Anda di halaman 1dari 342

1

AIR
2
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi
kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga
merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan;
b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan
mendatang serta keseimbangan ekologis;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Ketiga Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN
PENCEMARAN AIR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil;
2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah termasuk dalam pengertian
ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara;
3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai
peruntukan - peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya;
4. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan
kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air;
5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda
tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu;
7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air;
8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfaatan atau penggunaan air,
pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan atau fungsi ekologis;
9. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus
ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air;
10. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu
sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan;
11. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke
dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah;
13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan
beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
14. Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair;
15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu
usaha dan atau kegiatan;
3
16. Pemerintah adalah Presiden beserta para Menteri dan Ketua/Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen;
17. Orang adalah perseorangan, dan atau kelompok orang dan atau badan hukum;
18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan;
Pasal 2
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan
ekosistem;
(2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai dengan peruntukannya
agar tetap dalam kondisi alamiahnya.
(2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui
upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air.
(3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada:
a. sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
c. akuifer air tanah dalam.
(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB II
PENGELOLAAN KUALITAS AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 5
(1) Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat
menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Bagia Kedua
Pendayagunaan Air
Pasal 7
(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana pendayagunaan air.
(2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan fungsi
ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat.
(3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi potensi pemanfaatan atau
penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas dan atau fungsi
ekologis.
Bagian Ketiga
Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air
Pasal 8
(1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas:
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air
untuk mengairi tanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut;
4
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 9
(1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada:
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah
negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah
Propinsi.
c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
(2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan berdasarkan hasil pengkajian yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan
wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pengkajian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a;
(4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri.
Bagian Keempat
Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air,
Dan Status Mutu Air
Pasal 10
Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan 9.
Pasal 11
(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan atau penambahan parameter pada air yang
lintas batas Propinsi dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah kewenangan
Pemerintah.
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan
memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
Pasal 12
(1) Pemerintah Daerah Propinsi dapat menetapkan:
a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1); dan atau
b. tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.
(3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan parameter baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 13
(1) Pemantauan kualitas air pada:
a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah Kabupaten/Kota dalam satu propinsi dikoordinasikan
oleh Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota;
c. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah propinsi dan atau sumber air yang merupakan lintas
batas negara kewenangan pemantauannya berada pada pemerintah.
(2) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pemantauan kualitas
air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
(3) Pemantauan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
sekali.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Menteri.
(5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 14
(1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan:
a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air;
b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air.
(2) Ketentuan mengenai tindakan cemar dan tingkatan baik status mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan pedoman penentuan status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
5
Pasal 15
(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran
dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahankan dan meningkatkan kualitas air.
Pasal 16
(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air dan
mutu air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air.
(2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu
air dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air limbah dari dua atau lebih laboratorium maka
dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
(2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan menggunakan
laboratorium rujukan nasional.
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 18
(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas propinsi dan atau lintas
batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang berada pada
Kabupaten/Kota.
Pasal 19
Pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (1) dapat
menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 20
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing
dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang:
a. menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b. melakukan inventarisasi sumber pencemaran;
c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air;
e. memantau kualitas air pada sumber air; dan
f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.
Pasal 21
(1) Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan
dari instansi terkait.
(2) Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih
ketat dari baku mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 huruf b, yang
dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri secara berkala
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
Pasal 22
Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Menteri menetapkan kebijakan
nasional pengendalian pencemaran air.
Pasal 23
(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air.
(2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
(3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:
a. pemberian izin lokasi;
b. pengelolaan air dan sumber air;
c. penetapan rencana tata ruang;
6
d. pemberian izin pembuangan air limbah;
e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air.
(4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan Menteri.
Bagian Kedua
Retribusi Pembuangan Air Limbah
Pasal 24
(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dikenakan retribusi.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Penanggulangan Darurat
Pasal 25
Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat
dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pasal 26
Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 27
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran air, wajib melaporkan kepada Pejabat
yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat:
a. tanggal pelaporan;
b. waktu dan tempat;
c. peristiwa yang terjadi;
d. sumber penyebab;
e. perkiraan dampak
(3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada
Bupati/Walikota/Menteri.
(4) Bupati/Walikota/Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib segera melakukan verifikasi untuk
mengetahui tentang kebenaran terjadinya pelanggaran terhadap pengelolaan kualitas air dan atau terjadinya
pencemaran air.
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadinya pelanggaran,
maka Bupati/Walikota/Menteri wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk
menanggulangi pelanggaran dan atau pencemaran air serta dampaknya.
Pasal 28
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5) Bupati/Walikota/Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk
melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 29
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan
pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib menyampaikan laporannya kepada Bupati/Walikota/Menteri.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak
Pasal 30
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan
pengendalian kualitas air serta pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 31
Setiap orang wajib:
a. Melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
b. Mengendalikan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 32
Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat
mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 34
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan
izin aplikasi air limbah pada tanah.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan
izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sekurang-kurangnya sekali
dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri.
BAB VI
PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN
PEMBUANGAN AIR LIMBAH
Bagian Pertama
Pemanfaatan Air Limbah
Pasal 35
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib
mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
(3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 36
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya:
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin
kepada Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3);
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pemanfaatan
air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah layak lingkungan, maka Bupati/Walikota menerbitkan izin
pemanfaatan air limbah.
(6) Penerbitan izin pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin.
(7) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Pembuangan Air Limbah
Pasal 37
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib
mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air.
Pasal 38
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib
menaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin.
8
(2) Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan:
a. kewajiban untuk mengolah limbah;
b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan;
c. persyaratan cara pembuangan air limbah;
d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat;
e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah;
f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan wajib
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan;
g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau melepaskan dadakan;
h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dan upaya penaatan batas kadar yang dipersyaratkan;
i. kewajiban melakukan suatu swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau.
(3) Dalam penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radio
aktif, Bupati/Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang tenaga atom.
Pasal 39
(1) Bupati/Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (2) didasarkan pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air.
(2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum dapat ditentukan,
maka batas mutu air limbah yang diizinkan ditetapkan berdasarkan baku mutu air limbah nasional sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 ayat (1).
Pasal 40
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis
dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pasal 41
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya:
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin
kepada Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pembuangan
air limbah ke air atau sumber air layak lingkungan, maka Bupati/Walikota menerbitkan izin pembuangan air
limbah.
(6) Penerbitan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin.
(7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuangan air limbah ditetapkan oleh Bupati/Walikota
dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan Menteri.
(8) Pedoman kajian pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 42
Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan atau sumber air.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 43
(1) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan untuk meningkatkan
ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup.
b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif.
(3) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan upaya pengelolaan dan atau
pembinaan pengelolaan air limbah rumah tangga.
9
(4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dengan membangun sarana dan prasarana pengelolaan
limbah rumah tangga terpadu.
(5) Pembangunan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja
sama dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 44
(1) Bupati/Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2).
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan
daerah.
Pasal 45
Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang
tercantum dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Pasal 46
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(2) dan Pasal 45 berwenang:
a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan, perekaman audio visual, dan pengukuran;
b. meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepentingan, karyawan yang bersangkutan, konsultan,
kontraktor, dan perangkat pemerintahan setempat.
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan, antara lain dokumen perizinan,
dokumen AMDAL, UKL, UPL data hasil swapantau, dokumen surat keputusan organisasi perusahaan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang dibuang, bahan baku, dan bahan penolong;
f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi, utilitas, dan instalasi pengolahan limbah;
g. memeriksa instalasi, dan atau alat transportasi;
h. serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan.
(2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi pembuatan denah,
sketsa, gambar, peta, dan atau deskripsi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pengawasan.
Pasal 47
Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlihatkan surat tugas dan atau tanda pengenal.
BAB VIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administrasi
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 42, Bupati/Walikota berwenang menjatuhkan
sanksi administrasi.
Pasal 49
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 25, Bupati/Walikota/Menteri
berwenang menerapkan paksaan pemerintahan atau uang paksa.
Bagian Kedua
Ganti Kerugian
Pasal 50
(1) Setiap perbuatan melanggar ketentuan berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
10
Bagian Ketiga
Sanksi Pidana
Pasal 51
Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, dan Pasal 42,
yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Baku mutu air limbah untuk jenis usaha dan atau kegiatan tertentu yang telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 53
(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk aplikasi pada tanah, maka dalam jangka
waktu satu tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memiliki izin pemanfaatan air limbah
pada tanah dari Bupati/Walikota.
(2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi yang belum memiliki izin pembuangan air limbah ke air
atau sumber air, maka dalam jangka waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib
memperoleh izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air dari Bupati/Walikota.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan
selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 55
Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan pasal 12 ayat (1) belum atau
tidak ditetapkan, berlaku kriteria mutu air untuk Kelas II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah
ini sebagai baku mutu air.
Pasal 56
(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku
mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
(2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air dalam Peraturan
Pemerintah ini, maka baku mutu air sebelumnya tetap berlaku.
Pasal 57
(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu air limbahnya, maka baku mutu air limbah
yang berlaku di daerah tersebut dapat ditetapkan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Propinsi.
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 59
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3409) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 60
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan perundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
11
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 Desember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 153
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
ttd
Lambock V. Nahattands
12
PARAMETER
FISIKA
Temperatur
Residu Terlarut
Residu Tersuspensi
KIMIA ORGANIK
pH
BOD
COD
DO
Total fosfat sbg P
NO
3
sebagai N
NH
3
-N
Ar sen
Kobalt
Barium
Boron
Selenium
Kadmium
Khrom (VI)
Tembaga
Besi
Timbal
FISIKA
Mangan
Air Raksa
Seng
Khlorida
Sianida
Fluorida
Nitrit sebagai N
Sul fat
Khlorin bebas
Belerang sebagai H
2
S
MIKROBIOLOGI
- Fecal coliform
- Total coliform
RADIOAKTIVITAS
- Gross-A
- Gross-B
KIMIA ORGANIK
Minyak dan lemak
Detergen sebagai
MBAS
Senyawa Fenol
sebagai fenol
BHC
Aldrin/Dieldrin
Chlordane
DDT
FISIKA
Heptachlor dan
heptachlor epoxide
Li ndane
Methoxychl or
Endrin
Toxaphan
SATUAN
0
C
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L 0,05
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
Jml/100 ml
Jml/100 ml
Bq/L
Bq/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
ug/L
KELAS
I
Deviasi 3
1000
50
6 9
2
10
6
0, 2
10
0, 5
1
0, 2
1
1
0,01
0,01
0,05
0,02
0, 3
0,03
0, 1
0,001
0,05
600
0,02
0, 5
0,06
400
0,03
0,002
100
1000
0, 1
1
1000
200
1
210
17
3
2
18
56
35
1
5
II
Deviasi 3
1000
50
6 9
3
25
4
0, 2
10
( - )
1
0, 2
( - )
1
0,05
0,01
0,05
0,02
( - )
0,03
( - )
0,002
0,05
( - )
0,02
1, 5
0,06
( - )
0,03
0,002
1000
5000
0, 1
1
1000
200
1
210
( - )
( - )
2
( - )
( - )
( - )
4
( - )
III
Deviasi 3
1000
400
6 9
6
50
3
1
20
( - )
1
0, 2
( - )
1
0,05
0,01
0,05
0,02
( - )
0,03
( - )
0,002
0,05
( - )
0,02
1, 5
0,06
( - )
0,03
0,002
2000
10000
0, 1
1
1000
200
1
210
( - )
( - )
2
( - )
( - )
( - )
4
( - )
I V
Deviasi 5
2000
400
5 9
12
100
0
5
20
( - )
( - )
0, 2
( - )
1
0,05
0,01
1
0, 2
( - )
1
( - )
0,005
2
( - )
( - )
( - )
( - )
( - )
( - )
( - )
2000
10000
0, 1
1
( - )
( - )
( - )
( - )
( - )
( - )
2
( - )
( - )
( - )
( - )
( - )
KETERANGAN
Deviasi temperatur dari alamiahnya
Bagi pengolahan air minum secara konvensional,
residu tersuspensi < 5000 mg/L
Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut,
maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah
Angka batas minimum
Bagi Perikanan,kandungan amonia bebas untuk ikan
yang peka < 0,02 mg/L sebagai NH
3
Bagi pengolahan air minum secara konvensional,Cu < 1 mg/L
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe < 5 mg/L
Bagi pengolahan air minum secara konvensional,Pb < 0,1 mg/L
Bagi pengolahan air minum secara konvensional,Zn < 5 mg/L
Bagi pengolahan air minum secara konvensional,NO
2
-N < 1 mg/L
Bagi ABAM tidak dipersyaratkan
Bagi pengolahan air minum secara konvensional,S
sebagai H
2
S < 0,1 mg/L
Bagi pengolahann air minum secara konvensional, fecal coliform <
2000 jml/100 mL dan Total coliform < 10000 jml/100 mL
LAMPIRAN : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 82 TAHUN 2001
TANGGAL : 14 Desember 2001
TENTANG : PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas
13
Keterangan :
mg = milligram
ug = microgram
ml = milliliter
L = Liter
Bq = Bequerel
MBAS = Methyne Blue Active Substance
ABAM = Air Baku untuk Air Minum
Logam berat merupakan logam terlarut.
Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO.
Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum.
Nilai DO merupakan batas minimum.
Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termaksud, parameter tersebut tidak dipersyaratkan.
Tanda < adalah lebih kecil atau sama dengan
Tanda < adalah lebih kecil
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
ttd
Lambock V. Nahattands
14
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
UMUM
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat
tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan
tingkat mutu air yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air
merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiahnya.
Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas
air pada sumber air di luar hutan lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya
memelihara fungsi air sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air.
Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang
kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi
kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan
menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada
akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion).
Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat penting maka harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus
dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu
air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan bermanfaat bagi
kehidupan dan perikehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna
menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia memerlukan air
yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran
yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya. Agar air
dapat bermanfaat secara lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan
perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di samping nilai ekologik, dan sosial budaya.
Upaya pemulihan kondisi air yang cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila
dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang menyebabkan pencemarannya. Demikian pula
bila kondisi air yang cemar dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air yang cemar
akan menimbulkan biaya untuk menanggulangi akibat dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang
cemar.
Berdasarkan definisinya, Pencemaran air yang diindikasikan dengan turunnya kualitas air sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat tertentu
tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah
terjadinya pencemaran air, juga merupakan arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau dipertahankan
oleh setiap program kerja pengendalian pencemaran air.
Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (designated beneficial water uses) , juga didasarkan
pada kondisi nyata kualitas air yang mungkin berada antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu,
penetapan baku mutu air dengan pendekatan golongan peruntukkan perlu disesuaikan dengan menerapkan
pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas air). Penetapan baku mutu air yang didasarkan pada peruntukan semata
akan menghadapi kesulitan serta tidak realistis dan sulit dicapai pada air yang kondisi nyata kualitasnya tidak layak
untuk semua golongan peruntukan.
15
Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan kondisi airnya, akan dapat dihitung
berapa beban zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat tetap berfungsi
sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan daya tampung beban pencemaran bagi air
penerima yang telah ditetapkan peruntukannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air dianggap tidak memadai lagi,
karena secara substansial tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana dikandung dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada dan atau mengalir melintasi batas
wilayah administrasi pemerintahan, maka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
tidak hanya dapat dilakukan sendiri-sendiri (partial) oleh satu pemerintah daerah. Dengan demikian
harus dilakukan secara terpadu antar wilayah administrasi dan didasarkan pada karakter ekosistemnya
sehingga dapat tercapai pengelolaan yang efisien dan efektif.
Keterpaduan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ini dilakukan melalui upaya
koordinasi antar pemerintah daerah yang berada dalam satu kesatuan ekosistem air dan atau satu
kesatuan pengelolaan sumber daya air antara lain daerah aliran sungai (DAS) dan daerah pengaliran
sungai (DPS). Kerja sama antar daerah dapat dilakukan melalui badan kerja sama antar daerah.
Dalam koordinasi dan kerja sama tersebut termasuk dengan instansi terkait, baik menyangkut rencana
pemanfaatan air, pemantauan kualitas air, penetapan baku mutu air, penetapan daya tampung,
penetapan mekanisme perizinan pembuangan air limbah, pembinaan dan pengawasan penaatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk memelihara kualitas air untuk tujuan melestarikan fungsi
air, dengan melestarikan (conservation) atau mengendalikan (control). Pelestarian kualitas air
dimaksudkan untuk memelihara kondisi kualitas air sebagaimana kondisi alamiahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kondisi alamiah air pada sumber air dalam hutan lindung, mata air dan akuifer air tanah dalam secara
umum kualitasnya sangat baik. Air pada sumber-sumber air tersebut juga akan sulit dipulihkan
kualitasnya apabila tercemar, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk pemulihannya. Oleh karena itu
harus dipelihara kualitasnya sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air kualitas airnya perlu
dilestarikan sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata air di dalam maupun di luar hutan lindung.
Air di bawah permukaan tanah berada di wadah atau tempat yang disebut akuifer.
Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada di antara dua lapisan batuan geologis tertentu,
yang menerima resapan air dari bagian hulunya.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
16
Ayat (4)
Upaya pengendalian pencemaran air antara lain dilakukan dengan membatasi beban pencemaran
yang ditenggang masuknya ke dalam air sebatas tidak akan menyebabkan air menjadi cemar (sebatas
masih memenuhi baku mutu air).
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Rencana pendayagunaan air meliputi penggunaan untuk pemanfaatan sekarang dan masa yang
akan datang. Rencana pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu air dan
mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui arah program pengelolaan kualitas air.
Ayat (2)
Air pada lingkungan masyarakat setempat dapat mempunyai fungsi dan nilai yang tinggi dari aspek
sosial budaya. Misalnya air untuk keperluan ritual dan kultural.
Ayat (3)
Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air yang digunakan sekarang ini ( existing uses) dan potensi
air sebagai cadangan untuk pemanfaatan di masa mendatang ( future uses).
Pasal 8
Ayat (1)
Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan
kegunaannya. Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan tingkatan yang terbaik. Secara relatif, tingkatan
mutu air Kelas Satu lebih baik dari Kelas Dua, dan selanjutnya.
Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan kemungkinan kegunaannya bagi suatu
peruntukan air (designated beneficial water uses).
Air baku air minum adalah air yang dapat diolah menjadi air yang layak sebagai air minum dengan
mengolah secara sederhana dengan cara difiltrasi, disinfeksi, dan dididihkan.
Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang
akan menjadi dasar untuk penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air yang
dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu.
Peruntukan lain yang dimaksud misalnya kegunaan air untuk proses industri, kegiatan penambangan
dan pembangkit tenaga listrik, asalkan kegunaan tersebut dapat menggunakan air dengan mutu air
sebagaimana kriteria mutu air dari kelas air dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk mengetahui informasi mengenai keadaan mutu air
saat ini (existing quality), rencana pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang diinginkan,
dan tingkat mutu air yang akan dicapai (objective quality).
17
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi pedoman untuk menentukan keadaan mutu air,
penyusunan rencana penggunaan air, dan penentuan tingkat mutu air yang ingin dicapai. Pedoman
pengkajian mencakup antara lain ketatalaksanaan pada sumber air yang bersifat lintas daerah
(Kabupaten/Kota dan Propinsi).
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pengetatan dan atau penambahan parameter tersebut didasarkan pada kondisi spesifik, antara lain
atas pertimbangan karena di daerah tersebut terdapat biota dan atau spesies sensitif yang perlu
dilindungi.
Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah yang tingkat kualitas airnya lebih baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air meliputi, antara lain rencana pemantauan,
pengharmonisasian operasi pemantauan kualitas air, pelaporan dan pengelolaan data hasil
pemantauan.
Pasal 14
Ayat (1)
Status mutu air merupakan informasi mengenai tingkatan mutu air pada sumber air dalam waktu
tertentu.
Dalam rangka pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air, perlu diketahui status
mutu air (the state of the water quality). Untuk itu maka dilakukan pemantauan kualitas air guna
mengetahui mutu air, dengan membandingkan mutu air.
Tidak memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air tingkat kualitas
airnya lebih buruk dari baku mutu air.
Memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air tingkat kualitas airnya
sama atau lebih baik dari baku mutu air.
18
Dalam hal metoda baku penilaian status mutu air belum ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan, dapat digunakan kaidah ilmiah.
Contoh parameter yang belum tercantum dalam kriteria mutu air sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah ini antara lain, parameter-parameter bio-indikator dan toksisitas.
Ayat (2)
Kondisi cemar dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti tingkatan cemar berat, cemar sedang,
dan cemar ringan. Demikian pula kondisi baik dapat dibagi menjadi sangat baik dan cukup baik.
Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara lain dengan menggunakan suatu indeks.
Pasal 15
Ayat (1)
Penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air yang dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, meliputi pula program kerja pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air secara berkesinambungan.
Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang direncanakan untuk dapat diwujudkan
dalam jangka waktu tertentu melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang berwenang melaksanakan akreditasi laboratorium dibidang
pengelolaan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penunjukan laboratorium oleh Menteri sebagai laboratorium rujukan dimaksudkan antara lain untuk
menguji kebenaran teknik, prosedur, metode pengambilan dan metode analisis sampel. Kesimpulan
yang ditetapkan tersebut menjadi alat bukti tentang mutu air dan mutu air limbah.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Inventarisasi adalah pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk mengetahui sebab dan
faktor yang menyebabkan penurunan kualitas air.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
19
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil inventarisasi sumber pencemaran air diperlukan antara lain untuk penetapan program kerja
pengendalian pencemaran air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Daya tampung beban pencemaran pada suatu sumber air dapat berubah dari waktu ke waktu mengingat
antara lain karena fluktuasi debit atau kuantitas air dan perubahan kualitas air.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pengenaan retribusi tersebut sebagai konsekuensi dari penyediaan sarana pengolahan (pengelolaan)
air limbah yang disediakan oleh Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Pencemaran air akibat keadaan darurat dapat disebabkan antara lain kebocoran atau tumpahan bahan
kimia dari tangki penyimpanannya akibat kegagalan desain, ketidak-tepatan operasi, kecelakaan dan atau
bencana alam.
Upaya pengendalian pencemaran air dalam ayat ini antara lain dapat berupa prasarana dan sarana
pengelolaan air limbah terpadu (sewerage treatment plant). Upaya termaksud dapat dilakukan melalui
kerja-sama dengan pihak ketiga sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Pejabat yang berwenang yang dimaksud antara lain, adalah Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
20
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara
lain laboratorium kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan
kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir
sampah (TPA).
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang dimaksud dapat
berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan
atau pengendalian pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui
masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi
hasil pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas air, dan
rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi proses pengambilan keputusan, baik dengan cara
mengajukan keberatan maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian
dan atau perumusan kebijaksanaan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, dan
melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan
memungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Air pada sumber air dan air yang terdapat di luar hutan lindung dilakukan pengendalian terhadap
sumber yang dapat menimbulkan pencemaran. Hal ini karena terdapat berbagai kegiatan yang akan
mengakibatkan penurunan kualitas air. Namun, penurunan kualitas air tersebut masih dapat ditenggang
selama tidak melampaui baku mutu air.
Pasal 32
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara
lain laboratorium kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan
kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir
sampah (TPA).
Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Pemberian informasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik atau papan pengumuman yang
meliputi antara lain:
status mutu air;
bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem;
sumber pencemaran dan atau penyebab lainnya;
dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau
langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan upaya pengelolaan kualitas air dan
atau pengendalian pencemaran air.
21
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan format terminal data ( data base) pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Air limbah dari suatu usaha dan atau kegiatan tertentu dapat dimanfaatkan untuk mengairi areal
pertanaman tertentu dengan cara aplikasi air limbah pada tanah ( land aplication), namun dapat berisiko
terjadinya pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan atau air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha
atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Aplikasi pada tanah perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu secara spesifik berkenaan dengan
kandungan dan debit air limbah, sifat dan luasan tanah areal pertanaman yang akan diaplikasi, dan
jenis tanamannya, untuk mengetahui cara aplikasi yang tepat sehingga dapat mencegah pencemaran
tanah, air tanah, dan air serta penurunan produktivitas pertanaman.
Ayat (2)
Persyaratan penelitian dimaksud merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi. Oleh karena
itu maka persyaratan lain berdasarkan penelitian yang dianggap perlu dimungkinkan untuk
ditambahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Pedoman pengkajian meliputi, antara lain, petunjuk mengenai rencana penelitian, metode, operasi,
dan pemeliharaan.
Pasal 37
Cukup jelas
22
Pasal 38
Ayat (1)
Pembuangan air limbah adalah pemasukan air limbah secara pelepasan ( discharge) bukan secara
dumping dan atau pelepasan dadakan (shock discharge).
Pembuangan air limbah yang berupa sisa dari usaha dan atau kegiatan penambangan, seperti
misalnya air terproduksi (produced water), yang akan dikembalikan ke dalam formasi asalnya juga
wajib menaati baku mutu air limbah yang ditetapkan secara spesifik untuk jenis air limbah tersebut.
Air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bukan merupakan sisa kegiatan PLTA,
sehingga tidak termasuk dalam ketentuan Pasal ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Masuknya air limbah ke dalam air dapat menurunkan kualitas air tergantung beban pencemaran air
limbah dan kemampuan air menerima beban tersebut.
Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari baku mutu air berarti masih memiliki kemampuan untuk
menerima beban pencemaran. Apabila beban pencemaran yang masuk melebihi kemampuan air
menerima beban tersebut maka akan menyebabkan pencemaran air, yaitu kondisi kualitas air tidak
memenuhi baku mutu air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan atau slurry.
Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau penempatan material sisa usaha dan
atau kegiatan penambangan berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air.
Contoh dari pembuangan gas misalnya memasukkan pipa pembuangan gas yang mengandung unsur
pencemar seperti Ammonium dan atau uap panas ke dalam air dan atau pada sumber air.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Contoh kebijakan insentif antara lain dapat berupa pengenaan biaya pembuangan air limbah yang
lebih murah dari tarif baku, mengurangi frekuensi swapantau, dan pemberian penghargaan.
Contoh kebijakan disinsentif antara lain dapat berupa pengenaan biaya pembuangan air limbah
yang lebih mahal dari tarif baku, menambah frekuensi swapantau, dan mengumumkan kepada
masyarakat riwayat kinerja penaatannya.
Pasal 44
Cukup jelas
23
Pasal 45
Hal tertentu yang dimaksud antara lain daerah belum mampu melakukan pengawasan sendiri, belum ada
pejabat pengawas lingkungan daerah, belum tersedianya sarana dan prasarana atau daerah tidak melakukan
pengawasan.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan
yang bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro kimia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Sanksi administrasi meliputi teguran tertulis, penghentian sementara, dan pencabutan izin melakukan
usaha dan atau kegiatan.
Pasal 49
Paksaan pemerintahan adalah tindakan untuk mengakhiri terjadinya pelanggaran, menanggulangi akibat
yang ditimbulkan oleh pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan atau pemulihan
atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan. Atau tindakan tersebut
di atas dapat diganti dengan uang paksa ( dwangsom).
Pasal 50
Ayat (1)
Pengaturan ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut
asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan atau perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya
perintah untuk:
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku
mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup;
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Tindakan tertentu yang dimaksud antara lain melakukan penyelamatan dan atau tindakan
penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan
untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari.
24
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4161
25
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 28 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH
DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 35 jo Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kajian pemanfaatan air limbah ke
tanah merupakan persyaratan yang harus dilakukan dalam pengajuan permohonan izin
pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
b. bahwa salah satu pemanfaatan air limbah ke tanah adalah pemanfaatan air limbah dari industri
minyak sawit pada perkebunan kelapa sawit;
c. bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pedoman teknis pengkajian
pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan hidup;
d. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari
Industri Minyak Sawit Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
5. Peraturan Perundang-undangan Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN
PEMANFAATAN AIR LIMBAH DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT.
Pasal 1
(1) Setiap pemrakarsa yang akan memanfaatkan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit wajib mengajukan permohonan pengkajian pemanfaatan kepada Bupati/Walikota.
(2) Permohonan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa
sawit didasarkan pada salah satu hasil kajian berikut ini :
a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);
c. Studi Mengenai Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) ;
d. Dokumen Pengelolaan Lingkungan (DPL).
Pasal 2
Bupati/Walikota menyetujui usulan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit dengan syarat dan tata cara berpedoman pada Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Bupati/Walikota menetapkan persyaratan minimal untuk pelaksanaan pengkajian pemanfatan air limbah, yaitu :
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah;
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat;
26
d. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
e. nilai pH berkisar 6-9;
f. dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
g. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
h. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
i. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter;
j. areal pengkajian seluas 10 20 persen dari seluruh areal yang akan digunakan untuk pemanfaatan air
limbah;
k. pembuatan sumur pantau.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai kebutuhan
masing-masing daerah yang bersangkutan.
(3) Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
Pasal 4
Bupati/Walikota menerbitkan surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah
di perkebunan kelapa sawit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak usulan pengkajian diterima.
Pasal 5
Dalam surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit wajib dicantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b. metode dan frekuensi pemantauan;
c. pelaporan hasil pemantauan yang disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur
provinsi yang bersangkutan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ;
d. larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalan Keputusan ini;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku.
Pasal 6
(1) Pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
dilakukan minimal selama 1 (satu) tahun.
(2) Pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit hanya dilakukan
1 (satu) kali pada lokasi dan tempat yang sama.
Pasal 7
Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak
sawit pada perkebunan kelapa sawit.
Pasal 8
Persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan
dicabut apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.
Pasal 9
Berdasarkan hasil kajian seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), pemrakarsa mengajukan permohonan izin
pemanfaatan air limbah kepada Bupati/Walikota.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
Salinan ini sesuai aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
27
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 28 Tahun 2003
Tanggal : 25 Maret 2003
PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN
PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT
PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
A PENDAHULUAN
Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah ini dibuat agar terdapat kesesuaian pemahaman
mengenai aspek-aspek yang harus ditinjau dalam menentukan kelayakan lingkungan dari suatu kegiatan
pemanfaatan air limbah pada tanah.
Pengkajian air limbah pada tanah perlu dilakukan karena adanya potensi akumulasi bahan pencemar dalam
tanah serta kemampuan tanah dalam menetralisasi air limbah terbatas dan berbeda-beda tergantung pada
karakteristik tanah seperti permeabilitas tanah, komposisi dan sifat kimia tanah.
Selain itu, pengkajian dimaksudkan untuk mengetahui rona awal sebagai data dasar dalam penentuan ada
tidaknya pencemaran dan dalam pengelolaan pemanfaatan selanjutnya. Melalui pengkajian ini pemrakarsa
akan memperoleh pengalaman dalam mempersiapkan program pemantauan dan melaksanakannya.
Pada kenyataannya dalam menentukan ada atau tidaknya pencemaran tanah diperlukan waktu yang relatif
panjang karena tanah memiliki kemampuan penyanggaan yang tinggi untuk meredam pengaruh luar. Akan
tetapi agar pengkajian pemanfaatan air limbah segera mendapat kepastian status hukum, maka ditetapkan
waktu pengkajian selama minimal 1 (satu) tahun di mana dalam kurun waktu tersebut kecenderungan adanya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan dapat diketahui.
Guna meminimalisasi terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan akibat pemanfaatan air limbah
minyak sawit, maka di dalam pedoman ini dijelaskan hal-hal yang harus dilakukan baik oleh pemerintah, maupun
pemrakarsa dalam pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah.
B. FUNGSI DAN TUJUAN
Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan dalam melakukan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri
minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit.
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kajian meliputi:
1. Mengidentifikasi rencana pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah.
2. Memperkirakan dan mengevaluasi pengaruh pemanfaatan air limbah industri minyak sawit terhadap tanah,
air tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat.
D. TATA CARA PENGKAJIAN
1. Usulan kegiatan pengkajian pemanfaatan air limbah dan evaluasinya.
Dalam melakukan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah, pemrakarsa wajib terlebih dahulu memberitahukan
rencana kegiatan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah ( Land Application) kepada Bupati/Walikota dengan
menyampaikan surat pemberitahuan beserta usulan rencana pengkajian. Selanjutnya Bupati/Walikota
menyampaikan usulan pengkajian kepada Instansi yang bertanggung jawab.
2. Usulan pengkajian meliputi :
a. Lokasi dan Waktu Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah:
a.1. Lokasi:
a.1.1. Pemrakarsa harus menetapkan luas seluruh lokasi lahan yang akan digunakan untuk
pemanfaatan air limbah.
a.1.2. Pemrakarsa harus menetapkan luas lokasi yang akan digunakan untuk pengkajian dan kontrol
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.1.2.1. Luas lahan pengkajian adalah 10 - 20 persen dari seluruh luas lahan yang diusulkan
untuk pemanfaatan air limbah.
a.1.2.2. Luas lahan kontrol adalah 1-5 persen dari luas lahan yang diusulkan untuk pemanfaatan
air limbah.
a.1.3. Lahan pengkajian dan lahan kontrol harus merupakan bagian dari lahan yang akan mengalami
pemanfaatan air limbah pada tanah dan memiliki karakteristik, jenis dan usia tanam pohon
yang sama.
a.2. Waktu:
Waktu pelaksanaan pengkajian ditentukan minimal selama 1 (satu) tahun.
b. Metode:
Metode pemanfaatan air limbah pada tanah yang saat ini banyak digunakan adalah metode irigasi
dengan flatbed system, furrow system, dan long bed system dengan sistem saluran tertutup atau
tidak berhubungan dengan badan air (sungai, danau, dan lain-lain).
28
b.1. Flatbed system atau sistem parit datar adalah sistem irigasi yang ditampung dengan kolam-kolam
datar bersambung untuk lahan dengan ketinggian relatif tidak sama atau terasiring (Gb.1).
b.2. Furrow system (Gb. 2) atau sistem parit/saluran alir tertutup. Sistem furrow sendiri ada dua (2)
macam, yaitu: zig-zag furrow dan straight furrow. Zig-zag furrow digunakan di area dimana
kecuramannya relatif tinggi (lebih dari 30 derajat), hal ini dimaksudkan untuk memperlambat aliran
dan mengurangi erosi di area yang lebih tinggi dan mengurangi genangan di area yang lebih
rendah dimana dengan begitu diharapkan distribusi yang rata. Straight furrow digunakan di area
yang kecuramannya lebih rendah (di bawah 30 derajat).
b.3. Long Bed system (Gb. 3) atau sistem saluran panjang berbaris untuk lahan dengan ketinggian
sama atau rata dan tanah dengan permeabilitas rendah (daya serap ke dalam tanah tidak bagus).
Gb.1 Gb.2 Gb.3
c. Dosis, debit dan rotasi pemanfaatan:
Mekanisme perhitungan dosis, debit, kebutuhan lokasi dan rotasi penyiraman atau pemanfaatan air
limbah dapat menggunakan contoh perhitungan sebagai berikut:
Luas Lokasi = Debit air limbah (m
3
/tahun)
Dosis air limbah (m
3
/ha/tahun )
Debit air limbah = Kapasitas olah Pabrik Kelapa Sawit x Rasio produksi air limbah
terhadap Produksi TBS.
Rasio ini berkisar antara 0,6 0,8 (m
3
limbah/ton TBS diproduksi)
Dosis air limbah = 10 cm rey (rain equivalent per year)
Contoh perhitungan dosis :
a. Kapasitas olah PKS : 250.000 ton Tandan Buah Segar/tahun
b. Apabila dosis air limbah = 10 cm rey = 1000 m
3
pertahun/ha
c. Kebutuhan lokasi = 250.000 ton TBS/tahun x 0,6 = 150 ha
1000 m
3
Kekerapan Pemanfaatan
Dengan dasar flatbed mengisi 1/6 luas lokasi
a. Jumlah yang dimanfaatkan kedalam flatbed = 10 cm x 6 = 60 cm
Oleh karena jumlah pada setiap pemanfaatan adalah 10 cm kekerapan pemanfaatan (rotasi
pemanfaatan/penyiraman) = 60 cm / 10 cm = 6 kali per tahun atau sekali / 2 bulan
d. Pemantauan
d.1. Dampak terhadap lingkungan
Jenis, lokasi dan cara pengambilan sampel serta parameter minimal yang harus di amati adalah
sebagai berikut:
d.1.1. Jenis Sampel
Jenis sampel yang diambil adalah sampel tanah, air tanah dan air limbah.
d.1.2. Lokasi, cara pengambilan sampel dan parameter minimal yang harus diamati:
d.1.2.1. Sampel Tanah
Lokasi
Syarat utama dalam pemilihan lokasi pengambilan sampel adalah
lokasi tersebut harus mewakili lokasi pengkajian. Dalam penetapan
sampel ini pemrakarsa wajib mengkoordinasikan dengan instansi yang
bertanggung jawab di daerah.
Pemilihan lokasi harus berdasarkan dugaan mengenai pergerakan
kation-kation, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan kation
secara vertikal berkaitan dengan pencucian kation-kation menuju air
tanah yang dapat menimbulkan pencemaran air tanah, sedangkan
pergerakan kation horizontal adalah pergerakan dari parit irigasi ke
arah tanaman.
Untuk maksud di atas maka lokasi pengambilan sampel ditetapkan
pada 3 (tiga) lokasi yaitu di parit irigasi (rorak), antara parit dan tanaman
(antar rorak), dan di lahan kontrol pada enam kedalaman sebagai
berikut:
29
(a). 0 - 20 cm
(b). 20 - 40 cm
(c). 40 - 60 cm
(d). 60 - 80 cm
(e). 80 - 100 cm
(f). 100 - 120 cm
Cara pengambilan sampel
Pengambilan sampel tanah di parit irigasi (rorak) dilakukan setelah
kerak limbah yang menumpuk dipermukaannya dibuang atau disisihkan
dari parit.
Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel
tanah yaitu sampel tanah terganggu dan sampel tanah utuh.
(a). Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil
dengan menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan
digunakan untuk mengukur parameter seperti pH, Kapasitas Tukar
Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur
tertentu serta tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau
lempung). Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan
menggunakan bor tanah mineral, sampel tanah diambil pada
setiap 20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis. Berat sampel
tanah terganggu yang diambil dengan menggunakan masing-
masing + 0.5 kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam
kantong plastik rangkap 2 (dua). Dengan diberi label yang jelas
sesuai lokasi dan kedalamannya.
(b). Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan
menggunakan ring sampler dan digunakan untuk mengukur bobot
isi, porositas dan permeabilitas.
Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan ring sampler
pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, masing-masing 2 (dua)
sampel. Satu sampel digunakan untuk mengukur porositas dan
bobot isi, sedang sampel lainnya digunakan untuk mengukur
permeabilitas.
Parameter minimal yang harus diamati
Pengamatan dilakukan dengan frekuensi satu tahun sekali untuk
parameter-parameter yang tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 : Parameter dan Metode Analisa Tanah
No Parameter Metode
1. pH dalam air pH-meter
2. C-organik Walkley Black
3. N Total Kjeldahl
4. P tersedia Bray I
5. Kation dapat ditukar K, Na, Ca, Mg NH
4
0Ac pH 7.0
6. Kapasitas tukar kation Diukur dengan atomic absorption
Spectrophotometer
7. Kejenuhan Basa (Ca+Mg+K+Na)/KTK * 100%
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Cd, Zn) Destruksi basah
9. Tekstur (pasir, debu, liat) Pipet
10. Minyak lemak Soklet
d.1.2.2. Sampel Air Tanah
Lokasi
Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol,
lahan pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah dan sumur penduduk
terdekat yang lokasinya lebih rendah dan diperkirakan memiliki peluang tercemar
air limbah.
Pembuatan sumur pantau harus memperhatikan keamanan sumur terhadap
kontaminasi air hujan dan atau kontaminan lain yang berasal dari luar.
Pengambilan sampel
Pengkajian pengambilan sampel air tanah di sumur pantau dan sumur penduduk
mengacu pada metode pengambilan sampel air yang berlaku.
Parameter minimal yang harus diamati
Pengamatan dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk parameter-parameter
30
Tabel 2. Parameter dan Metode Analisa Air tanah
No. Parameter Metode
1. BOD
5
Winkler
2. DO Winkler
3. pH pH Meter
4. NO
3
sebagai N Colorimetric
5. NH
3
-N Colorimetric
6. Cd AAS
7. Cu AAS
8. Pb AAS
9. Zn AAS
10. Cl
-
Titrimetric
11. SO
4
2-
Colorimetric
d.1.2.3. Sampel Air Limbah
Lokasi
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air
limbah
Pengambilan Sampel
Pengkajian pengambilan sampel air limbah di outlet yang menuju lahan kajian
mengacu pada metode pengambilan sampel air yang berlaku.
Parameter minimal yang harus diamati
Parameter-parameter minimal yang diamati diuraikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Parameter, Metode Analisa Sampel Air Limbah, dan Frekuensi Pengamatan
No. Parameter Metode Frekuensi
1. Debit Harian
2. BOD
5
Winkler Bulanan
3. COD
4. pH pH-meter Harian
5. Minyak dan Lemak Soklet Bulanan
6. Pb AAS Bulanan
7. Cu AAS Bulanan
8. Cd AAS Bulanan
9. Zn AAS Bulanan
d.1.3. Kebauan:
Pengukuran tingkat kebauan dilakukan di lokasi kebun yang digunakan untuk pengkajian
pemanfaatan air limbah pada tanah dan sekitarnya.
Parameter kebauan mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
50 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan.
d.1.4. Dampak terhadap tanaman dan masyarakat disekitarnya.
Pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui dampak pemanfaatan air limbah pada
tanah terhadap tanaman adalah pengamatan hasil panen pada tandan buah segar yang
ada di lokasi kajian pemanfaatan air limbah dan di lahan kontrol. Sedangkan pengamatan
dampak terhadap masyarakat adalah pengamatan yang dilakukan terhadap masyarakat
terdekat dengan lokasi kajian pemanfaatan air limbah adalah pengamatan terhadap penyakit
yang diderita.
3. Pemrakarsa wajib menyampaikan laporan pengkajian pemanfaatan air limbah yang sedang dilakukan secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada
Bupati/ Walikota/Gubernur/Menteri Negara Lingkungan Hidup.
4. Evaluasi Laporan Hasil Pemantauan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit di
Perkebunan Kelapa Sawit dilakukan Instansi yang bertanggung jawab yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Evaluasi dilakukan dengan melakukan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan
lingkungan yang meliputi: kondisi tanah, kondisi air tanah, kebauan, kondisi tanaman, serta kondisi air
limbah yang sesuai dengan baku mutu sebagaimana ditetapkan dalam izin.
Apabila dari hasil evaluasi tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan, maka pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dapat dilanjutkan. Sedangkan bila hasil
evaluasi menunjukkan adanya indikasi pencemaran maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus
dihentikan yang berarti persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dicabut dan pemrakarsa
harus melakukan pemulihan kualitas lingkungannya.
31
E. PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PENGKAJIAN
Pengarahan yang wajib diberikan kepada pemrakarsa dalam menyusun Laporan Pelaksanaan Pengkajian
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit mengacu pada
sistematika berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan ini mencakup:
I.1. Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah ditinjau
dari:
a. Kaitan rencana usaha/kegiatan dengan dampak penting yang ditimbulkan terhadap
lingkungan
b. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
c. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dikaitkan dengan konsep Nir Emisi
(Zero Emissions).
I.2. Tujuan
Pada bagian ini disebutkan tujuan dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah dengan
mengacu kepada beberapa aspek, antara lain:
a. Aspek Hukum : sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin pemanfaatan air limbah ke
tanah untuk aplikasi pada tanah (Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air);
b. Aspek lingkungan: mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena
dampak terutama pada air tanah, air permukaan, gangguan kebauan, vektor penyebab
penyakit, dll;
c. Aspek tanaman: evaluasi terhadap peningkatan produksi TBS (Tandan Buah Segar).
I.3. Manfaat Pemanfaatan Air Limbah
Uraian secara singkat manfaat pemanfaatan air limbah ditinjau dari sudut pandang:
a. Lingkungan (air, tanah, udara) dan kesehatan masyarakat;
b. Industri yang melaksanakan ditinjau dari aspek produksi bersih, biaya pengolahan/
operasional.
BAB II. URAIAN KEGIATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Pada bagian ini diuraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, baik itu kegiatan kebun maupun kegiatan
pabrik secara singkat.
II.1. Kebun
Pada bagian ini menjelaskan teknik budidaya yang diterapkan di kebun bersangkutan, meliputi:
a. Penanaman
Secara singkat dijelaskan tahun tanam, susunan dan jarak tanam;
b. Perawatan Tanaman
Perawatan yang di l akukan mel i puti penyul aman, penanaman tanaman sel a,
pemberantasan gulma, pemangkasan, pemupukan, replanting, kastrasi, penyerbukan
buatan serta pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penjelasan tentang pemupukan
diuraikan secara rinci, menyangkut jenis pupuk, dosis, waktu pemberian, cara pemberian
dan pemanfaatan air limbah jika telah dilakukan;
c. Panen
Dijelaskan secara singkat kriteria matang panen yang diterapkan, cara panen, rotasi dan
sistem panen.
II.2. Pabrik
Pada bagian ini diuraikan secara singkat tentang pengolahan hasil serta pengolahan dan
pemanfaatan limbah sebagai berikut:
a. Produksi
Jelaskan berapa besar produksi (ton TBS/ha/tahun) yang dicapai dan kandungan rendemen
(prosentase/tonTBS);
b. Pengolahan Hasil
Diuraikan secara singkat pengangkutan TBS ke pabrik, perebusan TBS, perontokan dan
pelumatan buah, pemerasan atau ekstrasi minyak sawit, pemurnian dan penjernihan minyak
sawit, pengeringan dan pemecahan biji, agar disajikan dalam flow diagram neraca bahan
termasuk neraca air, bahan baku, bahan penolong dan sumber air yang digunakan;
32
c. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah
Jelaskan limbah apa saja yang terbentuk sebagai hasil samping dari kegiatan pengolahan
hasil baik itu limbah padat, cair dan gas. Upaya-upaya pemanfaatan limbah yang telah
dilaksanakan, serta sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah/IPAL (Lampirkan Skema/
Desainnya). Khusus untuk air limbah disebutkan volume dan kualitasnya (Parameter sesuai
dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995). Peta Situasi Kebun
agar disajikan pada peta dengan skala minimal 1:50.000.
BAB III. RONA LINGKUNGAN
Hal-hal yang harus dikemukakan dalam bagian ini adalah:
a. Rona lingkungan hidup wilayah kegiatan dibatasi pada komponen-komponen lingkungan
yang berkaitan dengan pengkajian pemanfaatan air limbah atau berpotensi terkena
dampak;
b. Komponen-komponen lingkungan hidup pada butir a harus digambarkan secara jelas
dan detail.
Berikut ini adalah beberapa komponen lingkungan hidup yang minimal harus tergambar dalam Rona
Lingkungan. Pemrakarsa dapat menelaah komponen lingkungan yang lain di luar komponen tersebut
apabila dianggap penting dan terkait dengan pemanfaatan air limbah. Pada lokasi pemanfaatan air
limbah di lahan perkebunan dan lokasi lahan kontrol disajikan pada peta skala minimal 1:50.000.
III.1. Morfologi Lahan
Bagian ini berisi gambaran menyeluruh tentang kelerengan (kemiringan lereng) dan bentuk. Kondisi
morfologi ini akan sangat berpengaruh terhadap arah aliran air tanah dan air permukaan yang
secara tidak langsung akan mempengaruhi arah aliran air limbah yang dimanfaatkan di permukaan
tanah. Kemiringan lereng diwujudkan dalam bentuk Peta Kemiringan Lereng (contoh terlampir)
dan bentuk lahan diwujudkan dalam bentuk Peta Bentuk Lahan. Peta Kemiringan Lereng harus
memuat informasi Kelas lereng sebagaimana diuraikan dalam Tabel 4.
Tabel 4: Kelas Lereng
Datar 0-3%
Landai 3-8%
Agak Miring 8-16%
Miring 16-30%
Agak Curam 30-45%
Curam 45-65%
Sangat Curam >65%
III.2. Kondisi Tanah
Komponen tanah yang harus diketahui dan tertuang di dalam dokumen laporan secara umum
dapat dikelompokkan ke dalam sifat-sifat fisik kimia dan sifat geofisik tanah.
a. Sifat fisik tanah meliputi:
a.1. Jenis tanah, misal: gambut, padsolik, latosol dan lain-lain
a.2. Porositas tanah
a.3. Tekstur tanah tergambar dari prosentase debu, pasir dan liat, misal: pasir, lempung,
lempung berpasir, dan lain-lain.
a.4. Kedalaman Solum Tanah, kelas kedalaman solum tanah yang digunakan adalah sebagai
berikut:
(a). Sangat dangkal = 0-30 cm
(b). Dangkal = 30-60 cm
(c). Sedang = 60-90 cm
(d). Dalam = 90-150 cm
(e). Sangat dalam = > 150 cm
b. Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah menggambarkan tingkat kesuburan tanah. Pada bagian ini beberapa komponen
penting yang harus tergambar adalah kandungan bahan organik, pH tanah, kandungan hara/
logam (N, P, K, Ca, Mg dan lain-lain).
Pembahasan tentang sifat-sifat kimia tanah perlu dibedakan sebagai berikut:
b.1. Apabila topografi lokasi kebun relatif datar, disimpulkan dari komponen tanah pada
sebagian besar lokasi kebun atau yang diambil secara acak dan representatif dari seluruh
lokasi kebun;
b.2. Apabila topografi kebun miring atau bergelombang, perlu dibedakan rona tanah pada
lokasi yang mempunyai ketinggian relatif besar dengan rona tanah pada ketinggian yang
relatif kecil
33
c. Sifat Geofisik Tanah
Pada bagian ini harus tergambar stabilitas tanah yaitu kerawanan terhadap bahaya lingkungan,
seperti: longsor dan gempa.
III.3. Hidrologi
Dua komponen hidrologi yang perlu diperhatikan adalah:
a. Air Permukaan (surface water) yang mencakup semua air pada tubuh air di permukaan, misalnya:
sungai, anak-anak sungai dan alur sungai, danau, pond dan rawa. Data yang diperlukan adalah:
a.1. Peta air permukaan (surface water) dan data lain tentang air permukaan:
a.1.1. Berisi informasi sungai, anak-anak sungai dan alur sungai;
a.1.2. Buffer area (100 m dari tepi/bibir sungai utama atau 50 m dari tepi anak-anak sungai pada
saat pasang tertinggi;
a.1.3. Sifat aliran (mengalir sepanjang tahun, mengalir pada musim tertentu atau jika hanya ada
hujan saja);
a.1.4. Pola aliran (dendritik, anguler, trelis, dan lain-lain);
a.1.5. Lokasi pemantauan kualitas air;
a.1.6. Debit rata-rata sungai (harian/bulanan/tahunan/musim).
a.2. Peta Topografi:
a.2.1. Berisi informasi elevasi (kontur ketinggian) dan kemiringan lereng;
a.2.2. Data Penyediaan dan Pemanfaatan air:
(a). Sumbernya;
(b). Minum;
(c). Mandi Cuci;
(d). Industri;
(e). Pertanian/Perkebunan;
(f). Lain-lain;
a.2.3. Data Kualitas Air Sungai
Parameter kualitas air sungai mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
b. Air Tanah (groundwater) yaitu air yang tersimpan dan atau mengalir di dalam tanah di bawah water
table (muka air tanah = setara dengan permukaan air sumur)
Data yang perlu dituangkan dalam laporan adalah:
b.1.1. Peta Topografi
Yang memuat informasi kontur ketinggian dan kemiringan lereng;
b.1.2. Peta Geologi
Diperlukan untuk mengetahui tipe aquifer ;
b.1.3. Data kecepatan infiltrasi dan kapasitas infiltrasi
Yang diambil di beberapa lokasi sesuai dengan perbedaan morfologi (lereng/bentuk lahan);
b.1.4. Peta air tanah
Yang memuat informasi kedalaman air tanah (dengan variasi musim) dan arah aliran
tanah dan tipe aquifer;
b.1.5. Lokasi dan jumlah sumur pantau
Ditentukan berdasarkan:
(a). Arah aliran air tanah;
(b). Morfologi;
(c). Jarak dari lokasi pemanfaatan air limbah;
(d). Kedalaman air tanah;
(e). Kecepatan infiltrasi (yang ini perlu dibuat formulanya dan alasan-alasannya);
b.1.6. Kualitas air tanah
Yang diambil pada sumur pantau;
b.1.7. Pola pemanfaatan air tanah
Yang memuat informasi:
(a). Untuk air minum, mandi, cuci;
(b). Industri;
34
(c). Pertanian;
(d). Dan lain-lain;
III.4. Iklim
Data tentang iklim di lokasi kebun diperlukan untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap kelayakan
pemanfaatan air limbah dan dampak pemanfaatan air limbah terhadap lingkungan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan iklim adalah:
a. Komponen iklim yang perlu ditelaah antara lain curah hujan, jumlah hari hujan, arah dan
kecepatan angin serta iklim.
b. Penelaahan yang dilakukan untuk setiap komponen iklim adalah rata-rata bulanan dan tahunan
minimal selama lima tahun terakhir. Untuk arah dan kecepatan angin yang perlu ditelaah hanya
pada ketinggian yang umum untuk kawasan pemukiman.
c. Perubahan-perubahan pola iklim juga perlu ditelaah, terutama yang menimbulkan pengaruh
yang sangat nyata, misalnya menyebabkan terjadinya banjir atau tanah longsor.
d. Data komponen-komponen iklim diambil dari stasiun klimatologi atau Badan Meteorologi dan
Geofisika sistem pengamatan terdekat.
BAB IV. PENGKAJIAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH
IV.1. Luas Lahan
Pada bagian ini dijelaskan luas lahan yang akan dimanfaatkan, luas lahan pengkajian serta luas
lahan yang menjadi kontrol.
IV.2. Metode Pemanfaatan
Pada bagian ini dijelaskan metode pemanfaatan yang digunakan (misal: sistem flat bad, long
bad, furrow dll), serta spesifikasi dari metode yang digunakan (misal: spesifikasi parit yang meliputi
tinggi, lebar, panjang, jarak antar parit, jumlah parit, ukuran dan jenis pipa apabila menggunakan
pipa dan lain-lain).
IV.3. Dosis, Debit Dan Rotasi
Pada bagian ini diuraikan berapa dosis yang dimanfaatkan tiap hektarnya (ton/ha/tahun), debit
limbah cair yang dimanfaatkan (m
3
/dtk) serta rotasi pemberian air limbah dalam setahun (misal:
4kali dalam setahun).
IV.4. Jenis, Lokasi dan Pengkajian Pengambilan Sampel
Pada bagian ini dijelaskan jenis, lokasi dan pelaksanaan pengambilan sampel pada saat
pengkajian.
IV.5. Pengamatan Terhadap Dampak Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah
a. Air Limbah yang dimanfaatkan
Bagian ini memuat informasi tentang kualitas air limbah yang dimanfaatkan dalam pengkajian,
dilengkapi dengan data-data analisa sampel air limbah, mengacu pada persyaratan yang
ditetapkan dalam persetujuan pengkajian dalam keputusan ini. Air limbah yang dimanfaatkan
ke lahan harus memiliki nilai BOD
5
lebih kecil dari 5.000 mg/l dengan nilai pH 6-9.
b. Dampak terhadap tanah
Pada bagian ini dijelaskan tentang ada atau tidaknya pencemaran tanah akibat pelaksanaan
pengkajian yang diketahui dari hasil evaluasi pelaksanaan pengamatan terhadap parameter-
parameter sebagaimana tersebut pada Tabel 5.
c. Dampak terhadap air tanah
Pada bagian ini diuraikan seberapa jauh dampak pemanfaatan air limbah terhadap air tanah
yang dilengkapi dengan data hasil analisa sampel air tanah untuk parameter-parameter
pengamatan sebagaimana tersebut dalam Tabel 6.
Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran validasi dilakukan dengan mengacu pada
Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-
Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
d. Dampak terhadap kebauan
Dalam bagian ini diuraikan dampak pemanfaatan air limbah terhadap kebauan yang
pengujiannya mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 Tahun
1996. Pengukuran tingkat kebauan dilakukan pada lokasi kebun yang dipemanfaatan (dengan
jumlah pengukuran sesuai dengan luasan lokasi), pada titik 50 meter dan 150 meter ke arah
angin dominan serta pada lokasi pemukiman karyawan dan atau penduduk (disajikan pada
peta Lokasi Sampling).
35
e. Dampak terhadap tanaman
Bagian ini menguraikan hasil pengamatan dampak pemanfaatan air limbah pada tanah
terhadap tanaman pokok.
f. Dampak terhadap ikan
Apabila disekitar lokasi pemanfaatan terdapat kegiatan budidaya perikanan, dalam bagian
ini diuraikan mengenai air limbah yang merembes ke air sungai/kolam/air permukaan lain
yang pada gilirannya dapat memberikan dampak terhadap ikan.
g. Dampak terhadap masyarakat sekitar
Bagian ini menguraikan dampak pemanfaatan air limbah bagi kesehatan masyarakat.
Pengamatan dilakukan terhadap masyarakat terdekat dengan lokasi pemanfaatan air limbah
terhadap vektor penyebab penyakit.
BAB V. KESIMPULAN
Bagian ini harus memuat kesimpulan teknis hasil pengkajian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini diutarakan pustaka atau referensi yang digunakan untuk keperluan penyusunan laporan
pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pada bagian ini dilampirkan data pendukung seperti Peta Lokasi, Peta Bentuk Lahan, dan data-data
pendukung lainnya yang dianggap perlu.
F. PEMANTAUAN/PENGAWASAN DAN EVALUASI HASIL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGKAJIAN
Pengamatan dan pengawasan dalam pengkajian ini dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab yang
ditunjuk oleh Bupati/Walikota setelah pemrakarsa mendapatkan persetujuan pelaksanaan pengkajian
pemanfaatan air limbah. Pengamatan dan pengawasan dilaksanakan terhadap kondisi tanah, air tanah, air
limbah, dan lain-lain secara berkala dan ditekankan pada dampak terhadap lingkungan serta dampak terhadap
tanaman dan masyarakat disekitarnya seperti yang tertulis dalam butir-butir dalam mekanisme pengkajian.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Salinan ini sesuai aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo,MPA.
36
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 29 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN SYARAT DAN TATA CARA
PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI
MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden RI
Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN SYARAT DAN TATA
CARA PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT.
Pasal 1
Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah
di perkebunan kelapa sawit di kabupaten/kota dengan berpedoman pada Keputusan ini.
Pasal 2
(1) Pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa
sawit diajukan berdasarkan hasil kajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit.
(2) Pedoman pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman
Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
Pasal 3
(1) Persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dalam hal pengajuan izin pemanfaatan air limbah industri sawit pada
tanah di perkebunan kelapa sawit, yaitu:
a. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
b. nilai pH berkisar 6-9;
c. dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
d. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
e. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
f. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter; dan
g. pembuatan sumur pantau.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai dengan
kebutuhan masing-masing daerah yang bersangkutan.
(3) Pedoman tentang syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
37
Pasal 4
Bupati/Walikota menerbitkan surat keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan ijin diajukan oleh
pemrakarsa.
Pasal 5
Surat Keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib
mencantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b. metode dan frekuensi pemantauan;
c. pelaporan hasil pemantauan, dilakukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota sekurang-kurangnya
dilakukan 6 (enam) bulan sekali dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur provinsi yang bersangkutan
dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ;
d. larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalam Keputusan ini;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku .
Pasal 6
Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan atas pelaksanaan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit
pada tanah di perkebunan kelapa sawit.
Pasal 7
Izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila
ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.
Pasal 8
(1) Bagi pemrakarsa yang telah mendapatkan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah
perkebunan di perkebunan kelapa sawit, pada saat Keputusan ini ditetapkan izin tersebut dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.
(2) Apabila persyaratan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan dengan Keputusan ini, maka wajib
disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah Keputusan ini ditetapkan.
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
Salinan ini sesuai aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo,MPA.
38
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 29 Tahun 2003
Tanggal : 25 Maret 2003
PEDOMAN SYARAT DAN TATA CARA
PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI
MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
I. PENDAHULUAN
Air limbah yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pemupukan pada tanah
perkebunan karena air limbah tersebut pada kondisi tertentu masih mengandung unsur-unsur hara yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Pemupukan dengan air limbah ini pada umumnya dilakukan dengan mengalirkan
air limbah yang berasal dari kolam penanganan limbah ke parit-parit yang ada di perkebunan. Akan tetapi di sisi
lain, pemanfaatan air limbah pada tanah juga secara potensial menimbulkan pencemaran lingkungan atau
bahkan akan menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit di kawasan pemanfaatan air limbah itu sendiri.
Dengan melihat kondisi tersebut di atas dan untuk mengurangi resiko pencemaran lingkungan yang terjadi
maka pemanfaatan air limbah pada tanah dapat dilakukan setelah pemrakarsa melakukan pengkajian dan
mendapat izin dari Bupati/Walikota. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Guna mempermudah pelaksanaan pemberian izin pemanfaatan air limbah pada tanah oleh Bupati/Walikota
maka perlu disusun Pedoman Perizinan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah.
II. PROSEDUR PERMOHONAN IZIN
Prosedur pemberian izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah adalah sebagai berikut:
1. Pemrakarsa menyampaikan permohonan Izin kepada Bupati/Walikota untuk melaksanakan pemanfaatan
air limbah pada tanah. Pengajuan Permohonan Izin Pelaksanaan pemanfaatan air limbah dilakukan setelah
pemrakarsa selesai melakukan pengkajian aplikasi air limbah pada tanah dan melampirkan dokumen-
dokumen berikut:
a) Laporan hasil pengkajian pemanfaatan air limbah (land application);
b) Dokumen AMDAL/SEMDAL/DPL/UKL/UPL yang telah mencantumkan rencana pelaksanaan
pemanfaatan air limbah;
c) Izin Usaha (SIUP);
d) Akte Pendirian;
e) Izin Lokasi Perkebunan (HGU);
f) IMB Pabrik/Industri;
g) Persetujuan karyawan pabrik dan masyarakat yang berada pada radius 500 meter dari lokasi
pemanfaatan.
2. Bupati/Walikota memberikan penugasan kepada Instansi yang bertanggung jawab dan mempunyai
kewenangan dalam menangani pengendalian dampak lingkungan di kabupaten/kota (Bapedalda/Dinas
Lingkungan Hidup/Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditunjuk) untuk
melakukan evaluasi terhadap permohonan izin tersebut. Penugasan ini diberikan segera oleh Bupati/
Walikota setelah menerima permohonan izin dari pemrakarsa.
3. Instansi yang bertanggung jawab melakukan evaluasi terhadap usulan rencana kegiatan pemanfaatan air
limbah pada tanah yang meliputi:
a. Pengecekan kelengkapan dokumen yang dilakukan segera setelah mendapat penugasan dari Bupati/
Walikota.
1). Jika dokumen yang diajukan oleh pemrakarsa sudah lengkap (seperti yang telah disebutkan di
atas), pemrakarsa akan diminta untuk mengadakan presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan
air limbah;
2). Jika dokumen yang diajukan kurang lengkap, pemrakarsa akan diberi waktu untuk melengkapi
kekurangan dokumen. Setelah dievaluasi dan dinyatakan lengkap, pemrakarsa akan diminta untuk
mengadakan presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan air limbah.
b. Verifikasi teknis yang dimaksudkan adalah untuk mengetahui kelayakan teknis dari permohonan izin
tersebut. Kegiatan verifikasi teknis meliputi:
1). Permintaan presentasi kepada pemrakarsa di dekat lokasi kajian pemanfaatan air limbah yang
dilaksanakan setelah kelengkapan dokumen terpenuhi, dihadiri oleh Instansi yang bertanggung
jawab yang ditunjuk Bupati/ Walikota dan Instansi Teknis terkait. Evaluasi presentasi meliputi
kesesuaian muatan presentasi dengan materi yang ditulis dalam laporan dan atau ketentuan
yang tertuang dalam persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah. Hasil evaluasi
ini akan dicantumkan dalam rekomendasi;
2). Evaluasi terhadap laporan secara tertulis dan dari presentasi pemrakarsa.
Evaluasi terhadap Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah meliputi:
39
2.1. Evaluasi terhadap muatan teknis Laporan Hasil Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah termasuk
ketepatan teknik analisis dan teknik evaluasi data;
2.2. Evaluasi terhadap kesesuaian muatan Laporan Hasil Pengkajian Air Limbah dengan
persyaratan dalam persetujuan pengkajian yang meliputi media yang harus dipantau, pa-
rameter yang harus dipantau, metode analisis, dll.
3). Kunjungan Lapangan dan Pengambilan Sampel
Kunjungan lapangan ini dimaksudkan untuk mengecek kondisi lapangan dan kesesuaiannya
dengan hal-hal yang tertuang dalam Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air
Limbah termasuk titik pemantauan, kondisi titik pemantauan, dan sampel yang diambil. Kegiatan
pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui apakah ada indikasi pencemaran lingkungan
yang disebabkan oleh kegiatan aplikasi serta validasi terhadap data yang dicantumkan dalam
laporan. Evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kunjungan lapangan dan pengambilan sampel
dilakukan segera setelah itu.
4). Penyusunan rekomendasi kepada Bupati/Walikota
Rekomendasi ini disusun oleh Instansi yang sebagai hasil evaluasi terhadap permohonan izin
dan merupakan laporan terhadap pelaksanaan penugasan yang diberikan oleh Bupati/Walikota.
Rekomendasi Instansi yang bertanggung jawab ini digunakan sebagai bahan masukan dalam:
4.1. Penerbitan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan layak
administrasi (kelengkapan dokumen dan prosedur perizinan diikuti) dan tidak menunjukkan
adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dal am pelaksanaan
pemanfaatan air limbah; atau
4.2. Penolakan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan tidak layak
administrasi dan atau ada indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Total waktu yang diperlukan untuk kegiatan verifikasi teknis adalah 21 (dua puluh satu) hari kerja
tergantung kelengkapan dokumen permohonan izin yang disampaikan oleh pemrakarsa.
c. Penerbitan atau Penolakan Izin sesuai dengan kelayakan teknis dari permohonan izin tersebut.
1). Izin diterbitkan oleh Bupati/Walikota segera setelah ada rekomendasi dari Instansi yang bertanggung
jawab. Pemrosesan Permohonan Izin Pemanfaatan Air Limbah ini memerlukan total waktu kurang
lebih 90 (sembilan puluh) hari kerja sampai diterbitkannya izin pelaksanaan ataupun penolakan
izin.
Izin diterbitkan dengan mencantumkan masa berlaku dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pemrakarsa dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah pada tanah, seperti: baku
mutu air limbah yang dimanfaatkan, kewajiban melakukan pemantauan, melaporkan hasil
pemantauannya kepada Instansi yang bertanggungjawab, dll.
2). Penolakan izin pemanfaatan air limbah pada tanah disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada
pemrakarsa segera setelah Bupati/Walikota menerima laporan rekomendasi penolakan dari instansi
yang bertanggung jawab.
40
Pengawasan Pelaksanaan LA
dan Evaluasi Laporan
Pemantauan
PEMRAKARSA
BUPATI/WALIKOTA INSTANSI TERKAIT
Permohonan Izin Penugasan Evaluasi
Surat tugas
Evaluasi Dokumen
Melengkapi dokumen
Dokumen tidak lengkap
Dokumen lengkap
Melengkapi
kekurangan
dokumen
Presentasi
Merekomendasikan
permintaan diadakannya
presentasi
Surat permintaan
pengadaan presentasi
Melakukan kunjungan lapangan
serta verifikasi teknis dan
evaluasi terhadap presentasi
tersebut
Tidak
Layak
Layak teknis
Tidak dapat
laksanakan LA
Penerbitan Surat
Penolakan Izin
Merekomendasikan
penolakan izin
Melaksanakan LA
Penerbitan Surat Izin
Merekomendasikan
Pemberian Izin
Pemantauan
Penugasan Pengawasan
Pelaksanaan LA dan Evaluasi
Laporan Pemantauan
Laporan
Indikasi
pencemaran
Tidak
ada
Ada
Kegiatan LA Berlanjut
Rekomendasi
Meneruskan LA
Stop Kegiatan LA Surat Pencabutan
Rekomendasi
Menghentikan LA
Adapun secara sistematis Prosedur Perizinan Land Application (LA) ditampilkan sebagai diagram
berikut ini :
41
III. FORMULIR PERMOHONAN IZIN
Formulir permohonan izin yang harus diisi oleh pemrakarsa dan dapat mengacu pada format yang
disajikan dalam tabel berikut:
1. Identitas Perusahaan
1. Nama Perusahaan : .
2. Alamat : .
a. Jalan/Desa : .
b. Kecamatan : .
c. Kabupaten/Kota : .
d. Pemerintah Propinsi : .
e. Telepon : .
f. Faximile : .
3. Tahun Mulai Beroperasi : .
4. Perizinan Yang Sudah Diperoleh
a. Izin Usaha Tetap : .
b. Dokumen Amdal : .
c. Akte Pendirian : .
d. Izin Lokasi : .
e. Izin Mendirikan Bangunan : .
5. General Manager : .
6. Kontak Person : .
a. Nama : .
b. Jabatan : .
c. Telepon : .
7. Apabila Alamat Pabrik berbeda dengan Alamat Kantor Pusat
a. Alamat Kantor Pusat : .
b. Telepon : .
c. Faximile : .
2. Industri
1. Jenis Industri : .
2. Kapasitas Produksi : .
3. Penggunaan Air : .m
3
/hari
4. Air Limbah Dihasilkan : .m
3
/hari
3. Pengolahan Air Limbah (Lampiran Layout IPAL)
1. Jenis Pengolahan Limbah : .
2. Kapasitas Pengolahan Limbah : .
3. Lampiran Hasil Analisis Limbah Yang Dihasilkan
4. Karakteristik lahan
1. Jenis Tanah : .
2. Topografi/kontur wilayah (lampirkan peta lokasi lahan aplikasi)
3. Sifat Fisika - Kimia Tanah (lampirkan data analisis yang meliputi : pH, Kadar C Organik, KTK,
Tekstur, Porositas dan Logam Berat)
4. Curah Hujan (lampirkan Data Hujan Bulanan Dari Stasiun Terdekat, 5 Tahun Terakhir)
5. Aplikasi Air Limbah (Lampirkan Peta)
1. Luas Lahan Perkebunan : ha
2. Luas Lahan Aplikasi Air Limbah : ha
42
3. Luas Lahan Kontrol : ha
4. Tahun Mulai Aplikasi Air Limbah : .
5. Air Limbah Yang Diaplikasikan : m
3
/hari
6. Rotasi Pengaliran Air Limbah : . hari
7. Dosis Pemakaian Air Limbah : .
8. Persen Peningkatan Hasil : % (lampirkan data pendukung diisi
bila perkebunan telah melakukan pemanfaatan
air limbah).
6. Tata Ruang
1. Lokasi pabrik, pembuangan air limbah dan penduduk (lampirkan peta)
2. Jumlah penduduk di lokasi terdekat : .
3. Jumlah Sumur Penduduk : .
4. Jarak Pemukiman terdekat lokasi : .
5. Kedalaman air tanah/muka air dilokasi : .
6. Kecenderungan arah angin : .
7. Sungai (badan air terdekat) : .
8. Jarak sungai ke lokasi : .
9. Hasil Analisis Kualitas Air Sungai dan Sumur Terdekat
43
IV. SURAT KEPUTUSAN IZIN PELAKSANAAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH
Keputusan izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah dapat mengacu pada format berikut:
a. Format Surat Keputusan penetapan izin:
KEPUTUSAN
.
NOMOR : KEP- / ../ /
TENTANG
IZIN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH KEPADA
PERKEBUNAN ..
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. Bahwa sebelum pemberian izin pembuangan air limbah pada tanah, harus dilakukan
melalui pengkajian dampak air limbah terhadap kualitas tanah dan air tanah;
b. Bahwa berdasarkan penilaian terhadap hasil pengkajian tentang pembuangan air limbah
pada tanah yang dilakukan oleh dianggap telah memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang diperlukan dalam pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah;
c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah kepada
.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);
3. .
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan izin aplikasi air limbah pada tanah kepada
Nama Perusahaan :
Alamat :
Nama Unit Usaha/Pabrik :
Alamat Pabrik :
Jenis Industri :
Status Modal Perusahaan :
Izin Usaha Industri : 1.
2.
Nomor akte Pendirian Perusahaan :
Penanggung Jawab Perusahaan :
KEDUA : Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA wajib mentaati segala
persyaratan dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
KETIGA : Keputusan pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah ini berlaku .... terhitung
sejak Keputusan ini di tetapkan
KEEMPAT : Izin aplikasi air limbah sebagaimana dimaksudkan dalam Diktum KETIGA dapat
diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjang sekurang-kurangnya 2 (dua)
bulan sebelum masa berakhirnya izin tersebut kepada ...dengan tembusan kepada
.. dan melampirkan data hasil pengkajian kualitas dan kuantitas air limbah, kualitas
tanah dan air tanah.
KELIMA : Pemohon harus memenuhi kewajiban yang tertuang dalam Lampiran Keputusan ini
KEENAM : Apabila di kemudian hari terj adi pel anggaran terhadap kewaj iban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, akan diberikan sangsi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
pada Tanggal :
ttd
.
Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada:
1. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
2. Menteri Pertanian;
3. Menteri Perkebunan dan Kehutanan;
4. Kepala Pemerintah Propinsi Setempat.
44
b. Format Lampiran Keputusan:
Lampiran : Keputusan .
Nomor :
Tanggal :
Kewajiban dan larangan bagi pemrakarsa
I. Kewajiban:
1. Batas kualitas air limbah yang keluar dari Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) sebagai berikut:
2. Seluruh air limbah yang dihasilkan dengan kualitas sebagaimana dimaksud pada butir 1 harus dapat
dimanfaatkan untuk mengairi tanah perkebunan , afdeling ..., blok .....,
seluas .hektar di Kecamatan .., Kabupaten , Propinsi ........................................
3. Melakukan pemantauan air limbah yang keluar dari kolam (kolam/penampungan air limbah
terakhir sebelum air limbah tersebut dibuang ke lahan), dengan parameter, frekuensi pemantauan dan
metode analisis sebagai berikut:
Parameter Frekuensi Metode
Debit Harian
BOD Bulanan Winkler
COD Bulanan
pH Harian pH meter
Minyak/Lemak Bulanan Soklet
Pb Bulanan AAS
Cu Bulanan AAS
Cd Bulanan AAS
Zn Bulanan AAS
4. Air Tanah:
Melakukan pemantauan terhadap air tanah pada sumur pantau di lahan aplikasi blok , lahan blok
.., dengan parameter, frekuensi dan metode analisis sebagai berikut:
Parameter Frekuensi Metode
BOD 6 bulan sekali Winkler
DO 6 bulan sekali
pH 6 bulan sekali pHmeter
NO3 sebagai N 6 bulan sekali Colorimetrik
NH3-N 6 bulan sekali Colorimetrik
Cd 6 bulan sekali AAS
Cu 6 bulan sekali AAS
Pb 6 bulan sekali AAS
Zn 6 bulan sekali AAS
Cl 6 bulan sekali Titrimetrik
SO
4
-2
6 bulan sekali Colorimetrik
5. Tanah:
Melakukan pemeriksaan kualitas tanah pada lahan aplikasi (rorak), lahan aplikasi (antar rorak), dan lahan
kontral masing-masing pada kedalaman 0 20, 20 40, 60 80, 80 100, 100 120 centimeter (6 lapisan)
dengan parameter, frekuensi dan metode analisis sebagai berikut:
Parameter Frekuensi Metode
pH dalam air 1 tahun sekali pH Meter
C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back
N total 1 tahun sekali Kjeldhal
P-tersedia 1 tahun sekali Bray I
Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4OAc pH:7
Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic absorbsion spectrophotometer
Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK*100%
Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah
Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet
Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet
6. Menyampaikan laporan kepada Bupati/Walikota, Kepala Pemerintah Propinsi, Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang:
a. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 3 setiap 1 (satu) bulan sekali.
b. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 4 (empat) setiap 6 (enam) bulan sekali.
c. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 5 (angka) setiap 1 (satu) tahun sekali.
II. Larangan:
1. Dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit, adanya air larian (run off) ke
sungai atau lingkungan lainnya dilarang.
2. Pemrakarsa dilarang melakukan pengenceran air limbah yang akan dimanfaatkan.
3. Pemrakarsa dilarang membuang air limbah pada tanah di luar wilayah yang telah ditetapkan dalam keputusan
ini.
4. Pemrakarsa dilarang membuang limbah ke sungai bila kualitas air limbah melebihi baku mutu air limbah
yang berlaku.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
45
V. PEMANTAUAN
A. Mekanisme Pemantauan
Bupati/Walikota meminta kepada penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk melakukan kegiatan
pemantauan segera oleh pemrakarsa atau penanggung jawab usaha setelah memperoleh Surat Keputusan
Izin Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah. Hasil pemantauan tersebut wajib disampaikan kepada Bupati/
Walikota, Gubernur dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Adapun pemantauan minimal yang wajib diminta
oleh Bupati/Walikota kepada pemrakarsa adalah:
1. Air Limbah
a. Lokasi pengambilan sampel
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air limbah (titik terakhir
sebelum dimanfaatkan ke lahan)
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air limbah disajikan
pada table berikut:
No. Parameter Frekuensi Metode
1. Debit Harian
2. BOD Bulanan Winkler
3. COD Bulanan
4. pH Bulanan pHmeter
5. Minyak/Lemak Harian Soklet
6. Pb Bulanan AAS
7. Cu Bulanan AAS
8. Cd Bulanan AAS
9. Zn Bulanan AAS
2. Air Tanah
a. Lokasi pengambilan air tanah
Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol, lahan yang diaplikasi
dengan air limbah pada tanah dan sumur penduduk terdekat yang lokasinya lebih rendah dan
diperkirakan memiliki peluang tercemar air limbah.
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air tanah disajikan
pada table berikut:
No. Parameter Frekuensi Metode
1. BOD 6 bulan sekali Winkler
2. DO 6 bulan sekali
3. pH 6 bulan sekali pHmeter
4. NO
3
sebagai N 6 bulan sekali Colorimetrik
5. NH
3
-N 6 bulan sekali Colorimetrik
6. Cd 6 bulan sekali AAS
7. Cu 6 bulan sekali AAS
8. Pb 6 bulan sekali AAS
9. Zn 6 bulan sekali AAS
10. Cl 6 bulan sekali Titrimetrik
11. SO
4
-2
6 bulan sekali Colorimetrik
3. Tanah
a. Lokasi
Tanah yang akan dianalisa adalah tanah di lahan sekitar lokasi pemanfaatan air limbah, rorak
(saluran/parit yang digenangi air limbah), dan antar rorak (antara parit dan tanaman) pada enam
kedalaman, yaitu: 0-20cm; 20-40cm; 40-60cm; 60-80cm; 80-100cm dan 100-120cm. Pengambilan
sampel tanah di parit dilakukan setelah kerak limbah yang menumpuk dipermukaannya dibuang
atau disisihkan dari parit
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel tanah disajikan pada
tabel berikut:
46
No Parameter Frekuensi Metode
1. PH dalam air 1 tahun sekali pHmeter
2. C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back
3. N total 1 tahun sekali Kjeldhal
4. P-tersedia 1 tahun sekali Bray I
5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4Oac pH:7
6. Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic absorbsion
spectrophotometer
7. Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK x 100%
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah
9. Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet
10. Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet
c. Pengambilan Sampel:
Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel tanah yaitu sampel tanah
terganggu dan sampel tanah utuh.
- Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan menggunakan
skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk mengukur parameter seperti pH,
Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur tertentu serta
tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau lempung). Untuk sampel tanah yang
terganggu diambil dengan menggunakan bor tanah mineral, sampel tanah diambil pada setiap
20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis. Berat sampel tanah terganggu yang diambil
dengan menggunakan masing-masing + 0.5 kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam
kantong plastik rangkap 2 (dua). Dengan diberi label yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.
- Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan menggunakan ring sampler
dan digunakan untuk mengukur bobot isi, porositas dan permeabilitas. Pengambilan sampel
tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, masing-
masing 2 (dua) sampel. Satu sampel digunakan untuk mengukur porositas dan bobot isi,
sedang sampel lainnya digunakan untuk mengukur permeabilitas.
B. Format Laporan
Bupati/Walikota meminta kepada pemrakarsa yang telah mendapat izin air limbahnya untuk berkewajiban
menyampaikan laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah secara berkala kepada instansi
yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada Bupati/Walikota,Gubernur dan Menteri Lingkungan Hidup.
Penyusunan Laporan Pemantauan Pemanfaatan Air Limbah mengacu pada sistematika sebagai berikut:
I. Umum
1. Nama dan atau nomor laboratorium :
2. Nama Perusahaan :
3. Alamat :
4. Jenis Kegiatan Usaha :
5. Lokasi Pengambilan Contoh :
6. Petugas Pengambilan Contoh :
7. Tanggal/Jam Pengambilan Contoh :
8. Tanggal/Jam Penerimaan Contoh :
9. Nama Pengirim Contoh :
10. Instansi/Perusahaan :
II. Data Industri
1. Debit limbah cair rata-rata selama bulan pemantauan :
2. Produksi/penggunaan bahan baku rata-rata selama sebulan :
3. pH pada waktu pengambilan :
4. Suhu pada waktu pengambilan :
47
III. Hasil Pengujian
1. Air limbah
Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu Limbah Cair
(sesuai persyaratan dalam izin yang ditetapkan)
No Parameter Kadar Beban No Parameter Kadar Beban
(mg/l) (kg/ton)No (mg/l) (kg/ton)
1. BOD 1.
2. COD 2.
3. pH 3.
4. Minyak/lemak 4.
5. Pb 5.
6. Cu 6.
7. Cd 7.
8. Zn 8.
2. Air tanah
Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu Limbah Cair
(permenkes)
No Parameter Kadar Beban No Parameter Kadar Beban
(mg/l) (kg/ton) (mg/l) (kg/ton)
1. BOD 1.
2. Do 2.
3. pH 3.
4. NO3

