pengukuran adalah 0.0296 mg/l, ini berarti kadar Hg melebihi baku mutunya.
Maka skor untuk nilai maksimum adalah -2.
d.
Kadar Hg minimum hasil pengukuran adalah 0.0006 mg/l, ini berarti kadar Hg sesuai dengan baku mutunya.
Maka skornya adalah 0.
Tabel 1.2 Status Mutu Kualitas Air Menurut Sistem Nilai STORET di Stasiun I sungai Ciliwung bagi peruntukan
Golongan C (PP 20/1990 )
85
II.
Definisi
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci
menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu
lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j)
yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.
PIj = (C1/L1j, C2/L2j,…,Ci/Lij)…………………………………….……...(2-1)
Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang diakibatkan oleh parameter kualitas air. Nisbah ini tidak
mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritik, karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi suatu
Baku Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter, maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi
Jika (Ci/Lij)R merupakan ordinat dan (Ci/Lij)M merupakan absis maka PIj merupakan titik potong dari (Ci/Lij)R
dan (Ci/Lij)M dalam bidang yang dibatasi oleh kedua sumbu tersebut.
86
Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij)R dan atau (Ci/Lij)M adalah lebih
besar dari 1,0. Jika nilai maksimum Ci/Lij dan atau nilai rata-rata Ci/Lij makin besar, maka tingkat pencemaran
suatu badan air akan makin besar pula. Jadi panjang garis dari titik asal hingga titik Pij diusulkan sebagai faktor
yang memiliki makna untuk menyatakan tingkat pencemaran.
PIj
= 1,0 jika nilai maksimum Ci/Lij = 1,0 dan nilai rata-rata Ci/Lij = 1,0 maka
2
Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan dapat atau tidaknya sungai dipakai
untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-parameter tertentu.
III.
Prosedur Penggunaan
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Mutu suatu Peruntukan Air
(j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada
suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan
(j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.
Harga Pij ini dapat ditentukan dengan cara :
1.
Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik.
2.
Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang.
3.
Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan.
4.a.
Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO.
Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim merupakan nilai DO
jenuh).
Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan, yaitu :
C im - Ci (hasil pengukuran)
(Ci/Lij) baru =
Cim -Lij
4.b.
Jika nilai baku Lij memiliki rentang
- untuk Ci < Lij rata-rata
[ Ci-(Lij)]
rata-rata
(Ci/Lij) baru =
{(Lij) -(Lij) }
minimum rata-rata
[ Ci-(Lij)]
rata-rata
(Ci/Lij) baru =
{(Lij)-(Lij) }
maksimum rata-rata
87
IV.
Contoh Perhitungan
Pada contoh berikut ini diberikan data untuk suatu sampel sungai yang akan ditentukan indeks pencemarannya
(IP). Hasil pengukuran sampel diberikan pada kolom 2 (Ci) dan baku mutu perairan tersebut diberikan pada
kolom 3 (LiX). Pada contoh perhitungan hanya digunakan 6 parameter saja. Contoh yang diberikan berikut ini
hanya bertujuan agar pemakai metoda Indeks Pencemaran dapat memahami cara menghitung harga PIj.
Tabel 2.2 Contoh penentuan IP untuk baku mutu x
*
Contoh perhitungan TSS :
C1/L1X = 100 / 50 = 2
C1/L1X > 1
iijbaru
11Xbaru
iij
untuk C/L< 1 digunakan C/Lhasil pengukuran, tetapi bila C/L> 1 perlu dicari C/Lbaru.
iij iij
iij iij
* Contoh perhitungan DO :
DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas akan menrun. Maka sebelum
menghitung C/Lharus dicari terlebih dahulu harga Cbaru.
22X
2
7– 2
C2baru = = 5
7–6 3
* Contoh perhitungan pH :
Karena harga baku mutu pH memiliki rentang, maka penentuan C 3/L3X dilakukan dengan cara :
6+ 9
L
rata-rata = = 7,5 C> Lrata-rata
3X
33X
88
( 8 – 7,5 )
C3/L3X = = 0,5
(9–8 )
• (Ci/LiY)R = 0,625
• (Ci/LiY)M = 0,88
• PIY = 0,76
Jika dibandingkan antara contoh pada Tabel 2.2 dengan contoh pada Tabel 2.3, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa air sungai yang diukur memenuhi baku mutu Y dan tidak memenuhi baku mutu X. Jadi bila nilai PI lebih kecil
dari 1,0, maka sampel air tersebut memenuhi baku mutu termaksud, sedangkan bila lebih besar dari 1,0, sampel
dinyatakan tidak memenuhi baku mutu.
89
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 142 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
KEPUTUSANMENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARAPERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN
PEMBUANGANAIR LIMBAH
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa sehubungan dengan adanya kekeliruan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian
Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air, di pandang perlu mengubah dan menyempurnakan
beberapa ketentuan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang
Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah
Ke Air Atau Sumber Air;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun
1991Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN
MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR
LIMBAH KE AIRATAU SUMBER AIR.
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003
tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air
(1)
Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat
izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2)
Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian analisis mengenai
dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
(3)
Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.”
2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :
90
“Pasal 5
a.
jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan;
b.
rona lingkungan;
c.
jumlah limbah yang dibuang;
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 24 September 2003
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
91
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-03/MENLH/1/1998
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1.
bahwa dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi manusia
serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair ke media lingkungan;
2.
bahwa kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri mempunyai potensi menimbulkanpencemaran
lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian;
3.
bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam
Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3257);
3.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
6.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
8.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KAWASAN INDUSTRI
Pasal 1
1.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki IzinUsaha
Kawasan Industri;
2.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan
Kawasan Industri;
3.
Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke
lingkungan hidup dari suatu Kawasan Industri;
4.
Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan Kawasan Industriyang
dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup;
5.
Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemar;
6.
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini.
(2) Bagi Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair
bagi jenis-jenis industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
92
(3) Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah maksimum sebagaimana tersebut
dalamlampiran I Keputusan ini dapat dilampaui sepanjang beban pencemaran maksimum tidak dilampaui.
(4) Perhitungan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana dalam Lampiran II Keputusan ini.
(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurangkurangnya
sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 3
Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
dimaksuddalam Lampiran I Keputusan ini dengan persetujuan Menteri.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalamLampiran I Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal ini maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair
lebihketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri
tersebutditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak
lingkungan.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri dilarang melakukan pengenceran limbah cair.
Pasal 8
Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
telahditetapkan sebelum Keputusan ini:
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksuddalam
Lampiran I Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalamLampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalamLampiran I Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 9
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinyaAsisten IV Menteri Negara Lingkungan HidupBidang Pengembangan, Pengawasan
danPengendalian,
ttd
Hambar Martono
93
94
Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan beban pencemaran maksimum
sebagaimana tercantum dalam lampiran I berdasarkan pada jumlah unsur pencemar yang terkandung dalam aliran
limbah cair. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut :
1.
Beban Pencemaran Maksimum
BPM =(Cm)j x Dm x A x f ................ (II.1.1)
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg parameter per hari.
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam lampiran I Keputusan ini, dinyatakan
dalam mg/l.
Dm = Debit Limbah cair maksimum seperti tercantum dalam lampiran I, dinyatakan dalam L
1.000.000 mg hari
2.
Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :
BPA =(CA)j x (DA) x f ..........................(II.2.1)
Keterangan :
BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(CA)j= Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l.
DA = Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
F = faktor konversi = 0,086
Contoh perhitungan :
Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1.500 hektare. Parameter dari Lampiran I yang
akan dijadikan contoh perhitungan adalah parameter (j) BOD.
Data lapangan
-Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
-Debit hasi pengukuran (DA) = 1.000 l/det
-Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1.500 HA
Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk kawasan Industri tersebut (persamaan
II.1.1) adalah :
95
Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut (persamaan II.2.1) adalah :
BPA
= CAxDAx f
= 60 x 1.000 x 0,086
= 5.160 kg/hari
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
96
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-42/MENLH/X/1996
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang: a.
bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
pembuangan limbah cair ke lingkungan;
b.
bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c.
bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
d.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta
Panas Bumi;
Mengingat : 1.
2.
Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2070);
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
5.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan
Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan
Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 8538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1.
Eksplorasi adalah segala cara penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan adanya dan keadaan
bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi.
2.
Eksploitasi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan-bahan galian
minyak dan gas serta panas bumi dengan jalan yang lazim;
3.
Pengilangan minyak adalah usaha memproses minyak dan gas bumi di daratan atau di daerah lepas pantai
4.
Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan penyaluran kembali Bahan Bakar Minyak
(BBM) yang penerimaan/penyalurannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan pengairan
(sungai, laut) sistem pipa, mobil tangki/bridgen dan Rail Tank Wagon (RTW);
5.
Baku Mutu Limbah Cair Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi adalah batas kadar dan jumlah unsur
pencemar yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dan kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;
6.
Limbah Cair adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan dibidang minyak dan gas serta
panas bumi yang dibuang ke lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan;
7.
Debit maksimum limbah cair adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan;
8.
Kadar maksimum limbah cair adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan;
9.
Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan;
10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11. Instansi teknis adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;
12. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa;
13. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi:
a.
Eksplorasi dan produksi migas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan II;
b.
Eksplorasi dan produksi panas bumi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran III;
c.
Pengilangan minyak bumi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV dan V;
d.
Pengilangan LNG dan LPG adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran VI;
e.
Instalasi, depot dan terminal minyak adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran VII;
(2) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali
jenis kegiatan pengilangan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c pasal ini ditetapkan
berdasarkan beban pencemaran dan kadar.
Pasal 3
Bagi jenis kegiatan:
a.
Eksplorasi dan produksi migas yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan ini dan beroperasi setelah ditetapkan
keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran I;
b.
Pengilangan minyak bumi yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IV;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan ini dan beroperasi setelah ditetapkan
keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
3)
Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V;
Pasal 4
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui.
Pasal 5
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini ditinjau secara berkala
sekurangkurangnya
sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 6
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter yang tercantum dalam Iampiran keputusan
ini setelah mendapat persetujuan dan Menteri.
(2) Menteri mengeluarkan keputusan mengenai parameter tambahan dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan instansi teknis yang bersangkutan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan sejak
diterimanya permohonan persetujuan.
(4) Apabila telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak diberikan keputusan, maka
dianggap Menteri telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 7
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Instansi teknis yang bersangkutan.
98
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 8
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut berlaku Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 9
Setiap penanggung jawab kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
Pasal 11
Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan
sebelum keputusan ini:
a.
Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
b.
Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini, wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran
Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkan Keputusan ini.
Pasal 12
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 9 Oktober 1996
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
99
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN III
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN IV
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
100
LAMPIRAN V
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN VI
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN VII
Di tetapkan di : Jakarta
Sarwono Kusumaatmadja
101
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP-09/MENLH/IV/1997
TENTANG
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi
hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian
terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
2.
Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2070);
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
5.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan
Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan
Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
11. Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI.
102
Pasal II
103
LAMPIRAN IV
NOMOR
TENTANG
TANGGAL
:
:
:
:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
KEP-09/MENLH/4/1997
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996
TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
22 APRIL 1997
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN-KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI
LAMPIRAN
NOMOR
TENTANG
TANGGAL
V:
:
:
:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
KEP-09/MENLH/4/1997
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996
TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
22 APRIL 1997
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI
Ditetapkan di : Jakarta
Sarwono Kusumaatmadja
104
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1.
bahwa kali atau sungai merupakan sumber daya air yang penting bagi kebutuhan hidup manusia
dan makhluk hidup lainnya;
2.
bahwa kualitas air sungai cenderung menurun sebagai akibat meningkatnya beban pencemaran
yang bersumber dari kegiatan di sepanjang daerah aliran sungai;
3.
bahwa untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya,
pemerintah telah mencanangkan Program Kali Bersih;
4.
bahwa Program Kali Bersih tersebut telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah di beberapa
propinsi pada beberapa sungai dengan melibatkan berbagai instansi terkait di daerah;
5.
bahwa untuk memantapkan keberadaan Program Kali Bersih sebagai program nasional dan
untuk meningkatkan kelancaran serta pengembangan kegiatan Program Kali Bersih, maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Program Kali
Bersih.
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
5.
Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
6.
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
7.
Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian
b. Rapat Kerja Nasional PROKASIH pada tanggal 8 -12 Juni 1994 di Jakarta.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM KALI BERSIH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
AZAS, TUJUAN DAN SASARAN PROKASIH
Pasal 3
(1) Dalam rangka mewujudkan tujuan Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), pelaksanaan
Prokasih dilakukan dengan sasaran:
(2) Meningkatnya kualitas air sungai pada setiap ruas sungai Prokasih sampai minimal memenuhi baku mutu air
yang sesuai dengan peruntukannya.
(3) Menurunnya beban limbah dari tiap sumber pencemar, sampai minimal memenuhi baku mutu limbah cair.
(4) Menguatnya sistem kelembagaan dalam pelaksanaan Prokasih.
BAB III
PELAKSANAAN PROKASIH
Pasal 5
Berdasarkan hasil pemantauan dan analisis permasalahan pencemaran air di daerah, Kepala Bapedal mengusulkan
propinsi pelaksana Prokasih kepada Menteri. Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri
menetapkan propinsi pelaksana Prokasih.
Pasal 6
Sungai dan ruas sungai Prokasih ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan pedoman pemilihan sungai dan ruas
sungai Prokasih yang ditetapkan Bapedal dengan mempertimbangkan fungsi sungai bagi masyarakat dan
pembangunan serta memperhitungkan tingkat kemampuan lembaga pelaksana di daerah yang bersangkutan.
Pasal 7
Kepala Bapedal menetapkan pedoman pelaksanaan Rencana Induk Prokasih secara nasional.
Pasal 8
Pasal 9
Bapedal melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih secara nasional.
Pasal 10
Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih di daerah.
BAB IV
ORGANISASI PELAKSANAAN PROKASIH
Pasal 11
Menteri bertanggung jawab dalam koordinasi kebijaksanaan Prokasih secara nasional.
Kepala Bapedal bertanggung jawab dalam koordinasi pelaksanaan pengendalian kegiatan Prokasih secara nasional.
Pasal 12
Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2), Kepala Bapedal membentuk Tim
Prokasih Tingkat Pusat.
106
Pasal 13
Pasal 14
(1) Dalam rangka pelaksanaan Prokasih di daerah sebagaimana dimaksud Pasal 13:
1.
Gubernur menunjuk Wakil Gubernur sebagai penanggung jawab harian Prokasih di Propinsi Daerah Tingkat
I yang bersangkutan.
2.
Gubernur dapat menunjuk Bupati/Walikotamadya sebagai penanggung jawab harian Prokasih di Daerah
Tingkat II dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
3.
Gubernur menetapkan Tim Prokasih Daerah berdasarkan petunjuk atau arahan yang diberikan oleh Menteri
Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 15
(1) Gubernur menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala
Bapedal.
(2) Bupati/Walikotamadya menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Gubernur, Menteri, Menteri Dalam
Negeri dan Kepala Bapedal.
BAB VI
PEMBERIAN PENGHARGAAN
(1) Menteri memberi penghargaan kepada Pemerintah Daerah yang melaksanakan Prokasih dan perusahaan/
kegiatan usaha yang melaksanakan pengendalian pencemaran dengan kinerja yang sangat baik;
(2) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, diberikan berdasarkan hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan Pasal 15;
(3) Dalam rangka pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
a.
Kepala Bapedal menetapkan kriteria dan tata laksana penilaian;
b.
Kepala Bapedal membentuk Tim Teknis dan Tim Penilai;
c.
Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dilaksanakan
melalui Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha (Proper Prokasih);
d.
Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 17
Pasal 18
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
107
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-35-A/MENLH/VII/1995
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1.
bahwa sebagai upaya pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan
adalah dengan meningkatkan pentaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup;
2.
bahwa dalam rangka mendorong ditingkatkannya upaya sebagaimana dimaksud dalam butir (a)
dipandang perlu untuk mengambil langkah-langkah berupa pemberian insentif dan disinsentif
yang didasarkan pada hasil penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan
dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatannya;
3.
bahwa mengingat hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha Dalam
Pengendalian Pencemaran Dalam Lingkup Kegiatan PROKASIH (Proper Prokasih).
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
3.
Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
4.
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
5.
Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
6.
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PENILAIAN KINERJA
PERUSAHAAN / KEGIATAN USAHA DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN DALAM LINGKUP
KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH)
Pasal 1
Kinerja perusahaan/kegiatan usaha adalah tingkat upaya dan hasil perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan
dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kegiatannya.
Pasal 2
(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha diberlakukan untuk semua jenis kegiatan yang mempunyai potensi
dampak lingkungan di dalam lingkup kegiatan Prokasih.
(2) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat mengajukan diri secara sukarela
untuk dinilai kinerjanya.
(3) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat masuk program penilaian bila dipandang
perlu demi kepentingan umum.
Pasal 3
(1) Peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dibagi dalam peringkat sebagai berikut:
1.
peringkat emas, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang melaksanakan produksi bersih dan/atau emisi nol
dan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan serta telah mencapai hasil yang sangat memuaskan
sehingga patut menjadi teladan bagi usaha-usaha lainnya;
2.
peringkat hijau, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan
dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3.
peringkat biru, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah mendapatkan hasil yang sesuai dengan
persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
108
4.
peringkat merah, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan
tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku;
(1) Penentuan peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup
setelah mendapat masukan dari Tim Teknis dan Dewan Pertimbangan Proper Prokasih.
(2) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan, sedangkan Dewan Pertimbangan Proper Prokasih ditetapkan oleh Menteri Negara
Lingkugan Hidup.
Pasal 6
(1) Dewan Pertimbangan Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas anggotanya
terdiri
dari:
1.
Pejabat Eselon I terkait:
2.
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup;
3.
Deputi II Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
4.
Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri;
5.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Departemen Tenaga
Kerja;
6.
Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan.
7.
Wakil dunia usaha, wakil lembaga swadaya masyarakat dan wakil dari pers.
Pasal 7
(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan minimal sekali dalam satu tahun.
(2) Tim Teknis setelah mendengar masukan dari Dewan Pertimbangan Proper Prokasih menyampaikan hasil
penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
(3) Hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan diumumkan setelah dilaporkan kepada Presiden.
Pasal 8
Penilaian kinerja bagi perusahaan/kegiatan usaha yang sedang melaksanakan audit lingkungan sesuai dengan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-42/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Audit Lingkungan, ditunda sampai pengumuman hasil penilaian kinerja berikutnya.
Pasal 9
Perusahaan/kegiatan usaha yang meraih peringkat emas dan hijau diberikan piagam penghargaan.
Pasal 10
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
109
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan
manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair ke lingkungan;
b.
bahwa kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh
karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan
Baku Mutu Limbah Cair;
c.
bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
4.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3257);
6.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara
Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran negara Nomor 3538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN INDUSTRI.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1.
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang
bangun dan perekayasaan industri;
2.
Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
9.
Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan/atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen
yang bersangkutan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair untuk jenis-jenis industri di luar jenis-jenis industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Selama Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum ditetapkan, Gubernur
dapat menggunakan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran C Keputusan ini.
(3) Gubernur dapat melakukan penyesuaian jumlah parameter sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) pasal
ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(4) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan diluar parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran A dan B Keputusan ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(5) Menteri memberikan tanggapan dan/atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
pasal ini.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) pasal ini, tidak diberikan tanggapan dan/
atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
111
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam
Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat
dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan industri tersebut ditetapkan
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
a.
melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui
Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b.
membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke
lingkungan;
c.
memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d.
tidak melakukan pengeceran limbah cair, termasuk mencampurkan buangan air bekas pendingin ke dalam
aliran pembuangan limbah cair;
e.
memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;
f.
memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
g.
melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya;
h.
menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair, produksi bulanan
senyatanya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, e, g sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Kepala
Bapedal, Gubernur, instansi teknis yang membidangi industri lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 Keputusan ini dan Persyaratan Pasal 26 Peraturan
Pemerintahan Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air wajib dicantumkan dalam izin
Undangundang
Gangguan (Hinder Ordonnantie).
Pasal 8
Apabila jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum
keputusan ini :
a.
Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
b.
Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah cair dalam keputusan ini selambat-lambatnya 1
(satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Yang Sudah Beroperasi dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di :Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
112
Catatan :
113
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter
per Liter air Limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram
parameter per m2 produk pelapisan logam
LAMPIRAN A.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 10,5
COD 300 21,0
TSS 150 10,5
Sulfida (sbg H2S) 1,0 0,07
Krom Total (Cr) 2,0 0,14
Minyak dan Lemak 5,0 0,35
Amonia Total 10,0 0,70
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
70 m3 ton bahan baku
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
Limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton bahan baku (penggaraman kulit mentah)
114
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 250 1,5
COD 500 3,0
TSS 300 1,8
Minyak dan Lemak 30 0,18
Amonia Total (sebagai NH3-N) 20 0,12
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
6 m3 ton bahan baku
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton produk minyak sawit.
LAMPIRAN A.V: KEPUTUSAN MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
BOD5
COD
TSS
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk pulp dan atau kertas kering.
115
LAMPIRANA.VI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET
PARAMETER
KADAR
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
Liter air Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk karet kering
LAMPIRANA.VII :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA
PARAMETER KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 4,0
COD 250 10,0
TSS 175 7,0
Sulfida (sebagai H2S) 1,0 0,04
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
40 m3 per ton produk gula
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk gula.
116
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton produk)
BOD5 200 12,0
COD 400 24,0
TSS 150 9,0
Sianida (CN) 0,5 0,03
pH 6,0 -9,0
Debit LimbahMaksimum
60 m3 per ton produk
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk tapioka.
LAMPIRANA.IX :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL
PARAMETER KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 85 12,75
COD 250 37,5
TSS 60 9,0
Fenol Total 1,0 0,15
Krom Total (Cr) 2,0 0,30
Minyak dan Lemak 5,0 0,75
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
150 m3 per ton produk teksil
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk tekstil.
117
LAMPIRANA.X :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 1,5
COD 250 3,75
TSS 100 1,5
Minyak dan Lemak 25 0,4
Amonia Total (sbg. NH3-N) 50 0,75
pH 6,0 -9,0
Debit LimbahMaksimum
15 m3 per ton produk pupuk urea
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk pupuk urea
LAMPIRANA.XI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL
PARAMETER KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk ethanol.
118
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 12
COD 250 30
TSS 100 12
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
120 m3 per ton produk MSG
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk MSG.
LAMPIRANA.XIII :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
PARAMETER KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 0,28 kg/m3
COD 250 0,70 kg/m3
TSS 100 0,28 kg/m3
Fenol Totol 1,0 2,8 g/m3
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
2,8 m3 per ton produk kayu lapis
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter
per liter air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg atau
gram parameter per ton m3 produk kayu lapis.
3.
1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
4. 2,8 m3 air limbah per m3 produk = 10 m3 air limbah per 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
119
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU
PARAMETER KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUMPABRIK SUSU
DASAR
(kg/ton)
PABRIK
TERPADU
Catatan :
1.
Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu bubuk
2. Pabrik Terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton total padatan susu atau produk susu.
LAMPIRANA.XV :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3)
DENGAN
PENCUCIAN
BOTOL DAN
DENGAN
PEMBUATAN
SIROP
DENGAN
PENCUCIAN
BOTOL DAN
TANPA
PEMBUATAN
SIROP
TANPA
PENCUCIAN
BOTOL DAN
DENGAN
PEMBUATAN
SIROP
TANPA
PENCUCIAN
Catatan :
1.Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
m3
120
LAMPIRANA.XVI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN DAN PRODUK-PRODUK MINYAK
NABATI
PARAMETER KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton)
SABUN MINYAK
NABATI
DITERJEN
BOD5 125 2,50 7,50 0,75
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton
produk sabun atau minyak atau diterjen.
LAMPIRAN A.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/hektoliter)
BOD5 75 67,5
COD 170 153,0
TSS 70 63,0
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
9 hektoliter per hektoliter Bir
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter
per liter air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram
PARAMETER
ALKALINE -MANGAN KARBON -SENG
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/kg produk)
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L produk)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/kg produk)
COD --30 15
TSS 15 45 10 5
NH3-N Total --4 2
Minyak dan
Lemak
3 9,0 12 6
Seng (Zn) 0,3 0,9 0,8 0,4
Merkuri (Hg) 0,015 0.045 0,02 0,01
Mangan (Mn) 0,5 1,5 0,6 0,3
Krom (Cr) 0,1 0,3 --
Nikel (Ni) 0,6 1,8 --
pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
3,0 L per kg baterai 0,5 L per kg baterai
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per kg produk baterai yang dihasilkan.
LAMPIRAN A.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT
Catatan :
1.
Solvent-Based Cat harus Zero Discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung atau diolah
kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air
limbah.
3.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter
per m3 produk cat.
122
PARAMETER
PROSES
PEMBUATAN
BAHAN FORMULA
(MG/L)
FORMULASI-FORMULASI
(PENCAMPURAN)
(MG/L)
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air
limbah.
LAMPIRAN A.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA
PARAMETER
MAKSIMUM
PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI PENGEMASAN
MAKSIMUM
(mg/L)
KADAR
PENCEMARAN
(kg/ton produk)
BEBAN KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BOD5 70 1,75 40
COD 200 5,0 100
TSS 50 1,25 25
Fenol 3,0 0,075 2,5
Total-CN 1,0 0,025 -
Tembaga (Cu) 1,5 0,038 -
Bahan Aktif Total 2,0 0,05 1,0
pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0
Debit Limbahmaksimum
25 m3 per ton produk -
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram per ton
produk pestisida.
123
LAMPIRANB.I: KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(gram/ton)
TSS 25 75,0
Cl2 tersisa (Khlor) 0,5 1,5
Tembaga (Cu) 1,0 3,0
Timbal (Pb) 0,8 2,4
Seng (Zn) 1,0 3,0
Krom Total (Cr) 0,5 1,5
Nikel (Ni) 1,2 3,6
Raksa (Hg) 0,004 0,012
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah
Maksimum
3,0 m3 per ton produk soda kostik atau
3,4 m3 per ton Cl2
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
ton produk soda kostik.
LAMPIRAN B.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(gram/m2)
TSS 20 0,40
Sianida Total (CN)
tersisa
0,2 0,004
Krom Total (Cr) 0,5 0,010
Krom Heksavalen
(Cr+6)
0,1 0,002
Tembaga (Cu) 0,6 0,012
Seng (Zn) 1,0 0,020
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter
per m2 produk pelapisan logam
124
LAMPIRANB.III :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
Proses Penyamakan
Menggunakan Krom
Proses Penyamakan
Menggunakan Daundaunan
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 50 2,0 70 2,8
COD 110 4,4 180 7,2
TSS 60 2,4 50 2,0
Krom Total (Cr) 0,60 0,024 0,10 0,004
Minyak dan Lemak 5,0 0,20 5,0 0,20
N Total (sebagai N) 10 0,40 15 0,60
Amoniak Total (sebagai N) 0,5 0,02 0,50 0,02
Sulfida (sebagai S) 0,8 0,032 0,50 0,02
pH 6,0 -9,0 6,0 -9,0
Debit limbah maksimum 40 m3/ton bahan baku 40 m3/ton bahan baku
Catatan :
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 0,25
COD 350 0,88
TSS 250 0,63
Minyak dan Lemak 25 0,063
Nitrogen Total (sbg N) 50 0,125
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah Maksimum 2,5 m2 per ton produk minyak sawit (CPO)
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter
air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton produk minyak sawit (CPO).
3.
Nitrogen Total adalah jumlah Nitrogen Organik + Amonia Total + NO 3 + NO2
125
LAMPIRANB.V :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PROSES/
PARAMETER
DEBIT BOD5 COD TSS
PRODUK
(m3/ton)
Kadar
Catatan :
A. PULP
1.
Proses kraft (dikelantang dan tidak dikelantang) adalah produksi pulp yang menggunakan cairan pemasaknatrium
hidroksida yang sangat alkalis dan natrium sulfida. Proses kraft yang dikelantang digunakan padaproduksi kertas
karton dan kertas kasar lain yang berwarna. Pengelantangan adalah penggunaan bahanpengoksidasi kuat yang diikuti
dengan ekstraksi alkali untuk menghilangkan warna dari pulp, untuk suaturentang produk kertas yang lengkap.