sbg

N 4.
5. NH3-N 5.
6. Cd 6.
7. Cu 7.
8. Pb 8.
9. Zn 9.
10. Cl 10.
11. SO
4
-2
11.
3. Tanah
Hasil Uji Laboratorium
No Parameter Kadar Beban
(mg/l) (kg/ton)
1. pH dalam air
2. C-organik
3. N total
4. P-tersedia
5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg
6. Kapasitas Tukar Kation
7. Kejenuhan Basa
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd)
9. Tekstur (Pasir, debu, liat)
10. Minyak/lemak
IV. Kesimpulan
Uraian memenuhi baku mutu atau tidak memenuhi Baku Mutu Limbah Cair
Tempat, tanggal
Pemrakarsa
(nama terang)
48
VI. EVALUASI PEMANTAUAN
Evaluasi laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit dilakukan
oleh Instansi yang bertanggung jawab dan ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Evaluasi dilaksanakan dengan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan
yang meliputi:
1. Kondisi tanah
Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran pada tanah di lokasi pemanfaatan maka evaluasi
dilakukan dengan membandingkan antara kondisi tanah di lokasi pemanfaatan dengan kondisi tanah pada
rona awal dan kondisi tanah disekitar lokasi pemanfaatan.
2. Kondisi air tanah
Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran terhadap air tanah, maka evaluasi dilakukan dengan
membandingkan antara kondisi air tanah setempat dengan rona awalnya dan standar baku mutu air minum
sesuai dengan Lampiran II. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-
Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
3. Kondisi kebauan
Evaluasi terhadap kebauan dilakukan dengan membandingkan antara kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan
dengan baku mutu tingkat kebauan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50/MENLH/11/
1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan. Apabila kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan melebihi baku
mutu maka hal tersebut dapat digunakan sebagai indikasi adanya pencemaran. Apabila terjadi indikasi
tersebut maka instansi yang bertanggung jawab wajib meminta kepada pemrakarsa untuk memperbaiki
kualitas kebauan di lokasi pemanfaatan jika pemrakarsa tidak melakukan perbaikan kualitas kebauannya
maka izin pemanfaatan air limbahnya dapat dicabut.
4. Kondisi tanaman
Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran dan atau kerusakan tanaman pokok akibat pencemaran maka
evaluasi dilakukan dengan:
a. pengamatan indikasi kondisi fisik tanaman tersebut
b. melakukan pengecekan terhadap produktivitas tanaman tersebut
c. melakukan uji laboratorium tanaman tersebut.
5. Kondisi air limbah yang dimanfaatkan
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan kualitas air limbah yang dimanfaatkan dengan kualitas air
limbah yang dipersyaratkan dalam izin.
Apabila dari hasil evaluasi tersebut menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan. Hal tersebut berarti izin dicabut dan pemrakarsa
harus melakukan pemulihan kualitas lingkungan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Salinan ini sesuai aslinya
Dpeuti MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelambagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
49
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 37 TAHUN 2003
TENTANG
METODA ANALISIS KUALITAS AIR PERMUKAAN DAN PENGAMBILAN CONTOH AIR PERMUKAAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diperlukan
pemantauan kualitas air dengan menggunakan suatu metoda analisis kualitas air permukaan
dan pengambilan contoh air permukaan;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Contoh Air Permukaan
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG METODA ANALISIS KUALITAS
AIR PERMUKAAN DAN PENGAMBILAN CONTOH AIR PERMUKAAN.
Pasal 1
Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan Standar Nasional
Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional.
Pasal 2
(1) Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan SNI dengan nomor kelompok 13.060.10.
Pasal 3
Apabila metoda analisis kualitas air permukaan dan pengambilan contoh air permukaan untuk parameter tertentu
belum ditetapkan dalam SNI maka dilakukan dengan Metoda Standard ( Standard Methods) yang diterbitkan oleh
Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika ( American Public Health Association) yang terbaru.
Pasal 4
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Maret 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
50
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 37 Tahun 2003
Tanggal : 28 Maret 2003
A
l
u
m
i
n
i
u
m
A
l
u
m
i
n
i
u
m

t
e
r
l
a
r
u
t
A
m
o
n
iu
m
A
r
s
e
n
B
a
r
iu
m
B
e
s
i
B
e
s
i

t
e
r
l
a
r
u
t
B
o
r
o
n
F
l
u
o
r
i
d
a
F
l
u
o
r
i
d
a
F
o
s
f
a
t

d
a
l
a
m

s
e
d
i
m
e
n

m
e
l
a
y
a
n
g
O
r
t
o
f
o
s
f
a
t

d
a
n

f
o
s
f
a
t

t
o
t
a
l
K
a
d
m
iu
m
K
a
li
u
m
K
a
l
s
i
u
m
K
a
r
b
o
n

d
i
o
k
s
i
d
a

a
g
r
e
s
i
f
K
a
r
b
o
n

o
r
g
a
n
i
k

t
o
t
a
l
K
e
b
u
t
u
h
a
n

O
k
s
i
g
e
n

B
i
o
k
i
m
i
a
w
i

(
B
O
D
)
K
e
b
u
t
u
h
a
n

O
k
s
i
g
e
n

K
i
m
i
a
w
i

(
C
O
D
)
K
e
s
a
d
a
h
a
n
T
o
t
a
l
K
h
l
o
r
i
d
a

(
C
l
-
)
K
l
o
r
i
n

b
e
b
a
s
K
o
b
a
l
K
o
n
d
u
k
t
i
v
i
t
a
s

L
i
s
t
r
i
k
K
r
o
m
K
e
l
o
m
p
o
k
P
a
r
a
m
e
t
e
r


y
a
n
g

d
i
u
k
u
r






R
e
n
t
a
n
g
S
a
t
u
a
n
2

-

2
0
0

g
/
L
0
,
0
2

-

1
,
0
m
g
/
L
2
0

-

3
0
0

g
/
L
5

-

6
0

/

5
0
m
g
/
L

m
g
/
L
0
,
0
0
5

-

0
,
1
m
g
/
L
5

-

1
0
0

g
/
L
1

-

2
0

g
/
L
0
,
0
0
5

-

0
,
2
5
m
g
/
L
1

-

2
0
m
g
/
L
5
0

-

2
0
0

g
/
L
0
,
0
2

-

4
,
0
m
g
/
L
0
,
3

-

1
0
m
g
/
L
5

-

2
0
0

g
/
L
5

-

1
0
0

g
/
L
0
,
2

-

4
,
0
m
g
/
L
0
,
1

-

1
0
m
g
/
L
0

-

2
,
5
m
g
/
L
0

-

2
,
5
m
g
/
L
m
g
/
L
0
,
0
1

-

1
,
0
m
g
/
L
1
,
5

-

1
0

g
/
L
5

-

2
0
0

g
/
L
0
,
0
5

-

2
,
0
m
g
/
L
0
,
0
0
1

-

0
,
0
1
m
g
/
L
0
,
5


-

2
m
g
/
L
1
0
0

-

1
0
0
0
m
g
/
L
0
,
0
2

-

2
,
0
0
m
g
/
L

m
g
/
L
m
g
/
L
m
g
/
L
5

-

5
0
m
g
/
L
1
,
0

-

3
0
0
m
g
/
L

C
a
C
O
3
3

-

2
0
0
m
g
/
L
0
,
0
1
1

-

4
,
0
m
g
/
L
0
,
5

-

1
0
m
g
/
L
5

-

1
0
0

g
/
L
5
0

-

1
0
0
0
m
g
/
L
m
g
/
L
0
,
0
1

-

0
,
1
m
g
/
L
0
,
2

-

1
0
m
g
/
L
T
e
k
n
i
k

P
e
n
g
u
j
i
a
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

a
l
u
m
i
n
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

E
r
i
o
k
r
o
m
s
i
a
n
i
n
-
R
K
o
l
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

N
e
s
s
l
e
r
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

N
e
s
s
l
e
r
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

P
D
D
K

d
a
l
a
m

p
i
r
i
d
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

n
a
t
r
i
u
m

b
o
r
o
h
i
d
r
i
d
a
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

p
e
r
a
k

d
i
e
t
i
l

d
i
t
i
o
k
a
r
b
a
m
a
t
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

P
e
n
a
n
t
r
o
l
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
t
o
m
e
t
e
r
i

d
e
n
g
a
n

p
e
n
a
n
t
r
o
l
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

c
u
r
c
u
m
i
n
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

a
l
a
z
a
r
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

a
l
a
z
a
r
i
n

m
e
r
a
h
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

a
m
o
n
i
u
m

m
o
l
i
b
d
a
t
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

a
s
a
m

a
s
k
o
r
b
a
t
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

s
e
c
a
r
a

d
e
n
g
a
n

D
i
t
i
z
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n


E
D
T
A
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
c
a
r
a

N
D
I
R
I
n
k
u
b
a
s
i

p
a
d
a

t
e
m
p
e
r
a
t
u
r

2
0

0

C
,

5

h
a
r
i
R
e
f
l
u
k
s

s
e
c
a
r
a

t
e
r
t
u
t
u
p
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

E
D
T
A
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i

s
e
c
a
r
a

A
r
g
e
n
t
o
m
e
t
r
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

d
i
e
t
i
l

f
e
n
i
l
i
n
d
i
a
m
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
K
o
n
d
u
k
t
o
m
e
t
r
i
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

D
i
f
e
n
i
l

K
a
r
b
a
z
i
d
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
s
i
f
i
k
a
s
i

M
e
t
o
d
a

P
e
n
g
u
j
i
a
n
S
N
I


0
6
-
4
1
6
3
-
1
9
9
6
S
N
I


1
9
-
1
4
1
8
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
4
1
6
0
-
1
9
9
6
S
N
I


1
9
-
1
6
5
5
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
7
9
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
6
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
9
0
9
-
1
9
9
2
S
N
I


0
6
-
2
9
1
3
-
1
9
9
2
S
N
I


1
9
-
2
6
0
1
-
1
9
9
2
S
N
I


0
6
-
2
4
6
7
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
6
8
-
1
9
9
1
S
N
I

0
6
-
1
1
2
7
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
5
2
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
2
4
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
2
5
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
4
1
3
8
-
1
9
9
6
S
N
I


0
6
-
2
4
8
1
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
5
0
3
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
8
2
-
1
9
9
1
S
N
I


0
3
-
4
1
5
1
-
1
9
9
6
S
N
I


0
6
-
2
4
8
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
6
4
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
6
5
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
6
6
-
1
9
9
1
S
N
I

0
6
-
1
1
3
0
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
2
7
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
2
9
-
1
9
9
1
S
N
I

0
6
-
2
9
1
1
-
1
9
9
2
S
N
I


0
6
-
4
1
3
9
-
1
9
9
6
S
N
I


0
6
-
2
5
0
5
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
0
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
0
4
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
4
1
6
1
-
1
9
9
6
S
N
I


0
6
-
2
4
3
1
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
4
8
2
4
-
1
9
9
8
S
N
I


0
6
-
2
4
7
1
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
7
2
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
7
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
1
3
-
1
9
9
1
S
N
I

0
6
-
1
1
3
2
-
1
9
8
9
S
N
I

0
6
-
2
5
1
1
-
1
9
9
1
K
i
m
i
a

A
n
o
r
g
a
n
i
k
M
e
t
o
d
a

A
n
a
l
i
s
i
s

K
u
a
l
i
t
a
s

A
i
r

P
e
r
m
u
k
a
a
n
51
M
a
g
n
e
s
i
u
m
M
a
n
g
a
n
M
e
r
k
u
r
i

(
A
i
r

R
a
k
s
a
)
N
i
k
e
l
N
i
t
r
a
t

(
N
O
3
-
N
)
N
i
t
r
i
t
N
i
t
r
o
g
e
n

t
o
t
a
l

s
e
d
i
m
e
n

l
a
y
a
n
g
O
k
s
i
g
e
n

t
e
r
l
a
r
u
t
P
e
r
m
a
n
g
a
n
a
t
P
e
r
a
k
P
H
P
o
l
i

k
l
o
r
o

b
i
f
e
n
i
l

(
P
C
B
)
S
e
le
n
i
u
m
S
e
n
g
S
i
a
n
id
a
S
i
l
i
k
a
S
u
l
f
a
t
S
u
l
f
i
d
a
S
u
l
f
i
t
0
,
0
0
5

-

0
,
2
m
g
/
L
5

-

1
0
0

g
/
L
1
0
0

-

1
0
0
0
m
g
/
L

m
g
/
L
0
,
0
5

-

1
,
5
m
g
/
L
0
,
0
5

-

2
m
g
/
L
5

-

2
0
0
m
g
/
L
0
,
5

-

1
0
m
g
/
L
0
,
0
4
2

-

1
5
m
g
/
L
0
,
6

-

1
5

g
/
L
0
,
2

-

1
0

g
/
L
0
,
1

-

1
0
,
0

g
/
L
0
,
3

-

1
0
m
g
/
L
5

-

2
0
0

g
/
L
5

-

1
0
0

g
/
L
0
,
0
1

-

5
,
0
m
g
/
L
0
,
1

-

2
,
0
m
g
/
L
1

-

5
0
m
g
/
L
0
,
0
0
1

-

0
,
5
m
g
/
L
0
,
0
0
5

-

0
,
1
m
g
/
L
m
g
/
L
m
g
/
L
m
g
/
L
m
g
/
L

g
/
L
1

-

2
5

g
/
L
1
-
1
4
S
a
t
u
a
n

p
H
m
g
/
L
0
,
0
0
5

-

0
,
1
m
g
/
L
0
,
0
0
1

-

0
,
0
0
5
m
g
/
L
0
,
0
0
5

-

2
m
g
/
L
0
,
5

-

1
0

g
/
L
5
0

-

2
0
0

g
/
L
m
g
/
L
0
,
0
5

-

1
0
m
g
/
L
1

-

5
0
m
g
/
L
1

-

4
0
m
g
/
L
0
,
0
2

-

2
0
m
g
/
L

m
g
/
L
>

3
m
g
/
L
2
0

-

5
0
0

g
/
L
K
e
l
o
m
p
o
k
P
a
r
a
m
e
t
e
r


y
a
n
g

d
i
u
k
u
r










R
e
n
t
a
n
g
S
a
t
u
a
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i
k

d
e
n
g
a
n

E
D
T
A
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

P
e
r
s
u
l
f
a
t
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n


p
e
r
s
u
l
f
a
t
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
c
a
r
a

a
t
o
m
i
s
a
s
i

d
i
n
g
i
n

(
c
o
l
d

v
a
p
o
u
r
)
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

a
t
o
m
i
s
a
s
i

d
i
n
g
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

M
e
r
c
u
r
y

A
n
a
l
y
z
e
r
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

d
i
m
e
t
i
l
g
l
i
o
k
s
i
m
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

b
r
u
s
i
n

s
u
l
f
a
t
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

b
r
u
c
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

a
s
a
m

s
u
l
f
a
n
i
l
a
t
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

s
e
c
a
r
a

d
i
a
z
o
t
a
s
i
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i
,

d
e
s
t
i
l
a
s
i

K
j
e
l
d
a
h
l
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i
E
l
e
k
t
r
o
k
i
m
i
a
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i
K
a
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

D
i
t
i
z
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
E
l
e
k
t
r
o
m
e
t
r
i
K
r
o
m
o
t
o
g
r
a
f
i
g
a
s

(
G
C
)

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
K
a
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

D
i
t
i
z
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i

d
a
n

k
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i
I
o
n

s
e
l
e
k
t
i
f

m
e
t
e
r
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

m
o
l
i
b
d
a
t

s
i
l
i
k
a
t
T
u
r
b
i
d
i
m
e
t
r
i
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

p
a
r
a

A
m
i
n
o
d
i
m
e
t
i
l

A
n
i
l
i
n
I
o
n

s
e
l
e
k
t
i
f

m
e
t
e
r
T
i
t
r
i
m
e
t
r
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i
S
N
I


0
6
-
2
5
1
2
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
1
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
3
0
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
9
1
0
-
1
9
9
2
S
N
I

0
6
-
1
1
3
3
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
9
7
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
9
8
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
9
9
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
4
8
2
2
-
1
9
9
8
S
N
I


0
6
-
2
4
6
2
-
1
9
9
1
S
N
I

1
9
-
1
4
2
0
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
9
1
2
-
1
9
9
2
S
N
I


0
6
-
2
5
2
0
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
2
1
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
2
2
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
4
1
9
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
8
0
-
1
9
9
1
S
N
I

1
9
-
1
6
6
1
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
8
4
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
6
6
2
-
1
9
8
9
S
N
I


0
3
-
4
1
4
6
-
1
9
9
6
S
N
I


0
6
-
2
4
2
4
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
2
5
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
0
6
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
6
6
8
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
4
1
6
2
-
1
9
9
6
S
N
I

0
6
-
1
1
4
0
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
4
5
6
9
-
1
9
9
8
S
N
I


0
6
-
2
4
7
5
-
1
9
9
1
S
N
I

0
6
-
1
1
3
7
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
5
0
0
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
0
1
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
0
7
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
5
0
4
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
7
4
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
7
7
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
2
6
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
6
6
4
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
7
0
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
3
4
1
5
-
1
9
9
4
S
N
I


0
6
-
3
9
7
1
-
1
9
9
5
K
i
m
i
a

A
n
o
r
g
a
n
i
k
52
K
e
l
o
m
p
o
k
P
a
r
a
m
e
t
e
r


y
a
n
g

d
i
u
k
u
r










R
e
n
t
a
n
g
S
a
t
u
a
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n


t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

s
e
c
a
r
a

B
a
t
o
k
u
p
r
o
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
K
o
l
o
r
i
m
e
t
r
i

s
e
c
a
r
a

D
i
t
i
z
o
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

s
e
c
a
r
a

e
k
s
t
r
a
k
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

s
e
r
a
p
a
n

a
t
o
m

d
e
n
g
a
n

t
u
n
g
k
u

k
a
r
b
o
n
S
a
r
i
n
g
a
n
m
e
m
b
r
a
n
T
a
b
u
n
g

f
e
r
m
e
n
t
a
s
i
T
a
b
u
n
g

f
e
r
m
e
n
t
a
s
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i
S
e
l

h
i
t
u
n
g

S
e
d
w
i
c
k
-
R
a
f
t
e
r
G
r
a
v
i
m
e
t
r
i
G
r
a
v
i
m
e
t
r
i
T
e
r
m
o
m
e
t
r
i
N
e
p
h
e
l
o
m
e
t
r
i
V
i
s
u
a
l

a
t
a
u

s
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

b
i
r
u

m
e
t
i
l
e
n
a
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

4

a
m
i
n
o
a
n
t
i
p
i
r
i
n
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

a
m
i
n
o

a
n
t
i

p
i
r
i
n
K
r
o
m
a
t
o
g
r
a
f
i

G
a
s

(
G
C
)
G
r
a
v
i
m
e
t
r
i
E
k
s
t
r
a
k
s
i

d
e
n
g
a
n

p
e
t
r
o
l
e
u
m
e
t
e
r
G
r
a
v
i
m
e
t
r
i
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

m
a
k
r
o

K
j
e
l
d
a
h
l
S
p
e
k
t
r
o
f
o
t
o
m
e
t
r
i

d
e
n
g
a
n

N
D
I
R
K
r
o
m
a
t
o
g
r
a
f
i

g
a
s

(
G
C
)
K
r
o
m
a
t
o
g
r
a
f
i

g
a
s

(
G
C
)
S
N
I


0
6
-
2
5
1
4
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
1
5
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
1
6
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
4
2
1
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
4
8
2
3
-
1
9
9
8
S
N
I

0
6
-
1
1
3
8
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
5
1
7
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
1
8
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
1
9
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
3
9
5
6
-
1
9
9
5
S
N
I


1
9
-
3
9
5
7
-
1
9
9
5
S
N
I


0
6
-
4
1
5
8
-
1
9
9
6
S
N
I


0
6
-
4
1
5
7
-
1
9
9
6
S
N
I


0
6
-
3
9
6
3
-
1
9
9
4
S
N
I

0
6
-
1
1
3
6
-
1
9
8
9
S
N
I

0
6
-
1
1
3
5
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
1
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
1
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
1
3
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
7
6
-
1
9
9
1
S
N
I


1
9
-
1
6
5
6
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
4
6
9
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
1
0
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
4
1
5
9
-
1
9
9
6
S
N
I


1
9
-
1
6
6
0
-
1
9
8
9
S
N
I


0
6
-
2
5
0
2
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
4
7
8
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
4
5
6
8
-
1
9
9
8
S
N
I


0
6
-
2
5
0
8
-
1
9
9
1
S
N
I


0
6
-
2
5
0
9
-
1
9
9
1
0
,
2

-

1
0
m
g
/
L
5

-

2
0
0
m
g
/
L
5

-

1
0
0

g
/
L
0
,
0
2

-

0
,
5
m
g
/
L
2
0

-

3
0
0

g
/
L
0
,
0
0
2

-

0
,
0
1
5
g
/
L
1

-

2
0
m
g
/
L
0
,
0
0
5

-

0
,
2
m
g
/
L
0
,
0
0
5

-

0
,
1
m
g
/
L
2
0
-
6
0

k
o
l
o
n
i
/
1
0
0

m
L
J
m
l
/
1
0
0
m
L
J
m
l
/
1
0
0
m
L
J
m
l
/
1
0
0
m
L
m
g
/
m
3
J
m
l
/
m
L
m
g
/
L
m
g
/
L
o
C
N
T
U
1
-
5
0
0
T
C
U

(
m
g
/
L
P
t

C
o
)
0
,
0
1

-

2

g
/
L
5

-

1
0
0

g
/
L
0
,
0
0
5
-
0
,
1
m
g
/
L
0
,
1

-

1
0
n
g
/
L

g
/
L

g
/
L
1

-

5
0
m
g
/
L
0
,
0
2

-

5
m
g
/
L
1

-

1
5
0
m
g
/
L
1
0

-

1
0
0
n
g
/
L
0
,
1

-

1
0
n
g
/
L
K
i
m
i
a

O
r
a
g
n
i
k
M
i
k
r
o
b
i
o
l
o
g
i
K
u
a
l
i
t
a
s

F
i
s
i
k
a

A
i
r
M
e
n
t
e
r
i

N
e
g
a
r
a

L
i
n
g
k
u
n
g
a
n

H
i
d
u
p
,
t
t
d
N
a
b
i
e
l

M
a
k
a
r
i
m
,
M
P
A
,
M
S
M
.
S
a
l
i
n
a
n

i
n
i

s
e
s
u
a
i

d
e
n
g
a
n

a
s
l
i
n
y
a
D
e
p
u
t
i

M
E
N
L
H

B
i
d
a
n
g

K
e
b
i
j
a
k
a
n
D
a
n

K
e
l
e
m
b
a
g
a
a
n

L
i
n
g
k
u
n
g
a
n

H
i
u
p
,
H
o
e
t
o
m
o
,
M
P
A
.
T
e
m
b
a
g
a
T
im
a
h
T
i
m
b
a
l
K
o
l
i

T
i
n
j
a
K
o
l
i

T
o
t
a
l
K
l
o
r
o
f
i
l

A

F
i
t
o
p
l
a
n
k
t
o
n
P
l
a
n
k
t
o
n

(
j
e
n
i
s

d
a
n

j
u
m
l
a
h
)
R
e
s
i
d
u

t
e
r
l
a
r
u
t

(
T
D
S
)
R
e
s
i
d
u

t
e
r
s
u
s
p
e
n
s
i

(
T
S
S
)
T
e
m
p
e
r
a
t
u
r
T
u
b
i
d
i
t
a
s
W
a
r
n
a
D
e
t
e
r
g
e
n
F
e
n
o
l
P
e
s
t
i
s
i
d
a

F
o
s
f
a
t

o
r
g
a
n
i
k
K
a
r
b
o
n

K
l
o
r
o
f
o
r
m

E
k
s
t
r
a
k
M
i
n
y
a
k

d
a
n

L
e
m
a
k
N
i
t
r
o
g
e
n

o
r
g
a
n
i
k
K
a
r
b
o
n

O
r
g
a
n
i
k

T
o
t
a
l

(
T
O
C
)
P
e
s
t
i
s
i
d
a

k
l
o
r

o
r
g
a
n
i
k
P
e
s
t
i
s
i
d
a

k
a
r
b
a
m
a
t
53
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 110 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu menetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Pada Sumber Air;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA
TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
a. Daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan
beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
b. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah;
c. Metoda Neraca Massa adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran air dengan menggunakan
perhitungan neraca massa komponen-komponen sumber pencemaran;
d. Metoda Streeter-Phelps adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan oleh Streeter-Phelps;
Pasal 2
(1) Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air.
(2) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan
berdasarkan debit minimal pada tahun yang bersangkutan atau tahun sebelumnya.
(3) Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), digunakan metoda perhitungan yang telah teruji secara ilmiah, yaitu :
a. Metoda Neraca Massa;
b. Metoda Streeter-Phelps.
Pasal 3
(1) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air dengan metoda neraca
massa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
(2) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air limbah pada sumber air dengan metoda
Streeter-Phelps sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II.
Pasal 4
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan
metoda di luar metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
54
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 110 Tahun 2003
Tanggal : 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air Metoda Neraca Massa
I. Pendahuluan
Penentuan daya tampung beban pencemaran dapat ditentukan dengan cara sederhana yaitu dengan
menggunakan metoda neraca massa. Model matematika yang menggunakan perhitungan neraca massa dapat
digunakan untuk menentukan konsentrasi rata-rata aliran hilir (down stream) yang berasal dari sumber pencemar
point sources dan non point sources, perhitungan ini dapat pula dipakai untuk menentukan persentase perubahan
laju alir atau beban polutan.
Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan massa konstituen dihitung
secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan
perhitungan
C
R
= Ci Qi = Mi
Qi Qi
dimana CR : konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabungan
Ci : konsentrasi konstituen pada aliran ke-i
Qi : laju alir aliran ke-i
Mi : massa konstituen pada aliran ke-i
Metoda neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi terhadap kualitas air yang
terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu proyek, dan dapat juga digunakan untuk suatu segmen
aliran, suatu sel pada danau, dan samudera. Tetapi metoda neraca massa ini hanya tepat digunakan untuk
komponen-komponen yang konservatif yaitu komponen yang tidak mengalami perubahan (tidak terdegradasi,
tidak hilang karena pengendapan, tidak hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) selama proses
pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan neraca massa untuk komponen lain,
seperti DO, BOD, dan NH3 N, hanyalah merupakan pendekatan saja.
II. Prosedur penggunaan
Untuk menentukan beban daya tampung dengan menggunakan metoda neraca massa, langkah-langkah yang
harus dilakukan adalah :
1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber
pencemar;
2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber pencemar;
3. Tentukan konsentrasi rata-rata pada aliran akhir setelah aliran bercampur dengan sumber pencemar dengan
perhitungan :
C
R
= Ci Qi = Mi
Qi Qi
III. Contoh Perhitungan
Untuk lebih jelasnya, maka diberikan contoh perhitungan penggunaan Metoda Neraca Massa berikut ini.
Suatu aliran sungai mengalir dari titik 1 menuju titik 4. Diantara dua titik tersebut terdapat dua aliran lain yang
masuk ke aliran sungai utama, masing-masing disebut sebagai aliran 2 dan 3. Apabila diketahui data-data pada
aliran 1, 2 dan 3, maka ingin dihitung keadaan di aliran 4.
Profil aliran sungai :
Q
1
C
BOD.1
2 Q
3
C
DO.1
C
BOD.3
C
CI.1
C
DO.3
C
DO.1
C
CI.3
4
C
DO.3
1
Q2
C
BOD.2
Q
4
C
DO.2
C
BOD.4
C
Cl.2
C
DO.4
C
DO.2
3 C
C1.4
C
DO.4
55
Keterangan :
1. Aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber-sumber pencemar
2. Aliran sumber pencemar A
3. Aliran sumber pencemar B
4. Aliran sungai setelah bercampur dengan sumber-sumber pencemar.
Data analisis dan debit pada aliran 1, 2 dan 3 diberikan pada tabel berikut ini :
Tabel 1.1 Data analisis dan debit
Aliran Laju Alir DO COD BOD C1-
m/dtk mg/L mg/L mg/L mg/L
1 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16
2 0,59 3,8 16,5 7,4 0,08
3 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04
Dengan menggunakan data-data di atas maka dapat dihitung DO pada titik 4, sebagai berikut :
Konsentrasi rata-rata DO pada titik 4 adalah
C
R,DO
=
(5,7X2,01) + (3,8X0,59) + (3,4X0,73)
2,01 + 0,59 + 0,73
= 4,86 mg/L
Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara perhitungan yang sama seperti di
atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/L, 8,87 mg/L dan 0,12 mg/L. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1
maka akan seperti yang disajikan pada Tabel 1.2
Tabel 1.2 Data analisis dan debit
Aliran Laju alir
Aliran Laju Alir DO COD BOD C1-
m/dtk mg/L mg/L mg/L mg/L
1. 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16
2. 0,59 3,8 16,5 7,4 0,08
3. 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04
4. 3,33 4,86 18,94 8,87 0,12
BM X - 4 25 3 600
BM X - Baku mutu perairan, untuk Golongan/Kelas X
Apabila aliran pada titik 4 mempunyai baku mutu BM X, maka titik 4 tidak memenuhi baku mutu perairan untuk BOD,
sehingga titik 4 tidak mempunyai daya tampung lagi untuk parameter BOD. Akan tetapi bila terdapat aliran lain
(misalnya aliran 5) yang memasuki di antara titik 1 dan 4, dan aliran limbah masuk tersebut cukup tinggi mengandung
C1- dan tidak mengandung BOD, maka aliran 5 masih dapat diperkenankan untuk masuk ke aliran termaksud. Hal
tersebut tentu perlu dihitung kembali, sehingga dipastikan bahwa pada titik 4 kandungan C1 lebih rendah dari 600 mg/L.
56
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Nomor : 110 Tahun 2003
Tanggal : 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Streeter Phelps
I. Pendahuluan
Pemodelan kualitas air sungai mengalami perkembangan yang berarti sejak diperkenalkannya perangkat lunak
DOSAG1 pada tahun 1970. Prinsip dasar dari pemodelan tersebut adalah penerapan neraca massa pada
sungai dengan asumsi dimensi 1 dan kondisi tunak. Pertimbangan yang dipakai pada pemodelan tersebut
adalah kebutuhan oksigen pada kehidupan air tersebut (BOD) untuk mengukur terjadinya pencemaran di badan
air. Pemodelan sungai diperkenalkan oleh Streeter dan Phelps pada tahun 1925 menggunakan persamaan
kurva penurunan oksigen (oxygen sag curve) di mana metoda pengelolaan kualitas air ditentukan atas dasar
defisit oksigen kritik Dc.
II. Deskripsi
Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses pengurangan oksigen terlarut
(deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses
peningkatan oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran sungai.
Proses Pengurangan Oksigen (Deoksigenasi) Streeter Phelps menyatakan bahwa laju oksidasi biokimiawi
senyawa organik ditentukan oleh konsentrasi senyawa organik sisa (residual).
dL/dt = - K.L....(2-1)
dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/L)
t : waktu (hari)
K : konstanta reaksi orde satu (hari-1)
Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan sebagai BOD ultimate dan Lt
adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1) dinyatakan sebagai
dL/dt = - K.L....(2-2)
Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah :
Lt = Lo.e (K.t) ....................................................................................................................(2-3)
Penentuan K dapat dilakukan dengan :
(1) metoda selisih logaritmatik,
(2) metoda moment (metoda Moore dkk), dan
(3) metode Thomas.
Laju deoksigenasi akibat senyawa organik dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :
rD = -KL.............................................................................................................................(2-4)
dengan K : konstanta laju reaksi orde pertama, hari -1
L : BOD ultimat pada titik yang diminta, mg/L
Jika L diganti dengan Loe-Kt , persamaan 2-4 menjadi
rD.=-KLoe -K.t....................................................................................................................(2-5)
dengan : Lo : BOD ultimat pada titik discharge (setelah pencampuran), mg/L
Proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi)
Kandungan oksigen di dalam air akan menerima tambahan akibat turbulensi sehingga berlangsung perpindahan
oksigen dari udara ke air dan proses ini adalah proses reaerasi. Peralihan oksigen ini dinyatakan oleh persamaan
laju reaerasi :
rR = K`2 (Cs C) ...(2-6)
dengan K`2 : konstanta reaerasi, hari-1 (basis bilangan natural)
Cs : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, mg/L
C : konsentrasi oksigen terlarut, mg/L
Konstanta reaerasi dapat diperkirakan dengan menentukan karakteristik aliran dan menggunakan salah satu
persamaan empirik. Persamaan OConner dan Dobbins adalah persamaan yang umum digunakan untuk
menghitung konstanta reaerasi (K2).
K2 = 294 (DL U)
1/2
........................................................................................................(2-7)
H
3/2
57
dengan DL : koefisien difusi molekular untuk oksigen, m
2
/hari
U : kecepatan aliran rata-rata, m/detik
H : kedalaman aliran rata-rata, m
Variasi koefisiensi difusi molekular terhadap temperatur dapat ditentukan dengan persamaan :
DLT = 1.760 x 10
-4
m
2
/d x 1.037
T-20
.................................................................................(2-8)
dengan DLT : koefisien difusi molekular oksigen pada temperatur T, m
2
/hari 1.760 x 10
-4
: koefisien difusi
molekular oksigen pada 20
0
C
T : temperatur,
o
C
Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary District of Chicago untuk berbagai
macam badan air (tabel 2-1).
Table 2-1 Konstanta Reaerasi
Water Body K
2
at20
O
C
(base e)
a
Small ponds and backwaters 0.10-0.23
Sluggish streams and large lake 0.23-0.35
Large streams of low velocity 0.35-0.46
Large streams of normal velocity 0.46-0.69
Swift streams 0.69-1.15
Rapid and waterfalls >1.15
Kurva Penurunan Oksigen (Oxygen sag curve)
Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai sumbu tegak dan waktu atau jarak
sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan
reaerasi adalah kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva penurunan
oksigen (oxygen sag curve).
Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik buangan, maka konsentrasi konstituen
pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah
Co =
Qr Cr + Qw Cw ................................................................(2-9)
Qr + Qw
dengan : Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah pencampuran, mg/L
Qr = laju alir sungai, m
3
/detik
Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran, mg/L
Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/L
Perubahan kadar oksigen di dalam sungai dapat dimodelkan dengan mengasuksikan sungai sebagai reaktor alir
sumbat.
Neraca massa oksigen :
Akumulasi = aliran masuk aliran keluar + deoksigenasi + reoksigenasi
CdV = QC-Q(C+ Cdx) + rD dV + rR dV............................... (2-10)
t x
Subsitusi rD dan rR, maka persamaan 2-10 menjadi
C
dV
= QC-Q(C+ C
dx
) - KL dV + K2 (Cs-C) dV ............... (2-11) 1)
t x
Jika disasumsikan keadaan tunak, C/ t = 0

maka
0=-Q
dC
dx-KL dV + K
1
2(Cs-C) dV ...................................... (2-12)

dx
Substitusi dV menjadi A dx dan A dx/Q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi
dC = -KL + K2 (Cs-C)
......................................................... (2-13)
dt
58
Jika defisit oksigen D, didefinisikan sebagai
D= (Cs-C) .. (2-14)
Kemudian perubahan defisit terhadap waktu adalah
dD = - dC ..................................................................................................... (2-15)
dt Dt
maka persamaan 2-13 menjadi
dD = KL + K 2 D ......................................................................................... (2-16)
dt
Substitusi L
dD + K2D=K
1
Loe
-k1t
...................................................................................... (2-17)
dt
jika pada t=0, D-Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi
Dt =
K
i
Lo
(e
-k1t
- e
-k1
2
t
) + Do e
-kt1
........................................................ (2-18)

K2-K
Dengan : Dt = defisit oksigen pada waktu t, mg/L
Do= defisit oksigen awal pada titik buangan pada waktu t=o, mg/L
Persamaan 2-18 merupakan persamaan Streeter-Phelps oxygen-sag yang biasa digunakan pada analisis sungai.
Gambar kurva oxygen-sag ditunjukkan pada gambar 2-1 berikut ini.
Gambar 2-1 Kurva karakteristik oxygensag berdasarkan persamaan Streeter phelps
Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO
terendah yang dicapai akibat beban yang diberikan pada aliran tersebut. Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama
dengan nol, maka
Dc =K Lo e
-ktc
............................................................................................ (2-19)
K
2
Dengan tc = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kritik.
Lo= BOD ultimat pada aliran hulu setelah pencampuran, mg/L
Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol, maka
tc =
1
1n
[
K2
[
D0 (K2-K)
]]
................................................................................ (2-20)
K2-K
K KLo
59
Xc = tc v ............................................................................................................................................... (2-21)
Dengan v = kecepatan aliran sungai
Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan defisit DO yang paling rendah
(kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak
(posisi, xC) kondisi kritis dengan menggunakan persamaan 2.21.
Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan.
Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan 2.18. Persamaan tersebut adalah :
logLa = log Dall +

[
1+
K
[
1-
Do
]
0,418
]
log K2
K2-K Dall K ................................................ (2-22)
Dengan : Dall : Defisit DO yang diizinkan, mg/L = DO jenuh - DO baku mutu
III. Prosedur Penggunaan
Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu menentukan apakah beban yang
diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan
persamaan 2.19 dan 2.20. Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu menentukan beban
BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini
diperlukan persamaan 2.22.
Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K dan K`2 dan data BOD ultimat. Penentuan
K dapat menggunakan berbagai metoda yang tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan
metoda Thomas, yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan persamaan
empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang disajikan pada Tabel 2.1
Perlu dicatat bahwa harga K, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan yang banyak digunakan untuk
memperhatikan fungsi temperatur adalah :
KT = K20 (1,047)
T-20
........(2.23)
K2T = K2 (20)(1,016)
T-20
.. . (2.24)
Dengan T = temperatur air,
O
C dan K20, K2 (20) menyatakan harga masing-masing pada temperatur 20
O
C.
Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD5 20, yaitu BOD yang ditentukan pada temperatur
20
0
C selama 5 hari dengan menggunakan persamaan berikut :
La = BOD5 20 /(1-e -5.K) ..(2.25)
Dengan K menyatakan laju deoksigenasi dan 5 menyatakan hari lamanya penentuan BOD.
1. Tentukan laju deoksigenasi (K) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K pada intinya adalah menggunakan
persamaan 2.3. Kemudian diperlukan serangkaian percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif
rumitnya penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan Eddy untuk penentuan
harga K tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K (basis logaritmit, 20
0
C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari-
1. Pada intinya pengukuran K melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan panjang hari
pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi
untuk mendapatkan nilai K.
Berikut ini contoh yang diambil dari Metcalf dan Eddy :
T, hari 2 4 6 8 10
Y,mg/L 11 18 22 24 26
(t/y)
1/3
0,57 0,61 0,65 0,69 0,727
Dengan t menyatakan waktu pengamatan dan y nilai BOD (exerted) Metoda Thomas adalah mengalurkan (t/y)1/3
terhadap t sesuai dengan persamaan berikut :
(t/y)
1/3
= (2,3 K La)-
1/3
+ (K)-
2/3
(t)/(3,43 La)
1/3
..(2.26)
K adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La menyatakan BOD ultimat.
60
Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K dan La dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K = 0,228 hari
-1 dan La = 29,4 mg/L.
Berhubung nilai K didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20
0
C, maka nilai K yang diperoleh
adalah data untuk temperatur yang sama.
2. Tentukan laju aerasi (K2) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau data pada Tabel 3.1
3. Tentukan waktu kritik dengan persamaan 2.20 :
tc =
1
1n
[
K2
[
1- D0 (K2-K)
]]
......................................... (2-20)
K2-K
K KLo
Dimana : Do = defisit oksigen pada saat t=0
Lo = BOD ultimat pada saat t = 0
4. Tentukan defisit oksigen kritik dengan persamaan 2.19 :
Dc = K Lo
e-ktc
C
K2
5. Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD maksimum yang diizinkan dengan
menggunakan persamaan 2.22.
IV. Contoh Perhitungan
Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu sumber pencemar yang tentu
(point source) :
1. Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata 115.000m m
3
/hari (1,33 m
3
/detik) dibuang
ke aliran sungai yang mempunyai debit minimum 8,5 m
3
/detik.
2. Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23
0
C.
3. BOD5 20 air limbah adalah 200 mg/L, sedangkan BOD sungai adalah 2mg/L. Air limbah tidak mengandung
DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung DO=6 mg/L sebelum bercampur dengan limbah.
4. Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K pada temparatur 20
0
C adalah 0,3 hari-1
5. Nilai K2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 20
0
C adalah 0,7 hari-1.
Berdasarkan data-data di atas akan dihitung :
1. Harga Dc, tc dan Xc,
2. Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD5 20 maksimum pada air limbah yang masih
diperbolehkan masuk ke sungai tersebut.
Langkah-langkah penyesuaian :
1. Tentukan temperatur, DO dan BOD setelah pencampuran :
a. Temperatur campuran = [(1,33)(35) + (8,5)(23)]/(1,33+8,5) = 24,6
O
C.
b. DO campuran = [(1,33)(0) + (8,5)(6)]/(1,33 + 8,5) = 5,2 mg/L
c. BOD campuran =[(1,33)(200)+(8,5)(2)]/(1,33+8,5)=28,8 mg/L
d. Lo campuran = 28,8/[-e(0,3)(5)] = 37,1 mg/L (pers. 2.25)
2. Tentukan defisit DO setelah pencampuran. Tentukan dahulu DO jenuh pada temperatur campuran dengan
menggunakan tabel kejenuhah oksigen. Dari tabel diperoleh nilai DO jenuh = 8,45 mg/L Defisit DO pada
keadaan awal (Do) = 8,45 5,2 = 3,25 mg/L
3. Koreksi laju reaksi terhadap temperatur 24,6
O
C
a. K = 0,3 (1,047)24,6-20 = 0,37 hari-1
b. K`2 = 0,7 (1,0,16) 24,6-20 =0,75 hari-1
4. Tentukan tc dan Xc dengan menggunakan persamaan 2.20 dan 2.21.
a. tc = {1/(0,75-0,37)} 1n [0,75)/(0,37) {1-3,25(0,75-0,37)/(0,37) (3,71)}]
=161 hari -1
b. Xc = (1,61)(3,2)(24) = 123,6 km
5. Tentukan Dc dengan menggunakan persamaan 2.19
a. Dc = (0,37)/(0,75) [37,1e(-0,37)(1,61)]= 10,08 mg/L
b. Konsentrasi DO pada tc = 8,45 10,08 = -1,63 mg/L. Karena nilai DO negatif, hal ini berarti sungai tidak
mempunyai DO lagi pada jarak 123,6 km (Xc) dari titik pencampuran.
6. Tentukan beban BOD maksimum pada air limbah bila DO baku mutu = 2 mg/L.
a. Dall = DO yang diizinkan = 8,45 2 = 6,45 mg/L
b. Gunakan persamaan 2.22 untuk menghitung beban BOD ultimat maksimum:
log La = log 6,45 + [1+ {0,37(0,75-0,37)}{1-(3,25)/(6,45)} 0,418 log (0,75)/(0,37) La = 21,85 mg/L
61
c. Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 e (-0,3)(5)} = 16,97 mg/L
d. Jadi BOD pada limbah yang dizinkan:
16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5)
1,33 X = 166,81 17 = 149,81
X = 112,6 mg/L
Jadi BOD pada limbah yang masih diizinkan = 112,6 mg/L
Catatan :
1. Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/L, agar DO air sungai tidak kurang
dari 2 mg/L.
2. Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber pencemar yang tentu (point
source).
62
Lampiran III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Nomor : 110 Tahun 2003
Tanggal : 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air.
Metoda QUAL2E
I. Pendahuluan
QUAL2E merupakan program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif dan yang paling banyak
digunakan saat ini. QUAL2E dikembangkan oleh US Environmental Protecion Agency. Tujuan penggunaan
suatu pemodelan adalah menyederhanakan suatu kejadian agar dapat diketahui kelakuan kejadian tersebut.
Pada QUAL2E ini dapat diketahui kondisi sepanjang sungai (DO dan BOD), dengan begitu dapat dilakukan
tindakan selanjutnya seperti industri yang ada disepanjang sungai hanya diperbolehkan membuang limbahnya
pada beban tertentu.
Manfaat yang dapat diambil dari pemodelan QUAL2E adalah :
1. mengetahui karakteristik sungai yang akan dimodelkan dengan membandingkan data yang telah diambil
langsung dari sungai tersebut.
2. mengetahui kelakuan aliran sepanjang sungai bila terdapat penambahan beban dari sumber-sumber
pencemar baik yang tidak terdeteksi maupun yang terdeteksi,
3. dapat memperkirakan pada beban berapa limbah suatu industri dapat dibuang ke sungai tersebut agar tidak
membahayakan makhluk lainnya sesuai baku mutu minimum.
II. Deskripsi
Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif. Program
ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter
konstituen dengan mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini dapat juga
digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan menitikberatkan pada mekanisme perpindahan
secara adveksi dan disperse searah dengan arus.
Selain melakukan simulasi perhitungan neraca oksigen, seperti yang telah dijelaskan di atas, program QUAL2E
dapat mensimulasikan neraca nitrogen dan fosfor. Gambar 3.1. berikut ini dapat menggambarkan hubungan
antar konstituen dengan menggunakan program simulasi QUAL2E.
Gambar 3.1 Interaksi antar konstituen utama dalam QUAL2E
Keterangan:
1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-N/mg-A
2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-P/mg-A
3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-O/mg-A
4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-O/mg-A
5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-O/mg-N
6 = Laju pengambilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit , mg-O/mg-N
1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari
2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-P/ft2-hari
3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-N/ft2-hari
63
4 = Koefisien laju untuk pengendapan nitrogen, hari -1
5 = Laju pengendapan fosfor, hari-1
= Laju pertumbuhan alga, bergantung terhadap temperatur, hari-1
= Laju respirasi alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1
K1 = Laju deoksigenasi BOD, pengaruh temperatur, hari-1
K2 = Laju rearsi berdasarkan dengan analogi difusi, pengaruh temperatur, day-1
K3 = Laju kehilangan BOD cara mengendap, faktor temperatur, day-1
K4 = Laju ketergantungan oksigen yang mengendap, faktor temperatur, g/ft2-hari
1 = Koefisien laju oksidasi amonia, faktor temperatur, hari-1
2 = Koefisien laju oksidasi nitrit, faktor temperatur, hari-1
3 = Laju hydrolysis dari nitrogen, hari-1
4 = Laju fosfor yang hilang, hari-1
Pemodelan untuk Oksigen Terlarut (DO) dengan menggunakan QUAL2E
Persamaan untuk penentuan laju perubahan DO :
dO
=
2
(*-)+(
3
-
4
) -
1
L - 4

-
6

1
-
6

2
....................(31)
dt

d
dengan O : konsentrasi oksigen terlarut (mg/L)
O* : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, pada P dan T setempat (mg/L)
A : konsentrasi biomassa dari alga [mg-A/l]
L : konsentrasi dari senyawa karbon BOD [mg/L]
d : kedalaman aliran rata-rata [ft]
N1 : konsentrasi amonia dalam bentuk nitrogen [mg/L]
N2 : konsentrasi nitrit dalam bentuk nitrogen [mg/L]
Persamaan untuk penentuan konsentrasi oksigen terlarut jenuh :
lnO* = -139.344410 + (1.575701x105/T) - (6.642308x107/T2) + (1.2438/1010/T3)
(8.6219494x1011/T4) ..(3-2)
dengan O * : konsentrasi oksigen jenuh, pada l atm (mg/L)
T : temperatur (K) = (0C + 273.15) dan
O
C pada rentang 0-40
O
C
Metoda penentuan laju reaerasi (K2)
1. K2 = 0,05 untuk permukaan sungai yang tertutup es, K2 = 1 untuk permukaan sungai yang tak tertutup es.
2. Harga K2 pada temperatur 20
0
C (Churcill dkk. (1962)) :
K220 = 5.026.u 0.969 .d -1.673 x 2.31
Dengan u = kecepatan rata-rata pada aliran (ft/detik)
d = kedalaman rata-rata pada aliran (ft)
K2= koefisien reaerasi
3. OConnor dan Dobbins (1958) dengan karakter aliran turbulen
3.1 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik
(Dm.u)0.5
K2
20
=

............................................................................................(3-3)
d
t.5
3.2 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik
4800Dm
05
.So
0.25
K2
20
= x 2.31 ............................................................................ (3-4)
d
1.25
Dengan So : derajat kemiringan sungai sepanjang aliran (ft/ft)
Dm : koefisien difusi molekul (ft2/day)
Dm : 1.91 x 103 (1.037)
T-20
4. Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan batasan kedalaman 0.4 11.0 ft
dan kecepatan dari 0,1 5 ft/detik.
64
9.4 ( u.0.
67
)
K
2
20
= x 2.31 ....................................................................(3- 5)
d
1.85
5. Thacktor dan krenkel (1966)

u*
K
2
20
= 10.8 ( 1+ F
0.5
) x 2.31 ......................................................... (3-6)
d
u*
F =


........................................................................................ (3-7)

g.d





U.n g u* =
d.Se.g =
1.49d
1.167
.................................................................................(3-8)
dengan F = bilangan Froude
g = percepatan gravitasi (ft/sec2)
Se = Sudut dari perbedaan ketinggian
N = koefisien untuk gesekan
6. Langbien dan Durun (1967)
K
2
20
= 3.3 (
u
) x 2.31 .......................................................................................................(3-9)
d
1.33
7. Hubungan empiris antara kecepatan dan kedalaman dengan lajur alir pada bagian hidraulik akan dikorelasikan:
K2 = aQb ..(3-10)
dengan a : koefisien untuk laju alir untuk K2
Q : laju alir (ft3/detik)
b: eksponen untuk laju alir K2
8. Tsivoglou dan Wallace (1972) K2 dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian sepanjang aliran dan waktu yang
diperlukan sepanjang aliran tersebut.
h
K
2
20
= c h = (3600x24) c.Se.u ..............................................(3-11)
tr
u2 . n2
Se = ................................................................................... (3-12)
(1.49)
2
d
4/3
Harga C (koefisien kehilangan DO tiap ft sungai)dibatasi oleh laju alir
Untuk laju air 1 5 ft3/detik harga c = 0.054ft-1 (20
O
C)
Untuk laju alir 15 3000 ft3/detik harga c = 0.110 ft-1 (20
O
C)
III. Prosedur Penggunaan
Program, cara penggunaan, dan contoh penggunaan pemodelan QUAL2E dapat di download di internet pada
website :
1. http://www.epa.gov/docs/QUAL2E WINDOWS/index.html, atau
2. http://www.gky.com/_downloads/qual2eu.htm
Sedangkan tahap-tahap penggunaan QUAL2E untuk simulasi DO sepanjang aliran sungai adalah sebagai
berikut :
1. QUAL2E simulasi
1.1 Menulis judul dari simulasi yang akan dilakukan
1.2 Tipe simulasi yang diinginkan dengan 2 pilihan yaitu kondisi tunak dan dinamik
1.3 Unit yang akan digunakan yaitu unit Inggris dan SI
1.4 Jumlah maksimum iterasi yang ingin dilakukan dengan batasan 30 iterasi
1.5 Jumlah aliran yang akan dibuat
65
2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta
2.1 Nomor aliran
2.2 Nama aliran
2.3 Titik awal sungai
2.4 Titik akhir sungai
2.5 Merupakan sumber sungai atau tidak ?
2.6 Selang sungai yang akan dimodelkan
3. Simulasi kualitas yang diinginkan
3.1 Terdapat pilihan temperature, BOD, Algae, Fosfor, Nitrogen, DO
3.2 BOD dengan data koefisien konversi BOD untuk konsentrasi BOD
4. Data iklim dan geografi yang akan dimasukkan
4.1 Letak sungai data bujur dan lintangnya
4.2 Sudut yang dibentuk sungai dari awal hingga titik akhir sungai tersebut untuk menentukan bila menggunakan
koefisiens reaerasi (K2) pilihan 4
4.3 Ketinggian sungai yang terukur dari awal hingga akhir untuk K2 pilihan 5
5. Membuat beberapa titik untuk pembatasan dengan mengambil sample harga DO baik min, average, dan max
6. Konversi temperature terhadap
6.1 BOD untuk Decay dan Settling
6.2 DO untuk reaerasi dan SOD
7. Data hydraulik sungai dengan kebutuhan :
7.1 Persamaan untuk kecepatan u = a.Qb maka diperlukan data kecepatan pada beberapa titik di sungai
dengan laju air volumetrik untuk mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap
koefisien reaerasi (K2) khususnya pilihan 2, 3 , 4, 5 , 6, 8
7.2 Persamaan untuk kedalaman d = c.Qd maka diperlukan data kedalaman sungai pada beberapa titik
dengan laju alir volumetrik untuk mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap
pilihan K2 yang sebagian besar merupakan persamaan empiris.
7.3 Manning Factor dengan data dapat dilihat pada manual.
8. Data konstanta reaerasi
8.1 BOD dengan data decay, settling time (1/hari)
8.2 SOD rate (g/m
2
-day)
8.3 Tipe persamaan reareasi dengan menggunakan persamaan yang ada (lihat metoda penentuan laju
konstanta reareasi K2)
8.4 Bila persamaan yang digunakan K2 pilihan 7 untuk persamaan K2 = e.Qf disediakan data untuk data yang
dimasukkan K2 dengan harga e serta f
9. Kondisi awal dengan data yang dimasukkan temperatur, DO, BOD.
10. Kenaikan laju air sepanjang sungai dengan data yang dimasukkan laju alir (m
3
/s), temperatur (
0
C), DO, BOD.
11. Data-data untuk aliran awal yang diperlukan laju alir (m
3
/s), temperatur (
0
C), DO, BOD.
12. Harga-harga untuk kondisi iklim global sesuai letak bujur dan lintang dengan data yang diperlukan
12.1 Waktu (jam, hari, bulan, tahun)
12.2 Temperatur bola basah dan kering (K)
12.3 Tekanan (mbar)
12.4 Kecepatan angin
12.5 Derajat sinar matahari (Langley, hr) dan kecerahan sungai.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Nabiel Makarim, MPA,MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
66
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 111 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH
KE AIR ATAU SUMBER AIR
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air
Atau Sumber Air;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Menteri Negara;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT
DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU
SUMBER AIR.
Pasal 1
Setiap usaha dan atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung radioaktif ke air atau sumber air.
Pasal 2
Bupati/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air yang melanggar baku mutu
air dan menimbulkan pencemaran air.
Pasal 3
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin
tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian analisis mengenai
dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
(3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Pasal 4
(1) Permohonan izin membuang air limbah ke air atau sumber air wajib dilengkapi data dan informasi dengan
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) di atas merupakan salah satu syarat permohonan
izin pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas, permohonan izin wajib dilengkapi dengan :
a. dokumen hasil kajian pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air;
b. hasil pemantauan pengelolaan lingkungan pada bulan terakhir;
c. dokumen lain yang terkait dengan pengisian formulir sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini;
67
Pasal 5
Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) didasarkan pada :
a. jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan;
b. rona lingkungan;
c. jumlah limbah yang dibuang;
d. daya tampung beban pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber
Air.
Pasal 6
Bupati/Walikota wajib mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air seluruh kewajiban
dan larangan bagi usaha dan atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Pasal 7
Izin pembuangan air limbah ke tanah di atur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
68
LAMPIRAN
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 111 Tahun 2003
Tanggal : 27 Juni 2003
I. FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR PERMUKAAN
Nama Usaha dan atau Kegiatan
Jenis Industri:
Baterai Kering Minuman ringan Pulp & Paper
Bir Minyak Nabati Pupuk Urea
Cat Minyak Sawit Sabun, detergen
Etanol MSG Soda Kostik
Farmasi Pelapisan logam Susu & Makanan
Gula Pengilangan minyak Tapioka
Karet Penyamakan kulit Tekstil
Kayu Lapis Pestisida
Lainnya, ________
Jenis Kegiatan/Usaha Lainnya:
Penambangan Hotel
Kawasan Industri Rumah sakit
Lainnya,_________
Jenis permohonan:
Baru Perpanjangan
II. INFORMASI UMUM
1. Lokasi Kegiatan/Usaha
a. Jalan/Desa/Kelurahan :
b. Kecamatan :
c. Kabupaten/Kodya :
d. Provinsi :
e. Kode Pos :
f. Telepon :
g. Facsimile :
2. General Manager :
3. Kontak Person
a. Nama :
b. Jabatan:
c. Telepon:
4. Lokasi Kantor Pusat (jika berbeda dengan lokasi kegiatan/usaha)
a. Jalan/ Desa/ Kelurahan :
b. Kecamatan :
c. Kabupaten/ Kodya :
d. Provinsi :
e. Kode Pos :
f. Telepon :
g. Facsimile :
5. Jika kegiatan/ usaha merupakan bagian dari suatu group perusahaan (Holding Company), sebutkan:
a. Nama Group :
b. Alamat (jalan/desa/ kel.) :
c. Kecamatan :
d. Kabupaten/Kodya :
e. Provinsi :
f. Kode Pos :
69
III. INFORMASI PERIZINAN
Sebutkan nomor dan instansi pemberi izin-izin berikut ini:
a. Izin Usaha
Nomor :
Pemberi Izin :
b. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Nomor :
Pemberi Izin :
c. Izin Undang-undang Gangguan (HO)
Nomor :
Pemberi Izin :
d. Izin Lokasi
Nomor :
Pemberi Izin :
e. Izin Pengambilan Air (SIPA)
Nama :
Pemberi Izin :
f. Izin Pembuangan Limbah
Nomor :
Pemberi Izin :
*) Semua izin-izin tersebut di atas wajib dilampirkan.
IV. INFORMASI PRODUKSI
*) bagi kegiatan non-industri, isian berikut dapat disesuaikan sesuai dengan kegiatannya.
1. Tahun mulai operasi________________________________________________
2. Total kebutuhan air dan sumbernya (m
3
/ bulan):
a. PAM ___________________________________________________________
b. Air Tanah ___________________________________________________________
c. Sungai ___________________________________________________________
d. Laut ___________________________________________________________
e. Lainnya ___________________________________________________________
3. Kebutuhan air (m
3
/ hari) untuk:
a. Produksi ___________________________________________________________
b. Cooling water ___________________________________________________________
c. Domestik ___________________________________________________________
d. Lainnya ___________________________________________________________
4. Bahan Baku dan Penolong *)
Sumber (%)
No Nama Bahan Nama Dagang Wujud Domestik Import
*) Lampirkan fotokopi Material Safety Data Sheet (MSDS).
**) Gas, Padat, Cair
5. Lampirkan diagram alir proses.
70
6. Kapasitas Produksi Terpasang (per tahun)*
Kapasitas
No Nama Barang Nama Dagang Jumlah Satuan
*) untuk kegiatan non-industri harap dapat disesuaikan dengan kegiatannya, misalnya hotel dan rumah sakit
dilihat berdasarkan jumlah tempat tidur.
7. Kapasitas Produksi senyatanya (per tahun)
Kapasitas
No. Nama Produk Nama Dagang Jumlah Satuan
8. Waktu kegiatan/usaha
a. Jumlah Gelombang Kerja (Shift) per hari ________ Shift
b. Jumlah Jam Kerja Produksi:
1) ________________________ jam/ hari
2) ________________________ hari/bulan
3) ________________________ bulan/tahun
4) ________________________ hari/tahun
9. Kegiatan-kegiatan lainnya: _______________________________
_______________________________
_______________________________
V. INFORMASI LINGKUNGAN
1. Sertifikat yang telah dimiliki:
ISO 9000 Tahun____________________
Assesor*)_________________
ISO 14000 Tahun____________________
Assesor*)_________________
_________ Tahun____________________
Assesor*)_________________
*) Assesor adalah konsultan yang berhak mengaudit dan mengeluarkan sertifikat
2. Apakah perusahaan Saudara mempunyai kebijaksanaan pengelolaan lingkungan?
Tidak
Ya (lampirkan)
3. Apakah perusahaan Saudara dilengkapi dengan Dokumen Studi Lingkungan?
Tidak
Ya a
- Nomor Persetujuan (lampirkan): ______________________________
- Jenis Dokumen:
- Konsultan Pelaksana ______________________________________
- Alamat _________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________
- Telepon: ________________________________________________
- Komisi Pelaksana ________________________________________
71
4. Apakah perusahaan Saudara pernah melakukan Audit Lingkungan?
Tidak
Ya a
Manajemen Lingkungan, tahun _____________________________________
Auditor______________________________________________________
Audit Pentaatan (Compliance Audit), tahun ____________________________
Auditor______________________________________________________
Audit Resiko (Risk Assesment), tahun _______________________________
Auditor______________________________________________________
___________________________, tahun _____________________________
Auditor______________________________________________________
VI. INFORMASI AIR LIMBAH
1. Media Lingkungan Penerima Air Limbah:
Sungai Nama __________________________________
Danau Nama __________________________________
Laut, Nama __________________________________
Lainnya, _________________________________________
2. Apakah aliran buangan air limbah kontinyu dan reguler?
Tidak
Ya a
3. Apakah ada instalasi pengolahan limbah (IPAL)?
Ada
Belum sempurna
Sedang dibangun
Sempurna
Tidak ada
4. Jika ada atau sedang dibangun instalasi pengolahan limbah, sebutkan kapasitas pengolahannya:
________________ m
3
/ hari,
Apakah mencakup sistem sebagai berikut?
Grit Removal Koagulasi
Screening Sedimentasi
Grinding Lumpur Aktif
Netralisasi Kolam Oksidasi (lagoons)
Ekualisasi Anaerobik
Trickling Filter Aerobik
Rotary Biological Contactor __________
____________________ ________
Lampirkan lay out dan diagram alir proses instalasi pengolahan air limbahnya.
1. Jumlah saluran pembuangan air limbah: _____________________
2. Tipe saluran pembuangan air limbah:
Pipa
Saluran terbuka
3. Apakah semua saluran pembuangan air limbah tersebut dilengkapi dengan alat ukur debit?
Tidak
Ya a
4. Sebutkan tipe alat ukur debit yang digunakan.
Rectangular Weir Triangular Weir
Venturi Meter Magnetic Flow Meter
Current Meter Ultrasonic Meter
Inductive meter _________________
5. Rata-rata volume air limbah yang dihasilkan ________ m
3
/ hari.
6. Apakah perusahaan Saudara pernah menganalisa air limbah?
Tidak
Ya (lampirkan hasil analisa terakhir kualitas air limbah, dan sebutkan nama laboratorium yang digunakan).
72
VII. INFORMASI LIMBAH PADAT
1. Apakah ada limbah padat yang dihasilkan?
Tidak
Ya, Jumlah ___________________ ton/ hari
2. Metode Pengelolaan:
Kimia-Fisika-Biologi
Stabilisasi/ Solidifikasi
Insinerasi (Thermal Treatment)
Landfill di dalam pabrik
Landfill di luar pabrik
Dikirim ke PPLI-B3
Dikirim ke Vendor
Dijual ke pihak lain
VIII. PERNYATAAN DIREKTUR UTAMA/ MANAGER PABRIK/ KEGIATAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa semua keterangan tertulis sebagaimana tercantum di
atas adalah benar.
__________________________
nama lengkap
______________________________
Tanda Tangan & Cap Perusahaan
__________________________
Jabatan
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA
73
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 112 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
6. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Menteri Negara;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate),
rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama;
2. Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan;
3. Pengolahan air limbah domestik terpadu adalah sistem pengolahan air limbah yang dilakukan secara bersama-
sama (kolektif) sebelum dibuang ke air permukaan;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen.
(2) Baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk pengolahan air limbah
domestik terpadu.
Pasal 3
Baku mutu air limbah domestik adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 4
Baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini berlaku bagi :
a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan perniagaan, dan apartemen;
b. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter persegi; dan
c. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih.
Pasal 5
Baku mutu air limbah domestik untuk perumahan yang diolah secara individu akan ditentukan kemudian.
Pasal 6
(1) Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama
atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah domestik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka
berlaku baku mutu air limbah domestik sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 7
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan
dan Upaya Pemantauan Lingkungan dari usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
74
mensyaratkan baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air limbah domestik
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pasal 8
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan dan apartemen wajib :
a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang ke lingkungan
tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan
air limbah ke lingkungan.
c. membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air limbah.
Pasal 9
(1) Pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dilakukan secara bersama-
sama (kolektif) melalui pengolahan limbah domestik terpadu.
(2) Pengolahan air limbah domestik terpadu harus memenuhi baku mutu limbah domestik yang berlaku
Pasal 10
(1) Pengolahan air limbah domestik terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi tanggung jawab
pengelola.
(2) Apabila pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjuk pengelola
tertentu, maka tanggung jawab pengolahannya berada pada masing-masing penanggung jawab kegiatan
Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam izin pembuangan
air limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama.
Pasal 12
Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Apabila baku mutu air limbah domestik daerah telah ditetapkan sebelum keputusan ini :
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini,
maka baku mutu air limbah domestik tersebut tetap berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka baku
mutu air limbah domestik tersebut wajib disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 14
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu air
limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan
ini.
Pasal 15
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
75
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Nomor : 112 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH - 6 - 9
BOD mg/l 100
TSS mg/l 100
Minyak dan Lemak mg/l 10
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA,MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
76
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 113 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI
USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan
pengolahan/pencucian batu bara;
2. Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas
oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama;
3. Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;
4. Kegiatan pengolahan/pencucian batu bara adalah proses peremukan, pencucian, pemekatan dan atau
penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa belerang dari batu bara tanpa mengubah sifat kimianya;
5. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan
batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian batu bara;
6. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur
pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air
permukaan;
7. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan acuan untuk pemantauan
dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
8. Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai dimulainya
kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu
bara;
9. Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan sesuai
dengan data penelitian atau data meteorologi dalam usaha dan kegiatan penambangan batu bara;
10. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan
ini.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
II Keputusan ini.
77
Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena keadaan
tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan
dan menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Gubernur dan Menteri.
Pasal 4
(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran
Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku
mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau hasil kajian Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu
bara mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan pengolahan air limbah yang
berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga
mutu air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 7
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib mengelola air yang terkena
dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (pond).
Pasal 8
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan
(point of compliance) air limbah dari kegiatan pertambangan.
(2) Lokasi titik penaatan (point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada pada saluran
air limbah yang :
a. ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena
pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan penambangan tersebut.
b. keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu bara sebelum dibuang ke air
permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan
pengolahan tersebut.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan pertambangan mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance)
kepada Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah mengenai lokasi titik
penaatan (point of compliance).
Pasal 9
Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan dan atau karena pertimbangan kondisi
lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan
mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan
(point of compliance) yang baru.
Pasal 10
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
pertambangan batu bara wajib untuk :
a. melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah
dan mencatat debit air limbah harian;
b. mengambil dan memeriksa semua kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan yang
dilaksanakan oleh pihak laboratorium yang telah terakreditasi;
c. menyampaikan laporan tentang hasil analisis air limbah dan debit harian sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur
dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
78
Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam izin pembuangan
air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang diterbitkan.
Pasal 12
(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, baku mutu air limbah
bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib
disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku mutu air limbah
dalam Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.
Pasal 13
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu air
limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Keputusan ini.
Pasal 14
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
79
Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
BAKU MUTU AIR LIMBAH KEGIATAN PENAMBANGAN BATU BARA
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
BAKU MUTU AIR LIMBAH PENGOLAHAN/PENCUCIAN BATU BARA
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 200
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Volume air limbah maksimum
2m
3
per ton produk batu bara
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
80
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 114 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PENGKAJIAN UNTUK MENETAPKAN KELAS AIR
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang
perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Pengkajian
Untuk Menetapkan Kelas Air;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENGKAJIAN
UNTUK MENETAPKAN KELAS AIR.
Pasal 1
(1) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengkajian mutu air saat ini
untuk menentukan status air sebagai masukan bagi penyusunan program pengelolaan air atau program
pemulihan pencemaran air.
(2) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta bantuan pihak ketiga.
Pasal 2
(1) Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian mutu air,
perlu mendapatkan informasi tentang kebutuhan air untuk 15 (lima belas) tahun mendatang dan menyusun
saran pendayagunaan air dan penentuan kelas air.
(2) Pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta bantuan pihak ketiga.
(3) Berdasarkan pengkajian mutu air untuk mendapatkan informasi tentang kebutuhan air dan penyusunan
pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan saran masukan dari masyarakat melalui
dengar pendapat.
(4) Berdasarkan hasil dengar pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), kelas air pada :
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah
negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
81
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Propinsi.
c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
Pasal 3
Pedoman pengkajian teknis untuk menetapkan kelas air akan ditetapkan dengan Keputusan tersendiri.
Pasal 4
(1) Apabila mutu air lebih baik atau sama jika dibandingkan dengan kelas air sebagaimana dimaksud dalam 2 ayat
(4), maka Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun program
pengelolaan air
(2) Apabila mutu air lebih buruk jika dibandingkan dengan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
atau dalam kondisi cemar, maka Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
mengumumkan sumber air tersebut tercemar dan menyusun program pemulihan pencemaran air.
Pasal 5
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melaksanakan program pengelolaan air
atau program pemulihan pencemaran air sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 4.
Pasal 6
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, kelas air dan atau golongan
penetapan air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.
Pasal 7
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kelas air yang
telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelambagaan Lingkungan Hidup
ttd
Hoetomo, MPA
82
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 115 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PENENTUAN STATUS MUTU AIR
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air maka dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penentuan Status
Mutu Air;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENENTUAN STATUS
MUTU AIR.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
a. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan
metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu
sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan.
c. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian
ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.
Pasal 2
(1) Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metoda STORET atau Metoda Indeks Pencemaran.
(2) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda STORET dilakukan sesuai dengan pedoman pada
Lampiran I Keputusan ini.
(3) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda Indeks Pencemaran dilakukan sesuai dengan
pedoman pada Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan
metoda di luar metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 4
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, status mutu air yang telah
ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.
83
Pasal 5
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan status mutu air
yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.
Pasal 6
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA
84
Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Nomor : 115 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
PENENTUAN STATUS MUTU AIR DENGAN METODA STORET
I. Uraian Metoda STORET
Metoda STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan.
Dengan metoda STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku
mutu air.
Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang
disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.
Cara untuk menentukan status mutu ai r adal ah dengan menggunakan sistem nil ai dari US- EPA
(Envi ronmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu :
(1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu
(2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 cemar ringan
(3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 cemar sedang
(4) Kelas D : buruk, skor = -31 cemar berat
II. Prosedur Penggunaan
Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu
ke waktu (time series data).
2. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai
dengan kelas air.
3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran < baku mutu) maka diberi skor 0.
4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu), maka diberi skor :
Tabel 1.1 Penentuan Sistem Nilai untuk menentukan status mutu air
Jumlah Nilai Parameter
Contoh
1)
Fisika Kima Biologi
< 10 Maksimum -1 -2 -3
Minimum -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
> 10 Maksimum -2 -4 -6
Minimum -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18
Sumber : Canter (1977)
Catatan :
1)
jumlah parameter yang digunakan untuk penentuan status mutu air
5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat
dengan menggunakan sistem nilai.
III. Contoh Perhitungan
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh berikut ini. Tabel 1.2. merupakan contoh penerapan penentuan
kualitas air menurut metoda STORET yang dilakukan oleh Unpad, Bandung. Data diambil dari sungai Ciliwung
pada stasiun 1. Pada tabel ini tidak diberikan data lengkap hasil analisa di sungai Ciliwung, tetapi hanya
diberikan nilai maksimum, minimum, dan rata-rata dari data-data hasil.
Cara pemberian skor untuk tiap parameter adalah sebagai berikut (contoh, untuk Hg):
a. Hg merupakan parameter kimia, maka gunakan skor untuk parameter kimia.
b. Kadar Hg yang diharapkan untuk air golongan C adalah 0.002 mg/l.
c. Kadar Hg maksimum hasil pengukuran adalah 0.0296 mg/l, ini berarti kadar Hg melebihi baku mutunya.
Maka skor untuk nilai maksimum adalah -2.
d. Kadar Hg minimum hasil pengukuran adalah 0.0006 mg/l, ini berarti kadar Hg sesuai dengan baku mutunya.
Maka skornya adalah 0.
e. Kadar Hg rata-rata hasil pengukuran adalah 0.0082 mg/l, ini berarti melebihi baku mutunya. Maka skornya
adalah 6.
f. Jumlahkan skor untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata.
Untuk Hg pada contoh ini skor Hg adalah 8. g. Lakukan hal yang sama untuk tiap parameter, apabila tidak
ada baku mutunya untuk parameter tertentu, maka tidak perlu dilakukan perhitungan.
h. Jumlahkan semua skor, ini menunjukkan status mutu air. Pada contoh ini skor total adalah 58, ini berarti
sungai Ciliwung pada stasiun 1 mempunyai mutu yang buruk untuk peruntukan golongan C.
85
Tabel 1.2 Status Mutu Kualitas Air Menurut Sistem Nilai STORET di Stasiun I sungai Ciliwung bagi peruntukan
Golongan C (PP 20/1990 )
No. Parameter Satuan Baku mutu Hasil Pengukuran Skor
Maksimum Minimum Rata-rata
FISIKA
1 TDS mg/ L 289 179, 4 224, 2
2 Suhu air C normal + 3 24, 15 20, 5 22, 06 0
3 DHL mhos/ cm 82, 6 7 2 76, 3
4 Kecerahan M 0,46 0,35 0,41
KIMIA
a. Anorganik
1 Hg mg/ L 0,002 0, 0296 0,006 0, 0082 - 8
2 As mg/ L 0, 5 0, 0014 Tt 0, 0004 0
3 Ba mg/ L 1, 5 17,401 11,239 15, 3665
4 F mg/ L 0,01 0,51 0,28 0, 4138 0
5 Cd mg/ L ni hi l Tt Tt Tt 0
6 Cr (VI) mg/ L 0, 0036 Tt 0, 0009 - 8
7 Mn mg/ L 0,033 Tt 0,083
8 Na mg/ L 15,421 5, 1672 11,0246
9 NO
3
-N mg/ L 12, 28 0,004 3, 4675
1 0 NO2 -N mg/ L 0,06 1 0, 0075 0, 3996 - 8
11 NH3 -N mg/ L 0,02 1,53 Tt 0,576 - 8
1 2 p H 6-8.5 7,83 6,72 7,41 0
1 3 Se mg/ L 0,05 Tt Tt Tt 0
1 4 Zn mg/ L 0,02 0, 0457 Tt 0, 0114 - 2
1 5 Cn mg/ L 0,01 Tt Tt Tt 0
1 6 So
4
mg/ L 4 0 2, 2 14,175
1 7 H
2
S mg/ L 0,002 1,27 1. 0014 0, 3354 - 8
1 8 Cu mg/ L 0,02 0,008 Tt 0, 0043 0
1 9 Pb mg/ L 0,03 0, 2456 Tt 0, 1451 - 8
2 0 RSC mg/ L 3,42 2,42 2,985
2 1 BOD5 mg/ L 42, 51 22, 97 32, 92
2 2 COD mg/ L 62, 2 34, 32 48, 08
2 3 Minyak & lemak mg/ L 0, 5 Tt Tt Tt 0
2 4 PO4 mg/ L 2,28 0,02 0, 7167
2 5 Phenol mg/ L 0,001 Tt Tt Tt 0
2 6 Cl 2 mg/ L 0,003 1, 3315 0, 0003 0, 3383 - 8
2 7 B mg/ L 2,103 0,81 1, 4575
2 8 COD mg/ L 0, 1242 0, 0145 0, 0653
2 9 Ni mg/ L Tt Tt Tt
3 0 HCO3 mg/ L - - -
3 1 CO2 -bebas mg/ L 11,88 7,92 9,24
3 2 Sal i ni t as 0/00 0,02 0 0,015
3 3 DO mg/ L > 3 9, 1 8 8,433 0
b.Organik
1 Aldrin mg/ L Tt Tt Tt
2 Di el dri n mg/ L Tt Tt Tt
3 Chl ordane mg/ L Tt Tt Tt
4 DDT mg/ L 0,002 Tt Tt Tt 0
5 Detergent mg/ L 0, 2 Tt Tt Tt 0
6 Li ndane mg/ L Tt Tt Tt
7 PCB mg/ L Tt Tt Tt
8 Endri ne mg/ L 0,004 Tt Tt Tt 0
9 BHC 0,21 Tt Tt Tt 0
MIKRO
BIOLOGI
1 Coliform tinja Jml /100 ml 15x10

6 2,5x10

6 7.125x10

6
2 Total Coliform Jml /100 ml 15x10

6 2,5x10

6 8.375x10

6
86
Lampiran II: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Nomor : 115 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
PENENTUAN STATUS MUTU AIR DENGAN
METODA INDEKS PENCEMARAN
I. Uraian Metode Indeks Pencemaran
Sumitomo dan Nemerow (1970), Universitas Texas, A.S., mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan
senyawa pencemar yang bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran
(Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air
yang diizinkan (Nemerow, 1974). Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas Air (Water
Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan
untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai.
Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil
keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk
memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. IP mencakup berbagai
kelompok parameter kualitas yang independent dan bermakna.
II. Definisi
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci
menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu
lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j)
yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.
PIj = (C1/L1j, C2/L2j,,Ci/Lij)....(2-1)
Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang diakibatkan oleh parameter kualitas air. Nisbah ini tidak
mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritik, karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi suatu
Baku Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter, maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi
atau disisihkan, kalau badan air digunakan untuk peruntukan (j). Jika parameter ini adalah parameter yang
bermakna bagi peruntukan, maka pengolahan mutlak harus dilakukan bagi air itu.
Pada model IP digunakan berbagai parameter kualitas air, maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata
dari keseluruhan nilai Ci/Lij sebagai tolok-ukur pencemaran, tetapi nilai ini tidak akan bermakna jika salah satu
nilai Ci/Lij bernilai lebih besar dari 1. Jadi indeks ini harus mencakup nilai Ci/Lij yang maksimum
PIj = {(Ci/Lij)R,(Ci/Lij)M} .....(2-2)
PIj = {(Ci/Li)R,(Ci/Lij)M} .....(2-2)
Dengan {(Ci/Lij)R ; nilai, Ci/Lij rata-rata
{(Ci/Lij)M ; nilai, Ci/Lij maksimum
Jika (Ci/Lij)R merupakan ordinat dan (Ci/Lij)M merupakan absis maka PIj merupakan titik potong dari (Ci/Lij)R
dan (Ci/Lij)M dalam bidang yang dibatasi oleh kedua sumbu tersebut.
Gambar 2.1. Pernyataan Indeks untuk suatu Peruntukan (j)
87
Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij)R dan atau (Ci/Lij)M adalah lebih
besar dari 1,0. Jika nilai maksimum Ci/Lij dan atau nilai rata-rata Ci/Lij makin besar, maka tingkat pencemaran
suatu badan air akan makin besar pula. Jadi panjang garis dari titik asal hingga titik Pij diusulkan sebagai faktor
yang memiliki makna untuk menyatakan tingkat pencemaran.

PIj = m ( Ci/Lij )
2
M
+ ( Ci/Lij)
2
R
.............................................................................. (2-3)
Dimana m = faktor penyeimbang
Keadaan kritik digunakan untuk menghitung nilai m
PIj = 1,0 jika nilai maksimum Ci/Lij = 1,0 dan nilai rata-rata Ci/Lij = 1,0 maka

1,0 = m (1)
2
+ (1)
2

m = 1/ 2, maka persamaan 3-3 menjadi

PIj =

(Ci/Lij)
2
M
+ (Ci/Lij)
2
R
.............................................................................. (2-4)

2
Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan dapat atau tidaknya sungai dipakai
untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-parameter tertentu.
Evaluasi terhadap nilai PI adalah :
0 < PIj < 1,0 ] memenuhi baku mutu (kondisi baik)
1,0 < PIj < 5,0 ] cemar ringan
5,0 < PIj < 10 ] cemar sedang
PIj > ] cemar berat
III. Prosedur Penggunaan
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Mutu suatu Peruntukan Air
(j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada
suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan
(j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.
Harga Pij ini dapat ditentukan dengan cara :
1. Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik.
2. Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang.
3. Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan.
4.a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO.
Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim merupakan nilai DO
jenuh).
Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan, yaitu :
C im - Ci (hasil pengukuran)

(Ci/Lij) baru =
Cim -Lij
4.b. Jika nilai baku Lij memiliki rentang
- untuk Ci < Lij rata-rata
[ Ci-(Lij)
rata-rata
]
(Ci/Lij)
baru
=
{(Lij)
minimum
- (Lij)
rata-rata
}
- untuk Ci > Lij rata-rata
[ Ci-(Lij)
rata-rata
]
(Ci/Lij)
baru
=
{(Lij)
maksimum
- (Lij)
rata-rata
}
88
4.c. Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan nilai acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j
= 1,1 atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. Dalam contoh ini tingkat
kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah :
(1) Penggunaan nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran kalau nilai ini lebih kecil dari 1,0.
(2) Penggunaan nilai (Ci/Lij)baru jika nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran lebih besar dari 1,0.
(Ci/Lij)baru = 1,0 + P.log(Ci/Lij)hasil pengukuran P adalah konstanta dan nilainya ditentukan dengan
bebas dan disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki
untuk suatu peruntukan (biasanya digunakan nilai 5).
4. Tentukan nilai rata-rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij
((Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M).
5. Tentukan harga PIj

PIj = (Ci/Lij)
2
M
+ (Ci/Lij)
2
R
2
IV. Contoh Perhitungan
Pada contoh berikut ini diberikan data untuk suatu sampel sungai yang akan ditentukan indeks pencemarannya
(IP). Hasil pengukuran sampel diberikan pada kolom 2 (Ci) dan baku mutu perairan tersebut diberikan pada
kolom 3 (LiX). Pada contoh perhitungan hanya digunakan 6 parameter saja. Contoh yang diberikan berikut ini
hanya bertujuan agar pemakai metoda Indeks Pencemaran dapat memahami cara menghitung harga PIj.
Tabel 2.2 Contoh penentuan IP untuk baku mutu x
Parameter Ci Lix Ci/Lix Ci/Lix baru
TSS 100 50 2 2,5
DO 2 6 0,28 0,28
pH 8 6-9 0,5 0,5
Fecal Coliform 2000 1000 2 2,5
BOD 8 2 4,0 4,0
Se 0,07 0,01 7,0 5,2
* Contoh perhitungan TSS :
C
1
/L
1X
= 100 / 50 = 2
C
1
/L
1X
> 1
Maka gunakan persamaan (C
i
/L
ij
)
baru
(C
1
/L
1X
)
baru
= 1,0 + 5 log 2 = 2,5
Catatan : C
i
/L
ij
baru dihitung karena nilai C
i
/L
ij
yang berjauhan
untuk C
i
/L
ij
< 1 digunakan C
i
/L
ij
hasil pengukuran, tetapi bila C
i
/L
ij
> 1 perlu dicari C
i
/L
ij
baru.
* Contoh perhitungan DO :
DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas akan menrun. Maka sebelum
menghitung C
2
/L
2X
harus dicari terlebih dahulu harga C
2
baru.
DO
maks
= 7 pada temperatur 25
0
C

7 2
C
2
baru = = 5
7 6 3
C
2
/L
2X
= (5/3) / 6 = 0,28
* Contoh perhitungan pH :
Karena harga baku mutu pH memiliki rentang, maka penentuan C
3
/L
3X
dilakukan dengan cara :

6 + 9
L
3X
rata-rata = = 7,5 C
3
> L
3X
rata-rata
2
89

( 8 7,5 )
C
3
/L
3X
= = 0,5
( 9 8 )
Tentukan nilai (Ci/LiX)R = 2,58 (nilai rata-rata dari kolom 5)
Tentukan nilai (Ci/LiX)M = 5,2 (nilai maksimum dari kolom 5)
Dengan menggunakan persamaan pada langkah no 5 (lihat prosedur 3.2), maka dapat ditentukan nilai PIX = 4,10.
Apabila kemudian data air sungai yang sama ingin dibandingkan terhadap baku mutu yang berbeda, misalnya Y
(kolom II, Tabel 3.3), maka perhitungannya menjadi sebagai berikut:
Tabel 2.3 Contoh penentuan IP untuk baku mutu Y
Parameter Ci Li Y Ci/LiY Ci/LiY baru
TSS 100 400 0,25 0,25
DO 2 1 2 0,83
pH 8 6-9 0,5 0,5
BOD 8 10 0,8 0,8
Se 0,07 0,08 0,88 0,88
Dari Tabel 2.3., maka dapat ditentukan nilai-nilai berikut:
(Ci/LiY)R = 0,625
(Ci/LiY)M = 0,88
PIY = 0,76
Jika dibandingkan antara contoh pada Tabel 2.2 dengan contoh pada Tabel 2.3, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa air sungai yang diukur memenuhi baku mutu Y dan tidak memenuhi baku mutu X. Jadi bila nilai PI lebih kecil
dari 1,0, maka sampel air tersebut memenuhi baku mutu termaksud, sedangkan bila lebih besar dari 1,0, sampel
dinyatakan tidak memenuhi baku mutu.
90
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 142 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH
KE AIR ATAU SUMBER AIR
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa sehubungan dengan adanya kekeliruan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian
Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air, di pandang perlu mengubah dan menyempurnakan
beberapa ketentuan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang
Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah
Ke Air Atau Sumber Air;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun
1991Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemeri ntah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4161);
7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan
Tata Kerja Menteri Negara;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN
MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR
LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR.
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003
tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air
Atau Sumber Air, sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat
izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian analisis mengenai
dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
(3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :
91
Pasal 5
Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada :
a. jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan;
b. rona lingkungan;
c. jumlah limbah yang dibuang;
d. daya tampung beban pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada
Sumber Air.
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 24 September 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
92
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-03/MENLH/1/1998
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1. bahwa dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi manusia
serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair ke media lingkungan;
2. bahwa kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri mempunyai potensi menimbulkan
pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian;
3. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam
Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,
perlu ditetapkan lebih lanjut Baku Mutu Limbah Cair;
4. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3257);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KAWASAN INDUSTRI
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin
Usaha Kawasan Industri;
2. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan
Kawasan Industri;
3. Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke
lingkungan hidup dari suatu Kawasan Industri;
4. Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan Kawasan Industri
yang dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup;
5. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemar;
6. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup;
7. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup;
8. Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan hidup;
9. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini.
(2) Bagi Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair
bagi jenis-jenis industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
93
(3) Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah maksimum sebagaimana tersebut dalam
lampiran I Keputusan ini dapat dilampaui sepanjang beban pencemaran maksimum tidak dilampaui.
(4) Perhitungan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana dalam Lampiran II Keputusan ini.
(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 3
Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I Keputusan ini dengan persetujuan Menteri.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal ini maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih
ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri tersebut
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri wajib untuk :
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidak
melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke
lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair
tersebut;
d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan
ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan;
e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan limpahan air hujan;
f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit harian dan kadar parameter Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
sekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangi
kawasan industri, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 7
Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri dilarang melakukan pengenceran limbah cair.
Pasal 8
Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), telah
ditetapkan sebelum Keputusan ini:
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
94
LAMPIRAN I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI
PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (kg/hari.Ha)
BOD
5 50 4,3
COD 100 8,6
TSS 200 17,2
pH 6,0 - 9,0
DEBIT LIMBAH MAKSIMUM
1 Liter detik per HA lahan kawasan yang terpakai
95
LAMPIRAN II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI
PENJELASAN TENTANG PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM
UNTUK MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR
Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan beban pencemaran maksimum
sebagaimana tercantum dalam lampiran I berdasarkan pada jumlah unsur pencemar yang terkandung dalam aliran
limbah cair. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut :
1. Beban Pencemaran Maksimum
BPM = (Cm)j x Dm x A x f . . . . . . . . . . . . . . . . (II.1.1)
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg parameter per hari.
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam lampiran I Keputusan ini, dinyatakan
dalam mg/l.
Dm = Debit Limbah cair maksimum seperti tercantum dalam lampiran I, dinyatakan dalam L
limbah cair per detik per hectare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hectare (HA).
f = factor konversi = 1 kg * 24 x 3600 detik = 0,086 (II.1.2)
1.000.000 mg hari
2. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :
BPA = (CA)j x (DA) x f . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ( II.2.1)
Keterangan :
BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(CA)j = Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l.
DA = Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
F = faktor konversi = 0,086
3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM
4. Contoh penerapan
Data yang diambil dari lapangan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah :
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hectare, HA]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/l]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]
Contoh perhitungan :
Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1.500 hektare. Parameter dari Lampiran I yang
akan dijadikan contoh perhitungan adalah parameter (j) BOD.
Dari Lampiran I diketahui :
- Debit maksimum yang di perbolehkan (Dm) = 1 l/det/Ha
Untuk parameter BOD diketahui :
- Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter
- Beban maksimum yang diperbolehkan = 4,3 kg/hari/HA
Data lapangan
- Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
- Debit hasi pengukuran (DA) = 1.000 l/det
- Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1.500 HA
Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk kawasan Industri tersebut (persamaan
II.1.1) adalah :
BPM = Cm x Dm x f x A
= 50 x 1 x 0,086 x 1.500
= (4,3 kg/hari/HA) x 1.500 HA
= 6.450 kg/hari
96
Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut (persamaan II.2.1) adalah :
BPA = CA x DA x f
= 60 x 1.000 x 0,086
= 5.160 kg/hari
Dari contoh diatas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450 kg/hari), jadi untuk parameter BOD
kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu Limbah Cair.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian
ttd.
Hambar Martono
97
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-42/MENLH/X/1996
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang: a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
pembuangan limbah cair ke lingkungan;
b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta
Panas Bumi;
Mengingat : 1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);
2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2070);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan
Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan
Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 8538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Eksplorasi adalah segala cara penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan adanya dan keadaan
bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi.
2. Eksploitasi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan-bahan galian
minyak dan gas serta panas bumi dengan jalan yang lazim;
3. Pengilangan minyak adalah usaha memproses minyak dan gas bumi di daratan atau di daerah lepas pantai
dengan cara mempergunakan proses fisika, kimia guna memperoleh dan mempertinggi mutu bahan-bahan
galian minyak dan gas serta panas bumi yang dapat digunakan;
98
4. Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan penyaluran kembali Bahan Bakar Minyak
(BBM) yang penerimaan/penyalurannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan pengairan
(sungai, laut) sistem pipa, mobil tangki/bridgen dan Rail Tank Wagon (RTW);
5. Baku Mutu Limbah Cair Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi adalah batas kadar dan jumlah unsur
pencemar yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dan kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;
6. Limbah Cair adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan dibidang minyak dan gas serta
panas bumi yang dibuang ke lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan;
7. Debit maksimum limbah cair adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan;
8. Kadar maksimum limbah cair adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan;
9. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan di buang ke lingkungan;
10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11. Instansi teknis adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;
12. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa;
13. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi:
a. Eksplorasi dan produksi migas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan II;
b. Eksplorasi dan produksi panas bumi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran III;
c. Pengilangan minyak bumi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV dan V;
d. Pengilangan LNG dan LPG adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran VI;
e. Instalasi, depot dan terminal minyak adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran VII;
(2) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali
jenis kegiatan pengilangan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c pasal ini ditetapkan
berdasarkan beban pencemaran dan kadar.
Pasal 3
Bagi jenis kegiatan:
a. Eksplorasi dan produksi migas yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan ini dan beroperasi setelah ditetapkan
keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran I;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II;
4) Apabila menggunakan fasilitas pengolahan yang lama untuk kegiatan pengembangan kilang Migas, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
b. Pengilangan minyak bumi yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IV;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan ini dan beroperasi setelah ditetapkan
keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V;
Pasal 4
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui.
Pasal 5
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini ditinjau secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 6
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter yang tercantum dalam Iampiran keputusan
ini setelah mendapat persetujuan dan Menteri.
(2) Menteri mengeluarkan keputusan mengenai parameter tambahan dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan instansi teknis yang bersangkutan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan sejak
diterimanya permohonan persetujuan.
(4) Apabila telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak diberikan keputusan, maka
dianggap Menteri telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 7
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Instansi teknis yang bersangkutan.
99
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 8
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut berlaku Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 9
Setiap penanggung jawab kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) wajib untuk:
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui
Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan.
b. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut
khusus untuk kegiatan pengilangan Migas.
c. Memeriksa kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan.
d. Menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian khusus kegiatan Pengilangan Migas dan kadar parameter
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali
kepada Gubernur, Kepala Bapedal, Menteri dan instansi teknis serta pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 10
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dicantumkan ke dalam izin yang dianggap relevan
untuk pengendalian pencemaran bagi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan ini.
Pasal 11
Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan
sebelum keputusan ini:
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini, wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran
Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkan Keputusan ini.
Pasal 12
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 9 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian
ttd
Hambar Martono
100
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS
PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)
DARAT LAUT
COD 300 -
Minyak dan Lemak 35 75
Sulfida (sebagai H2S) 1,0 -
Amonia (sebagai NH3-N) 10 -
Phenol Total 2 -
Temperatur 45
O
C -
pH 6,0 - 9,0
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS
PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)
DARAT LAUT
COD 200 -
Minyak dan lemak 25 50
Sulfida (sebagai H2S) 0,5 -
Amonia (sebagai NH3-N) 5 -
Phenol Total 2 -
Temperatur 40
O
C -
pH 6,0 - 9,0
LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS
PARAMETER SATUAN KADAR MAKSIMUM
Asam Sulfida terlarut (sebagai H
2
S) mg/L 1
Amonia (sebagai NH3) terlarut mg/L 10
Air Raksa (Hg) mg/L 0,005
Arsan (AS) mg/L 0,5
Temperatur 45
O
C
pH 6,0 - 9,0
LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
PENGILANGAN MINYAK BUMI
PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM ( gram/m
3
)
BOD5 100 120
COD 200 240
Minyak dan lemak 25 30
Sulfida (Sebagai H
2
S) 1,0 1,2
Amonia (Sebagai NH3 -N) 10 12
Phenol Total 1,0 1,2
Temperatur 45
O
C
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 1200 m
3
per m
3
bahan baku minyak
101
LAMPIRAN V
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
PENGILANGAN MINYAK BUMI
PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (gram/m
3
)
BOD
5
80 80
COD 160 160
Minyak dan Lemak 20 20
Sulfida terlarut 0,5 0,5
Amonia terlarut 5 5
Phenol Total 0,5 0,5
Temperatur 45
O
C
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 1000 m
3
per m
3
bahan baku minyak
LAMPIRAN VI
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
PENGILANGAN LNG DAN LPG TERPADU
PARAMETER SATUAN KADAR MAKSIMUM
Minyak dan lemak mg/L 25
Air pendingin : Residual Chlorine mg/L 2
Temperatur 45
O
C
pH 6,0 - 9,0
LAMPIRAN VII
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
INSTALASI, DEPOT DAN TERMINAL MINYAK
PARAMETER SATUAN KADAR MAKSIMUM
Minyak dan lemak mg/L 25
pH 6,0 - 9,0
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 9 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian
ttd
Hambar Martono
102
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP-09/MENLH/IV/1997
TENTANG
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi
hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian
terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi menimbulkan
pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap
pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan
Gas serta Panas Bumi;
Mengingat : 1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);
2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2070);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan
Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan
Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
11. Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI.
Pasal I
Mengubah ketentuan pada Lampiran IV dan Lampiran V Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-
42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sehingga
seluruhnya berbunyi sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
103
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 April 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
104
LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-09/MENLH/4/1997
TENTANG : PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996
TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
TANGGAL : 22 APRIL 1997
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN-KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI
PARA METER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(gram/m
2
)
BOD
5
100 120
COD 200 240
Minyak dan Lemak 25 30
Sulfida (sbg H
2
S) 1,0 1,2
Amonia (sbg NH
3
-N) 10 12
Phenol Total 1,0 1,2
Temperatur 45
0
C
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimal 1200 m
3
per 1000 m
3
bahan baku minyak
LAMPIRAN V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-09/MENLH/4/1997
TENTANG : PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-42/MENLH/10/1996
TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
TANGGAL : 22 APRIL 1997
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN PENGILANGAN MINYAK BUMI
PARA METER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(gram/m
2
)
BOD
5
80 80
COD 160 160
Minyak dan Lemak 20 20
Sulfida Terlarut 0,5 0,5
Amonia Terlarut 5 5
Phenol Total 0,5 0,5
Temperatur 45
0
C
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimal 1000 m
3
per 1000 m
3
bahan baku minyak
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 April 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
105
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP- 35/MENLH/VII/1995
TENTANG
PROGRAM KALI BERSIH
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1. bahwa kali atau sungai merupakan sumber daya air yang penting bagi kebutuhan hidup manusia
dan makhluk hidup lainnya;
2. bahwa kualitas air sungai cenderung menurun sebagai akibat meningkatnya beban pencemaran
yang bersumber dari kegiatan di sepanjang daerah aliran sungai;
3. bahwa untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya,
pemerintah telah mencanangkan Program Kali Bersih;
4. bahwa Program Kali Bersih tersebut telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah di beberapa
propinsi pada beberapa sungai dengan melibatkan berbagai instansi terkait di daerah;
5. bahwa untuk memantapkan keberadaan Program Kali Bersih sebagai program nasional dan
untuk meningkatkan kelancaran serta pengembangan kegiatan Program Kali Bersih, maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Program Kali
Bersih.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
5. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
6. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Memperhatikan : a. Rapat Kerja Pengendalian Pencemaran Air pada tanggal 14 - 15 Juni 1989 di Surabaya yang
menghasilkan kesepakatan bersama antara Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup dan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I dari 8 (delapan) propinsi serta
instansi-instansi terkait untuk melaksanakan program kerja pengendalian pencemaran air
sungai yang diberi nama Program Kali Bersih dan dikoordinasikan secara nasional;
b. Rapat Kerja Nasional PROKASIH pada tanggal 8 - 12 Juni 1994 di Jakarta.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM KALI BERSIH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Program Kali Bersih disingkat dengan PROKASIH adalah program kerja pengendalian pencemaran air
sungai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan
peruntukannya.
2. Sungai Prokasih adalah Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang ditetapkan akan dikendalikan pencemaran
airnya melalui kegiatan Prokasih.
3. Ruas Sungai Prokasih adalah bagian dari Sungai Prokasih yang ditetapkan sebagai batas ruang lingkup
kegiatan Prokasih.
4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
5. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
6. Bupati/Walikotamadya adalah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
7. Tim Prokasih Pusat adalah satuan kerja pelaksana Prokasih di Tingkat Pusat yang ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Bapedal.
8. Tim Prokasih Daerah adalah Tim Prokasih Tingkat I dan/atau Tim Prokasih Tingkat II.
106
BAB II
AZAS, TUJUAN DAN SASARAN PROKASIH
Pasal 2
Pelaksanaan Prokasih berasaskan pelestarian fungsi lingkungan perairan sungai untuk menunjang pembangunan
yang berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Pasal 3
(1) Pelaksanaan Prokasih bertujuan:
1. tercapainya kualitas air sungai yang baik, sehingga dapat meningkatkan fungsi sungai dalam menunjang
pembangunan yang berkelanjutan;
2. terciptanya sistem kelembagaan yang mampu melaksanakan pengendalian pencemaran air secara efektif
dan efisien;
3. terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengendalian pencemaran air.
4. Dalam rangka mewujudkan tujuan Prokasih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, pelaksanaan
Prokasih dilakukan dengan pendekatan:
a. pengendalian sumber pencemaran yang strategis, dan dilakukan secara bertahap dalam suatu program
kerja;
b. pelaksanaan program kerja sesuai dengan tingkat kemampuan kelembagaan yang ada;
c. pelaksanaan dan hasil program kerja harus dapat terukur dan dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat;
d. penerapan pentaatan dan penegakan hukum dalam pengendalian pencemaran air.
Pasal 4
(1) Dalam rangka mewujudkan tujuan Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), pelaksanaan
Prokasih dilakukan dengan sasaran:
(2) Meningkatnya kualitas air sungai pada setiap ruas sungai Prokasih sampai minimal memenuhi baku mutu air
yang sesuai dengan peruntukannya.
(3) Menurunnya beban limbah dari tiap sumber pencemar, sampai minimal memenuhi baku mutu limbah cair.
(4) Menguatnya sistem kelembagaan dalam pelaksanaan Prokasih.
BAB III
PELAKSANAAN PROKASIH
Pasal 5
Berdasarkan hasil pemantauan dan analisis permasalahan pencemaran air di daerah, Kepala Bapedal mengusulkan
propinsi pelaksana Prokasih kepada Menteri. Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri
menetapkan propinsi pelaksana Prokasih.
Pasal 6
Sungai dan ruas sungai Prokasih ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan pedoman pemilihan sungai dan ruas
sungai Prokasih yang ditetapkan Bapedal dengan mempertimbangkan fungsi sungai bagi masyarakat dan
pembangunan serta memperhitungkan tingkat kemampuan lembaga pelaksana di daerah yang bersangkutan.
Pasal 7
Kepala Bapedal menetapkan pedoman pelaksanaan Rencana Induk Prokasih secara nasional.
Pasal 8
Gubernur menetapkan Rencana Kerja Prokasih di tingkat daerah berdasarkan Rencana Induk Prokasih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 9
Bapedal melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih secara nasional.
Pasal 10
Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih di daerah.
BAB IV
ORGANISASI PELAKSANAAN PROKASIH
Pasal 11
Menteri bertanggung jawab dalam koordinasi kebijaksanaan Prokasih secara nasional.
Kepala Bapedal bertanggung jawab dalam koordinasi pelaksanaan pengendalian kegiatan Prokasih secara nasional.
Pasal 12
Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2), Kepala Bapedal membentuk Tim
Prokasih Tingkat Pusat.
107
Pasal 13
Gubernur adalah penanggung jawab pelaksanaan Prokasih di tingkat daerah.
Pasal 14
(1) Dalam rangka pelaksanaan Prokasih di daerah sebagaimana dimaksud Pasal 13:
1. Gubernur menunjuk Wakil Gubernur sebagai penanggung jawab harian Prokasih di Propinsi Daerah Tingkat
I yang bersangkutan.
2. Gubernur dapat menunjuk Bupati/Walikotamadya sebagai penanggung jawab harian Prokasih di Daerah
Tingkat II dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
3. Gubernur menetapkan Tim Prokasih Daerah berdasarkan petunjuk atau arahan yang diberikan oleh Menteri
Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 15
(1) Gubernur menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala
Bapedal.
(2) Bupati/Walikotamadya menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Gubernur, Menteri, Menteri Dalam
Negeri dan Kepala Bapedal.
BAB VI
PEMBERIAN PENGHARGAAN
Pasal 16
(1) Menteri memberi penghargaan kepada Pemerintah Daerah yang melaksanakan Prokasih dan perusahaan/
kegiatan usaha yang melaksanakan pengendalian pencemaran dengan kinerja yang sangat baik;
(2) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, diberikan berdasarkan hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan Pasal 15;
(3) Dalam rangka pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
a. Kepala Bapedal menetapkan kriteria dan tata laksana penilaian;
b. Kepala Bapedal membentuk Tim Teknis dan Tim Penilai;
c. Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dilaksanakan
melalui Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha (Proper Prokasih);
d. Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 17
(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Prokasih:
1. Di Tingkat Pusat dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana
lainnya;
2. Di Tingkat Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber dana
lainnya.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 18
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.
Para Menteri Kabinet Pembangunan VI.
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Para Gubernur KDH Tingkat I di seluruh Indonesia.
Para Bupati/Walikotamadya KDH Tingkat II di seluruh Indonesia.
108
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-35-A/MENLH/VII/1995
TENTANG
PROGRAM PENILAIAN KINERJA PERUSAHAAN/KEGIATAN USAHA DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN DALAM
LINGKUP KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH)
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1. bahwa sebagai upaya pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan
adalah dengan meningkatkan pentaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup;
2. bahwa dalam rangka mendorong ditingkatkannya upaya sebagaimana dimaksud dalam butir (a)
dipandang perlu untuk mengambil langkah-langkah berupa pemberian insentif dan disinsentif
yang didasarkan pada hasil penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan
dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatannya;
3. bahwa mengingat hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha Dalam
Pengendalian Pencemaran Dalam Lingkup Kegiatan PROKASIH (Proper Prokasih).
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
6. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/7/1995 tentang Program
Kali Bersih.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PENILAIAN KINERJA
PERUSAHAAN / KEGIATAN USAHA DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN DALAM LINGKUP
KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH)
Pasal 1
Kinerja perusahaan/kegiatan usaha adalah tingkat upaya dan hasil perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan
dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kegiatannya.
Pasal 2
(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha diberlakukan untuk semua jenis kegiatan yang mempunyai potensi
dampak lingkungan di dalam lingkup kegiatan Prokasih.
(2) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat mengajukan diri secara sukarela
untuk dinilai kinerjanya.
(3) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat masuk program penilaian bila dipandang
perlu demi kepentingan umum.
Pasal 3
(1) Kinerja perusahaan/kegiatan usaha dinilai berdasarkan:
1. tingkat upaya pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan;
2. tingkat pencapaian hasil pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan;
3. pelaksanaan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan;
4. untuk pertama kalinya, penilaian kinerja diutamakan pada pengendalian pencemaran air.
Pasal 4
(1) Peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dibagi dalam peringkat sebagai berikut:
1. peringkat emas, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang melaksanakan produksi bersih dan/atau emisi nol
dan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan serta telah mencapai hasil yang sangat memuaskan
sehingga patut menjadi teladan bagi usaha-usaha lainnya;
2. peringkat hijau, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan
dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3. peringkat biru, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah mendapatkan hasil yang sesuai dengan
persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
109
4. peringkat merah, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan
tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku;
5. peringkat hitam, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan
atau usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
6. Penentuan peringkat kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini didasarkan pada hasil penilaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
7. Pedoman dan tata cara penilaian peringkat kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini ditetapkan
dengan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Pasal 5
(1) Penentuan peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup
setelah mendapat masukan dari Tim Teknis dan Dewan Pertimbangan Proper Prokasih.
(2) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan, sedangkan Dewan Pertimbangan Proper Prokasih ditetapkan oleh Menteri Negara
Lingkugan Hidup.
Pasal 6
(1) Dewan Pertimbangan Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas anggotanya terdiri
dari:
1. Pejabat Eselon I terkait:
2. Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup;
3. Deputi II Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri;
5. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Departemen Tenaga
Kerja;
6. Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan.
7. Wakil dunia usaha, wakil lembaga swadaya masyarakat dan wakil dari pers.
Pasal 7
(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan minimal sekali dalam satu tahun.
(2) Tim Teknis setelah mendengar masukan dari Dewan Pertimbangan Proper Prokasih menyampaikan hasil
penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
(3) Hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan diumumkan setelah dilaporkan kepada Presiden.
Pasal 8
Penilaian kinerja bagi perusahaan/kegiatan usaha yang sedang melaksanakan audit lingkungan sesuai dengan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-42/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Audit Lingkungan, ditunda sampai pengumuman hasil penilaian kinerja berikutnya.
Pasal 9
Perusahaan/kegiatan usaha yang meraih peringkat emas dan hijau diberikan piagam penghargaan.
Pasal 10
(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dibebankan
kepada:
(2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi pelaksanaan penilaian perusahaan/kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) Keputusan ini.
(3) Biaya perusahaan yang bersangkutan bagi pelaksanaan penilaian perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan ini.
Pasal 11
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada:
Para Menteri Kabinet Pembangunan VI.
Para Gubernur KDH Tingkat I di seluruh Indonesia.
Para Bupati/Walikotamadya KDH Tingkat II di seluruh Indonesia.
110
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan
manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair ke lingkungan;
b. bahwa kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh
karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan
Baku Mutu Limbah Cair;
c. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam
Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,
perlu ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri;
Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926. Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3257);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara
Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran negara Nomor 3538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN INDUSTRI.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang
bangun dan perekayasaan industri;
2. Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
3. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang ke lingkungan
dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan;
4. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemaran;
5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
8. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
111
9. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku mutu limbah cair untuk jenis industri :
1. Soda kostik/klor adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran A I dan Lampiran B I;
2. Pelapisan logam adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A II dan Lampiran B II;
3. Penyamakan kulit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A III dan Lampiran B III;
4. Minyak sawit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IV dan Lampiran B IV;
5. Pulp dan kertas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A V dan Lampiran B V;
6. Karet adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VI dan B VI;
7. Gula adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VII dan Lampiran B VII;
8. Tapioka adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VIII dan Lampiran B VIII;
9. Tekstil adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IX dan Lampiran B IX;
10. Pupuk urea/nitrogen adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A X dan Lampiran B X;
11. Ethanol adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XI dan Lampiran B XI;
12. Mono Sodium Glutamate (MSG) adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XII dan Lampiran B XII;
13. Kayu lapis adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIII dan Lampiran B XIII;
14. Susu, makanan yang terbuat dari susu adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIV dan Lampiran B
XIV;
15. Minuman ringan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XV dan Lampiran B XV;
16. Sabun, diterjen dan produk-produk minyak nabati adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVI dan
Lampiran B XVI;
17. Bir adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVII dan Lampiran B XVII;
18. Baterai sel kering adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVIII dan Lampiran B XVIII;
19. Cat adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIX dan Lampiran B XIX;
20. Farmasi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XX dan Lampiran B XX;
21. Pestisida adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XXI dan Lampiran B XXI.
(2) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditetapkan
berdasarkan beban pencemaran dan kadar, kecuali jenis industri pestisida formulasi pengemasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) butir 20 dan butir 21 pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar.
(3) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang :
a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000
b. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah
dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000.
(4) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang tahap perencanaannya
dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, maka berlaku baku mutu limbah cair sebagai-
mana tersebut dalam Lampiran B.
(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap saat tidak boleh dilampaui.
(6) Perhitungan tentang debit limbah cair maksimum dan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran D keputusan ini.
(7) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan/atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen
yang bersangkutan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair untuk jenis-jenis industri di luar jenis-jenis industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Selama Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum ditetapkan, Gubernur
dapat menggunakan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran C Keputusan ini.
(3) Gubernur dapat melakukan penyesuaian jumlah parameter sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) pasal
ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(4) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan diluar parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran A dan B Keputusan ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(5) Menteri memberikan tanggapan dan/atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
pasal ini.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) pasal ini, tidak diberikan tanggapan dan/
atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
112
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam
Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat
dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan industri tersebut ditetapkan
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Keputusan ini wajib :
a. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui
Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke
lingkungan;
c. memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. tidak melakukan pengeceran limbah cair, termasuk mencampurkan buangan air bekas pendingin ke dalam
aliran pembuangan limbah cair;
e. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;
f. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
g. melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya;
h. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair, produksi bulanan
senyatanya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, e, g sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Kepala
Bapedal, Gubernur, instansi teknis yang membidangi industri lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 Keputusan ini dan Persyaratan Pasal 26 Peraturan
Pemerintahan Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air wajib dicantumkan dalam izin Undang-
undang Gangguan (Hinder Ordonnantie).
Pasal 8
Apabila jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum
keputusan ini :
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah cair dalam keputusan ini selambat-lambatnya 1
(satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor:
KEP- 03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Yang Sudah Beroperasi dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di :Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
113
LAMPIRAN A. I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SODA KOSTIK
PROSES RAKSA (Hg) PROSES
MEMBRAN/DIAFRAGMA
PARAMETER KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
COD 150 1,5 kg/ton 150 1,5
TSS 50 0,5 kg/ton 50 0,5
Raksa (Hg) 0,005 0,05 g/ton - -
Timbal (Pb) - - 3,0 0,03
Tembaga (Cu) - - 0,3 0,003
Seng (Zn) - - 2,0 0,02
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 10 m
3
per ton produk soda kostik 10 m
3
per ton Produk soda kostik
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg atau gram
parameter per ton produk soda kostik.
LAMPIRAN A.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM
PELAPISAN TEMBAGA (Cu) PELAPISAN NIKEL (Ni)
PARAMETER KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (mg/L) MAKSIMUM
(gram/m
2
) (gram/m
2
)
TSS 60 6,0 60 6,0
Kadmium (Cd) 0,05 0,005 0,05 0,005
Sianida (CN) 0,5 0,05 0,5 0,05
Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8
Tembaga (Cu) 3,0 0,3 - -
Nikel (Ni) - - 5,0 0,5
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 100 L per m
2
produk pelapisan logam 100 L per m
2
produk pelapisan logam
Maksimum
114
PELAPISAN KROM (Cr) PELAPISAN & GALVANISASI
PARAMETER KADAR BEBAN SENG (Zn) BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN KADAR PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM MAKSIMUM MAKSIMUM
(gram/m
2
) (mg/L) (gram/m
2
)
TSS 60 6,0 60 6,0
Kadmium (Cd) 0,05 0,005 0,05 0,005
Sianida (CN) 0,5 0,05 0,5 0,05
Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8
Krom Total (Cr) 2,0 0,2 - -
Krom Heksavalen 0,3 0,03 - -
(Cr
+6
)
Seng (Zn) - - 2,0 0,2
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 100 L per m
2
produk 100 L per m
2
produk
Maksimum pelapisan logam pelapisan logam
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter
per Liter air Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram
parameter per m
2
produk pelapisan logam
LAMPIRAN A.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
150 10,5
COD 300 21,0
TSS 150 10,5
Sulfida (sbg H
2
S) 1,0 0,07
Krom Total (Cr) 2,0 0,14
Minyak dan Lemak 5,0 0,35
Amonia Total 10,0 0,70
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 70 m
3
ton bahan baku
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton bahan baku (penggaraman kulit mentah)
115
LAMPIRAN A.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
250 1,5
COD 500 3,0
TSS 300 1,8
Minyak dan Lemak 30 0,18
Amonia Total (sebagai NH
3
-N) 20 0,12
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 6 m
3
ton bahan baku
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton produk minyak sawit.
LAMPIRAN A.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS
PARAMETER PABRIK PULP PABRIK KERTAS PABRIK PULP & KERTAS
KADAR BEBAN KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton)
BOD
5
150 15 125 10 150 25,5
COD 350 35 250 20 350 59,5
TSS 200 20 125 10 150 25,9
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 100 m
3
per ton 80 m
3
per ton produk 170 m
3
per ton produk
Maksimum pulp kering kertas kering kertas kering
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk pulp dan atau kertas kering.
116
LAMPIRAN A.VI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 6,0
COD 300 12,0
TSS 150 6,0
Amonia Total (sebagai NH
3
-N) 10 0,4
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 40 m
3
per ton produk karet
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
Liter air Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton produk karet kering
LAMPIRAN A.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA
PARAMETER KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
100 4,0
COD 250 10,0
TSS 175 7,0
Sulfida (sebagai H
2
S) 1,0 0,04
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 40 m
3
per ton produk gula
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton produk gula.
117
LAMPIRAN A.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton produk)
BOD
5
200 12,0
COD 400 24,0
TSS 150 9,0
Sianida (CN) 0,5 0,03
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 60 m
3
per ton produk
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton produk tapioka.
LAMPIRAN A.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL
PARAMETER KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
85 12,75
COD 250 37,5
TSS 60 9,0
Fenol Total 1,0 0,15
Krom Total (Cr) 2,0 0,30
Minyak dan Lemak 5,0 0,75
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 150 m
3
per ton produk teksil
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton produk tekstil.
118
LAMPIRAN A.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PUPUK UREA
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
100 1,5
COD 250 3,75
TSS 100 1,5
Minyak dan Lemak 25 0,4
Amonia Total (sbg. NH
3
-N) 50 0,75
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 15 m
3
per ton produk pupuk urea
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton produk pupuk urea
LAMPIRAN A.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL
PARAMETER KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
150 10,5
TSS 400 28,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 70 m
3
per ton produk ethanol
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton produk ethanol.
119
LAMPIRAN A.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
100 12
COD 250 30
TSS 100 12
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 120 m
3
per ton produk MSG
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton produk MSG.
LAMPIRAN A.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS
PARAMETER KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
100 0,28 kg/m
3
COD 250 0,70 kg/m
3
TSS 100 0,28 kg/m
3
Fenol Totol 1,0 2,8 g/m
3
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 2,8 m
3
per ton produk kayu lapis
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter
per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg atau
gram parameter per ton m
3
produk kayu lapis.
3. 1000 m
2
produk = 3,6 m
3
produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
4. 2,8 m
3
air limbah per m
3
produk = 10 m
3
air limbah per 3,6 m
3
produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
120
LAMPIRAN A.XIV: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU
PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
(mg/L)
PABRIK SUSU PABRIK
DASAR TERPADU
(kg/ton) (kg/ton)
BOD
5
40 0,14 0.2
COD 100 0,35 0,5
TSS 50 0,175 0,25
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 3,5 L per kg total 5,0 L per kg
Maksimum padatan susu produk
Catatan :
1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu bubuk
2. Pabrik Terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg param-
eter per ton total padatan susu atau produk susu.
LAMPIRAN A.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m
3
)
KADAR DENGAN DENGAN TANPA TANPA
PARAMETER MAKSIMUM PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN
(mg/L) BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN
DENGAN TANPA DENGAN TANPA
PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN
SIROP SIROP SIROP SIROP
BOD
5
100 600 500 300 200
TSS 90 540 450 270 180
Minyak dan 12 72 60 36 24
Lemak
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 5 L pper 5 L pper 3 L pper 2 L pper
L produk L produk L produk L produk
minuman minuman minuman minuman
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
m
3
produk minuman ringan yang dihasilkan.
121
LAMPIRAN A.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN DAN PRODUK-PRODUK MINYAK NABATI
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton)
PARAMETER KADAR SABUN MINYAK DITERJEN
MAKSIMUM NABATI
(mg/L)
BOD
5
125 2,50 7,50 0,75
COD 300 6,0 18,0 1,8
TSS 100 2,0 6,0 0,6
Minyak dan 25 0,50 1,5 0,15
Lemak
Fosfat 3 0,06 0,18 0,018
(sbg PO
4
)
MBAS 5 0,1 0,3 0,03
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 20 m
3
per ton 60 m
3
per ton 6 m
3
per ton
produk sabun produk minyak produk diterjen
nabati
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton
produk sabun atau minyak atau diterjen.
LAMPIRAN A.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/hektoliter)
BOD
5
75 67,5
COD 170 153,0
TSS 70 63,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 9 hektoliter per hektoliter Bir
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter
per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram
parameter per hektoliter produk bir.
122
LAMPIRAN A.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING
ALKALINE - MANGAN KARBON - SENG
PARAMETER KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (mg/L produk) MAKSIMUM
(mg/kg produk) (mg/kg produk)
COD - - 30 15
TSS 15 45 10 5
NH3-N Total - - 4 2
Minyak dan 3 9,0 12 6
Lemak
Seng (Zn) 0,3 0,9 0,8 0,4
Merkuri (Hg) 0,015 0.045 0,02 0,01
Mangan (Mn) 0,5 1,5 0,6 0,3
Krom (Cr) 0,1 0,3 - -
Nikel (Ni) 0,6 1,8 - -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 3,0 L per kg baterai 0,5 L per kg baterai
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per kg produk baterai yang dihasilkan.
LAMPIRAN A.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(gram/m
3
)
BOD5 100 80
TSS 60 48
Merkuri (Hg) 0,015 0,012
Seng (Zn) 1,5 1,2
Timbal (Pb) 0,40 0,32
Tembaga (Cu) 1,0 0,80
Krom Heksavalen 0,25 0,20
(Cr
+6
)
Titanium (Ti) 0,50 0,40
Kadmium (Cd) 0,10 0,08
Fenol 0,25 0,20
Minyak dan Lemak 15 12
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 0,8 L per L produk cat water base
Maksimum Zero Discharge untuk cat solvent base
Catatan :
1. Solvent-Based Cat harus Zero Discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung atau diolah
kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air
limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter
per m
3
produk cat.
123
LAMPIRAN A.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI
PROSES FORMULASI-FORMULASI
PARAMETER PEMBUATAN (PENCAMPURAN)
BAHAN FORMULA (MG/L)
(MG/L)
BOD
5
150 100
COD 500 200
TSS 130 100
TOTAL-N 45 -
FENOL 5,0 -
Ph 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air
limbah.
LAMPIRAN A.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA
PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI PENGEMASAN
KADAR BEBAN KADAR
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM
MAKSIMUM (mg/L) (kg/ton produk) (mg/L)
BOD
5
70 1,75 40
COD 200 5,0 100
TSS 50 1,25 25
Fenol 3,0 0,075 2,5
Total-CN 1,0 0,025 -
Tembaga (Cu) 1,5 0,038 -
Bahan Aktif Total 2,0 0,05 1,0
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 25 m
3
per ton produk -
maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram per ton
produk pestisida.
124
LAMPIRAN B.I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SODA KOSTIK/KHLOR
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/L) (gram/ton)
TSS 25 75,0
Cl
2
tersisa (Khlor) 0,5 1,5
Tembaga (Cu) 1,0 3,0
Timbal (Pb) 0,8 2,4
Seng (Zn) 1,0 3,0
Krom Total (Cr) 0,5 1,5
Nikel (Ni) 1,2 3,6
Raksa (Hg) 0,004 0,012
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 3,0 m
3
per ton produk soda kostik atau
Maksimum 3,4 m
3
per ton Cl
2
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
ton produk soda kostik.
LAMPIRAN B.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/L) (gram/m
2
)
TSS 20 0,40
Sianida Total (CN) 0,2 0,004
tersisa
Krom Total (Cr) 0,5 0,010
Krom Heksavalen 0,1 0,002
(Cr
+6
)
Tembaga (Cu) 0,6 0,012
Seng (Zn) 1,0 0,020
Nikel (Ni) 1,0 0,020
Kadmium (Cd) 0,05 0,001
Timbal (Pb) 0,1 0,002
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 20 L per m
2
produk pelapisan logam
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram param-
eter per m
2
produk pelapisan logam
125
LAMPIRAN B.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT
Proses Penyamakan Proses Penyamakan
Menggunakan Krom Menggunakan Daun-
daunan
PARAMETER
KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton)
BOD5 50 2,0 70 2,8
COD 110 4,4 180 7,2
TSS 60 2,4 50 2,0
Krom Total (Cr) 0,60 0,024 0,10 0,004
Minyak dan Lemak 5,0 0,20 5,0 0,20
N Total (sebagai N) 10 0,40 15 0,60
Amoniak Total (sebagai N) 0,5 0,02 0,50 0,02
Sulfida (sebagai S) 0,8 0,032 0,50 0,02
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit limbah maksimum 40 m
3
/ton bahan baku 40 m
3
/ton bahan baku
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram meter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton bahan baku (penggaraman kulit
mentah)
3. N Total jumlah N organik + Amonia Total + NO
3
+ NO
2
LAMPIRAN B. IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton)
BOD
5
100 0,25
COD 350 0,88
TSS 250 0,63
Minyak dan Lemak 25 0,063
Nitrogen Total (sbg N) 50 0,125
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 2,5 m
2
per ton produk minyak sawit (CPO)
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton produk minyak sawit (CPO).
3. Nitrogen Total adalah jumlah Nitrogen Organik + Amonia Total + NO
3
+ NO
2
126
LAMPIRAN B.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS
PARAMETER
PROSES/ DEBIT BOD
5
COD TSS
PRODUK Kadar Beban Kadar Beban Kadar Beban
Maksimum Pencemaran Maksimum Pencemaran Maksimum Pencemaran
Maksimum Maksimum Maksimum
(m3/ton) (mg/ton) (kg/ton) (mg/ton) (kg/ton) (mg/ton) (kg/ton)
A. PULP
Kraft dikelantang 85 100 8,5 350 29,75 100 8,5
Pulp Larut 95 100 9,5 300 28,5 100 9,5
Kraft yang tidak di 50 75 3,75 200 10,0 60 3,0
kelantang
Mekanik (CMP 60 50 3,0 120 7,2 75 4,5
dan Grounwood)
Semi Kimia 70 100 7,0 200 14,0 100 7,0
Pulp Soda 80 100 8,0 300 24,0 100 8,0
De-ink Pulp (dari 60 100 6,0 300 18,0 100 6,0
kertas bekas)
B. KERTAS
Halus 50 100 5,0 200 10,0 100 5,0
Kasar 40 90 3,6 175 7,0 80 3,2
Sparet 175 60 10,5 100 17,5 45 7,8
Kertas yang 35 75 2,6 160 5,6 80 2,8
dikelantang
pH 6,0 - 9,0
Catatan :
Penjelasan kategori proses di atas diberikan sebagai berikut:
A. PULP
1. Proses kraft (dikelantang dan tidak dikelantang) adalah produksi pulp yang menggunakan cairan pemasak
natrium hidroksida yang sangat alkalis dan natrium sulfida. Proses kraft yang dikelantang digunakan pada
produksi kertas karton dan kertas kasar lain yang berwarna. Pengelantangan adalah penggunaan bahan
pengoksidasi kuat yang diikuti dengan ekstraksi alkali untuk menghilangkan warna dari pulp, untuk suatu
rentang produk kertas yang lengkap.
2. Proses pulp larut adalah produk pulp putih dan sangat murni dengan menggunakan pemasakan kimiawi
yang kuat. Pulpnya digunakan untuk pembuatan rayon dan produk lain yang mensyaratkan hampir tidak
mengandung lignin.
3. Proses groundwood adalah penjggunaan defibrasi mekanis (pemisahan serat) dengan menggunakan
gerinda atau penghlaus (refiners) dari batu. CMP ( proses pembuatan pulp kimia mekanis) menggunakan
cairan pemasak kimia untuk memasak kayu secara parsial sebelum pemisahan serta secara mekanik.
TMP (proses pembuatan pulp termo-mekanis) merupakan pemsakan singkat dengan menggunakan kukus
dan kadang0kadang bahan kimia pemasak, sebelum tahap mekanis.
4. Proses semi kimia merupakan penggunaan cairan pemasak sulfit netral tanpa pengelantangan untuk
menghasilkan produk kasar untuk lapisan dalam karton gelombang berwarna coklat.
5. Proses soda adalah produksi pulp dengan menggunakan cairan pemasak natrium hidroksida yang sangat
alkalis.
6. Proses penghilangan tinta (De-ink) merupakan salah satu proses pembuatan kertas yang menggunakan
kertas bekas yang didaur ulang melalui proses penghilangan tinta dengan kondisi alkali dan kadang-
kadang dibuat cerah atau diputihkan untuk menghasilkan pulp sekunder, sering kali berkaitan dengan
proses konvensional.
B. KERTAS
1. Kertas halus berarti produksi kertas halus yang dikelantang seperti kertas cetak dan kertas tulis.
2. Kertas besar berarti produksi kertas berwarna ciklat, seperti linerboard, kertas karton berwarna coklat atau
karton.
3. Kertas lain berarti produksi kertas yang dikelantang selain yang tercantum dalam golongan halus, seperti
kertas koran.
127
LAMPIRAN B.VI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET
LATEKS PEKAT KARET BENTUK KERING
PARAMETER KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton)
BOD
5
100 4 60 2,4
COD 250 10 200 8
TSS 100 4 100 4
Amonia Total 15 0,6 5 0,2
(sebagai NH3-N)
Nitrogen Total 25 1,0 10 0,4
(sebagai N)
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit limbah maksimum 40 m
3
/ton produk karet 40 m
3
/ton produk karet
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligramparameter per Liter
air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per
ton produk karet kering atau lateks pekat.
3. Nitrogen Total jumlah N organik + Amonia Total + NO
3
+ NO
2
LAMPIRAN B.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton)
BOD
5
60 0,3
COD 100 0,5
TSS 50 0,25
Minyak dan Lemak 5 0,025
Sulfida (sbg S) 0,5 0,0025
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 5,0 m
3
per ton produk gula
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per
Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter
per ton produk gula.
3. Debit limbah cair maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin.
128
LAMPIRAN B.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton)
BOD
5
150 4,5
COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 30 m
3
per ton produk tapioka
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per
ton produk tapioka.
LAMPIRAN B.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL
KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton)
MAKSIMUM Tekstil Pencucian Perekatan Pengikisan Pemucatan Merserisasi Pencelupan Pencetakan
PARAMETER Terpadu Kapas (Sizing) Pemasakan (Blencing) (Dyeing) (Printing)
Pemintalan Desizing (Klering
Penenunan Scouring)
(mg/L)
BOD
5
60 6 0,42 0,6 1,44 1,08 0,9 1,2 0,36
COD 150 15 1,05 1,5 3,6 2,7 2,25 3,0 0,9
TSS 50 5 0,35 0,5 1,2 0,9 0,75 1,0 0,3
Fenol Total 0,5 0,05 0,004 0,005 0,012 0,009 0,008 0,01 0,003
Krom Total (Cr) 1,0 0,1 - - - - - 0,02 0,006
Amonia Total 8,0 0,8 0,056 0,08 0,192 0,144 0,12 0,16 0,048
(NH3-N)
Sulfida (sbg S) 0,3 0,03 0,002 0,003 0,007 0,005 0,005 0,006 0,002
Minyak dan 3,0 0,3 0,021 0,03 0,07 0,054 0,045 0,06 0,018
Lemak pH
6,0 - 9,0 Debit
Limbah maksimum 100 7 10 24 18 15 20 6 (m
3
ton
produk)
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton
produk tekstil.
129
LAMPIRAN B.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PUPUK
PARAMETER PUPUK UREA PUPUK AMONIAK
NITROGEN LAIN
BEBAN BEBAN BEBAN
PENCEMARAN PENCEMARAN PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM MAKSIMUM
(kg/ton) (kg/ton) (kg/ton)
COD 3,0 3,0 0,30
TSS 1,5 3,0 0,15
Minyak dan Lemak 0,3 0,30 0,03
NH
3
-N 0,75 1,50 0,30
TKN 1,5 2,25 -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit limbah maksimum 15 m
3
per ton 15 m
3
per ton 15 m
3
per ton
produk produk produk produk
Catatan :
1. Pengukuran beban limbah cair dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir.
2. Beban limbah cair (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit limbah.
3. Beban limbah cair industri amoniak, berlaku pula untuk industri pupuk urea dan pupuk nitrogen lain yang
memproduksi kelebihan amoniak.
LAMPIRAN B.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD
5
100 1,5
COD 300 4,5
TSS 100 1,5
Sulfida (sbg S) 0,5 0,0075
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 15 m
3