2.
LAMPIRANB.VI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
LATEKS PEKAT KARET BENTUK KERING
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 4 60 2,4
COD 250 10 200 8
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligramparameter per Liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per
ton produk karet kering atau lateks pekat.
3. Nitrogen Total jumlah N organik + Amonia Total + NO 3 + NO2
LAMPIRAN B.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 60 0,3
COD 100 0,5
TSS 50 0,25
Minyak dan Lemak 5 0,025
Sulfida (sbg S) 0,5 0,0025
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah Maksimum 5,0 m3 per ton produk gula
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter perLiter air limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk gula.
3.
Debit limbah cair maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin.
127
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 4,5
COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah Maksimum 30 m3 per ton produk tapioka
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton produk tapioka.
LAMPIRAN B.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
Tekstil
Terpadu
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton)
Pencucian
Kapas
Pemintalan
Penenunan
Perekatan
(Sizing)
Desizing
Pengikisan
Pemasakan
(Klering
Scouring)
Pemucatan
(Blencing)
Merserisasi Pencelupan
10
24
18
15
20
(m3 ton
produk)
Catatan :
1.Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton
produk tekstil.
128
LAMPIRANB.X :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan :
1. Pengukuran beban limbah cair dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir.
2. Beban limbah cair (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit limbah.
3. Beban limbah cair industri amoniak, berlaku pula untuk industri pupuk urea dan pupuk nitrogen lain yang
memproduksi kelebihan amoniak.
LAMPIRAN B.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 1,5
COD 300 4,5
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton produk
ethanol.
129
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 80 9,6
COD 150 18,0
TSS 100 12,0
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah Maksimum 120 m3 per ton produk MSG
Catatan :
1.Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton produk
MSG.
PARAMETER
KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Literair
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
m3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
130
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU
Catatan :
1. Pabrik susu dasar menghasilkan susu cair dan krim, susu kental manis dan atau susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produksi dari susu seperti keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton total
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
m3 produk minuman ringan yang dihasilkan.
131
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DETERJEN DAN PRODUK-PRODUK MINYAK
NABATI
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram per ton
produk sabun, minyak nabati dan diterjen.
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(gram/hektoliter)
BOD5 40 24,0
COD 100 60,0
TSS 40 24,0
pH 6,0 -9,0
Debit Limbah Maksimum 6 hektoliter per hektoliter Bir
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram per hektolilter
produk Bir.
132
LAMPIRANB.XVIII :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter
per kg produk baterai.
LAMPIRAN B.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(gram/m3)
BOD5 80 40
TSS 50 25
Merkuri (Hg) 0,01 0,005
Seng (Zn) 1,0 0,50
Timbal (Pb) 0,30 0,15
Tembaga (Cu) 0,80 0,40
Krom Heksavalen (Cr+6) 0,20 0,10
Titanium (Ti) 0,40 0,20
Kadmium (Cd) 0,08 0,04
Fenol 0,20 0,10
Minyak dan Lemak 10 5
pH
Debit Limbah Maksimum
6,0 -9,0
0,5 L per L produk cat water base
Zero Discharge untuk cat solvent base
133
1.
Solvent-Based Cat harus Zero Discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung atau diolah
kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
3.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter
per m3 produk cat.
LAMPIRANB.XX :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
LAMPIRANB.XXI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
PARAMETER
PEMBUATAN PESTISIDATEKNIS FORMULASI PENGEMASAN
KADAR
MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN
PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton produk)
Catatan :
1.
Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.
Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter
per ton produk pestisida.
134
NO PARAMETER SATUAN
GOLONGAN BAKU
MUTU LIMBAH CAIR
I II
FISIK
1 Temperatur der.C 38 40
2 Zat padat larut mg/L 2000 4000
3 Zat padar tersuspensi mg/L 200 400
KIMIA
1 pH 6,0 sampai 9,0
2 Besi terlarut (Fe) mg/L 5 10
3 Mangan terlarut (Mn) mg/L 2 5
4 Barium (Ba) mg/L 2 3
5 Tembaga (Cu) mg/L 2 3
6 Seng (Zn) mg/L 5 10
7 Krom Heksavalen (Cr+6) mg/L 0,1 0,5
8 Krom Total (Cr) mg/L 0,5 1
9 Cadmium (Cd) mg/L 0,05 0,1
10 Raksa (Hg) mg/L 0,002 0,005
11 Timbal (Pb) mg/L 0,1 1
12 Stanum mg/L 2 3
Catatan :
*).
Untuk memenuhi baku mutu limbah cair tersebut kadar parameter limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan
cara pengenceran dengan air secara langsung diambil dari sumber air kadar parameter limbah tersebut
adalah limbah maksimum yang diperbolehkan.
**).
Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
135
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-52/MENLH/X/1995
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi dan kehidupan manusiaserta makhluk hidup
lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke
lingkungan;
b.
bahwa kegiatan hotel mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena
itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku
Mutu Limbah Cair;
c.
bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalamPasal 15 Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,
perlu ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel;
Mengingat : 1.
Undang-undang Gangguan (Hinder ordonantie) Tahun 1926, stbl. Nomor 226, setelah diubah dan
ditambah terakhir dengan stbl. 1940 Nomor 14 dan Tahun 450;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
4.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor3215);
5.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor
78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah
Dalam Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor
34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3144);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas pokok,
Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN HOTEL
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.
Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan
jasa pelayanan penginapan yang dikelola secara komersial yang meliputi hotel berbintang dan hotel melati.
2.
Hotel berbintang adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan yang
untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum.
3.
Baku Mutu Limbah Cair Hotel adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan.
4.
Limbah Cair Hotel adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan hotel yang dibuang ke
lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
5.
Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
6.
Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, atau GubernurKepala
Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3, 4, 5 adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
(2) Bagi Kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
a.
telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun
2000;
b.
tahap perencanaan dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
136
(3) bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang tahap perencanaannya dilakukan dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran B;
(4) Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali
dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Gubernur setelah mendapat persetujuan Menteri dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter
yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini.
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama
dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan hotel tersebut ditetapkan
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
Pasal 8
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan
sebelum keputusan ini:
1.
Baku Mutu Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
2.
Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgat daripada Baku Mutu Limbah cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam
Lampiran keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
137
LAMPIRAN A
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995
TANGGAL 23 OKTOBER 1995
LAMPIRAN B
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995
TANGGAL 23 OKTOBER 1995
Ditetapkan di : Jakarta
ttd
Hambar Martono
138
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-58/MENLH/XII/1995
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan
manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair ke lingkungan;
b.
bahwa kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perludilakukan pengendalian terhadap pembuangan
limbah cair yang dibuang ke lingkungan dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
bagi kegiatan Rumah Sakit;
c.
bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas dan untuk melaksanakan pengendalian
pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit;
Mengingat : 1.
Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 14 dan Nomor 450;
2.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2722);
3.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
4.
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
Pasal 1
5.
Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan
ini.
(2) Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurangkurangya
sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini setelah mendapat persetujuan:
a.
Menteri dan menteri yang membidangi rumah sakit untuk parameter nonradioaktivitas
b.
Menteri dan Direktur Jenderal Bidang Atom Nasional untuk parameter radioaktivitas.
(2) Tanggapan dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diberikan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan tanggapan dan/atau
persetujuan, maka permohonan dianggap telah disetujui.
Pasal 5
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 6
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan rumah sakit mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih
ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 5 ayat (1), maka
bagi kegiatan rumah sakit tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.
Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib:
a.
Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan sehingga mutu limbah cair yang dibuang
ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
(1) Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena zat radioaktif
pengelolanya dilakukan sesuai dengan ketentuan Badan Tenaga Atom Nasional.
140
(2) Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan radioaktif yang
dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.
(3) Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radioaktif dalam kegiatannya, tidak diberlakukan kelompok
parameter radioaktivitas dalam pemeriksaan limbah cair rumah sakit yang bersangkutan.
Pasal 9
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau Pasal 6 Keputusan ini, dan persyaratan dalam Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin
Undang-undang Gangguan (Hinder Ordinnantie).
Pasal 10
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
ditetapkan sebelum keputusan ini:
1.
Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalam lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
2.
Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini selambatlambatnya
satu tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 11
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 1995
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
141
LAMPIRAN A
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
LAMPIRAN B
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
142
LAUT LAUT
143
Menimbang : a.
bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara
merupakan salah satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa;
b.
bahwa pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk mernberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan makhluk hidup lainnya;
c.
bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut maupun pemanfaatan laut beserta
sumber daya alamnya dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut
yang akhirnya dapat menurunkan mutu serta fungsi laut;
d.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994);
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN
LAUT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1.
Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional;
2.
Pencemaran Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya;
3.
Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
4.
Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik
dan/atau hayatinya yang lampaui kriteria baku kerusakan laut;
5.
Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati kriteria baku kerusakan laut;
7.
Status mutu laut ada tingkatan mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dini berdasarkan baku mutu air laut
dan/atau kriteria baku kerusakan laut;
8.
Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik;
9.
Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau
penanggulangan dan/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan laut;
10. Pembuangan (dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan dan/atau
benda lain yang tidak terpakai atau daluarsa ke laut;
11. Limbah adalah sisa usaha dan/atau kegiatan;
12. Limbah cair adalah sisa dan proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair;
13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dan suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud padat termasuk
sampah;
14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut bertujuan
untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya sumber daya laut.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU LAUT
Pasal 3
Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut.
Pasal 4
Baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Menteri
dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
terkait lainnya.
Pasal 5
(1) Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat
kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut.
(2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman teknis penetapan
status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka Kepala instansi yang
bertanggung jawab menetapkan status mutu laut.
Pasal 6
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status mutu laut.
Pasal 7
(1) Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status
mutunya pada tingkatan baik.
(2) Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang
status mutunya berada pada tingkatan rusak.
BAB III
PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT
Pasal 9
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan pencemaran laut.
Pasal 10
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan
pencegahan terjadinya pencemaran laut.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi
persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
145
Pasal 11
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran laut.
Pasal 12
Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana
pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT
Pasal 13
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan kerusakan laut.
Pasal 14
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan
pencegahan perusakan laut.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan laut.
BAB V
PENANGGULANGAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh
kegiatannya.
(2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana dimaksud ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
PEMULIHAN MUTU LAUT
Pasal 16
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.
(2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
BAB VII
KEADAAN DARURAT
Pasal 17
(1) Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan di laut dapat
dilakukan tanpa izin, apabila:
a.
pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut;
b.
pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dapat dilakukan dengan syarat bahwa semua
upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk
mencegah kerugian yang lebih besar.
(2) Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang terdekat dan/atau instansi
yang bertanggung jawab.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi,
waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.
(4) Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau
kerusakan laut serta wajib melaporkan kepada Menteri.
(5) Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh
keadaan darurat, di tanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
BAB VIII
DUMPING
Pasal 18
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut wajib mendapat
izin Menteri.
(2) Tata cara dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
146
Pasal 19
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat
menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menetapkan pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 20
(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berwenang melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan,
memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi
dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 21
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, wajib:
a.
mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan
tersebut;
b.
memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;
c.
memberikan dokumen dan/atau data yang diperoleh pengawas;
d.
mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya yang diperlukan
pengawas; dan
e.
mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi
kerjanya.
Pasal 22
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung
jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala
Instansi yang bertanggung jawab.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 23
Pasal 24
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya
pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 25
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ditetapkan
lebih lanjut oleh Menteri.
147
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan persyaratan
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 28
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 1999
ttd
148
PENJELASAN
ATAS
PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG
I.
UMUM
Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut
Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan laut lokal maupun internasional, juga memiliki
sumber daya laut yang sangat kaya dan penting, antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, padang
lamun, mangrove dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga
mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia juga. Hal ini menunjukkan bahwa
sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini
maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan salah satu sumber daya alam, sangat perlu untuk
dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan
tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut menjadi sangat
penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan
pengelolaan lingkungan hidup.
1.
Pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
Hal ini berarti, bahwa perlu ditetapkan baku mutu air laut yang berfungsi sebagai tolak ukur untuk menentukan
telah terjadinya pencemaran laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena
sangat erat kaitannya antara tingkat pencemaran laut dengan status mutu laut itu sendiri.
2.
Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap
sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. Hal ini berarti bahwa perlu ditetapkan
kriteria baku kerusakan laut yang berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan tingkat kerusakan laut.
Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara tingkat
kerusakan laut dengan status mutu laut itu sendiri.
3.
Mengacu kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan
bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan generasi kini dan yang
akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Pengendalian pencemaran
Angka (2)
Cukup jelas
Angka (3)
Cukup jelas
Angka (4)
Cukup jelas
Angka (6)
Cukup jelas
Angka (7)
Cukup jelas
Angka (8)
Yang dimaksud mutu laut tetap baik adalah mutu laut sama atau dibawah ambang batas baku mutu airlaut atau kriteria
baku kerusakan laut.
Angka (9)
Cukup jelas
Angka (10)
Cukup jelas
Angka (11)
Cukup jelas
Angka (12)
Cukup jelas
Angka (13)
Cukup jelas
Angka (14)
Cukup jelas
Angka (15)
Cukup jelas
Angka (16)
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pasal 4
Baku mutu air laut ditetapkan berdasarkan peruntukkannya, antara lain: baku mutu air laut untuk pariwisatadan rekreasi
(mandi, renang, dan selam); baku mutu air laut untuk konservasi sumber daya alam hayati danekosistemnya.
Sedangkan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan berdasarkan pada kondisi fisik ekosistemlaut yaitu antara lain:
terumbu karang, mangrove dan padang lamun.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
150
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter mutu airlaut yang diukur
berada dalam batas atau sesuai dengan ketentuan baku mutu air laut yang ditetapkanoleh Menteri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parametermutu air laut yang
diukur tidak berada dalam batas atau tidak sesuai dengan ketentuan baku mutu airlaut yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut adalah jikakondisi fisik
lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam:
-Kondisinya “baik” sampai “baik sekali” untuk terumbu karang.
-Kondisinya “sedang” sampai “sangat padat” untuk mangrove.
-Kondisinya “kaya” sampai “sangat kaya” untuk padang lamun.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan adalah jikakondisi fisik
lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam:
-Kondisinya “sedang” sampai “buruk” untuk terumbu karang.
-Kondisinya “jarang” sampai “sangat jarang” untuk mangrove.
-Kondisinya “agak miskin” sampai “miskin” untuk padang tamun.
Pasal 9
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Yang dimaksud limbah padat adalah termasuk sampah.
Yang dimaksud dengan kegiatan rutin operasional di laut antara lain:
kapal, kegiatan lepas pantai (off shore) dan perikanan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pencegahan dimaksud merupakan upaya untuk mengurangi terjadinyakemungkinan
resiko terhadap setiap ekosistem laut berupa terjadinya perusakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan penanggulangansesegera mungkin
sehingga mengesampingkan prosedur normal. Yang dimaksud dengan bendaadalah barang dan/atau bahan dan/atau zat
dan/atau limbah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang antara lain Menteri Perhubungan, MenteriPertambangan dan Energi,
dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
151
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Dalam rangka menetapkan tata cara dumping, Menteri wajib melakukan koordinasi dengan instansiterkait.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dan instansi lain untuk melakukan pengawasan,
Menteri melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan adalah menghormatinilai dan norma
yang berlaku baik tertulis maupun yang tidak tertulis.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Laporan tentang kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau yang disampaikan antara lain berisihasil pemantauan
kualitas dan kuantitas limbah yang di buang ke laut, kinerja instalasi pengolahan airlimbah, luas penambangan pasir
atau batu yang telah dilakukan dan upaya minimalisasi dampak,
reklamasi pantai.
Ayat (2)
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
ttd
152
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 04 TAHUN 2001
TENTANG
KRITERIABAKUKERUSAKAN TERUMBUKARANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :a.
bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai
habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;
b.
bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak
terhadap kerusakan terumbu karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya
2
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
3.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3816);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN
TERUMBU KARANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1.
Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota
laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup didasar laut lainnya serta biota lain yang hidup
bebas di dalam perairan sekitarnya;
2.
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu
karang yang dapat ditenggang;
BAB II
KARANG
Bagian Pertama
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
Pasal 2
(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ditetapkan berdasarkan prosentase luas tutupan terumbu karang
yang hidup.
(2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran I
Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan salah
satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek
Garis Bentuk Pertumbuhan Karang.
Bagian Kedua
Status Kondisi Terumbu Karang
Pasal 4
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan inventarisasi terumbu karang sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sekali untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteri dan
instansi yag bertanggung jawab.
Bagian Ketiga
Program Pengendalian Kerusakan Terumbu Karang
Pasal 6
(1) Gubernur/Bupati/Wallikota wajib menyusun program pengendalian kerusakan terumbu karang yang dinyatakan
dalam kondisi rusak sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b.
(2) Program pengendalian terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan.
(3) Pedoman tentang tata cara pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kerusakan terumbu karang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam lampiran II Keputusan ini.
Pasal 7
Dalam rangka pelaksanaan program pengendalian kerusakan terumbu karang Gubernur/Bupati/Walikota wajib
melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi terumbu karang 1 (satu) tahun sekali dan menyampaikan
laporannya kepada Menteri, instansi yang berwenang di bidang kehutanan, instansi yang berwenang di bidang
kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 8
Menteri menetapkan kebijakan nasional mengenai pengendalian kerusakan terumbu karang.
BAB III
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 9
(1) Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan kerusakan terhadap terumbu karang.
(2) Dalam hal pengawasan tersebut dilakukan di kawasan konservasi wajib dikoordinasikan dengan instansi yang
berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab.
154
Pasal 10
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui kerusakan atau perusakan terumbu karang, wajib segera
melaporkan kepada pejabat daerah terdekat.
(2) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari Kepala Desa, Lurah, Camat, Kepolisian,
Bupati, Walikota atau Gubernur terdekat.
(3) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menerima laporan wajib mencatat :
Pasal 12
Apabila hasil verifikasi menunjukkan telah terjadi kerusakan atau perusakan terumbu karang, Bupati, Walikota atau
Gubernur setempat wajib segera melakukan langkah penanganannya.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 13
Biaya sebagaimana dimaksud dalam :
a.
Pasal 4 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 12 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Februari 2001
ttd
155
KRITERIABAKUKERUSAKAN
TERUMBUKARANG
Keterangan :
Prosentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang : 50 -100%
A. Pendahuluan.
Terumbu karang merupakan rumah bagi 25% dari seluruh biota laut dan merupakan ekosistem di dunia yang paling
rapuh dan mudah punah. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang demi kelestarian fungsinya
sangat penting.
Terumbu karang Indonesia menurut Tomascik, 1997 mempunyai luas kurang lebih 85.707 Km 2, yang terdiri dari
fringing reefs 14.542 Km2, barrierreefs 50.223 Km2, oceanic platformreefs 1.402 Km2, dan attolsseluas 19.540 Km2.
Terumbu karang telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota
dengan cara merusak kelestarian sumber daya, seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia beracun (potassium
sianida) telah terjadi di seluruh perairan Indonesia.
Masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam
pemanfaatannya, sebaliknya, kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun
buruknya ekosistem ini. Oleh karena itu pengendalian kerusakan terumbu karang sangat diperlukan untuk menjaga
kelestarian fungsi ekosistem yang sangat berguna bagi masyarakat pesisir.
Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian di daerah aliran sungai ataupun
penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan
terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih
lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena kurangnya cahaya.
Hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai penyaring juga menjadi rusak dan menyebabkan
sedimen dapat mencapai terumbu karang. Penebangan hutan mangrove untuk keperluan kayu bakar dapat merubah
area hutan mangrove tersebut menjadi pantai terbuka. Dengan membuka tambak-tambak udang dapat merusak
tempat penyediaan udang alami.
Penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan oleh nelayan akan mengakibatkan penangkapan ikan secara
berlebihan, sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang dimasa berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat
(sejenis pupuk) sebagai bahan peledak akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga membunuh ikan dan
merusak karang di sekitarnya.
156
Aliran drainase
Aliran drainase yang mengandung pupuk dan kotoran yang terbuang ke perairan pantai yang mendorong pertumbuhan
algae yang akan menghambat pertumbuhan polip karang, mengurangi asupan cahaya dan oksigen. Penangkapan
secara berlebihan membuat masalah ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang biasanya makan algae juga ikut
tertangkap.
Kapal-kapal penangkap ikan seringkali menggunakan sianida dan racun-racun lain untuk menangkap ikan-ikan
karang yang berharga. Metode ini acap digunakan untuk menangkap ikan-ikan tropis untuk akuarium dan sekarang
digunakan untuk menangkap ikan-ikan sebagai konsumsi restoran-restoran yang memakai ikan hidup.
Pengambilan karang untuk digunakan sebagai bahan baku konstruksi atau dijual untuk cinderamata juga merusak
terumbu karang. Demikian pula pengerukan dan pengeboman karang untuk konstruksi di daerah terumbu karang.
Pencemaran Air
Produk-produk minyak bumi dan kimia lain yang dibuang di dekat perairan pantai, pada akhirnya akan mencapai
terumbu karang. Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang dan biota laut lainnya.
Pengelolaan tempat rekreasi di wilayah pesisir yang tidak memperhatikan lingkungan, seperti penyewaan kapal,
peralatan pemancingan dan penyelaman seringkali menyebabkan rusaknya terumbu karang. Pelemparan jangkar
ke karang dapat menghancurkan dan mematahkan terumbu karang. Para wisatawan yang mengambil,
mengumpulkan, menendang, dan berjalan di karang ikut menyumbang terjadinya kerusakan terumbu karang.
Pemanasan global
Terumbu karang juga terancam oleh pemanasan global. Pemutihan terumbu karang meningkat selama dua dekade
terakhir, masa dimana bumi mengalami beberapa kali suhu terpanas dalam sejarah. Ketika suhu laut meningkat
sangat tinggi, polip karang kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna mereka menjadi
putih dan akhirnya mati.
Pemanasan global juga mengakibatkan cuaca ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis yang dapat
mengakibatkan kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar. Meningkatnya permukaan laut juga
menjadi ancaman serius bagi terumbu karang dan pulau-pulau kecil maupun atol.
Adalah upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang dan
mengajak masyarakat untuk berperan serta aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan
terumbu karang secara lestari, seperti meningkatkan kesadaran mereka akan peranan penting terumbu karang,
seperti sebagai tempat pengembangan wisata bahari, bahan baku obat-obatan, kosmetika, bahan makanan dan
lain-lain. Penting juga untuk menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat
pesisir sejak masa kanak-kanak.
Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan
tangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Pembinaan ini disertai dengan bantuan
pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang telah ada dan tidak membebani masyarakat.
Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan
secara lestari.
Pengembangan Kelembagaan
Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan,
aparat keamanan, pemanfaat sumber daya dan pemerhati lingkungan.
Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan
dan teknik rehabilitasi terumbu karang.
Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang. Dalam kaitan ini
akan dibentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang dengan membangun simpul-simpul di
beberapa propinsi. Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki stasiun-stasiun di beberapa
tempat, seperti : Biak, Ambon dan Lombok.
Penegakan hukum
Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam
usaha mencapai tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Masyarakat memegang peranan
157
penting dalam mencapai tujuan komponen penegakan hukum. Salah satu peranan masyarakat dalam pengamanan
terumbu karang secara langsung adalah sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, dimana mereka
berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak hukum mengenai pelanggaran yang merusak terumbu karang
di daerahnya.
D. Pemulihan
Pemulihan kerusakan terumbu karang merupakan upaya yang paling sulit untuk dilakukan, serta memakan biaya
tinggi dan waktu yang cukup lama. Upaya pemulihan yang bisa dilakukan adalah zonasi dan rehabilitasi terumbu
karang.
Zonasi
Pengelolaan zonasi pesisir bertujuan untuk memperbaiki ekosistem pesisir yang sudah rusak. Pada prinsipnya
Rehabilitasi
Pemulihan kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi aktif, seperti meningkatkan
populasi karang, mengurangi algae yang hidup bebas, serta meningkatkan ikan-ikan karang.
Peningkatan populasi karang dapat dilakukan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu membiarkan benih karang
yang hidup menempel pada permukaan benda yang bersih dan halus dengan pori-pori kecil atau liang untuk
berlindung; menambah migrasi melalui transplantasi, serta mengurangi mortalitas dengan mencegahnya dari
kerusakan fisik, penyakit, hama dan kompetisi.
Pengurangan populasi alga dapat dilakukan dengan cara membersihkan karang dari alga dan meningkatkan hewan
pemangsa alga.
Populasi ikan karang dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu dengan meningkatkan ikan herbivora
dan merehabilitasi padang lamun sebagai pelindung bagi ikan-ikan kecil; meningkatkan migrasi atau menambah
stok ikan, serta menurunkan mortalitas jenis ikan favorit.
ttd
ttd
158
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-45/MENLH/XI/1996
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1.
bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan wilayah pantai,
setiap usaha atau kegiatan wajib melakukan usaha pengendaliannya;
2.
bahwa salah satu upaya pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan wilayah pantai
tersebut dilakukan dengan Program Pantai Lestari;
3.
bahwa mengingat hal seperti tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Program Pantai Lestari;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
3.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1982 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
4.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
5.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
7.
Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships, 1973 Beserta Protokol;
8.
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
9.
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 86 Tahun 1990 tentang Pencegahan Pencemaran
Oleh Minyak dari Kapal;
11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 215/AL 506/PHB-87 tentang Pengadaan Fasilitas
Penampungan Limbah dari Kapal;
12. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 167/HM/207 Tahun 1986 tentang Sertifikasi
Internasional Pencegahan Pencemaran Oleh Bahan Cair Beracun;
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PANTAI LESTARI
Pasal 1
Pasal 3
Pasal 4
(1) Gubernur dapat mengusulkan Penetapan Propinsi Daerah Tingkat II Program Pantai Lestari
(2) Tata cara pengusulan Propinsi Daaerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
Bapedal setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Pasal 7
Gubernur dapat menetapkan prioritas dan sasaran yang dijadikan program pantai lestari di daerahnya
Pasal 8
(1) Setiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat mengusulkan daerahnya sebagai pelaksana Program
Pantai Lestari kepada Gubernur
(2) Tata cara pengusulan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh
Gubernur
Pasal 9
Kepala BAPEDAL melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program Pantai Lestari secara nasional
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada Menteri
Pasal 10
Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program Pantai Lestari secara berkala setiap 3
(tiga) bulan sekali kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.
Pasal 11
(1) Menteri dapat memberikan penghargaan kepada Gubernur, Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II dan atau
penanggung jawab usaha atau kegiatan yang dinilai telah berhasil melakukan pembinaan dan pelaksanaan
Program Pantai Lestari.
(2) Menteri menetapkan penghargaan Program Pantai Lestari berdasarkan pertimbangan Dewan Penilai.
(3) Pedoman dan tata cara penilaian untuk memberikan penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Bapedal
(4) Susunan anggota Dewan Penilai Program Pantai Lestari ditetapkan oleh Menteri
Pasal 12
(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program Pantai Lestari:
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Nopember 1996
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
160
KEPUTUSAN
KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR 47 TAHUN 2001
TENTANG
Menimbang : a.
bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai
habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;
b.
bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak
terhadap kerusakan terumbu karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya
pengendaliannya;
c.
bahwa dalam rangka untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu karang, diperlukan suatu ukuran
untuk menilai kondisi terumbu karang;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Pengukuran
Kondisi Terumbu Karang;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
2.
Menetapkan:
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.
Pengukuran kondisi terumbu karang adalah kegiatan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang pada suatu
tempat dan waktu tertentu;
2.
Terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota
laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta biota lain yang hidup
bebas di dalam perairan sekitamya;
Pasal 2
(1) Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan
ini.
(2) Penetapan pedoman pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menyediakan acuan bagi
petugas pemantau, pengawas, peneliti, penyidik dan pihak yang berkepentingan lainnya dalam melakukan
pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang.