per ton produk ethanol
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter a i r
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton produk
ethanol.
130
LAMPIRAN B.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton)
BOD
5
80 9,6
COD 150 18,0
TSS 100 12,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 120 m
3
per ton produk MSG
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton produk
MSG.
LAMPIRAN B.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(gram/m
3
produk)
BOD
5
75 22,5
COD 125 37,5
TSS 50 15
Fenol 0,25 0,08
Amonia Total (sbg N) 4 1,2
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 0,30 m
3
per m
3
produk kayu lapis
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Litera i r
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
m
3
produk kayu lapis.
3. 1000 m
2
produk = 3,6 m
3
produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
131
LAMPIRAN B.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM
PARAMETER KADAR PABRIK SUSU PABRIK SUSU
MAKSIMUM DASAR TERPADU
(mg/L) (kg/ton) (kg/ton)
BOD
5
40 0,08 0,06
COD 100 0,20 0,15
TSS 50 0,10 0,075
pH 6,0 - 9,0
Debit limbah maksimum 2,0 L per kg 1,5 L per kg
total padatan produk susu
Catatan :
1. Pabrik susu dasar menghasilkan susu cair dan krim, susu kental manis dan atau susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produksi dari susu seperti keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton total
padatan susu atau produk susu.
LAMPIRAN B.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m
3
)
PARAMETER KADAR DENGAN DENGAN TANPA TANPA
MAKSIMUM PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN
(mg/L) BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN
DENGAN TANPA DENGAN TANPA
PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN
SIROP SIROP SIROP SIROP
BOD
5
50 175 140 85 60
TSS 30 105 84 51 36
Minyak dan 6 21 17 10,2 7,2
Lemak
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 3,5 L per 2,8 L per 1,7 L per 1,2 L per
Maksimum L produk L produk L produk L produk
minuman minuman minuman minuman
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter per
m
3
produk minuman ringan yang dihasilkan.
132
LAMPIRAN B.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DETERJEN DAN PRODUK-PRODUK MINYAK NABATI
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton)
KADAR
PARAMETER MAKSIMUM SABUN MINYAK DITERJEN
(mg/L) NABATI
BOD
5
75 0,60 1,88 0,075
COD 180 1,44 4,50 0,180
TSS 60 0,48 1,50 0,06
Minyak dan Lemak 15 0,120 0,375 0,015
Fosfat (PO
4
) 2 0,016 0,05 0,002
MBAS 3 0,024 0,075 0,003
pH 6,0 - 9,0
Debit limbah maksimum 8 m
3
per ton 25 m
3
per ton 1 m
3
per ton
sabun produk sabun produk minyak produk
nabati diterjen
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram per ton
produk sabun, minyak nabati dan diterjen.
LAMPIRAN B.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(gram/hektoliter)
BOD
5
40 24,0
COD 100 60,0
TSS 40 24,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 6 hektoliter per hektoliter Bir
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram per hektolilter
produk Bir.
133
LAMPIRAN B.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING
PARAMETER ALKALINE - MANGAN KARBON - SENG
KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (mg/L) MAKSIMUM
(mg/kg produk) (mg/kg produk)
COD - - 15 3,75
TSS 8 12 10 2,5
NH
3
Total - - 1 0,25
Minyak dan Lemak 2 3,0 4 1,0
Seng (Zn) 0,2 0,3 0,3 0,075
Merkuri (Hg) 0,01 0,015 0,01 0,0025
Mangan (Mn) 0,3 0,45 0,3 0,075
Krom (Cr) 0,06 0,09 - -
Nikel (Ni) 0,4 0,6 - -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 1,5 L per kg baterai 0,25 L per kg baterai
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter
per kg produk baterai.
LAMPIRAN B.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
(mg/L) (gram/m
3
)
BOD
5
80 40
TSS 50 25
Merkuri (Hg) 0,01 0,005
Seng (Zn) 1,0 0,50
Timbal (Pb) 0,30 0,15
Tembaga (Cu) 0,80 0,40
Krom Heksavalen (Cr
+6
) 0,20 0,10
Titanium (Ti) 0,40 0,20
Kadmium (Cd) 0,08 0,04
Fenol 0,20 0,10
Minyak dan Lemak 10 5
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 0,5 L per L produk cat water base
Zero Discharge untuk cat solvent base
134
Catatan :
1. Solvent-Based Cat harus Zero Discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung atau diolah
kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram parameter
per m
3
produk cat.
LAMPIRAN B.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI
PARAMETER PROSES PEMBUATAN FORMULASI
BAHAN FORMULA PENCAMPURAN
(mg/L) (mg/L)
BOD5 100 75
COD 300 150
TSS 100 75
TOTAL - N 30 -
FENOL 1,0 -
Ph 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter a i r
limbah.
LAMPIRAN B.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA
PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI PENGEMASAN
PARAMETER KADAR BEBAN KADAR
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM
MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton produk) (mg/L)
BOD5 30 0,60 15
COD 100 2,00 50
TSS 25 0,50 15
Fenol 2 0,04 1,5
Bensena 0,1 0,002 0
Toluena 0,1 0,002 0
Total-CN 0,8 0,016 0
Tembaga (Cu) 1,0 0,02 0
Total-NH3 1,0 0,02 0
Bahan Aktif Total 1,0 0,02 0,05
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah maksimum 20 m
3
per ton produk
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air
limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter
per ton produk pestisida.
135
LAMPIRAN C : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR
GOLONGAN BAKU
NO PARAMETER SATUAN MUTU LIMBAH CAIR
I II
FISIK
1 Temperatur der.C 38 40
2 Zat padat larut mg/L 2000 4000
3 Zat padar tersuspensi mg/L 200 400
KIMIA
1 pH 6,0 sampai 9,0
2 Besi terlarut (Fe) mg/L 5 10
3 Mangan terlarut (Mn) mg/L 2 5
4 Barium (Ba) mg/L 2 3
5 Tembaga (Cu) mg/L 2 3
6 Seng (Zn) mg/L 5 10
7 Krom Heksavalen (Cr
+6
) mg/L 0,1 0,5
8 Krom Total (Cr) mg/L 0,5 1
9 Cadmium (Cd) mg/L 0,05 0,1
10 Raksa (Hg) mg/L 0,002 0,005
11 Timbal (Pb) mg/L 0,1 1
12 Stanum mg/L 2 3
13 Arsen mg/L 0,1 0,5
14 Selenum mg/L 0,05 0,5
15 Nikel (Ni) mg/L 0,2 0,5
16 Kobalt (Co) mg/L 0,4 0,6
17 Slanida (CN) mg/L 0,05 0,5
18 Sulfida (H2S) mg/L 0,05 0,1
19 Fluorida (F) mg/L 2 3
20 Klorin bebas (Cl2) mg/L 1 2
21 Amonia bebas (NH
3
-N) mg/L 1 5
22 Nitrat (NO
3
-N) mg/L 20 30
23 Nitrit (NO2-N) mg/L 1 3
24 BOD
5
mg/L 50 150
25 COD mg/L 100 300
26 Senyawa aktif biru metilen mg/L 5 10
27 Fenol mg/L 0,5 1
28 Minyak Nabati mg/L 5 10
29 Minyak Mineral mg/L 10 50
30 Radioaktivitas **) - -
Catatan :
*). Untuk memenuhi baku mutu limbah cair tersebut kadar parameter limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan
cara pengenceran dengan air secara langsung diambil dari sumber air kadar parameter limbah tersebut
adalah limbah maksimum yang diperbolehkan.
**). Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
136
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-52/MENLH/X/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi dan kehidupan manusia
serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke
lingkungan;
b. bahwa kegiatan hotel mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena
itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku
Mutu Limbah Cair;
c. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam
Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,
perlu ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel;
Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder ordonantie) Tahun 1926, stbl. Nomor 226, setelah diubah dan
ditambah terakhir dengan stbl. 1940 Nomor 14 dan Tahun 450;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3215);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor
78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah
Dalam Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor
34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3144);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas pokok,
Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN HOTEL
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan
jasa pelayanan penginapan yang dikelola secara komersial yang meliputi hotel berbintang dan hotel melati.
2. Hotel berbintang adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan yang
untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum.
3. Baku Mutu Limbah Cair Hotel adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan.
4. Limbah Cair Hotel adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan hotel yang dibuang ke
lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3, 4, 5 adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
(2) Bagi Kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun
2000;
b. tahap perencanaan dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
137
(3) bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang tahap perencanaannya dilakukan dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran B;
(4) Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali
dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Gubernur setelah mendapat persetujuan Menteri dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter
yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini.
(2) Menteri memberikan tanggapan dan atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan tanggapan dan
atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama
dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan hotel tersebut ditetapkan
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab kegiatan hotel wajib untuk:
a. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui
Baku Mutu Limbah Cair yang ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah
cair ke lingkungan;
c. memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
e. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan
ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;
f. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan e sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Bapedal, Gubernur,
dan instansi teknis yang membidangi hotel, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Keputusan ini dan persyaratan Pasal 26 Peraturan
Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air wajib dicantumkan dalam izin Undang-
undang Gangguan (Hinder Ordonantie)
Pasal 8
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan
sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgat daripada Baku Mutu Limbah cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam
Lampiran keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
138
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995
TANGGAL 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL
PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)
BOD
5 75
COD 100
TSS 100
pH 6,0 - 9,0
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995
TANGGAL 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL
PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)
BOD
5 30
COD 50
TSS 50
pH 6,0 -9,0
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian,
ttd
Hambar Martono
139
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-58/MENLH/XII/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan
manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair ke lingkungan;
b. bahwa kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perludil akukan pengendali an terhadap pem-
buangan limbah cair yang dibuang ke lingkungan dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
bagi kegiatan Rumah Sakit;
c. bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas dan untuk melaksanakan pengendalian
pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit;
Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 14 dan Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2722);
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah
Dalam Bidang Kesehatan Kepala Daerah (Lembaran Negara Tahun 1987 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3347);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
Pasal 1
(1) Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta
dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian;
2. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan mengandung
mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas;
3. Baku Mutu Limbah Cair Rumah Sakit adalah batas maksimal limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke
lingkungan dari suatu kegiatan rumah sakit;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
140
5. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa;
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan
ini.
(2) Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-
kurangya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 3
(1) Bagi setiap rumah sakit yang:
a. Telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2000;
b. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah
dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
c. Tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran B.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini setelah mendapat persetujuan:
a. Menteri dan menteri yang membidangi rumah sakit untuk parameter nonradioaktivitas
b. Menteri dan Direktur Jenderal Bidang Atom Nasional untuk parameter radioaktivitas.
(2) Tanggapan dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diberikan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan tanggapan dan/atau
persetujuan, maka permohonan dianggap telah disetujui.
Pasal 5
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 6
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan rumah sakit mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih
ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 5 ayat (1), maka
bagi kegiatan rumah sakit tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.
Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib:
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan sehingga mutu limbah cair yang dibuang
ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan ke
tanah serta terpisah dengan saluran limpahan air hujan;
c. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan
ini kepada laboratorium yang berwenang sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;
e. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud huruf c dan d sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Gubernur dengan
tembusan Menteri, Kepala Bapedal, Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Nasional, instansi teknis yang
membidangi rumah sakit serta instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
Pasal 8
(1) Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena zat radioaktif
pengelolanya dilakukan sesuai dengan ketentuan Badan Tenaga Atom Nasional.
141
(2) Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan radioaktif yang
dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.
(3) Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radioaktif dalam kegiatannya, tidak diberlakukan kelompok
parameter radioaktivitas dalam pemeriksaan limbah cair rumah sakit yang bersangkutan.
Pasal 9
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau Pasal 6 Keputusan ini, dan persyaratan dalam Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin
Undang-undang Gangguan (Hinder Ordinnantie).
Pasal 10
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
ditetapkan sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalam lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini selambat-
lambatnya satu tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 11
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian
ttd
Hambar Martono
142
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)
BOD5
75
COD 100
TSS 100
pH 6-9
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
PARAMETER KADAR MAKSIMUM
FISIKA
Suhu < 30
O
C
KIMIA
pH 6 - 9
BOD5 30 mg/L
COD 80 mg/L
TSS 30 mg/L
NH3

Bebas 0,1 mg/L
PO4 2 mg/L
MIKROBIOLOGIK
MPN - Kuman Golongan Koli/100 mL 10.000
RADIOAKTIVITAS
32
P 7 X 10
2
Bq/L
35
S 2 X 10
3
Bq/L
45
Ca 3 x 10
2
Bq/L
51
Cr 7 x 10
4
Bq/L
67
Ga 1 x 10
3
Bq/L
85
Sr 4 x 10
3
Bq/L
99
Mo 7 x 10
3
Bq/L
113
Sn 3 x 10
3
Bq/L
125
I 1 x 10
4
Bq/L
131
I 7 x 10
4
Bq/L
192
Ir 1 x 10
4
Bq/L
201
TI 1 x 10
5
Bq/L
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian
ttd
Hambar Martono
143
LAUT
144
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara
merupakan salah satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa;
b. bahwa pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk mernberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut maupun pemanfaatan laut beserta
sumber daya alamnya dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut
yang akhirnya dapat menurunkan mutu serta fungsi laut;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982;
9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
12. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
13. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN
LAUT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional;
2. Pencemaran Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya;
3. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
4. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik
dan/atau hayatinya yang lampaui kriteria baku kerusakan laut;
5. Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati kriteria baku kerusakan laut;
6. Kriteria baku kerusakan laut adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan laut yang
dapat ditenggang;
145
7. Status mutu laut ada tingkatan mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dini berdasarkan baku mutu air laut
dan/atau kriteria baku kerusakan laut;
8. Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik;
9. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau
penanggulangan dan/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan laut;
10. Pembuangan (dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan dan/atau
benda lain yang tidak terpakai atau daluarsa ke laut;
11. Limbah adalah sisa usaha dan/atau kegiatan;
12. Limbah cair adalah sisa dan proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair;
13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dan suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud padat termasuk
sampah;
14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut bertujuan
untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya sumber daya laut.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU LAUT
Pasal 3
Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut.
Pasal 4
Baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Menteri
dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
terkait lainnya.
Pasal 5
(1) Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat
kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut.
(2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman teknis penetapan
status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka Kepala instansi yang
bertanggung jawab menetapkan status mutu laut.
Pasal 6
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status mutu laut.
Pasal 7
(1) Air laut yang mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada pada
tingkatan baik.
(2) Air laut yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada
pada tingkatan tercemar.
Pasal 8
(1) Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status
mutunya pada tingkatan baik.
(2) Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang
status mutunya berada pada tingkatan rusak.
BAB III
PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT
Pasal 9
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan pencemaran laut.
Pasal 10
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan
pencegahan terjadinya pencemaran laut.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi
persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
146
Pasal 11
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran laut.
Pasal 12
Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana
pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT
Pasal 13
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan kerusakan laut.
Pasal 14
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan
pencegahan perusakan laut.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan laut.
BAB V
PENANGGULANGAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
Pasal 15
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh
kegiatannya.
(2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana dimaksud ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
PEMULIHAN MUTU LAUT
Pasal 16
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.
(2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
BAB VII
KEADAAN DARURAT
Pasal 17
(1) Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan di laut dapat
dilakukan tanpa izin, apabila:
a. pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut;
b. pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dapat dilakukan dengan syarat bahwa semua
upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk
mencegah kerugian yang lebih besar.
(2) Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang terdekat dan/atau instansi
yang bertanggung jawab.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi,
waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.
(4) Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau
kerusakan laut serta wajib melaporkan kepada Menteri.
(5) Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh
keadaan darurat, di tanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
BAB VIII
DUMPING
Pasal 18
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut wajib mendapat
izin Menteri.
(2) Tata cara dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
147
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 19
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat
menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menetapkan pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 20
(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berwenang melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan,
memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi
dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 21
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, wajib:
a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan
tersebut;
b. memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;
c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperoleh pengawas;
d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya yang diperlukan
pengawas; dan
e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi
kerjanya.
Pasal 22
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung
jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala
Instansi yang bertanggung jawab.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 23
(1) Biaya inventarisasi dari/atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu laut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber dana tambahan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan/atau sumber dana tambahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB XI
GANTI RUGI
Pasal 24
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya
pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 25
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ditetapkan
lebih lanjut oleh Menteri.
148
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan persyaratan
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 28
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 32
149
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
I. UMUM
Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut
Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan laut lokal maupun internasional, juga memiliki
sumber daya laut yang sangat kaya dan penting, antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, padang
lamun, mangrove dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga
mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia juga. Hal ini menunjukkan bahwa
sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini
maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan salah satu sumber daya alam, sangat perlu untuk
dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan
tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut menjadi sangat
penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan
pengelolaan lingkungan hidup.
1. Pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
Hal ini berarti, bahwa perlu ditetapkan baku mutu air laut yang berfungsi sebagai tolak ukur untuk menentukan
telah terjadinya pencemaran laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena
sangat erat kaitannya antara tingkat pencemaran laut dengan status mutu laut itu sendiri.
2. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap
sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. Hal ini berarti bahwa perlu ditetapkan
kriteria baku kerusakan laut yang berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan tingkat kerusakan laut.
Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara tingkat
kerusakan laut dengan status mutu laut itu sendiri.
3. Mengacu kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan
bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapai nya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan generasi kini dan yang
akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Pengendalian pencemaran
dan/atau perusakan laut mengacu kepada sasaran tersebut sehingga pola kegiatannya terarah dan selaras
dengan tetap mempertimbangkan hak dan kewajiban serta peran masyarakat.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menyebutkan hak
setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diikuti dengan kewajiban untuk
memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas
tentang hak dan kewajibannya didalam upaya pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut.
Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan juga untuk melaksanakan tujuan yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan sebel umnya yang ada kaitannya dengan masalah lingkungan hidup serta
melaksanakan misi yang tercantum dalam konvensi internasional yang berkaitan dengan hukum laut atau
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini berkaitan sangat erat pula
dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pengendalian Dampak Lingkungan ke Daerah.
4. Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut merupakan kegiatan yang mencakup:
a. Inventarisasi kualitas laut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ada dalam
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut;
b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang digunakan sebagai tolak ukur
utama pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut;
c. Pemantauan kuatitas air laut dan pengukuran tingkat kerusakan laut yang diikuti dengan pengumpulan
hasil pemantauan yang dilakukan oleh instansi lain, evaluasi dan analisis terhadap hasil yang diperoleh
serta pembuatan laporan;
d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah;
e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk mempertahankan mutu laut agar
tetap baik atau memperbaiki mutu laut yang telah tercemar atau rusak;
f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut
termasuk penaatan mutu limbah yang dibuang ke laut dan/atau penaatan terhadap kriteria baku
kerusakan laut serta penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya.
150
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka (1)
Unsur terkait adalah semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang ada di laut.
Angka (2)
Cukup jelas
Angka (3)
Cukup jelas
Angka (4)
Cukup jelas
Angka (5)
Cukup jelas
Angka (6)
Cukup jelas
Angka (7)
Cukup jelas
Angka (8)
Yang dimaksud mutu laut tetap baik adalah mutu laut sama atau dibawah ambang batas baku mutu air
laut atau kriteria baku kerusakan laut.
Angka (9)
Cukup jelas
Angka (10)
Cukup jelas
Angka (11)
Cukup jelas
Angka (12)
Cukup jelas
Angka (13)
Cukup jelas
Angka (14)
Cukup jelas
Angka (15)
Cukup jelas
Angka (16)
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Baku mutu air laut ditetapkan berdasarkan peruntukkannya, antara lain: baku mutu air laut untuk pariwisata
dan rekreasi (mandi, renang, dan selam); baku mutu air laut untuk konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Sedangkan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan berdasarkan pada kondisi fisik ekosistem
laut yaitu antara lain: terumbu karang, mangrove dan padang lamun.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
151
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter mutu air
laut yang diukur berada dalam batas atau sesuai dengan ketentuan baku mutu air laut yang ditetapkan
oleh Menteri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter
mutu air laut yang diukur tidak berada dalam batas atau tidak sesuai dengan ketentuan baku mutu air
laut yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut adalah jika
kondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam:
- Kondisinya baik sampai baik sekali untuk terumbu karang.
- Kondisinya sedang sampai sangat padat untuk mangrove.
- Kondisinya kaya sampai sangat kaya untuk padang lamun.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan adalah jika
kondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam:
- Kondisinya sedang sampai buruk untuk terumbu karang.
- Kondisinya jarang sampai sangat jarang untuk mangrove.
- Kondisinya agak miskin sampai miskin untuk padang tamun.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Yang dimaksud limbah padat adalah termasuk sampah.
Yang dimaksud dengan kegiatan rutin operasional di laut antara lain:
kapal, kegiatan lepas pantai (off shore) dan perikanan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pencegahan dimaksud merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya
kemungkinan resiko terhadap setiap ekosistem laut berupa terjadinya perusakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan penanggulangan
sesegera mungkin sehingga mengesampingkan prosedur normal. Yang dimaksud dengan benda
adalah barang dan/atau bahan dan/atau zat dan/atau limbah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang antara lain Menteri Perhubungan, Menteri
Pertambangan dan Energi, dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
152
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Dalam rangka menetapkan tata cara dumping, Menteri wajib melakukan koordinasi dengan instansi
terkait.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dan instansi lain untuk melakukan pengawasan,
Menteri melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan adalah menghormati
nilai dan norma yang berlaku baik tertulis maupun yang tidak tertulis.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Laporan tentang kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau yang disampaikan antara lain berisi
hasil pemantauan kualitas dan kuantitas limbah yang di buang ke laut, kinerja instalasi pengolahan air
limbah, luas penambangan pasir atau batu yang telah dilakukan dan upaya minimalisasi dampak,
reklamasi pantai.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
153
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 04 TAHUN 2001
TENTANG
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai
habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak
terhadap kerusakan terumbu karang, ol eh karena i tu perl u di lakukan berbagai upaya
pengendaliannya;
c. bahwa salah satu upaya untuk melindungi terumbu karang dari kerusakan tersebut dilakukan
berdasarkan kriteria baku kerusakan;
d. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaga Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3816);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN
TERUMBU KARANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota
laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup didasar laut lainnya serta biota lain yang hidup
bebas di dalam perairan sekitarnya;
2. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu
karang yang dapat ditenggang;
3. Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu
tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu kerusakan terumbu karang dengan menggunakan prosentase
luas tutupan terumbu karang yang hidup;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
5. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
6. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
7. Instansi yang bertanggung jawab adalah Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
8. Instansi yang bertanggung jawab adalah Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup daerah.
154
BAB II
KRITERIA BAKU KERUSAKAN , STATUS KONDISI, DAN PROGRAM PENGENDALIAN KERUSAKAN TERUMBU
KARANG
Bagian Pertama
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
Pasal 2
(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ditetapkan berdasarkan prosentase luas tutupan terumbu karang
yang hidup.
(2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran I
Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan salah
satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek
Garis Bentuk Pertumbuhan Karang.
Bagian Kedua
Status Kondisi Terumbu Karang
Pasal 4
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan inventarisasi terumbu karang sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sekali untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteri dan
instansi yag bertanggung jawab.
(2) Gubernur/Bupati/Walikota menentukan status kondisi terumbu karang dari hasil inventarisasi yang dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang dapat ditentukan:
a. terumbu karang dalam kondisi baik; atau
b. terumbu karang dalam kondisi rusak.
(3) Pedoman pengukuran untuk menetapkan status kondisi terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 5
Gubernur/Bupati/Walikota wajib mempertahankan status kondisi terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi
baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a.
Bagian Ketiga
Program Pengendalian Kerusakan Terumbu Karang
Pasal 6
(1) Gubernur/Bupati/Wallikota wajib menyusun program pengendalian kerusakan terumbu karang yang dinyatakan
dalam kondisi rusak sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b.
(2) Program pengendalian terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan.
(3) Pedoman tentang tata cara pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kerusakan terumbu karang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam lampiran II Keputusan ini.
Pasal 7
Dalam rangka pelaksanaan program pengendalian kerusakan terumbu karang Gubernur/Bupati/Walikota wajib
melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi terumbu karang 1 (satu) tahun sekali dan menyampaikan
laporannya kepada Menteri, instansi yang berwenang di bidang kehutanan, instansi yang berwenang di bidang
kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 8
Menteri menetapkan kebijakan nasional mengenai pengendalian kerusakan terumbu karang.
BAB III
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 9
(1) Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan kerusakan terhadap terumbu karang.
(2) Dalam hal pengawasan tersebut dilakukan di kawasan konservasi wajib dikoordinasikan dengan instansi yang
berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab.
155
Pasal 10
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui kerusakan atau perusakan terumbu karang, wajib segera
melaporkan kepada pejabat daerah terdekat.
(2) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari Kepala Desa, Lurah, Camat, Kepolisian,
Bupati, Walikota atau Gubernur terdekat.
(3) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menerima laporan wajib mencatat :
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tempat kejadian;
d. lokasi terjadinya kerusakan;
e. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang dan atau pelaku perusakan.
Pasal 11
Pejabat daerah terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib segera melakukan
verifikasi laporan terjadinya kerusakan atau perusakan terumbu karang.
Pasal 12
Apabila hasil verifikasi menunjukkan telah terjadi kerusakan atau perusakan terumbu karang, Bupati, Walikota atau
Gubernur setempat wajib segera melakukan langkah penanganannya.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 13
Biaya sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 4 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 12 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Februari 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf.
156
Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP - 04/MENLH/02/2001
Tanggal : 23 Februari 2001
KRITERIA BAKU KERUSAKAN
TERUMBU KARANG
PARAMETER KRITERIA BAKU KERUSAKAN
KARANG
(dalam %)
Prosentase Luas Tutupan Rusak Buruk 0 - 24,9
Terumbu Karang yang Hidup Sedang 25 - 49,9
Baik Baik 50 - 74,9
Baik sekali 75 - 100
Keterangan :
Prosentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang : 50 - 100%
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP - 04/MENLH/02/2001
Tanggal : 23 Februari 2001
PEDOMAN TATA CARA PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN
DAN PEMULIHAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG
A. Pendahuluan.
Terumbu karang merupakan rumah bagi 25% dari seluruh biota laut dan merupakan ekosistem di dunia yang paling
rapuh dan mudah punah. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang demi kelestarian fungsinya
sangat penting.
Terumbu karang Indonesia menurut Tomascik, 1997 mempunyai luas kurang lebih 85.707 Km
2
, yang terdiri dari
fringing reefs 14.542 Km
2
, barrier reefs 50.223 Km
2
, oceanic platform reefs 1.402 Km
2
, dan attols seluas 19.540 Km
2
.
Terumbu karang telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota
dengan cara merusak kelestarian sumber daya, seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia beracun (potassium
sianida) telah terjadi di seluruh perairan Indonesia.
Masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam
pemanfaatannya, sebaliknya, kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun
buruknya ekosistem ini. Oleh karena itu pengendalian kerusakan terumbu karang sangat diperlukan untuk menjaga
kelestarian fungsi ekosistem yang sangat berguna bagi masyarakat pesisir.
B. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Sedimentasi
Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian di daerah aliran sungai ataupun
penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan
terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih
lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena kurangnya cahaya.
Hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai penyaring juga menjadi rusak dan menyebabkan
sedimen dapat mencapai terumbu karang. Penebangan hutan mangrove untuk keperluan kayu bakar dapat merubah
area hutan mangrove tersebut menjadi pantai terbuka. Dengan membuka tambak-tambak udang dapat merusak
tempat penyediaan udang alami.
Penangkapan dengan Bahan Peledak
Penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan oleh nelayan akan mengakibatkan penangkapan ikan secara
berlebihan, sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang dimasa berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat
(sejenis pupuk) sebagai bahan peledak akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga membunuh ikan dan
merusak karang di sekitarnya.
157
Aliran drainase
Aliran drainase yang mengandung pupuk dan kotoran yang terbuang ke perairan pantai yang mendorong pertumbuhan
algae yang akan menghambat pertumbuhan polip karang, mengurangi asupan cahaya dan oksigen. Penangkapan
secara berlebihan membuat masalah ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang biasanya makan algae juga ikut
tertangkap.
Penangkapan ikan dengan Sianida
Kapal-kapal penangkap ikan seringkali menggunakan sianida dan racun-racun lain untuk menangkap ikan-ikan
karang yang berharga. Metode ini acap digunakan untuk menangkap ikan-ikan tropis untuk akuarium dan sekarang
digunakan untuk menangkap ikan-ikan sebagai konsumsi restoran-restoran yang memakai ikan hidup.
Pengumpulan dan Pengerukan
Pengambilan karang untuk digunakan sebagai bahan baku konstruksi atau dijual untuk cinderamata juga merusak
terumbu karang. Demikian pula pengerukan dan pengeboman karang untuk konstruksi di daerah terumbu karang.
Pencemaran Air
Produk-produk minyak bumi dan kimia lain yang dibuang di dekat perairan pantai, pada akhirnya akan mencapai
terumbu karang. Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang dan biota laut lainnya.
Pengelolaan tempat rekreasi
Pengelolaan tempat rekreasi di wilayah pesisir yang tidak memperhatikan lingkungan, seperti penyewaan kapal,
peralatan pemancingan dan penyelaman seringkali menyebabkan rusaknya terumbu karang. Pelemparan jangkar
ke karang dapat menghancurkan dan mematahkan terumbu karang. Para wisatawan yang mengambil,
mengumpulkan, menendang, dan berjalan di karang ikut menyumbang terjadinya kerusakan terumbu karang.
Pemanasan global
Terumbu karang juga terancam oleh pemanasan global. Pemutihan terumbu karang meningkat selama dua dekade
terakhir, masa dimana bumi mengalami beberapa kali suhu terpanas dalam sejarah. Ketika suhu laut meningkat
sangat tinggi, polip karang kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna mereka menjadi
putih dan akhirnya mati.
Pemanasan global juga mengakibatkan cuaca ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis yang dapat
mengakibatkan kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar. Meningkatnya permukaan laut juga
menjadi ancaman serius bagi terumbu karang dan pulau-pulau kecil maupun atol.
C. Pencegahan dan Penanggulangan
Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat
Adalah upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang dan
mengajak masyarakat untuk berperan serta aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan
terumbu karang secara lestari, seperti meningkatkan kesadaran mereka akan peranan penting terumbu karang,
seperti sebagai tempat pengembangan wisata bahari, bahan baku obat-obatan, kosmetika, bahan makanan dan
lain-lain. Penting juga untuk menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat
pesisir sejak masa kanak-kanak.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan
tangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Pembinaan ini disertai dengan bantuan
pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang telah ada dan tidak membebani masyarakat.
Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan
secara lestari.
Pengembangan Kelembagaan
Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan,
aparat keamanan, pemanfaat sumber daya dan pemerhati lingkungan.
Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan
dan teknik rehabilitasi terumbu karang.
Penelitian, Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang. Dalam kaitan ini
akan dibentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang dengan membangun simpul-simpul di
beberapa propinsi. Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki stasiun-stasiun di beberapa
tempat, seperti : Biak, Ambon dan Lombok.
Penegakan hukum
Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam
usaha mencapai tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Masyarakat memegang peranan
158
penting dalam mencapai tujuan komponen penegakan hukum. Salah satu peranan masyarakat dalam pengamanan
terumbu karang secara langsung adalah sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, dimana mereka
berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak hukum mengenai pelanggaran yang merusak terumbu karang
di daerahnya.
D. Pemulihan
Pemulihan kerusakan terumbu karang merupakan upaya yang paling sulit untuk dilakukan, serta memakan biaya
tinggi dan waktu yang cukup lama. Upaya pemulihan yang bisa dilakukan adalah zonasi dan rehabilitasi terumbu
karang.
Zonasi
Pengelolaan zonasi pesisir bertujuan untuk memperbaiki ekosistem pesisir yang sudah rusak. Pada prinsipnya
wilayah pesisir dipetakan untuk kemudian direncanakan strategi pemulihan dan prioritas pemulihan yang diharapkan.
Pembagian zonasi pesisir dapat berupa zona penangkapan ikan, zona konservasi maupun lainnya sesuai dengan
kebutuhan/pemanfaatan wilayah tersebut, disertai dengan zona penyangga karena sulit untuk membatasi zona-
zona yang telah ditetapkan di laut. Ekosistem terumbu karang dapat dipulihkan dengan memasukkannya ke dalam
zona konservasi yang tidak dapat diganggu oleh aktivitas masyarakat sehingga dapat tumbuh dan pulih secara
alami.
Rehabilitasi
Pemulihan kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi aktif, seperti meningkatkan
populasi karang, mengurangi algae yang hidup bebas, serta meningkatkan ikan-ikan karang.
Meningkatkan populasi karang
Peningkatan populasi karang dapat dilakukan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu membiarkan benih karang
yang hidup menempel pada permukaan benda yang bersih dan halus dengan pori-pori kecil atau liang untuk
berlindung; menambah migrasi melalui transplantasi, serta mengurangi mortalitas dengan mencegahnya dari
kerusakan fisik, penyakit, hama dan kompetisi.
Mengurangi alga hidup yang bebas
Pengurangan populasi alga dapat dilakukan dengan cara membersihkan karang dari alga dan meningkatkan hewan
pemangsa alga.
Meningkatkan ikan-ikan karang
Populasi ikan karang dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu dengan meningkatkan ikan herbivora
dan merehabilitasi padang lamun sebagai pelindung bagi ikan-ikan kecil; meningkatkan migrasi atau menambah
stok ikan, serta menurunkan mortalitas jenis ikan favorit.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi III MENLH
Bidang Hukum Lingkungan,
ttd
Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES.
159
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-45/MENLH/XI/1996
TENTANG
PROGRAM PANTAI LESTARI
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan wilayah pantai,
setiap usaha atau kegiatan wajib melakukan usaha pengendaliannya;
2. bahwa salah satu upaya pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan wilayah pantai
tersebut dilakukan dengan Program Pantai Lestari;
3. bahwa mengingat hal seperti tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Program Pantai Lestari;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1982 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
7. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships, 1973 Beserta Protokol;
8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
9. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 86 Tahun 1990 tentang Pencegahan Pencemaran
Oleh Minyak dari Kapal;
11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 215/AL 506/PHB-87 tentang Pengadaan Fasilitas
Penampungan Limbah dari Kapal;
12. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 167/HM/207 Tahun 1986 tentang Sertifikasi
Internasional Pencegahan Pencemaran Oleh Bahan Cair Beracun;
13. Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor : KM 97/HK.103/MPPT/87 tentang
Ketentuan Usaha Wisata Tirta;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PANTAI LESTARI
Pasal 1
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud:
1. Pantai Lestari adalah nama atau label dari program kerja pengendalian pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan wilayah pantai berskala nasional.
2. Lingkungan Pesisir adalah lingkungan perairan pantai, lingkungan pantai itu sendiri dan lingkungan daratan
pantai.
3. Pantai Wisata adalah wilayah pantai yang merupakan daerah tujuan wisata.
4. Bandar Indah adalah program kerja pengendalian pencemaran dan atau kerusakan di wilayah pelabuhan.
5. Teman Lestari adalah program kerja pengendalian pencemaran dan atau kerusakan terhadap terumbu
karang dan mangrove.
6. Menteri adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup.
7. BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
Setiap orang dan atau penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan wilayah pantai.
Pasal 3
(1) Program Pantai Lestari meliputi:
1. Pantai Wisata Bersih
2. Bandar Indah; dan
3. Teman Lestari
160
Pasal 4
(1) Program Pantai Lestari bertujuan:
1. terkendalinya pencemaran atau kerusakan lingkungan wilayah pantai, dari berbagai usaha atau kegiatan.
2. terciptanya masyarakat sadar lingkungan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan wilayah pantai.
3. terbinanya hubungan koordinasi yang lebih baik antar lembaga terkait dalam pengelolaan lingkungan wilayah
pantai.
Pasal 5
(1) Program Pantai Lestari Tingkat Pusat:
1. dikoordinasikan oleh Menteri
2. penanggung jawab kegiatan oleh Kepala BAPEDAL
(2) Program Pantai Lestari Tingkat Daerah:
1. pembinaan umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
2. koordinasi pelaksanaannya dilakukan oleh Gubernur
3. pelaksanaannya dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II
4. bimbingan teknis dan dukungan pelayanan laboratorium oleh Bapedalwil
Pasal 6
(1) Gubernur dapat mengusulkan Penetapan Propinsi Daerah Tingkat II Program Pantai Lestari
(2) Tata cara pengusulan Propinsi Daaerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
Bapedal setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Pasal 7
Gubernur dapat menetapkan prioritas dan sasaran yang dijadikan program pantai lestari di daerahnya
Pasal 8
(1) Setiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat mengusulkan daerahnya sebagai pelaksana Program
Pantai Lestari kepada Gubernur
(2) Tata cara pengusulan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh
Gubernur
Pasal 9
Kepala BAPEDAL melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program Pantai Lestari secara nasional
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada Menteri
Pasal 10
Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program Pantai Lestari secara berkala setiap 3
(tiga) bulan sekali kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.
Pasal 11
(1) Menteri dapat memberikan penghargaan kepada Gubernur, Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II dan atau
penanggung jawab usaha atau kegiatan yang dinilai telah berhasil melakukan pembinaan dan pelaksanaan
Program Pantai Lestari.
(2) Menteri menetapkan penghargaan Program Pantai Lestari berdasarkan pertimbangan Dewan Penilai.
(3) Pedoman dan tata cara penilaian untuk memberikan penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Bapedal
(4) Susunan anggota Dewan Penilai Program Pantai Lestari ditetapkan oleh Menteri
Pasal 12
(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program Pantai Lestari:
1. tingkat pusat dibebankan kepada Anggaran BAPEDAL
2. tingkat daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Pasal 13
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
161
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR 47 TAHUN 2001
TENTANG
PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,
Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai
habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak
terhadap kerusakan terumbu karang, ol eh karena i tu perl u di lakukan berbagai upaya
pengendaliannya;
c. bahwa dalam rangka untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu karang, diperlukan suatu ukuran
untuk menilai kondisi terumbu karang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Pengukuran
Kondisi Terumbu Karang;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419)
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3816);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP 45/MENLH/11/1996 tentang Program
Pantai Lestari:
9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP 47/MENLH/11/1996 tentang Penetapan
Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Pantai Lestari;
10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang:
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pengukuran kondisi terumbu karang adalah kegiatan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang pada suatu
tempat dan waktu tertentu;
2. Terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota
laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta biota lain yang hidup
bebas di dalam perairan sekitamya;
Pasal 2
(1) Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan
ini.
(2) Penetapan pedoman pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menyediakan acuan bagi
petugas pemantau, pengawas, peneliti, penyidik dan pihak yang berkepentingan lainnya dalam melakukan
pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang.
(3) Metodologi yang digunakan dalam pengukuran kondisi terumbu karang adalah metoda transek garis bentuk
pertumbuhan karang.
162
Pasal 3
Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan dalam rangka:
1. Penelitian dan pendidikan;
2. Pemantauan dan pengawasan;
3. Penyidikan tindak pidana perusakan terumbu karang.
Pasal 4
(1) Petugas peneliti dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yaitu
memiliki sertifikat selam dengan jenjang minimal Scuba Diver 3 (A2) yang diterbitkan oleh Persatuan Olah Raga
Selam Seluruh Indonesia atau sertifikat dengan jenjang sederajat yang diterbitkan oleh instansi sejenis lainnya.
(2) Pemantau, pengawas dan penyidik dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam surat keputusan tentang persyaratan pengangkatan sebagai pengawas
atau penyidik.
Pasal 5
(1) Data hasil pengukuran kondisi terumbu karang sebelum disajikan atau diinformasikan kepada pihak lain yang
berkepentingan atau publik, harus disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap jenis kegiatan:
a. penelitian dan pendidikan adalah pimpinan lembaga penelitian atau pendidikan yang bersangkutan;
b. pemantauan dan pengawasan adalah atasan petugas pemantau dan pengawas pada instansi yang
bersangkutan, baik di pusat maupun di daerah.
(3) Untuk kepentingan kegiatan penyidikan, maka kegiatan pengukuran, pengolahan dan penyajian hasil penyidikan
harus dituangkan dalam suatu Berita Acara.
Pasal 6
(1) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur kemudian.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 30 April 2001
Kepala Badan PengendalianDampak Lingkungan,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris Utama Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

ttd.

Dr. Ir. Sunyoto, Dipl. HE
163
LAMPIRAN
KEPUTUSAN KEPALA PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 47 TAHUN 2001
PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG
BERDASARKAN METODA TRANSEK GARIS BENTUK PERTUMBUHAN
KARANG
I. PEMILIHAN TAPAK
1. Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih tapak yang memungkinkan pada lereng
terumbu (yaitu : terumbu karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang lebih dalam) dan
dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk
pemilihan tempat (Gambar 1).
GAMBAR 1: Metoda Manta Towing
2. Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurang- kurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2
(dua) tempat. Jika tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah arus, maka pemilihan
tapak harus dilakukan pada semua kondisi.
3. Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang bersamaan dengan pemilihan tempat.
Penandaan dapat dilakukan misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas terumbu karang
di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan
GPS (Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian tempat yang akan dipilih.
4. Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan pelampung.
II. PEDOMAN UMUM
1. Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) transek yang masing-masing berukuran panjang
50 meter, pada setiap 2 (dua) kedalaman, yaitu 3 meter dan 10 meter. Jarak antara dua transek yang
berdekatan minimal adalah 10 meter.
2. Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka
transek pertama dapat ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah tonjolan terumbu
karang. Transek kedua (yang lebih dalam) diletakkan pada kira-kira 9-10 meter di bawah tonjolan terumbu
karang. Jika pada kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang, transek dapat digeser ke kedalaman 2 atau
6-8 meter. Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang, maka transek
pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut dengan hitungan nol meter dimulai dari
rata-rata surut terendah.
GAMBAR 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang.
3. Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya sama untuk setiap pengamatan awal
dan saat pengamatan.
Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data (Tabel 1) di semua tempat selama pengamatan
berlangsung yaitu 3 (tiga) orang pada setiap kedalaman.
4. Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua) orang melakukan pencatatan
data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggung jawab pada penggunaan alat ukur (roll meter), baik
penguluran, perentangan dan penggulungan, pada awal dan akhir pengamatan.
5. Pengamat harus mengamati sampai selesai (lengkap, paripurna) setiap 50 meter transek yang telah dipasang.
6. Pada awal tugas pengamatan, maka pengamat yang bertanggung jawab terhadap alat ukur (roll meter),
mengaitkan meteran tersebut pada masing-masing ujung awal meteran pada karang atau tempat lain dan
mengulur meteran tersebut sejajar dengan garis pantai mengikuti alur tonjolan karang sepanjang 50 meter.
(catatan : Bila daerah pengamatan kurang dari 50 meter, maka transek dapat diperpendek dan perubahan
tersebut harus dicatat).
164
7. Untuk menghindari terjadinya pergeseran-pergeseran, alat ukur harus selalu berada dekat (0-15 cm) dengan
substratum (obyek pengamatan) dan tetap terkait selama berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengaitkan meteran pada karang, contohnya dengan mendorong meteran antara cabang-cabang karang,
tetapi jangan sampai meteran mengelilingi karang atau cabang karang atau karang hidup, karena akan
berdampak pada hasil pengamatan.
Catatan 1 :
Apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih dari 50 cm, maka data yang dicatat dalam hasil
pengamatan disebut kategori air;
Catatan 2 :
Bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan pengamatan transek beberapa kali dalam 1 (satu)
hari, maka pengamat harus mempertimbangkan faktor keselamatan dalam penyelaman;
Catatan 3 :
Sebaiknya dilakukan pengamatan transek pada tapak yang dalam (10 meter) terlebih dahulu, kemudian
dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter).
8. Setelah pengamatan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut ditandai dengan pelampung dan atau
menggunakan GPS.
III. PENCATATAN DATA
1. Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data pada tempat yang ditentukan, sebaiknya
parameter-parameter lingkungan harus dicatat terlebih dahulu pada data sheet (Tabel 1) dan ini harus dilakukan
bersamaan dengan pengamat yang sedang melaksanakan pemasangan tali transek di bawah permukaan laut.
2. Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas dengan cara perlahan-lahan menyusuri tali
transek sambil melakukan pencatatan data (Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter (cm) untuk
semua bentuk pertumbuhan biota yang berada di bawah tali transek.
GAMBAR 3 : Pencatatan Data
TABEL I : Lembar Pengumpulan Data
Propinsi : Kabupaten : Hari: Tgl: Jam:
Nama Terumbu/pulau: Lokasi : Kedalaman :
Letak Lintang: Letak Bujur :
Salinitas: Temperatur :
Nama Peneliti/pengamat/kolektor :
No. Station :
Jarak Antara
(Transisi) Kode Bentuk Nama Spesies Catatan
(cm) Pertumbuhan/Parameter
3. Untuk dapat menghasilkan angka pengamatan yang tepat, pengamat harus memperhatikan dan mencatat
langsung setiap titik dimana tali meteran menempel pada suatu individu atau suatu koloni. Apabila pada koloni
tersebut terdapat individu-individu yang tumpang tindih, maka setiap pertemuan (intersepsi) yang bersinggungan,
harus dicatat sebagai individu yang berbeda (Gambar 4).
165
GAMBAR 4 : Penampilan dari atas Koloni yang Tumpang Tindih
4. Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran data dapat dipilih pada Gambar 5a, 5b, 5c
dan Tabel 2
Gambar 5a
Kategori Bentuk Pertumbuhan
166
Gambar 5b
Kategori Bentuk Pertumbuhan
167
Gambar 5c
Kategori Bentuk Pertumbuhan
168
TABEL 2 : Bentuk Pertumbuhan dan Kode Karang
Bentuk Pertumbuhan Kode Catatan/Keterangan
Hard Coral (Karang keras)
Dead Coral (Karang Mati) DC Terlihat baru saja mati, berwarna putih
sampai putih kotor
Dead Coral with Algae (Karang mati DCA Karang ini masih berdiri tegak dan utuh, tetapi
tertutup ganggang) sudah tidak berwarna putih lagi karena
ditumbuhi atau tertutup oleh ganggang
* Acropora
- Branching (bercabang) ACB Paling sedikit mempunyai percabangan ke-
2, misalnya : Acropora grandis; Acropora
formosa dll
- Encrusting (pipih/merayap) ACE Biasanya lapisan dasarnya (piringannya) dari
bentuk-bentuk acropora yang belum dewasa,
misalnya Acropora palifera; Acropora
cuneata, Montipera.
- Submassive (bercabang pendek dan gemuk) ACS Bulat panjang dengan penampakan seperti
tombol atau padat terdapat tonjolan,
misalnya: Acropora palifera
- Digitate (menjari) ACD Dengan dua percabangan seperti jari tangan,
tipe ini termasuk Acropora humulis, Acropora
digitifera, Acropora gemmifera.
- Tabulate (meja) ACT Meja atau berupa lembaran datar horisontal,
tampak seperti meja, misalnya : Acropora
hyacinthus.
* Non-Acropora
- Branching (bercabang) CB Paling sedikit mempunyai percabangan ke-
2, misalnya : Seriatopora hystrix
- Encrusting CE Sebagian besar menempel pada substratum
seperti piringan yang beralis, misalnya :
Porites vaughani, Moantipora undata.
- Foliose (daun) CF Karang menempel pada suatu tempat/titik
atau lebih, nampak seperti helaian daun,
misalnya : Marulina ampliata, Montipora
aequituberculata.
- Massive (pejal/padat) CM Tampak seperti batu besar / tempurung /
gundukan tanah, misalnya Platygyra
daedal ea.
- Submassive ( tombol yang menempel ) CS Tampak seperti tiang-tiang kecil, kancing atau
irisan-irisan, misalnya Porites lichen,
Psammocora digitata.
- Mushroom (jamur) CMR Menyendiri atau soliter, karang yang hidup
bebas, tampak seperti payung/jamur (fungi).
- Millepora CME Karang api: berbulu lembut, berwarna:
kuning, krem atau hijau, berbentuk pipih
bercabang atau pipih semi pejal.
- Heliopora CHL Karang biru : berbentuk semi pejal atau pipih
semi pejal; jika dipatahkan ada warna biru
pada kerangka kapurnya; berwarna; abu-abu
kehijauan dengan polip pucat.
169
Other Fauna :
(Fauna lainnya)
Soft Coral (karang lunak) SC Karang berbadan lunak, terlihat seperti
pohon.
Spone (Spon) SP Karang lembut berbentuk tabung / tubuh
seperti spon.
Zoanthi ds ZO Mirip seperti anemon tetapi lebih kecil, biasa
hidup sendiri/berkoloni atau seperti hewan-
hewan kecil menempel pada substratum,
misalnya : Platyhea, Protoplayhoa.
Other (lain-lain) OT Fauna yang tidak seperti sebelumnya, seperti
: Ascidans, Anemos, Gorgonias.
Algae (ganggang)
- Algae assemblage (kumpulan ganggang) AA Terdiri lebih dari satu jenis spesies / algae
yang sulit dipisahkan.
- Coralline algae (ganggang berkapur) CA Semua jenis ganggang yang dinding
tubuhnya terbuat dari bahan kapur.
- Halimenda HA Ganggang dari marga (genus) halimeda.
Ganggang berukuran besar.
- Macroalgae (ganggang besar) MA Semacam rumput liar dan berdaging,
berwarna coklat, merah dan semacamnya.
- Turf - algae (ganggang lembut) TA Ganggang halus berspiral lebat, seringkali
ditemukan di dalam wilayah (teritori) ikan
damsel (damsel fish) atau ditemukan di
kerangka karang yang baru (beberapa bulan)
mati.
Abiotic ( Benda mati )
- Sand (pasir) S Pasi r
- Rubble (patahan/pecahan) R Bagian-bagian / kepingan-kepingan karang
yang tercerai berai (pecahan karang yang
sudah mati).
- Silt (Lumpur) SI Lumpur, pasir bercampur lumpur.
- Water (Air) WA Belahan-belahan /celah yang sempit (jarak
antara dua obyek) yang dalamnya lebih dari
50 cm.
- Rock (Bebatuan) RCK Pengerasan karang termasuk batu besar dari
kapur, granit dan batu-batuan vulkanik.
5. Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada kategori-kategori bentuk pertumbuhan, tergantung
pada pengetahuan si pengamat (Tabel 1).
IV. ANALISA DATA
Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan.
- Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan :
Panjang Total Setiap Kategori
Angka (persentase) = ----------------------------------------- X 100%
tutupan Panjang Total Transek
170
- Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat
dihitung dengan menggunakan :
Panjang Total Seluruh Kategori
Terumbu Karang Hidup
Angka (persentase) = ----------------------------------------- X 100%
tutupan Panjang Total Transek
Kepal a Badan Pengendal i an Dampak
Lingkungan,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
171
UDARA
172
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta mahluk
hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan
dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;
b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup,
maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran
udara;
c. bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara
ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara
serta pemulihan mutu udara;
3. Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang
menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah
yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan
unsur lingkungan hidup lainnya;
5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;
6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi;
7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang
seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien;
8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi
sebagaimana mestinya;
9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dalam suatu kegiatan yang masuk dan/atau
dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur
pencemar;
10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan udara ambien;
11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber
bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak spesifik;
12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari
kendaraan bermotor;
13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal
dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;
15. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari hutan dan
pembakaran sampah;
16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimal dan/atau beban emisi maksimum yang
diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang
boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan mesin udara atau padat untuk penyebarannya,
yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak atau sumber tidak bergerak
spesifik;
19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara
dan/atau zat padat;
173
20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan
langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan bermotor;
21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe
baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang
dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum
beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi
di jalan wilayah Republik Indonesia;
24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan
kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia,
nilai estetika dan mahluk hidup lainnya;
27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara;
28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dan usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber
bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya
pengendalian emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien status mutu udara ambien, baku mutu
emisi, ambang batas emisi gas buang baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar
Pencemaran Udara.
Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah
terjadinya pencemaran udara sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini;
(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima)
tahun.
Pasal 5
(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah
yang bersangkutan.
(2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
baku mutu udara ambien nasional.
(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sama
dengan atau lebih ketat dan baku mutu udara ambien nasional.
(4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima)
tahun.
(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien
daerah.
Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien
Pasal 6
(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien,
potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah.
174
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan kegiatan
Inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman teknis
penetapan status mutu udara ambien.
Pasal 7
(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan
status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur menetapkan dan
menyatakan status mutu udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.
(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.
Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 8
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang
batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis kualitas bahan
bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.
(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 9
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap batas mutu emisi sumber tidak bergerak dan
ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber
tidak bergerak dan sumber bergerak.
Bagian Kelima
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 10
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang
batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. baku tingkat kebisingan;
b. baku tingkat getaran;
c. baku tingkat kebauan dan;
d. baku tingkat gangguan lainnya.
(3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta
kelestarian bangunan.
(4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 11
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak
dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber
gangguan dan sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.
Bagian Keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 12
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan
tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika.
175
Pasal 13
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi
Indeks Standar Pencemar Udara
Pasal 14
(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara
otomatis dan berkesinambungan
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk :
a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu;
b. bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengendalian
pencemaran udara.
Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dan pengoperasian stasiun pemantauan kualitas udara ambien
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu
udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber
bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.
Pasal 17
(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional ditetapkan
oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II.
(2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur.
(3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program kerja daerah di
bidang pengendalian pencemaran udara.
(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup
Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dengan cara:
a. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang
batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan
Pemerintah ini;
b. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan
19.
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan ke udara
176
ambien wajib :
a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat yang ditetapkan untuk usaha dan/atau
kegiatan yang dilakukannya;
b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau
kegiatan yang dilakukannya;
c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran
udara dalam lingkup usaha dan/ atau kegiatannya.
Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/
atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditertibkan oleh pejabat berwenang
dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang
mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 24
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat
yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat
gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan
usaha dan/atau kegiatan.
Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara
Pasal 25
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran
udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknikal penanggulangan dan pemulihan
pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Paragraf 1
Keadaan Darurat
Pasal 26
(1) Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti
udara dalam kategori berbahaya, maka :
a. Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional;
b. Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.
(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak
dan/atau media etektronik
Pasal 27
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan
keadaan darurat pencemaran udara
Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak
Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu
emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi
kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
177
Pasal 29
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari
sumber tidak bergerak.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara
sumber tidak bergerak.
Pasal 30
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib
menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib
menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Paragraf 3
Sumber Bergerak
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan ambang batas
emisi buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama,
pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan
pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar
internasional.
Pasal 32
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari
sumber bergerak.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara
dari kegiatan sumber bergerak.
Pasal 33
Kendaraan bermotor tipe baru dan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang
batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
Pasal 34
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberi tanda lulus uji tipe emisi.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi kendaraan bermotor
tipe baru.
(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang tata
jalan/bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 35
(1) Hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4), wajib disampaikankepada
Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan hasil
uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil ujii tipe emisi
kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 36
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.
178
Paragraf 4
Sumber Gangguan
Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dan kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap penaatan
baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemeriksaan penaatan terhadap
ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 38
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dan
sumber gangguan.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara
dan kegiatan sumber gangguan.
Pasal 39
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan
wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan
wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi
ambang batas kebisingan.
Pasal 41
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 diberi tanda lulus uji tipe kebisingan
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru
(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 42
(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat 4 , wajib
disampaikan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor
tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Pasal 43
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berkala sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 setiap satu tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 44
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat
menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 45
(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab dan atau kegiatan
yang membuang emisi dan atau gangguan.
179
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur/Bupati/Watikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib
dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 47
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat
(2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau
membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau
mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung
jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi
dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib :
a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan
tersebut;
b. memberikan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;
c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien dan/
atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan
e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi
kerjanya.
Pasal 49
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat gangguan dan indeks
standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat.
Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan laporan hasil pemantauan
pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis
dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 51
(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu udara ambien.
(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang bertanggung
jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(3) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh
instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan
penetapan pengendalian pencemaran udara.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dari
sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 53
Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan pelaporannya dalam
rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor
kendaraan bermotor.
180
BAB VI
GANTI RUGI
Pasal 54
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran
udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VII
SANKSI
Pasal 56
(1) Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat 1, Pasal 23, Pasal 24 ayat 1, Pasal 25 ayat 1,
Pasal 30, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 47 ayat 2, Pasal 48, Pasal 50 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini yang diduga
dapat menimbulkan dan atau mengakibatkan pencemaran udara dan atau gangguan diancam dengan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-
undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(2) Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36
ayat 1, Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini
yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancam
dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Selambat-lambatnya dua tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatan
yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang pengendalian
pencemaran udara tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 59
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
PROF. DR. H. MULADI S.H.
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
ttd.
Lambock V. Nahattands
181
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 41 TAHUN 1999
TANGGAL : 26 MEI 1999
BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL
No Parameter Waktu Baku Mutu Metode Peralatan
Pengukuran Analisis
1 SO2 1 jam 900 ug/Nm
3
Pararosanilin Spektrofotometer
(Sulfur Dioksida) 24 jam 365 ug/Nm
3
1 Thn 60 ug/Nm
3
2 CO 1 jam 30.000 ug/Nm
3
NDIR NDIR Analyzer
(Karbon Monoksida) 24 jam 10.000 ug/Nm
3
1 Thn
3 NO
2
1 jam 400 ug/Nm
3
Saltzman Spektrofotometer
(Nitrogen Dioksida) 24 jam 150 ug/Nm
3
1 Thn 100 ug/Nm
3
4 O
3
1 jam 235 ug/Nm
3
Chemiluminescent Spektrofotometer
(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm
3
5 HC 3 jam 160 ug/Nm
3
Flame Ionization Gas
(Hidro Karbon) Chromatografi
6 PM
10
24 jam 150 ug/Nm
3
Gravimetric Hi - Vol
(Partikel < 10 um)
PM
2.5
(*) 24 jam 65 ug/Nm
3
Gravimetric Hi - Vol
(Partikel < 2,5 um) 1 Thn 15 ug/Nm
3
Gravimetric Hi - Vol
7 TSP 24 Jam 230 ug/Nm
3
Gravimetric Hi - Vol
(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm
3
8 Pb 24 Jam 2 ug/Nm
3
Gravimetric Hi - Vol
(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm
3
Ekstraktif
Pengabuan AAS
9 Dustfall 30 hari
(Debu jatuh) 10 Ton/km
2
/Bulan Gravimetric Cannister
(Permukiman)
20 Ton/km
2
/Bulan
(Industri)
10 Tabel Fluorides (as F) 24 Jam 3 ug/Nm
3
Specific Ion Impinger atau
90 hari 0,5 ug/Nm
3
Electrode Continous
Analyzer
11 Fluor Indeks 30 hari 40 ug/100cm
2
dari Colourimetric Limed Filter
kertas lilmed filter
Paper
12 Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm
3
Specific Ion Impinger atau
Khlorine Dioksida Electrode Continous
Analyzer
13 Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO
3
/100cm
3
Colourimetric Lead
Dari Lead Peroxida Candle
Peroksida
Catatan :
Nomor 10 s/d 13 hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar
Contoh : - Industri Petro Kimia
- Industri Pembuatan Asam Sulfat
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
182
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 129 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699 );
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun
2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN
ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer
berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari proses
penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh
dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer
berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi;
3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
4. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas kadar maksimum emisi kegiatan
minyak dan gas bumi yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
5. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun yang dilakukan untuk melaksanakan pembangungan
fisik usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi;
6. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan
dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan;
7. Produksi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah
Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk memisahkan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di
lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;
8. Kegiatan Kilang Minyak adalah kegiatan untuk memproduksi bahan bakar minyak beserta turunannya dari minyak
hasil kegiatan eksploitasi gas alami melalui serangkaian proses fisika dan atau kimia;
9. Kegiatan Kilang LNG adalah kegiatan untuk menghasilkan bahan bakar gas dari hasil kegiatan eksploitasi gas
alam melalui serangkaian proses fisika dan atau kimia;
10. Unit Penangkapan Sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang mengandung sulfur yang dikonversi
menjadi produk lain;
11. Keadaan darurat adalah keadaan yang memerlukan tindakan secara cepat, tepat dan terkoordinasi terhadap
system peralatan atau proses yang sedang dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan
minyak dan gas bumi tidak terlampaui;
12. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam Keputusan ini meliputi jenis kegiatan
eksplorasi dan produksi, kilang minyak, kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan proses
pencampuran bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending).
Pasal 3
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan:
a. Eksplorasi dan produksi sebagaimana tersebut dalam Lampiran I;
b. Kilang minyak sebagaimana tersebut dalam Lampiran II;
c. Kilang LNG sebagaimana tersebut dalam Lampiran III;
183
d. Unit penangkapan sulfur sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
e. Untuk kegiatan yang melakukan proses pencampuran bahan bakar lebih dari 1 (satu) jenis (fuel blending),
maka mengacu kepada perhitungan dalam Lampiran V.
Pasal 4
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi
yang lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 5
Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi yang termasuk kategori limbah bahan
berbahaya dan beracun yang diolah secara thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun yang berlaku.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang mencakup pencegahan, pengolahan dan
pemantauan yang antara lain alat pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana
pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta persyaratan lainnya sebagaimana
ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. wajib memasang Continous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong tertentu yang pelaksanaannya
dikonsultasikan dengan Menteri dan bagi cerobong yang tidak dipasang peralatan Continous Emission Monitoring
(CEM) wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan sekali;
c. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam butir (b) kepada Gubernur/
Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri setiap 6 (enam) bulan sekali untuk pemantauan yang
menggunakan peralatan otomatis;
d. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dalam butir (b) kepada Gubernur/Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Menteri setiap 6 (enam) bukan sekali untuk pemantauan dengan menggunakan
peralatan manual;
e. wajib melaporkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota serta Menteri apabila ada keadaan darurat yang
mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui;
f. dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit;
g. wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi sebagai sumber fugitive emission.
Pasal 7
Hasil pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 butir c, d dan e dapat dijadikan sebagai salah satu dasar
kebijakan teknis dan non teknis dalam upaya pengendalian pencemaran udara.
Pasal 8
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 6 wajib dicantumkan dalam izin melakukan
usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi seperti tercantum dalam Pasal 2 Keputusan ini.
Pasal 9
Keputusan ini akan dilakukan evaluasi sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
Pasal 10
Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberi jangka waktu selama 1 (satu) tahun sejak
ditetapkannya Keputusan ini untuk mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, II, III, dan
IV.
Pasal 11
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Nabiel Makarim, MPA.,MSM
Salinan ini sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup;
ttd.
Hoetomo, MPA
184
Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 129 Tahun 2003
Tanggal : 28 Juli 2003
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI
MINYAK DAN GAS
I. KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI
No. Sumber Bahan Parameter Baku Mutu Emisi
Bakar
satuan : mg/Nm
3
1. Flare Stack Opasitas 40%
2. Boiler dan Minyak Partikulat 300
Steam Sulfur Dioksida (SO
2
) 1200
Generator Nitrogen Oksida (NO
2
) 1400
Opasitas 40%
Gas Nitrogen Oksida (NO
2
) 1000
Opasitas 40%
3. Gas Turbin Gas Nitrogen Oksida (NO
2
) 400
Minyak Nitrogen Oksida (NO
2
) 600
4. Gathering Total Reduced Sulfur
Station Gas (H
2
S) 100(*)
Vents Hidrokarbon 5000(**)
Catatan:
1. (*) Ground Level Concentration tidak bolah lebih dari 5 ppm.
(**) Ground Level Concentration sesuai dengan Baku Mutu Udara Ambien di dalam PP 41/1999.
2. Volume gas dalam keadaan Standar (25
0
C dan 1 Atm).
3. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan.
4. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O
2
sebesar 3%.
5. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan.
185
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 129 Tahun 2003
Tanggal : 28 Juli 2003
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS
II. KEGIATAN KILANG MINYAK
No. Sumber Bahan Parameter Baku Mutu Emisi
Bakar
satuan : mg/Nm
3
1. Catalitic Partikulat 400
Cracking Unit Sulfur Dioksida (SO
2
) 1500
Nitrogen Oksida (NO
2
) 1000
Hidrokarbon 200
2. Proses Heater Minyak Partikulat 300
Boiler Sulfur Dioksida (SO
2
) 1200
Nitrogen Oksida (NO
2
) 1400
Opasitas 40%
Gas Nitrogen Oksida (NO
2
) 400
Opasitas 40%
3. Flare Stac Opasitas 40%
4. Semua sumber Opasitas 40%
(kecuali flare)
5. Gas Turbine Gas Nitrogen Oksida (NO
2
) 400
Minyak Nitrogen Oksida (NO
2
) 600
Catatan:
1. Volume gas dalam keadaan Standar (25
0
C dan 1 Atm).
2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan.
3. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O
2
sebesar 3%.
4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan.
186
Lampiran III : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 129 Tahun 2003
Tanggal : 28 Juli 2003
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS
III. KEGIATAN KILANG LNG
No. Sumber Bahan Parameter Baku Mutu Emisi
Bakar satuan : mg/Nm
3
1. Boiler Partikulat 300
Sulfur Dioksida (SO
2
) 1200
Nitrogen Oksida (NO
2
) 1400
Opasitas 40%
2. Flare Stack Opasitas 40%
3. Gas Turbine Gas Nitrogen Oksida (NO
2
) 400
Minyak Nitrogen Oksida (NO
2
) 600
Catatan:
1. Volume gas dalam keadaan Standar (25
0
C dan 1 Atm).
2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan.
3. Pembakaran dengan bahan bakar gas dan minyak koreksi O
2
sebesar 3%.
4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan.
LAMPIRAN IV : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 129 Tahun 2003
Tanggal : 28 Juli 2003
BAKU MUTU EMISI KEGIATAN UNIT PENANGKAPAN SULFUR
IV. KEGIATAN UNIT PENANGKAPAN SULFUR
Sumber ton/hari Parameter Baku Mutu Emisi
Sulfur Recovery satuan : %
( minimum )
Sulfur Plant Sulfur feed rate :
< 2 70
< 10 85
< 50 95
> 50 97
satuan : mg/Nm
3
atau dengan persyaratan akhir SO
2
2600
Catatan:
1. Volume gas dalam keadaan Standar (25
0
C dan 1 Atm).
2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan.
3. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan.
187
LAMPIRAN V : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 129 Tahun 2003
Tanggal : 28 Juli 2003
V. BAKU MUTU EMISI KEGIATAN FUEL BLENDING
( PENCAMPURAN BAHAN BAKAR / MIX FUEL )
BME
(x,m)
= [(BME
(x,f1)
*Q
(f1)
+ (BME
(x,f2)
*Q
(f2)
] / Q
t
Catatan:
BME
(x,m)
= Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan pencampuran bahan bakar
BME
(x,f1)
= Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1
Q
(f1)
= Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke sistem
BME
(x,f2)
= Bahan baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f2
Q
(f2)
= Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke sistem
Q
t
= Kebutuhan Energi Total
Contoh perhitungan:
Kegiatan Pengilangan minyak untuk unit Broiler, menggunakan bahan bakar campuran antara gas
(fuel 1=f1) dan oil (fuel 2=f2) dengan komposisi sbb :
* Kebutuhan Energi Total Q
t
: 5*10
6
KKal
* Suplai energi aktual dari bahan bakar gas Q
(f1)
: 2*10
6
KKal
* Suplai energi aktual dari bahan bakar oil Q
(f2)
: 3*10
6
KKal
* Baku mutu emisi untuk boiler di kegiatan
kilang minyak parameter partikulat bahan
bakar gas (lihat tabel Baku Mutu Emisi di
Kegiatan Minyak) BME
(f1)
: 0 mg/Nm
3
* Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan
kilang minyak parameter partikulat bahan
bakar oil/minyak (lihat tabel Baku Mutu
Emisi di Kegiatan Minyak) BME
(f2)
: 300 mg/Nm
3
BME
(partikulat,m)
= [0*2*10
6
] + [300*3*10
6
] / 5*10
6
= 180 mg/Nm
3
Cara Perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Juli 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo,MPA.
188
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 141 TAHUN 2003
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN
KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI
(CURRENT PRODUCTION)
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari emisi gas buang
kendaraan bermotor, maka perlu dilakukan upaya untuk menurunkan emisi gas buang kendaraan
bermotor baik yang berasal dari kendaraan bermotor tipe baru maupun kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production);
b. bahwa salah satu upaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan sebagai pelaksanaan ketentuan
Pasal 8 ayat (1), Pasal 34 ayat (3) dan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara maka dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang Sedang Diproduksi (Current Production);
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran
Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);
8. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS
BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT
PRODUCTION).
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1 Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi (current production)
adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production);
2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi tipe
baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi
akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang
diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
3. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) adalah kendaraan bermotor dengan tipe dan
jenis yang sama dan sedang diproduksi atau produksi ulang kendaraan bermotor yang telah beroperasi di jalan
dan atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh ( completely built-up) atau dalam keadaan tidak
utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi sudah beroperasi di jalan wilayah Republik
Indonesia;
4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4 (empat) atau
lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan
SNI 09-1825-2002;
5. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3 (tiga)
dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4
langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
6. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak
motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
189
7. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori L adalah kendaraan bermotor yang
sedang produksi (current production) beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor bakar cetus api dan
penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
8. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor adalah orang perseorangan dan
atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi ( current production) dan atau melakukan impor kendaraan bermotor dalam
keadaan utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertugas di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang, tata cara dan metoda uji serta
tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production).
Pasal 3
(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C dan I.D.
(2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.
Pasal 4
Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :
a. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O dan L diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2005;
b. kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) :
1. kategori M, N, O dan L 2 (dua) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2007;
2. kategori L 4 (empat) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Juli tahun 2006;
Pasal 5
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh ( completely built-up) dengan akumulasi
mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.
(3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang diimpor dalam keadaan utuh
(completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh)
unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.
(4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current
production) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) merupakan bagian dari persyaratan
teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
(5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current
production) untuk pengujian wajib menggunakan bahan bakar dengan spesifikasi reference fuel menurut
Economic Commission for Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini.
Pasal 6
(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current
production) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor
tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) wajib memperhatikan
perkembangan teknologi, kemampuan laboratorium pengujian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Instansi yang melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan akreditasi dari
Komite Akreditasi Nasional atau Badan Akreditasi yang diakui secara Internasional.
Pasal 7
(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan.
(2) Salinan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil uji tipe emisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya hasil uji tipe
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current
production).
190
Pasal 8
(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) instansi
yang bertanggung jawab mengeluarkan rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor
tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan atau penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang
dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab merupakan salah satu syarat untuk diterbitkannya tanda lulus
uji tipe emisi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 9
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang telah memperoleh
sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada setiap promosi merek
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kepada
masyarakat melalui media cetak dan atau elektronik.
Pasal 10
(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan
dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang melaksanakan pengujian
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current
production) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Pasal 11
(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru
dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current production) dan pelaporannya dibebankan kepada
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(2) Segala biaya yang timbul dalam kegiatan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) dan Pasal 7 serta pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara masing-masing instansi yang bersangkutan.
Pasal 12
Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP
35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku lagi
untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi ( current production) sejak
ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi ( current
production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.
Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 September 2003
-
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
191
Lampiran I A : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Nomor : Kep-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)
Tanggal : 23 September 2003
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)
KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI L
No. KATEGORI PARAMETER NILAI AMBANG BATAS METODA UJI
gram/km
1. a. L1 CO 1,0 ECE R 47
HC + NOx 1,2
b. L2 CO 3,6 ECE R 47
HC + NOx 1,2
c. L3 < 150 cm
2
CO 5,5 ECE R 40
HC 1,2
NOx 0,3
d. L3 > 150 cm
3
CO 5,5 ECE R 40
HC 3,0
NOx 0,3
e. L4 dan L5 motor bakar cetus api CO 7,0 ECE R 40
HC 1,5
NOx 0,4
f. L4 dan L5 motor bakar penyalaan kompresi CO 2,0 ECE R 40
HC 1,0
NOx 0,65
CATATAN:
L1 = Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm
3
dan dengan
desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya
L2 = Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda sembarang dengan kapasitas silinder mesin
tidak lebih dari 50 cm
3
dan dengan desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun
jenis tenaga penggeraknya
L3 = Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder lebih dari 50 cm
3
atau dengan desain kecepatan
maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya.
L4 = Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda asimetris dengan kapasitas silinder mesin lebih
dari 50 cm
3
atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga
penggeraknya (sepeda motor dengan kereta)
L5 = Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan simetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50
cm
3
atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya
192
Lampiran I B : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)
Tanggal : 23 September 2003
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API BERBAHAN
BAKAR BENSIN
KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M & N
NILAI AMBANG BATAS
ECE R 83 - 04
No. KATEGORI
(1)
PARAMETER METODE UJI
ECE R 83 - 04
1. M1, GVW
(2)
< 2,5 ton, tempat duduk < 5, CO 2,2
tidak termasuk tempat duduk pengemudi gram/km
HC + NOx 0,5
gram/km
2. M1, tempat duduk 6-8 tidak termasuk tempat duduk
pengemudi GVW > 2,5 ton atau N1, GVW < 3,5 ton
a. Kelas I, RM
(3)
< 1250 kg CO 2,2
gram/km
HC + NOx 0,5
gram/km
b. Kelas II, 1250 kg < RM < 1700 kg CO 4,0
gram/km
HC + NOx 0,6
gram/km
c. Kelas III, RM > 1700 kg CO 5,0
gram/km
HC + NOx 0,7
gram/km
CATATAN:
*
(1)
Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang
batas mengacu kepada pengkategorian GVW
*
(2)
GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB)
*
(3)
RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg
* M1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk tempat duduk pengemudi
* N1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan
(GVW) sampai dengan 3,5 ton
* Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1;
O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari
0,75 ton
O2 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75
ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton
193
Lampiran I C : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)
Tanggal : 23 September 2003
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BRMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR PENYALAAN KOMPRESI
(DIESEL)
A. KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M & N
NILAI AMBANG BATAS
ECE R 83 - 04
No. KATEGORI
(1)
PARAMETER METODE UJI
ECE R 83 - 04
1. M1, GVW
(2)
< 2,5 ton, tempat duduk < 5, CO 1,0
tidak termasuk tempat duduk pengemudi gram/km
HC + NOx 0,7 (0,9)
(4)
gram/km
PM 0,08 (0,1)
(4)
gram/km
2. M1, tempat duduk 6-8 tidak termasuk tempat duduk
pengemudi GVW > 2,5 ton atau N1, GVW < 3,5 ton
a. Kelas I, RM
(3)
< 1250 kg CO 1,0
gram/km
HC + NOx 0,7 (0,9)
(4)
gram/km
PM 0,08 (0,1)
(4)
gram/km
b. Kelas II, 1250 kg < RM < 1700 kg CO 1,25
gram/km
HC + NOx 1,0 (1,3)
(4)
gram/km
PM 0,12 (0,14)
(4)
gram/km
c. Kelas III, RM > 1700 kg CO 1,5
gram/km
HC + NOx 1,2 (1,6)
(4)
gram/km
PM 0,17 (0,2)
(4)
gram/km
Catatan:
*
(1)
Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang
batas mengacu kepada pengkategorian GVW
*
(2)
GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB)
*
(3)
RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg
*
(4)
Nilai Ambang Batas dalam kurung untuk Diesel Injeksi Langsung, dan setelah 3 (tiga) tahun Nilai Ambang
Batasnya
DISAMAKAN DENGAN Nilai Ambang Batas Diesel Injeksi tidak langsung
* Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1;
O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari
0,75 ton
O2 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75
ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton
194
B. KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M, N & O
No. KATEGORI PARAMETER NILAI AMBANG BATAS
METODE
ECE R 49 - 02
M2, M3, N2, N3, O3 dan O4, GVW
(1)
> 3,5 ton CO 4,0
gram/km
HC 1,1
gram/km
NOx 7,0
gram/km
PM 0,15
gram/km
CATATAN:
*
(1)
GVW : Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang diperbolehkan (JBB)
* M2 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk tempat duduk pengemudi dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW)
sampai dengan 5 ton
* M3 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 5 ton
* N2 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang
diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 5 ton
* N3 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang
diperbolehkan (GVW) lebih dari 12 ton
* O : kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
* O3 : kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5
ton tetapi tidak lebih dari 10 ton
* O4 : kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 10
ton
195
Lampiran I D : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Nomor : KEP-141/MENLH/9/2003
Tentang : AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION)
Tanggal : 23 September 2003
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG
SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) DENGAN PENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API BERBAHAN
BAKAR GAS (LPG/CNG)
KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M & N
NILAI AMBANG BATAS
ECE R 83 - 04
No. KATEGORI
(1)
PARAMETER METODE UJI
ECE R 83 - 04
1. M1, GVW
(2)
< 2,5 ton, tempat duduk < 5, CO 2,2
tidak termasuk tempat duduk pengemudi gram/km
HC + NOx 0,5
gram/km
2. M1, tempat duduk 6-8 tidak termasuk tempat duduk
pengemudi GVW > 2,5 ton atau N1, GVW < 3,5 ton
a. Kelas I, RM
(3)
< 1250 kg CO 2,2
gram/km
HC + NOx 0,5
gram/km
b. Kelas II, 1250 kg < RM < 1700 kg CO 4,0
gram/km
HC + NOx 0,6
gram/km
c. Kelas III, RM > 1700 kg CO 5,0
gram/km
HC + NOx 0,7
gram/km
Catatan:
*
(1)
Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang
batas mengacu kepada pengkategorian GVW
*
(2)
GVW Gross Vehicle Weight adalah Jumlah Berat yang di perbolehkan (JBB)
*
(3)
RM Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg
* M1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari 8 tempat duduk
tidak termasuk tempat duduk pengemudi
* N1 : kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan
(GVW) sampai dengan 3,5 ton
* Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1;
O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari
0,75 ton
O2 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75
ton tetapi tidak lebih berat dari 3,5 ton
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 September 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
196
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TENTANG
BAKU TINGKAT KEBISINGAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia,
makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat kebisingan yang dihasilkan;
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebisingan;
Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
9. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN
Pasal 1
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu
yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
2. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan Desibel disingkat dB;
3. Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan
dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;
4. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
Baku Tingkat Kebisingan, metoda pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat kebisingan adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan ini.
197
Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan diluar peruntukan kawasan/lingkungan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi
teknis yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran I.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat kebisingan
lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku
tingkat kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:
1. mentaati baku tingkat kebisingan yang telah dipersyaratkan;
2. memasang alat pencegahan terjadinya kebisingan;
3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebisingan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali
kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan
dan Instansi Teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta Instansi lain yang dipandang perlu.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan
tingkat kebisingan dari setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:
1. baku tingkat kebisingan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu
selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
2. baku tingkat kebisingan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian
ttd.
Hambar Martono
198
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996
BAKU TINGKAT KEBISINGAN
Peruntukan Kawasan/ Tingkat Kebisingan
Lingkungan Kegiatan dB (A)
a. Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan Pemukiman 55
2. Perdagangan dan Jasa 70
3. Perkantoran dan Perdagangan 65
4. Ruang Terbuka Hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan Fasilitas umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus:
- Bandar udara
*)
- Stasiun Kereta Api
*)
- Pelabuhan Laut 70
- Cagar Budaya 60
b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah atau sejenisnya 55
3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55
Keterangan :
*)
disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan
199
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996
METODA PENGUKURAN, PERHITUNGAN DAN EVALUASI TINGKAT KEBISINGAN LINGKUNGAN
1. Metoda Pengukuran
Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara :
1) Cara Sederhana
Dengan sebuah sound level meter bisa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk
tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.
2) Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan
waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit.
Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat aktifitas
yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00 - 22.00 dan aktifitas malam hari selama 8
jam (LM) pada selang 22.00 - 06.00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 waktu
pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh :
- L1 diambil pada jam 7.00 mewakili jam 06.00 - 09.00
- L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 - 11.00
- L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 - 17.00
- L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00.- 22.00
- L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 - 24.00
- L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 - 03.00
- L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 - 06.00
Keterangan :
- Leq = Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung Setara ialah nilai tertentu
kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat
kebisingan dari kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama.
Satuannya adalah dB (A).
- LTMS = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik
- LS = Leq selama siang hari
- LM = Leq selama malam hari
- LSM = Leq selama siang dan malam hari.
2. Metode perhitungan:
(dari contoh)
LS dihitung sebagai berikut :
LS = 10 log 1/16 ( T1.10 01L1 +.... +T4.1001L4) dB (A)
LM dihitung sebagai berikut :
LM = 10 log 1/8 ( T5.10 01L5 +.... +T7.1001L7) dB (A)
Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu dicari nilai LSM
dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dari rumus :
LSM = 10 log 1/24 ( 16.10 01L5 +.... +8.1001(LM+5)) dB (A)
3. Metode Evaluasi
Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan dengan toleransi +3
dB(A)
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian
ttd.
Hambar Martono
200
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TENTANG
BAKU TINGKAT GETARAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
b. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia,
makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran yang dihasilkan;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Getaran;
Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT GETARAN
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan;
2. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia;
3. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam dan kegiatan manusia;
4. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat;
5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal tingkat getaran mekanik yang
diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap
kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
1. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan kesehatan, getaran berdasarkan dampak
kerusakan, getaran berdasarkan jenis bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV
Keputusan ini.
2. Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran V Keputusan
ini.
201
Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan di luar peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.
Pasal 4
1. Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini.
2. Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat getaran lebih
ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
1. Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:
a. mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan;
b. memasang alat pencegahan terjadinya getaran;
c. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada
Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi
teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang dipandang perlu.
2. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan
tingkat getaran bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 7
Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:
a. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
b. baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
202
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
1. BAKU TINGKAT GETARAN UNTUK KENYAMANAN DAN KESEHATAN
Nilai Tingkat Getaran, dalam mikron ( 10
-6
meter )

Frekuensi

Tidak
Mengganggu
Mengganggu Tidak Nyaman Menyakitkan
4 < 100 100 - 500 > 500 - 1000 > 1000
5 < 80 80 - 350 > 350 - 1000 > 1000
6,3 < 70 70 - 275 > 275 - 1000 > 1000
8 < 50 50 - 160 > 160 - 500 > 500
10 < 37 37 - 120 > 120 - 300 > 300
12,5 < 32 32 - 90 > 90 - 220 > 220
16 < 25 25 - 60 > 60 -120 >120
20 < 20 20 - 40 > 40 - 85 > 85
25 < 17 17 - 30 > 30 - 50 > 50
31,5 < 12 12 - 20 > 20 - 30 > 30
40 < 9 9 - 15 > 15 - 20 > 20
50 < 8 8 -12 > 12 -15 > 15
63 < 6 6 - 9 > 9 - 12 > 12
Konversi :
Percepatan = ( 2f )
2
x simpangan
Kecepatan = 2f x simpangan
= 3,14
2. Grafik baku tingkat Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan
masih diizinkan
mengganggu
tidak
nyaman
menyakitkan
2 4 6 8 2 4 6 8 2 4 6 8
100
50
30
20
10
5
2
1
10 10
2
10
3
Frekuensi, Hz
Simpangan mikro (10
-4
meter)
203
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
1. BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASARKAN DAMPAK KERUSAKAN
GETARAN FREKUENSI BATAS GERAKAN PEAK ( mm/detik )
Parameter Satuan (Hz) Kategori A Kategori B Kategori C Kategori D
-Kecepatan mm/detik 4 < 2 2 - 27 > 27 - 140 > 140
Getaran 5 < 7,5 < 7,5 - 25 > 24 - 130 > 130
-Frekuensi Hz 6,3 < 7 < 7 - 21 > 21 - 110 > 110
8 < 6 < 6 - 19 > 19 - 100 > 100
10 < 5,2 < 5,2 - 16 > 16 - 90 > 90
12,5 < 4,8 < 4,8 - 15 > 15 - 80 > 80
16 < 4 < 4 - 14 > 14 - 70 > 70
20 < 3,8 < 3,8 - 12 > 12 - 67 > 67
25 < 3,2 < 3,2 - 10 > 10 - 60 > 60
31,5 < 3 < 3 - 9 > 9 - 53 > 53
40 < 2 < 2 - 8 > 8 -50 > 50
50 < 1 < 1 - 7 > 7 - 42 > 42
Keterangan :
Kategori A : Tidak menimbulkan kerusakan
Kategori B : Kemungkinan keretakan sistem (retak/terlepas plesteran pada dinding pemikul beban pada kasus
khusus)
Kategori C : Kemungkinan rusak komponen struktur dinding pemikul beban
Kategori D : Rusak dinding pemikul beban
2. Grafik Baku Tingkat Getaran Mekanik Berdasarkan Dampak Kerusakan
200
150
100
80
70
60
50
40
30
20
15
10
8.0
6.0
4.0
3.0
2.0
4 5 6 8 10 15 20 25 30 40 50
Frekuensi, Hz
Kecepatan Puncak (Peak Velocity), mm/detik
d
c
b
a
*boW
204
LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASARKAN JENIS BANGUNAN
Kecepatan Getaran (mm/detik)
Kelas Tipe Bangunan
Pada Fondasi Pada Bidang Datar di Lantai
Frekuensi Atas
< 10 Hz 10 - 15 Hz 50 - 100 Campuran Frekuensi
1 Bangunan untuk < 10 Hz 20 - 40 40 - 50 40
keperluan niaga,
bangunan industri
dan bangunan
sejenis
2 Perumahan dan 5 5 - 15 15 - 20 15
bangunan dengan
rancangan dan
kegunaan sejenis
3 Struktur yang 3 3 - 8 8 - 10 8,5
karena sifatnya
peka terhadap
getaran, tidak
seperti tersebut
pada no 1 dan 2,
nilai budaya tinggi
seperti bangunan
yang dilestarikan
Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom harus dipakai
LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT
Kelas Jenis Bangunan Kecepatan Getaran
Maksimum (mm/detik)
1 Peruntukan dan bangunan kuno yang 2
mempunyai nilai sejarah yang tinggi
2 Bangunan dengan kerusakan yang 5
sudah ada, tampak keretakan-keretakan
pada tembok
3 Bangunan untuk dalam kondisi teknis 10
yang baik, ada kerusakan-kerusakan
kecil seperti: plesteran yang retak
4 Bangunan kuat (misalnya : bangunan 10 -40
industri terbuat dari beton atau baja )
205
LAMPIRAN V
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-49/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOVEMBER 1996
METODA PENGUKURAN DAN ANALISIS TINGKAT GETARAN
a. Peralatan
Pedoman yang dipakai ialah:
1) Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer)
2) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer)
3) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band)
4) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder)
5) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer)
b. Cara pengukuran
1. Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan;
a). Alat penangkap getaran diletakkan pada lantai atau permukaan yang bergetar, dan disambungkan
ke alat ukur getaran yang dilengkapi dengan filter.
b). Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat tidak dilengkapi dengan fasilitas itu,
dapat digunakan konversi besaran.
c). Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekuensi 4 - 63 Hz atau dengan sapuan oleh
alat pencatat getaran.
d). Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik Lampiran 1.2
2. Getaran untuk Keutuhan Bangunan
Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan dan kesehatan manusia,
hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan getaran puncak (Peak Velocity)
c. Cara Evaluasi
Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran I.2 dan/atau II.2 dibandingkan terhadap batas-batas
baku tingkat getaran. Getaran disebut melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu
frekuensi sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan.
Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas yaitu a, b, c, dan d dengan batas seperti grafik II.2
Definisi:
1. Struktur bangunan adalah bagian dari bangunan yang direncanakan, diperhitungkan dan dimaksudkan untuk:
a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban sementara)
b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan
andal.
Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul (Bearing wall)
2. Komponen struktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang menjamin fungsi struktur.
Misal : balok, kolom dan slab dari frame
3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi mendukung beban diatasnya
seperti slab lantai tingkat atau atap.
4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau difungsikan untuk mendukung beban.
Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu.
Pengaruh kerusakan struktur dan non-struktur:
1. Kerusakan pada struktur, dapat membahayakan stabilitas bangunan, atau roboh (misalnya patok kolom bisa
merobohkan bangunan).
2. Kerusakan pada non-struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi bisa membahayakan penghuni
(misal : robohnya dinding partisi, tidak merobohkan bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni).
Derajat kerusakan struktur :
1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan dapat diperbaiki tanpa
mengurangi kekuatannya.
2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk mengembalikan kepada kondisi
semula, harus disertai dengan tambahan perkuatan.
3. Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat merobohkan bangunan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmaadja
206
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP- 50/MENLH/XI/1996
TENTANG
BAKU TINGKAT KEBAUAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan manusia,
makhluk lain dan lingkungan adalah akibat bau yang dibuang ke lingkungan;
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebauan;
Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah
dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
7. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBAUAN
Pasal 1
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera penciuman;
2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada keadaan
tertentu;
5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun campuran berbagai macam senyawa;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
Baku Tingkat Kebauan untuk odoran tunggal dan campuran, metoda pengukuran/pengujian dan peralatan adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku ketentuan sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
207
Pasal 4
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan baku tingkat kebauan lebih
ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
kebauan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 5
(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:
a. mentaati baku tingkat kebauan yang telah dipersyaratkan;
b. mengendalikan sumber penyebab bau yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;
c. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebauan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada
Gubernur, Menteri, instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi
teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang dipandang perlu.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan
pencemaran dan atau perusakan lingkungan bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:
a. baku tingkat kebauan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib disesuaikan dalam waktu
selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
b. baku tingkat kebauan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 7
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 50/MENLH/XI/1996
Tanggal : 25 November 1996
A. Bau dari Odoran Tunggal
No. Parameter Satuan Nilai Batas Metoda Peralatan
Pengukuran
1. Amoniak (NH
3
) ppm 2.0 Metoda Indofenol Spektrofotometer
2. Metil Merkaptan (CH
3
SH) ppm 0.002 Absorpsi gas Gas Khromatograf
3. Hidrogen Sulfida (H
2
S) ppm 0.02 a. merkuri tiosianat Spektrofotometer
b. Absorpsi gas Gas Khromatograf
4. Metil Sulfida (CH
3
)
2
)S ppm 0.01 Absorpsi gas Gas Khromatograf
5. Stirena (C
6
H
5
CHCH
2
) ppm 0.1 Absorpsi gas Gas Khromatograf
Catatan : ppm = satu bagian dalam satu juta
B. Bau dari Odoran Campuran
Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh campuran odoran dinyatakan sebagai ambang bau yang dapat dideteksi
secara sensorik oleh lebih dari 50 % anggota penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan) orang.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd
Sarwono Kusumaatmadja
208
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-13/MENLH/III/1995
TENTANG
BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : 1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dari jenis-jenis kegiatan sumber tidak
bergerak perlu dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara dengan menetapkan baku mutu
emisi sumber tidak bergerak;
2. bahwa mengingat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep-
02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Emisi Udara Sumber Tak Bergerak
saat ini perlu dilakukan penyempurnaannya;
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor
3215);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara R.I. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R. I. Nomor 3538);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER
TIDAK BERGERAK
Pasal 1
(1) Dalam keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi yang diperbolehkan dimasukkan ke
dalam lingkungan;
2. Emisi adalah makluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang dihasilkan dari kegiatan yang masuk
atau dimasukkan ke dalam udara ambient;
3. Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke udara ambien;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk dilaksanakan pembangunan
fisiknya;
5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu kota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan :
1. Industri besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan Lampiran I B;
2. Industri pulp dan kertas sebagaimana tersebut dalam Lampiran II A dan Lampiran II B;
3. Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara sebagaimana tersebut dalam Lampiran III A dan Lampiran III
B;
4. Industri semen sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B;
(2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
2. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah
dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Emisi Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Emisi
Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
209
(3) Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi
setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B;
(4) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka waktu selama satu tahun sejak
ditetapkannya keputusan ini untuk mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A;
(5) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali
dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1);
(2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka jenis kegiatan di luar
jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V Keputusan ini.
Pasal 4
Badan melakukan pembinaan, pengembangan pengendalian pencemaran udara, menetapkan pedoman teknis
pemantauan kualitas udara, metoda pengambilan contoh dan analisisnya serta menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan.
Pasal 5
(1) Apabila diperlukan, Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter sebagaimana dimaksud
dalam lampiran keputusan ini dengan persetujuan Menteri;
(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi untuk jenis-jenis kegiatan di daerahnya lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1);
(3) Dalam menetapkan baku mutu emisi daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), Gubernur
mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan;
Pasal 6
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari
baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut ditetapkan baku emisi
sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana berikut :
(a) membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat pengaman;
(b) memasang alat ukur pemantauan yang meliputi kadar dan laju alir volume untuk setiap cerobong emisi yang
tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan angin;
(c) melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong emisi;
(d) menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) kepada Gubernur dengan
tembusan Kepala Badan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan;
(e) melaporkan Kepada Gubernur serta Kepala Badan apabila ada kejadian tidak normal dan atau dalam
keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui.
(2) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian pencemaran udara sebagaimana
dimaksud ayat (1) pasal ini.
Pasal 8
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dicantumkan dalam izin Ordonansi Gangguan.
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara Emisi Sumber Tak Bergerak sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Maret 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
210
Lampiran I-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)
SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Penanganan Bahan Baku Total Partikel 600
(Raw Material Handling)
2. Tanur Oksigen Basa Total Partikel 600
(Basic Oxygen Fumace)
3. Tanur Busur Listrik Total Partikel 600
(Electric Arc Fumace)
4. Dapur Pemanas Total Partikel 600
(Reheating Fumace)
5. Dapur Proses Pelunakan Baja Total Partikel 600
(Annealing Fumace)
6. Proses Celup Lapis Metal Total Partikel 600
(Acid Pickling & Regenaration) (Hydrochloric Acid Furnes HCL) 10
7. Tenaga Ketel Uap Total Partikel 400
(Power Boiler) Sulfur Dioksida (SO2) 1200
Nitrogen Dioksida (NO2) 1400
8. Semua Sumber Opasitas 40%
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
.
- Volume gas dalam keadaan standar (25
O
C dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
211
Lampiran II-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)
SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Tungku Recovery Total Partikel 400
(Recovery Fumace)) Total Sulfur Tereduksi 20
( Total Reduced Sulphur - TRS )
2. Tanur Putar Pembakaran Total Partikel 400
Kapur (Lime Kiln) Total Sulfur Tereduksi 40
( Total Reduced Sulphur - TRS )
3. Tangki Pelarutan Lelehan Total Partikel 400
(Smelt Dissolving Tank) Total Sulfur Tereduksi 40
( Total Reduced Sulphur - TRS )
4. Digester Total Sukfur Tereduksi 14
( Total Reduced Sulphur - TRS )
5. Unit Pemutihan Klorin (Cl
2
) 15
(Bleach Plant) Klorin Dioksida (ClO
2
) 130
6. Tenaga Ketel Uap Total Partikel 400
(Power Boiler) Sulfur Dioksida (SO2) 1200
Nitrogen Oksida (NO
2
) 1400
7. Semua Sumber Opasitas 40%
Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H
2
TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida,
Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25
o
C dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
212
Lampiran III-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP BERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)
PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Total Partikel 300
2. Sulfur Dioksida (SO
2
) 1500
3. Nitrogen Oksida (NO
2
) 1700
4. Opasitas 40%
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O
2
.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25
o
C dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)
SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Tanur Putar Total Partikel 150
(Kilns) Sulfur Dioksida (SO2) 1500
Nitrogen Dioksida (NO2) 1800
Opasitas 35%
2. Pendingin Terak Total Partikel 150
(Clinkers Coolers)
3. Milling Total Partikel 150
Grinding
Alat Pengangkut (Conveying)
Pengepakan (Bagging)
4. Tenaga Ketel Uap Total Partikel 400
(Power Boiler) Sulfur Dioksida (SO2) 1200
Nitrogen Dioksida (NO2) 1400
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25
o
C dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m
3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/m
3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
213
Lampiran V-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)
PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
Bukan Logam
1. Ammonia (NH
3
) 1
2. Gas Klorin (CI
2
) 15
3. Hidrogen Klorida (HCI) 10
4. Hidrogen Fluorida (HF) 20
5. Nitrogen Oksida (NO
2
) 1700
6. Opasitas 40%
7. Partikel 400
8. Sulfur Dioksida (SO
2
) 1500
9. Total Sulfur Tereduksi (H
2
S) 70
(Total Reduced Sulphur)
Logam
10. Air Raksa (Hg) 10
11. Arsen (As) 25
12. Antimon (Sb) 25
13. Kadmium (Cd) 15
14. Seng (Zn) 100
15. Timah Hitam (Pb) 25
Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25
O
C dan tekanan 1 atm).
214
Lampiran I-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)
SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Penanganan Bahan Baku Total Partikelir 150
(Raw Material Handling)
2. Tanur Oksigen Basa Total Partikelir 150
(Basic Oxygen Fumace)
3. Tanur Busur Listrik Total Partikelir 150
(Electric Arc Fumace)
4. Dapur Pemanas Total Partikelir 150
(Reheating Fumace)
5. Dapur Proses Pelunakan Baja Total Partikelir 150
(Annealing Fumace)
6. Proses Celup Lapis Metal Total Partikel 150
(Acid Pickling & Regenaration) Hydrochloric Acid Fumes (HCL) 2
7. Tenaga Ketel Uap Total Partikel 230
(Power Boiler) Sulfur Dioksida (SO2) 800
Nitogen Oksida (NO2) 1000
8. Semua Sumber Opasitas 20%
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
.
- Volume gas dalam keadaan standar (25
O
C dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
215
Lampiran II-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)
SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Tungku Recovery Total Partikel 230
(Recovery Fumace) Total Sulfur Tereduksi 10
(Total Reduced Sulphur - TRS)
2. Tanur Putar Pembakaran Total Partikel 350
Kapur (Lime Kiln) Total Sulfur Tereduksi 28
(Total Reduced Sulphur - TRS)
3. Tangki Pelarutan Lelehan Total Partikel 260
(Smelt Dissolving Tank) Total Sulfur Tereduksi 28
(Total Reduced Sulphur - TRS)
4. Digester Total Sulfur Tereduksi 10
(Total Reduced Sulphur - TRS)
5. Unit Pemutihan Klorin (CI2) 10
(Bleach Plant) Klorin dioksida (CIO
2
) 125
6. Tenaga Ketel Uap Total Partikel 230
(Power Boiler) Sulfur Dioksida (SO
2
) 800
Nitrogen Oksida (NO
2
) 1000
7. Semua Sumber Opasitas 35 %
Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H
2
. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida,
Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25
O
C dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu normal selama tiga bulan.
216
Lampiran III-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP BERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)
PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Total Partikel 150
2. Sulfur Dioksida (SO
2
) 750
3. Nitrogen Oksida (NO
2
) 850
4. Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O
2
.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25
O
C dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)
SUMBER PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
1. Tanur Putar Total Partikel 80
(Kilns) Sulfur Dioksida (SO2) 800
Nitrogen Oksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
2. Pendingin Terak Total Partikel 80
(Clinkers Coolers)
3. Milling Total Partikel 80
Grinding
Alat Pengangkut (Conveying)
Pengepakan (Bagging)
4. Tenaga Ketel Uap Total Partikel 230
(Power Boiler) Sulfur Dioksida (SO2) 800
Nitrogen Oksida (NO2) 1000
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO
2
.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25
O
C dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m
3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/m
3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan
korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
217
Lampiran V-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-13/MENLH/III/1995
Tanggal : 7 Maret 1995
BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)
PARAMETER BATAS MAKSIMUM
(mg/m
3
)
Bukan Logam
1. Ammonia (NH
3
) 0,5
2. Gas Klorin (CI
2
) 10
3. Hidrogen Klorida (HCI) 5
4. Hidrogen Fluorida (HF) 10
5. Nitrogen Oksida (NO
2
) 1000
6. Opasitas 30 %
7. Partikel 350
8. Sulfur Dioksida (SO
2
) 800
9. Total Sulfur Tereduksi (H
2
S) 35
Total Reduced Sulphur)
Logam
10. Air Raksa (Hg) 5
11. Arsen (As) 8
12. Antimon (Sb) 8
13. Kadmium (Cd) 8
14. Seng (Zn) 50
15. Timah Hitam (Pb) 12
Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25
O
C dan tekanan 1 atm).
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
218
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 107/BAPEDAL/XI/1997
TENTANG
PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-45/MENLH/
10/1997 tentang Indeks Pencemar Udara, perlu disusun Pedoman Teknis Perhitungan dan
Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Keputusan Presiden RI Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep- 02 / MENKLH/
1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan;
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-35 / MENLH/10/1993 tentang Ambang
Batas Emisi Gas Buang Kedaraan Bermotor;
6. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-15 / MENLH/4/1996 tentang Program
Langit Biru;
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-45 / MENLH/10/1997 tentang Indeks
Standar Pencemar Udara;
8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep - 135 Tahun 1995
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep - 205/KABAPEDAL/07/
1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR
UDARA
Pasal 1
PedomanTeknis Perhitungan dan Pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara ini diperlukan sebagai
pedoman teknis dalam pelaksanaan Perhitungan, Pelaporan dan sistem informasi Indeks Standar Pencemar Udara
bagi :
a. instansi terkait;
b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II terkait;
Pasal 2
Parameter-parameter dasar untuk Indeks Standar Pencemar Udara dan periode waktu pengukuran adalah
sebagaimana dimaksud dalam lampiran I.
Pasal 3
Angka dan Kategori Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran II.
Pasal 4
Pengaruh Indeks Standar Pencemar Udara terhadap tiap parameter kualitas udara adalah sebagaimana dimaksud
dalam lampiran III.
Pasal 5
Batas Indeks Standar Pencemar Udara dalam satuan SI adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran IV.
219
Pasal 6
Perhitungan Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran V.
Pasal 7
Contoh Pengambilan Indeks Standar Pencemar Udara dari beberapa Stasiun Pemantau adalah sebagaimana
dimaksud dalam lampiran VI.
Pasal 8
1. Penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat wajib memuat informasi sebagai berikut :
a. waktu pelaporan;
b. ketentuan waktu;
c. bagian wilayah atau lokasi yang dilaporkan;
d. Indeks Standar Pencemar Udara dari setiap parameter yang diukur;
e. Indeks Standar Pencemar Udara maksimum;
f. parameter pencemar kritis;
g. Kategori Indeks Standar Pencemar Udara;
h. gambaran kategori dan rentang Indeks Standar Pencemar Udara dengan ketentuan waktu sebagai berikut :
1) kategori baik rentang 0 sampai 50 dengan warna hijau;
2) kategori sedang rentang 51 sampai 100 dengan warna biru;
3) kategori tidak sehat rentang 101 sampai 199 dengan warna kuning;
4) kategori sangat tidak sehat rentang 200 sampai 299 dengan warna merah;
5) kategori berbahaya rentang 300 sampai 500 dengan warna hitam;
2. Format penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara seperti diuraikan dalam ayat (1) adalah sebagaimana
dilmaksud dalam Lampiran VII
Pasal 9
Penyampaian Indeks Standar Pencemar Udara kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dilakukan
melalui :
a. media massa dan elektronika (radio, televisi, surat kabar, majalah dan lainnya);
b. papan peragaan pada tempat tempat umum tertentu;
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 21 Nopember 1997
Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
220
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
PARAMETER-PARAMETER DASAR UNTUK INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA (ISPU) DAN PERIODE WAKTU
PENGUKURAN
NO. PARAMETER WAKTU PENGUKURAN
1. Partikulat (PM
10
) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata)
2. Sulfur Dioksida (SO
2
) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata)
3. Carbon Monoksida (CO) 8 jam (Periode pengukuran rata-rata)
4. Ozon (O
3
) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata)
5. Nitrogen Dioksida (NO
2
) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata)
Catatan :
1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata tertinggi waktu pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data rata-rata sebelumnya (24 jam sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB).
4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan ( pkl 15.00 tgl (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1 ) )
Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
ANGKA DAN KATEGORI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA (ISPU)
INDEKS KATEGORI
1 - 50 Baik
51 - 100 Sedang
101 - 199 Tidak Sehat
200 - 299 Sangat Tidak Sehat
300 - lebih Berbahaya
221
Lampiran III
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
PENGARUH INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA UNTUK SETIAP PARAMETER PENCEMAR
Kategori Rentang Carbon Nitrogen Ozon Sulfur Partikulat
Baik 0 - 50 Tidak ada efek Sedikit Berbau Luka pada Luka pada Tidak ada
beberapa beberapa
spesies spesies
tumbuhan tumbuhan
akibat akibat
kombinasi kombinasi
dengan SO
2
dengan O
3
(selama 4 jam) (selama 4 jam)
Sedang 51 - 100 Perubahan Berbau Luka pada Luka pada Terjadi
kimia beberapa beberapa penurunan
darah tapi spesies spesies pada jarak
tidak tumbuhan tumbuhan pandang
terdeteksi
Tidak 101 - 199 Peningkatan Bau dan Penurunan Bau, Jarak pandang
Sehat pada kehinagan kemampuan meningkatnya turun dan
kardiovaskular warna. pada atlit yang kerusakan terjadi
pada perokok Peningkatan berlatih keras tanaman pengotoran
yang sakit kreativitas debu
jantung pembuluh dimana-mana
tenggorokan
pada
penderita asma
Sangat 200 - 299 Meningkatnya Meningkatnya Olah raga Meningkatnya Meningkatnya
Tidak gejala sensitivitas ringan sensitivitas sensitivitas
Sehat kardiovaskular pasien yang mengakibatkan pada pasien pada pasien
pada orang berpenyakit pengaruh berpenyakit berpenyakit
bukan perokok asma dan pernafasan asma dan asma dan
yang bronchitis pada pasien bronchitis bronchitis
berpenyakit yang
jantung, dan berpenyakit
akan tampak paru-paru
beberapa kronis
kelemahan
yang terlihat
secara nyata
Berbahaya 300 - lebih Tingkat yang berbahaya bagi semua populasi yang terpapar
Lampiran IV
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
BATAS INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA DALAM SATUAN SI
a) Dalam Bentuk Tabel
Indeks Standar 24 jam PM
10
24 jan SO
2
8 jam CO 1 jam O
3
1 jam NO
2
Pencemar g/m
3
g/m
3
g/m
3
g/m
3
g/m
3
50 50 80 5 120 (2)
100 150 365 10 235 (2)
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 3000
500 600 2620 57.5 1200 3750
1. Pada 25
O
C dan 760 mm Hg
2. Tidak ada indeks yang dapat dilaporkan pada konsentrasi rendah dengan jangka pemaparan yang pendek
222
b) Dalam Bentuk Grafik
T
i
n
g
k
a
t