(3) Metodologi yang digunakan dalam pengukuran kondisi terumbu karang adalah metoda transek garis bentuk
pertumbuhan karang.
Pasal 3
(1) Petugas peneliti dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yaitu
memiliki sertifikat selam dengan jenjang minimal Scuba Diver 3 (A2) yang diterbitkan oleh Persatuan Olah Raga
Selam Seluruh Indonesia atau sertifikat dengan jenjang sederajat yang diterbitkan oleh instansi sejenis lainnya.
(2) Pemantau, pengawas dan penyidik dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam surat keputusan tentang persyaratan pengangkatan sebagai pengawas
atau penyidik.
Pasal 5
(1) Data hasil pengukuran kondisi terumbu karang sebelum disajikan atau diinformasikan kepada pihak lain yang
berkepentingan atau publik, harus disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap jenis kegiatan:
a.
penelitian dan pendidikan adalah pimpinan lembaga penelitian atau pendidikan yang bersangkutan;
b.
pemantauan dan pengawasan adalah atasan petugas pemantau dan pengawas pada instansi yang
bersangkutan, baik di pusat maupun di daerah.
(3) Untuk kepentingan kegiatan penyidikan, maka kegiatan pengukuran, pengolahan dan penyajian hasil penyidikan
harus dituangkan dalam suatu Berita Acara.
Pasal 6
ttd
ttd.
162
I. PEMILIHAN TAPAK
1.
Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih tapak yang memungkinkan pada “lereng
terumbu” (yaitu : terumbu karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang lebih dalam) dan
dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk
pemilihan tempat (Gambar 1).
GAMBAR 1: Metoda Manta Towing
2.
Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurang-kurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2
(dua) tempat. Jika tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah arus, maka pemilihan
tapak harus dilakukan pada semua kondisi.
3.
Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang bersamaan dengan pemilihan tempat.
Penandaan dapat dilakukan misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas terumbu karang
di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan
GPS (Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian tempat yang akan dipilih.
4.
Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan pelampung.
II. PEDOMAN UMUM
1.
Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) transek yang masing-masing berukuran panjang
50 meter, pada setiap 2 (dua) kedalaman, yaitu 3 meter dan 10 meter. Jarak antara dua transek yang
berdekatan minimal adalah 10 meter.
2.
Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka
transek pertama dapat ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah tonjolan terumbu
karang. Transek kedua (yang lebih dalam) diletakkan pada kira-kira 9-10 meter di bawah tonjolan terumbu
karang. Jika pada kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang, transek dapat digeser ke kedalaman 2 atau
6-8 meter. Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang, maka transek
pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut dengan hitungan nol meter dimulai dari
rata-rata surut terendah.
GAMBAR 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang.
3.
Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya sama untuk setiap pengamatan awal
dan saat pengamatan.
Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data (Tabel 1) di semua tempat selama pengamatan
berlangsung yaitu 3 (tiga) orang pada setiap kedalaman.
4.
Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua) orang melakukan pencatatan
data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggung jawab pada penggunaan alat ukur (roll meter), baik
penguluran, perentangan dan penggulungan, pada awal dan akhir pengamatan.
7.
Untuk menghindari terjadinya pergeseran-pergeseran, alat ukur harus selalu berada dekat (0-15 cm) dengan
substratum (obyek pengamatan) dan tetap terkait selama berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengaitkan meteran pada karang, contohnya dengan mendorong meteran antara cabang-cabang karang,
tetapi jangan sampai meteran mengelilingi karang atau cabang karang atau karang hidup, karena akan
berdampak pada hasil pengamatan.
Catatan 1 :
Apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih dari 50 cm, maka data yang dicatat dalam hasil
pengamatan disebut kategori air;
Catatan 2 :
Bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan pengamatan transek beberapa kali dalam 1 (satu)
hari, maka pengamat harus mempertimbangkan faktor keselamatan dalam penyelaman;
Catatan 3 :
Sebaiknya dilakukan pengamatan transek pada tapak yang dalam (10 meter) terlebih dahulu, kemudian
dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter).
8.
Setelah pengamatan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut ditandai dengan pelampung dan atau
menggunakan GPS.
III. PENCATATAN DATA
1.
Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data pada tempat yang ditentukan, sebaiknya
parameter-parameter lingkungan harus dicatat terlebih dahulu pada data sheet (Tabel 1) dan ini harus dilakukan
bersamaan dengan pengamat yang sedang melaksanakan pemasangan tali transek di bawah permukaan laut.
2.
Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas dengan cara perlahan-lahan menyusuri tali
transek sambil melakukan pencatatan data (Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter (cm) untuk
semua bentuk pertumbuhan biota yang berada di bawah tali transek.
GAMBAR 3 : Pencatatan Data
Jarak Antara
(Transisi) Kode Bentuk Nama Spesies Catatan
(cm) Pertumbuhan/Parameter
4.
Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran data dapat dipilih pada Gambar 5a, 5b, 5c
dan Tabel 2
Gambar 5a
Kategori Bentuk Pertumbuhan
165
Gambar 5b
Kategori Bentuk Pertumbuhan
166
Gambar 5c
167
168
Other Fauna :
(Fauna lainnya)
Soft Coral (karang lunak) SC Karang “berbadan lunak”, terlihat seperti
pohon.
Spone (Spon) SP Karang lembut berbentuk tabung / tubuh
seperti spon.
Zoanthids ZO Mirip seperti anemon tetapi lebih kecil, biasa
hidup sendiri/berkoloni atau seperti hewanhewan
kecil menempel pada substratum,
misalnya : Platyhea, Protoplayhoa.
5.
Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada kategori-kategori bentuk pertumbuhan, tergantung
pada pengetahuan si pengamat (Tabel 1).
IV.
ANALISA DATA
Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan.
-Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan :
169
ttd
170
UDARA UDARA
171
TENTANG
PENGENDALIANPENCEMARANUDARA
Menimbang : a.
bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta mahluk
hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan
dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;
b.
bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup,
maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran
udara;
c.
bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
BAB I
Pasal 1
1.
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara
ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
2.
Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara
serta pemulihan mutu udara;
3.
Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang
menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4.
Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah
yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan
unsur lingkungan hidup lainnya;
5.
Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;
6.
Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi;
7.
Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang
seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien;
8.
Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi
sebagaimana mestinya;
9.
Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dalam suatu kegiatan yang masuk dan/atau
dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur
pencemar;
10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan udara ambien;
11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber
bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak spesifik;
12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari
kendaraan bermotor;
13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal
dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;
15. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari hutan dan
pembakaran sampah;
16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimal dan/atau beban emisi maksimum yang
diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang
boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan mesin udara atau padat untuk penyebarannya,
yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak atau sumber tidak bergerak
spesifik;
19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara
20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan
langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan bermotor;
21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe
baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang
dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum
beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi
di jalan wilayah Republik Indonesia;
24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan
kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia,
nilai estetika dan mahluk hidup lainnya;
27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara;
28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dan usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber
bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya
pengendalian emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien status mutu udara ambien, baku mutu
emisi, ambang batas emisi gas buang baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar
Pencemaran Udara.
Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah
terjadinya pencemaran udara sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini;
(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah
yang bersangkutan.
(2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
baku mutu udara ambien nasional.
(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sama
dengan atau lebih ketat dan baku mutu udara ambien nasional.
(4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima)
tahun.
(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien
daerah.
Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien
Pasal 6
(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien,
potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah.
173
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan kegiatan
Inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman teknis
penetapan status mutu udara ambien.
Pasal 7
(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan
status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur menetapkan dan
menyatakan status mutu udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.
(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.
Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 8
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang
batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis kualitas bahan
bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap batas mutu emisi sumber tidak bergerak dan
ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber
tidak bergerak dan sumber bergerak.
Bagian Kelima
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 10
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang
batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. baku tingkat kebisingan;
b. baku tingkat getaran;
c. baku tingkat kebauan dan;
d. baku tingkat gangguan lainnya.
(3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta
kelestarian bangunan.
(4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 11
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak
dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber
gangguan dan sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.
Bagian Keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 12
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan
tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika.
174
Pasal 13
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi
Indeks Standar Pencemar Udara
(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara
otomatis dan berkesinambungan
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk :
a.
bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu;
b.
bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengendalian
pencemaran udara.
Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dan pengoperasian stasiun pemantauan kualitas udara ambien
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu
udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber
bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.
Pasal 17
(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional ditetapkan
oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II.
(2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur.
(3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program kerja daerah di
bidang pengendalian pencemaran udara.
(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dengan cara:
a.
penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang
batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan
Pemerintah ini;
b.
penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan
19.
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan ke udara
175
ambien wajib :
a.
menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat yang ditetapkan untuk usaha dan/atau
kegiatan yang dilakukannya;
b.
melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau
kegiatan yang dilakukannya;
c.
memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran
udara dalam lingkup usaha dan/ atau kegiatannya.
Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/
atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditertibkan oleh pejabat berwenang
dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang
mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 24
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat
yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat
gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan
usaha dan/atau kegiatan.
Bagian Ketiga
Pasal 25
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran
udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknikal penanggulangan dan pemulihan
pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Paragraf 1
Keadaan Darurat
Pasal 26
(1) Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti
udara dalam kategori berbahaya, maka :
a.
Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional;
b.
Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.
(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak
dan/atau media etektronik
Pasal 27
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan
keadaan darurat pencemaran udara
Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak
Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu
emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi
kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
176
Pasal 29
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari
sumber tidak bergerak.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara
sumber tidak bergerak.
Pasal 30
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan ambang batas
emisi buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama,
pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan
pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar
internasional.
Pasal 32
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari
sumber bergerak.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara
dari kegiatan sumber bergerak.
Pasal 33
Kendaraan bermotor tipe baru dan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang
batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
Pasal 34
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberi tanda lulus uji tipe emisi.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi kendaraan bermotor
tipe baru.
(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang tata
jalan/bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 35
(1) Hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4), wajib disampaikankepada
Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan hasil
uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil ujii tipe emisi
kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 36
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.
177
Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dan kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap penaatan
baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemeriksaan penaatan terhadap
ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 38
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dan
sumber gangguan.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara
dan kegiatan sumber gangguan.
Pasal 39
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan
wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan
wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi
ambang batas kebisingan.
Pasal 41
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 diberi tanda lulus uji tipe kebisingan
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru
(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 42
(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat 4 , wajib
disampaikan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor
tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Pasal 43
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berkala sesuai dengan peraturan
perundangundangan
yang berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 setiap satu tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB IV
Pasal 44
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat
menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 45
(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab dan atau kegiatan
yang membuang emisi dan atau gangguan.
178
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur/Bupati/Watikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib
dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 47
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat
(2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau
membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau
mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung
jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi
dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 48
a.
mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan
tersebut;
b.
memberikan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;
c.
memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
d.
mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien dan/
atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan
e.
mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat gangguan dan indeks
standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat.
Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan laporan hasil pemantauan
pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis
dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 51
(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu udara ambien.
(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang bertanggung
jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(3) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh
instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan
penetapan pengendalian pencemaran udara.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dari
sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 53
Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan pelaporannya dalam
rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor
kendaraan bermotor.
179
BAB VI
GANTI RUGI
Pasal 54
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaranudara
wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VII
SANKSI
Pasal 56
(1) Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat 1, Pasal 23, Pasal 24 ayat 1, Pasal 25 ayat 1,
Pasal 30, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 47 ayat 2, Pasal 48, Pasal 50 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini yang didugadapat
menimbulkan dan atau mengakibatkan pencemaran udara dan atau gangguan diancam dengan pidanasebagaimana
diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undangundang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(2) Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36ayat 1,
Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat 1 Peraturan Pemerintah iniyang tidak
memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancamdengan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintasdan Angkutan Jalan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Selambat-lambatnya dua tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatanyang
telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang pengendalianpencemaran
udara tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan PeraturanPemerintah ini.
Pasal 59
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkanpengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
ttd.
ttd.
ttd.
Lambock V. Nahattands
180
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 41 TAHUN 1999
TANGGAL : 26 MEI 1999
Catatan:
Nomor 10 s/d 13 hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar
Contoh : -Industri Petro Kimia
ttd.
181
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 129 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU EMISI USAHA DANATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara perlu ditetapkan Keputusan Menteri NegaraLingkungan Hidup tentang Baku Mutu
Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan(Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
2.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran NegaraTahun 1997 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699 );
3.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
4.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun2001 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (LembaranNegara Tahun 1999
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak LingkunganHidup (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUPTENTANGBAKUMUTUEMISIUSAHA DAN
ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI.
Pasal 1
1.
Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur
atmosferberupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari
prosespenambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang
diperolehdari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
2.
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosferberupa
fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi;
3.
Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
4.
Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas kadar maksimum emisi kegiatanminyak
dan gas bumi yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
5.
Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun yang dilakukan untuk melaksanakan pembangunganfisik usaha
dan atau kegiatan minyak dan gas bumi;
6.
Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam Keputusan ini meliputi jenis kegiataneksplorasi
dan produksi, kilang minyak, kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan prosespencampuran
bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending).
Pasal 3
a.
Eksplorasi dan produksi sebagaimana tersebut dalam Lampiran I;
b.
Kilang minyak sebagaimana tersebut dalam Lampiran II;
c.
Kilang LNG sebagaimana tersebut dalam Lampiran III;
182
d.
Unit penangkapan sulfur sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
e.
Untuk kegiatan yang melakukan proses pencampuran bahan bakar lebih dari 1 (satu) jenis (fuel blending),
maka mengacu kepada perhitungan dalam Lampiran V.
Pasal 4
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau kegiatan mensyaratkan baku mutu emisiyang
lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatantersebut
ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 5
Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi yang termasuk kategori limbah
bahanberbahaya dan beracun yang diolah secara thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a.
wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang mencakup pencegahan, pengolahan
danpemantauan yang antara lain alat pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan
saranapendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta persyaratan lainnya
sebagaimanaditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
wajib memasang Continous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong tertentu yang pelaksanaannyadikonsultasikan
dengan Menteri dan bagi cerobong yang tidak dipasang peralatan Continous Emission Monitoring(CEM) wajib
dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan sekali;
c.
wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam butir (b) kepada Gubernur/
Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri setiap 6 (enam) bulan sekali untuk pemantauan yangmenggunakan
peralatan otomatis;
d.
wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dalam butir (b) kepada Gubernur/Bupati/Walikotadengan
tembusan kepada Menteri setiap 6 (enam) bukan sekali untuk pemantauan dengan menggunakanperalatan manual;
e.
wajib melaporkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota serta Menteri apabila ada keadaan darurat yangmengakibatkan
baku mutu emisi dilampaui;
f.
dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit;
g.
wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi sebagai sumber fugitive emission.
Pasal 7
Hasil pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 butir c, d dan e dapat dijadikan sebagai salah satu
dasarkebijakan teknis dan non teknis dalam upaya pengendalian pencemaran udara.
Pasal 8
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 6 wajib dicantumkan dalam izin melakukanusaha
dan atau kegiatan minyak dan gas bumi seperti tercantum dalam Pasal 2 Keputusan ini.
Pasal 9
Pasal 10
Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberi jangka waktu selama 1 (satu) tahun
sejakditetapkannya Keputusan ini untuk mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, II, III,
dan
IV.
Pasal 11
ttd.
ttd.
Hoetomo, MPA
183
Catatan:
1.
(*) Ground Level Concentration tidak bolah lebih dari 5 ppm.
(**) Ground Level Concentration sesuai dengan Baku Mutu Udara Ambien di dalam PP 41/1999.
2. Volume gas dalam keadaan Standar (25 0C dan 1 Atm).
3. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan.
4. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O 2 sebesar 3%.
5. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan.
184
Catatan:
IV. KEGIATANUNITPENANGKAPANSULFUR
Sumber ton/hari Parameter Baku Mutu Emisi
Sulfur Plant Sulfur feed rate :
<2
< 10
< 50
> 50
Sulfur Recovery
( minimum )
satuan : %
70
85
95
97
atau dengan persyaratan akhir SO2
satuan : mg/Nm3
2600
Catatan:
V. BAKUMUTUEMISIKEGIATANFUELBLENDING
( PENCAMPURAN BAHAN BAKAR / MIX FUEL )
BME =[(BME*Q+(BME*Q]/ Q
Catatan:
BME = Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan pencampuran bahan bakar
(x,f1)
(x,f2)
Contoh perhitungan:
Kegiatan Pengilangan minyak untuk unit Broiler, menggunakan bahan bakar campuran antara gas
(fuel 1=f1) dan oil (fuel 2=f2) dengan komposisi sbb :
*
Kebutuhan Energi Total Qt : 5*106KKal
*
Suplai energi aktual dari bahan bakar gas Q(f1) : 2*106KKal
*
Suplai energi aktual dari bahan bakar oil Q(f2) : 3*106KKal
*
Baku mutu emisi untuk boiler di kegiatan
kilang minyak – parameter partikulat bahan
bakar gas (lihat tabel Baku Mutu Emisi di
Kegiatan Minyak) BME(f1) : 0 mg/Nm3
*
Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan
kilang minyak – parameter partikulat bahan
bakar oil/minyak (lihat tabel Baku Mutu
Emisi di Kegiatan Minyak) BME(f2) : 300 mg/Nm3
BME= [0*2*106] + [300*3*106] / 5*106
(partikulat,m)
=
180 mg/Nm3
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Juli 2003
ttd
ttd
Hoetomo,MPA.
187
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 141 TAHUN 2003
TENTANG
(CURRENT PRODUCTION)
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari emisi gas buang
kendaraan bermotor, maka perlu dilakukan upaya untuk menurunkan emisi gas buang kendaraan
bermotor baik yang berasal dari kendaraan bermotor tipe baru maupun kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production);
b. bahwa salah satu upaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan sebagai pelaksanaan ketentuan
Pasal 8 ayat (1), Pasal 34 ayat (3) dan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara maka dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang Sedang Diproduksi (Current Production);
Mengingat : 1.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
4.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS
BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT
PRODUCTION).
Pasal 1
Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi (current production)
adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production);
2.
Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi tipe
baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi
akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang
diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
3.
Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) adalah kendaraan bermotor dengan tipe dan
jenis yang sama dan sedang diproduksi atau produksi ulang kendaraan bermotor yang telah beroperasi di jalan
dan atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh ( completely built-up) atau dalam keadaan tidak
utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi sudah beroperasi di jalan wilayah Republik
Indonesia;
4.
Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4 (empat) atau
lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan
SNI 09-1825-2002;
5.
Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3 (tiga)
dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4
langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
6.
Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak
motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
188
Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang, tata cara dan metoda uji serta
tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production).
Pasal 3
(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C dan I.D.
(2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.
Pasal 4
Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :
a.
kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O dan L diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2005;
b.
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) :
1. kategori M, N, O dan L 2 (dua) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2007;
2. kategori L 4 (empat) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Juli tahun 2006;
Pasal 5
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh ( completely built-up) dengan akumulasi
mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.
(3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang diimpor dalam keadaan utuh
(completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh)
unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.
(4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current
production) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) merupakan bagian dari persyaratan
teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
(5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current
production) untuk pengujian wajib menggunakan bahan bakar dengan spesifikasi reference fuel menurut
Economic Commission for Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini.
Pasal 6
(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current
(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan.
(2) Salinan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil uji tipe emisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya hasil uji tipe
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current
production).
189
Pasal 8
(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) instansi
yang bertanggung jawab mengeluarkan rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor
tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan atau penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang
dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab merupakan salah satu syarat untuk diterbitkannya tanda lulus
uji tipe emisi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 9
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang telah memperoleh
sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada setiap promosi merek
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kepada
masyarakat melalui media cetak dan atau elektronik.
Pasal 10
(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan
dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang melaksanakan pengujian
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current
production) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Pasal 11
(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru
dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) dan pelaporannya dibebankan kepada
Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP
35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku lagi
untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi ( current production) sejak
ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi ( current
production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.
Pasal 14
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 September 2003
——————————————————————-
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
190
LampiranIA : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
Nomor : Kep-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)
KENDARAAN BERMOTORKATEGORI L
CATATAN:
L1 =
Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm 3 dan dengan
desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya
L2 =
Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda sembarang dengan kapasitas silinder mesin
tidak lebih dari 50 cm3 dan dengan desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun
jenis tenaga penggeraknya
L3 =
Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder lebih dari 50 cm 3 atau dengan desain kecepatan
maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya.
L4 =
Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda asimetris dengan kapasitas silinder mesin lebih
dari 50 cm3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga
penggeraknya (sepeda motor dengan kereta)
L5 =
Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan simetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50
cm3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya
191
LampiranIB : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API
BERBAHAN
BAKARBENSIN
CATATAN:
* (1) Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang
batas mengacu kepada pengkategorian GVW
* (2) GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB)
* (3) RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg
* M1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk tempat duduk pengemudi
* N1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan
(GVW) sampai dengan 3,5 ton
192
LampiranIC : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BRMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR PENYALAAN
KOMPRESI
(DIESEL)
Catatan:
* (1)
Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang
batas mengacu kepada pengkategorian GVW
* (2)
GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB)
* (3)
RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg
* (4)
Nilai Ambang Batas dalam kurung untuk Diesel Injeksi Langsung, dan setelah 3 (tiga) tahun Nilai Ambang
Batasnya
DISAMAKAN DENGAN Nilai Ambang Batas Diesel Injeksi tidak langsung
* Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1;
O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari
0,75 ton
O2 :
Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75
ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton
193
CATATAN:
* (1) GVW :
Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang diperbolehkan (JBB)
* M2
: kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk tempat duduk pengemudi dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW)
sampai dengan 5 ton
* M3
: kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 5 ton
*
N2 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang
diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 5 ton
*
N3 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang
diperbolehkan (GVW) lebih dari 12 ton
*O:
kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
*
O3 : kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5
ton tetapi tidak lebih dari 10 ton
*
O4 : kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 10
ton
194
LampiranID : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)
Tanggal : 23 September 2003
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API
BERBAHAN
BAKAR GAS (LPG/CNG)
Catatan:
* (1) Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang
batas mengacu kepada pengkategorian GVW
* (2) GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB)
* (3) RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg
* M1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk tempat duduk pengemudi
* N1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan
(GVW) sampai dengan 3,5 ton
* Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1;
O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari
0,75 ton
O2 :
Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75
ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 September 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
195
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TENTANG
BAKUTINGKAT KEBISINGAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1.
bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2.
bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia,
makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat kebisingan yang dihasilkan;
3.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebisingan;
Mengingat : 1.
Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;
2.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
3.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
4.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN
Pasal 1
Baku Tingkat Kebisingan, metoda pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat kebisingan adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan ini.
196
Pasal 3
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran I.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat kebisingan
lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku
tingkat kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Hambar Martono
197
LAMPIRAN I
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996
BAKUTINGKAT KEBISINGAN
Peruntukan Kawasan/
Lingkungan Kegiatan
Tingkat Kebisingan
dB (A)
a. Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan Pemukiman 55
2. Perdagangan dan Jasa 70
3. Perkantoran dan Perdagangan 65
4. Ruang Terbuka Hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan Fasilitas umum 60
7. Rekreasi
8. Khusus:
-Bandar udara *)
-Stasiun Kereta Api *)
70
-Pelabuhan Laut 70
-Cagar Budaya 60
b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya
2. Sekolah atau sejenisnya
3. Tempat ibadah atau sejenisnya
55
55
55
Keterangan :
*) disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan
198
LAMPIRAN II
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996
1.
Metoda Pengukuran
Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara :
1) Cara Sederhana
Dengan sebuah sound level meter bisa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk
tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.
2)
Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan
waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit.
Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat aktifitas
yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00 -22.00 dan aktifitas malam hari selama 8
jam (LM) pada selang 22.00 -06.00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 waktu
pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh :
-L1 diambil pada jam 7.00 mewakili jam 06.00 -09.00
-L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 -11.00
-L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 -17.00
-L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00.-22.00
-L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 -24.00
-L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 -03.00
-L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 -06.00
Keterangan :
-Leq = Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung Setara ialah nilai tertentu
kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat
kebisingan dari kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama.
Satuannya adalah dB (A).
2.
Metode perhitungan:
(dari contoh)
LS dihitung sebagai berikut :
LS = 10 log 1/16 ( T1.10 01L1 +.... +T4.1001L4) dB (A)
LM dihitung sebagai berikut :
3.
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
199
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TENTANG
BAKUTINGKATGETARAN
Menimbang : a.
bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
b.
bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia,
makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran yang dihasilkan;
c.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Getaran;
Mengingat : 1.
Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;
2.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT GETARAN
Pasal 1
1.
Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan;
2.
Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia;
3.
Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam dan kegiatan manusia;
4.
Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat;
5.
Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal tingkat getaran mekanik yang
diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap
kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
6.
Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
7.
Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
1.
Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan di luar peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.
Pasal 4
1.
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
2.
Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat getaran lebih
ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
1.
Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:
a.
mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan;
b.
memasang alat pencegahan terjadinya getaran;
c.
menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada
Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi
teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang dipandang perlu.
2.
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan
tingkat getaran bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 7
a.
baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu
selambatlambatnya
2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
b.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
201
LAMPIRAN I
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
1. BAKUTINGKATGETARANUNTUKKENYAMANANDANKESEHATAN
Nilai Tingkat Getaran, dalam mikron ( 10-6 meter )
Frekuensi Tidak
Mengganggu Mengganggu Tidak Nyaman Menyakitkan
4 < 100 100 -500 > 500 -1000 > 1000
5 < 80 80 -350 > 350 -1000 > 1000
6,3 < 70 70 -275 > 275 -1000 > 1000
8 < 50 50 -160 > 160 -500 > 500
10 < 37 37 -120 > 120 -300 > 300
12,5 < 32 32 -90 > 90 -220 > 220
16 < 25 25 -60 > 60 -120 >120
20 < 20 20 -40 > 40 - 85 > 85
25 < 17 17 -30 > 30 - 50 > 50
31,5 < 12 12 -20 > 20 - 30 > 30
40 < 9 9 -15 > 15 - 20 > 20
50 < 8 8 -12 > 12 -15 > 15
63 < 6 6 - 9 > 9 -12 > 12
Konversi :
Percepatan = ( 2pf )2 x simpangan
Kecepatan = 2pf x simpangan
p = 3,14
100
30
20
10
menyakitkan
tidak
nyaman
masih diizinkan mengganggu
10 102 103
Simpangan mikro (10-4 meter)
202
LAMPIRAN II
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
Keterangan :
Kategori A : Tidak menimbulkan kerusakan
Kategori B : Kemungkinan keretakan sistem (retak/terlepas plesteran pada dinding pemikul beban pada kasus
khusus)
Kategori C : Kemungkinan rusak komponen struktur dinding pemikul beban
Kategori D : Rusak dinding pemikul beban
100
80
70
60
50
40
30 *boW
20
15
10
8.0
b
6.0
4.0
a
3.0
2.0
203
4 5 6 8 10 15 20 25 30 40 50
Frekuensi, Hz
LAMPIRAN III
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom harus dipakai
LAMPIRAN IV
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT
204
LAMPIRAN V
a.
Peralatan
Pedoman yang dipakai ialah:
1) Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer)
2) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer)
3) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band)
4) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder)
5) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer)
b.
Cara pengukuran
1.
Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan;
a). Alat penangkap getaran diletakkan pada lantai atau permukaan yang bergetar, dan disambungkan
ke alat ukur getaran yang dilengkapi dengan filter.
b). Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat tidak dilengkapi dengan fasilitas itu,
dapat digunakan konversi besaran.
c). Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekuensi 4 -63 Hz atau dengan sapuan oleh
alat pencatat getaran.
d). Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik Lampiran 1.2
2.
Getaran untuk Keutuhan Bangunan
Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan dan kesehatan manusia,
hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan getaran puncak (Peak Velocity)
c.
Cara Evaluasi
Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran I.2 dan/atau II.2 dibandingkan terhadap batas-batas
baku tingkat getaran. Getaran disebut melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu
frekuensi sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan.
Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas yaitu a, b, c, dan d dengan batas seperti grafik II.2
Definisi:
1.
Struktur bangunan adalah bagian dari bangunan yang direncanakan, diperhitungkan dan dimaksudkan untuk:
a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban sementara)
b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan
andal.
Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul (Bearing wall)
2.
Komponen struktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang menjamin fungsi struktur.
Misal : balok, kolom dan slab dari frame
3.
Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi mendukung beban diatasnya
seperti slab lantai tingkat atau atap.
1.
Kerusakan pada struktur, dapat membahayakan stabilitas bangunan, atau roboh (misalnya patok kolom bisa
merobohkan bangunan).
2.
Kerusakan pada non-struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi bisa membahayakan penghuni
(misal : robohnya dinding partisi, tidak merobohkan bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni).
Derajat kerusakan struktur :
1.
Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan dapat diperbaiki tanpa
mengurangi kekuatannya.
2.
Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk mengembalikan kepada kondisi
semula, harus disertai dengan tambahan perkuatan.
3.
Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat merobohkan bangunan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmaadja
205
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-50/MENLH/XI/1996
TENTANG
BAKUTINGKATKEBAUAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1.
bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2.
bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia,
makhluk lain dan lingkungan adalah akibat bau yang dibuang ke lingkungan;
3.
2.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
6.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
7.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBAUAN
Pasal 1
Baku Tingkat Kebauan untuk odoran tunggal dan campuran, metoda pengukuran/pengujian dan peralatan adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
206
Pasal 4
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat kebauan lebih
ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
kebauan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 5
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-50/MENLH/XI/1996
Tanggal : 25 November 1996
A.
Bau dari Odoran Tunggal
No. Parameter Satuan Nilai Batas Metoda
Pengukuran
Peralatan
1. Amoniak (NH3) ppm 2.0 Metoda Indofenol Spektrofotometer
2. Metil Merkaptan (CH3SH) ppm 0.002 Absorpsi gas Gas Khromatograf
3. Hidrogen Sulfida (H2S) ppm 0.02 a. merkuri tiosianat
b. Absorpsi gas
Spektrofotometer
Gas Khromatograf
4. Metil Sulfida (CH3)2)S ppm 0.01 Absorpsi gas Gas Khromatograf
5. Stirena (C6H5CHCH2) ppm 0.1 Absorpsi gas Gas Khromatograf
B.
Bau dari Odoran Campuran
Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh campuran odoran dinyatakan sebagai ambang bau yang dapat dideteksi
secara sensorik oleh lebih dari 50 % anggota penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan) orang.
Sarwono Kusumaatmadja
207
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-13/MENLH/III/1995
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
2.
bahwa mengingat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep02/
MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Emisi Udara Sumber Tak Bergerak
saat ini perlu dilakukan penyempurnaannya;
3.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor
3215);
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara R.I. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R. I. Nomor 3538);
5.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
6.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER
TIDAK BERGERAK
Pasal 1
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan :
1.
Industri besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan Lampiran I B;
2.
Industri pulp dan kertas sebagaimana tersebut dalam Lampiran II A dan Lampiran II B;
3.
Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara sebagaimana tersebut dalam Lampiran III A dan Lampiran III
B;
4.
Industri semen sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B;
(2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1.
telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
2.
tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah
dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Emisi Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Emisi
Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
208
(3) Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi
setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B;
(4) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka waktu selama satu tahun sejak
ditetapkannya keputusan ini untuk mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A;
(5) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali
dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1);
(2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka jenis kegiatan di luar
jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V Keputusan ini.
Pasal 4
Badan melakukan pembinaan, pengembangan pengendalian pencemaran udara, menetapkan pedoman teknis
pemantauan kualitas udara, metoda pengambilan contoh dan analisisnya serta menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari
baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut ditetapkan baku emisi
sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana berikut :
(a) membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat pengaman;
(b) memasang alat ukur pemantauan yang meliputi kadar dan laju alir volume untuk setiap cerobong emisi yang
tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan angin;
(c) melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong emisi;
(d) menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) kepada Gubernur dengan
tembusan Kepala Badan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan;
(e) melaporkan Kepada Gubernur serta Kepala Badan apabila ada kejadian tidak normal dan atau dalam
keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui.
(2) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian pencemaran udara sebagaimana
dimaksud ayat (1) pasal ini.
Pasal 8
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dicantumkan dalam izin Ordonansi Gangguan.
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara Emisi Sumber Tak Bergerak sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Maret 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
209
Lampiran I-A
Catatan:
-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
210
Lampiran II-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
Catatan:
-TRS ditentukan sebagai H2 TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida,
Dimetil Disulfida.
-Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
211
Lampiran III-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAPBERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)
Catatan:
-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
-Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
Catatan:
-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
-Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
-Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai 7% oksigen.
-Standar diatas berlaku untuk proses kering.
-Batas maksimum total partikel untuk:
212
Lampiran V-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
Catatan:
-Volume Gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).
213
Lampiran I-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
Catatan:
214
Lampiran II-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
Catatan:
-TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida,
Dimetil Disulfida.
-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
215
Lampiran III-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAPBERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)
Catatan:
-Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
-Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Catatan:
-Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
-Volume Gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).
-Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai 7% oksigen.
-Standar diatas berlaku untuk proses kering.
-Batas maksimum total partikel untuk:
216
Catatan:
-Volume Gas dalam keadaan standar (25OC dan tekanan 1 atm).
Sarwono Kusumaatmadja
217
KEPUTUSAN
KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 107/BAPEDAL/XI/1997
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-45/MENLH/
10/1997 tentang Indeks Pencemar Udara, perlu disusun Pedoman Teknis Perhitungan dan
Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Keputusan Presiden RI Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep-02 / MENKLH/
1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan;
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-35 / MENLH/10/1993 tentang Ambang
Batas Emisi Gas Buang Kedaraan Bermotor;
6. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-15 / MENLH/4/1996 tentang Program
Langit Biru;
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-45 / MENLH/10/1997 tentang Indeks
Standar Pencemar Udara;
8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep -135 Tahun 1995
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep - 205/KABAPEDAL/07/
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR
UDARA
Pasal 1
PedomanTeknis Perhitungan dan Pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara ini diperlukan sebagai
pedoman teknis dalam pelaksanaan Perhitungan, Pelaporan dan sistem informasi Indeks Standar Pencemar Udara
bagi :
a. instansi terkait;
b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II terkait;
Pasal 2
Parameter-parameter dasar untuk Indeks Standar Pencemar Udara dan periode waktu pengukuran adalah
sebagaimana dimaksud dalam lampiran I.
Pasal 3
Angka dan Kategori Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran II.
Pasal 4
Pengaruh Indeks Standar Pencemar Udara terhadap tiap parameter kualitas udara adalah sebagaimana dimaksud
dalam lampiran III.
Pasal 5
Batas Indeks Standar Pencemar Udara dalam satuan SI adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran IV.
218
Pasal 6
Perhitungan Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran V.
Pasal 7
Contoh Pengambilan Indeks Standar Pencemar Udara dari beberapa Stasiun Pemantau adalah sebagaimana
dimaksud dalam lampiran VI.
Pasal 8
1.
Penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat wajib memuat informasi sebagai berikut :
a. waktu pelaporan;
b. ketentuan waktu;
c. bagian wilayah atau lokasi yang dilaporkan;
Penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dilakukan
melalui :
a. media massa dan elektronika (radio, televisi, surat kabar, majalah dan lainnya);
b. papan peragaan pada tempat tempat umum tertentu;
Pasal 10
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 21 Nopember 1997
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
219
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata tertinggi waktu pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data rata-rata sebelumnya (24 jam sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB).
4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan ( pkl 15.00 tgl (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1 ) )
Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
INDEKS KATEGORI
1 - 50 Baik
51 -100 Sedang
101 -199 Tidak Sehat
200 -299 Sangat Tidak Sehat
300 -lebih Berbahaya
220
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
PENGARUH INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARAUNTUK SETIAP PARAMETER PENCEMAR
Indeks Standar
Pencemar
24 jam PM10
mg/m3
24 jan SO2
mg/m3
8 jam CO
mg/m3
1 jam O3
mg/m3
1 jam NO2
mg/m3
50 50 80 5 120 (2)
100 150 365 10 235 (2)
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 3000
500 600 2620 57.5 1200 3750
Tingkatberbahaya
Tingkatberbahaya
222
berbahaya berbahaya
Tingkat
224
Lampiran V
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
Xx [I
Ia - Ib
I = (Xx -Xb) + Ib
Xa -Xb ........................(*)
I = ISPU terhitung
Ia = ISPU batas atas
Ib = ISPU batas bawah
Xa = Ambien batas atas
Xb = Ambien batas bawah
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran
Diketahui konsentrasi udara ambien untuk jenis parameter SO 2 adalah 332 µg/m3.
Konsentrasi tersebut jika dirubah ke dalam angka Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagai berikut :
Dari Tabel “Batas Indeks Standart Pencemar Udara (Dalam Satuan SI)”
Indeks
Pencemar
Udara
24 jan PM10
mg/m3
24 jam SO2
Maka :
Xx= Kadar ambien nyata hasil pengukuran [322 µg/m3
Ia = ISPU batas atas [100 (baris 3)
Ib = ISPU batas bawah [ 50 (baris 2)
Xa = Ambien batas atas [365 (baris 3)
Xb = Ambien batas bawah [ 80 (baris 2)
100 – 50
I = ————— (322 – 80) + 50
365 – 80
= 92.45
= 92 (pembulatan)
Jadi konsentrasi udara ambien SO2 322 mg/m3 dirubah menjadi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) : 92
225
B)SECARAGRAFIK
Contoh :
Jika diketahui konsentrasi untuk paremeter PM10 adalah 250 µg/m3 konsentrasi ini jika dirubah dalam Indeks
Standar Pencemar Udara dengan menggunakan grafik adalah sebagai berikut :
Dari kurva batas angka indeks standar pencemar udara dalam satuan matriks, sumbu X di angka 250 ditarik ke
atas sampai menyentuh garis dan ditarik ke kiri sampai menyentuh sumbu Y didapat angka 150. Sehingga konsentrasi
PM10 250 µg/m3 dirubah menjadi angka Indeks Standar Pencemar Udara menjadi 150 (untuk lebih jelas dapat
dilihat gambar di bawah ini).
Lampiran VI
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
Stasiun I (Pertama)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM 10 = 96, SO2 = 80,
O3 = 40, NO2 = 55, CO = 90
Stasiun II (Kedua)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM 10 = 88, SO2 = 44,
O3 = 40, NO2 = 42, CO = 83
Indeks Standar Pencemar Udara yang dilaporkan ke media massa (koran harian setempat /televisi stasiun setempat)
adalah Indeks Standar Pencemar Udara yang paling tinggi. Untuk kasus di atas Indeks Standar Pencemar Udara
tertinggi adalah dari Stasiun I (pertama) yaitu polutan PM 10 dengan Indeks Standar Pencemar Udara 96. Sehingga
inti laporan kemasyarakatan adalah :
Lampiran VII
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/II/1997
Tanggal : 21 November 1997
227
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-13/
MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak, perlu dirumuskan pedoman
teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara
Sumber Tidak Bergerak;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
3.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
4.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu
Emisi Sumber Tidak Bergerak;
5.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-15/MENLH/4/1996 tentang Program
Langit Biru;
6.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-16/MENLH/4/1996 tentang Penetapan
Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Langit Biru;
7.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-135 Tahun 1995 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-136 Tahun 1995 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah (Bapedal Wilayah).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
TEKNIS PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA SUMBER TIDAK BERGERAK
Pasal 1
g.
Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat
Spektrofotometer secara Turbidimetri;
h.
Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titrimetri;
i.
Metode pengujian kadar Nitrogen Oksida (NOX) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat
Spektrofotometer secara Kolorimetri;
j.
Metode pengujian kadar Total Sulfur Tereduksi (TRS) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Oksida
Termal;
k.
Metode pengujian kadar Klorin dan Klor Dioksida (Cl2 dan ClO2) dalam emisi sumber tidak bergerak
secara Titrimetri;
l.
Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat
Spektrofotometer secara Merkuri Tiosianat;
m.
Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titrimetri;
3. Persyaratan cerobong sebagaimana tersebut dalam Lampiran III yang meliputi:
a.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 10 Juli 1996
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Sekretaris BAPEDAL,
ttd
229
TANAH TANAH
230
TENTANG
Menimbang : a.
bahwa tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan faktor
produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus
dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya;
b.
bahwa meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumber
daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi
biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam
kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta untuk
melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian
Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
3.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
5.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
6.
Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 98; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
167; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI
BIOMASSA
BAB 1
KETENTUAN UMUM
1.
Tanah adalah salah satu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral
dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang
kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya;
2.
Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer,
tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan serta hasil kegiatan manusia
masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur;
3.
Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku
kerusakan tanah;
4.
Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar,
termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman;
231
5.
Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa;
6.
Pengendalian kerusakan tanah adalah upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta
pemulihan kondisi tanah;
7.
Kondisi tanah adalah sifat dasar tanah di tempat dan waktu tertentu yang menentukan mutu tanah;
8.
Sifat dasar tanah adalah sifat dasar fisika, kimia dan biologi tanah;
9.
Status kerusakan tanah adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria
baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
10. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah
yang dapat ditenggang, berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa;
11. Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah upaya untuk mempertahankan kondisi
tanah melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya proses kerusakan tanah;
12. Penanggulangan kerusakan tanah adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan
tanah;
13. Pemulihan kondisi tanah adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah ke tingkatan yang tidak rusak;
14. Orang adalah orang perseorangan dan/atau kelompok orang dan/badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
16. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi :
a.
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa tidak termasuk biomassa dari kegiatan
budi daya perikanan; dan
b.
Tata laksana pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah.
Pasal 3
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengendalikan kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
BAB III
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa meliputi :
a.
Kriteria baku kerusakan tanah nasional; dan
b.
Kriteria baku kerusakan tanah daerah.
Bagian Kedua
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Nasional
Pasal 5
(1) Kriteria baku kerusakan tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman meliputi :
a.
Kriteria baku kerusakan tanah akibat erosi air:
b.
Kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering:
c.
Kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Daerah
(3) Kriteria baku kerusakan tanah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan
sama atau lebih ketat dari kriteria baku kerusakan tanah nasional.
(4) Gubernur/Bupati/Walikota dapat menambah parameter kriteria baku kerusakan tanah di daerah sesuai dengan
kondisi tanah di daerahnya.
(5) Dalam menetapkan tambahan parameter, Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan koordinasi dengan Menteri
(6) Apabila kriteria baku kerusakan tanah di daerah belum ditetapkan, maka berlaku kriteria baku kerusakan tanah
nasional.
Bagian Keempat
Tata Cara Pengukuran Kerusakan Tanah
Pasal 7
Tatacara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah nasional dan daerah ditetapkan oleh kepala instansi yang
bertanggung jawab.
BAB IV
PENETAPAN KONDISI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH
Pasal 8
(1) Kondisi tanah untuk penetapan status kerusakan tanah ditetapkan berdasarkan hasil :
a. analisis, inventarisasi, dan/atau identifikasi terhadap sifat dasar tanah; dan
b. intervasi kondisi iklim, topografi, potensi sumber kerusakan dan penggunaan tanah.
(2) Penetapan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap areal tanah yang berpotensi
mengalami kerusakan tanah.
(3) Bupati/Walikota menetapkan kondisi tanah di daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(4) Kondisi tanah untuk daerah kabupaten dipetakan dengan tingkat ketelitian minimal 1 : 100.000 dan untuk daerah
kota 1 : 50.000.
Pasal 9
(1) Analisis sifat dasar tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan oleh laboratorium
tanah yang memenuhi syarat di daerah .
(2) Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penunjukan laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur oleh kepala Instansi yang bertanggung jawab
Pasal 10
Bupati/Walikota melakukan evaluasi untuk menetapkan status kerusakan tanah sesuai dengan parameter yang
dilampaui nilai ambang kritisnya berdasarkan hasil inventarisasi, identifikasi, analisis dan pemetaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).
Bagian Pertama
Pencegahan Kerusakan Tanah
Pasal 11
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah produksi biomassa
wajib melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah.
Bagian Kedua
Penanggulangan Kerusakan Tanah
Pasal 12
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi
biomassa wajib melakukan penanggulangan kerusakan tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Pemulihan Kondisi Tanah
Pasal 13
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi
biomassa wajib melakukan pemulihan kondisi tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan.
233
Bagian Keempat
Pengawasan
Pasal 14
a. pelaksanaan persyaratan dan kewajiban yang tercantum di dalam izin untuk usaha dan/atau kegiatan:
Pasal 17
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kerusakan tanah, wajib melaporkan kepada pejabat
daerah setempat.
(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tempat kejadian;
d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan tanah;
e. dampak kerusakan tanah yang terjadi.
(3) Pejabat daerah setempat terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya
kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya laporan, wajib melakukan verifikasi
tentang kebenaran terjadinya kerusakan tanah.
Bagian Keenam
Hasil Pengawasan dan Laporan
Pasal 18
(1) Apabila hasil pengawasan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17,
membuktikan telah terjadi kerusakan tanah maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan
penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah.
(2) Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk
melaksanakan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah atas beban biaya penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 19
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang wajib atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan
penanggulangan dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) atau ayat (2) wajib menyampaikan
laporan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang
bersangkutan.
BAB VI
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 20
BAB VII
KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERANAN MASYARAKAT
Pasal 21
a.
Kondisi tanah;
b.
Status kerusakan tanah;
c.
Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah;
d.
Rencana, pelaksanaan dan hasil pengendalian kerusakan tanah.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 23
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam:
a.
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
15, Pasal 17 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah
dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 15, dan Pasal 20
Pasal 24
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dan/atau Pasal 6 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tangggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Desember 2000
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2000
ttd
DJOHAN EFFENDI
235
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 150 TAHUN 2000
TANGGAL : 23 DESEMBER 2000
A. KRITERIA BAKUKERUSAKANTANAHDILAHANKERINGAKIBATEROSIAIR
TEBAL TANAH
AMBANG KRITIS METODE
PENGUKURAN
PERALATAN <1> <2>
Ton/ha/tahun mm/10 tahun
B. KRITERIA BAKUKERUSAKANTANAHDILAHANKERING
NO PARAMETER AMBANG KRITIS METODE
PENGUKURAN
PERALATAN
1 Ketebalan solum < 20 cm pengukuran langsung meteran
2 Kebatuan permukaan > 40 % pengukuran langsungimbangan batu dan tanahdalam unit luasan
meteran;
counter (line atau total)
3 Komposisi fraksi < 18 % koloid;
> 80 % pasir kuarsitik
warna pasir,
gravimetrik
tabung ukur;
timbangan
4 Berat isi > 1,4 g/cm3 gravimetrik padasatuan volume
lilin, tabung ukur;
ring sampler,
timbangan analitik
5 Porositas total < 30 % ; > 70% perhitungan berat isi (BI)
dan berat jenis (BJ)
piknometer;
timbangan analitik
6 Derajat pelulusan air < 0,7 cm/jam;
> 8,0 cm/jam
permeabilitas ring sampler; double
ring permeameter
7 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 potensiometrik pH meter; pH stick
skala 0,5 satuan
8 Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter
9 Redoks < 200 mV tegangan listrik pH meter;
elektroda platina
10 Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah plating technique cawan petri;
236
C. KRITERIABAKUKERUSAKANTANAHDILAHANBASAH
NO PARAMETER AMBANG KRITIS METODE PERALATAN
PENGUKURAN
1 Subsidensi gambut di
atas pasir kuarsa
> 35 cm/5 tahun untuk
ketebalan gambut > 3 cm
atau 10% /5 tahun untuk
ketebalan gambut < 3 cm
pengukuran langsung patok subsidensi
2 Kedalaman lapisan
berpirit dari permukaan
tanah
< 25 cm
dengan pH < 2,5
reaksi oksidasi dan
pengukuran langsung
cepuk plastik; H 2O2
pH stick skala 0,5
satuan; meteran
3 Kedalaman air tanah
dangkal
> 25 cm pengukuran langsung meteran
4 Redoks untuk tanah
berpirit
> - 100 mV tegangan listrik pH meter;
elektroda platina
5 Redoks untuk gambut > 200 mV tegangan listrik pH meter;
elektroda platina
6 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,0 ; > 7,0 potensiometrik pH meter; pH stick
skala 0,5 satuan
7 Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter
8 Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah plating technique cawan petri;
colony counter
Catatan :
-Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan kedalaman air tanah dan
nilai redoks tidak berlaku.
-Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak berlaku jika lahan belum
terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan alam.
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 150 TAHUN 2000
TENTANG
UMUM
Tanah sebagai salah satu komponen lahan, bagian dari ruang daratan dan lingkungan hidup dalam wilayah kedaulatan
Republik Indonesia, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah memiliki banyak
fungsi dalam kehidupan. Di samping sebagai ruang hidup, tanah memiliki fungsi produksi, yaitu antara lain sebagai
penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat, kayu, dan bahan obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan
dalam menjaga kelestarian sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.
Karena itu, bangsa Indonesia berkewajiban untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi tanah, dengan tujuan
melestarikan dan meningkatkan kemampuan produksi dan pelestariannya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan
tanah harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang. Agar tanah dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan
pengendalian perusakan tanah menjadi sangat penting.
Indonesia adalah negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor pertanian. Oleh
karena itu adanya kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa (pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman)
sangat diperlukan. Hutan tanaman merupakan hasil budi daya, bukan hutan alami. Oleh karena itu istilah yang
dipakai dalam Peraturan Pemerintah ini adalah hutan tanaman. Penekanan pada produksi biomassa juga didasarkan
pada pertimbangan bahwa kegiatan produksi biomassa sangat mutlak mempersyaratkan mutu tanah sebagai
media pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
Pemanfaatan tanah tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang dilakukan oleh orang pada hamparan lahan yang
ditempatinya dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pemanfaatan tersebut berkaitan dengan pemanfaatan ruang
kawasan dan pengelolaan lingkungan hidup yang pokok-pokok pengaturannya ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat terjadi karena tindakan orang, baik di areal produksi biomassa
maupun karena adanya kegiatan lain di luar areal produksi biomassa yang dapat berdampak terhadap terjadinya
kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bagi pengendalian kerusakan tanah di luar areal produksi biomassa
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Selain dari pada itu, kerusakan tanah dapat pula terjadi akibat
proses alam. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur kerusakan akibat tindakan manusia. Meskipun
demikian, kerusakan yang terjadi karena proses alam tidak berarti tidak ditanggulangi. Namun, tanggung jawab
penanggulangannya merupakan kewajiban Pemerintah.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pengendalian kerusakan tanah dilakukan dalam rangka konservasi sehingga sumber daya tanah dapat
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah nasional tersebut didasarkan pada sifat-sifat dasar tanah
yang menentukan mutu dan fungsi tanah sebagai faktor produksi biomassa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
238
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah di daerah yang lebih ketat diterapkan apabila kondisi tanah
di daerah tersebut lebih rentan terhadap kerusakan dibandingkan kondisi rata-rata nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Kegiatan inventarisasi, identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
tanah dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi terkait yang telah ada (data sekunder)
dan/atau melakukan pengamatan dan pengukuran sejumlah parameter langsung di lapangan, jika
data sekunder belum mencukupi atau diperlukan data yang lebih mutakhir dari lapangan karena
diduga telah terjadi perubahan yang mendasar. Pengamatan dilakukan untuk semua parameter sifat
dasar tanah, potensi sumber kerusakan, kondisi iklim dan topografi, serta penggunaan tanah.
Sifat dasar tanah mencakup sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat fisik tanah antara lain
meliputi kedalaman tanah, tekstur, pori, kandungan air. Sifat kimia tanah antara lain meliputi pH,
kandungan garam. Sifat biologi tanah terutama berkaitan dengan jumlah jasad renik (mikroba) yang
terkandung di dalam tanah.
Kondisi iklim dan geografi yang perlu diteliti meliputi antara lain curah hujan, intensitas penyinaran
matahari, ketinggian (elevasi), dan morfologi.
Potensi sumber kerusakan tanah berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan penggunaan tanah
untuk pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, termasuk kegiatan lainnya yang berada di luar areal
produksi biomassa antara lain kegiatan pertambangan, permukiman dan industri.
Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan hasil bentukan
alami (misalnya hutan, alang-alang dan semak), maupun hasil bentukan buatan sebagai cerminan
budaya (misalnya permukiman, kebun, dan taman).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Peta kondisi tanah daerah kabupaten/kota dapat digunakan untuk menyusun peta propinsi dengan
cara menggabungkan peta kondisi tanah daerah kabupaten/kota. Peta kondisi tanah daerah Propinsi
digambarkan dengan skala minimal 1 : 250.000 agar bisa diintegrasikan dengan peta tematik lain
untuk merumuskan arahan kebijakan pembangunan daerah.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan evaluasi adalah membandingkan antara kondisi tanah dengan kriteria baku
Pasal 11
Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat dilakukan dengan cara antara lain:
239
a.
Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan kegiatannya dengan peruntukan lahan sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota;
b.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
tanah untuk produksi biomassa wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL),
untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
c.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan tidak menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap tanah untuk produksi biomassa wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan (UKL)
dan upaya pemantauan lingkungan (UPL), untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.
d.
Yang dimaksud dengan usaha dan/atau kegiatan meliputi usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan
izin dan yang tidak memerlukan izin.
e.
Usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan izin antara lain kegiatan yang wajib memiliki AMDAL dan
melakukan UKL dan UPL.
f.
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin usaha pertanian untuk usaha di bidang pertanian, izin
usaha perkebunan untuk usaha di bidang perkebunan, izin usaha kehutanan untuk usaha di bidang
hutan tanaman.
g.
Usaha dan/atau kegiatan yang tidak memerlukan izin antara lain kegiatan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten).
Pasal 12
Ayat (1)
Penanggulangan kerusakan tanah dapat dilakukan dengan cara antara lain:
a.
memperbaiki pengolahan dalam proses produksi; dan/atau
b.
mengurangi produksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Pemulihan kondisi tanah dilakukan dengan cara antara lain:
a.
penanaman dengan tumbuhan yang cocok dengan kondisi tanah dan lingkungan sekitarnya;
b.
a.
instansi yang bertanggung jawab di bidang pertanian dan perkebunan untuk kegiatan di bidang
pertanian dan perkebunan; atau
b.
instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan untuk kegiatan hutan tanaman.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik misalnya pengawasan yang dilakukan setiap 3 (tiga)
bulan sekali. Sedangkan pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering dari pada
pengawasan periodik.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat antara lain Kepala Desa, Lurah, Camat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
240
Pasal 18
Ayat (1)
Tindakan penghentian pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk menghentikan kerusakan dan
memulihkan kerusakan tanah yang terjadi, sehingga kerugian dapat dicegah sekecil mungkin.
Ayat (2)
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain melalui :
a.
peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang
konservasi tanah;
b.
bimbingan teknis;
c.
pendidikan dan pelatihan;
d.
pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi tanah untuk
mendorong partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha dalam pengendalian kerusakan tanah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mendukung perlindungan tanah antara
lain membiarkan lahan pertanian tidak ditanami dalam kurun waktu tertentu, pergiliran tanaman,
tumpang sari dan pembuatan terrasering
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Hak atas informasi tentang kondisi tanah, status kerusakan tanah untuk produksi biomassa, rencana dan
pelaksanaan serta hasil pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, dan kegiatan-kegiatan
yang berpotensi merusak tanah merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengendalian
kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi
tersebut akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran dalam pengendalian kerusakan tanah untuk produksi
biomassa, disamping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi
lain yang berkenaan dengan pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang menurut sifat
dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat.
Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi merupakan pendorong bagi masyarakat untuk berperan
aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.
Peran masyarakat meliputi antara lain menyampaikan saran dan pendapat tentang kebijakan pengendalian
kerusakan tanah serta berpartisipasi aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
241
Menimbang : a.
bahwa hutan dan atau lahan merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi,
baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, karena itu perlu dilakukan pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup;
b.
bahwa kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup, baik berasal dari lokasi maupun dari luar lokasi usaha dan atau
kegiatan;
c.
bahwa kebakaran hutan dan atau lahan telah menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan atau Lahan;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
3.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
5.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran
242
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan;
2.
Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang
dan atau kebun bagi masyarakat;
3.
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap;
4.
Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya pencegahan dan
penanggulangan serta pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
BAB II
KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN
DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 3
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi:
a.
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan
b.
Pasal 4
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:
Pasal 5
(1) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
didasarkan pada kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
(2) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 7
Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
belum ditetapkan, maka berlaku kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Daerah
Pasal 8
Pasal 9
Baku mutu pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi :
BAB IV
TATA LAKSANA PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 11
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 13
Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan
dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
Pasal 14
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana
yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
244
(2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi :
a.
sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
b.
alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;
c.
prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
d.
perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran
hutan dan atau lahan;
e.
pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.
Pasal 15
Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah
Pasal 16
Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib
memperhatikan :
a.
kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumber
daya alam;
b.
kesesuaian dengan tata ruang daerah;
c.
pendapat masyarakat dan kepala adat; dan
d.
pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 17
Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.
Pasal 18
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bertanggung jawab atas terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran
hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
(2) Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan setelah berkoordinasi dengan Menteri lain yang terkait dan
Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 19
Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan, maka penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 20
Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak
lingkungan hidup.
Pasal 21
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
(2) Pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan
ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
245
BAB V
WEWENANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN
HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Wewenang Pemerintah Pusat
Pasal 23
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau
lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
Pasal 24
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Menteri yang bertanggung jawab
di bidang kehutanan mengkoordinasikan :
a.
penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan;
b.
pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; dan atau
c.
pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 25
Dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan, instansi yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di
bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 26
Kepala Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan penanggulangan dampak dan pemulihan dampak
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau
lintas batas negara.
Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah Propinsi
Pasal 27
Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
Pasal 28
(1) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Gubernur dapat
membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan
di daerahnya.
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib melakukan inventarisasi terhadap
usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup,
melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya
pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 30
Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
Pasal 31
(1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan :
a.
penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan;
b.
pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau
lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada;
c.
pengukuran dampak;
d.
pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
246
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan atau
setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1).
Pasal 32
Bupati/Walikota yang melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat
meminta bantuan pada Bupati/Walikota terdekat.
Pasal 33
(1) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau
menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha
dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan
inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan, hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan
dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
Pasal 34
(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak
lintas kabupaten/kota.
(3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan
dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak
atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
Pasal 35
Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan
bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 36
Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 37
Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 dilakukan:
a.
secara periodik untuk mencegah kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup;
b.
secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan.
Pasal 38
Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 menunjukkan
ketidakpatuhan penanggung jawab usaha, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab
usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri
terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan
penyelamatan, penanggulangan, dan atau pemulihan.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 39
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, wajib melaporkan
kepada pejabat daerah setempat.
(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :
a.
identitas pelapor;
b.
tanggal pelaporan;
c.
waktu dan tempat kejadian;
(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka
waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam sejak tanggal diterimanya laporan, wajib melakukan
verifikasi dari pejabat daerah yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mengetahui
tentang kebenaran terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan.
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadi kebakaran hutan dan
atau lahan, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
untuk menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya.
Pasal 40
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (5), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga
untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 41
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan
dan pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 ayat (5), dan Pasal 40, wajib menyampaikan laporannya
kepada Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 42
Pasal 43
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan
atau lahan serta dampaknya.
(2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak, media elektronik
atau papan pengumuman yang meliputi :
a.
Pasal 45
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi dalam rangka ikut serta melakukan
upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan yang meliputi :
a.
Peta daerah rawan kebakaran hutan dan atau lahan;
b.
Peta peringkat bahaya kebakaran hutan dan atau lahan;
Dokumen perizinan pengusahaan hutan dan atau lahan;
d.
Dokumen AMDAL;
e.
Rencana penyiapan/pembukaan hutan dan atau lahan;
f.
Hasil penginderaan jauh dari satelit;
g.
Laporan berkala dari penanggung jawab usaha mengenai status penaatan terhadap persyaratan perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
h.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dan ayat (2).
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
248
Pasal 46
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 47
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :
Pasal 48
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 dikenakan sanksi administrasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
BAB XII
GANTI RUGI
Pasal 49
(1) Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal
18 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 21 ayat (1) yang menimbulkan akibat kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup, wajib untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
(3) Tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur secara tersendiri
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
Dalam hal tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) belum
ditetapkan, maka tata cara penetapan besarnya ganti kerugian dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 51
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan
atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a.
adanya bencana alam atau peperangan; atau
b.
adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c.
adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c,
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini :
a.
izin usaha yang telah diajukan tetapi masih dalam proses penyelesaian, wajib menyesuaikan dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
b.
izin usaha yang sudah diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini wajib menyesuaikan dalam waktu paling
lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 54
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2001
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2001
DJOHAN EFFENDI
250
PENJELASAN
ATAS
PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 04 TAHUN 2001
TENTANG
I. UMUM
Pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, mutu kehidupan dan penghidupan
seluruh rakyat Indonesia.
Proses pelaksanaan pembangunan itu sendiri disatu pihak menghadapi masalah karena jumlah penduduk yang
besar dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan persebarannya tidak merata. Di lain pihak ketersediaan
sumber daya alam juga terbatas. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi akan
meningkatkan pemanfaatan terhadap sumber daya alam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan tekanan
terhadap sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan
kesejahteraan dan mutu kehidupan rakyat harus disertai dengan upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara tegas dikemukakan dalam Tap MPR No.lV/MPR/
1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan
hidup harus disertai dengan tindakan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan
teknologi ramah lingkungan.
Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memperkecil dampak yang akan merugikan lingkungan hidup dan
keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan devisa, maka Pemerintah melakukan pembangunan
di berbagai sektor. Sektor pembangunan tersebut antara lain di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian,
transmigrasi, dan pertambangan serta pariwisata. Kegiatan ini dilakukan dengan membuka kawasan-kawasan
hutan menjadi kawasan budi daya yang dalam proses pelaksanaan kegiatannya rawan terjadinya kebakaran hutan
dan atau hutan.
Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan atau fauna, tanah, dan hutan. Sedangkan pencemaran
dapat terjadi terhadap air dan udara. Pengendalian terhadap terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pengendalian Pencemaran Air.
Pengertian hutan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan batasan pengertian sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
Kebakaran hutan dan atau lahan di Indonesia, terjadi setiap tahun walaupun frekuensi, intensitas, dan luas arealnya
berbeda. Kebakaran paling besar terjadi pada tahun 1997/1998 di 25 (dua puluh lima) propinsi, yang untuk pertama
kali dinyatakan sebagai bencana nasional. Dampak dengan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi
setiap tahun tersebut telah menimbulkan kerugian, baik kerugian ekologi, ekonomi, sosial, maupun budaya yang
sulit dihitung besarnya. Dampak asap menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia (radang paru), iritasi mata dan kulit. Hal ini akibat tingginya kadar debu
di udara yang telah melampaui ambang batas.
Dampak asap dan kebakaran hutan dan atau lahan telah mengganggu jarak pandang sehingga mempengaruhi
jadual penerbangan. Akibatnya di beberapa kota jarak pandang kurang dari satu kilometer, yang mengakibatkan
penutupan beberapa bandar udara. Selain daripada itu dampak asap mengganggu aktivitas penduduk. Bahkan,
asap dan kebakaran tersebut juga mempengaruhi negara tetangga di Asia Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.
Dalam peristiwa kebakaran hutan dan atau lahan, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Faktor
tersebut adalah penyiapan lahan yang tidak terkendali dengan cara membakar, termasuk juga karena kebiasaan
masyarakat dalam membuka lahan, kebakaran yang tidak disengaja, kebakaran yang disengaja (arson), dan
kebakaran karena sebab alamiah.
251
Kebakaran karena sebab alamiah ini terjadi di daerah yang mengandung batu bara atau bahan lain yang mudah
terbakar. Meskipun beberapa faktor tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran,
tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah karena tindakan manusia.
Terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sangat sulit untuk ditanggulangi, baik untuk pemadaman kebakaran
maupun pemulihan dampak dari kebakaran. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana,
kemampuan sumber daya manusia, dana, dan letak lokasi yang sulit untuk dapat segera dijangkau serta memerlukan
waktu yang cukup lama. Padahal, pemadaman kebakaran memerlukan kecepatan dan keberhasilan untuk
mengatasinya. Untuk itu, maka tindakan pencegahan terjadinya kebakaran menjadi sangat penting dilakukan, antara
lain dengan memperketat persyaratan dalam pemberian ijin.
Bagi kegiatan yang tidak memerlukan izin seperti kegiatan perorangan atau kelompok orang yang karena kebiasaannya
membuka lahan untuk ladang dan kebun, maka untuk mencegah terjadinya kebakaran diperlukan pembinaan,
bimbingan, dan penyuluhan serta kebijakan khusus dari masing-masing propinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian,
maka dalam melakukan tindakan atau kegiatannya tidak dilakukan dengan cara membakar yang dapat menimbulkan
kebakaran hutan dan atau lahan.
Mengingat dampak akibat kebakaran hutan dan atau lahan sangat besar, maka setiap orang yang melakukan usaha
dan atau kegiatan dilarang dengan cara membakar. Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 50 huruf d, secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan. Larangan
tersebut tidak berlaku bagi pembakaran hutan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat
tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Untuk dapat memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terkait terhadap penanganan kebakaran hutan
Peraturan Pemerintah ini diperlukan selain karena alasan yang telah diuraikan di atas juga sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kriteria baku lingkungan hidup daerah dapat ditetapkan lebih ketat daripada kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup nasional apabila kondisi daerah tersebut memerlukannya dan bertujuan untuk
memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap lingkungan hidup daerah.
252
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 11
Kegiatan yang menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain kegiatan penyiapan lahan
untuk usaha di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, pertambangan, pariwisata yang
dilakukan dengan cara membakar. Oleh karena itu dalam melakukan usaha tersebut di larang dilakukan
dengan cara pembakaran, kecuali untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan
satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dan pejabat yang berwenang.
Selanjutnya kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun
dapat menimbulkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. Untuk menghindarkan terjadinya kebakaran
di luar lokasi lahannya perlu dilakukan upaya pencegahan melalui kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah masing-masing seperti melalui peningkatan kesadaran masyarakat adat atau tradisional.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Yang dimaksud dengan penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan, antara lain usaha di bidang kehutanan perkebunan, dan pertambangan.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Sistem deteksi dini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan,
contohnya menara pemantau.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala
antara lain adalah setiap 6 (enam) bulan sekali.
Pasal 15
Laporan hasil pemantauan secara berkala dilengkapi antara lain dengan data pemantauan dan data
penginderaan jauh dari satelit.
Huruf a
Yang dimaksud dengan kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan adalah
strategi pengelolaan hutan dan atau lahan serta strategi pengendalian kebakaran hutan dan atau
lahan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pendapat masyarakat termasuk di antaranya adalah pendapat pemerhati lingkungan dan organisasi
lingkungan hidup.
253
Huruf d
Yang dimaksud dengan pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang adalah
antara lain rekomendasi dari Kepala Bapedal tentang kelayakan lingkungan hidup yang
kewenangan penilaian komisi AMDAL-nya dipusat, sedangkan di daerah adalah pertimbangan
dan rekomendasi kelayakan lingkungan hidup dan Gubernur yang kewenangan penilaian komisi
AMDAL-nya ada di daerah.
Pasal 17
Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka
lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai di luar areal ladang dan
kebunnya. Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segera melakukan penanggulangan adalah tindakan seketika untuk melakukan
penanggulangan sejak diketahuinya terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Menteri lain yang terkait adalah antara lain Menteri Pertanian dalam hal kegiatan
perkebunan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam hal kegiatan yang berkaitan dengan
pertambangan.
Ayat (3)
Penetapan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan dengan peraturan
daerah dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan kondisi alamiah tentang hutan dan atau lahan
daerah yang bersangkutan.
Misalnya penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi yang mengandung batu bara
atau gambut berbeda penanggulangannya dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi lainnya.
Pasal 19
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang tersebut dapat dilakukan bagi propinsi yang rawan terjadi
kebakaran hutan dan atau lahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
254
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindakan penanggulangan kebakaran adalah antara lain mobilisasi sarana
dan prasarana, sumber daya manusia untuk mencegah meluasnya kebakaran. Pelaksanaan
penanggulangan kebakaran tersebut dilakukan secara berjenjang dari tingkat desa/kelurahan,
Huruf b
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan masyarakat adalah antara lain pemeriksaan
gangguan pernafasan dan iritasi mata.
Huruf c
Pengukuran dampak dilakukan antara lain dengan menggunakan indeks standar pencemar udara
dan jarak pandang. Apabila hasil pemantauan menunjukkan indeks standar pencemaran udara
(ISPU) mencapai nilai 300 atau lebih, berarti udara dalam kategori berbahaya bagi kesehatan
manusia, hewan, dan tumbuhan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan pengumuman mengenai langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain
mengumumkan kepada masyarakat agar mengurangi aktivitasnya, dan menggunakan masker
untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang secara khusus tersebut dapat dilakukan di kabupaten/kota
yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau lahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah antara lain pengecekan lapangan untuk mengetahui tentang
kebenaran informasi yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota terhadap penanganan kasus
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik antara lain pengawasan yang dilakukan setiap 3
(tiga) bulan sekali. Pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering daripada pengawasan
periodik, terutama terhadap penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha adalah antara lain tidak menyiapkan
peralatan pemadaman, dan atau standar operasi prosedur penanggulangan kebakaran hutan dan atau
Pasal 39
Ayat(1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat adalah antara lain Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.
Sedangkan informasi yang diperoleh dari media elektronik, media cetak, dan surat, dilaporkan kepada
Kepala lnstansi yang bertanggung jawab.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
255
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat, penanggung jawab usaha, dan aparatur dilakukan melalui antara
lain :
a.
peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang
konservasi hutan dan atau lahan;
b.
pemberian bimbingan teknis;
c.
pendidikan dan pelatihan;
d.
pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi hutan dan atau
lahan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan penanggung jawab usaha dalam
pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup.
Upaya untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan aparatur dalam pengendalian kebakaran
hutan dan atau lahan dimaksud agar, antara lain, dapat ikut serta dalam kegiatan fisik di lapangan,
Ayat (2)
Kearifan tradisional adalah antara lain tradisi Karuhan pada masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat,
dan tradisi hutan larangan pada masyarakat Siberut, Sumatera.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan hasil pengukuran dampak adalah antara lain lndeks Standar Pencemar
Udara (ISPU), PM10, jarak pandang, dan baku mutu udara ambien.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan dampak terhadap kehidupan masyarakat adalah antara lain dampak
terhadap kesehatan dan aktivitas masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan langkah-langkah untuk mengurangi dampak adalah antara lain mengurangi
aktivitas masyarakat dan menggunakan masker untuk menghindari dari kerugian yang lebih besar
bagi masyarakat.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Hak atas informasi tentang terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan merupakan konsekuen logis
dan hak berperan dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan
nilai dan efektifitas peran masyakat dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), keterangan, atau
informasi lain yang berkenaan dengan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang menurut sifat dan tujuan memang terbuka untuk diketahui masyarakat.
256
Pasal 46
Peran sebagaimana dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara
mengajukan keberatan maupun dengan pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai
dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijakan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pelaksanaannya didasarkan
pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan
pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 47
Yang dimaksud dengan sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan atau dana bantuan dari organisasi/
asosiasi tertentu.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah antara lain melakukan penyelamatan dan atau tindakan
penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan
untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama di kemudian hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan
hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan perbuatan persaingan curang
atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
257
LAMPIRAN I
PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 04 Tahun 2001
TANGGAL : 15 Februari 2001
A.
KRITERIA
UMUMBAKUKERUSAKANTANAHMINERALYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN
ATAU LAHAN
Sifat Fisik Tanah
258
B.
KRITERIA
UMUMBAKUKERUSAKANTANAHGAMBUTYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN
ATAU LAHAN
Sifat Fisik Tanah
259
260
C. KRITERIA UMUMBAKUKERUSAKANFLORAYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN
ATAULAHAN
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Keragaman spesies ·
·
·
·
Terjadi perubahan keragaman
Terjadi pengurangan dan penambahan varietas
Terjadi kepunahan spesies
Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem
Sampling
2 Populasi ·
·
·
Terjadi perubahan kepadatan
Terjadi perubahan populasi
Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem
Sampling
D. KRITERIA UMUMBAKUKERUSAKANFAUNAYANGBERKAITANDENGANKEBAKARANHUTANDAN
ATAULAHAN
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Keragaman spesies ·
·
·
·
·
Terjadi perubahan keragaman
Terjadi perubahan perilaku
261
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-43/MENLH/X/1996
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
usaha atau kegiatan penambangan;
b.
bahwa usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C merupakan salah satu
kegiatan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup;
c.
bahwa dari berbagai usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C yang perlu
diprioritaskan pengendaliannya adalah kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis
lepas di daratan;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
5.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1969
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2816);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian
(Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4147);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan
di Bidang Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1986
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3340);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan
Titik Berat Pada Daerah Tingkat II (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3487);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3528);
12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri
Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan,
Organisasi dan Tata Kerja BAPEDALDA;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA KERUSAKAN
LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS
LEPAS DI DATARAN
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
2.
Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C yang berupa tanah urug, pasir, sirtu,
tras dan batu apung;
3.
Lingkungan Penambangan adalah area penambangan yang diizinkan dalam Surat Izin Penambangan Daerah
(SIPD);
4.
Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah berubahnya karakteristik lingkungan penambangan sehingga
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
5.
Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi lingkungan penambangan yang
menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan lingkungan;
6.
Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup;
7.
BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8.
Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran
wajib untuk melaksanakan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan baginya.
Pasal 3
(1) Kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini ditetapkan sesuai dengan peruntukan:
a.
Pemukiman dan daerah industri;
b.
Tanaman tahunan;
c.
Tanaman pangan lahan basah;
d.
Tanaman pangan lahan kering/peternakan;
(2) Penjelasan teknis dan tata cara pengukuran kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) seperti tersebut dalam Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 4
(1) Peruntukan lahan paska penambangan ditetapkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II (RTRWK).
(2) Apabila peruntukan lahan paska penambangan belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan dapat menetapkannya di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD).
(3) Apabila tidak ditetapkan di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), peruntukan ditetapkan berdasarkan
(1) Menteri menetapkan kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C untuk
jenis galian lain di luar bahan galian golongan C seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 2 dan peruntukan Pasal 3
Keputusan ini.
(2) Apabila kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan. Gubernur/
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan kriteria kerusakan lingkungan setelah
berkonsultasi dengan Menteri dan Menteri Dalam Negeri.
(3) Menteri memberikan petunjuk penetapan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berdasarkan pertimbangan Kepala Bapedal.
Pasal 6
Pembinaan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran:
a.
Umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
b.
Teknis penambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi.
c.
Teknis pengendalian kerusakan lingkungan dilakukan oleh Bapedal.
Pasal 7
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam proses pemberian Surat Izin Penambangan Daerah
(SIPD), selain berpedoman kepada peraturan yang selama ini berlaku, wajib mencantumkan kriteria kerusakan
lingkungan yang tidak boleh dilanggar oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dalam Surat Izin Penambangan
Daerahnya (SIPDnya)
Pasal 8
Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran yang wajib menyusun Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila hasil studi mewajibkan persyaratan pengendalian kerusakan lingkungan
lebih ketat dan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini maka
persyaratan yang lebih ketat berlaku baginya.
263
Pasal 9
Penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada:
a.
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II;
b.
Kepala BAPEDAL;
c.
Menteri;
d.
Menteri Dalam Negeri Cq. Ditjen Bangda;
e.
Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktorat Teknik Pertambangan Umum;
f.
Instansi terkait lain yang dipandang perlu.
Pasal 10
Pasal 11
Apabila hasil pemantauan dimaksud dalam ayat (1), menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan maka Gubernur/
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II segera menetapkan langkah kebijaksanaan setelah mendapat
pertimbangan dari Bapedal dan instansi teknis.
Pasal 12
(1) Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran:
a.
Yang sedang berlangsung atau yang masa penambangannya telah berakhir, wajib dilakukan evaluasi oleh
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan kriteria kerusakan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini.
b.
Bagi kegiatan yang sedang dalam proses permohonan dan perpanjangan Surat Izin Penambangan Daerah
SIPD) setelah ditetapkan Keputusan ini wajib disesuaikan dengan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam keputusan ini.
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, Gubernur/Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II menetapkan langkah pengendaliannya dengan memperhatikan pertimbangan dan
Kepala Bapedal.
Pasal 13
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 25 Oktober 1996
ttd
Sarwono Kusumaatmadja.
264
LAMPIRANI :KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-43/MENLH/X/1996
TANGGAL : 25 OKTOBER 1996
PEMBENTUKAN
265
LAMPIRANII : KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUP
NOMOR : KEP-43/MENLH/X/1996
TANGGAL : 25 OKTOBER 1996
1.
TOPOGRAFI
Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi, yaitu: keadaan yang menggambarkan
permukaan bumi terutama mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah, pegunungan,
dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lain-lainnya.
Bentuk akhir topografi lahan bekas penambangan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan/
daya dukung lahan bekas penambangan bagi suatu peruntukan aspek-aspek topografi yang dijadikan indikator
daya dukung lahan bekas penambangan adalah :
1.
Lubang galian
2.
Dasar galian
3.
Dinding galian
1.1.
Lubang galian
Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat penambangan galian golongan C.
Parameter lubang galian yang digunakan dalam penilaian kerusakan lahan bekas penambangan ini adalah:
a.
-
Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal
dengan dasar lubang terdalam (lihat Gambar 1)
-Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang
periode penambangan.
-Penentuan batas kedalaman galian yang ditolerir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan
oleh letak muka air tanah.
-Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang jenuh air dengan lapisan tanah yang belum
jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan musim. Di daerah
dataran rendah muka air tanah umumnya dangkal, sedangkan di daerah yang lebih tinggi letak
muka air tanah lebih dalam. Pada musim penghujan letak muka air tanah biasanya lebih
dangkal dibandingkan dengan musim kemarau.
-Pengukuran letak muka air tanah dapat diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur
pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh permukaan air sumur gali.
-Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada
sumur gali permukaan lahan (lihat Gambar 2)
266
PERMUKAAN TANAH
Dasar Sumur
Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada prinsipnya menyerupai pengukuran sumur
galian (lihat Gambar 3)
Keterangan :
= letak muka
tanah dari
permukaan
MUKAAIR TANAH
-Batas kedalaman lubang galian selalu ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya
persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan
lahan yang telah ditetapkan.
-Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman tahunan adalah areal yang berdrainase baik,
minimum sebatas wilayah perakaran tanaman tahunan. Sehubungan dengan hal tersebut
maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air
tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan
bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut
akan terpenuhi.
-Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan basah adalah areal berdrainase
buruk tetapi sewaktu-waktu harus dapat dikeringkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka
kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 10 cm di bawah permukaan air tanah
dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas
tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan
terpenuhi.
-Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan kering/peternakan adalah areal
berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran. Sehubungan dengan hal tersebut maka
kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah
dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas
tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan
terpenuhi.
b.
Jarak
Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas
SIPD. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut. Jarak lubang
galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu
oleh kegiatan penambangan. Dalam hal ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas
aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD.
Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari batas SIPD ini dapat dilakukan secara
reguler sepanjang periode penambangan.
Keterangan :
= letak muka
tanah dari
permukaan
tanah
267
Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian dimasing-masing
SIPD dapat mencapai batas SIPD yang berdampingan/bersinggungan, sedangkan jarak lubang
galian pada batas SIPD yang tidak berdampingan/bersinggungan minimal 5 (lima) meter dari batas
SIPD (Gambar 4b).
GAMBAR 4b. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN PENAMBANGAN YANG BERSINGGUNGAN
1.2.
Dasar Galian
Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter Dasar galian ada 2(dua), yaitu :
a.
Perbedaan Relief Dasar Galian
-Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah rata, karena selalu terdapat
tumpukan atau onggokan material sisa galian.
-
Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan ketinggian permukaan onggokan/
tumpukan tersebut dengan permukaan dasar galian disekitarnya. Pengukuran dilakukan
dengan mengukur kedua permukaan tersebut (lihat Gambar 5)
268
b.
Kemiringan Dasar Galian
-Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya dukung lahan
bagi suatu peruntukan.
-Persyaratan kelayakan lahan untuk pemukiman/industri adalah tidak lebih dari 8%
sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%.
-Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari 15% sehingga
1.3.
Dinding Galian
Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang.
Untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi
maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras.
Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati (lihat Gambar 6).
Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3 meter sehingga batas toleransi bagi keamanan lingkungan
disekitarnya. Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar kemiringan
dinding galian tidak lebih curam dari 50 %.
Pemantauan tebing dan dasar teras dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan
rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan
pada akhir masa penambangan.
Pengukuran tebing dan dasar teras dilakukan dengan menggunakan meteran.
PERMUKAAN TANAH
GAMBAR 6. SKETSA RELIEF DINDING GALIAN YANG DISYARATKAN UNTUK SEMUA PERUNTUKAN
2.
TANAH
Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bahan organik, dan merupakan tempat tumbuhnya
tumbuhan. Tanah yang dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah tanah-tanah
yang sebelumnya terdapat di areal SIPD tersebut, yang dikupas dan diamankan sebelum areal tersebut ditambang.
Akan tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu mendukung pertumbuhan
tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan.
Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap peruntukan lahannya.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman budi daya di areal pemukiman adalah 25
cm, sehingga untuk peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai
penutup ini minimum 25 cm.
269
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman tahunan atau tanaman perkebunan adalah
50 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup
ini minimum 50 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga
untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan
sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ternak
adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ini ketebalan
tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai
dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini hanya dapat
3.
VEGETASI
Pertumbuhan Vegetasi di atas lahan bekas penambangan menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan
mempunyai kondisi yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena pertumbuhan vegetasi tidak hanya
membuktikan adanya usaha reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa galian tersebut dapat dimanfaatkan
kembali sesuai dengan peruntukannya.
Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau di areal pemukiman adalah 20 persen, sehingga digunakan juga
sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal pertambangan.
Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen merupakan indikator yang menjamin
bahwa tanah yang dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan
peruntukannya.
Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas penambangan, sedangkan pengukuran
keberhasilannya dilakukan dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas tambang.
Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana
penambangan, tetapi penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa
penambangan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja.
270
Menimbang :
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga
Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN
SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1.
Lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut lembaga
penyedia jasa, adalah lembaga yang bersifat bebas dan tidak berpihak yang tugasnya memberikan pelayanan
kepada para pihak yang bersengketa untuk mendayagunakan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dengan menyediakan pihak ketiga netral dalam rangka penyelesaian sengketa baik melalui arbiter maupun
mediator atau pihak ketiga lainnya;
2.
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau
diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
3.
Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah bentuk-bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup
yang dilakukan secara sukarela antara para pihak di luar pengadilan melalui pihak ketiga netral;
4.
Pihak ketiga netral adalah pihak ketiga baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan (Arbiter) maupun
yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan (Mediator atau Pihak Ketiga lainnya);
5.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa lingkungan hidup yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;
6.
Mediator atau Pihak Ketiga lainnya adalah seorang atau lebih yang ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang
bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan;
7.
Para pihak adalah subyek hukum baik menurut hukum perdata maupun hukum publik yang bersengketa di
bidang lingkungan hidup;
8.
Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
9.
Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela.
Pasal 3
Dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh
salah satu atau para pihak yang bersengketa atau, salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari
Pasal 4
Para pihak bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.
272
BAB II
KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Pasal 6
Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan
menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya.
Pasal 7
Lembaga penyedia jasa memberikan jasa pelayanan terhadap penyelesaian sengketa lingkungan hidup di seluruh
wilayah Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Lembaga Penyedia Jasa Yang
Dibentuk Oleh Pemerintah
Pasal 8
(1) Lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
(2) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
(3) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan
berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang
bersangkutan.