b
e
r
b
a
h
a
y
a
T
i
n
g
k
a
t

b
e
r
b
a
h
a
y
a
223
T
i
n
g
k
a
t
b
e
r
b
a
h
a
y
a
T
i
n
g
k
a
t

b
e
r
b
a
h
a
y
a
224
T
i
n
g
k
a
t

b
e
r
b
a
h
a
y
a
225
Lampiran V
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
PERHITUNGAN INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA
A) SECARA PERHITUNGAN
Konsentrasi nyata ambien (Xx) [ ppm, mg/m
3
, dll.
Angka nyata ISPU (1)
Xx [ I
Ia - Ib
I = (Xx - Xb) + Ib
Xa - Xb ........................(*)
I = ISPU terhitung
Ia = ISPU batas atas
Ib = ISPU batas bawah
Xa = Ambien batas atas
Xb = Ambien batas bawah
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran
CONTOH PERUBAHAN ANGKA SECARA PERHITUNGAN
Diketahui konsentrasi udara ambien untuk jenis parameter SO
2
adalah 332 g/m
3
.
Konsentrasi tersebut jika dirubah ke dalam angka Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagai berikut :
Dari Tabel Batas Indeks Standart Pencemar Udara (Dalam Satuan SI)
Indeks 24 jan PM
10
24 jam SO
2
8 jam CO 1 jam O
3
1 jam NO
2
Pencemar g/m
3
g/m
3
g/m
3
g/m
3
g/m
3
Udara
50 50 80 5 120
100 150 365 10 235
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 3000
500 600 2620 57.5 1200 3750
Maka :
Xx= Kadar ambien nyata hasil pengukuran [ 322 g/m
3
Ia = ISPU batas atas [ 100 (baris 3)
Ib = ISPU batas bawah [ 50 (baris 2)
Xa = Ambien batas atas [ 365 (baris 3)
Xb = Ambien batas bawah [ 80 (baris 2)
Sehingga angka-angka tersebut dimasukkan dalam rumus (*) menjadi :
100 50
I = (322 80) + 50
365 80
= 92.45
= 92 (pembulatan)
Jadi konsentrasi udara ambien SO
2
322 mg/m
3
dirubah menjadi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) : 92
226
B) SECARA GRAFIK
Contoh :
Jika diketahui konsentrasi untuk paremeter PM
10
adalah 250 g/m
3
konsentrasi ini jika dirubah dalam Indeks
Standar Pencemar Udara dengan menggunakan grafik adalah sebagai berikut :
Dari kurva batas angka indeks standar pencemar udara dalam satuan matriks, sumbu X di angka 250 ditarik ke
atas sampai menyentuh garis dan ditarik ke kiri sampai menyentuh sumbu Y didapat angka 150. Sehingga konsentrasi
PM
10
250 g/m
3
dirubah menjadi angka Indeks Standar Pencemar Udara menjadi 150 (untuk lebih jelas dapat
dilihat gambar di bawah ini).
Lampiran VI
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/XI/1997
Tanggal : 21 November 1997
CONTOH PENGAMBILAN INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA DARI BEBERAPA STASIUN PEMANTAU
Misal : Kota Denpasar
Jumlah Stasiun Monitoring : 3 buah
Angka-angka Indeks Standar Pencemar Udara dari setiap stasiun :
Stasiun I (Pertama)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM
10
= 96, SO
2
= 80,
O
3
= 40, NO
2
= 55, CO = 90
Stasiun II (Kedua)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM
10
= 88, SO
2
= 44,
O
3
= 40, NO
2
= 42, CO = 83
Stasiun III (Ketiga)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM
10
= 91, SO
2
= 71,
O
3
= 35, NO
2
= 55, CO = 92
Indeks Standar Pencemar Udara yang dilaporkan ke media massa (koran harian setempat /televisi stasiun setempat)
adalah Indeks Standar Pencemar Udara yang paling tinggi. Untuk kasus di atas Indeks Standar Pencemar Udara
tertinggi adalah dari Stasiun I (pertama) yaitu polutan PM
10
dengan Indeks Standar Pencemar Udara 96. Sehingga
inti laporan kemasyarakatan adalah :
Indeks Standar Pencemar Udara Denpasar adalah :
* Indeks Standar Pencemar Udara : 96
* Kualitas Udara : sedang
* Parameter dominan : PM
10
Berlaku 24 jam dari hari ini pukul 15.00 tanggal (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1).
227
Lampiran VII
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 107/BAPEDAL/II/1997
Tanggal : 21 November 1997
Contoh Format Laporan Harian ke Masyarakat
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
228
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : KEP-205/BAPEDAL/07/1996
TENTANG
PEDOMAN TEKNIS PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA SUMBER TIDAK BERGERAK
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-13/
MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak, perlu dirumuskan pedoman
teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara
Sumber Tidak Bergerak;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu
Emisi Sumber Tidak Bergerak;
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-15/MENLH/4/1996 tentang Program
Langit Biru;
6. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-16/MENLH/4/1996 tentang Penetapan
Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Langit Biru;
7. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-135 Tahun 1995 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-136 Tahun 1995 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah (Bapedal Wilayah).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
TEKNIS PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA SUMBER TIDAK BERGERAK
Pasal 1
(1) Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak ini diperlukan sebagai pedoman
teknis dalam upaya pengendalian pencemaran udara bagi:
a. Instansi terkait;
b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Daerah Istimewa, Gubernur Daerah Khusus Ibukota dan Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II;
d. Penanggung jawab kegiatan dari sumber tidak bergerak.
(2) Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) untuk:
1. Pelaksanaan pemantauan kualitas udara sebagaimana tersebut dalam Lampiran I yang meliputi:
a. Mekanisme kunjungan Pendahuluan;
b. Periode pemantauan;
c. Penetapan lokasi pemantauan emisi dan ambien;
d. Pemasangan alat pemantauan kualitas udara;
e. Pelaporan;
2. Pengambilan contoh uji dan analisis sebagaimana tersebut dalam Lampiran II yang meliputi:
a. Metode penentuan tempat pengambilan contoh uji titik-titik lintas dalam emisi sumber tidak bergerak;
b. Metode penentuan kecepatan aliran dan tingkat aliran volumetrik gas dalam emisi sumber tidak bergerak;
c. Metode penentuan komposisi dan berat molekul gas dalam emisi sumber tidak bergerak;
d. Metode penentuan kandungan uap air gas buang dalam cerobong dari emisi sumber tidak bergerak;
e. Metode pengujian kadar partikulat dalam emisi sumber tidak bergerak secara Isokinetik;
f. Metode pengujian opasitas dalam emisi sumber tidak bergerak secara visual;
229
g. Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO
2
) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat
Spektrofotometer secara Turbidimetri;
h. Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO
2
) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titrimetri;
i. Metode pengujian kadar Nitrogen Oksida (NOX) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat
Spektrofotometer secara Kolorimetri;
j. Metode pengujian kadar Total Sulfur Tereduksi (TRS) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Oksida
Termal;
k. Metode pengujian kadar Klorin dan Klor Dioksida (Cl
2
dan ClO
2
) dalam emisi sumber tidak bergerak
secara Titrimetri;
l. Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak bergerak dengan alat
Spektrofotometer secara Merkuri Tiosianat;
m. Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titrimetri;
3. Persyaratan cerobong sebagaimana tersebut dalam Lampiran III yang meliputi:
a. Pengaturan cerobong.
b. Lubang sampling.
c. Sarana pendukung.
4. Unit pengendalian pencemaran udara sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV yang antara lain:
a. Electrostatic Precipitator.
b. Siklon.
c. Pengumpul proses basah (Wet Process Collector).
d. Cartridge Collector.
e. Baghouses.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 10 Juli 1996
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai aslinya
Sekretaris BAPEDAL,
ttd
Drs. Dadang Danumihardja
NIP. 060030827
230
TANAH
231
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 150 TAHUN 2000
TENTANG
PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan faktor
produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus
dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya;
b. bahwa meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumber
daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi
biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam
kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta untuk
melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian
Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 98; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
167; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI
BIOMASSA
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Tanah adalah salah satu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral
dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang
kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya;
2. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer,
tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan serta hasil kegiatan manusia
masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur;
3. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku
kerusakan tanah;
4. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar,
termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman;
232
5. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa;
6. Pengendalian kerusakan tanah adalah upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta
pemulihan kondisi tanah;
7. Kondisi tanah adalah sifat dasar tanah di tempat dan waktu tertentu yang menentukan mutu tanah;
8. Sifat dasar tanah adalah sifat dasar fisika, kimia dan biologi tanah;
9. Status kerusakan tanah adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria
baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
10. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah
yang dapat ditenggang, berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa;
11. Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah upaya untuk mempertahankan kondisi
tanah melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya proses kerusakan tanah;
12. Penanggulangan kerusakan tanah adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan
tanah;
13. Pemulihan kondisi tanah adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah ke tingkatan yang tidak rusak;
14. Orang adalah orang perseorangan dan/atau kelompok orang dan/badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
16. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
dampak lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup daerah;
17. Instansi teknis adalah instansi yang membidangi kegiatan di bidang produksi biomassa;
18. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
19. Menteri lain adalah Menteri yang membidangi kegiatan di bidang produksi biomassa;
20. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
21. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi :
a. Penetapan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa tidak termasuk biomassa dari kegiatan
budi daya perikanan; dan
b. Tata laksana pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah.
Pasal 3
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengendalikan kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
BAB III
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa meliputi :
a. Kriteria baku kerusakan tanah nasional; dan
b. Kriteria baku kerusakan tanah daerah.
Bagian Kedua
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Nasional
Pasal 5
(1) Kriteria baku kerusakan tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman meliputi :
a. Kriteria baku kerusakan tanah akibat erosi air:
b. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering:
c. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Daerah
Pasal 6
(1) Kriteria baku kerusakan tanah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
(2) Penetapan kriteria Baku Kerusakan Tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan kriteria Baku
Kerusakan Tanah Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
233
(3) Kriteria baku kerusakan tanah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan
sama atau lebih ketat dari kriteria baku kerusakan tanah nasional.
(4) Gubernur/Bupati/Walikota dapat menambah parameter kriteria baku kerusakan tanah di daerah sesuai dengan
kondisi tanah di daerahnya.
(5) Dalam menetapkan tambahan parameter, Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan koordinasi dengan Menteri
(6) Apabila kriteria baku kerusakan tanah di daerah belum ditetapkan, maka berlaku kriteria baku kerusakan tanah
nasional.
Bagian Keempat
Tata Cara Pengukuran Kerusakan Tanah
Pasal 7
Tatacara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah nasional dan daerah ditetapkan oleh kepala instansi yang
bertanggung jawab.
BAB IV
PENETAPAN KONDISI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH
Pasal 8
(1) Kondisi tanah untuk penetapan status kerusakan tanah ditetapkan berdasarkan hasil :
a. analisis, inventarisasi, dan/atau identifikasi terhadap sifat dasar tanah; dan
b. intervasi kondisi iklim, topografi, potensi sumber kerusakan dan penggunaan tanah.
(2) Penetapan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap areal tanah yang berpotensi
mengalami kerusakan tanah.
(3) Bupati/Walikota menetapkan kondisi tanah di daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(4) Kondisi tanah untuk daerah kabupaten dipetakan dengan tingkat ketelitian minimal 1 : 100.000 dan untuk daerah
kota 1 : 50.000.
Pasal 9
(1) Analisis sifat dasar tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan oleh laboratorium
tanah yang memenuhi syarat di daerah .
(2) Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penunjukan laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur oleh kepala Instansi yang bertanggung jawab
Pasal 10
Bupati/Walikota melakukan evaluasi untuk menetapkan status kerusakan tanah sesuai dengan parameter yang
dilampaui nilai ambang kritisnya berdasarkan hasil inventarisasi, identifikasi, analisis dan pemetaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).
BAB V
TATA LAKSANA PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Pencegahan Kerusakan Tanah
Pasal 11
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah produksi biomassa
wajib melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah.
Bagian Kedua
Penanggulangan Kerusakan Tanah
Pasal 12
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi
biomassa wajib melakukan penanggulangan kerusakan tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Pemulihan Kondisi Tanah
Pasal 13
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi
biomassa wajib melakukan pemulihan kondisi tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan.
234
Bagian Keempat
Pengawasan
Pasal 14
(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah di daerahnya.
(2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau yang diperkirakan
dapat berdampak lintas Kabupaten dan Kota.
(3) Menteri dan/atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi.
Pasal 15
Pengawasan pengendalian kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan terhadap:
a. pelaksanaan persyaratan dan kewajiban yang tercantum di dalam izin untuk usaha dan/atau kegiatan:
b. pemenuhan kriteria baku kerusakan tanah bagi usaha dan/atau kegiatan yang tidak memerlukan izin .
Pasal 16
Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal
15 dilakukan :
a. secara periodik untuk mencegah kerusakan tanah;
b. secara intensif untuk menanggulangi kerusakan tanah dan memulihkan kondisi tanah.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 17
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kerusakan tanah, wajib melaporkan kepada pejabat
daerah setempat.
(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tempat kejadian;
d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan tanah;
e. dampak kerusakan tanah yang terjadi.
(3) Pejabat daerah setempat terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya
kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya laporan, wajib melakukan verifikasi
tentang kebenaran terjadinya kerusakan tanah.
Bagian Keenam
Hasil Pengawasan dan Laporan
Pasal 18
(1) Apabila hasil pengawasan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17,
membuktikan telah terjadi kerusakan tanah maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan
penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah.
(2) Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk
melaksanakan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah atas beban biaya penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 19
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang wajib atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan
penanggulangan dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) atau ayat (2) wajib menyampaikan
laporan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang
bersangkutan.
BAB VI
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 20
(1) Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Pimpinan instansi teknis/Menteri
berkewajiban meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung jawab serta
kemampuannya untuk mencegah timbulnya usaha dan/atau kegiatan yang merusak kondisi tanah.
(2) Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat
tradisional yang mendukung perlindungan tanah.
235
BAB VII
KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERANAN MASYARAKAT
Pasal 21
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat tentang;
a. Kondisi tanah;
b. Status kerusakan tanah;
c. Rencana, pelaksanaan, dan hasil pengendalian kerusakan tanah; dan
d. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah.
(2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak, media elektronik,
atau papan pangumuman.
Pasal 22
Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi tentang;
a. Kondisi tanah;
b. Status kerusakan tanah;
c. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah;
d. Rencana, pelaksanaan dan hasil pengendalian kerusakan tanah.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 23
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
15, Pasal 17 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah
dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 15, dan Pasal 20
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber dana lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dan/atau Pasal 6 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tangggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
DJOHAN EFFENDI
236
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 150 TAHUN 2000
TANGGAL : 23 DESEMBER 2000
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA
A. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH DI LAHAN KERING AKIBAT EROSI AIR
AMBANG KRITIS
TEBAL TANAH <1> <2>
METODE PERALATAN
Ton/ha/tahun mm/10 tahun
PENGUKURAN
< 20 cm > 0,1 - < 1 > 0,2 - < 1,3 1. gravimetrik 1. Timbangan, tabung ukur,
20 - < 50 cm 1 - < 3 1,3 - < 4 2. Pengukuran penera debit ( discharge)
50 - < 100 cm 3 - < 7 4,0 - < 9,0 langsung sungai dan peta daerah
100 - 150 cm 7 - 9 9,0 - 12 tangkapan air
> 150 cm > 9 (catchment area)
2. Patok erosi
B. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH DI LAHAN KERING
NO PARAMETER AMBANG KRITIS METODE PERALATAN
PENGUKURAN
1 Ketebalan solum < 20 cm pengukuran langsung meteran
2 Kebatuan permukaan > 40 % pengukuran langsung meteran;
imbangan batu dan tanah counter (line atau total)
dalam unit luasan
3 Komposisi fraksi < 18 % koloid; warna pasir, tabung ukur;
> 80 % pasir kuarsitik gravimetrik timbangan
4 Berat isi > 1,4 g/cm
3
gravimetrik pada lilin, tabung ukur;
satuan volume ring sampler,
timbangan analitik
5 Porositas total < 30 % ; > 70% perhitungan berat isi (BI) piknometer;
dan berat jenis (BJ) timbangan analitik
6 Derajat pelulusan air < 0,7 cm/jam; permeabilitas ring sampler; double
> 8,0 cm/jam ring permeameter
7 pH (H
2
O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 potensiometrik pH meter; pH stick
skala 0,5 satuan
8 Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter
9 Redoks < 200 mV tegangan listrik pH meter;
elektroda platina
10 Jumlah mikroba < 10
2
cfu/g tanah plating technique cawan petri;
colony counter
237
C. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH DI LAHAN BASAH
NO PARAMETER AMBANG KRITIS METODE PERALATAN
PENGUKURAN
1 Subsidensi gambut di > 35 cm/5 tahun untuk pengukuran langsung patok subsidensi
atas pasir kuarsa ketebalan gambut > 3 cm
atau 10% /5 tahun untuk
ketebalan gambut < 3 cm
2 Kedalaman lapisan < 25 cm reaksi oksidasi dan cepuk plastik; H
2
O
2
berpirit dari permukaan dengan pH < 2,5 pengukuran langsung pH stick skala 0,5
tanah satuan; meteran
3 Kedalaman air tanah > 25 cm pengukuran langsung meteran
dangkal
4 Redoks untuk tanah > - 100 mV tegangan listrik pH meter;
berpirit elektroda platina
5 Redoks untuk gambut > 200 mV tegangan listrik pH meter;
elektroda platina
6 pH (H
2
O) 1 : 2,5 < 4,0 ; > 7,0 potensiometrik pH meter; pH stick
skala 0,5 satuan
7 Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter
8 Jumlah mikroba < 10
2
cfu/g tanah plating technique cawan petri;
colony counter
Catatan :
- Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan kedalaman air tanah dan
nilai redoks tidak berlaku.
- Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak berlaku jika lahan belum
terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan alam.
Presiden Republik Indonesia,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
238
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 150 TAHUN 2000
TENTANG
PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH
UNTUK PRODUKSI BIOMASSA
UMUM
Tanah sebagai salah satu komponen lahan, bagian dari ruang daratan dan lingkungan hidup dalam wilayah kedaulatan
Republik Indonesia, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah memiliki banyak
fungsi dalam kehidupan. Di samping sebagai ruang hidup, tanah memiliki fungsi produksi, yaitu antara lain sebagai
penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat, kayu, dan bahan obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan
dalam menjaga kelestarian sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.
Karena itu, bangsa Indonesia berkewajiban untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi tanah, dengan tujuan
melestarikan dan meningkatkan kemampuan produksi dan pelestariannya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan
tanah harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang. Agar tanah dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan
pengendalian perusakan tanah menjadi sangat penting.
Indonesia adalah negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor pertanian. Oleh
karena itu adanya kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa (pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman)
sangat diperlukan. Hutan tanaman merupakan hasil budi daya, bukan hutan alami. Oleh karena itu istilah yang
dipakai dalam Peraturan Pemerintah ini adalah hutan tanaman. Penekanan pada produksi biomassa juga didasarkan
pada pertimbangan bahwa kegiatan produksi biomassa sangat mutlak mempersyaratkan mutu tanah sebagai
media pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
Pemanfaatan tanah tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang dilakukan oleh orang pada hamparan lahan yang
ditempatinya dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pemanfaatan tersebut berkaitan dengan pemanfaatan ruang
kawasan dan pengelolaan lingkungan hidup yang pokok-pokok pengaturannya ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat terjadi karena tindakan orang, baik di areal produksi biomassa
maupun karena adanya kegiatan lain di luar areal produksi biomassa yang dapat berdampak terhadap terjadinya
kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bagi pengendalian kerusakan tanah di luar areal produksi biomassa
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Selain dari pada itu, kerusakan tanah dapat pula terjadi akibat
proses alam. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur kerusakan akibat tindakan manusia. Meskipun
demikian, kerusakan yang terjadi karena proses alam tidak berarti tidak ditanggulangi. Namun, tanggung jawab
penanggulangannya merupakan kewajiban Pemerintah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pengendalian kerusakan tanah dilakukan dalam rangka konservasi sehingga sumber daya tanah dapat
didayagunakan sesuai dengan atau tidak melebihi daya dukungnya.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah nasional tersebut didasarkan pada sifat-sifat dasar tanah
yang menentukan mutu dan fungsi tanah sebagai faktor produksi biomassa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
239
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah di daerah yang lebih ketat diterapkan apabila kondisi tanah
di daerah tersebut lebih rentan terhadap kerusakan dibandingkan kondisi rata-rata nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Kegiatan inventarisasi, identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
tanah dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi terkait yang telah ada (data sekunder)
dan/atau melakukan pengamatan dan pengukuran sejumlah parameter langsung di lapangan, jika
data sekunder belum mencukupi atau diperlukan data yang lebih mutakhir dari lapangan karena
diduga telah terjadi perubahan yang mendasar. Pengamatan dilakukan untuk semua parameter sifat
dasar tanah, potensi sumber kerusakan, kondisi iklim dan topografi, serta penggunaan tanah.
Sifat dasar tanah mencakup sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat fisik tanah antara lain
meliputi kedalaman tanah, tekstur, pori, kandungan air. Sifat kimia tanah antara lain meliputi pH,
kandungan garam. Sifat biologi tanah terutama berkaitan dengan jumlah jasad renik (mikroba) yang
terkandung di dalam tanah.
Kondisi iklim dan geografi yang perlu diteliti meliputi antara lain curah hujan, intensitas penyinaran
matahari, ketinggian (elevasi), dan morfologi.
Potensi sumber kerusakan tanah berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan penggunaan tanah
untuk pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, termasuk kegiatan lainnya yang berada di luar areal
produksi biomassa antara lain kegiatan pertambangan, permukiman dan industri.
Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan hasil bentukan
alami (misalnya hutan, alang-alang dan semak), maupun hasil bentukan buatan sebagai cerminan
budaya (misalnya permukiman, kebun, dan taman).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Peta kondisi tanah daerah kabupaten/kota dapat digunakan untuk menyusun peta propinsi dengan
cara menggabungkan peta kondisi tanah daerah kabupaten/kota. Peta kondisi tanah daerah Propinsi
digambarkan dengan skala minimal 1 : 250.000 agar bisa diintegrasikan dengan peta tematik lain
untuk merumuskan arahan kebijakan pembangunan daerah.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan evaluasi adalah membandingkan antara kondisi tanah dengan kriteria baku
kerusakan tanah untuk produksi biomassa sehingga dapat diketahui rusak tidaknya tanah. Tanah dikatakan
rusak apabila salah satu parameter kriteria baku kerusakan tanah terlampaui.
Pasal 11
Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat dilakukan dengan cara antara lain:
240
a. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan kegiatannya dengan peruntukan lahan sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota;
b. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
tanah untuk produksi biomassa wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL),
untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
c. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan tidak menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap tanah untuk produksi biomassa wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan (UKL)
dan upaya pemantauan lingkungan (UPL), untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.
d. Yang dimaksud dengan usaha dan/atau kegiatan meliputi usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan
izin dan yang tidak memerlukan izin.
e. Usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan izin antara lain kegiatan yang wajib memiliki AMDAL dan
melakukan UKL dan UPL.
f. Contoh izin yang dimaksud antara lain izin usaha pertanian untuk usaha di bidang pertanian, izin
usaha perkebunan untuk usaha di bidang perkebunan, izin usaha kehutanan untuk usaha di bidang
hutan tanaman.
g. Usaha dan/atau kegiatan yang tidak memerlukan izin antara lain kegiatan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten).
Pasal 12
Ayat (1)
Penanggulangan kerusakan tanah dapat dilakukan dengan cara antara lain:
a. memperbaiki pengolahan dalam proses produksi; dan/atau
b. mengurangi produksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Pemulihan kondisi tanah dilakukan dengan cara antara lain:
a. penanaman dengan tumbuhan yang cocok dengan kondisi tanah dan lingkungan sekitarnya;
b. melakukan tindakan ameliorasi dengan menggunakan bahan-bahan seperti pupuk, bahan organik
dan kapur; dan/atau
c. melakukan tindakan konservasi tanah seperti pembuatan teras atau bangunan sipil teknis lain,
penanaman tanaman penutup.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan instansi teknis yang bersangkutan adalah :
a. instansi yang bertanggung jawab di bidang pertanian dan perkebunan untuk kegiatan di bidang
pertanian dan perkebunan; atau
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan untuk kegiatan hutan tanaman.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik misalnya pengawasan yang dilakukan setiap 3 (tiga)
bulan sekali. Sedangkan pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering dari pada
pengawasan periodik.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat antara lain Kepala Desa, Lurah, Camat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
241
Pasal 18
Ayat (1)
Tindakan penghentian pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk menghentikan kerusakan dan
memulihkan kerusakan tanah yang terjadi, sehingga kerugian dapat dicegah sekecil mungkin.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang yang dinilai memiliki kemampuan untuk melakukan
penanggulangan dan pemulihan kerusakan tanah.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain melalui :
a. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang
konservasi tanah;
b. bimbingan teknis;
c. pendidikan dan pelatihan;
d. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi tanah untuk
mendorong partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha dalam pengendalian kerusakan tanah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mendukung perlindungan tanah antara
lain membiarkan lahan pertanian tidak ditanami dalam kurun waktu tertentu, pergiliran tanaman,
tumpang sari dan pembuatan terrasering
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Hak atas informasi tentang kondisi tanah, status kerusakan tanah untuk produksi biomassa, rencana dan
pelaksanaan serta hasil pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, dan kegiatan-kegiatan
yang berpotensi merusak tanah merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengendalian
kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi
tersebut akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran dalam pengendalian kerusakan tanah untuk produksi
biomassa, disamping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi
lain yang berkenaan dengan pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang menurut sifat
dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat.
Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi merupakan pendorong bagi masyarakat untuk berperan
aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.
Peran masyarakat meliputi antara lain menyampaikan saran dan pendapat tentang kebijakan pengendalian
kerusakan tanah serta berpartisipasi aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4068
242
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 04 TAHUN 2001
TENTANG
PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN
KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa hutan dan atau lahan merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi,
baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, karena itu perlu dilakukan pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup;
b. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup, baik berasal dari lokasi maupun dari luar lokasi usaha dan atau
kegiatan;
c. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan telah menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan atau Lahan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
6. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention
on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3557);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
9. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2952);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN.
243
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan;
2. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang
dan atau kebun bagi masyarakat;
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap;
4. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran l i ngkungan hi dup adal ah upaya pencegahan dan
penanggulangan serta pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan;
5. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mempertahankan fungsi
hutan dan atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
6. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas
dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan;
7. Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mengembalikan fungsi
hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya;
8. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan;
9. Kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah perubahan langsung
atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan hutan dan atau lahan tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
10. Pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah masuknya makhluk
hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan atau lahan
sehingga kualitas lingkungan hidup menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
11. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah
ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang;
12. Orang adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
13. Penanggung jawab usaha adalah orang yang bertanggung jawab atas nama suatu badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi;
14. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
15. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
16. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
17. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan serta
pengawasan terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan.
BAB II
KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN
DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 3
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi:
a. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan
b. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah.
Bagian Kedua
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Nasional
Pasal 4
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:
a. Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan
b. Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
244
Pasal 5
(1) Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:
a. Kriteria umum baku kerusakan tanah mineral yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. Kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
c. Kriteria umum baku kerusakan flora yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; dan
d. Kriteria umum baku kerusakan fauna yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
(2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6
(1) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
didasarkan pada kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
(2) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 7
Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
belum ditetapkan, maka berlaku kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Daerah
Pasal 8
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah.
(2) Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan
kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(3) Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) belum ditetapkan, maka penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah berdasarkan
kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah
ini.
(4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada
ketentuan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
BAB III
BAKU MUTU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 9
Baku mutu pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi :
a. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional; dan
b. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah.
Pasal 10
Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional dan baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
TATA LAKSANA PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 11
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 13
Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan
dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
Pasal 14
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana
yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
245
(2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi :
a. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
b. alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;
c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
d. perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran
hutan dan atau lahan;
e. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.
Pasal 15
Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-
kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/
Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 16
Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib
memperhatikan :
a. kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumber
daya alam;
b. kesesuaian dengan tata ruang daerah;
c. pendapat masyarakat dan kepala adat; dan
d. pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 17
Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.
Pasal 18
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bertanggung jawab atas terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran
hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
(2) Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan setelah berkoordinasi dengan Menteri lain yang terkait dan
Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 19
Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan, maka penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 20
Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak
lingkungan hidup.
Pasal 21
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
(2) Pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan
ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis pemulihan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 22
Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan,
maka pemulihan dampak lingkungan hidup dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
246
BAB V
WEWENANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN
HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Wewenang Pemerintah Pusat
Pasal 23
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau
lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
Pasal 24
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Menteri yang bertanggung jawab
di bidang kehutanan mengkoordinasikan :
a. penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan;
b. pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; dan atau
c. pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 25
Dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan, instansi yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di
bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 26
Kepala Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan penanggulangan dampak dan pemulihan dampak
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau
lintas batas negara.
Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah Propinsi
Pasal 27
Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi
penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten/kota.
(2) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur dapat meminta
bantuan kepada Gubernur yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat.
Pasal 29
(1) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Gubernur dapat
membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan
di daerahnya.
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib melakukan inventarisasi terhadap
usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup,
melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya
pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 30
Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
Pasal 31
(1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan :
a. penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau
lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada;
c. pengukuran dampak;
d. pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
247
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan atau
setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1).
Pasal 32
Bupati/Walikota yang melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat
meminta bantuan pada Bupati/Walikota terdekat.
Pasal 33
(1) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau
menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha
dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan
inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan, hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan
dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 34
(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak
lintas kabupaten/kota.
(3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan
dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak
atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
Pasal 35
Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan
bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 36
Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 37
Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 dilakukan:
a. secara periodik untuk mencegah kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup;
b. secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan.
Pasal 38
Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 menunjukkan
ketidakpatuhan penanggung jawab usaha, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab
usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri
terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan
penyelamatan, penanggulangan, dan atau pemulihan.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 39
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, wajib melaporkan
kepada pejabat daerah setempat.
(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tempat kejadian;
d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
e. perkiraan dampak kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi.
(3) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu
selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib
meneruskannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
248
(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka
waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam sejak tanggal diterimanya laporan, wajib melakukan
verifikasi dari pejabat daerah yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mengetahui
tentang kebenaran terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan.
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadi kebakaran hutan dan
atau lahan, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
untuk menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya.
Pasal 40
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (5), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga
untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 41
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan
dan pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 ayat (5), dan Pasal 40, wajib menyampaikan laporannya
kepada Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 42
(1) Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Pimpinan instansi teknis/Menteri
berkewajiban meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung jawab serta
kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan.
(2) Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang
mendukung perlindungan hutan dan atau lahan.
BAB IX
KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 43
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan
atau lahan serta dampaknya.
(2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak, media elektronik
atau papan pengumuman yang meliputi :
a. lokasi dan luasan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. hasil pengukuran dampak;
c. bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem;
d. dampaknya terhadap kehidupan masyarakat;
e. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan.
Pasal 44
Dalam hal dampak kebakaran hutan dan atau lahan melampaui lintas propinsi dan atau lintas batas negara,
koordinasi pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
Pasal 45
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi dalam rangka ikut serta melakukan
upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan yang meliputi :
a. Peta daerah rawan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. Peta peringkat bahaya kebakaran hutan dan atau lahan;
c Dokumen perizinan pengusahaan hutan dan atau lahan;
d. Dokumen AMDAL;
e. Rencana penyiapan/pembukaan hutan dan atau lahan;
f. Hasil penginderaan jauh dari satelit;
g. Laporan berkala dari penanggung jawab usaha mengenai status penaatan terhadap persyaratan perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
h. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dan ayat (2).
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
249
Pasal 46
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 47
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 34 ayat (3),
Pasal 36, dan Pasal 42 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 8 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 39 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dan Pasal 42
dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 48
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 dikenakan sanksi administrasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
BAB XII
GANTI RUGI
Pasal 49
(1) Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal
18 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 21 ayat (1) yang menimbulkan akibat kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup, wajib untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
(3) Tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur secara tersendiri
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
Dalam hal tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) belum
ditetapkan, maka tata cara penetapan besarnya ganti kerugian dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 51
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan
atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c,
pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
250
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini :
a. izin usaha yang telah diajukan tetapi masih dalam proses penyelesaian, wajib menyesuaikan dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
b. izin usaha yang sudah diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini wajib menyesuaikan dalam waktu paling
lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 54
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
251
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 04 TAHUN 2001
TENTANG
PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG
BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
I. UMUM
Pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, mutu kehidupan dan penghidupan
seluruh rakyat Indonesia.
Proses pelaksanaan pembangunan itu sendiri disatu pihak menghadapi masalah karena jumlah penduduk yang
besar dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan persebarannya tidak merata. Di lain pihak ketersediaan
sumber daya alam juga terbatas. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi akan
meningkatkan pemanfaatan terhadap sumber daya alam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan tekanan
terhadap sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan
kesejahteraan dan mutu kehidupan rakyat harus disertai dengan upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara tegas dikemukakan dalam Tap MPR No.lV/MPR/
1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan
hidup harus disertai dengan tindakan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan
teknologi ramah lingkungan.
Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memperkecil dampak yang akan merugikan lingkungan hidup dan
keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan devisa, maka Pemerintah melakukan pembangunan
di berbagai sektor. Sektor pembangunan tersebut antara lain di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian,
transmigrasi, dan pertambangan serta pariwisata. Kegiatan ini dilakukan dengan membuka kawasan-kawasan
hutan menjadi kawasan budi daya yang dalam proses pelaksanaan kegiatannya rawan terjadinya kebakaran hutan
dan atau hutan.
Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan atau fauna, tanah, dan hutan. Sedangkan pencemaran
dapat terjadi terhadap air dan udara. Pengendalian terhadap terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pengendalian Pencemaran Air.
Pengertian hutan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan batasan pengertian sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan
yang peruntukannya untuk usaha di bidang kehutanan, pertanian, transmigrasi, pertambangan, pariwisata, dan
ladang dan kebun bagi masyarakat. Lahan tersebut mempunyai ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal
biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbunan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan
manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur.
Kebakaran hutan dan atau lahan di Indonesia, terjadi setiap tahun walaupun frekuensi, intensitas, dan luas arealnya
berbeda. Kebakaran paling besar terjadi pada tahun 1997/1998 di 25 (dua puluh lima) propinsi, yang untuk pertama
kali dinyatakan sebagai bencana nasional. Dampak dengan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi
setiap tahun tersebut telah menimbulkan kerugian, baik kerugian ekologi, ekonomi, sosial, maupun budaya yang
sulit dihitung besarnya. Dampak asap menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia (radang paru), iritasi mata dan kulit. Hal ini akibat tingginya kadar debu
di udara yang telah melampaui ambang batas.
Dampak asap dan kebakaran hutan dan atau lahan telah mengganggu jarak pandang sehingga mempengaruhi
jadual penerbangan. Akibatnya di beberapa kota jarak pandang kurang dari satu kilometer, yang mengakibatkan
penutupan beberapa bandar udara. Selain daripada itu dampak asap mengganggu aktivitas penduduk. Bahkan,
asap dan kebakaran tersebut juga mempengaruhi negara tetangga di Asia Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.
Dalam peristiwa kebakaran hutan dan atau lahan, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Faktor
tersebut adalah penyiapan lahan yang tidak terkendali dengan cara membakar, termasuk juga karena kebiasaan
masyarakat dalam membuka lahan, kebakaran yang tidak disengaja, kebakaran yang disengaja (arson), dan
kebakaran karena sebab alamiah.
252
Kebakaran karena sebab alamiah ini terjadi di daerah yang mengandung batu bara atau bahan lain yang mudah
terbakar. Meskipun beberapa faktor tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran,
tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah karena tindakan manusia.
Terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sangat sulit untuk ditanggulangi, baik untuk pemadaman kebakaran
maupun pemulihan dampak dari kebakaran. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana,
kemampuan sumber daya manusia, dana, dan letak lokasi yang sulit untuk dapat segera dijangkau serta memerlukan
waktu yang cukup lama. Padahal, pemadaman kebakaran memerlukan kecepatan dan keberhasilan untuk
mengatasinya. Untuk itu, maka tindakan pencegahan terjadinya kebakaran menjadi sangat penting dilakukan, antara
lain dengan memperketat persyaratan dalam pemberian ijin.
Bagi kegiatan yang tidak memerlukan izin seperti kegiatan perorangan atau kelompok orang yang karena kebiasaannya
membuka lahan untuk ladang dan kebun, maka untuk mencegah terjadinya kebakaran diperlukan pembinaan,
bimbingan, dan penyuluhan serta kebijakan khusus dari masing-masing propinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian,
maka dalam melakukan tindakan atau kegiatannya tidak dilakukan dengan cara membakar yang dapat menimbulkan
kebakaran hutan dan atau lahan.
Mengingat dampak akibat kebakaran hutan dan atau lahan sangat besar, maka setiap orang yang melakukan usaha
dan atau kegiatan dilarang dengan cara membakar. Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 50 huruf d, secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan. Larangan
tersebut tidak berlaku bagi pembakaran hutan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat
tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Untuk dapat memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terkait terhadap penanganan kebakaran hutan
dan atau lahan, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan suatu kebijakan nasional, yaitu Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan
Kebakaran hutan dan atau Lahan.
Peraturan Pemerintah ini diperlukan selain karena alasan yang telah diuraikan di atas juga sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kriteria baku lingkungan hidup daerah dapat ditetapkan lebih ketat daripada kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup nasional apabila kondisi daerah tersebut memerlukannya dan bertujuan untuk
memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap lingkungan hidup daerah.
253
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ketentuan tentang, baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional untuk berbagai sumber daya alam
telah di tetapkan dalam berbagai peraturan, antara lain baku mutu udara.
Pasal 11
Kegiatan yang menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain kegiatan penyiapan lahan
untuk usaha di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, pertambangan, pariwisata yang
dilakukan dengan cara membakar. Oleh karena itu dalam melakukan usaha tersebut di larang dilakukan
dengan cara pembakaran, kecuali untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan
satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dan pejabat yang berwenang.
Selanjutnya kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun
dapat menimbulkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. Untuk menghindarkan terjadinya kebakaran
di luar lokasi lahannya perlu dilakukan upaya pencegahan melalui kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah masing-masing seperti melalui peningkatan kesadaran masyarakat adat atau tradisional.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Yang dimaksud dengan penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan, antara lain usaha di bidang kehutanan perkebunan, dan pertambangan.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Sistem deteksi dini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan,
contohnya menara pemantau.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala
antara lain adalah setiap 6 (enam) bulan sekali.
Pasal 15
Laporan hasil pemantauan secara berkala dilengkapi antara lain dengan data pemantauan dan data
penginderaan jauh dari satelit.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha adalah pejabat dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang yang di mintakan permohonan izin usahanya. Contohnya pejabat
yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dan pejabat yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Huruf a
Yang dimaksud dengan kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan adalah
strategi pengelolaan hutan dan atau lahan serta strategi pengendalian kebakaran hutan dan atau
lahan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pendapat masyarakat termasuk di antaranya adalah pendapat pemerhati lingkungan dan organisasi
lingkungan hidup.
254
Huruf d
Yang dimaksud dengan pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang adalah
antara lain rekomendasi dari Kepala Bapedal tentang kelayakan lingkungan hidup yang
kewenangan penilaian komisi AMDAL-nya dipusat, sedangkan di daerah adalah pertimbangan
dan rekomendasi kelayakan lingkungan hidup dan Gubernur yang kewenangan penilaian komisi
AMDAL-nya ada di daerah.
Pasal 17
Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka
lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai di luar areal ladang dan
kebunnya. Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segera melakukan penanggulangan adalah tindakan seketika untuk melakukan
penanggulangan sejak diketahuinya terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Menteri lain yang terkait adalah antara lain Menteri Pertanian dalam hal kegiatan
perkebunan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam hal kegiatan yang berkaitan dengan
pertambangan.
Ayat (3)
Penetapan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan dengan peraturan
daerah dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan kondisi alamiah tentang hutan dan atau lahan
daerah yang bersangkutan.
Misalnya penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi yang mengandung batu bara
atau gambut berbeda penanggulangannya dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi lainnya.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan
yang selama ini telah ada seperti di bidang kehutanan.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang tersebut dapat dilakukan bagi propinsi yang rawan terjadi
kebakaran hutan dan atau lahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
255
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindakan penanggulangan kebakaran adalah antara lain mobilisasi sarana
dan prasarana, sumber daya manusia untuk mencegah meluasnya kebakaran. Pelaksanaan
penanggulangan kebakaran tersebut dilakukan secara berjenjang dari tingkat desa/kelurahan,
kecamatan, dan kabupaten/kota.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan masyarakat adalah antara lain pemeriksaan
gangguan pernafasan dan iritasi mata.
Huruf c
Pengukuran dampak dilakukan antara lain dengan menggunakan indeks standar pencemar udara
dan jarak pandang. Apabila hasil pemantauan menunjukkan indeks standar pencemaran udara
(ISPU) mencapai nilai 300 atau lebih, berarti udara dalam kategori berbahaya bagi kesehatan
manusia, hewan, dan tumbuhan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan pengumuman mengenai langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain
mengumumkan kepada masyarakat agar mengurangi aktivitasnya, dan menggunakan masker
untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang secara khusus tersebut dapat dilakukan di kabupaten/kota
yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau lahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah antara lain pengecekan lapangan untuk mengetahui tentang
kebenaran informasi yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota terhadap penanganan kasus
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik antara lain pengawasan yang dilakukan setiap 3
(tiga) bulan sekali. Pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering daripada pengawasan
periodik, terutama terhadap penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha adalah antara lain tidak menyiapkan
peralatan pemadaman, dan atau standar operasi prosedur penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan di lokasi usahanya.
Pasal 39
Ayat(1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat adalah antara lain Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.
Sedangkan informasi yang diperoleh dari media elektronik, media cetak, dan surat, dilaporkan kepada
Kepala lnstansi yang bertanggung jawab.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
256
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat, penanggung jawab usaha, dan aparatur dilakukan melalui antara
lain :
a. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang
konservasi hutan dan atau lahan;
b. pemberian bimbingan teknis;
c. pendidikan dan pelatihan;
d. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi hutan dan atau
lahan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan penanggung jawab usaha dalam
pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup.
Upaya untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan aparatur dalam pengendalian kebakaran
hutan dan atau lahan dimaksud agar, antara lain, dapat ikut serta dalam kegiatan fisik di lapangan,
sedangkan keterlibatan tidak langsung dapat berupa bantuan pendanaan dalam pengendalian
kebakaran hutan dan atau lahan.
Yang dimaksud dengan pimpinan instansi teknis dalam pasal izin adalah antara lain Departemen
Kehutanan untuk usaha kehutanan dan Departemen Pertanian untuk usaha perkebunan.
Ayat (2)
Kearifan tradisional adalah antara lain tradisi Karuhan pada masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat,
dan tradisi hutan larangan pada masyarakat Siberut, Sumatera.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan hasil pengukuran dampak adalah antara lain lndeks Standar Pencemar
Udara (ISPU), PM10, jarak pandang, dan baku mutu udara ambien.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan dampak terhadap kehidupan masyarakat adalah antara lain dampak
terhadap kesehatan dan aktivitas masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan langkah-langkah untuk mengurangi dampak adalah antara lain mengurangi
aktivitas masyarakat dan menggunakan masker untuk menghindari dari kerugian yang lebih besar
bagi masyarakat.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Hak atas informasi tentang terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan merupakan konsekuen logis
dan hak berperan dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan
nilai dan efektifitas peran masyakat dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), keterangan, atau
informasi lain yang berkenaan dengan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang menurut sifat dan tujuan memang terbuka untuk diketahui masyarakat.
257
Ayat (2)
Dalam hal informasi belum tersedia pada Gubernur/Bupati/Walikota, maka masyarakat yang
berkepentingan dapat meminta informasi tersebut kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Penyediaan informasi kepada masyarakat mengenai dampak kebakaran hutan dan atau lahan lintas
propinsi dan lintas batas negara dilakukan oleh Pemerintah Pusat, misalnya informasi dampak
kebakaran hutan dan atau lahan terhadap keselamatan penerbangan diberikan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang perhubungan. Koordinasi penyediaan informasi dilakukan oleh Kepala
Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 46
Peran sebagaimana dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara
mengajukan keberatan maupun dengan pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai
dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijakan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pelaksanaannya didasarkan
pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan
pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 47
Yang dimaksud dengan sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan atau dana bantuan dari organisasi/
asosiasi tertentu.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah antara lain melakukan penyelamatan dan atau tindakan
penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan
untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama di kemudian hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan
hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan perbuatan persaingan curang
atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
258
LAMPIRAN I
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 04 Tahun 2001
TANGGAL : 15 Februari 2001
A. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN TANAH MINERAL YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN
ATAU LAHAN
Sifat Fisik Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Struktur tanah Terjadi kerusakan struktur tanah Pengamatan langsung
Infiltrasi air turun (visual)
Akar tanaman tidak berkembang
Meningkatnya laju erosi tanah
2 Porositas (%) Terjadi penurunan porositas Perhitungan dari bobot
Menurunnya infiltrasi isi dan kadar air
Meningkatnya aliran permukaan kapasitas retensi
Ketersediaan udara dan air untuk maksimum
tanaman berkurang
3 Bobot isi (g/cm
3
) Terjadi pemadatan Ring sample - gravimetri
Akar tanaman tidak berkembang
Ketersediaan udara dan air untuk
tanaman berkurang
4 Kadar air tersedia (%) Terjadi penurunan kadar air Pressure plate - gravimetri
Kapasitas tanah menahan air berkurang
Tanaman kekurangan air
5 Potensi mengembang Tanah kehilangan sifat mengembang COLE
dan mengkerut mengkerutnya
Laju erosi meningkat
6 Penetrasi tanah (kg/cm
2
) Penetrasi tanah meningkat Penetrometer
Infiltrasi air turun
Akar tanaman tidak berkembang
7 Konsistensi tanah Tanah kehilangan sifat plastisnya Piridan tangan
Laju erosi meningkat
Sifat Kimia Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 C-organik (%) Kadar C-organik turun Walkley and Black atau
Kesuburan tanah turun dengan alat CHNS
Berpengaruh terhadap sifat fisik tanah Elementary Analisis
2 N total (%) Kadar N total turun Kjeldahl atau dengan
Kesuburan tanah turun alat CHNS Elementary
Analisis
a. Amonium (ppm) Kadar Amonium tersedia turun Kjeldahl atau elektroda
Kesuburan tanah turun spesifik atau
autoanalisator
b. Nitrat (ppm) Kadar Nitrat naik Kjeldahl atau elektroda
Meracuni air tanah spesifik atau
autoanalisator
3 P (ppm) Kadar P-tersedia naik Spectrofotometer atau
Keseimbangan unsur hara terganggu autoanalisator
4 pH pH naik atau turun pH-meter
. Keseimbangan unsur hara terganggu
5 Daya Hantar Listrik Daya hantar listrik naik Konduktometer
(NS/cm) Pertumbuhan akar tanaman terganggu
Kadar garam naik
259
Sifat Biologi Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Carbon mikroorganisme Carbon mikroorganisme turun CFE-TOC atau CFE-
Banyak mikroorganisme mati Walkley and Black
Reaksi biokimia tanah terganggu (Joergensen, 1995;
Vance, et.al., 1987)
2 Respirasi Respirasi turun Metode Stoples seperti
Reaksi kimia tanah terganggu dalam : Joergensen,
Keragaman mikroorganisme tanah berkurang 1995; Djajakirana, 1996;
Verstraete, 1981
3 Metabolic quotien Metabolic quotien naik Perhitungan dari
(qCO
2
) Mikroorganisme tanah strees respirasi dan karbon
Keragaman mikroorganisme berkurang mikroorganisme
4 Total mikro organisme Total mikroorganisme turun Plate counting
organisme (SPK/g) Keragaman mikroorganisme berkurang
5 Total Fungi (SPK/g) Total fungi turun Plate counting
Keseimbangan populasi mikroorganisme
terganggu
B. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN TANAH GAMBUT YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN
ATAU LAHAN
Sifat Fisik Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Porositas (%) Terjadi penurunan porositas Perhitungan dari
Menurunnya infiltrasi bobot isi dan kadar air
Meningkatnya aliran permukaan kapasitas retensi
Ketersediaan udara dan air untuk tanaman maksimum
berkurang
2 Bobot isi (g/cm
3
) Terjadi pemadatan Ring sample -
Akar tanaman kurang berkembang gravimetri
Ketersediaan udara dan air untuk tanaman
berkurang
3 Kadar air tersedia (%) Terjadi penurunan kadar air Pressure plate -
Kapasitas tanah menahan air berkurang gravimetri
Tanaman kekurangan air
4 Penetrasi tanah Penetrasi tanah meningkat Penetrometer
(kg/cm
2
) Infiltrasi air turun
Akar tanaman tidak berkembang
5 Subsidence Terjadi penurunan permukaan tanah gambut Patok subsidence
Kedalaman efektif tanah menurun lapang
Umur pakai lahan turun
260
Sifat Kimia Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 C-organik (%) Kadar C-organik turun Walkley and Black
Kesuburan tanah turun atau dengan alat
CHNS Elementary Analisis
2 N total (%) Kadar N total turun Kjeldahl atau dengan
Kesuburan tanah turun alat CHNS Elementary
Analisis
a. Amonium (ppm) Kadar Amonium turun Kjeldahl atau
Kesuburan tanah turun elektroda spesifik
atau autoanalisator
b. Nitrat (ppm) Kadar Nitrat naik Kjeldahl atau
Meracuni air tanah elektroda spesifik
atau autoanalisator
3 P (ppm) Kadar P-tersedia naik Spectrofotometer
Keseimbangan unsur hara terganggu atau autoanalisator
4 pH pH naik atau turun pH-meter
Keseimbangan unsur hara terganggu
5 Daya Hantar Listrik Daya hantar listrik naik Konduktometer
(NS/cm) Pertumbuhan akar tanaman terganggu
Kadar garam naik
Sifat Biologi Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Carbon mikroorganisme Carbon mikroorganisme turun CFE-TOC atau CFE-
Banyak mikroorganisme mati Walkley and Black
Reaksi biokimia tanah terganggu (Joergensen, 1995;
Vance, et.al., 1987)
2 Respirasi Respirasi turun Metode Stoples
Reaksi kimia tanah terganggu seperti dalam :
Keragaman mikroorganisme tanah berkurang Joergensen, 1995;
Djajakirana, 1996;
Verstraete, 1981
3 Metabolic quotien (qCO
2
) Metabolic quotien naik Perhitungan dari
Mikroorganisme tanah strees respirasi dan karbon
Keragaman mikroorganisme berkurang mikroorganisme
4 Total mikro organisme Total mikroorganisme turun Plate counting
(SPK/g) Keragaman mikroorganisme berkurang
5 Total Fungi (SPK/g) Total fungi turun Plate counting
Keseimbangan populasi mikroorganisme
terganggu
261
C. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN FLORA YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Keragaman spesies Terjadi perubahan keragaman Sampling
Terjadi pengurangan dan penambahan varietas
Terjadi kepunahan spesies
Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem
2 Populasi Terjadi perubahan kepadatan Sampling
Terjadi perubahan populasi
Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem
D. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN FAUNA YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Keragaman spesies Terjadi perubahan keragaman Sampling
Terjadi perubahan perilaku
Terjadi pengurangan dan penambahan varietas
Terjadi kepunahan spesies
Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem
2 Populasi Terjadi perubahan kepadatan Sampling
Terjadi perubahan perilaku
Terjadi perubahan populasi
Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I
ttd
Lambock V. Nahattands
262
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP- 43/MENLH/X/1996
TENTANG
KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN
BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
usaha atau kegiatan penambangan;
b. bahwa usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C merupakan salah satu
kegiatan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup;
c. bahwa dari berbagai usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C yang perlu
diprioritaskan pengendaliannya adalah kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis
lepas di daratan;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan
Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Dataran;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1969
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2816);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian
(Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4147);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan
di Bidang Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1986
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3340);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan
Titik Berat Pada Daerah Tingkat II (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3487);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3528);
12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri
Negara Serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan,
Organisasi dan Tata Kerja BAPEDALDA;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA KERUSAKAN
LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS
LEPAS DI DATARAN
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Dataran adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif homogen dan datar dengan kemiringan lereng
maksimum 8% yang dapat berupa dataran aluvial, dataran banjir, dasar lembah yang luas, dataran di antara
perbukitan, ataupun dataran tinggi;
263
2. Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C yang berupa tanah urug, pasir, sirtu,
tras dan batu apung;
3. Lingkungan Penambangan adalah area penambangan yang diizinkan dalam Surat Izin Penambangan Daerah
(SIPD);
4. Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah berubahnya karakteristik lingkungan penambangan sehingga
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
5. Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi lingkungan penambangan yang
menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan lingkungan;
6. Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup;
7. BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur
Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran
wajib untuk melaksanakan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan baginya.
Pasal 3
(1) Kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini ditetapkan sesuai dengan peruntukan:
a. Pemukiman dan daerah industri;
b. Tanaman tahunan;
c. Tanaman pangan lahan basah;
d. Tanaman pangan lahan kering/peternakan;
(2) Penjelasan teknis dan tata cara pengukuran kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) seperti tersebut dalam Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 4
(1) Peruntukan lahan paska penambangan ditetapkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II (RTRWK).
(2) Apabila peruntukan lahan paska penambangan belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan dapat menetapkannya di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD).
(3) Apabila tidak ditetapkan di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), peruntukan ditetapkan berdasarkan
peruntukan sebelum dilakukan penambangan.
Pasal 5
(1) Menteri menetapkan kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C untuk
jenis galian lain di luar bahan galian golongan C seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 2 dan peruntukan Pasal 3
Keputusan ini.
(2) Apabila kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan. Gubernur/
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan kriteria kerusakan lingkungan setelah
berkonsultasi dengan Menteri dan Menteri Dalam Negeri.
(3) Menteri memberikan petunjuk penetapan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berdasarkan pertimbangan Kepala Bapedal.
Pasal 6
Pembinaan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran:
a. Umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
b. Teknis penambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi.
c. Teknis pengendalian kerusakan lingkungan dilakukan oleh Bapedal.
Pasal 7
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam proses pemberian Surat Izin Penambangan Daerah
(SIPD), selain berpedoman kepada peraturan yang selama ini berlaku, wajib mencantumkan kriteria kerusakan
lingkungan yang tidak boleh dilanggar oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dalam Surat Izin Penambangan
Daerahnya (SIPDnya)
Pasal 8
Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran yang wajib menyusun Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila hasil studi mewajibkan persyaratan pengendalian kerusakan lingkungan
lebih ketat dan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini maka
persyaratan yang lebih ketat berlaku baginya.
264
Pasal 9
Penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada:
a. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II;
b. Kepala BAPEDAL;
c. Menteri;
d. Menteri Dalam Negeri Cq. Ditjen Bangda;
e. Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktorat Teknik Pertambangan Umum;
f. Instansi terkait lain yang dipandang perlu.
Pasal 10
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, BAPEDAL dan instansi teknis melakukan pemantauan
terhadap usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran.
Pasal 11
Apabila hasil pemantauan dimaksud dalam ayat (1), menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan maka Gubernur/
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II segera menetapkan langkah kebijaksanaan setelah mendapat
pertimbangan dari Bapedal dan instansi teknis.
Pasal 12
(1) Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran:
a. Yang sedang berlangsung atau yang masa penambangannya telah berakhir, wajib dilakukan evaluasi oleh
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan kriteria kerusakan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini.
b. Bagi kegiatan yang sedang dalam proses permohonan dan perpanjangan Surat Izin Penambangan Daerah
SIPD) setelah ditetapkan Keputusan ini wajib disesuaikan dengan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam keputusan ini.
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, Gubernur/Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II menetapkan langkah pengendaliannya dengan memperhatikan pertimbangan dan
Kepala Bapedal.
Pasal 13
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 25 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja.
265
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP- 43/MENLH/X/1996
TANGGAL : 25 OKTOBER 1996
Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan
Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran
PEMBENTUKAN
ASPEK FISIK PEMUKIMAN TANAMAN TANAMAN TANAMAN
DAN HAYATI DAN DAERAH TAHUNAN PANGAN PANGAN
LINGKUNGAN INDUSTRI LAHAN BASAH LAHAN KERING
DAN
PETERNAKAN
1. TOPOGRAFI
1.1. Lubang
galian
a.Kedalaman Lebih dalam 1 Melebihi muka Lebih dari 10 Melebihi muka
m di atas air tanah pada cm di bawah air tanah pada
muka air tanah musim hujan muka air tanah musim hujan
pada musim pada musim
hujan hujan
b.Jarak < 5 meter dari < 5 meter < 5 meter < 5 meter
batas SIPD
1.2 Dasar
galian
a.Perbedaan > 1 meter > 1 meter > 1 meter > 1 meter
relief dasar
galian
b.Kemiringan > 8% > 8% > 3% > 8%
dasar
galian
1.3 Dinding
galian
a.Tebing Tinggi > 3 m Tinggi > 3 Tinggi > 3 Tinggi > 3
teras meter meter meter meter
b.Dasar Lebar < 6 Lebar < 6 Lebar < 6 Lebar < 6
teras meter meter meter meter
2. TANAH
Tanah yang < 25 cm < 50 cm < 25 cm < 25 cm
dikembalikan
sebagai
penutup
3. VEGETASI
3.1 Tutupan < 20% - - -
tanaman tanaman
budi daya tumbuh di
seluruh lahan
penambangan
3.2 Tutupan - < 50% - -
tanaman tanaman
tahunan tumbuh di
seluruh lahan
penambangan
3.3 Tutupan - - < 50 % -
tanaman tanaman
lahan tumbuh di
basah seluruh lahan
penambangan
3.4 Tutupan - - - < 50%
tanaman tanaman
lahan tumbuh di
kering/rum seluruh lahan
put penambangan
266
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP- 43/MENLH/X/1996
TANGGAL : 25 OKTOBER 1996
PENJELASAN TEKNIS DAN TATA CARA PENGUKURAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU
KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN
1. TOPOGRAFI
Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi, yaitu: keadaan yang menggambarkan
permukaan bumi terutama mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah, pegunungan,
dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lain-lainnya.
Bentuk akhir topografi lahan bekas penambangan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan/
daya dukung lahan bekas penambangan bagi suatu peruntukan aspek-aspek topografi yang dijadikan indikator
daya dukung lahan bekas penambangan adalah :
1. Lubang galian
2. Dasar galian
3. Dinding galian
1.1. Lubang galian
Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat penambangan galian golongan C.
Parameter lubang galian yang digunakan dalam penilaian kerusakan lahan bekas penambangan ini adalah:
a. Kedalaman
- Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari permukaan lahan hingga ke dasar lubang
galian.
- Permukaan di si ni adal ah permukaan awal pada tepi l ubang atau gari s l urus yang
menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah lubang galian
yang terdalam.
- Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal
dengan dasar lubang terdalam (lihat Gambar 1)

GAMBAR 1. KEDALAMAN LUBANG GALIAN
- Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang
periode penambangan.
- Penentuan batas kedalaman galian yang ditolerir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan
oleh letak muka air tanah.
- Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang jenuh air dengan lapisan tanah yang belum
jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan musim. Di daerah
dataran rendah muka air tanah umumnya dangkal, sedangkan di daerah yang lebih tinggi letak
muka air tanah lebih dalam. Pada musim penghujan letak muka air tanah biasanya lebih
dangkal dibandingkan dengan musim kemarau.
- Pengukuran letak muka air tanah dapat diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur
pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh permukaan air sumur gali.
- Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada
sumur gali permukaan lahan (lihat Gambar 2)
267
PERMUKAAN TANAH
GAMBAR 2. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN SUMBER GALIAN
Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada prinsipnya menyerupai pengukuran sumur
galian (lihat Gambar 3)

GAMBAR 3. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN PEMBORAN
- Batas kedalaman lubang galian selalu ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya
persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan
lahan yang telah ditetapkan.
- Areal-areal yang memenuhi persyaratan kelayakan bagi peruntukan pemukiman/industri adalah
areal-areal yang bebas banjir dan masih dapat menyerap air sehingga permukaan tanahnya
tetap kering. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kedalaman galian bagi areal seperti ini
dibatasi minimum 1 m di atas muka air tanah pada musim penghujan.
- Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman tahunan adalah areal yang berdrainase baik,
minimum sebatas wilayah perakaran tanaman tahunan. Sehubungan dengan hal tersebut
maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air
tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan
bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut
akan terpenuhi.
- Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan basah adalah areal berdrainase
buruk tetapi sewaktu-waktu harus dapat dikeringkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka
kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 10 cm di bawah permukaan air tanah
dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas
tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan
terpenuhi.
- Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan kering/peternakan adalah areal
berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran. Sehubungan dengan hal tersebut maka
kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah
dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas
tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan
terpenuhi.
b. Jarak
Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas
SIPD. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut. Jarak lubang
galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu
oleh kegiatan penambangan. Dalam hal ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas
aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD.
Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari batas SIPD ini dapat dilakukan secara
reguler sepanjang periode penambangan.
Muka air tanah
Keterangan :
= letak muka
tanah dari
permukaan
tanah
Dasar Sumur
Permukaan air tanah Lubang bor
Keterangan :
= letak muka
tanah dari
permukaan
tanah
MUKA AIR TANAH
DKetebalan
268
Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian dimasing-masing
SIPD dapat mencapai batas SIPD yang berdampingan/bersinggungan, sedangkan jarak lubang
galian pada batas SIPD yang tidak berdampingan/bersinggungan minimal 5 (lima) meter dari batas
SIPD (Gambar 4b).

GAMBAR 4a. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN PENAMBANGAN
GAMBAR 4b. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN PENAMBANGAN YANG BERSINGGUNGAN
1.2. Dasar Galian
Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter Dasar galian ada 2(dua), yaitu :
a. Perbedaan Relief Dasar Galian
- Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah rata, karena selalu terdapat
tumpukan atau onggokan material sisa galian.
- Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan ketinggian permukaan onggokan/
tumpukan tersebut dengan permukaan dasar galian disekitarnya. Pengukuran dilakukan
dengan mengukur kedua permukaan tersebut (lihat Gambar 5)

GAMBAR 5. SKETSA RELIEF DASAR GALIAN
269
- Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode
penambangan, tetapi penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya dapat
ditentukan pada akhir masa penambangan.
- Adanya tumpukan tersebut akan menyulitkan pemanfaatan lahan, sesuai dengan
peruntukannya, karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan relief tersebut dibatasi
maksimum 1 m.
Tumpukan yang kurang dari 1 m relatif mudah diratakan/disiapkan sehingga tidak
menyulitkan dalam penyiapan untuk pemanfaatan lahan selanjutnya.
b. Kemiringan Dasar Galian
- Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya dukung lahan
bagi suatu peruntukan.
- Persyaratan kelayakan lahan untuk pemukiman/industri adalah tidak lebih dari 8%
sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%.
- Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari 15% sehingga
untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 15%.
- Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah adalah tidak lebih dari 3% sehingga
untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 3%.
- Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering adalah tidak lebih dari 8% sehingga
untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%.
- Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan dengan menggunakan levelling atau
waterpass.
- Pemantauan kemiringan dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan
sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian
hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.
1.3. Dinding Galian
Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang.
Untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi
maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras.
Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati (lihat Gambar 6).
Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3 meter sehingga batas toleransi bagi keamanan lingkungan
disekitarnya. Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar kemiringan
dinding galian tidak lebih curam dari 50 %.
Pemantauan tebing dan dasar teras dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan
rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan
pada akhir masa penambangan.
Pengukuran tebing dan dasar teras dilakukan dengan menggunakan meteran.