Pasal 9
(1) Dalam melaksanakan tugas lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibantu
oleh Sekretariat.
(2) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
(3) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dilakukan
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan.
(4) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas menyediakan jasa pelayanan arbiter dan
(1) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
mempunyai keanggotaan terdiri dari tenaga profesional di bidang lingkungan hidup yang berasal dari pemerintah
dan masyarakat.
(2) Keanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di pemerintah pusat diangkat oleh
Gubernur/Bupati/Walikota, berfungsi sebagai arbiter dan/atau mediator dan/atau pihak ketiga lainnya.
(3) Masa jabatan keanggotaan lembaga penyedia jasa selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
satu periode berikutnya.
(4) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
cakap melakukan tindakan hukum;
b.
berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk arbiter dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk
mediator atau pihak ketiga lainnya;
c.
memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima
belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya;
d.
tidak ada keberatan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan
e.
memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
Pasal 11
(1) Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya
berakhir, kecuali :
a.
meninggal dunia;
b.
terbukti melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
c.
mengundurkan diri.
(2) Keanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) wajib diumumkan terlebih
dahulu kepada masyarakat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan untuk mengetahui ada/
tidaknya keberatan dari masyarakat.
273
Bagian Ketiga
Lembaga Penyedia Jasa Yang
Dibentuk Oleh Masyarakat
Pasal 12
(1) Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat dibuat dengan akta notaris.
(2) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
di pusat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
b.
di daerah pada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang
bersangkutan.
BAB III
PERSYARATAN PENUNJUKAN PIHAK KETIGA NETRAL
Bagian Pertama
Arbiter
Pasal 14
Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 15
Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya oleh para pihak
harus memenuhi syarat :
a.
disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
b.
tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu
pihak yang bersengketa;
c.
tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;
d.
tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak;
e.
tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Pasal 16
Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 12 terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan pengembangannya
BAB IV
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI LEMBAGA PENYEDIA JASA
Bagian Pertama
Pengelolaan Permohonan
Pasal 17
(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan bantuan untuk penyelesaian
sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2) dan (3).
(2) Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai
permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan
hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.
(3) Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
274
Pasal 18
Tata cara pengelolaan permohonan penyelesaian sengketa melalui lembaga penyedia jasa yang dibentuk pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedua
Arbitrase
Pasal 19
Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Ketiga
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 20
Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator atau pihak ketiga lainnya dari lembaga
penyedia jasa yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1).
Pasal 21
(1) Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau
pihak ketiga lainnya.
(1) Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah
atau batal dengan alasan :
a.
mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukan keberpihakan; dan/atau
b.
mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka:
a.
mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau
b.
para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya.
Pasal 23
(1) Para pihak yang bersengketa atau salah satu pihak dalam proses penyelesaian sengketa setiap saat berhak
menarik diri dari perundingan.
(2) Apabila para pihak yang bersengketa akan menarik diri dari perundingan wajib memberitahukan secara tertulis
kepada mediator atau pihak ketiga lainnya.
(3) Apabila salah satu pihak akan menarik diri dari perundingan wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pihak lainnya dan mediator atau pihak ketiga lainnya.
Pasal 24
(1) Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak
ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermeterai yang memuat antara
lain :
a.
nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
b.
(3) Biaya untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibebankan kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup.
(4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak
ketiga lainnya.
(5) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut,
lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya
atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.
BAB V
PEMBIAYAAN LEMBAGAPENYEDIA JASA
Bagian Pertama
Arbitrase
Pasal 25
Biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 26
(1) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak
yang bersengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf g atau sumber-sumber dana lainnya
yang bersifat tidak mengikat.
(2) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya pada penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintah selain
Pasal 27
Segala biaya kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada :
a.
Pemerintah pusat pada anggaran belanja instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
b.
Pemerintah daerah pada anggaran belanja instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan daerah yang bersangkutan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 8 (delapan) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan pemerintah ini dengan penempatannya
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
ttd
DJOHAN EFFENDI
276
PENJELASAN
ATAS
PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2000
TENTANG
Penggunaan prinsip musyawarah untuk menyelesaikan suatu sengketa berlaku secara umum di seluruh
wilayahRepublik Indonesia dan hal ini sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
silakeempat dari Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Lembaga penyedia jasa sebagai alternatif, oleh karena itu penggunaannya sangat tergantung dari kesepakatanpara pihak
untuk menentukan pilihannya baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat.
Menurut ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketalingkungan
hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secaraalternatif
di luar pengadilan baik melalui pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan memutus (arbiter) maupunmediator atau
pihak ketiga lainnya yang tidak memiliki kewenangan memutus guna memperoleh hasil yang lebihadil dan dapat
diterima oleh semua pihak dalam waktu yang cepat dengan biaya murah. Dengan adanya alternatifpenyelesaian
sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diharapkan akan dapat meningkatkan ketaatanmasyarakat terhadap
sistem nilai yang berasaskan musyawarah. Dengan demikian, diharapkan lembaga penyediajasa penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dapat ditempuh sebagai bagian dari kebijaksanaan penaatanlingkungan hidup dan landasan
pengembangan stakeholdership dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup merupakan badan yang mandiri dan tidak
memihakyang tugasnya memberikan bantuan kepada para pihak yang bersengketa dengan menggunakan pihak
ketiganetral baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
277
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penyebarluasan informasi daftar panggil dapat dilakukan antara lain melalui papan pengumuman,
media cetak dan media elektronik.
Pasal 10
Ayat (1)
Keanggotaan lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah dari berbagai kalanganmasyarakat dimaksudkan
untuk dapat mencerminkan kepentingan dari berbagai pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk melakukanperundingan
atau penengahan adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman menyelesaikansengketa lingkungan hidup atau
telah mengikuti pendidikan/pelatihan perundingan yangdiselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman anggota lembaga penyedia jasa yang akan ditunjuk dilakukan antara lain melalui papanpengumuman,
media cetak dan media elektronik.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk melakukanperundingan
atau penengahan adalah orang yang telah memiliki pengalaman menyelesaikansengketa lingkungan hidup atau telah
mengikuti pendidikan/pelatihan perundingan yangdiselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
278
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihakketiga lainnya
dibuat dalam bentuk tertulis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain melakukan penyelamatan dan/atau tindakanpenanggulangan
dan/atau pemulihan lingkungan hidup.
Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang samadikemudian hari.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Biaya penyelesaian sengketa oleh mediator atau pihak ketiga lainnya dapat meliputi honorarium danbiaya perjalanan.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintahyang merupakan
pelayanan publik. Oleh karena itu prinsipnya biaya untuk mediator atau pihak ketigalainnya dapat dibebankan pada
Pemerintah. Tetapi karena keterbatasan dana pemerintah saat ini,
maka dimungkinkan biaya tersebut dibebankan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa dan/
atau berasal dari sumber-sumber dana lainnya seperti digunakan mekanisme pendanaan lingkungandan/atau sumber-
sumber lainnya yang bersifat tidak mengikat.
Pembiayaan yang berasal dari sumber-sumber dana lainnya harus dilakukan secara transparan dandapat dipertanggung
jawabkan kepada publik.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
279
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 77 TAHUN 2003
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun2000 tentang Lembaga
Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup diLuar Pengadilan perlu ditetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentangPembentukan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup diLuar Pengadilan (LPJP2SLH) pada Kementerian Lingkungan Hidup;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran NegaraIndonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa(Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa PelayananPenyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara Tahun 2000Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3982);
4.
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan TataKerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERTAMA :
PEMBENTUKAN LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
(LPJP2SLH).
KEDUA :
Susunan keanggotaan LPJP2SLH sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.
KETIGA :
Anggota LPJP2SLH bertindak sebagai :
1.
Arbiter, yang mempunyai tugas memeriksa sengketa lingkungan hidup dan memberikanputusan yang tidak memihak
dalam jangka waktu yang ditentukan.
2.
Mediator dan atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai tugas memfasilitasi para pihakyang bersengketa sehingga
dapat tercapai kesepakatan.
KEEMPAT :
Masa jabatan keanggotaan LPJP2SLH berlaku untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkatkembali untuk 1 (satu)
periode berikutnya.
KELIMA :
Keanggotaan LPJP2SLH tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir kecualimemenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 54Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
KEENAM :
LPJP2SLH dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat yang berkedudukan pada unityang membidangi
penyelesaian sengketa lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup.
KETUJUH :
Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEENAM selain membantu tugas LPJP2SLHjuga merangkap
sebagai sekretariat pengelolaan permohonan penyelesaian sengketa lingkunganhidup.
KEDELAPAN :
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
ttd
Salinan ini sesuai dengan aslinyaDeputi MENLH Bidang Kebijakan danKelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA
280
SUSUNANKEANGGOTAAN
LEMBAGA PENYEDIAJASA PELAYANAN PENYELESAIAN
SENGKETALINGKUNGAN HIDUPDI LUAR PENGADILAN (LPJP2SLH)
281
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 78 TAHUN 2003
TENTANG
TATACARAPENGELOLAAN PERMOHONAN
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGANHIDUPDILUAR PENGADILAN
PADA KEMENTERIANLINGKUNGAN HIDUP
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Tata Cara Pengelolaan Permohonan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan pada Kementerian Lingkungan Hidup;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3982);
4.
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN
PERMOHONAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN PADA
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan bantuan untuk penyelesaian
sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada Menteri
secara tertulis.
(2) Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilengkapi dengan :
a.
nama lengkap;
b.
alamat lengkap;
c.
pekerjaan;
d.
nama dan alamat yang diduga penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
e.
perkiraan sumber penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
f.
perkiraan tingkat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi;
g.
perkiraan kapan dan lamanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi;
h.
perkiraan besar dan jenis kerugian yang terjadi;
i.
upaya yang pernah ditempuh selama ini (bila pernah dilakukan);
j.
pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup selama ini (bila pernah
dilakukan);
k.
penyebab kegagalan penyelesaian yang pernah ditempuh selama ini (bila pernah dilakukan);
l.
keterangan lain yang dianggap perlu.
282
Pasal 3
Sekretariat lembaga penyedia jasa wajib mencatat permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan
hidup dan segera melaporkan kepada unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Pasal 4
a. permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup penyelesaian sengketa lingkungan hidup; atau
b. permohonan yang disampaikan tidak termasuk dalam lingkup sengketa lingkungan hidup.
Pasal 5
(1) Apabila permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
a, maka unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup wajib melakukan verifikasi
tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
(2) Verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan bantuan penyelesaian sengketa wajib dilakukan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diselesaikannya analisis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4.
Pasal 6
(1)
Unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup paling lama 14 (empat belas) hari
setelah selesai melakukan verifikasi, wajib menyampaikan hasil verifikasi kepada lembaga penyedia jasa.
(2)
Lembaga penyedia jasa dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Pasal 7
Apabila permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
maka unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup wajib menyiapkan surat untuk
ditandatangani pimpinan Kementerian Lingkungan Hidup guna meneruskan permohonan tersebut kepada instansi
yang berwenang.
Pasal 8
Informasi daftar panggil tenaga arbiter dan atau mediator dan atau pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa yang
telah diangkat dan ditetapkan oleh Menteri disediakan oleh sekretariat lembaga penyedia jasa.
Pasal 9
(1) Para pihak yang bersengketa melakukan kesepakatan untuk memilih dan menunjuk arbiter atau mediator atau
pihak ketiga lainnya berdasarkan daftar panggil yang diberikan oleh sekretariat lembaga penyedia jasa.
(2) Sekretariat lembaga penyedia jasa bertugas menghubungi arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang
dipilih dan ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Sekretariat lembaga penyedia jasa membantu arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang dipilih dan
ditunjuk oleh para pihak untuk menentukan waktu dan tempat perundingan.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Mei 2003
ttd
ttd
Hoetomo, MPA
283
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 56 TAHUN 2002
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-07/MENLH/2/2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat
Pengawas;
b.
bahwa Pasal 56A, Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi dan Kewenangan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dialihkan ke Menteri Lingkungan Hidup;
c.
bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas.
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3910);
4.
284
PERTAMA : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.
KEDUA : Setiap Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah
membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan:
a. Untuk pusat dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup;
b. Untuk daerah kepada Kepala Badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengelolaan lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota.
KETIGA : Laporan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA terdiri dari:
a. Format Laporan dan Ringkasan Laporan Pengawasan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II Keputusan ini;
b. Format Berita Acara tahapan kegiatan dan penolakan penanggung jawab usaha dan atau
ttd
Nadjib Dahlan,SH.
285
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Untuk mengetahui tingkat ketaatan suatu usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup maupun
perizinan, perlu dilakukan kegiatan pengawasan.
Pengawasan yang diatur dalam keputusan ini identik dengan kegiatan inspeksi atau pemantauan yang
selama ini telah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Badan/Pimpinan Instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi/Kabupaten/Kota.
Guna memberikan acuan bagi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup Daerah dalam menjalankan tugas pengawasan, perlu ditetapkan pedoman umum pengawasan
penaatan lingkungan hidup bagi pejabat pengawas.
B.
Tujuan
Tujuan pengawasan lingkungan hidup adalah untuk memantau, mengevaluasi dan menetapkan status
ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap;
1.
Kewajiban yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup.
2.
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan sebagaimana
3.
Ketersediaan pelatihan tata cara penanggulangan tanggap darurat secara berkala kepada pekerja
maupun masyarakat di sekelilingnya.
4.
Adanya pemisahan antara peralatan laik pakai dengan yang rusak disertai pelabelan (tag) yang
menunjukkan keadaan yang rusak (out-of-service).
5.
Ketersediaan dan penggunaan peralatan dan pakaian pelindung personal.
6.
Ketersediaan alat-alat pendeteksi dini keadaan darurat
7.
Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran disetiap unit kegiatan (tabung pemadam kebakaran,
automatic sprinkler).
8.
Ketersediaan alat deteksi kebocoran B3.
9.
Ketersediaan peralatan bantuan pernafasan di dekat tempat masuk ruangan gas beracun yang berfungsi
dengan baik.
10.
Ketersediaan peralatan P3K di lokasi.
11.
Ketersediaan tanda-tanda peringatan (dilarang merokok, tegangan tinggi, bahaya gas beracun, hatihati)
terpasang.
12.
Ketersediaan Standard Operating Procedure (SOP).
III.
KEWENANGAN PEJABAT PENGAWAS
Kewenangan yang diberikan kepada Pejabat Pengawas sesuai dengan Pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah:
1.
Melakukan pemantauan usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup;
2.
Meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang
dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
3.
Membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan;
4.
Memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
5.
Mengambil contoh (sample) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan, serta
melakukan pengukuran, analisa dan atau melakukan pengawasan analisa sampel secara langsung di
lapangan dan atau laboratorium;
6.
D.
Jaminan Kualitas Hasil Pengawasan
Pengawas harus bertanggung jawab terhadap semua data hasil pengawasan dimasukkan ke dalam laporan
pelaksanaan pengawasan yang mencerminkan kondisi yang ada dan secara prosedur dan yuridis dapat
dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, pengawas harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1.
Pengumpulan data yang aktual (valid);
2.
Penggunaan metoda baku yang telah ditetapkan;
3.
Penggunaan teknik analisis;
4.
Penggunaan sistem pengelolaan data dan pelaporan yang baku.
V.
TAHAPAN DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
A.
Tahap Persiapan
1.
Menyiapkan kelengkapan administrasi, yaitu:
a.
Surat Penugasan;
b.
Tanda Pengenal;
c.
Dokumen Perjalanan (Surat Perintah Perjalanan Dinas);
d.
Formulir Berita Acara yang diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan.
2.
Mempelajari Peraturan/Dokumen/Referensi yang terkait.
Sebelum melakukan pengawasan ke lokasi kegiatan, salah satu hal yang harus dilakukan oleh Pejabat
Pengawas adalah mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan kegiatan yang akan diawasi.
Dokumen-dokumen ini antara lain adalah:
a.
Riwayat ketaatan usaha dan atau kegiatan yang menjadi obyek pengawasan;
b.
Izin-izin yang terkait;
c.
Peraturan/Literatur yang terkait dengan obyek pengawasan;
d.
Peta situasi versi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dan atau peta situasi versi Pejabat
Pengawas yang pernah melakukan pengawasan di tempat yang sama atau bersebelahan;
e.
Dokumen-dokumen lain yang terkait dengan status ketaatan kegiatan yang bersangkutan.
3.
Menyiapkan Perlengkapan antara lain:
3.
Pemeriksaan Lokasi Usaha dan atau Kegiatan
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas di lokasi kegiatan dan atau usaha meliputi:
a.
Aspek Kebijakan
Penaatan lingkungan harus nerupakan komitmen usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu, aspek
manajemen memegang peranan kunci dalam pelaksanaan sehari-hari:
1). Kebijakan dan Prosedur;
2). Meneliti kebijakan usaha dan atau kegiatan yang menegaskan komitmennya terhadap
penaatan lingkungan yang mencerminkan pemahaman terhadap peraturan perundangundangan;
3). Mengumpulkan semua prosedur dan standar tertulis yang digunakan oleh suatu usaha dan
atau kegiatan untuk melakukan penaatan lingkungan sesuai dengan perizinannya.
b.
Struktur Organisasi
1). Meneliti struktur organisasi khususnya yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup;
2). Meneliti deskripsi kerja dari unit pengelolaan lingkungan tersebut;
3). Meneliti pemahaman staf terhadap struktur tersebut dalam menangani situasi daruat.
c.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja
1). Memeriksa standar kesehatan dan keselamatan kerja yang digunakan;
2). Memeriksa Prosedur Standard Operational (SOP) yang dimiliki;
3). Mengumpulkan data pelatihan karyawan yang berkaitan dengan penanganan keadaan
darurat.
d.
Perencanaan Penaatan
1). Memeriksa data perencanaan usaha dan atau kegiatan mengenai penaatan lingkungan
yang diperlukan serta cara-cara pencapaian sasarannya;
2).
Mengkaitkan perencanaan tersebut dengan seluruh peraturan perundang-undangan
dibidang lingkungan hidup yang ada.
e.
Pelaporan Usaha dan atau Kegiatan Memeriksa laporan mengenai:
1). Operasi kegiatan misalnya Log Book debit limbah, kapasitas produksi, dan lain-lain;
2). Catatan menyangkut keadaan darurat dan kendala yang dihadapi.
f.
Kondisi Umum Fisik Usaha dan atau Kegiatan
1).
Memeriksa kondisi housekeeping di seluruh lokasi usaha dan atau kegiatan (termasuk di
2).
Mencatat jika terdapat kebisingan atau bau yang melebihi kondisi normal;
3).
Meneliti jika terjadi perubahan warna pada permukaan tanah atau bau kimiawi yang tajam
dapat mengindikasikan adanya tumpahan. Lakukan penelitian lebih lanjut mengenai
tumpahan ini apabila diperlukan;
4).
Mencatat kondisi peralatan yang tidak berfungsi atau dalam perbaikan, catat jenisnya, kapan
rusaknya, jenis kerusakan, dan kapan akan diperbaiki.
g.
Aspek Perubahan Proses Produksi
1.
Memeriksa kemungkinan adanya perubahan-perubahan kualitas dan kuantitas:
1). Kapasitas produksi;
2). Jumlah produksi jadi;
3). Penggunaan air;
4). Pengelolaan limbah;
5). Lain-lain.
2.
Memeriksa jika terjadi modifikasi pada proses produksi yang dapat menimbulkan perubahan
pada limbah/emisi dan B3 yang harus dikelola.
3.
Memeriksa perizinan jika terjadi perubahan dan modifikasi pada hal-hal tersebut di atas.
4.
Melakukan verifikasi pada setiap perubahan yang ada dan mencatat temuan ke dalam
Laporan Pengawasan.
4.
Wawancara
Salah satu cara pengumpulan informasi/data dalam pelaksanaan pengawasan adalah wawancara.
Beberapa hal yang harus diperhatikan Pejabat Pengawas dalam melakukan wawancara adalah:
a.
Cara Bertanya:
1). Menggunakan bahasa yang sopan, lugas, dan jelas;
2). Bertanya dari aspek umum ke aspek spesifik;
3). Memberi waktu kepada petugas usaha dan atau kegiatan untuk memikirkan jawaban dan
penjelasannya;
4). Menghindari pertanyaan yang mengarah kepada jawaban yang tidak diinginkan;
5). Menghindari subyek pertanyaan yang sama pada beberapa pertanyaan;
6). Tidak mencampuradukkan pertanyaan yang menyangkut kondisi dahulu, saat ini, dan yang
akan datang;
7). Menggunakan ukuran standar, misalnya waktu, jarak, luas, berat, dan volume suara.
b.
Cara Mendokumentasikan Jawaban Pertanyaan
1).
Menggunakan buku catatan pengawasan lapangan, alat perekam atau video, ditulis dalam
bentuk pernyataan yang kemudian ditandatangani petugas dari usaha dan atau kegiatan
289
c.
Lain-lain
1). Tidak menjanjikan suatu perlindungan atau kerahasiaan terhadap jawaban yang akan
diberikan;
2). Jika memungkinkan, tidak melakukan wawancara di depan umum;
3). Mencatat nama, jabatan, dan cara menghubungi petugas yang akan diwawancarai jika nanti
5.
Pengambilan Sampel:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel pada kegiatan pengawasan lingkungan
hidup antara lain:
a.
Mencatat kode sampel, titik pengambilan sampel, waktu (tanggal dan jam), kondisi cuaca dan
lainnya yang selanjutnya dimasukkan dalam Berita Acara Pengambilan Sampel;
b.
Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak dibuat Berita Acara Penolakan;
c.
Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menandatangani Berita Acara
Penolakan, maka Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dapat meminta bantuan yang berwajib
agar penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menandatangani Berita Acara Penolakan
tersebut;
d.
Pelajari hal-hal yang berkaitan dengan pedoman pengambilan sampel (teknis, mekanisme,
peralatan dan lain-lain).
6.
Pengambilan Gambar/Foto/Video
Pemotretan (pengambilan gambar baik dengan foto maupun video) merupakan bagian dari
pengumpulan informasi/data dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup.
a.
Foto:
Foto-foto yang tajam dan tepat akan bernilai sebagai bukti mengenai kondisi penaatan lingkungan
3).
Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menandatangani Berita Acara
Penolakan maka Pejabat Pengawas dapat meminta bantuan pihak berwajib untuk meminta
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menandatangani Berita Acara Penolakan;
sebagai berikut:
-Nama dan tanda tangan pemotret dan saksinya;
-Tanggal dan jam pemotretan;
-Kondisi cuaca;
-Lokasi;
-Uraian singkat mengenai obyek yang dipotret;
-Jenis kamera yang digunakan.
8).
Masukkan ke dalam logbook dan diberi identifikasi numerik atau nomor urut untuk
mempermudah pencetakan ulang.
b.
Video:
1). Dalam pengambilan video dapat memberitahukan terlebih dahulu kepada penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan;
2). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak, dibuat Berita Acara Penolakan;
3). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menadatangani Surat
290
c.
Gambar dan Peta:
1). Membuat sketsa lokasi pengawasan usaha dan atau kegiatan;
2). Menelaah gambar teknik, diagram alir proses, grafik, bagan-bagan, diagram, maupun petapeta;
3). Memeriksa gambar dan peta yang disajikan secara sederhana dan bebas rincian yang tidak
7.
Dokumentasi
Pejabat pengawas wajib mendokumentasikan seluruh data dan informasi yang diperoleh dari
pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup secara rinci, sistematis (dikelompokkan berdasarkan
jenisnya), dan jelas ( dilengkapi dengan catatan berkenaan dengan waktu, tempat/sumber, informasi
diperoleh). Dokumentasi berupa hasil wawancara, foto/gambar, hasil analisa sampel.
a.
Buku Catatan Lapangan
1). Mencatat seluruh kegiatan di lapangan secara urut, rinci dan akurat;
2). Berisi fakta-fakta dan pengamatan yang sesuai;
3). Catatan ditulis secara obyektif, faktual, dan bebas dari pendapat pribadi dan terminologi
yang tidak tepat;
4). Hal lain yang dapat dicatat:
a). Pengamatan terhadap kondisi kegiatan di lapangan yang dapat digunakan dalam
b.
Barang Cetakan
1). Terdiri atas brosur, hard copy dari dokumen di komputer, literatur, label, dan dokumen lainnya
yang berkaitan dengan kondisi dan operasi dari usaha dan atau kegiatan;
2). Minta izin penanggung jawab usaha dan atau kegiatan jika akan melakukan penggandaan
dari dokumen-dokumen yang ada;
3). Semua salinan harus diparaf dan diberi tanggal untuk mempermudah identifikasi;
4). Jika fotocopy tidak memungkinkan atau tidak praktis, maka pemotretan close-up dapat
c.
Salinan Catatan
1). Semua data harus disimpan dalam suatu sistem tertulis, cetakan maupun dalam komputer
dan mikro film;
2).
Guna mempermudah pengambilan data untuk kepentingan pengadilan, setiap data harus
jelas teridentifikasi sejak data dikumpulkan di lapangan dengan informasi sebagai berikut:
nomor/kode data, tanggal pengambilan data, nama usaha dan atau kegiatan.
d.
Data Rahasia
1). Temuan pengawasan di lapangan yang mengarah kepada penegakan hukum, maka semua
data bersifat rahasia dan tidak dapat didiskusikan dengan usaha dan atau kegiatan;
2).
3).
Data rahasia harus disimpan dengan terpisah dan hanya petugas berwenang yang dapat
mengakses atau melihatnya;
4).
Pejabat pengawas harus menjaga agar seluruh data dari lapangan tidak diperlihatkan kepada
pihak lain yang tidak berkepentingan dan disimpan dengan baik serta tidak dapat
dipublikasikan.
8.
Pertemuan Penutup
Untuk mencapai pengawasan yang efektif, pejabat pengawas harus menyampaikan temuan lapangan
kepada wakil dari usaha dan atau kegiatan. Jika memungkinkan, bandingkan temuan tersebut dengan
persyaratan izin pembuangan limbah/emisi, ketentuan baku mutu lingkungan dan ketentuan lainnya.
Hal-hal yang harus dicegah dalam pembicaraan ini adalah:
1). Tidak mendiskusikan status penaatan lingkungan terhadap penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan, dampak yuridis atau dampak penegakan hukum terhadap usaha dan atau kegiatan;
2). Tidak merekomendasikan pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan, walaupun
diminta.
291
VII. EVALUASI
Sebelum membuat laporan pengawasan, Pejabat Pengawas harus melakukan pemeriksaan kembali data dan
fakta yang diperoleh di lapangan apakah sudah lengkap sesuai dengan pedoman umum pelaksanaan
pengawasan.
VII. PELAPORAN
Setelah melakukan pengawasan terhadap setiap usaha dan atau kegiatan, Pejabat Pengawas wajib segera
membuat dan menyampaikan laporan pengawasan kepada pejabat pemberi tugas. Laporan pengawasan
lingkungan hidup memuat informasi/data yang dikumpulkan dari hasil pengawasan yang dikelola dan diatur
sehingga dapat digunakan secara optimal dalam upaya penegakan hukum atau peningkatan kinerja pengelolaan.
Informasi yang disajikan dalam laporan pengawasan harus memperhatikan beberapa hal berikut:
a.
Disajikan secara jelas dan sistematis.
b.
Harus akurat, aktual dan faktual dan didasarkan pada hasil pengawasan lingkungan hidup serta merupakan
hasil yang dapat diverifikasi oleh pihak yang ahli.
c.
Harus difokuskan pada tujuan pengawasan, sedangkan data/informasi yang tidak berkaitan akan
membingungkan dan mengurangi kejelasan dan manfaat dari laporan tersebut.
d.
Bukan merupakan pendapat, pandangan dan asumsi-asumsi pribadi pejabat pengawas lingkungan hidup
yang bersangkutan.
e.
Harus didukung dengan data dan atau bukti akurat dan faktual.
f.
Dokumen pendukung seperti foto, berita acara, dokumen sampling dan sebagainya yang menyertai laporan
A.