GAMBAR 6. SKETSA RELIEF DINDING GALIAN YANG DISYARATKAN UNTUK SEMUA PERUNTUKAN
2. TANAH
Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bahan organik, dan merupakan tempat tumbuhnya
tumbuhan. Tanah yang dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah tanah-tanah
yang sebelumnya terdapat di areal SIPD tersebut, yang dikupas dan diamankan sebelum areal tersebut ditambang.
Akan tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu mendukung pertumbuhan
tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan.
Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap peruntukan lahannya.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman budi daya di areal pemukiman adalah 25
cm, sehingga untuk peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai
penutup ini minimum 25 cm.
PERMUKAAN TANAH
270
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman tahunan atau tanaman perkebunan adalah
50 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup
ini minimum 50 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga
untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan
sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ternak
adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ini ketebalan
tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai
dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini hanya dapat
ditentukan setelah akhir masa penambangan.
3. VEGETASI
Pertumbuhan Vegetasi di atas lahan bekas penambangan menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan
mempunyai kondisi yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena pertumbuhan vegetasi tidak hanya
membuktikan adanya usaha reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa galian tersebut dapat dimanfaatkan
kembali sesuai dengan peruntukannya.
Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau di areal pemukiman adalah 20 persen, sehingga digunakan juga
sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal pertambangan.
Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen merupakan indikator yang menjamin
bahwa tanah yang dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan
peruntukannya.
Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas penambangan, sedangkan pengukuran
keberhasilannya dilakukan dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas tambang.
Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana
penambangan, tetapi penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa
penambangan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja.
271
PENEGAKAN HUKUM
272
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2000
TENTANG
LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga
Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3872);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN
SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut lembaga
penyedia jasa, adalah lembaga yang bersifat bebas dan tidak berpihak yang tugasnya memberikan pelayanan
kepada para pihak yang bersengketa untuk mendayagunakan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dengan menyediakan pihak ketiga netral dalam rangka penyelesaian sengketa baik melalui arbiter maupun
mediator atau pihak ketiga lainnya;
2. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau
diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah bentuk-bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup
yang dilakukan secara sukarela antara para pihak di luar pengadilan melalui pihak ketiga netral;
4. Pihak ketiga netral adalah pihak ketiga baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan (Arbiter) maupun
yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan (Mediator atau Pihak Ketiga lainnya);
5. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa lingkungan hidup yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;
6. Mediator atau Pihak Ketiga lainnya adalah seorang atau lebih yang ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang
bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan;
7. Para pihak adalah subyek hukum baik menurut hukum perdata maupun hukum publik yang bersengketa di
bidang lingkungan hidup;
8. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
9. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela.
Pasal 3
Dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh
salah satu atau para pihak yang bersengketa atau, salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari
perundingan.
Pasal 4
Para pihak bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.
273
BAB II
KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
Pasal 6
Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan
menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya.
Pasal 7
Lembaga penyedia jasa memberikan jasa pelayanan terhadap penyelesaian sengketa lingkungan hidup di seluruh
wilayah Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Lembaga Penyedia Jasa Yang
Dibentuk Oleh Pemerintah
Pasal 8
(1) Lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
(2) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
(3) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan
berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang
bersangkutan.
Pasal 9
(1) Dalam melaksanakan tugas lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibantu
oleh Sekretariat.
(2) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
(3) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dilakukan
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan.
(4) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas menyediakan jasa pelayanan arbiter dan
mediator atau pihak ketiga dengan menyediakan daftar panggil dari arbiter dan/atau mediator dan/atau pihak
ketiga lainnya yang telah diangkat oleh Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota.
(5) Sekretariat wajib menyebarluaskan informasi kepada masyarakat mengenai daftar panggil tenaga arbiter dan
tenaga mediator atau pihak ketiga lainnya yang telah diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
Pasal 10
(1) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
mempunyai keanggotaan terdiri dari tenaga profesional di bidang lingkungan hidup yang berasal dari pemerintah
dan masyarakat.
(2) Keanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di pemerintah pusat diangkat oleh
Gubernur/Bupati/Walikota, berfungsi sebagai arbiter dan/atau mediator dan/atau pihak ketiga lainnya.
(3) Masa jabatan keanggotaan lembaga penyedia jasa selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
satu periode berikutnya.
(4) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk arbiter dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk
mediator atau pihak ketiga lainnya;
c. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima
belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya;
d. tidak ada keberatan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan
e. memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
Pasal 11
(1) Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya
berakhir, kecuali :
a. meninggal dunia;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
c. mengundurkan diri.
(2) Keanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) wajib diumumkan terlebih
dahulu kepada masyarakat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan untuk mengetahui ada/
tidaknya keberatan dari masyarakat.
274
Bagian Ketiga
Lembaga Penyedia Jasa Yang
Dibentuk Oleh Masyarakat
Pasal 12
(1) Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat dibuat dengan akta notaris.
(2) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk arbiter dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk
mediator atau pihak ketiga lainnya;
c. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima
belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya; dan
d. memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya.
Pasal 13
Pembentukan lembaga penyedia jasa oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib
diberitahukan :
a. di pusat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
b. di daerah pada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang
bersangkutan.
BAB III
PERSYARATAN PENUNJUKAN PIHAK KETIGA NETRAL
Bagian Pertama
Arbiter
Pasal 14
Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 15
Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya oleh para pihak
harus memenuhi syarat :
a. disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
b. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu
pihak yang bersengketa;
c. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak;
e. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Pasal 16
Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 12 terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan pengembangannya
dilakukan oleh asosiasi profesi yang bersangkutan.
BAB IV
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI LEMBAGA PENYEDIA JASA
Bagian Pertama
Pengelolaan Permohonan
Pasal 17
(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan bantuan untuk penyelesaian
sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2) dan (3).
(2) Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai
permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan
hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.
(3) Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
275
Pasal 18
Tata cara pengelolaan permohonan penyelesaian sengketa melalui lembaga penyedia jasa yang dibentuk pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedua
Arbitrase
Pasal 19
Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Ketiga
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 20
Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator atau pihak ketiga lainnya dari lembaga
penyedia jasa yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1).
Pasal 21
(1) Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau
pihak ketiga lainnya.
(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat antara lain :
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
d. tempat para pihak melaksanakan perundingan;
e. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
f. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
g. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya;
h. larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi;
i. kehadiran pengamat, ahli dan/atau nara sumber;
j. larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada
masyarakat;
k. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan.
Pasal 22
(1) Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah
atau batal dengan alasan :
a. mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukan keberpihakan; dan/atau
b. mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka:
a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau
b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya.
Pasal 23
(1) Para pihak yang bersengketa atau salah satu pihak dalam proses penyelesaian sengketa setiap saat berhak
menarik diri dari perundingan.
(2) Apabila para pihak yang bersengketa akan menarik diri dari perundingan wajib memberitahukan secara tertulis
kepada mediator atau pihak ketiga lainnya.
(3) Apabila salah satu pihak akan menarik diri dari perundingan wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pihak lainnya dan mediator atau pihak ketiga lainnya.
Pasal 24
(1) Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak
ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermeterai yang memuat antara
lain :
a. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
b. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya;
f. isi kesepakatan;
g. batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan;
h. tempat pelaksanaan isi kesepakatan;
i. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.
(2) Isi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat berupa antara lain :
a. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau
b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
276
(3) Biaya untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibebankan kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup.
(4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak
ketiga lainnya.
(5) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut,
lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya
atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.
BAB V
PEMBIAYAAN LEMBAGA PENYEDIA JASA
Bagian Pertama
Arbitrase
Pasal 25
Biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 26
(1) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak
yang bersengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf g atau sumber-sumber dana lainnya
yang bersifat tidak mengikat.
(2) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya pada penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintah selain
dibebankan atas kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak atau sumber-sumber dana lainnya yang
bersifat tidak mengikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula dibebankan kepada pemerintah.
Bagian Ketiga
Sekretariat
Pasal 27
Segala biaya kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada :
a. Pemerintah pusat pada anggaran belanja instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
b. Pemerintah daerah pada anggaran belanja instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan daerah yang bersangkutan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 8 (delapan) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
277
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2000
TENTANG
LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN
I. UMUM
Dalam pengelolaan lingkungan hidup sering terjadi sengketa lingkungan hidup yang merupakan masalah perdata
antara dua pihak atau lebih. Hal ini terjadi karena adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Dalam hal terjadi sengketa lingkungan hidup para pihak yang bersengketa dapat memilih untuk
menyelesaikan sengketanya baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup yang ditempuh di luar pengadilan pada prinsipnya adalah suatu upaya untuk mendorong peningkatan dan
pengutamaan musyawarah dalam menyelesaikan setiap sengketa lingkungan hidup yang terjadi antara para pihak,
yang berkaitan dengan kerugian yang diderita oleh salah satu pihak akibat perbuatan pihak lainnya. Prinsip
mengutamakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah melalui kesepakatan secara musyawarah.
Penggunaan prinsip musyawarah untuk menyelesaikan suatu sengketa berlaku secara umum di seluruh wilayah
Republik Indonesia dan hal ini sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam sila
keempat dari Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Lembaga penyedia jasa sebagai alternatif, oleh karena itu penggunaannya sangat tergantung dari kesepakatan
para pihak untuk menentukan pilihannya baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat.
Menurut ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara
alternatif di luar pengadilan baik melalui pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan memutus (arbiter) maupun
mediator atau pihak ketiga lainnya yang tidak memiliki kewenangan memutus guna memperoleh hasil yang lebih
adil dan dapat diterima oleh semua pihak dalam waktu yang cepat dengan biaya murah. Dengan adanya alternatif
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diharapkan akan dapat meningkatkan ketaatan
masyarakat terhadap sistem nilai yang berasaskan musyawarah. Dengan demikian, diharapkan lembaga penyedia
jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh sebagai bagian dari kebijaksanaan penaatan
lingkungan hidup dan landasan pengembangan stakeholdership dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup merupakan badan yang mandiri dan tidak memihak
yang tugasnya memberikan bantuan kepada para pihak yang bersengketa dengan menggunakan pihak ketiga
netral baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
278
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penyebarluasan informasi daftar panggil dapat dilakukan antara lain melalui papan pengumuman,
media cetak dan media elektronik.
Pasal 10
Ayat (1)
Keanggotaan lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah dari berbagai kalangan
masyarakat dimaksudkan untuk dapat mencerminkan kepentingan dari berbagai pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk melakukan
perundingan atau penengahan adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman menyelesaikan
sengketa lingkungan hidup atau telah mengikuti pendidikan/pelatihan perundingan yang
diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman anggota lembaga penyedia jasa yang akan ditunjuk dilakukan antara lain melalui papan
pengumuman, media cetak dan media elektronik.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk melakukan
perundingan atau penengahan adalah orang yang telah memiliki pengalaman menyelesaikan
sengketa lingkungan hidup atau telah mengikuti pendidikan/pelatihan perundingan yang
diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Yang dimaksud dengan kode etik profesi adalah kode etik yang dibuat oleh asosiasi profesi di bidang
penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
279
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak
ketiga lainnya dibuat dalam bentuk tertulis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain melakukan penyelamatan dan/atau tindakan
penanggulangan dan/atau pemulihan lingkungan hidup.
Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama
dikemudian hari.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Biaya penyelesaian sengketa oleh mediator atau pihak ketiga lainnya dapat meliputi honorarium dan
biaya perjalanan.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintah
yang merupakan pelayanan publik. Oleh karena itu prinsipnya biaya untuk mediator atau pihak ketiga
lainnya dapat dibebankan pada Pemerintah. Tetapi karena keterbatasan dana pemerintah saat ini,
maka dimungkinkan biaya tersebut dibebankan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa dan/
atau berasal dari sumber-sumber dana lainnya seperti digunakan mekanisme pendanaan lingkungan
dan/atau sumber-sumber lainnya yang bersifat tidak mengikat.
Pembiayaan yang berasal dari sumber-sumber dana lainnya harus dilakukan secara transparan dan
dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
280
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 77 TAHUN 2003
TENTANG
PEMBENTUKAN LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
DI LUAR PENGADILAN (LPJP2SLH)
PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pembentukan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan (LPJP2SLH) pada Kementerian Lingkungan Hidup;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3982);
4. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERTAMA : PEMBENTUKAN LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
(LPJP2SLH).
KEDUA : Susunan keanggotaan LPJP2SLH sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.
KETIGA : Anggota LPJP2SLH bertindak sebagai :
1. Arbiter, yang mempunyai tugas memeriksa sengketa lingkungan hidup dan memberikan
putusan yang tidak memihak dalam jangka waktu yang ditentukan.
2. Mediator dan atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai tugas memfasilitasi para pihak
yang bersengketa sehingga dapat tercapai kesepakatan.
KEEMPAT : Masa jabatan keanggotaan LPJP2SLH berlaku untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) periode berikutnya.
KELIMA : Keanggotaan LPJP2SLH tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir kecuali
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup di Luar Pengadilan.
KEENAM : LPJP2SLH dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat yang berkedudukan pada unit
yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup.
KETUJUH : Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEENAM selain membantu tugas LPJP2SLH
juga merangkap sebagai sekretariat pengelolaan permohonan penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.
KEDELAPAN : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Mei 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA
281
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 77 Tahun 2003
Tanggal : 29 Mei 2003
SUSUNAN KEANGGOTAAN
LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN
SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN (LPJP2SLH)
No. N A M A WILAYAH KERJA
01. Ir. Isa Karmisa Ardiputra Seluruh Indonesia
02. Ir. Gempur Adnan Seluruh Indonesia
03. Dra. Liana Bratasida, MSc Seluruh Indonesia
04. Drs. Sudarijono Seluruh Indonesia
05. Sudarsono, SH Seluruh Indonesia
06. Lukman Hakim, SH Seluruh Indonesia
07. Zen Smith, SH Seluruh Indonesia
08. Arimbi Heroepoetri, SH, LLM Seluruh Indonesia
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA
282
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 78 TAHUN 2003
TENTANG
TATA CARA PENGELOLAAN PERMOHONAN
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN
PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Tata Cara Pengelolaan Permohonan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan pada Kementerian Lingkungan Hidup;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3982);
4. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN
PERMOHONAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN PADA
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau
diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
2. Pemohon adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum yang merasa dirugikan
akibat adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
3. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
4. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang menangani penyelesaian sengketa di luar bidang
lingkungan hidup.
Pasal 2
(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan bantuan untuk penyelesaian
sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada Menteri
secara tertulis.
(2) Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilengkapi dengan :
a. nama lengkap;
b. alamat lengkap;
c. pekerjaan;
d. nama dan alamat yang diduga penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
e. perkiraan sumber penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
f. perkiraan tingkat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi;
g. perkiraan kapan dan lamanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi;
h. perkiraan besar dan jenis kerugian yang terjadi;
i. upaya yang pernah ditempuh selama ini (bila pernah dilakukan);
j. pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup selama ini (bila pernah
dilakukan);
k. penyebab kegagalan penyelesaian yang pernah ditempuh selama ini (bila pernah dilakukan);
l. keterangan lain yang dianggap perlu.
283
Pasal 3
Sekretariat lembaga penyedia jasa wajib mencatat permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan
hidup dan segera melaporkan kepada unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Pasal 4
Unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib segera melakukan analisis menentukan :
a. permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup penyelesaian sengketa lingkungan hidup; atau
b. permohonan yang disampaikan tidak termasuk dalam lingkup sengketa lingkungan hidup.
Pasal 5
(1) Apabila permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
a, maka unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup wajib melakukan verifikasi
tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
(2) Verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan bantuan penyelesaian sengketa wajib dilakukan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diselesaikannya analisis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4.
Pasal 6
(1) Unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup paling lama 14 (empat belas) hari
setelah selesai melakukan verifikasi, wajib menyampaikan hasil verifikasi kepada lembaga penyedia jasa.
(2) Lembaga penyedia jasa dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Pasal 7
Apabila permohonan yang disampaikan termasuk dalam lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
maka unit teknis yang membidangi penyelesaian sengketa lingkungan hidup wajib menyiapkan surat untuk
ditandatangani pimpinan Kementerian Lingkungan Hidup guna meneruskan permohonan tersebut kepada instansi
yang berwenang.
Pasal 8
Informasi daftar panggil tenaga arbiter dan atau mediator dan atau pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa yang
telah diangkat dan ditetapkan oleh Menteri disediakan oleh sekretariat lembaga penyedia jasa.
Pasal 9
(1) Para pihak yang bersengketa melakukan kesepakatan untuk memilih dan menunjuk arbiter atau mediator atau
pihak ketiga lainnya berdasarkan daftar panggil yang diberikan oleh sekretariat lembaga penyedia jasa.
(2) Sekretariat lembaga penyedia jasa bertugas menghubungi arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang
dipilih dan ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Sekretariat lembaga penyedia jasa membantu arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang dipilih dan
ditunjuk oleh para pihak untuk menentukan waktu dan tempat perundingan.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Mei 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA
284
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 56 TAHUN 2002
TENTANG
PEDOMAN UMUM PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP BAGI PEJABAT PENGAWAS
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-07/MENLH/2/2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat
Pengawas;
b. bahwa Pasal 56A, Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi dan Kewenangan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dialihkan ke Menteri Lingkungan Hidup;
c. bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3910);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3816);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3858);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi
sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3952);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk
Produksi Biomassa (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4068);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4076);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran
Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
12. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
13. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 2 Tahun 2002
14. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri
Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002;
15. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN UMUM
PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP BAGI PEJABAT PENGAWAS.
285
PERTAMA : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Li ngkungan Hi dup Bagi Pej abat Pengawas
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.
KEDUA : Setiap Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah
membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan:
a. Untuk pusat dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup;
b. Untuk daerah kepada Kepala Badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengelolaan lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota.
KETIGA : Laporan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA terdiri dari:
a. Format Laporan dan Ringkasan Laporan Pengawasan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II Keputusan ini;
b. Format Berita Acara tahapan kegiatan dan penolakan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan ini.
KEEMPAT : Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas
akan ditetapkan lebih lanjut.
KELIMA : Gubernur, Bupati/Walikota dapat menetapkan lebih lanjut Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas sebagaimana dimaksud dalam diktum
PERTAMA dan KEEMPAT sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum dan Kepegawaian,
ttd
Nadjib Dahlan,SH.
286
Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 56 Tahun 2002
Tentang : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas
Tanggal : 16 Agustus 2002
PEDOMAN UMUM PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP BAGI PEJABAT PENGAWAS
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mengetahui tingkat ketaatan suatu usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup maupun
perizinan, perlu dilakukan kegiatan pengawasan.
Pengawasan yang diatur dalam keputusan ini identik dengan kegiatan inspeksi atau pemantauan yang
selama ini telah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Badan/Pimpinan Instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi/Kabupaten/Kota.
Guna memberikan acuan bagi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup Daerah dalam menjalankan tugas pengawasan, perlu ditetapkan pedoman umum pengawasan
penaatan lingkungan hidup bagi pejabat pengawas.
B. Tujuan
Tujuan pengawasan lingkungan hidup adalah untuk memantau, mengevaluasi dan menetapkan status
ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap;
1. Kewajiban yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup.
2. Kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan sebagaimana
tercantum dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) atau persyaratan lingkungan yang
tercantum dalam izin yang terkait.
C. Sasaran
Mendapatkan data dan informasi secara umum berupa fakta-fakta yang menggambarkan kinerja atau status
ketaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian
pencemaran lingkungan dan atau kerusakan lingkungan, serta perizinan yang terkait.
II. RUANG LINGKUP PENGAWASAN
A. Aspek Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo
Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1999.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan
Laut.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi
Biomassa.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan atau Lahan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
10. Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang terkait.
B. Aspek Perizinan
1. Izin Usaha;
2. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) / Izin Ordonansi Gangguan (HO);
3. Izin Pembuangan Limbah Cair;
4. Izin Pengelolaan Limbah B3
5. Izin Pembuangan Limbah (dumping) ke laut;
6. Izin lainnya yang terkait.
C. Aspek Kesiagaan Dan Tanggap Darurat
1. Ketersediaan sarana dan prasarana Pencegahan dan Penanggulangan Darurat yang disesuaikan
dengan resiko musibah yang mungkin terjadi.
2. Ketersediaan catatan terhadap perbaikan peralatan yang terus diperbaharui.
287
3. Ketersediaan pelatihan tata cara penanggulangan tanggap darurat secara berkala kepada pekerja
maupun masyarakat di sekelilingnya.
4. Adanya pemisahan antara peralatan laik pakai dengan yang rusak disertai pelabelan (tag) yang
menunjukkan keadaan yang rusak (out-of-service).
5. Ketersediaan dan penggunaan peralatan dan pakaian pelindung personal.
6. Ketersediaan alat-alat pendeteksi dini keadaan darurat
7. Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran disetiap unit kegiatan (tabung pemadam kebakaran,
automatic sprinkler).
8. Ketersediaan alat deteksi kebocoran B3.
9. Ketersediaan peralatan bantuan pernafasan di dekat tempat masuk ruangan gas beracun yang berfungsi
dengan baik.
10. Ketersediaan peralatan P3K di lokasi.
11. Ketersediaan tanda-tanda peringatan (dilarang merokok, tegangan tinggi, bahaya gas beracun, hati-
hati) terpasang.
12. Ketersediaan Standard Operating Procedure (SOP).
III. KEWENANGAN PEJABAT PENGAWAS
Kewenangan yang diberikan kepada Pejabat Pengawas sesuai dengan Pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah:
1. Melakukan pemantauan usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup;
2. Meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang
dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
3. Membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan;
4. Memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
5. Mengambil contoh (sample) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan, serta
melakukan pengukuran, analisa dan atau melakukan pengawasan analisa sampel secara langsung di
lapangan dan atau laboratorium;
6. Memeriksa peralatan dan atau instalasi yang digunakan untuk pengendalian pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
7. Memeriksa alat transportasi untuk memudahkan dan atau pengangkutan limbah dan atau bahan kimia
lainnya;
8. Meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan.
IV. TANGGUNG JAWAB PEJABAT PENGAWAS
A. Yuridis
1. Kewenangan pengawasan terbatas pada ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;
2. Merahasiakan informasi yang seharusnya dirahasiakan;
3. Memahami semua peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup, serta perizinan yang terkait.
B. Etika dan Profesi
1. Menaati semua ketentuan disiplin dan sumpah pegawai negeri;
2. Menghindari setiap pertentangan kepentingan karena faktor finansial atau kepentingan lainnya yang
berkaitan dengan hasil pengawasan;
3. Berkomunikasi secara sopan dan profesional dengan petugas dari penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan;
4. Menguasai dan menerapkan konsep K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) selama melaksanakan
pengawasan;
5. Melaporkan fakta-fakta hasil pengawasan secara lengkap, akurat dan obyektif;
6. Selalu berupaya meningkatkan pengetahuan profesional dan keterampilan teknis;
7. Berpenampilan pantas termasuk mengenakan pakaian dan peralatan pelindung untuk keselamatan
kerja;
8. Melengkapi diri dengan peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan yang mudah dibawa
untuk menghindari hutang budi terhadap usaha dan atau kegiatan.
C. Prosedur Pengumpulan Data/Informasi
Setiap pengawas harus memahami semua prosedur pengawasan dan teknik pengumpulan data dan
informasi agar hasil pengawasan lebih akurat, serta resiko pelanggaran hukum akibat salah prosedur dapat
dicegah.
Dalam mengumpulkan data dan informasi pengawas harus dapat:
a. Menyampaikan fakta di lapangan yang mencakup hal-hal sebagai berikut: hasil analisa sampel, foto-
foto, salinan dokumen, pernyataan dari akasi dan pengamatan personal;
b. Mengevaluasi jenis data dan informasi yang dibutuhkan;
c. Mengikuti prosedur rangkaian pengambilan sampel (chain of custody);
d. Mengumpulkan, menjaga dan memelihara data/informasi;
e. Menulis laporan pengawasan dengan jelas, obyektif dan informatif.
288
D. Jaminan Kualitas Hasil Pengawasan
Pengawas harus bertanggung jawab terhadap semua data hasil pengawasan dimasukkan ke dalam laporan
pelaksanaan pengawasan yang mencerminkan kondisi yang ada dan secara prosedur dan yuridis dapat
dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, pengawas harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Pengumpulan data yang aktual (valid);
2. Penggunaan metoda baku yang telah ditetapkan;
3. Penggunaan teknik analisis;
4. Penggunaan sistem pengelolaan data dan pelaporan yang baku.
V. TAHAPAN DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Tahap Persiapan
1. Menyiapkan kelengkapan administrasi, yaitu:
a. Surat Penugasan;
b. Tanda Pengenal;
c. Dokumen Perjalanan (Surat Perintah Perjalanan Dinas);
d. Formulir Berita Acara yang diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan.
2. Mempelajari Peraturan/Dokumen/Referensi yang terkait.
Sebelum melakukan pengawasan ke lokasi kegiatan, salah satu hal yang harus dilakukan oleh Pejabat
Pengawas adalah mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan kegiatan yang akan diawasi.
Dokumen-dokumen ini antara lain adalah:
a. Riwayat ketaatan usaha dan atau kegiatan yang menjadi obyek pengawasan;
b. Izin-izin yang terkait;
c. Peraturan/Literatur yang terkait dengan obyek pengawasan;
d. Peta situasi versi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dan atau peta situasi versi Pejabat
Pengawas yang pernah melakukan pengawasan di tempat yang sama atau bersebelahan;
e. Dokumen-dokumen lain yang terkait dengan status ketaatan kegiatan yang bersangkutan.
3. Menyiapkan Perlengkapan antara lain:
a. Alat pencatat (buku catatan/note book);
b. Kamera atau handycam;
c. Perlengkapan keselamatan kerja seperti sepatu boot, jas hujan, helm;
d. Alat sampling yang diperlukan;
e. Sarana transportasi;
f. Format laporan pengawasan;
g. Alat perekam suara apabila pihak yang dimintai keterangan menolak diambil gambarnya atau
menolak menandatangani berita acara pengawasan;
h. Perlengkapan lain yang dianggap perlu.
B. Tahap Pelaksanaan
1. Di lokasi usaha dan atau kegiatan
Setibanya di lokasi usaha dan atau kegiatan, Pejabat Pengawas wajib menunjukkan Surat Penugasan
dengan menjelaskan maksud dan tujuan pelaksanaan pengawasan. Jika terjadi penolakan maka
Pejabat Pengawas wajib membuat Berita Acara Penolakan.
2. Pertemuan Pendahuluan
Sebelum memulai kegiatan pemeriksaan terhadap usaha dan atau kegiatan, Pejabat Pengawas harus
melakukan Pertemuan Pendahuluan untuk:
a. Perkenalan antara Pejabat Pengawas dengan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan;
b. Menjelaskan tujuan dan lingkup pengawasan agar tidak terjadi salah pengertian;
c. Menjelaskan secara rinci kewenangan yuridis yang melandasi pelaksanaan pengawasan;
d. Menjelaskan cara pelaksanaan pengawasan berdasarkan urutannya, sehingga penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan dapat mengefektifkan waktunya untuk menyiapkan dokumen yang
diperlukan;
e. Menetapkan jadwal pertemuan dengan personal-personal kunci agar tersedia cukup waktu untuk
wawancara;
f. Menyampaikan daftar permasalahan yang akan diperiksa dan menjelaskannya sehingga
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mempunyai waktu yang cukup untuk mengumpulkan
data dan menyediakan waktunya;
g. Pejabat Pengawas sebaiknya didampingi petugas dari usaha dan atau kegiatan selama
menjalankan pengawasan untuk menjawab pertanyaan, menjelaskan kegiatan operasional dan
untuk alasan-alasan keselamatan dan kesehatan;
h. Melakukan verifikasi atas informasi yang terdapat dalam izin yang terkait;
i. Mengkonfirmasikan persyaratan kesehatan dan keselamatan, serta pastikan Pejabat Pengawas
memperoleh perlindungan yang memadai;
j. Menetapkan jadwal pertemuan penutup dengan wakil dari penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan sebagai kesempatan terakhir untuk memperoleh tambahan informasi, tanya jawab, dan
menyajikan temuan-temuan beserta kekurangannya;
k. Mengajukan pertanyaan menyangkut ketentuan dan peraturan baru yang dapat mempengaruhi
usaha dan atau kegiatan.
289
3. Pemeriksaan Lokasi Usaha dan atau Kegiatan
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas di lokasi kegiatan dan atau usaha meliputi:
a. Aspek Kebijakan
Penaatan lingkungan harus nerupakan komitmen usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu, aspek
manajemen memegang peranan kunci dalam pelaksanaan sehari-hari:
1). Kebijakan dan Prosedur;
2). Meneliti kebijakan usaha dan atau kegiatan yang menegaskan komitmennya terhadap
penaatan lingkungan yang mencerminkan pemahaman terhadap peraturan perundang-
undangan;
3). Mengumpulkan semua prosedur dan standar tertulis yang digunakan oleh suatu usaha dan
atau kegiatan untuk melakukan penaatan lingkungan sesuai dengan perizinannya.
b. Struktur Organisasi
1). Meneliti struktur organisasi khususnya yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup;
2). Meneliti deskripsi kerja dari unit pengelolaan lingkungan tersebut;
3). Meneliti pemahaman staf terhadap struktur tersebut dalam menangani situasi daruat.
c. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
1). Memeriksa standar kesehatan dan keselamatan kerja yang digunakan;
2). Memeriksa Prosedur Standard Operational (SOP) yang dimiliki;
3). Mengumpulkan data pelatihan karyawan yang berkaitan dengan penanganan keadaan
darurat.
d. Perencanaan Penaatan
1). Memeriksa data perencanaan usaha dan atau kegiatan mengenai penaatan lingkungan
yang diperlukan serta cara-cara pencapaian sasarannya;
2). Mengkaitkan perencanaan tersebut dengan seluruh peraturan perundang-undangan
dibidang lingkungan hidup yang ada.
e. Pelaporan Usaha dan atau Kegiatan Memeriksa laporan mengenai:
1). Operasi kegiatan misalnya Log Book debit limbah, kapasitas produksi, dan lain-lain;
2). Catatan menyangkut keadaan darurat dan kendala yang dihadapi.
f. Kondisi Umum Fisik Usaha dan atau Kegiatan
1). Memeriksa kondisi housekeeping di seluruh lokasi usaha dan atau kegiatan (termasuk di
unit produksi) contoh: ceceran bahan baku dan bahan penolong, oli, kondisi saluran drainase,
tumpukan sampah dan sebagainya;
2). Mencatat jika terdapat kebisingan atau bau yang melebihi kondisi normal;
3). Meneliti jika terjadi perubahan warna pada permukaan tanah atau bau kimiawi yang tajam
dapat mengindikasikan adanya tumpahan. Lakukan penelitian lebih lanjut mengenai
tumpahan ini apabila diperlukan;
4). Mencatat kondisi peralatan yang tidak berfungsi atau dalam perbaikan, catat jenisnya, kapan
rusaknya, jenis kerusakan, dan kapan akan diperbaiki.
g. Aspek Perubahan Proses Produksi
1. Memeriksa kemungkinan adanya perubahan-perubahan kualitas dan kuantitas:
1). Kapasitas produksi;
2). Jumlah produksi jadi;
3). Penggunaan air;
4). Pengelolaan limbah;
5). Lain-lain.
2. Memeriksa jika terjadi modifikasi pada proses produksi yang dapat menimbulkan perubahan
pada limbah/emisi dan B3 yang harus dikelola.
3. Memeriksa perizinan jika terjadi perubahan dan modifikasi pada hal-hal tersebut di atas.
4. Melakukan verifikasi pada setiap perubahan yang ada dan mencatat temuan ke dalam
Laporan Pengawasan.
4. Wawancara
Salah satu cara pengumpulan informasi/data dalam pelaksanaan pengawasan adalah wawancara.
Beberapa hal yang harus diperhatikan Pejabat Pengawas dalam melakukan wawancara adalah:
a. Cara Bertanya:
1). Menggunakan bahasa yang sopan, lugas, dan jelas;
2). Bertanya dari aspek umum ke aspek spesifik;
3). Memberi waktu kepada petugas usaha dan atau kegiatan untuk memikirkan jawaban dan
penjelasannya;
4). Menghindari pertanyaan yang mengarah kepada jawaban yang tidak diinginkan;
5). Menghindari subyek pertanyaan yang sama pada beberapa pertanyaan;
6). Tidak mencampuradukkan pertanyaan yang menyangkut kondisi dahulu, saat ini, dan yang
akan datang;
7). Menggunakan ukuran standar, misalnya waktu, jarak, luas, berat, dan volume suara.
b. Cara Mendokumentasikan Jawaban Pertanyaan
1). Menggunakan buku catatan pengawasan lapangan, alat perekam atau video, ditulis dalam
bentuk pernyataan yang kemudian ditandatangani petugas dari usaha dan atau kegiatan
atau mereka menulis jawaban dan menandatanganinya;
290
2). Mencatat jawaban seakurat mungkin;
3). Menghindari penggunaan waktu seluruhnya hanya untuk mencatat jawaban dari petugas
yang diwawancarai.
c. Lain-lain
1). Tidak menjanjikan suatu perlindungan atau kerahasiaan terhadap jawaban yang akan
diberikan;
2). Jika memungkinkan, tidak melakukan wawancara di depan umum;
3). Mencatat nama, jabatan, dan cara menghubungi petugas yang akan diwawancarai jika nanti
diperlukan data lebih lanjut;
4). Tidak menjelaskan kemungkinan penegakan hukum setelah kegiatan pengawasan
dilakukan;
5). Mewaspadai terhadap kemungkinan adanya bukti yang diungkapkan dalam jawaban
pertanyaan;
6). Jika wawancara dilakukan oleh Pejabat Pengawas, usahakan adanya pembagian bahan
pertanyaan yang jelas, tidak tumpang tindih dan tidak berebutan;
7). Tidak berkata atau bersikap mengancam dan mengindoktrinasi pihak yang diwawancara;
8). Menekankan bahwa yang terpenting disini adalah kebenaran, data, dan fakta;
9). Memahami keterbatasan wewenang dari petugas yang diwawancarai;
10). Menjaga pembagian waktu dengan konsisten.
5. Pengambilan Sampel:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel pada kegiatan pengawasan lingkungan
hidup antara lain:
a. Mencatat kode sampel, titik pengambilan sampel, waktu (tanggal dan jam), kondisi cuaca dan
lainnya yang selanjutnya dimasukkan dalam Berita Acara Pengambilan Sampel;
b. Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak dibuat Berita Acara Penolakan;
c. Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menandatangani Berita Acara
Penolakan, maka Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dapat meminta bantuan yang berwajib
agar penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menandatangani Berita Acara Penolakan
tersebut;
d. Pelajari hal-hal yang berkaitan dengan pedoman pengambilan sampel (teknis, mekanisme,
peralatan dan lain-lain).
6. Pengambilan Gambar/Foto/Video
Pemotretan (pengambilan gambar baik dengan foto maupun video) merupakan bagian dari
pengumpulan informasi/data dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup.
a. Foto:
Foto-foto yang tajam dan tepat akan bernilai sebagai bukti mengenai kondisi penaatan lingkungan
dari usaha dan atau kegiatan pada saat pengawasan dilakukan. Hal-hal yang harus dilakukan
adalah:
1). Dalam melakukan pemotretan, dapat memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan;
2). Jika penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak pengambilan foto, dibuat Berita
Acara Penolakan;
3). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menandatangani Berita Acara
Penolakan maka Pejabat Pengawas dapat meminta bantuan pihak berwajib untuk meminta
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menandatangani Berita Acara Penolakan;
4). Semua foto harus dicetak;
5). Objek yang dipotret harus menggambarkan kondisi yang senyatanya;
6). Menghindari pemotretan di lokasi-lokasi yang berbahaya ( eksplosif atau bertegangan tinggi);
7). Menyimpan foto dengan menggunakan sistem katalog atau logbook yang berisikan informasi
sebagai berikut:
- Nama dan tanda tangan pemotret dan saksinya;
- Tanggal dan jam pemotretan;
- Kondisi cuaca;
- Lokasi;
- Uraian singkat mengenai obyek yang dipotret;
- Jenis kamera yang digunakan.
8). Masukkan ke dalam logbook dan diberi identifikasi numerik atau nomor urut untuk
mempermudah pencetakan ulang.
b. Video:
1). Dalam pengambilan video dapat memberitahukan terlebih dahulu kepada penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan;
2). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak, dibuat Berita Acara Penolakan;
3). Apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menolak menadatangani Surat
Pernyataan Penolakan, maka Pejabat Pengawas membuat dan menandatangani Berita
Acara Penolakan tersebut;
4). Gunakan video tersebut hanya di tempat-tempat yang aman untuk mengoperasikannya;
5). Tetap gunakan buku catatan lapangan untuk menghindari terjadinya masalah rekaman video;
6). Jika perlu, rekamlah obyek video yang menarik ketika ditayangkan di televisi.
291
c. Gambar dan Peta:
1). Membuat sketsa lokasi pengawasan usaha dan atau kegiatan;
2). Menelaah gambar teknik, diagram alir proses, grafik, bagan-bagan, diagram, maupun peta-
peta;
3). Memeriksa gambar dan peta yang disajikan secara sederhana dan bebas rincian yang tidak
diperlukan;
4). Memeriksa skala ukuran dan arah kompas;
5). Menggabungkan (over lay) letak posisi dengan sampel, foto, dan dokumen lain untuk
mendapatkan barang bukti yang akurat.
7. Dokumentasi
Pejabat pengawas wajib mendokumentasikan seluruh data dan informasi yang diperoleh dari
pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup secara rinci, sistematis (dikelompokkan berdasarkan
jenisnya), dan jelas ( dilengkapi dengan catatan berkenaan dengan waktu, tempat/sumber, informasi
diperoleh). Dokumentasi berupa hasil wawancara, foto/gambar, hasil analisa sampel.
a. Buku Catatan Lapangan
1). Mencatat seluruh kegiatan di lapangan secara urut, rinci dan akurat;
2). Berisi fakta-fakta dan pengamatan yang sesuai;
3). Catatan ditulis secara obyektif, faktual, dan bebas dari pendapat pribadi dan terminologi
yang tidak tepat;
4). Hal lain yang dapat dicatat:
a). Pengamatan terhadap kondisi kegiatan di lapangan yang dapat digunakan dalam
penyusunan laporan dan dapat memvalidasi bukti-bukti yang harus dicatat;
b). Checklist dokumen dan foto yang harus dikumpulkan;
c). Kondisi dan permasalahan yang spesifik;
d). Informasi umum seperti nama dan jabatan dari petugas usaha dan atau kegiatan,
kegiatan yang dilakukan serta kondisi cuaca (cerah, berawan hujan).
b. Barang Cetakan
1). Terdiri atas brosur, hard copy dari dokumen di komputer, literatur, label, dan dokumen lainnya
yang berkaitan dengan kondisi dan operasi dari usaha dan atau kegiatan;
2). Minta izin penanggung jawab usaha dan atau kegiatan jika akan melakukan penggandaan
dari dokumen-dokumen yang ada;
3). Semua salinan harus diparaf dan diberi tanggal untuk mempermudah identifikasi;
4). Jika fotocopy tidak memungkinkan atau tidak praktis, maka pemotretan close-up dapat
dilakukan untuk mendapatkan salinan data.
c. Salinan Catatan
1). Semua data harus disimpan dalam suatu sistem tertulis, cetakan maupun dalam komputer
dan mikro film;
2). Guna mempermudah pengambilan data untuk kepentingan pengadilan, setiap data harus
jelas teridentifikasi sejak data dikumpulkan di lapangan dengan informasi sebagai berikut:
nomor/kode data, tanggal pengambilan data, nama usaha dan atau kegiatan.
d. Data Rahasia
1). Temuan pengawasan di lapangan yang mengarah kepada penegakan hukum, maka semua
data bersifat rahasia dan tidak dapat didiskusikan dengan usaha dan atau kegiatan;
2). Data lapangan sebenarnya adalah untuk umum, tetapi jika penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan meminta kepada pengawas agar data ini dirahasiakan, dengan disertai dengan
alasan yang jelas, seperti informasi yang berkaitan dengan rahasia proses produksi usaha
dan atau kegiatannya;
3). Data rahasia harus disimpan dengan terpisah dan hanya petugas berwenang yang dapat
mengakses atau melihatnya;
4). Pejabat pengawas harus menjaga agar seluruh data dari lapangan tidak diperlihatkan kepada
pihak lain yang tidak berkepentingan dan disimpan dengan baik serta tidak dapat
dipublikasikan.
8. Pertemuan Penutup
Untuk mencapai pengawasan yang efektif, pejabat pengawas harus menyampaikan temuan lapangan
kepada wakil dari usaha dan atau kegiatan. Jika memungkinkan, bandingkan temuan tersebut dengan
persyaratan izin pembuangan limbah/emisi, ketentuan baku mutu lingkungan dan ketentuan lainnya.
Hal-hal yang harus dicegah dalam pembicaraan ini adalah:
1). Tidak mendiskusikan status penaatan lingkungan terhadap penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan, dampak yuridis atau dampak penegakan hukum terhadap usaha dan atau kegiatan;
2). Tidak merekomendasikan pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan, walaupun
diminta.
292
VII. EVALUASI
Sebelum membuat laporan pengawasan, Pejabat Pengawas harus melakukan pemeriksaan kembali data dan
fakta yang diperoleh di lapangan apakah sudah lengkap sesuai dengan pedoman umum pelaksanaan
pengawasan.
VII. PELAPORAN
Setelah melakukan pengawasan terhadap setiap usaha dan atau kegiatan, Pejabat Pengawas wajib segera
membuat dan menyampaikan laporan pengawasan kepada pejabat pemberi tugas. Laporan pengawasan
lingkungan hidup memuat informasi/data yang dikumpulkan dari hasil pengawasan yang dikelola dan diatur
sehingga dapat digunakan secara optimal dalam upaya penegakan hukum atau peningkatan kinerja pengelolaan.
Informasi yang disajikan dalam laporan pengawasan harus memperhatikan beberapa hal berikut:
a. Disajikan secara jelas dan sistematis.
b. Harus akurat, aktual dan faktual dan didasarkan pada hasil pengawasan lingkungan hidup serta merupakan
hasil yang dapat diverifikasi oleh pihak yang ahli.
c. Harus difokuskan pada tujuan pengawasan, sedangkan data/informasi yang tidak berkaitan akan
membingungkan dan mengurangi kejelasan dan manfaat dari laporan tersebut.
d. Bukan merupakan pendapat, pandangan dan asumsi-asumsi pribadi pejabat pengawas lingkungan hidup
yang bersangkutan.
e. Harus didukung dengan data dan atau bukti akurat dan faktual.
f. Dokumen pendukung seperti foto, berita acara, dokumen sampling dan sebagainya yang menyertai laporan
pengawasan lingkungan hidup harus disebutkan dengan jelas.
g. Untuk mendapatkan laporan yang baik, gunakan gaya penulisan laporan sebagai beriktut:
1. Tulis laporan secara sederhana, hindari bahasa yang sulit dimengerti;
2. Gunakan bahasa aktif bukan pasif (misalnya mengambil sampel, bukan sampel di ambil);
3. Usahakan agar isinya singkat dan langsung kepada pokok permasalahan;
4. Hindari pengulangan;
5. Perbaiki dan koreksi isi laporan secara cermat.
293
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 56 Tahun 2002
Tentang : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas
Tanggal : 16 Agustus 2002
A. FORMAT LAPORAN PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
LAPORAN
PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Secara umum laporan pengawasan penaatan lingkungan hidup terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
a. Pendahuluan:
1). Latar Belakang:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi yang spesifik tentang latar belakang dilaksanakannya
pengawasan terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan ke dalam Laporan Pelaksanaan
Pengawasan Lingkungan Hidup.
2). Tujuan Pelaksanaan Pengawasan:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi tentang tujuan dilaksanakannya pengawasan lingkungan
hidup terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan ke dalam Laporan Pelaksanaan Pengawasan
Lingkungan Hidup secara jelas.
b. Kegiatan Lapangan:
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas selama melakukan pengawasan di lapangan.
c. Fakta dan Temuan di Lapangan:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi tentang fakta dan temuan selama dilaksanakan pengawasan
lingkungan hidup dengan melampirkan data pendukungnya.
d. Analisis Yuridis/Ketaatan:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi hasil analisis fakta dan temuan di lapangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
e. Kesimpulan dan Saran Tindak Lanjut:
Informasi yang dituangkan merupakan informasi yang singkat dan jelas tentang hasil pengawasan yang disertai
dengan usulan langkah tindak lebih lanjut.
f. Lampiran:
(1). Salinan Data
Data-data yang dibuat dalam pelaksanaan Pengawasan Lingkungan Hidup yang tercantum dalam
Lampiran I pada Keputusan ini, dilampirkan dalam laporan pengawasan lingkungan hidup.
(2). Salinan Berita Acara:
a. Setiap tahap kegiatan pengawasan;
b. Penolakan setiap tahap kegiatan pengawasan;
(3). Informasi Tambahan/Penunjang
a. Informasi tambahan berupa memorandum rutin kegiatan pengawasan lingkungan hidup atau
laporan lainnya jika terdapat adanya indikasi ketidaktaatan.
b. Dokumen penunjang seperti: foto, film, perizinan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, UKL/
UPL.
294
B. RINGKASAN LAPORAN PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
RINGKASAN LAPORAN
PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian A Data Perusahaan
Nama dan Alamat Perusahaan Tanggal Pengawasan jam
Tanggal Selesai Pengawasan
Jenis Usaha Kegiatan:
Penanggung Jawab Perusahaan: Jabatan: No. Telepon:
Pendamping dari Perusahaan: Jabatan: No. Telepon:
Bagian B Hal-Hal Yang Di Evaluasi Selama Pengawasan
(E=Dievaluasi, TE=Tidak Dievaluasi)
Umum Pengendalian Pencemaran Pengendalian Pencemaran
Air dan atau Perusakan Laut
Pengendalian Pencemaran PL Padat dan B3 Peraturan Lainnya
Udara
Pengendalian Kerusakan Kebakaran Hutan dan
Tanah Untuk Produksi Lahan
Biomassa
Ringkasan Temuan Lapangan
Saran Tindak Lanjut
Nama Pejabat Pengawas yang bertanggung jawab Jabatan
Tanda Tangan Pejabat Pengawas No. Telepon Dihubungi
Ya Tidak
Tanda Tangan Pejabat Pengawas Tanggal:
295
Lampiran III : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 56 Tahun 2002
Tentang : Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas
Tanggal : 16 Agustus 2002
A. FORMAT BERITA ACARA PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
BERITA ACARA
PENGAWASAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Pada hari ini,............tanggal...........bulan............................tahun.............., pukul........WIB, di.........................Kabupaten/
Kota..............................., Propinsi........................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : ........................................................................................................
Pangkat/Gol : ........................................................................................................
Jabatan : ........................................................................................................
No. PPLH : ........................................................................................................
2. Nama : ........................................................................................................
Pangkat/Gol : ........................................................................................................
Jabatan : ........................................................................................................
No. PPLH : ........................................................................................................
3. Nama : ........................................................................................................
Pangkat/Gol : ........................................................................................................
Jabatan : ........................................................................................................
No. PPLH : ........................................................................................................
Masing-masing dari Kantor .........................................., ....................................., dan................................., telah melakukan
Pengawasan Lingkungan Hidup terhadap ....................................... melalui kegiatan sebagai berikut:
1. ...................................................................................................
2. ...................................................................................................
3. dst.
Dari pengawasan tersebut di atas telah ditemukan fakta-fakta:
1. ....................................................................................................
2. ....................................................................................................
3. dst.
Pelaksanaan dan temuan fakta-fakta pengawasan penaatan lingkungan hidup ini diketahui dan dibenarkan oleh
pihak perusahaan:
1. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
2. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
Demikian Berita Acara Pelaksanaan Pengawasan Lingkungan Hidup pada lokasi .............................................................dan
sekitarnya dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Yang melakukan Pengawasan
1. ................................... ...............................
2. ................................... ...............................
3. ................................... ...............................
Pihak Perusahaan
1. ............................................................ .................................................................
2. ............................................................ .................................................................
3. ............................................................ .................................................................
Saksi-saksi
1. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
296
B. FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PELAKSANAAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
BERITA ACARA
PENOLAKAN PELAKSANAAN PENGAWASAN
LINGKUNGAN HIDUP
Pada hari ini, ......................tanggal........................bulan .....................tahun ......................, pukul ................WIB, di
......................................Kabupaten/Kota..............................., Propinsi .............................., kami yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Bertindak untuk dan atas nama ..........................................................................menolak kedatangan Tim Pengawas
Lingkungan Hidup dan atau menentang pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup oleh Tim Pengawas Lingkungan
Hidup yang terdiri dari:
1. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Penolakan dilakukan dengan alasan:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ..........................................................................................................................................
Demikian Pernyataan Penolakan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Tanda Tangan PPLH:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ..........................................................................................................................................
Saksi-saksi
1. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
297
C. FORMAT BERITA ACARA PENGAMBILAN SAMPEL
BERITA ACARA PENGAMBILAN SAMPEL
Pada hari ini,..................... tanggal .......................... bulan ...........................tahun ............., pukul ...............WIB, di
................................Kabupaten/Kota ..........................Propinsi ........................................., kami yang bertanda tangan di
bawah ini:
1. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Masing-masing dari Kantor ................................................................................................................................................................dan
......................................................................................., telah melakukan Pengambilan Sampel di lokasi
........................................................................................
Uraian singkat pengambilan sampel sebagai berikut:
1. Sampel yang diambil merupakan sampel Cair/Padat/Sludge/Gas*)
2. Deskripsi Sampel:
No. Kode Sampel Jenis Sampel Metoda Sampling Lokasi Parameter Uji Keterangan
3. Keterangan lain
Pengambilan Sampel disaksikan dan diketahui oleh pihak perusahaan:
1. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
2. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
3. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
Demikian Berita Acara Pengambilan Sampel pada lokasi ..............................................dan sekitarnya dibuat dengan
sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Yang mengambil sampel:
1. ............................................................ .................................................................
2. ............................................................ .................................................................
3. ............................................................ .................................................................
Saksi-saksi
1. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
298
D. FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PENGAMBILAN SAMPEL
BERITA ACARA PENOLAKAN PENGAMBILAN SAMPEL
Pada hari ini, ......................tanggal........................bulan .....................tahun ......................, pukul................WIB, di Kabupaten/
Kota..............................., Propinsi .............................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Bertindak untuk dan atas nama ..........................................................................menolak pelaksanaan pengambilan sampel
oleh Tim Pengawas Lingkungan Hidup yang terdiri dari:
1. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Penolakan dilakukan dengan alasan:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ..........................................................................................................................................
Demikian Pernyataan Penolakan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Tanda Tangan PPLH:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ..........................................................................................................................................
Saksi-saksi
1. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
299
E. FORMAT BERITA ACARA PENYERAHAN SAMPEL
BERITA ACARA PENYERAHAN SAMPEL
Pada hari ini........................................tanggal..........................bulan..........................tahun......... pukul............WIB, di
.....................................Kabupaten/Kota.........................................Propinsi ................................, kami yang bertanda tangan
di bawah ini:
Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Telah menyerahkan kepada:
Nama :
Pekerjaan :
Pangkat/Gol :
No. PPLH :
Laboratorium:
Barang-barang berupa sampel cair/padat/sludge/gas*) sebanyak ...................(...................) kotak dengan penyegelan,
masing-masing seberat .................(.................) gram/kilogram/ton/........*) dengan kode dan diskripsi sampel sebagai
berikut:
No. Kode Sampel Jenis Sampel Metoda Sampling Lokasi Parameter Uji Keterangan
Penyerahan disaksikan oleh:
1. Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
Demikian Berita Acara Penyerahan Sampel ini dibuat dengan sebenarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Yang menerima, Yang menyerahkan,
(....................................) (............................................)
*) Diisi dengan jenis dan satuan berat/volume sampel
300
F. FORMAT BERITA ACARA PENGAMBILAN FOTO/VIDEO
BERITA ACARA PENGAMBILAN FOTO/VIDEO
Pada hari ini, ...................tanggal.................................bulan..............., tahun....................., pukul................WIB, di
..........Kabupaten/Kota..........................Propinsi ..........................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Masing-masing dari Kantor ........................., ...........................................dan ......................., telah melakukan Pengambilan
Foto/Video di lokasi:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ...................................................................................................................................,dst.
Pengambilan Foto/Video disaksikan dan diketahui oleh pihak perusahaan:
1. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
2. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
3. Nama : ....................................................................................................................
Jabatan : ....................................................................................................................
Alamat : ....................................................................................................................
Demikian Berita Acara Pengambilan Foto/Video di lokasi ...........................................dan sekitarnya dibuat dengan sebenar-
benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Yang mengambil Foto/Video:
1. ............................................................ .................................................................
2. ............................................................ .................................................................
3. ............................................................ .................................................................
Saksi-saksi
1. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
301
G. FORMAT BERITA ACARA PENOLAKAN PENGAMBILAN FOTO/VIDEO
BERITA ACARA PENOLAKAN PENGAMBILAN FOTO/VIDEO
Pada hari ini ..............tanggal ...................bulan...................tahun..............., pukul.........WIB, di Kabupaten/
Kota.........................Propinsi............................., kami yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Bertindak untuk dan atas nama ............................................menolak pelaksanaan pengambilan Foto/Video oleh Tim
Pengawas Lingkungan Hidup yang terdiri dari:
1. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pangkat/Gol : ..............................................................................................................
Jabatan : ..............................................................................................................
No. PPLH : ..............................................................................................................
Di lokasi:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ..........................................................................................................................................
Penolakan dilakukan dengan alasan:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ..........................................................................................................................................
Demikian Pernyataan Penolakan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan mengingat Sumpah Jabatan.
Tanda tangan PPLH:
1. ..........................................................................................................................................
2. ..........................................................................................................................................
3. ..........................................................................................................................................
Saksi-saksi
1. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
2. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
3. Nama : ..............................................................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................................................
Alamat : ..............................................................................................................
Tanda Tangan : ..............................................................................................................
Menteri Negara Lingkungan Hidup
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
302
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 57 TAHUN 2002
TENTANG
TATA KERJA PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP
DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Kementerian Negara Lingkungan
Hidup;
b. bahwa dalam Pasal 56A, Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup dialihkan ke Menteri Lingkungan Hidup
c. bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Negara Lingkungan Hidup
tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Kementerian Negara Lingkungan
Hidup;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Lembaga Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699 );
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
5. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 2 Tahun 2002;
6. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri
Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002;
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah;
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Lingkungan Hidup.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN TATA KERJA PEJABAT
PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Pengawasan penaatan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung
oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
2. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup adalah pegawai negeri sipil di Kementerian Lingkungan Hidup yang
memenuhi persyaratan dan diangkat oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
3. Pengumpulan bahan keterangan adalah kegiatan mengumpulkan data dan informasi yang terkait dengan ketaatan
suatu usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
303
BAB II
KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG
PEJABAT PENGAWAS
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 2
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup berkedudukan pada seluruh unit kerja Kementerian Lingkungan Hidup.
(2) Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup berada di bawah
koordinasi Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi.
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 3
Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mempunyai tugas untuk melakukan
pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Wewenang
Pasal 4
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup berwenang:
a. memantau usaha dan atau kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
b. meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang
dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau pengendalian kerusakan lingkungan hidup;
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
hidup;
e. mengambil contoh (sample) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan;
f. memeriksa peralatan dan atau instalasi yang digunakan untuk pengendalian pencemaran dan atau pengendalian
kerusakan lingkungan;
g. memeriksa alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan dan atau mengangkut limbah dan atau bahan
kimia lainnya;
h. meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan.
Pasal 5
Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
mempunyai lingkup wilayah kerja:
a. usaha dan atau kegiatan yang lokasi dan dampak lingkungannya bersifat lintas propinsi;
b. usaha dan atau kegiatan yang pengawasannya tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah propinsi;
c. usaha dan atau kegiatan dan dampak lingkungan yang bersifat lintas batas negara;
d. usaha dan atau kegiatan yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3);
e. usaha dan atau kegiatan yang keputusan kelayakan lingkungannya diberikan oleh Komisi AMDAL Pusat;
f. usaha dan atau kegiatan dan dampak lingkungannya berada di lingkungan laut di luar 12 mil;
BAB III
KEWAJIBAN
Pasal 6
Setiap Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib untuk:
a. mengenakan tanda pengenal yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
b. membawa dan menunjukkan surat penugasan pelaksanaan pengawasan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang;
c. memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tempat pengawasan;
d. mengikuti prosedur pengawasan yang diatur dalam pedoman umum dan pedoman teknis pelaksanaan
pengawasan lingkungan hidup;
e. melakukan koordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangan lingkup wilayah kerja berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. membuat berita acara pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup;
g. membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Negara Lingkungan
Hidup melalui Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi.
304
BAB IV
IDENTITAS PEJABAT PENGAWAS
Bagian Pertama
Tanda Pengenal
Pasal 7
(1) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(2) Masa berlakunya tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu tiga tahun, terhitung
mulai tanggal dikeluarkan;
(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang kembali sepanjang yang bersangkutan
masih menjadi pejabat pengawas lingkungan hidup di Kementerian Lingkungan Hidup;
(4) Perpanjangan tanda pengenal pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diajukan selambat-
lambatnya dalam waktu dua minggu sebelum berakhir masa berlakunya oleh Deputi Bidang Pengendalian
Dampak Lingkungan Sumber Institusi kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Bagian Kedua
Surat Penugasan
Pasal 8
(1) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup dikeluarkan oleh Deputi Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumber Institusi;
(2) Penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup di luar unit kerja Deputi Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumber Institusi, dilakukan setelah berkoordinasi dan memberitahukan pimpinan pejabat pengawas
lingkungan hidup yang bersangkutan;
(3) Format surat penugasan dan pemberitahuan adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.
BAB V
PELAKSANAAN
PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 9
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup dilantik oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(2) Pejabat pengawas lingkungan hidup yang telah dilantik wajib melaksanakan pengawasan lingkungan hidup
sesuai dengan kewenangan dan lingkup wilayah kerjanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 10
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup menetapkan prioritas pengawasan dengan mempertimbangkan:
a. potensi dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan;
b. kewenangan dan ruang lingkup wilayah kerja berdasakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. kemampuan sumber daya kelembagaan yang meliputi sumber daya manusia, sumber pendanaan, sarana
dan prasarana pendukung lainnya sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku seperti peralatan teknis
pengawasan, dan lain-lain.
(2) Berdasarkan target prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pejabat pengawas lingkungan
hidup melakukan pengawasan lingkungan hidup secara berkala atau sewaktu-waktu untuk menentukan status
kepatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) menunjukkan ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup, maka dilakukan pembinaan secara berkala dan terprogram untuk lebih meningkatkan kinerja pengendalian
dampak lingkungan.
(2) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) menunjukkan ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka pejabat pengawas mengusulkan
kepada pejabat yang memberikan penugasan untuk dilakukan pembinaan teknis agar tercapai ketaatan terhadap
peraturan di bidang lingkungan.
Pasal 12
(1) Apabila pembinaan teknis sebagaimana dimaksud Pasal 11 aya (2) tidak efektif dan dari 2 (dua) kali pengawasan
berikutnya menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup, dapat dilakukan
pengumpulan bahan keterangan dalam rangka penegakan hukum lingkungan.
(2) Hasil pengumpulan bahan keterangan dapat ditindaklanjuti dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. memberikan saran tindak kepada kepala badan/pimpinan instansi pemberi izin usaha atau kegiatan untuk
dikenakan sanksi pencabutan izin;
b. memberikan saran tindak kepada Gubernur atau Bupati/Walikota setempat untuk melakukan paksaan
pemerintahan;
305
c. memberikan saran tindak penyelesaian secara perdata di pengadilan atau di luar pengadilan;
d. memberikan saran tindak penyelesaian melalui penegakan hukum pidana.
Pasal 13
Pejabat pengawas lingkungan hidup wajib melakukan pengelolaan data hasil pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) secara baik dan terkoordinasi.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 14