FORMAT LAPORAN PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
LAPORAN
PENGAWASAN PENAATANLINGKUNGAN HIDUP
Secara umum laporan pengawasan penaatan lingkungan hidup terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
a.
Pendahuluan:
1). Latar Belakang:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi yang spesifik tentang latar belakang dilaksanakannya
pengawasan terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan ke dalam Laporan Pelaksanaan
Pengawasan Lingkungan Hidup.
b.
Kegiatan Lapangan:
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas selama melakukan pengawasan di lapangan.
c.
Fakta dan Temuan di Lapangan:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi tentang fakta dan temuan selama dilaksanakan pengawasan
lingkungan hidup dengan melampirkan data pendukungnya.
d.
Analisis Yuridis/Ketaatan:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi hasil analisis fakta dan temuan di lapangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
e.
Kesimpulan dan Saran Tindak Lanjut:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi yang singkat dan jelas tentang hasil pengawasan yang disertai
dengan usulan langkah tindak lebih lanjut.
f.
Lampiran:
(2).
Salinan Berita Acara:
a.
Setiap tahap kegiatan pengawasan;
b. Penolakan setiap tahap kegiatan pengawasan;
(3). Informasi Tambahan/Penunjang
a.
Informasi tambahan berupa memorandum rutin kegiatan pengawasan lingkungan hidup atau
laporan lainnya jika terdapat adanya indikasi ketidaktaatan.
b.
Dokumen penunjang seperti: foto, film, perizinan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, UKL/
UPL.
293
A.
FORMAT BERITA ACARA PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
BERITAACARA
PENGAWASAN PENAATANLINGKUNGAN HIDUP
1.
Nama : ........................................................................................................
Pangkat/Gol : ........................................................................................................
Jabatan : ........................................................................................................
No. PPLH : ........................................................................................................
2.
Nama : ........................................................................................................
Pangkat/Gol : ........................................................................................................
Jabatan : ........................................................................................................
No. PPLH : ........................................................................................................
3.
Nama : ........................................................................................................
Pangkat/Gol : ........................................................................................................
Jabatan : ........................................................................................................
No. PPLH : ........................................................................................................
Masing-masing dari Kantor .........................................., ....................................., dan................................., telah
melakukan
Pengawasan Lingkungan Hidup terhadap ....................................... melalui kegiatan sebagai berikut:
1. ...................................................................................................
2. ...................................................................................................
3.
dst.
Dari pengawasan tersebut di atas telah ditemukan fakta-fakta:
1. ....................................................................................................
2. ....................................................................................................
3.
dst.
Pelaksanaan dan temuan fakta-fakta pengawasan penaatan lingkungan hidup ini diketahui dan dibenarkan olehpihak
perusahaan:
1.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
2.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
1. ................................... ...............................
2. ................................... ...............................
3. ................................... ...............................
Pihak Perusahaan
1. ............................................................ .................................................................
2. ............................................................ .................................................................
3. ............................................................ .................................................................
Saksi-saksi
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
295
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Penolakan dilakukan dengan alasan:
1. .........................................................................................................................................
2. .........................................................................................................................................
3. .........................................................................................................................................
Demikian Pernyataan Penolakan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Tanda Tangan PPLH:
1. .........................................................................................................................................
2. .........................................................................................................................................
3. .........................................................................................................................................
Saksi-saksi
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
296
Pada hari ini,..................... tanggal .......................... bulan ...........................tahun ............., pukul ...............WIB,
di................................Kabupaten/Kota ..........................Propinsi ........................................., kami yang bertanda tangan
dibawah ini:
1.
Sampel yang diambil merupakan sampel Cair/Padat/Sludge/Gas*)
2.
Deskripsi Sampel:
No. Kode Sampel Jenis Sampel Metoda Sampling Lokasi Parameter Uji Keterangan
3.
Keterangan lain
Pengambilan Sampel disaksikan dan diketahui oleh pihak perusahaan:
1.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
2.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
3.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
Demikian Berita Acara Pengambilan Sampel pada lokasi ..............................................dan sekitarnya dibuat
dengansebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
1. ............................................................ .................................................................
2. ............................................................ .................................................................
3. ............................................................ .................................................................
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
297
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Penolakan dilakukan dengan alasan:
1. .........................................................................................................................................
2. .........................................................................................................................................
3. .........................................................................................................................................
Saksi-saksi
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
298
E. FORMATBERITA ACARAPENYERAHANSAMPEL
BERITAACARAPENYERAHAN SAMPEL
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Nama :
Pangkat/Gol:
No. PPLH :
Laboratorium:
masing-masing seberat .................(.................) gram/kilogram/ton/........*) dengan kode dan diskripsi sampel sebagai
berikut:
No. Kode Sampel Jenis Sampel Metoda Sampling Lokasi Parameter Uji Keterangan
1.
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3.
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
Demikian Berita Acara Penyerahan Sampel ini dibuat dengan sebenarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Yang menerima,
Yang menyerahkan,
(....................................)
(............................................)
299
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
3.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Masing-masing dari Kantor ........................., ...........................................dan ......................., telah melakukan
Pengambilan
Foto/Video di lokasi:
1. .........................................................................................................................................
2. .........................................................................................................................................
3. ..................................................................................................................................,dst.
Pengambilan Foto/Video disaksikan dan diketahui oleh pihak perusahaan:
1.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
2.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
3.
Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
Demikian BeritaAcara Pengambilan Foto/Video di lokasi ...........................................dan sekitarnya dibuat dengan
sebenarbenarnya
dan mengingat Sumpah Jabatan.
Yang mengambil Foto/Video:
1. ............................................................ .................................................................
2. ............................................................ .................................................................
3. ............................................................ .................................................................
Saksi-saksi
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Bertindak untuk dan atas nama ............................................menolak pelaksanaan pengambilan Foto/Video oleh Tim
Pengawas Lingkungan Hidup yang terdiri dari:
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Di lokasi:
1. .........................................................................................................................................
2. .........................................................................................................................................
3. .........................................................................................................................................
Penolakan dilakukan dengan alasan:
1. .........................................................................................................................................
2. .........................................................................................................................................
1. .........................................................................................................................................
2. .........................................................................................................................................
3. .........................................................................................................................................
Saksi-saksi
1.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3.
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
Menteri Negara Lingkungan Hidup
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
301
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 57 TAHUN 2002
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
b.
bahwa dalam Pasal 56A, Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup dialihkan ke Menteri Lingkungan Hidup
c.
bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Negara Lingkungan Hidup
tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Kementerian Negara Lingkungan
Hidup;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Lembaga Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699 );
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
4.
Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
5.
Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 2 Tahun 2002;
6.
Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri
Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002;
7.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah;
8.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Lingkungan Hidup.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSANMENTERINEGARALINGKUNGANHIDUPTENTANGPEDOMANTATA KERJA PEJABAT
PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1.
Pengawasan penaatan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung
oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan
BAB II
KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG
PEJABAT PENGAWAS
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 2
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup berkedudukan pada seluruh unit kerja Kementerian Lingkungan Hidup.
(2) Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup berada di bawah
koordinasi Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi.
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 3
Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mempunyai tugas untuk melakukan
pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Wewenang
Pasal 4
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup berwenang:
a.
memantau usaha dan atau kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
b.
meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang
dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau pengendalian kerusakan lingkungan hidup;
c.
membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan;
d.
memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
hidup;
e.
a.
usaha dan atau kegiatan yang lokasi dan dampak lingkungannya bersifat lintas propinsi;
b.
usaha dan atau kegiatan yang pengawasannya tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah propinsi;
c.
usaha dan atau kegiatan dan dampak lingkungan yang bersifat lintas batas negara;
d.
usaha dan atau kegiatan yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3);
e.
usaha dan atau kegiatan yang keputusan kelayakan lingkungannya diberikan oleh Komisi AMDAL Pusat;
f.
usaha dan atau kegiatan dan dampak lingkungannya berada di lingkungan laut di luar 12 mil;
BAB III
KEWAJIBAN
Pasal 6
Setiap Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib untuk:
a.
mengenakan tanda pengenal yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
b.
membawa dan menunjukkan surat penugasan pelaksanaan pengawasan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang;
c.
memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tempat pengawasan;
d.
mengikuti prosedur pengawasan yang diatur dalam pedoman umum dan pedoman teknis pelaksanaan
pengawasan lingkungan hidup;
e.
melakukan koordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangan lingkup wilayah kerja berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.
membuat berita acara pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup;
g.
membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Negara Lingkungan
Hidup melalui Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi.
303
Bagian Pertama
Tanda Pengenal
Pasal 7
(1) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(2) Masa berlakunya tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu tiga tahun, terhitung
mulai tanggal dikeluarkan;
(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang kembali sepanjang yang bersangkutan
masih menjadi pejabat pengawas lingkungan hidup di Kementerian Lingkungan Hidup;
(4) Perpanjangan tanda pengenal pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diajukan
selambatlambatnya
dalam waktu dua minggu sebelum berakhir masa berlakunya oleh Deputi Bidang Pengendalian
Dampak Lingkungan Sumber Institusi kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Bagian Kedua
Surat Penugasan
Pasal 8
(1) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup dikeluarkan oleh Deputi Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumber Institusi;
(2) Penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup di luar unit kerja Deputi Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumber Institusi, dilakukan setelah berkoordinasi dan memberitahukan pimpinan pejabat pengawas
lingkungan hidup yang bersangkutan;
(3) Format surat penugasan dan pemberitahuan adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.
BAB V
PELAKSANAAN
PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 9
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup dilantik oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(2) Pejabat pengawas lingkungan hidup yang telah dilantik wajib melaksanakan pengawasan lingkungan hidup
sesuai dengan kewenangan dan lingkup wilayah kerjanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 10
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup menetapkan prioritas pengawasan dengan mempertimbangkan:
a.
potensi dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan;
b.
kewenangan dan ruang lingkup wilayah kerja berdasakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.
kemampuan sumber daya kelembagaan yang meliputi sumber daya manusia, sumber pendanaan, sarana
(1) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) menunjukkan ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup, maka dilakukan pembinaan secara berkala dan terprogram untuk lebih meningkatkan kinerja pengendalian
dampak lingkungan.
(2) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) menunjukkan ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka pejabat pengawas mengusulkan
kepada pejabat yang memberikan penugasan untuk dilakukan pembinaan teknis agar tercapai ketaatan terhadap
peraturan di bidang lingkungan.
Pasal 12
(1) Apabila pembinaan teknis sebagaimana dimaksud Pasal 11 aya (2) tidak efektif dan dari 2 (dua) kali pengawasan
berikutnya menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup, dapat dilakukan
pengumpulan bahan keterangan dalam rangka penegakan hukum lingkungan.
(2) Hasil pengumpulan bahan keterangan dapat ditindaklanjuti dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
memberikan saran tindak kepada kepala badan/pimpinan instansi pemberi izin usaha atau kegiatan untuk
dikenakan sanksi pencabutan izin;
b.
memberikan saran tindak kepada Gubernur atau Bupati/Walikota setempat untuk melakukan paksaan
pemerintahan;
304
c. memberikan saran tindak penyelesaian secara perdata di pengadilan atau di luar pengadilan;
d.
memberikan saran tindak penyelesaian melalui penegakan hukum pidana.
Pasal 13
Pejabat pengawas lingkungan hidup wajib melakukan pengelolaan data hasil pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) secara baik dan terkoordinasi.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 14
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam menjalankan tugasnya wajib untuk menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan pengawasan kepada Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi untuk
diteruskan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.
(2) Hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib segera dilaporkan setelah
pelaksanaan pengawasan selesai dilakukan.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 15
Pasal 16
Pengembangan sumber daya manusia bagi pejabat pengawas lingkungan hidup dilakukan oleh Deputi Bidang
Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Deputi Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup, dan Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi melalui
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang terprogram, terencana dan terkoordinasi.
Pasal 17
Dalam rangka pembinaan karier pejabat pengawas lingkungan hidup dibentuk jabatan fungsional.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 18
Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber biaya lainnya yang sah.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
ttd
ttd
Nadjib Dahlan,SH.
305
SURAT PENUGASAN
Nomor : SP-..............................................
Mengingat : 1.
Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
2.
Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara;
3.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Daerah;
4.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 tentang Struktur dan Organisasi
Kementerian Negara Lingkungan Hidup;
MENUGASKAN
1.
Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
2.
Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
Untuk : 1. Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NC ..............atas
ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.
2.
Batas waktu penugasan dari tanggal .........................s/d tanggal........................
3.
Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan
hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan.
Dikeluarkan di : Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
1.
(.......................................) (.................................................)
2.
(.......................................)
306
SURAT PEMBERITAHUAN
Nomor : SP -......................................................
Menimbang :
bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan
di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.
Mengingat : 1.
Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
2.
Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
108 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara;
3.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah;
4.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 tentang Struktur dan
Organisasi Kementerian Negara Lingkungan Hidup;
MEMBERITAHUKAN
1.
Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
2.
Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
Untuk : 1.Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NV ...................
............atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
Dikeluarkan : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
(..................................................................)
ttd
ttd
Nadjib Dahlan,SH.
307
KEPUTUSAN
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 58 TAHUN 2002
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Daerah Propinsi/Kabupaten/
Kota;
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom ( Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
4.
Keputusan Presiden RI Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
5.
Keputusan Presiden RI Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002;
6.
Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 4 Tahun 2002;
7.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA KERJA PEJABAT
PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.
Pengawasan lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung
atau tidak langsung oleh pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota untuk mengetahui
tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang lingkungan hidup;
2.
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota adalah pegawai negeri sipil yang berada di
badan/instansi yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota yang telah memenuhi persyaratan
BAB II
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP
DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA
Bagian Pertama
Kedudukan
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/
Walikota melalui Kepala badan/instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota;
(2) Pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di unit kerja teknis operasional badan
instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 4
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan
terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Kewenangan Pejabat Pengawas
Paragraf I
Umum
Pasal 5
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/
kabupaten/kota mempunyai wewenang:
a.
memantau usaha dan atau kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
b.
meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang
dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
c.
membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan;
d.
Pasal 6
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, mempunyai lingkup wilayah kerja:
a.
lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam 1(satu)
propinsi;
b.
lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang penanganannya tidak atau belum dapat
dilaksanakan kabupaten/kota;
c.
lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang penanganannya dilimpahkan kepada Gubernur
selaku wakil pemerintah;
d.
usaha atau kegiatan yang keputusan kelayakan lingkungan hidup diberikan oleh Komisi AMDAL propinsi
Pasal 7
Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang tidak dapat dilakukan oleh pejabat pengawas
propinsi dapat diserahkan pengawasannya kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup yang didasarkan kepada
Keputusan Gubernur.
Paragraf 3
Kewenangan Pejabat Pengawas Kabupaten/Kota
Pasal 8
Pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota, melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak lingkungan hidup dalam lingkup kabupaten/kota yang
bersangkutan.
309
Pasal 9
Pelaksanaan kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang tidak dapat dilakukan oleh
pejabat pengawas lingkungan kabupaten/kota, dapat diserahkan pengawasannya kepada Gubernur berdasarkan
keputusan Bupati/Walikota.
Pasal 10
Setiap pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota dalam menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, wajib untuk:
a.
mengenakan tanda pengenal yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
b.
membawa dan menunjukkan surat penugasan pelaksanaan pengawasan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang;
c.
memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tempat pengawasan;
d.
mengikuti prosedur pengawasan yang diatur dalam pedoman umum dan pedoman teknis pelaksanaan
pengawasan lingkungan hidup;
e.
melakukan koordinasi dengan dinas/instansi terkait sesuai dengan kewenangan, lingkup wilayah kerja, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.
membuat berita acara pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup;
g.
membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada pejabat yang berwenang
mengeluarkan surat penugasan.
BAB IV
IDENTITAS PEJABAT PENGAWAS
Bagian Pertama
Tanda Pengenal
Pasal 11
(1) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi dikeluarkan oleh Kepala badan/instansi yang
bertanggung jawab di propinsi atas nama Gubernur;
(2) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota dikeluarkan oleh Kepala badan/Pimpinan
instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota atas nama Bupati/Walikota.
Pasal 12
(1) Masa berlakunya tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk jangka waktu tiga tahun,
terhitung mulai tanggal dikeluarkan.
(2) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang kembali sepanjang yang bersangkutan
masih menjadi pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota.
(3) Perpanjangan tanda pengenal pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diajukan selambatlambatnya
dalam waktu dua minggu sebelum berakhir masa berlakunya oleh Kepala badan/instansi yang
membawahkan pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota kepada Kepala badan/instansi
yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Surat Penugasan
(1) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi dikeluarkan oleh Kepala badan/instansi yang
bertanggung jawab propinsi atas nama Gubernur.
(2) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota dikeluarkan oleh Kepala badan/Pimpinan
instansi yang bertanggung jawab kabupaten/kota atas nama Bupati/Walikota.
Pasal 14
Format surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota sebagaimana tercantum
dalam lampiran keputusan ini.
BAB V
PELAKSANAAN
PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 15
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota yang telah dilantik melaksanakan pengawasan
sesuai dengan kewenangan dan lingkup wilayah kerja masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
310
Pasal 16
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota menetapkan prioritas pengawasan dengan
mempertimbangkan:
a.
potensi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan;
b.
kewenangan dan lingkup wilayah kerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.
kemampuan sumber daya kelembagaan yang meliputi sumber daya manusia, sumber pendanaan, sarana,
dan prasarana pendukung lainnya.
(2) Berdasarkan prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat pengawas lingkungan hidup
di propinsi/kabupaten/kota melakukan kegiatan pengawasan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
dipandang perlu untuk menentukan status ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Pasal 17
(1) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup, maka dilakukan pembinaan secara berkala dan terprogram untuk lebih meningkatkan kinerja pengendalian
dampak lingkungan oleh unit kerja yang bertanggung jawab.
(2) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a.
mengusulkan kepada pejabat yang memberi penugasan untuk memberikan peringatan dan atau teguran
berdasarkan kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 19
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan pengawasan kepada Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab daerah propinsi.
(2) Pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota dalam menjalankan tugasnya wajib untuk menyampaikan
laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di
kabupaten/kota.
(3) Laporan hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) segera dilaporkan
setelah selesai pelaksanaan pengawasan.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 20
(1) Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi secara administratif dilakukan oleh Gubernur dan
secara teknis dilakukan oleh Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di propinsi.
(2) Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota secara administratif dilakukan oleh Bupati/
Walikota dan secara teknis dilakukan oleh Kepala dan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/
kota.
Pasal 21
Pengembangan sumber daya manusia bagi pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota dilakukan
oleh Instansi Pendidikan dan Pelatihan di Propinsi/Kabupaten/Kota bekerja sama dengan Deputi Bidang Pembinaan
Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup melalui pelaksanaan dan pelatihan yang terprogram, terencana dan
terkoordinasi.
Pasal 22
Dalam rangka pembinaan karier pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota dapat dibentuk jabatan
fungsional.
311
BAB VIII
PEMBIAYAAN
a.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) propinsi dan sumber biaya lainnya untuk pejabat pengawas
lingkungan hidup daerah propinsi;
b.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan sumber biaya lainnya untuk pejabat
pengawas lingkungan hidup kabupaten.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM
ttd
312
SURAT PENUGASAN
Nomor : SP-................................................
Menimbang :
bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan
di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.
2.
Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
108 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara;
3.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
MENUGASKAN
1.
Nama : ............................................................................................................
No. PPLH : ............................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ............................................................................................................
2. Nama : ............................................................................................................
No. PPLH : ............................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ............................................................................................................
Untuk
: 1. Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NV...................atas
ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.
2.
Batas waktu penugasan dari tanggal ...............s/d tanggal............
3.
Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan
hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan.
Dikeluarkan di: ...........................................
Pada tanggal : ...........................................
1.
(........................................)
2.
(........................................)
3.
(........................................)
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
ttd
313
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARALINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 07 TAHUN 2001
TENTANG
MENTERINEGARALINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dipandang perlu menetapkan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang berwenang melakukan pengawasan penaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
b.
bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Daerah;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
4.
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEJABAT PENGAWAS
LINGKUNGAN HIDUP DAN PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.
Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui
tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
2.
Pejabat pengawas lingkungan hidup adalah pegawai negeri sipil yang berada pada Instansi yang bertanggung
jawab yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Menteri;
3.
Pejabat pengawas lingkungan hidup daerah adalah pegawai negeri sipil yang berada pada Instansi yang
bertanggung jawab daerah yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota;
4.
Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
5.
Sekretaris Menteri adalah Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup;
6.
Sekretaris Utama adalah Sekretaris Utama Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7.
Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
8.
Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
9.
Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
10. Instansi yang bertanggung jawab daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
dampak lingkungan hidup daerah atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan
hidup daerah.
BAB II
MEKANISME DAN PERSYARATAN PENGANGKATAN PEJABAT PENGAWAS
Pasal 2
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab diangkat oleh Menteri.
(2) Dalam pelaksanaan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Menteri mendelegasikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 3
1.
berpangkat serendah-rendahnya pengatur tingkat I (Golongan II/d);
2.
berpendidikan serendah-rendahnya Sarjana Muda (D3)
3.
ditugaskan di bidang teknis operasional pada instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung
jawab daerah;
4.
telah mengikuti kursus dasar-dasar AMDAL dan atau kursus dasar-dasar teknis pengelolaan lingkungan hidup;
5.
telah mengikuti pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan hidup;
6.
berbadan sehat dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Pasal 5
(1) Di dalam surat pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah wajib dicantumkan :
a.
nomor, tahun dan undang-undang yang menjadi dasar hukum pemberian kewenangan sebagai Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; dan
b.
wilayah kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang
diusulkan
(2) Surat pengusulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilampiri :
a.
pasfoto hitam putih dengan ukuran 3 x 4 sebanyak dua buah;
b.
fotocopy Surat Keputusan Pangkat terakhir;
c.
fotocopy ijazah terakhir dan sertifikat kursus dasar-dasar AMDAL dan atau kursus dasar-dasar teknis
pengelolaan lingkungan hidup;
d.
fotocopy sertifikat pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan hidup;
e.
surat keterangan dokter yang menyatakan pegawai negeri sipil yang bersangkutan berbadan sehat.
Pasal 6
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah melalui persyaratan tertentu
Pasal 7
Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi, Kepala Instansi
yang bertanggung jawab/Gubernur/Bupati/Walikota menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
Pasal 8
(1) Pegawai negeri sipil yang telah diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah diberikan tanda pengenal oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Gubernur/
Bupati/Walikota.
(2) Kartu tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwarna dasar hijau yang memuat :
a.
Nama;
b.
Nomor Induk Pegawai (NIP);
c.
Pangkat/Golongan;
d.
Nomor SK Pengangkatan;
e.
Jabatan;
f.
Masa Berlakunya;
g.
Pas foto hitam putih ukuran 3 x 4
Pasal 9
Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup Daerah sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengangkat sumpah/janji dan dilantik oleh pejabat yang
berwenang dari instansi yang bertanggung jawab dan pejabat yang berwenang dari instansi yang bertanggung
jawab daerah.
315
BAB III
MUTASI PEJABAT PENGAWAS
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi mutasi, baik mengenai jabatan maupun wilayah kerja :
a.
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, maka pimpinan yang membawahi Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup yang bersangkutan memberitahukan kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan;
b.
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Propinsi, maka Kepala Instansi yang bertanggung jawab
daerah Propinsi memberitahukan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan;
c.
Pasal 12
Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan huruf c dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan
Surat Keputusan Mutasi.
BAB IV
PEMBERHENTIAN PEJABAT PENGAWAS
Pasal 13
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab diberhentikan oleh
Menteri.
(2) Dalam pelaksanaan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Menteri mendelegasikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung
jawab.
Pasal 14
a.
berhenti sebagai pegawai sipil baik karena pensiun atau berhenti atas permintaan sendiri;
b.
atas permintaan sendiri untuk berhenti sebagai pejabat pengawas;
c.
melanggar disiplin kepegawaian;
d.
mutasi pada instansi lain;
e.
mutasi pada unit lain dalam lingkungan instansi atau di luar lingkungan instansi yang bertanggung jawab atau
instansi yang bertanggung jawab daerah sehingga bidang tugasnya menjadi tidak relevan lagi; atau
f.
meninggal dunia.
Pasal 16
Dalam hal terjadinya pemberhentian sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah, di dalam surat pengusulan pemberhentian wajib disertakan alasan-alasan
Pasal 17
Kepala Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya surat pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup menerbitkan
Surat Keputusan Pemberhentian.
Pasal 18
Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak diterimanya surat pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan
Surat Keputusan Pemberhentian.
316
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 19
Pembinaan, bimbingan, pelatihan, dan arahan serta pengawasan pelaksanaan tugas Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab
dan Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah.
Pasal 20
Koordinasi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sehari-harinya dilakukan oleh Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.
Pasal 21
Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah dan Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
PENUTUP
Pasal 22
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 8 Maret 2001
ttd
ttd
317
KEPUTUSAN
KEPALABADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR 27 TAHUN 2001
TENTANG
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana lingkungan berdasarkan
pasal 41-48 Undang-Undang No 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diperlukan
penyidikan yang terencana dan terpadu;
b.
bahwa Penyidik yang ada di Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan tersebar di beberapa unit
kerja, oleh karena itu pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat berhasil
apabila penyidikan dilakukan oleh satuan tugas penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup
secara terkoordinasi;
c.
bahwa berdasarkan hal tersebut diatas di pandang perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Satuan Tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Lingkungan Hidup di Bapedal;
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3910);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3816);
5.
Menetapkan :
KEPUTUSANKEPALA BADANPENGENDALIANDAMPAKLINGKUNGANTENTANGPEMBENTUKAN
SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) LINGKUNGAN HIDUP DI BAPEDAL.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1.
Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk
melakukan penyidikan;
2.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut PPNS Lingkungan Hidup adalah
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia
yang tugas dan fungsinya melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan ketentuan Pasal
40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3.
Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup adalah unit yang melaksanakan kegiatan penyidikan tindak pidana
lingkungan hidup yang anggotanya terdiri dari seluruh PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal;
4.
Sekretariat adalah unit pelayanan administrasi penanganan kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup di
Bapedal;
5.
Koordinator satuan tugas adalah penanggung jawab kegiatan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
318
Pasal 2
(1) Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal melaksanakan penyidikan dalam upaya penegakan hukum
tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan pasal 40 Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
(2) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan;
(3) Dalam Pelaksanaan Teknis Operasional, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal dipimpin oleh
Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kasus Lingkungan Hidup.
Pasal 4
Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup mempunyai Wilayah Kerja di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 5
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup secara
terkoordinasi dan berwenang untuk:
a.
Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dibidang
Lingkungan Hidup;
b.
Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau Badan Hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang
Lingkungan Hidup;
c.
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau Badan Hukum sehubungan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang Lingkungan Hidup;
d.
Melakukan pemeriksaan atas Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
Lingkungan Hidup;
e.
Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, Pembukuan, Catatan, dan
Dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Lingkungan Hidup;
f.
Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana Lingkungan Hidup;
(2) Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan
Hidup mempunyai fungsi:
a.
Menindak lanjuti laporan Pengaduan Kasus;
b.
Melakukan Pengumpulan bahan keterangan;
c.
Melaksanakan kegiatan penyidikan;
d.
Menyusun dan Menyerahkan Berkas Perkara.
Pasal 6
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dibentuk sesuai media lingkungan yang meliputi:
a.
Penanganan kasus pencemaran air dan kerusakan tata air.
b.
Penanganan kasus pencemaran udara;
c.
Penanganan kasus pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3);
d.
Penanganan kasus pencemaran dan/atau kerusakan tanah;
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terdiri dari anggota
PPNS Lingkungan Hidup yang mempunyai keahlian teknis sesuai dengan bidang masing-masing.
(2) Keahlian teknis yang dimaksud pada ayat (1) di atas, meliputi keahlian:
a.
pencemaran air dan tata air;
b.
pencemaran udara;
c.
pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
d.
pencemaran dan/atau kerusakan tanah;
e.
pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan lautan;
f.
pencemaran dan/atau kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan;
g.
kerusakan keanekaragaman hayati.
(3) Susunan keanggotaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal ditetapkan lebih lanjut oleh Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.
Pasal 8
(1) Untuk membantu pelaksanaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di bentuk Sekretariat yang bertugas
melaksanakan pelayanan kegiatan administrasi harian;
(2) Sekretariat seperti dimaksud pada ayat (1) di atas akan dibentuk dan berada dibawah Direktorat Penegakan
Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan.
319
Pasal 9
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dilengkapi dengan sarana pendukung;
(2) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Petunjuk Teknis.
Pasal 10
(1) Selain Surat Perintah Penyidikan (SPP) dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup
diberikan surat penugasan dari Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
atas nama Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, setiap PPNS Lingkungan Hidup wajib membawa Surat Perintah Penyidikan
(SPP), Surat Tugas, Tanda Pengenal yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sarana yang diperlukan.
Pasal 11
Tanda Pengenal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) memuat :
a. Nama lengkap
b. Nomor Induk Pegawai
(1) Untuk mendapatkan bukti permulaan di lapangan, PPNS Lingkungan Hidup melakukan pengambilan dan
pemeriksaan contoh limbah secara langsung;
(2) Untuk pengambilan dan pemeriksaan contoh limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Satuan Tugas
PPNS Lingkungan Hidup bekerjasama dengan personil laboratorium lingkungan;
(3) Untuk keperluan pemberkasan, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dapat meminta bantuan keterangan
ahli tentang kasus tindak pidana lingkungan hidup yang berkaitan.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal wajib bekerjasama dengan
PPNS Lingkungan Hidup di propinsi/kabupaten/kota dan instansi atau sektor terkait.
Pasal 14
Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup wajib memberikan laporan kepada Kepala
Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan sebagai berikut:
Pasal 16
Segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup ini
dibebankan kepada anggaran Bapedal.
Pasal 17
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Maret 2001
ttd
ttd
LAIN-LAIN LAIN-LAIN
321
TENTANG
Menimbang :
bahwa dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan, dipandang
perlu menyempurnakan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
Mengingat : 1.
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 3952);
4.
Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 101
TAHUN 2001 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI,
DAN TATAKERJA MENTERI NEGARA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara, diubah sebagai berikut:
1.
2.
Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 17
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Meneg LH menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan kebijakan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan;
b.
pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis,
dan evaluasi di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan;
c.
fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan;
d.
penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada
Presiden."
3.
Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Meneg LH mempunyai kewenangan:
a.
penetapan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;
b.
penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/
Kota di bidangnya;
c.
penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
d.
pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya;
e.
penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam dalam rangka pelestarian lingkungan;
f.
pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara di
bidangnya;
g.
penetapan standar pemberian izin oleh Daerah di bidangnya;
h.
penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidangnya;
i.
penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidangnya;
j.
penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan di bidangnya;
322
4.
Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 26
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Meneg PPN menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan kebijakan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional;
b.
pengkoordinasian kebijakan perencanaan pembangunan nasional semua sektor;
c.
pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis,
dan evaluasi di bidang perencanaan pembangunan nasional;
d.
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dilaksanakan bersama-sama
dengan Departemen Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
e.
penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada
Presiden."
5.
Di antara Pasal 56 dan Pasal 57 ditambahkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 56A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 56A
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka tugas, fungsi, kewenangan Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dialihkan ke Menteri
Negara Lingkungan Hidup."
Pasal II
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2002
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
323
KEPUTUSAN
KEPALA BADANPENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR 113 TAHUN 2000
TENTANG
Menimbang : a.
bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengendalian pencemaran lingkungan
hidup diperlukan dukungan laboratorium lingkungan yang memenuhi persyaratan;
b.
bahwa mengingat hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan tentang Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3434)
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815)
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
UMUM DAN PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM LINGKUNGAN.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.
Laboratorium lingkungan adalah laboratorium yang dapat berdiri sendiri sebagai satu institusi maupun merupakan
suatu bagian dan laboratorium yang mempunyai kemampuan dan kewenangan melaksanakan pengujian parameter
kualitas lingkungan (fisika/kimia/biologi);
2.
Pengujian parameter kualitas lingkungan adalah kegiatan yang meliputi pengambilan contoh uji termasuk analisis
di lapangan, penanganan, transportasi, penyimpanan, preparasi, dan analisis contoh uji;
Pasal 2
Dalam melaksanakan kegiatannya laboratorium lingkungan wajib :
a.
mempunyai kedudukan independen
b.
mempunyai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan
c.
memenuhi persyaratan teknis dan administratif
d.
menerapkan sistem mutu yang tepat yang sesuai dengan jenis, lingkup dan volume pekerjaan yang dilaksanakan;
Pasal 3
Sistem mutu laboratorium lingkungan wajib didokumentasikan dalam suatu Dokumen Sistem Mutu yang terdiri dan
Panduan Mutu, Prosedur Pelaksanaan, Instruksi Kerja dan Format.
Pasal 4
Prosedur pemberian izin operasional, rekomendasi, akreditasi dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan
tercantum dalam lampiran I dan lampiran II Keputusan ini.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Agustus 2000
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd
324
LampiranI
Keputusan: Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 113 Tahun 2000
Tentang : Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan
BAB I. PENDAHULUAN
1.
Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan data yang absah tentang parameter kualitas lingkungan.
Data yang diperoleh berasal dari proses pemantauan kualitas lingkungan.
2.
Salah satu unsur yang menentukan dalam proses pemantauan kualitas lingkungan adalah adanya laboratorium
lingkungan yang handal yang mampu menguji parameter kualitas lingkungan dan menyajikan hasil uji yang
absah dan tak terbantahkan .
3.
Sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 196/1998 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 18/1998, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan mempunyai tugas membina dan
mengawasi pengelolaan laboratorium lingkungan. Pembinaan, pengawasan dan pengelolaan tersebut mencakup
aspek-aspek teknis dan manajemen laboratorium lingkungan.
4.
Bapedal sebagai pembina dan pengawas laboratorium lingkungan menganggap perlu menerbitkan suatu
pedoman yang berisi kebijaksanaan umum tentang laboratorium lingkungan
BAB II. PROSEDUR PEMBERIAN IZIN OPERASIONAL /REKOMENDASI LABORATORIUM LINGKUNGAN
1.
Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium lingkungan, setiap laboratorium diharuskan memiliki
ijin tertulis dari Gubernur dan atau pejabat yang ditunjuk, kecuali laboratorium milik Pemerintah yang dibentuk
untuk kepentingan pelaksanaan program sektor yang bersangkutan
2.
Untuk mendapatkan ijin operasional dan rekomendasi laboratorium lingkungan, laboratorium pemohon harus
mengajukan permohonan tertulis (mengisi formulir tertentu, apabila tersedia) dengan melampirkan persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis tentang laboratorium lingkungan. Tata cara pengajuan izin dapat dilaksanakan
sebagai berikut :
a.
Permohonan izin operasional laboratorium lingkungan diajukan kepada gubernur dalam hal ini Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi. Setelah menerima permohonan tersebut Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan Pedoman tentang Persyaratan Teknis
Laboratorium Lingkungan.
b.
Atas dasar permohonan laboratorium lingkungan dan hasil pemeriksaan kelengkapan persyaratan teknis
dan administratif di daerah, Bapedalda propinsi membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Bapedal
dengan tembusan kepada Kepala Bapedal Regional agar laboratorium pemohon mendapat rekomendasi
sebagai laboratorium lingkungan.
c.
1.
Laboratorium yang telah mampu menguji parameter kualitas lingkungan tertentu dan dikuatkan dengan sertifikat
akreditasi oleh Badan Akreditasi yang diakui secara nasional maupun internasional. Laboratorium tersebut
telah dijamin kemampuan dan independensinya, oleh karena itu sertifikat atau laporan dari laboratoriumlaboratorium
tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Namun karena pengujian parameter kualitas lingkungan
juga melibatkan pekerjaan/kegiatan pengambilan contoh, maka hal yang berkaitan dengan pekerjaan ini perlu
diklarifikasi/pengesahan sesuai dengan peraturan/pedoman tentang pemantauan kualitas lingkungan yang
berlaku
2.
Laboratorium yang dinilai oleh Bapedal mempunyai kemampuan teknis menguji parameter kualitas lingkungan
tertentu, tetapi belum mendapat akreditasi. Laboratorium-laboratorium yang dimaksud pada butir 2 diberi
rekomendasi oleh Bapedal dengan memperhatikan pertimbangan khusus adalah sebagai berikut :
a.
laboratorium yang dikembangkan oleh Bapedal dengan bantuan peralatan melalui program OECF dan
AusAid, milik Departemen Kesehatan (BLK dan BTKL), Departemen Pekerjaan Umum (Laboratorium
Pengujian dan Peralatan Kanwil PU) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (BPPI).
b.
Laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis laboratorium lingkungan
3.
Laboratorium yang dinilai Bapedal dapat melaksanakan pengujian parameter kualitas lingkungan dengan syarat
melakukan korelasi dengan laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Bapedal.
Laboratorium tersebut adalah laboratorium yang dapat melaksanakan pengujian parameter tertentu dengan
menggunakan metoda/peralatan yang tidak termasuk dalam metoda standar, tetapi hasil pengujiannya secara
berkala/rutin dikorelasikan dengan laboratorium pada butir 1 dan 2. Hasil pengujian dari laboratorium ini dapat
dipakai untuk keperluan tertentu yang sifatnya intern dan tidak dapat dipakai untuk kepentingan umum. Contohnya
adalah laboratorium industri yang bersifat inhouse laboratory dan mobile laboratory.
325
a.
air permukaan
b.
air laut
c.
limbah cair
d.
limbah padat (sludge)
e.
udara ambien
1.
Pengakuan terhadap kemampuan dan kewenangan laboratorium lingkungan berkaitan dengan sistem akreditasi
yang berlaku di Indonesia, dilaksanakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) atau badan akreditasi lain
secara internasional.
2.
Pelaksanaan akreditasi mengacu pada Pedoman BSN-101 Tahun 1991 atau IS0/IEC Guide 25:1990/ISO17025:
2000 tentang Persyaratan Umum Kemampuan Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi.
3.
Laboratorium lingkungan yang telah mendapat akreditasi dengan sendirinya telah memiliki integritas yang
dapat dipertanggungjawabkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN)
326
BAB I. PENDAHULUAN
1.
Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan adanya data kualitas lingkungan yang dapat
dipercayakebenarannya. Data tersebut merupakan hasil kegiatan pemantauan kualitas lingkungan.
2.
Dalam kegiatan pemantauan kualitas lingkungan dilakukan pengukuran/pengujian parameter kualitas lingkungan.
Hasil pengukuran/pengujian tersebut harus absah dan tak terbantahkan agar dapat dipercaya kebenarannya.
3.
Pengukuran/pengujian dilaksanakan di/oleh laboratorium lingkungan, yang secara teknis harus mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka laboratorium lingkungan harus memenuhi persyaratan teknis tertentu.
4.
Persyaratan teknis yang dimaksud mencakup tentang sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih, peralatan
yang sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan, serta pengelolaan laboratorium yang dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB II. RUANG LINGKUP
1.
Pedoman ini memuat persyaratan teknis laboratorium lingkungan yang meliputi pokok bahasan tentang :
a.
Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan.
b.
Peralatan laboratorium lingkungan.
c.
Personalia dan organisasi laboratorium lingkungan.
d.
Keselamatan kerja laboratorium lingkungan.
a.
Badan Standardisasi Nasional, (1991), Pedoman BSN 101 -1991 :
Persyaratan Umum Kemampuan Laboratorium Penguji dan Kalibrasi, BSN Jakarta.
b.
Bapedal Development Technical Assistance Project (BDTAP) Loan, Regional Laboratory Development Planning,
Certification and Training Program.
c.
CAN/CSA-Z753-95, (1995) Requirements for the Competence of Environmental Laboratories, Environmental
Technology A National Standard of Canada, Canada.
d.
ISO/IEC 17025 (2000), General Requirements For The Competence of Testing And Calibration Laboratories,
National Association of Testing Authorities, Australia. ACN 004 379 748.
e.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
f.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
g.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
h.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
i.
Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang uji mutu parameter kualitas lingkungan.
j.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor
k.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak
BAB IV. SYARAT-SYARAT LABORATORIUM LINGKUNGAN
1.
Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan.
Pada waktu merencanakan pembangunan laboratorium, pemilik bangunan harus memberikan laporan tertulis
kepada perancang bangunan yang berisi informasi sebagai berikut :
a.
Jenis dan fungsi laboratorium;
b.
Penjelasan lengkap mengenai persyaratan bangunan, termasuk tata letak
c.
Laboratorium harus berada pada lokasi yang terpisah dalam suatu lingkungan yang menyediakan berbagai
fasilitas, pelayanan dan saluran pembuangan air kotor serta tidak berada pada lantai yang sama dengan
bagian lain yang berfungsi non-laboratorium.
Pertimbangan khusus yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keamanan personil laboratorium dan orang
lain yang ada di sekitarnya, adalah :
a.
Perlunya isolasi dan membersihkan bahan berbahaya di lingkungan kerja atau dengan cara lain untuk
mengurangi risiko;
b.
Keamanan personil dan perlindungan publik;
c.
Pengawasan jalan masuk, termasuk keamanan;
d.
Akses dan fasilitas untuk penanganan substansi yang berbahaya dan beracun;
e.
Akses dan fasilitas untuk penyelamatan dalam keadaan darurat;
f.
Tersedianya air untuk memadamkan kebakaran ;
g.
Tata letak perabotan (properti);
h.
Daerah yang aman untuk evakuasi bila terjadi keadaan darurat;
a.
Sistem penghawaan alami, yaitu laboratorium yang dilengkapi sistem penghawaan alami dimana :
1.
Ventilasi terbuka mempunyai luas minimal 10 % dari luas lantai dan letaknya bersilangan agar
perubahan udara yang memadai.
2.
Proses laboratorium dan instrumentasi tidak memerlukan kontrol temperatur dan kelembaban
yang wajib dipenuhi seperti dalam metoda AS / NZS 2982.1.
3.
Udara ventilasi yang tidak tersaring tidak akan dapat terdegradasi oleh proses laboratorium.
4.
Ventilasi alamiah tidak digunakan sebagai cara utama untuk pengenceran kontaminan atau kontrol.
5.
Ventilasi laboratorium terpisah dari ruangan non laboratorium. Partisi antar-laboratorium dan nonlaboratorium
1.
Komunikasi
Untuk memudahkan komunikasi internal laboratorium sebaiknya digunakan interkom yang jumlahnya
disesuaikan dengan jumlah ruangan, sedangkan komunikasi keluar digunakan telepon dan faksimile
minimal masing-masing satu buah serta dua buah komputer lengkap dengan printernya untuk pelaporan
dan sistem informasi laboratorium.
2.
Peralatan transportasi
Untuk mendukung pelaksanaan operasional laboratorium dan pengambilan contoh uji di lapangan,
laboratorium disarankan mempunyai satu buah sepeda motor dan mobil.
3.
Tata ruang
Pembagian ruang terdiri dari bagian administrasi, laboratorium dan bagian penunjang. Bagian
Jenis peralatan laboratorium dibedakan atas peralatan umum dan peralatan teknis :
1.
Peralatan umum, misalnya meja, kursi, lemari dan lain-lain. Jenis dan jumlah peralatan umum disesuaikan
dengan jumlah sumber daya manusia laboratorium, jenis kegiatan, jumlah beban kerja, ukuran dan jumlah
ruangan.
2.
Peralatan teknis jenis dan jumlah peralatan teknis ini disesuaikan dengan jenis analisis contoh uji, jumlah
beban kerja, metoda dan teknologi yang dipakai. Peralatan teknis terdiri dari :
a.
Peralatan lapangan
Peralatan lapangan digunakan untuk keperluan pengambilan contoh uji dan analisis di lapangan.
329
b.
Peralatan laboratorium
Peralatan laboratorium merupakan peralatan utama khususnya peralatan instrumentasi yang digunakan
untuk analisis di laboratorium.
c.
Peralatan penunjang
Peralatan ini sebagai sarana penunjang analisis di laboratorium.
Daftar peralatan yang sebaiknya dimiliki oleh laboratorium sesuai dengan jenis dan jumlah yang dibutuhkan
terdapat pada tabel 3.
3.
Reagen dan Bahan Acuan (Reference Material)
Pengelolaan reagen dan reference materials harus mempunyai sistem meliputi tata cara penerimaan, identifikasi,
pemisahan, pengemasan, pelabelan, penanganan, penyimpanan, dan pembuangannya.
Reagen dan reference materials harus disimpan sedemikian rupa sehingga integritas dan materialnya tetap
terjaga dan memperhatikan persyaratan yang diperlukan untuk pengemasan, kondisi lingkungan dan pemisahan
dan material yang tidak sesuai.
Reagen dan reference materials harus diberi label sesuai dengan ketentuan yang berlaku meliputi informasi
yang sesuai yaitu deskripsi, konsentrasi, kemurnian, dan tanggal kadaluarsa.
Laboratorium dalam menyiapkan reagen dan reference materials harus tepat dan dapat diverifikasi. Verifikasi
tersebut meliputi pengukuran kandungan spesifik atau karakteristiknya atau membandingkan dengan Certified
Reference Material (CRM).
Laboratorium harus mempunyai rekaman yang rinci mengenai reagen dan reference material yang memerlukan
verifikasi. Rekaman ini meliputi informasi mengenai :
a.
Pemasok, “grade” dan nomor “batch”.
b.
Tanggal preparasi atau verifikasi.
c.
Pengukuran berat, volume, tenggang waktu, temperatur, dan tekanan dan yang berhubungan dengan
penghitungan.
d.
1.
Untuk mencapai hasil yang baik di dalam tata laksana laboratorium, diperlukan suatu organisasi dan manajemen
dengan uraian yang jelas mengenai susunan, fungsi, tugas, dan tanggung jawab bagi para pelaksananya.
2.
Struktur organisasi laboratorium tergantung pada beban kerja laboratorium. Namun dalam mendukung
kelancaran pelaksanaan operasional maka laboratorium harus mempunyai jumlah sumber daya manusia
dengan kualifikasi yang memenuhi persyaratan serta pelatihan yang dibutuhkan sesuai dengan peranannya
pada laboratorium lingkungan. Contoh Struktur Organisasi laboratorium dapat dilihat pada diagram di bawah ini:
Kepala Laboratorium
Penanggung Penanggung Penanggung Penanggung Penanggung
jawab Sistem jawab jawab Teknis jawab Teknis jawab
Informasi & Sistem Mutu Laboratorium Laboratorium Administrasi
Dokumentasi Lingkungan Lainnya Umum
Penyelia/ Penyelia/
Pengawas Pengawas
Analis Pengambil Contoh Teknisi
Untuk menghasilkan data yang handal, laboratorium tidak hanya memerlukan bangunan dan peralatan yang
baik, tetapi juga memerlukan sumber daya manusia yang memenuhi persyaratan sebagai pelaksana di
laboratorium lingkungan tersebut. Untuk itu dibutuhkan adanya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia di laboratorium lingkungan.
3.
Pada tabel 2 bisa dilihat persyaratan sumber daya manusia laboratorium lingkungan yang harus dipenuhi dan
pelatihan yang dibutuhkan.
330
1.
Kesehatan dan keselamatan kerja di laboratorium yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
a.
Safety shower
Minimal tersedia satu safety shower dan fasilitas pencuci mata/muka di setiap laboratorium yang menggunakan
bahan berbahaya, atau di laboratorium mikrobiologi. Penggunaan safety shower tidak boleh diganti dengan
slang/pipa yang dapat digerakkan dengan tangan.
Safety shower dan eyewash harus dapat beroperasi dan mempunyai aliran air yang konstan tanpa memerlukan
operator. Letak safety shower tidak lebih dari 10 meter dari setiap titik di laboratorium. Safety shower, dan
eyewash harus memenuhi standar ANSI Z358.1.
b.
Bak cuci tangan
Laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya dan semua area kerja laboratorium biologi harus
mempunyai bak cuci tangan. Lokasi harus terletak pada pintu masuk utama ke laboratorium.
c.
Pengumuman Keselamatan
Pengumuman keselamatan terdiri dari :
1.
Data hasil analisis laboratorium dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara hukum apabila
1.
Pengelolaan limbah laboratorium dapat dilakukan di lokasi laboratorium (on site laboratory) dan dibawa ke
tempat pengolahan limbah. Sebelum dilakukan pengelolaan limbah, maka limbah laboratorium harus dipisahkan
dalam kategori berbahaya dan beracun dan tidak berbahaya dan beracun.
Hal ini untuk memudahkan dalam menentukan prosedur pengelolaan limbah yang perlu dilakukan.
2.
Dalam pengelolaan limbah laboratorium diperlukan langkah-langkah penanganan limbah laboratorium yaitu :
a.
Penanggung jawab : kepala laboratorium bertanggung jawab atas seluruh penanganan limbah dimulai dan
pengumpulan, penyimpanan dan pembuangannya sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
b.
Pengumpulan: pengumpulan limbah adalah bagian terpenting yang harus dilakukan agar bahaya terhadap
personil laboratorium dan lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam pengumpulan limbah,
perlu dilakukan identifikasi, pemisahan dan penyimpanan dalam wadah yang sesuai dengan jenis limbahnya
dan diberi label.
c.
Pemisahan : limbah laboratorium harus dipisahkan dalam beberapa kategori yaitu : kertas, pecahan gelas,
benda tajam (syringe, scalpel), limbah kimia, limbah biologi, dan radioaktif. Pemisahan atas limbah bahan
berbahaya dan beracun dilakukan dengan mengacu Peraturan Pemerintah No. 18/1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Peraturan Pemerintah No. 85/1999 tentang Perubahan PP.
No 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya.
d.
Penyimpanan : lokasi penyimpanan harus disediakan untuk penyimpanan limbah sebelum dibuang. Perlu
ditunjuk orang yang bertanggung jawab mengawasi keamanan tempat penyimpanan limbah, menyiapkan
alat pengaman dan absorben material untuk mencegah efek yang timbul dari limbah yang disimpan (mudah
1.
Semua pengukuran yang berperanan dalam keakuratan data hasil pengujian yang bisa digunakan secara
langsung atau tidak langsung harus didasarkan pada bahan acuan, material referensi atau bahan acuan standar
atau material standar lain yang punya kemampuan dalam penelusuran.
2.
Laboratorium harus memelihara sertifikat dan semua material standar, alat ukur, atau bahan acuan standar
yang mampu telusur. Sebagai contoh untuk bahan acuan dan alat ukur meliputi berat standar, alat volumetrik
yang terspesifikasi dan thermometer.
3.
Apabila mampu telusur ke standar nasional tidak dapat digunakan laboratorium harus memberikan bukti yang
memuaskan dan korelasi hasil, hal ini diakui dengan mengikuti uji banding atau uji profisiensi antar laboratorium.
4.
Bahan acuan hanya digunakan untuk kalibrasi dan tidak untuk tujuan lain.
5.
Bahan acuan harus dikalibrasi oleh suatu badan yang mempunyai alat/bahan yang mampu telusur ke standar
nasional atau internasional
6.
Material standar haruslah mampu telusur ke alat pengukuran standar nasional atau intenasional,
7.
Material referensi termasuk standar kalibrasi yang digunakan dalam pengukuran pada pengujian kimia harus
dipersiapkan supaya pada batas pengukuran matriknya sama atau equivalen pada contoh tersebut.
Matriks, sebelum ditambah analit, konsentrasinya tidak bisa dideteksi. Reagen yang digunakan dalam persiapan
atau material referensi termasuk standar kalibrasi harus disertai kemurniannya.
8.
Semua peralatan pengukuran dan peralatan pengujian yang mempunyai pengaruh terhadap akurasi atau validasi
pengujian harus dikalibrasi dan atau diverifikasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk stabilitas standar
pengawasan. Standar pengawasan yang digunakan untuk verifikasi akurasi harus disusun terpisah dan standar
kalibrasi yang dipakai untuk menyusun kalibrasi original.
9.
Prosedur kalibrasi dan pengukuran yang disediakan harus mencakup satu atau lebih dari gambaran berikut ini:
a.
menggunakan blanko reagen untuk membuat baseline yang dipakai dalam kalibrasi.
b.
menggunakan blanko metoda untuk mengatur respon analit yang dihasilkan dari pengujian contoh uji.
10. Dokumentasi prosedur yang cukup rinci untuk meyakinkan bahwa kalibrasi dilakukan dengan akurasi yang
dapat ulang (repeatable), dan harus digunakan untuk seluruh kegiatan kalibrasi.
11. Laboratorium wajib menjamin mutu hasil yang diberikan setelah diperiksa lebih dahulu. Pemeriksaan ini wajib
dikaji kembali setidak-tidaknya harus mencakup :
a.
Sistem pengendalian mutu internal dengan menggunakan metoda statistik
b.
Partisipasi dalam uji profisiensi atau uji banding antar laboratorium.
c.
Penggunaan bahan pembanding secara teratur dan/atau pengendalian mutu melekat (inhouse quality control)
dengan menggunakan bahan pembanding sekunder.
d.
Pengujian ulang menggunakan metode yang sama atau berbeda.
e.
1.
Laboratorium harus mempunyai sistem dokumentasi untuk penerimaan, identifikasi, pengepakan, pelabelan,
penanganan, penyimpanan dan pembuangan contoh uji.
332
2.
Sistem dokumentasi ini juga diperlukan untuk identifikasi khusus contoh uji agar tidak ada kesalahan dalam hal
identifikasi contoh uji, oleh karena itu dalam berlabel harus disebutkan identifikasi khusus yang sesuai dengan
persyaratan hukum yang berlaku.
3.
Laboratorium harus mendokumentasikan prosedur untuk penerimaan, referensi dan pengamanan contoh uji.
Semua prosedur itu harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau sesuai perjanjian kontrak.
Pada saat penerimaan contoh uji, kondisi contoh uji termasuk setiap abnormalitas atau penyimpangan kondisi
contoh uji terhadap kondisi standar harus dicatat, yaitu :
a.
Kondisi contoh uji bisa mencakup atau berhubungan dengan kerusakan kuantitas, preparasi, pengepakan,
temperatur pada waktu datang contoh dan lamanya waktu setelah pengambilan contoh uji.
b.
preparasi meliputi penambahan bahan kimia pengawet, mengatur kelembaban, pemisahan contoh uji untuk
diujikan, homogenisasi atau subsampling.
5.
Apabila ada keraguan terhadap keberadaan contoh uji untuk diuji, dimana contoh uji tidak sesuai terhadap
deskripsinya, atau uji yang diminta tidak spesifik, maka laboratorium harus mengkonsultasikan kepada pelanggan
untuk mendapat instruksi lebih lanjut sebelum dilakukan pengujian.
6.
Laboratorium harus punya prosedur dokumentasi dan fasilitas untuk menghindari deteorisasi atau kerusakan
contoh selama penyimpanan, penanganan, preparasi dan pengujian. Persyaratan yang diperlukan untuk
pegepakan kondisi lingkungan dan pemisahan dari bahan-bahan lain yang tidak sesuai harus diperhatikan.
Contoh harus disimpan dalam kondisi lingkungan yang khusus, dimana kondisi contoh uji harus dijaga, dimonitor
dan dicatat apabila diperlukan.
7.
Untuk melindungi kondisi dan integritas contoh uji atau juga untuk alasan pencatatan, pengamanan, kesahihan
data hasil uji dan untuk pegujian lebih lanjut, maka laboratorium harus mampu menjamin keamanan contoh uji
tersebut. Waktu penyimpanan contoh uji tidak boleh melebihi penyimpanan dalam metoda pengujian.
8.
Pengaruh yang berkelanjutan dari pengujian contoh uji ini harus dijaga untuk keperluan forensik dalam upaya
pembuktian kasus hukum atau untuk tujuan lain, sehingga laboratorium harus menyusun dan
mendokumentasikan sistem “chain of custody” yang sesuai.
Tabel 1 : Pembagian Ruang Laboratorium Lingkungan
333
ttd.
ttd.
334
Tabel 2 : Persyaratan Sumber Daya Manusia Laboratorium Lingkungan dan Pelatihan yang dibutuhkan
335
338
339
340
341
342