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup dalam menjalankan tugasnya wajib untuk menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan pengawasan kepada Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi untuk
diteruskan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.
(2) Hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib segera dilaporkan setelah
pelaksanaan pengawasan selesai dilakukan.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 15
Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup secara teknis dan administrasi dilakukan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Pasal 16
Pengembangan sumber daya manusia bagi pejabat pengawas lingkungan hidup dilakukan oleh Deputi Bidang
Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Deputi Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup, dan Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi melalui
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang terprogram, terencana dan terkoordinasi.
Pasal 17
Dalam rangka pembinaan karier pejabat pengawas lingkungan hidup dibentuk jabatan fungsional.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 18
Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber biaya lainnya yang sah.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum dan Kepegawaian
ttd
Nadjib Dahlan,SH.
306
Lampiran : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 57 Tahun 2002
Tentang : Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Kementerian Lingkungan Hidup
Tanggal : 16 Agustus 2002
SURAT PENUGASAN
Nomor : SP- ..............................................
Menimbang : bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.
Mengingat : 1. Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
2. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara;
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Daerah;
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 tentang Struktur dan Organisasi
Kementerian Negara Lingkungan Hidup;
MENUGASKAN
1. Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
2. Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
Untuk : 1. Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NC ..............atas
ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.
2. Batas waktu penugasan dari tanggal .........................s/d tanggal........................
3. Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan
hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan.
Dikeluarkan di : Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
Deputi MENLH Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumber Institusi.
Yang menerima tugas.
1. (.......................................) (.................................................)
2. (.......................................)
307
Lampiran : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 57 Tahun 2002
Tentang : Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Kementerian Lingkungan Hidup
Tanggal : 16 Agustus 2002
SURAT PEMBERITAHUAN
Nomor : SP - ......................................................
Kepada Yth. Sdr. Deputi/Pimpinan................
......................................................
......................................................
Menimbang : bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.
Mengingat : 1. Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
2. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
108 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara;
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah;
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2002 tentang Struktur dan
Organisasi Kementerian Negara Lingkungan Hidup;
MEMBERITAHUKAN
1. Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
2. Nama : ......................................................................................................
No. PPLH : ......................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ......................................................................................................
Untuk : 1. Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NV ...................
............atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup.
2. Batas waktu penugasan dari tanggal ...........................s/d......................
3. Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan
hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan.
Demikian diberitahukan, atas kerjasamanya diucapkan terima kasih.
Dikeluarkan : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
Deputi MENLH Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan Sumber Institusi,
(..................................................................)
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum dan Kepegawaian
ttd
Nadjib Dahlan,SH.
308
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 58 TAHUN 2002
TENTANG
TATA KERJA PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP
DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Daerah Propinsi/Kabupaten/
Kota;
b. bahwa dalam Pasal 56 A, Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dialihkan ke Menteri Negara Lingkunga Hidup;
c. bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Daerah Propinsi/Kabupaten/
Kota.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom ( Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
4. Keputusan Presiden RI Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
5. Keputusan Presiden RI Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002;
6. Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 4 Tahun 2002;
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA KERJA PEJABAT
PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pengawasan lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung
atau tidak langsung oleh pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota untuk mengetahui
tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang lingkungan hidup;
2. Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota adalah pegawai negeri sipil yang berada di
badan/instansi yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota yang telah memenuhi persyaratan
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah dan diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
3. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
4. Kepala Badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota adalah kepala badan/
pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan di propinsi/kabupaten/
kota.
309
BAB II
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP
DI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA
Bagian Pertama
Kedudukan
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/
Walikota melalui Kepala badan/instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota;
(2) Pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di unit kerja teknis operasional badan
instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 4
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan
terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Kewenangan Pejabat Pengawas
Paragraf I
Umum
Pasal 5
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/
kabupaten/kota mempunyai wewenang:
a. memantau usaha dan atau kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
b. meminta keterangan dari pihak penanggung jawab usaha dan atau kegiatan mengenai upaya-upaya yang
dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
hidup;
e. mengambil contoh (sample) pada titik-titik yang diperlukan pada lokasi usaha dan atau kegiatan;
f. memeriksa peralatan dan atau instalasi yang digunakan untuk pengendalian pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup;
g. memeriksa alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan dan atau mengangkut limbah dan atau bahan
kimia lainnya;
h. meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan atau kegiatan.
Paragraf 2
Kewenangan Pejabat Pengawas Di Daerah Propinsi
Pasal 6
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, mempunyai lingkup wilayah kerja:
a. lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam 1(satu)
propinsi;
b. lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang penanganannya tidak atau belum dapat
dilaksanakan kabupaten/kota;
c. lokasi usaha dan atau kegiatan serta dampak lingkungan yang penanganannya dilimpahkan kepada Gubernur
selaku wakil pemerintah;
d. usaha atau kegiatan yang keputusan kelayakan lingkungan hidup diberikan oleh Komisi AMDAL propinsi
Pasal 7
Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang tidak dapat dilakukan oleh pejabat pengawas
propinsi dapat diserahkan pengawasannya kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup yang didasarkan kepada
Keputusan Gubernur.
Paragraf 3
Kewenangan Pejabat Pengawas Kabupaten/Kota
Pasal 8
Pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota, melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak lingkungan hidup dalam lingkup kabupaten/kota yang
bersangkutan.
310
Pasal 9
Pelaksanaan kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang tidak dapat dilakukan oleh
pejabat pengawas lingkungan kabupaten/kota, dapat diserahkan pengawasannya kepada Gubernur berdasarkan
keputusan Bupati/Walikota.
BAB III
KEWAJIBAN
Pasal 10
Setiap pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota dalam menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, wajib untuk:
a. mengenakan tanda pengenal yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
b. membawa dan menunjukkan surat penugasan pelaksanaan pengawasan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang;
c. memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tempat pengawasan;
d. mengikuti prosedur pengawasan yang diatur dalam pedoman umum dan pedoman teknis pelaksanaan
pengawasan lingkungan hidup;
e. melakukan koordinasi dengan dinas/instansi terkait sesuai dengan kewenangan, lingkup wilayah kerja, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. membuat berita acara pelaksanaan pengawasan lingkungan hidup;
g. membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada pejabat yang berwenang
mengeluarkan surat penugasan.
BAB IV
IDENTITAS PEJABAT PENGAWAS
Bagian Pertama
Tanda Pengenal
Pasal 11
(1) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi dikeluarkan oleh Kepala badan/instansi yang
bertanggung jawab di propinsi atas nama Gubernur;
(2) Tanda pengenal pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota dikeluarkan oleh Kepala badan/Pimpinan
instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota atas nama Bupati/Walikota.
Pasal 12
(1) Masa berlakunya tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk jangka waktu tiga tahun,
terhitung mulai tanggal dikeluarkan.
(2) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang kembali sepanjang yang bersangkutan
masih menjadi pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota.
(3) Perpanjangan tanda pengenal pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diajukan selambat-
lambatnya dalam waktu dua minggu sebelum berakhir masa berlakunya oleh Kepala badan/instansi yang
membawahkan pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota kepada Kepala badan/instansi
yang bertanggung jawab di propinsi/kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Surat Penugasan
Pasal 13
(1) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi dikeluarkan oleh Kepala badan/instansi yang
bertanggung jawab propinsi atas nama Gubernur.
(2) Surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota dikeluarkan oleh Kepala badan/Pimpinan
instansi yang bertanggung jawab kabupaten/kota atas nama Bupati/Walikota.
Pasal 14
Format surat penugasan pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota sebagaimana tercantum
dalam lampiran keputusan ini.
BAB V
PELAKSANAAN
PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 15
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota yang telah dilantik melaksanakan pengawasan
sesuai dengan kewenangan dan lingkup wilayah kerja masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
311
Pasal 16
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota menetapkan prioritas pengawasan dengan
mempertimbangkan:
a. potensi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan;
b. kewenangan dan lingkup wilayah kerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. kemampuan sumber daya kelembagaan yang meliputi sumber daya manusia, sumber pendanaan, sarana,
dan prasarana pendukung lainnya.
(2) Berdasarkan prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat pengawas lingkungan hidup
di propinsi/kabupaten/kota melakukan kegiatan pengawasan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
dipandang perlu untuk menentukan status ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Pasal 17
(1) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup, maka dilakukan pembinaan secara berkala dan terprogram untuk lebih meningkatkan kinerja pengendalian
dampak lingkungan oleh unit kerja yang bertanggung jawab.
(2) Apabila dari hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, maka dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. mengusulkan kepada pejabat yang memberi penugasan untuk memberikan peringatan dan atau teguran
berdasarkan kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. memberikan saran tindak kepada badan/Pimpinan instansi pemberi izin usaha dan atau kegiatan untuk
dilakukan pencabutan izin;
c. memberikan saran tindak kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk melakukan paksaan pemerintahan;
d. memberikan saran tindak penyelesaian secara perdata di pengadilan atau di luar pengadilan apabila terdapat
konflik antara masyarakat dengan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan akibat dampak lingkungan
yang ditimbulkannya;
e. memberikan saran tindak penyelesaian melalui tindakan hukum pidana.
Pasal 18
Pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota melakukan pengelolaan data hasil pelaksanaan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) secara baik dan terdokumentasi.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 19
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan pengawasan kepada Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab daerah propinsi.
(2) Pejabat pengawas lingkungan hidup kabupaten/kota dalam menjalankan tugasnya wajib untuk menyampaikan
laporan hasil pelaksanaan pengawasan kepada Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di
kabupaten/kota.
(3) Laporan hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) segera dilaporkan
setelah selesai pelaksanaan pengawasan.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 20
(1) Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi secara administratif dilakukan oleh Gubernur dan
secara teknis dilakukan oleh Kepala badan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di propinsi.
(2) Pembinaan pejabat pengawas lingkungan hidup di kabupaten/kota secara administratif dilakukan oleh Bupati/
Walikota dan secara teknis dilakukan oleh Kepala dan/Pimpinan instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/
kota.
Pasal 21
Pengembangan sumber daya manusia bagi pejabat pengawas lingkungan hidup di propinsi/kabupaten/kota dilakukan
oleh Instansi Pendidikan dan Pelatihan di Propinsi/Kabupaten/Kota bekerja sama dengan Deputi Bidang Pembinaan
Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup melalui pelaksanaan dan pelatihan yang terprogram, terencana dan
terkoordinasi.
Pasal 22
Dalam rangka pembinaan karier pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota dapat dibentuk jabatan
fungsional.
312
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 23
Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup propinsi/kabupaten/kota
dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) propinsi dan sumber biaya lainnya untuk pejabat pengawas
lingkungan hidup daerah propinsi;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan sumber biaya lainnya untuk pejabat
pengawas lingkungan hidup kabupaten.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Agustus 2002
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum dan Kepegawaian,
ttd
Nadjib Dahlan, SH.
313
Lampiran : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 58 Tahun 2002
Tentang : Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Di Propinsi/Kabupaten/Kota
Tanggal : 16 Agustus 2002
SURAT PENUGASAN
Nomor : SP-................................................
Menimbang : bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan hidup, maka perlu dikeluarkan Surat Penugasan.
Mengingat : 1. Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
2. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
108 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Menteri Negara;
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
MENUGASKAN
1. Nama : ............................................................................................................
No. PPLH : ............................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ............................................................................................................
2. Nama : ............................................................................................................
No. PPLH : ............................................................................................................
Jabatan : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Dinas/Instansi : ............................................................................................................
Untuk : 1. Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab PT/CV/NV...................atas
ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.
2. Batas waktu penugasan dari tanggal ...............s/d tanggal............
3. Melaksanakan penugasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dan melaporkan
hasilnya setelah pelaksanaan pengawasan.
Dikeluarkan di: ...........................................
Pada tanggal : ...........................................
a.n Kepala Badan/Pimpinan Instansi yang
bertanggung jawab di Propinsi/Kabupaten/
Kota
(............................................................................)
Yang menerima tugas,
1. (........................................)
2. (........................................)
3. (........................................)
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum dan Kepegawaian,
ttd
Nadjib Dahlan, SH.
314
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 07 TAHUN 2001
TENTANG
PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAN PEJABAT PENGAWAS
LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dipandang perlu menetapkan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang berwenang melakukan pengawasan penaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Daerah;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
4. Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEJABAT PENGAWAS
LINGKUNGAN HIDUP DAN PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui
tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Pejabat pengawas lingkungan hidup adalah pegawai negeri sipil yang berada pada Instansi yang bertanggung
jawab yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Menteri;
3. Pejabat pengawas lingkungan hidup daerah adalah pegawai negeri sipil yang berada pada Instansi yang
bertanggung jawab daerah yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota;
4. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
5. Sekretaris Menteri adalah Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup;
6. Sekretaris Utama adalah Sekretaris Utama Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
8. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan;
10. Instansi yang bertanggung jawab daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
dampak lingkungan hidup daerah atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan
hidup daerah.
BAB II
MEKANISME DAN PERSYARATAN PENGANGKATAN PEJABAT PENGAWAS
Pasal 2
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab diangkat oleh Menteri.
(2) Dalam pelaksanaan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Menteri mendelegasikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung
jawab.
315
Pasal 3
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
(2) Pengusaha pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diajukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan
tembusan disampaikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 4
Syarat-syarat pegawai negeri sipil yang dapat diangkat menjadi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup Daerah adalah yang :
1. berpangkat serendah-rendahnya pengatur tingkat I (Golongan II/d);
2. berpendidikan serendah-rendahnya Sarjana Muda (D3)
3. ditugaskan di bidang teknis operasional pada instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung
jawab daerah;
4. telah mengikuti kursus dasar-dasar AMDAL dan atau kursus dasar-dasar teknis pengelolaan lingkungan hidup;
5. telah mengikuti pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan hidup;
6. berbadan sehat dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Pasal 5
(1) Di dalam surat pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah wajib dicantumkan :
a. nomor, tahun dan undang-undang yang menjadi dasar hukum pemberian kewenangan sebagai Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; dan
b. wilayah kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang
diusulkan
(2) Surat pengusulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilampiri :
a. pasfoto hitam putih dengan ukuran 3 x 4 sebanyak dua buah;
b. fotocopy Surat Keputusan Pangkat terakhir;
c. fotocopy ijazah terakhir dan sertifikat kursus dasar-dasar AMDAL dan atau kursus dasar-dasar teknis
pengelolaan lingkungan hidup;
d. fotocopy sertifikat pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan hidup;
e. surat keterangan dokter yang menyatakan pegawai negeri sipil yang bersangkutan berbadan sehat.
Pasal 6
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah melalui persyaratan tertentu
dapat diusulkan menjadi calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Calon Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Lingkungan Hidup Daerah.
Pasal 7
Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi, Kepala Instansi
yang bertanggung jawab/Gubernur/Bupati/Walikota menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
Pasal 8
(1) Pegawai negeri sipil yang telah diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah diberikan tanda pengenal oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Gubernur/
Bupati/Walikota.
(2) Kartu tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwarna dasar hijau yang memuat :
a. Nama;
b. Nomor Induk Pegawai (NIP);
c. Pangkat/Golongan;
d. Nomor SK Pengangkatan;
e. Jabatan;
f. Masa Berlakunya;
g. Pas foto hitam putih ukuran 3 x 4
Pasal 9
Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup Daerah sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengangkat sumpah/janji dan dilantik oleh pejabat yang
berwenang dari instansi yang bertanggung jawab dan pejabat yang berwenang dari instansi yang bertanggung
jawab daerah.
316
BAB III
MUTASI PEJABAT PENGAWAS
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi mutasi, baik mengenai jabatan maupun wilayah kerja :
a. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, maka pimpinan yang membawahi Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup yang bersangkutan memberitahukan kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan;
b. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Propinsi, maka Kepala Instansi yang bertanggung jawab
daerah Propinsi memberitahukan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan;
c. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota, maka Kepala Instansi yang bertanggung
jawab daerah Kabupaten/Kota memberitahukan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.
(2) Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib segera
melaporkan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 11
Kepala Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan huruf c
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup menerbitkan Surat Keputusan Mutasi.
Pasal 12
Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan huruf c dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan
Surat Keputusan Mutasi.
BAB IV
PEMBERHENTIAN PEJABAT PENGAWAS
Pasal 13
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab diberhentikan oleh
Menteri.
(2) Dalam pelaksanaan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Menteri mendelegasikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung
jawab.
Pasal 14
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
(2) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diajukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan
tembusan disampaikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 15
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberhentikan karena :
a. berhenti sebagai pegawai sipil baik karena pensiun atau berhenti atas permintaan sendiri;
b. atas permintaan sendiri untuk berhenti sebagai pejabat pengawas;
c. melanggar disiplin kepegawaian;
d. mutasi pada instansi lain;
e. mutasi pada unit lain dalam lingkungan instansi atau di luar lingkungan instansi yang bertanggung jawab atau
instansi yang bertanggung jawab daerah sehingga bidang tugasnya menjadi tidak relevan lagi; atau
f. meninggal dunia.
Pasal 16
Dalam hal terjadinya pemberhentian sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Li ngkungan Hidup Daerah, di dal am surat pengusulan pemberhenti an wajib disertakan al asan-alasan
pemberhentiannya.
Pasal 17
Kepala Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya surat pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup menerbitkan
Surat Keputusan Pemberhentian.
Pasal 18
Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak diterimanya surat pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan
Surat Keputusan Pemberhentian.
317
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 19
Pembinaan, bimbingan, pelatihan, dan arahan serta pengawasan pelaksanaan tugas Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab
dan Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah.
Pasal 20
Koordinasi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sehari-harinya dilakukan oleh Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.
Pasal 21
Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah dan Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
PENUTUP
Pasal 22
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 8 Maret 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi III MENLH
Bidang Hukum Lingkungan,
ttd
Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES.
318
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR 27 TAHUN 2001
TENTANG
PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS)
LINGKUNGAN HIDUP DI BAPEDAL
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana lingkungan berdasarkan
pasal 41-48 Undang-Undang No 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diperlukan
penyidikan yang terencana dan terpadu;
b. bahwa Penyidik yang ada di Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan tersebar di beberapa unit
kerja, oleh karena itu pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat berhasil
apabila penyidikan dilakukan oleh satuan tugas penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup
secara terkoordinasi;
c. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas di pandang perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Satuan Tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Lingkungan Hidup di Bapedal;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3910);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3816);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk
Produksi Biomassa (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4068);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4076);
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 178 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi
dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen;
9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 25 Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEMBENTUKAN
SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) LINGKUNGAN HIDUP DI BAPEDAL.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk
melakukan penyidikan;
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut PPNS Lingkungan Hidup adalah
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia
yang tugas dan fungsinya melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan ketentuan Pasal
40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup adalah unit yang melaksanakan kegiatan penyidikan tindak pidana
lingkungan hidup yang anggotanya terdiri dari seluruh PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal;
4. Sekretariat adalah unit pelayanan administrasi penanganan kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup di
Bapedal;
5. Koordinator satuan tugas adalah penanggung jawab kegiatan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
319
Pasal 2
(1) Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal melaksanakan penyidikan dalam upaya penegakan hukum
tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan pasal 40 Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
(2) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan;
(3) Dalam Pelaksanaan Teknis Operasional, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal dipimpin oleh
Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kasus Lingkungan Hidup.
Pasal 3
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal, Kepala Direktorat
Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan wajib melakukan koordinasi dengan kepala unit kerja
yang terkait lain di lingkungan Bapedal dan Instansi lainnya.
Pasal 4
Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup mempunyai Wilayah Kerja di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indone-
sia.
Pasal 5
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup secara
terkoordinasi dan berwenang untuk:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dibidang
Lingkungan Hidup;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau Badan Hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang
Lingkungan Hidup;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau Badan Hukum sehubungan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang Lingkungan Hidup;
d. Melakukan pemeriksaan atas Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
Lingkungan Hidup;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, Pembukuan, Catatan, dan
Dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Lingkungan Hidup;
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana Lingkungan Hidup;
(2) Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan
Hidup mempunyai fungsi:
a. Menindak lanjuti laporan Pengaduan Kasus;
b. Melakukan Pengumpulan bahan keterangan;
c. Melaksanakan kegiatan penyidikan;
d. Menyusun dan Menyerahkan Berkas Perkara.
Pasal 6
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dibentuk sesuai media lingkungan yang meliputi:
a. Penanganan kasus pencemaran air dan kerusakan tata air.
b. Penanganan kasus pencemaran udara;
c. Penanganan kasus pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3);
d. Penanganan kasus pencemaran dan/atau kerusakan tanah;
e. Penanganan kasus pencemaran dan/atau perusakan pesisir dan lautan;
f. Penanganan kasus pencemaran kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan;
g. Penanganan kasus kerusakan keanekaragaman hayati.
(2) Setiap Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup diketuai oleh seorang Koordinator.
Pasal 7
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terdiri dari anggota
PPNS Lingkungan Hidup yang mempunyai keahlian teknis sesuai dengan bidang masing-masing.
(2) Keahlian teknis yang dimaksud pada ayat (1) di atas, meliputi keahlian:
a. pencemaran air dan tata air;
b. pencemaran udara;
c. pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
d. pencemaran dan/atau kerusakan tanah;
e. pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan lautan;
f. pencemaran dan/atau kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan;
g. kerusakan keanekaragaman hayati.
(3) Susunan keanggotaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal ditetapkan lebih lanjut oleh Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.
Pasal 8
(1) Untuk membantu pelaksanaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di bentuk Sekretariat yang bertugas
melaksanakan pelayanan kegiatan administrasi harian;
(2) Sekretariat seperti dimaksud pada ayat (1) di atas akan dibentuk dan berada dibawah Direktorat Penegakan
Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan.
320
Pasal 9
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dilengkapi dengan sarana pendukung;
(2) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Petunjuk Teknis.
Pasal 10
(1) Selain Surat Perintah Penyidikan (SPP) dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup
diberikan surat penugasan dari Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
atas nama Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, setiap PPNS Lingkungan Hidup wajib membawa Surat Perintah Penyidikan
(SPP), Surat Tugas, Tanda Pengenal yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sarana yang diperlukan.
Pasal 11
Tanda Pengenal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) memuat :
a. Nama lengkap
b. Nomor Induk Pegawai
c. Pangkat/Golongan
d. Nomor Surat Keputusan Pengangkatan
e. Jabatan
f. Masa berlaku
g. Nama dan tandatangan pejabat yang mengangkat
h. Foto identitas diri
Pasal 12
(1) Untuk mendapatkan bukti permulaan di lapangan, PPNS Lingkungan Hidup melakukan pengambilan dan
pemeriksaan contoh limbah secara langsung;
(2) Untuk pengambilan dan pemeriksaan contoh limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Satuan Tugas
PPNS Lingkungan Hidup bekerjasama dengan personil laboratorium lingkungan;
(3) Untuk keperluan pemberkasan, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dapat meminta bantuan keterangan
ahli tentang kasus tindak pidana lingkungan hidup yang berkaitan.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal wajib bekerjasama dengan
PPNS Lingkungan Hidup di propinsi/kabupaten/kota dan instansi atau sektor terkait.
Pasal 14
Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup wajib memberikan laporan kepada Kepala
Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan sebagai berikut:
a. laporan hasil klarifikasi dan verifikasi informasi kasus ;
b. laporan hasil persiapan penyidikan ;
c. laporan kelengkapan bukti-bukti untuk dilakukan penyidikan ;
d. laporan evaluasi kemajuan pelaksanaan penyidikan ;
e. laporan pemberkasan
Pasal 15
Setiap anggota Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dalam melaksanakan tugasnya diberikan hak-hak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup ini
dibebankan kepada anggaran Bapedal.
Pasal 17
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Maret 2001
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris Utama Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd
Dr. Ir. Sunyoto,Dipl.HE
321
LAIN-LAIN
322
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 02 TAHUN 2002
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 101 TAHUN 2001
TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI,
DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan, dipandang
perlu menyempurnakan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 3952);
4. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 101
TAHUN 2001 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI,
DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara, diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 16
Meneg LH mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan."
2. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 17
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Meneg LH menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan;
b. pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis,
dan evaluasi di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan;
c. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan;
d. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada
Presiden."
3. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Meneg LH mempunyai kewenangan:
a. penetapan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;
b. penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/
Kota di bidangnya;
c. penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
d. pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya;
e. penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam dalam rangka pelestarian lingkungan;
f. pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara di
bidangnya;
g. penetapan standar pemberian izin oleh Daerah di bidangnya;
h. penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidangnya;
i. penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidangnya;
j. penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan di bidangnya;
323
k. pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya laut di luar 12 (dua belas) mil;
l. penetapan baku mutu lingkungan hidup dan penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup;
m. penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan
jabatan di bidangnya;
n. penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif
pada masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan, yang lokasinya meliputi lebih dari
satu wilayah Propinsi, kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain di wilayah laut di
bawah 12 (dua belas) mil dan berlokasi di lintas batas negara;
o. penetapan pedoman tentang konservasi sumber daya alam;
p. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:
1) pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan;
2) pemberian izin dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, yang meliputi: penyimpanan,
pengumpulan, pengolahan, dan/atau penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun;
3) pemantauan pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan."
4. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 26
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Meneg PPN menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional;
b. pengkoordinasian kebijakan perencanaan pembangunan nasional semua sektor;
c. pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis,
dan evaluasi di bidang perencanaan pembangunan nasional;
d. penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dilaksanakan bersama-sama
dengan Departemen Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
e. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada
Presiden."
5. Di antara Pasal 56 dan Pasal 57 ditambahkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 56A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 56A
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka tugas, fungsi, kewenangan Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dialihkan ke Menteri
Negara Lingkungan Hidup."
Pasal II
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
324
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR 113 TAHUN 2000
TENTANG
PEDOMAN UMUM DAN PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM LINGKUNGAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengendalian pencemaran lingkungan
hidup diperlukan dukungan laboratorium lingkungan yang memenuhi persyaratan;
b. bahwa mengingat hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan tentang Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3434)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815)
Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
6. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standarisasi Nasional;
7. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN
UMUM DAN PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM LINGKUNGAN.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Laboratorium lingkungan adalah laboratorium yang dapat berdiri sendiri sebagai satu institusi maupun merupakan
suatu bagian dan laboratorium yang mempunyai kemampuan dan kewenangan melaksanakan pengujian pa-
rameter kualitas lingkungan (fisika/kimia/biologi);
2. Pengujian parameter kualitas lingkungan adalah kegiatan yang meliputi pengambilan contoh uji termasuk analisis
di lapangan, penanganan, transportasi, penyimpanan, preparasi, dan analisis contoh uji;
Pasal 2
Dalam melaksanakan kegiatannya laboratorium lingkungan wajib :
a. mempunyai kedudukan independen
b. mempunyai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan
c. memenuhi persyaratan teknis dan administratif
d. menerapkan sistem mutu yang tepat yang sesuai dengan jenis, lingkup dan volume pekerjaan yang dilaksanakan;
Pasal 3
Sistem mutu laboratorium lingkungan wajib didokumentasikan dalam suatu Dokumen Sistem Mutu yang terdiri dan
Panduan Mutu, Prosedur Pelaksanaan, Instruksi Kerja dan Format.
Pasal 4
Prosedur pemberian izin operasional, rekomendasi, akreditasi dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan
tercantum dalam lampiran I dan lampiran II Keputusan ini.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Agustus 2000
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
325
Lampiran I
Keputusan: Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 113 Tahun 2000
Tentang : Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan
PEDOMAN UMUM LABORATORIUM LINGKUNGAN
BAB I. PENDAHULUAN
1. Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan data yang absah tentang parameter kualitas lingkungan.
Data yang diperoleh berasal dari proses pemantauan kualitas lingkungan.
2. Salah satu unsur yang menentukan dalam proses pemantauan kualitas lingkungan adalah adanya laboratorium
lingkungan yang handal yang mampu menguji parameter kualitas lingkungan dan menyajikan hasil uji yang
absah dan tak terbantahkan .
3. Sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 196/1998 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 18/1998, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan mempunyai tugas membina dan
mengawasi pengelolaan laboratorium lingkungan. Pembinaan, pengawasan dan pengelolaan tersebut mencakup
aspek-aspek teknis dan manajemen laboratorium lingkungan.
4. Bapedal sebagai pembina dan pengawas laboratorium lingkungan menganggap perlu menerbitkan suatu
pedoman yang berisi kebijaksanaan umum tentang laboratorium lingkungan
BAB II. PROSEDUR PEMBERIAN IZIN OPERASIONAL /REKOMENDASI LABORATORIUM LINGKUNGAN
1. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium lingkungan, setiap laboratorium diharuskan memiliki
ijin tertulis dari Gubernur dan atau pejabat yang ditunjuk, kecuali laboratorium milik Pemerintah yang dibentuk
untuk kepentingan pelaksanaan program sektor yang bersangkutan
2. Untuk mendapatkan ijin operasional dan rekomendasi laboratorium lingkungan, laboratorium pemohon harus
mengajukan permohonan tertulis (mengisi formulir tertentu, apabila tersedia) dengan melampirkan persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis tentang laboratorium lingkungan. Tata cara pengajuan izin dapat dilaksanakan
sebagai berikut :
a. Permohonan izin operasional laboratorium lingkungan diajukan kepada gubernur dalam hal ini Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi. Setelah menerima permohonan tersebut Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan Pedoman tentang Persyaratan Teknis
Laboratorium Lingkungan.
b. Atas dasar permohonan laboratorium lingkungan dan hasil pemeriksaan kelengkapan persyaratan teknis
dan administratif di daerah, Bapedalda propinsi membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Bapedal
dengan tembusan kepada Kepala Bapedal Regional agar laboratorium pemohon mendapat rekomendasi
sebagai laboratorium lingkungan.
c. Sebelum memberikan surat rekomendasi sebagai laboratorium lingkungan Bapedal, Bapedal Regional
dan Bapedalda Propinsi harus mengadakan evaluasi teknis terhadap laboratorium pemohon.
d. Selanjutnya, Bapedal menerbitkan surat rekomendasi yang disampaikan kepada Bapedalda Propinsi.
e. Berdasarkan Penilaian terhadap kelengkapan administratif dan surat rekomendasi dari Bapedal, Pemerintah
Daerah (Bapedalda Propinsi) dapat menerbitkan izin operasional laboratorium lingkungan.
BAB III. REKOMENDASI LABORATORIUM LINGKUNGAN
Laboratorium lingkungan terdiri dari :
1. Laboratorium yang telah mampu menguji parameter kualitas lingkungan tertentu dan dikuatkan dengan sertifikat
akreditasi oleh Badan Akreditasi yang diakui secara nasional maupun internasional. Laboratorium tersebut
telah dijamin kemampuan dan independensinya, oleh karena itu sertifikat atau laporan dari laboratorium-
laboratorium tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Namun karena pengujian parameter kualitas lingkungan
juga melibatkan pekerjaan/kegiatan pengambilan contoh, maka hal yang berkaitan dengan pekerjaan ini perlu
diklarifikasi/pengesahan sesuai dengan peraturan/pedoman tentang pemantauan kualitas lingkungan yang
berlaku
2. Laboratorium yang dinilai oleh Bapedal mempunyai kemampuan teknis menguji parameter kualitas lingkungan
tertentu, tetapi belum mendapat akreditasi. Laboratorium-laboratorium yang dimaksud pada butir 2 diberi
rekomendasi oleh Bapedal dengan memperhatikan pertimbangan khusus adalah sebagai berikut :
a. laboratorium yang dikembangkan oleh Bapedal dengan bantuan peralatan melalui program OECF dan
AusAid, milik Departemen Kesehatan (BLK dan BTKL), Departemen Pekerjaan Umum (Laboratorium
Pengujian dan Peralatan Kanwil PU) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (BPPI).
b. Laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis laboratorium lingkungan
3. Laboratorium yang dinilai Bapedal dapat melaksanakan pengujian parameter kualitas lingkungan dengan syarat
melakukan korelasi dengan laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Bapedal.
Laboratorium tersebut adalah laboratorium yang dapat melaksanakan pengujian parameter tertentu dengan
menggunakan metoda/peralatan yang tidak termasuk dalam metoda standar, tetapi hasil pengujiannya secara
berkala/rutin dikorelasikan dengan laboratorium pada butir 1 dan 2. Hasil pengujian dari laboratorium ini dapat
dipakai untuk keperluan tertentu yang sifatnya intern dan tidak dapat dipakai untuk kepentingan umum. Contohnya
adalah laboratorium industri yang bersifat inhouse laboratory dan mobile laboratory.
326
Bapedal akan mengeluarkan surat : Rekomendasi Laboratorium Lingkungan berdasarkan kemampuannya
dalam pengujian kualitas lingkungan. Rekomendasi tersebut dapat diartikan adanya pengakuan oleh Bapedal
sebagai laboratoriurn lingkungan atas kemampuan pengujian parameter kualitas lingkungan terhadap :
a. air permukaan
b. air laut
c. limbah cair
d. limbah padat (sludge)
e. udara ambien
f. emisi dari sumber bergerak
g. emisi dari sumber tidak bergerak
BAB IV. AKREDITASI LABORATORIUM
1. Pengakuan terhadap kemampuan dan kewenangan laboratorium lingkungan berkaitan dengan sistem akreditasi
yang berlaku di Indonesia, dilaksanakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) atau badan akreditasi lain
secara internasional.
2. Pelaksanaan akreditasi mengacu pada Pedoman BSN-101 Tahun 1991 atau IS0/IEC Guide 25:1990/ISO-
17025:2000 tentang Persyaratan Umum Kemampuan Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi.
3. Laboratorium lingkungan yang telah mendapat akreditasi dengan sendirinya telah memiliki integritas yang
dapat dipertanggungjawabkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN)
327
Lampiran II
Keputusan: Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 113 Tahun 2000
Tentang : Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan
PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM LINGKUNGAN
BAB I. PENDAHULUAN
1. Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan adanya data kualitas lingkungan yang dapat dipercaya
kebenarannya. Data tersebut merupakan hasil kegiatan pemantauan kualitas lingkungan.
2. Dalam kegiatan pemantauan kualitas lingkungan dilakukan pengukuran/pengujian parameter kualitas lingkungan.
Hasil pengukuran/pengujian tersebut harus absah dan tak terbantahkan agar dapat dipercaya kebenarannya.
3. Pengukuran/pengujian dilaksanakan di/oleh laboratorium lingkungan, yang secara teknis harus mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka laboratorium lingkungan harus memenuhi persyaratan teknis tertentu.
4. Persyaratan teknis yang dimaksud mencakup tentang sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih, peralatan
yang sesuai dengan kemampuan yang di butuhkan, serta pengel ol aan l aboratori um yang dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB II. RUANG LINGKUP
1. Pedoman ini memuat persyaratan teknis laboratorium lingkungan yang meliputi pokok bahasan tentang :
a. Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan.
b. Peralatan laboratorium lingkungan.
c. Personalia dan organisasi laboratorium lingkungan.
d. Keselamatan kerja laboratorium lingkungan.
e. Metode analisis dan kemampuan laboratorium lingkungan.
f. Pengelolaan limbah laboratorium lingkungan.
g. Pengendalian mutu (quality control)
h. Penanganan contoh uji
2. Pedoman ini menjabarkan dan menambahkan hal-hal yang belum diatur di dalam BSN - 101 : 1991 dan ISO/IEC
Guide 25:1990/ISO-17025:2000.
3. Pedoman ini digunakan pada laboratorium lingkungan yang permanen.
BAB III. ACUAN/RUJUKAN
a. Badan Standardisasi Nasional, (1991), Pedoman BSN 101 - 1991 :
Persyaratan Umum Kemampuan Laboratorium Penguji dan Kalibrasi, BSN Jakarta.
b. Bapedal Development Technical Assistance Project (BDTAP) Loan, Regional Laboratory Development Planning,
Certification and Training Program.
c. CAN/CSA-Z753-95, (1995) Requirements for the Competence of Environmental Laboratories, Environmental
Technology A National Standard of Canada, Canada.
d. ISO/IEC 17025 (2000), General Requirements For The Competence of Testing And Calibration Laboratories,
National Association of Testing Authorities, Australia. ACN 004 379 748.
e. Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
f. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
g. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
h. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
i. Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang uji mutu parameter kualitas lingkungan.
j. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor
k. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak
BAB IV. SYARAT-SYARAT LABORATORIUM LINGKUNGAN
1. Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan.
Pada waktu merencanakan pembangunan laboratorium, pemilik bangunan harus memberikan laporan tertulis
kepada perancang bangunan yang berisi informasi sebagai berikut :
a. Jenis dan fungsi laboratorium;
b. Penjelasan lengkap mengenai persyaratan bangunan, termasuk tata letak
c. Penjelasan mengenai bahan berbahaya dan beracun yang akan dipakai di laboratorium.
d. Proses kerja yang mungkin bisa meningkatkan adanya kontaminasi udara, meliputi :
i. Proses kimia, biologi atau proses radiasi;
ii. Proses yang menggunakan bahan yang mudah terbakar, bahan berbahaya, bahan yang menyebabkan
infeksi atau bau-bauan yang mengganggu yang dapat menyebabkan kontaminasi melalui ventilasi
udara, terutama bila terjadi kecelakaan kerja, misalnya tumpah.
e. Jenis gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses laboratorium atau timbul dari tempat penyimpanan
cairan yang mudah terbakar dan kecenderungan penyebaran gas tersebut;
f. Jenis peralatan yang akan dipasang;
g. Tingkat fleksibilitas yang dibutuhkan;
h. Staf pendukung yang akan bekerja di laboratorium tersebut;
j. Adanya beban tambahan, kebutuhan anti vibrasi atau isolasi yang mungkin dibutuhkan untuk mengantisipasi
adanya risiko akibat bahan berbahaya khusus lainnya, misalnya, api, bahan peledak atau radiasi;
k. Jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan;
l. Kebutuhan perluasan di masa datang;
m. Hal-hal lain yang terkait.
328
Laboratorium harus berada pada lokasi yang terpisah dalam suatu lingkungan yang menyediakan berbagai
fasilitas, pelayanan dan saluran pembuangan air kotor serta tidak berada pada lantai yang sama dengan
bagian lain yang berfungsi non-laboratorium.
Pertimbangan khusus yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keamanan personil laboratorium dan orang
lain yang ada di sekitarnya, adalah :
a. Perlunya isolasi dan membersihkan bahan berbahaya di lingkungan kerja atau dengan cara lain untuk
mengurangi risiko;
b. Keamanan personil dan perlindungan publik;
c. Pengawasan jalan masuk, termasuk keamanan;
d. Akses dan fasilitas untuk penanganan substansi yang berbahaya dan beracun;
e. Akses dan fasilitas untuk penyelamatan dalam keadaan darurat;
f. Tersedianya air untuk memadamkan kebakaran ;
g. Tata letak perabotan (properti);
h. Daerah yang aman untuk evakuasi bila terjadi keadaan darurat;
i. Pembuangan limbah bahan berbahaya dan bersifat infeksi dari laboratorium;
j. Tingkat perlindungan terhadap sinar matahari yang terbuka dan angin
k. Cerobong asap, dengan memperhatikan :
1 . pengaruh terhadap manusia
2. pengaruh terhadap bangunan (korosi)
3. pengaruh angin
4. jarak dari sumber asap
5. pengaruh terhadap lingkungan.
l. Isolasi suara :
1. dari daerah lain
2. ke daerah lain
m. Pengaruh dari partikulat yang terbang ke udara.
2. Dalam mendirikan suatu banguan laboratorium harus mernenuhi persyaratan teknis bangunan yang terdiri dari
persyaratan bangunan dan sistem utilitas.
Persyaratan bangunan berdasarkan atas :
a. Jenis kegiatan dan beban laboratorium;
b. Jenis, dimensi dan jumlah peralatan;
c. Jumlah sumber daya manusia laboratorium;
d. Faktor keselamatan;
e. Jarak meja analis dan koridor;
f. Memperhatikan rencana pengembangan laboratorium;
g. Lantai laboratorium harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. permukaannya rata dan halus serta kedap air;
2. tidak bereaksi dengan bahan kimia yang dipakai di laboratorium;
3. punya daya tahan struktur dan mekanik yang cukup kuat;
4. kompatibel dengan cara kerja di laboratorium dan kenyamanan personil;
5. anti slip sesuai dengan persyaratan AS/NZS 3661.1;
6. mudah dibersihkan;
7. sambungan papan sebaiknya dihindari sejauh mungkin, tapi bila dipakai, sebaiknya dibangun
sedemikian rupa sehingga tertutup dan terhindar dari penetrasi oleh bahan berbahaya;
8. adanya lubang di lantai perlu dibuat dan dirancang untuk mengantisipasi seandainya terjadi tumpahan
cairan;
9. oleh karena adanya risiko tumpahan bahan berbahaya yang dapat menyebabkan infeksi atau bahan
radioaktif yang terbuka, maka sambungan antara lantai dengan dinding dan tiang yang terbuka harus
dibuat saluran kecil untuk memudahkan pembersihan.
h. Dinding di area kerja laboratorium harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. permukaannya rata dan halus serta kedap air;
2. tidak bereaksi dengan bahan kimia yang dipakai di laboratorium;
3. mudah dibersihkan
i. Langit-langit yang ada di area kerja laboratorium harus mempunyai konstruksi yang kuat, permukaannya
halus, tidak menyerap bahan dan dipasang eternit, dicat dengan bahan cat yang halus dan mudah dibersihkan,
serta berwarna terang.
j. Lemari asam (fume cupboard)
Alasan utama penggunaan lemari asam / fume cupboard ini adalah untuk keamanan bagi pelaksana
laboratorium saat melakukan pekerjaannya dan juga untuk personil laboratorium lainnya. Secara teknis, alat
ini bekerja dengan cara menangkap uap, mengencerkannya dan membuang semua residu yang bisa
menyebabkan kontaminasi udara, khususnya yang mengandung bahan berbahaya. Efisiensi dan keamanan
dari alat ini tergantung pada kelancaran udara yang masuk, daya tampung efektif, pemilahan kontaminan
udara dari ruangan, hal tersebut berkaitan dengan mekanisme pergerakan udara dan sistem penghawaan
laboratorium, bahan yang dipakai dalam konstruksi, sistem pembuangan kontaminan dan keamanan serta
radius penyebaran kontaminan ke atmosfir.
Sistem utilitas terdiri dari sistem penghawaan, sistem penerangan, sistem pengadaan air bersih, sarana
komunikasi, transportasi, dan tata ruang.
329
Sistem penghawaan, terdiri atas dua cara yaitu :
a. Sistem penghawaan alami, yaitu laboratorium yang dilengkapi sistem penghawaan alami dimana :
1. Ventilasi terbuka mempunyai luas minimal 10 % dari luas lantai dan letaknya bersilangan agar
perubahan udara yang memadai.
2. Proses laboratorium dan instrumentasi tidak memerlukan kontrol temperatur dan kelembaban
yang wajib dipenuhi seperti dalam metoda AS / NZS 2982.1.
3. Udara ventilasi yang tidak tersaring tidak akan dapat terdegradasi oleh proses laboratorium.
4. Ventilasi alamiah tidak digunakan sebagai cara utama untuk pengenceran kontaminan atau kontrol.
5. Ventilasi laboratorium terpisah dari ruangan non laboratorium. Partisi antar-laboratorium dan non-
laboratorium tidak mempunyai akses terbuka dan tidak ada pintu.
b. Sistem penghawaan mekanik, yaitu sistem penghawaan mekanik untuk laboratorium yang dirancang
sebagai berikut :
1. Memenuhi kecepatan suplai udara minimum seperti disebutkan pada AS 1668.2
2. Dilengkapi dengan ventilasi exhaus lokal sesuai dengan AS 1668.2 dan kebutuhan proses khusus
yang dihasilkan di laboratorium.
3. Mencegah dispersi yang tidak terkontrol dan akumulasi udara yang berbahaya.
4. Mencegah pencampuran resirkulasi udara dengan udara lain untuk suplai area non-laboratorium.
c. Sistem penghawaan buatan (air conditioning/AC).
Kebutuhan AC diperhitungkan berdasarkan perhitungan 1 PK untuk 20 m
2
.Penggunaan AC ditujukan
terutama untuk memperoleh suhu optimal yang dibutuhkan dalam proses pengukuran dan pengujian
serta untuk memberikan perlindungan terhadap alat-alat instrumentasi serta ruang-ruang lain yang
tidak memungkinkan memakai penghawaan alami maupun penghawaan mekanik.
Sistem penerangan laboratorium harus dilengkapi dengan sistem pencahayaan yang memenuhi nilai
iluminansi yang direkomendasikan dalam AS 1680.1.
Sistem penerangan ini terdiri atas dua macam yaitu :
a. Sistem penerangan alami, yaitu sistem yang memanfaatkan cahaya matahari (terang langit,
penerangan ini mempunyai jarak jangkauan sinar (sky light ) dari ruang tepi berkisar antara 6 -7,5 m.
b. Sistem penerangan buatan (listrik), diperlukan untuk membantu penerangan ruangan terutama
penggunaan pada malam hari, sedangkan pada siang hanya dapat digunakan bilamana ruangan
sulit dijangkau oleh sinar matahari atau terang langit. Standar minimal penerangan adalah 200
LUX (lumen/m
2
) atau 5 watt/ m
2
. Kebutuhan listrik laboratorium lingkungan sebaiknya 40 kVA.
Sebagai cadangan sumber listrik mati diperlukan generator set yang disesuaikan dengan
kebutuhan laboratorium.
Sistem pengadaan air bersih.
Kebutuhan air bersih yang dipakai untuk kegiatan laboratorium dan staf diperkirakan 50 - 100 liter/orang/hari
untuk itu persediaan air bersih yang diperlukan sebaiknya minimal 2 m
3
/ hari. Air bersih sebaiknya dari PAM di
daerah setempat. Disarankan laboratorium mempunyai menara air dengan kapasitas volume minimal 2 m
3
.
Sarana komunikasi dan transportasi:
1. Komunikasi
Untuk memudahkan komunikasi internal laboratorium sebaiknya digunakan interkom yang jumlahnya
disesuaikan dengan jumlah ruangan, sedangkan komunikasi keluar digunakan telepon dan faksimile
minimal masing-masing satu buah serta dua buah komputer lengkap dengan printernya untuk pelaporan
dan sistem informasi laboratorium.
2. Peralatan transportasi
Untuk mendukung pelaksanaan operasional laboratorium dan pengambilan contoh uji di lapangan,
laboratorium disarankan mempunyai satu buah sepeda motor dan mobil.
3. Tata ruang
Pembagian ruang terdiri dari bagian administrasi, laboratorium dan bagian penunjang. Bagian
administrasi terdiri dari ruangan yang terdiri atas : ruang pimpinan, tata usaha, penerimaan contoh,
pengolahan data, rapat, perpustakaan, penyimpanan arsip dan ATK.
Luas ruangan untuk keperluan ruangan tersebut di atas, disesuaikan dengan kebutuhan dan
ketersediaan lahan. Luas bagian laboratorium lingkungan yang disarankan sesuai dengan kebutuhan
ruangan pelaksanaan teknis di laboratorium tercantum pada tabel 1.
BAB V. STANDAR PERALATAN LABORATORIUM LINGKUNGAN, REAGEN DAN BAHAN ACUAN STANDAR
Jenis peralatan laboratorium dibedakan atas peralatan umum dan peralatan teknis :
1. Peralatan umum, misalnya meja, kursi, lemari dan lain-lain. Jenis dan jumlah peralatan umum disesuaikan
dengan jumlah sumber daya manusia laboratorium, jenis kegiatan, jumlah beban kerja, ukuran dan jumlah
ruangan.
2. Peralatan teknis jenis dan jumlah peralatan teknis ini disesuaikan dengan jenis analisis contoh uji, jumlah
beban kerja, metoda dan teknologi yang dipakai. Peralatan teknis terdiri dari :
a. Peralatan lapangan
Peralatan lapangan digunakan untuk keperluan pengambilan contoh uji dan analisis di lapangan.
330
b. Peralatan laboratorium
Peralatan laboratorium merupakan peralatan utama khususnya peralatan instrumentasi yang digunakan
untuk analisis di laboratorium.
c. Peralatan penunjang
Peralatan ini sebagai sarana penunjang analisis di laboratorium.
Daftar peralatan yang sebaiknya dimiliki oleh laboratorium sesuai dengan jenis dan jumlah yang dibutuhkan
terdapat pada tabel 3.
3. Reagen dan Bahan Acuan (Reference Material)
Pengelolaan reagen dan reference materials harus mempunyai sistem meliputi tata cara penerimaan, identifikasi,
pemisahan, pengemasan, pelabelan, penanganan, penyimpanan, dan pembuangannya.
Reagen dan reference materials harus disimpan sedemikian rupa sehingga integritas dan materialnya tetap
terjaga dan memperhatikan persyaratan yang diperlukan untuk pengemasan, kondisi lingkungan dan pemisahan
dan material yang tidak sesuai.
Reagen dan reference materials harus diberi label sesuai dengan ketentuan yang berlaku meliputi informasi
yang sesuai yaitu deskripsi, konsentrasi, kemurnian, dan tanggal kadaluarsa.
Laboratorium dalam menyiapkan reagen dan reference materials harus tepat dan dapat diverifikasi. Verifikasi
tersebut meliputi pengukuran kandungan spesifik atau karakteristiknya atau membandingkan dengan Certified
Reference Material (CRM).
Laboratorium harus mempunyai rekaman yang rinci mengenai reagen dan reference material yang memerlukan
verifikasi. Rekaman ini meliputi informasi mengenai :
a. Pemasok, grade dan nomor batch.
b. Tanggal preparasi atau verifikasi.
c. Pengukuran berat, volume, tenggang waktu, temperatur, dan tekanan dan yang berhubungan dengan
penghitungan.
d. Pengaturan pH, sterilisasi.
e. Verifikasi basil.
f. Identifikasi dan personil yang terlibat.
BAB VI. PERSONALIA DAN ORGANISASI LABORATORIUM LINGKUNGAN
1. Untuk mencapai hasil yang baik di dalam tata laksana laboratorium, diperlukan suatu organisasi dan manajemen
dengan uraian yang jelas mengenai susunan, fungsi, tugas, dan tanggung jawab bagi para pelaksananya.
2. Struktur organisasi laboratorium tergantung pada beban kerja laboratorium. Namun dalam mendukung
kelancaran pelaksanaan operasional maka laboratorium harus mempunyai jumlah sumber daya manusia
dengan kualifikasi yang memenuhi persyaratan serta pelatihan yang dibutuhkan sesuai dengan peranannya
pada laboratorium lingkungan. Contoh Struktur Organisasi laboratorium dapat dilihat pada diagram di bawah ini:
Kepala Laboratorium
Penanggung Penanggung Penanggung Penanggung Penanggung
jawab Sistem jawab jawab Teknis jawab Teknis jawab
Informasi & Sistem Mutu Laboratorium Laboratorium Administrasi
Dokumentasi Lingkungan Lainnya Umum
Penyelia/ Penyelia/
Pengawas Pengawas
Analis Pengambil Contoh Teknisi
Untuk menghasilkan data yang handal, laboratorium tidak hanya memerlukan bangunan dan peralatan yang
baik, tetapi juga memerlukan sumber daya manusia yang memenuhi persyaratan sebagai pelaksana di
laboratorium lingkungan tersebut. Untuk itu dibutuhkan adanya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia di laboratorium lingkungan.
3. Pada tabel 2 bisa dilihat persyaratan sumber daya manusia laboratorium lingkungan yang harus dipenuhi dan
pelatihan yang dibutuhkan.
331
BAB VII. KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA LABORATORIUM
1. Kesehatan dan keselamatan kerja di laboratorium yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
a. Safety shower
Minimal tersedia satu safety shower dan fasilitas pencuci mata/muka di setiap laboratorium yang menggunakan
bahan berbahaya, atau di laboratorium mikrobiologi. Penggunaan safety shower tidak boleh diganti dengan
slang/pipa yang dapat digerakkan dengan tangan.
Safety shower dan eyewash harus dapat beroperasi dan mempunyai aliran air yang konstan tanpa memerlukan
operator. Letak safety shower tidak lebih dari 10 meter dari setiap titik di laboratorium. Safety shower, dan
eyewash harus memenuhi standar ANSI Z358.1.
b. Bak cuci tangan
Laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya dan semua area kerja laboratorium biologi harus
mempunyai bak cuci tangan. Lokasi harus terletak pada pintu masuk utama ke laboratorium.
c. Pengumuman Keselamatan
Pengumuman keselamatan terdiri dari :
1) Daftar prosedur emergency;
2) Tulisan terang untuk bahan-bahan berbahaya.
d. Tanda-tanda Keselamatan
Memenuhi AS 1319.
e. Tanda Bahaya dan Plakat
Laboratorium harus membuat plakat untuk bahan-bahan berbahaya dan bahan-bahan berbahaya yang
spesifik sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Faktor keselamatan kerja yang wajib diperhatikan dan ditangani di laboratorium meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Pengaruh bahan kimia
Perhatikan penyimpanan bahan kimia yang berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan para pelaksana
pengujian yang dapat mengakibatkan luka bakar, keracunan, cacat mata dan gangguan kesehatan lainnya.
b. Bahaya kebakaran
Hindari kemungkinan kebakaran di laboratorium yang bersumber dari listrik, ledakan akibat reaksi bahan
kimia dan bahan kimia yang mudah terbakar
c. Sumber bahaya lainnya
Peralatan laboratorium sebagian dapat merupakan sumber bahaya dan mengakibatkan cacat fisik, oleh
karena itu gunakan selalu sarana penunjang untuk keselamatan kerja di laboratorium.
3. Untuk mencegah hal-hal tersebut pada angka 2 diperlukan adanya sarana penunjang untuk keselamatan kerja
di laboratorium, yaitu :
a. Baju kerja (jas laboratorium), kaca mata pengamanan, sarung tangan dan gas masker dipakai ketika analis
melaksanakan pengujian dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya.
b. Blower merupakan penghisap gas-gas yang berbahaya dari bahan kimia ketika analis bekerja di lemari
asam.
c. Exhaust-fan untuk sirkulasi udara di ruang laboratorium.
d. Pemadam kebakaran dan pasir digunakan ketika terjadi kebakaran di laboratorium.
e. Shower merupakan sarana keselamatan bagi pekerja laboratorium ketika seorang analis terkena percikan
bahan kimia ke matanya.
f. Bak cuci, selain dipakai untuk mencuci peralatan gelas laboratorium juga digunakan ketika pekerja
laboratorium terkena bahan kimia pada kulitnya.
g. Alarm merupakan sarana peringatan adanya bahaya di laboratorium.
h. Petunjuk arah ke luar ruangan laboratorium merupakan tanda yang dapat memberikan informasi bagi pekerja
laboratorium untuk keluar ruangan dengan aman dan selamat ketika ada bahaya di laboratorium.
i. Obat-obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan.
BAB VIII. METODA PENGUJIAN DAN KEMAMPUAN LABORATORIUM LINGKUNGAN DAN VALIDASI METODA
1. Data hasil analisis laboratorium dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara hukum apabila
terjamin ketelitian dan ketepatannya, oleh karena itu data hasil analisis yang dihasilkan harus objektif, representatif,
teliti dan tepat serta relevan. Oleh karena itu dalam melaksanakan pengujian kualitas lingkungan, maka metode
analisis yang digunakan sebaiknya merupakan metoda standar seperti:
a. Standar Nasional Indonesia/SNI.
b. Metoda Standar lain yang sesuai, seperti US-EPA, ASTM, APHA/AWWA dan lain-lain.
Apabila dalam keperluan tertentu digunakan metode pengujian parameter lingkungan yang BUKAN STANDAR,
maka hal tersebut dapat dilaksanakan asal mengacu pada sumber yang jelas dan telah dikorelasikan
dengan metoda standar.
2. Laboratorium lingkungan harus mampu menganalisis parameter yang ada di peraturan perundangan-undangan
dengan metode baku yang telah ditetapkan seperti disebutkan pada angka 1. Adapun parameter yang harus
dianalisis terlampir pada table 4, 5 dan 6.
3. Laboratorium wajib memakai metoda dan prosedur yang tepat untuk peserta kegiatan yang berkaitan dan
termasuk dalam tanggungjawabnya termasuk pengambilan contoh, penanganan, pengangkutan dan
penyimpanan, penyiapan barang, taksiran ketidakpastian pengukuran dan analisis data. Metode dan prosedur
tersebut harus selalu konsisten dengan ketelitian yang diperlukan dan dengan tiap spesifikasi standar yang
sesuai untuk kalibrasi atau pengujian yang bersangkutan.
4. Jika pengambilan contoh merupakan bagian dari metode pengujian, laboratorium wajib memakai prosedur
yang telah didokumentasikan dan teknik statistik yang sesuai untuk memilih contoh.
332
BAB IX. PENGELOLAAN LIMBAH LABORATORIUM LINGKUNGAN
1. Pengelolaan limbah laboratorium dapat dilakukan di lokasi laboratorium (on site laboratory) dan dibawa ke
tempat pengolahan limbah. Sebelum dilakukan pengelolaan limbah, maka limbah laboratorium harus dipisahkan
dalam kategori berbahaya dan beracun dan tidak berbahaya dan beracun.
Hal ini untuk memudahkan dalam menentukan prosedur pengelolaan limbah yang perlu dilakukan.
2. Dalam pengelolaan limbah laboratorium diperlukan langkah-langkah penanganan limbah laboratorium yaitu :
a. Penanggung jawab : kepala laboratorium bertanggung jawab atas seluruh penanganan limbah dimulai dan
pengumpulan, penyimpanan dan pembuangannya sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
b. Pengumpulan: pengumpulan limbah adalah bagian terpenting yang harus dilakukan agar bahaya terhadap
personil laboratorium dan lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam pengumpulan limbah,
perlu dilakukan identifikasi, pemisahan dan penyimpanan dalam wadah yang sesuai dengan jenis limbahnya
dan diberi label.
c. Pemisahan : limbah laboratorium harus dipisahkan dalam beberapa kategori yaitu : kertas, pecahan gelas,
benda tajam (syringe, scalpel), limbah kimia, limbah biologi, dan radioaktif. Pemisahan atas limbah bahan
berbahaya dan beracun dilakukan dengan mengacu Peraturan Pemerintah No. 18/1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Peraturan Pemerintah No. 85/1999 tentang Perubahan PP.
No 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya.
d. Penyimpanan : lokasi penyimpanan harus disediakan untuk penyimpanan limbah sebelum dibuang. Perlu
ditunjuk orang yang bertanggung jawab mengawasi keamanan tempat penyimpanan limbah, menyiapkan
alat pengaman dan absorben material untuk mencegah efek yang timbul dari limbah yang disimpan (mudah
terbakar, mudah meledak, toksik, tumpahan limbah dan lain-lain).
3. Pembuangan : pembuangan limbah harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB X. PENGENDALIAN MUTU (QUALITY CONTROL)
1. Semua pengukuran yang berperanan dalam keakuratan data hasil pengujian yang bisa digunakan secara
langsung atau tidak langsung harus didasarkan pada bahan acuan, material referensi atau bahan acuan standar
atau material standar lain yang punya kemampuan dalam penelusuran.
2. Laboratorium harus memelihara sertifikat dan semua material standar, alat ukur, atau bahan acuan standar
yang mampu telusur. Sebagai contoh untuk bahan acuan dan alat ukur meliputi berat standar, alat volumetrik
yang terspesifikasi dan thermometer.
3. Apabila mampu telusur ke standar nasional tidak dapat digunakan laboratorium harus memberikan bukti yang
memuaskan dan korelasi hasil, hal ini diakui dengan mengikuti uji banding atau uji profisiensi antar laboratorium.
4. Bahan acuan hanya digunakan untuk kalibrasi dan tidak untuk tujuan lain.
5. Bahan acuan harus dikalibrasi oleh suatu badan yang mempunyai alat/bahan yang mampu telusur ke standar
nasional atau internasional
6. Material standar haruslah mampu telusur ke alat pengukuran standar nasional atau intenasional,
7. Material referensi termasuk standar kalibrasi yang digunakan dalam pengukuran pada pengujian kimia harus
dipersiapkan supaya pada batas pengukuran matriknya sama atau equivalen pada contoh tersebut.
Matriks, sebelum ditambah analit, konsentrasinya tidak bisa dideteksi. Reagen yang digunakan dalam persiapan
atau material referensi termasuk standar kalibrasi harus disertai kemurniannya.
8. Semua peralatan pengukuran dan peralatan pengujian yang mempunyai pengaruh terhadap akurasi atau validasi
pengujian harus dikalibrasi dan atau diverifikasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk stabilitas standar
pengawasan. Standar pengawasan yang digunakan untuk verifikasi akurasi harus disusun terpisah dan standar
kalibrasi yang dipakai untuk menyusun kalibrasi original.
9. Prosedur kalibrasi dan pengukuran yang disediakan harus mencakup satu atau lebih dari gambaran berikut ini:
a. menggunakan blanko reagen untuk membuat baseline yang dipakai dalam kalibrasi.
b. menggunakan blanko metoda untuk mengatur respon analit yang dihasilkan dari pengujian contoh uji.
10. Dokumentasi prosedur yang cukup rinci untuk meyakinkan bahwa kalibrasi dilakukan dengan akurasi yang
dapat ulang (repeatable), dan harus digunakan untuk seluruh kegiatan kalibrasi.
11. Laboratorium wajib menjamin mutu hasil yang diberikan setelah diperiksa lebih dahulu. Pemeriksaan ini wajib
dikaji kembali setidak-tidaknya harus mencakup :
a. Sistem pengendalian mutu internal dengan menggunakan metoda statistik
b. Partisipasi dalam uji profisiensi atau uji banding antar laboratorium.
c. Penggunaan bahan pembanding secara teratur dan/atau pengendalian mutu melekat (inhouse quality control)
dengan menggunakan bahan pembanding sekunder.
d. Pengujian ulang menggunakan metode yang sama atau berbeda.
e. Pengujian kembali dari arsip contoh.
f. Keterkaitan hasil uji untuk sifat yang berbeda dari satu barang.
BAB XI. PENANGANAN CONTOH UJI
1. Laboratorium harus mempunyai sistem dokumentasi untuk penerimaan, identifikasi, pengepakan, pelabelan,
penanganan, penyimpanan dan pembuangan contoh uji.
333
2. Sistem dokumentasi ini juga diperlukan untuk identifikasi khusus contoh uji agar tidak ada kesalahan dalam hal
identifikasi contoh uji, oleh karena itu dalam berlabel harus disebutkan identifikasi khusus yang sesuai dengan
persyaratan hukum yang berlaku.
3. Laboratorium harus mendokumentasikan prosedur untuk penerimaan, referensi dan pengamanan contoh uji.
Semua prosedur itu harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau sesuai perjanjian kontrak.
4 Pada saat penerimaan contoh uji, kondisi contoh uji termasuk setiap abnormalitas atau penyimpangan kondisi
contoh uji terhadap kondisi standar harus dicatat, yaitu :
a. Kondisi contoh uji bisa mencakup atau berhubungan dengan kerusakan kuantitas, preparasi, pengepakan,
temperatur pada waktu datang contoh dan lamanya waktu setelah pengambilan contoh uji.
b. preparasi meliputi penambahan bahan kimia pengawet, mengatur kelembaban, pemisahan contoh uji untuk
diujikan, homogenisasi atau subsampling.
5. Apabila ada keraguan terhadap keberadaan contoh uji untuk diuji, dimana contoh uji tidak sesuai terhadap
deskripsinya, atau uji yang diminta tidak spesifik, maka laboratorium harus mengkonsultasikan kepada pelanggan
untuk mendapat instruksi lebih lanjut sebelum dilakukan pengujian.
6. Laboratorium harus punya prosedur dokumentasi dan fasilitas untuk menghindari deteorisasi atau kerusakan
contoh selama penyimpanan, penanganan, preparasi dan pengujian. Persyaratan yang diperlukan untuk
pegepakan kondisi lingkungan dan pemisahan dari bahan-bahan lain yang tidak sesuai harus diperhatikan.
Contoh harus disimpan dalam kondisi lingkungan yang khusus, dimana kondisi contoh uji harus dijaga, dimonitor
dan dicatat apabila diperlukan.
7. Untuk melindungi kondisi dan integritas contoh uji atau juga untuk alasan pencatatan, pengamanan, kesahihan
data hasil uji dan untuk pegujian lebih lanjut, maka laboratorium harus mampu menjamin keamanan contoh uji
tersebut. Waktu penyimpanan contoh uji tidak boleh melebihi penyimpanan dalam metoda pengujian.
8. Pengaruh yang berkelanjutan dari pengujian contoh uji ini harus dijaga untuk keperluan forensik dalam upaya
pembukti an kasus hukum atau untuk tuj uan l ai n, sehi ngga l aboratori um harus menyusun dan
mendokumentasikan sistem chain of custody yang sesuai.
Tabel 1 : Pembagian Ruang Laboratorium Lingkungan
No. Nama Barang Bagian Ruangan Ukuran / Jumlah
1. Ruang tempat penyimpanan contoh uji - Bench 1 = 90 cm
1 = 80 cm
2. Ruang Timbang - Sink p = disesuaikan dengan
kebutuhan
3. Ruang analisis basah disesuaikan dengan
kebutuhan
4. Ruang Instrumen - Area kerja/
4 m
2
orang
5. Ruang instrumen terpisah
untuk
- Spektrofotometer UV/Vis 6,0 m
2
/ unit / area kerja
- AAS 7,5 m
2
/ unit / area kerja
- GC 6,0 m
2
/ unit / area kerja
- TOC 7,5 m
2
/ unit / area kerja
6. Ruang peralatan pengambilan disesuaikan dengan
contoh uji kebutuhan
7. Ruang penyimpanan bahan kimia disesuaikan dengan
kebutuhan
334
Jarak minimum untuk area kerja/orang terdapat pada gambar 1
Bagian penunjang untuk kegiatan laboratorium terdiri atas :
- Ruang Staf Laboratorium
- Ruang Pengelolaan Limbah
- Kamar Mandi/ WC
- Ruang Kantin
Luas ruangan untuk keperluan tersebut diatas disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan lahan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris Utama Bapedal
ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
335
Tabel 2 : Persyaratan Sumber Daya Manusia Laboratorium Lingkungan dan Pelatihan yang dibutuhkan
No. Jabatan Kualifikasi Jenis / Materi Pelatihan
1 Penanggung jawab Minimum D3 dalam bidang sains (a) Pelatihan-pelatihan yang
dan teknis dengan pengalaman berhubungan dengan
minimum 5 tahun di bidang Lingkungan Hidup.
laboratorium (b) Pelatihan di bidang sistem
manajemen mutu laboratorium
(c) Pelatihan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3)
laboratorium analitik
2 Koordinator / Manajer Minimum D3 dalam bidang sains (a) Pelatihan audit internal
Mutu dan teknik dengan pengalaman laboratorium
5 tahun di bidang laboratorium (b) Pelatihan di bidang sistem
analitik manajemen mutu laboratorium
3 Koordinator / Manajer Minimum D3 dalam bidang sains (a) Pelatihan QA/QC di bidang
Teknis dan teknis dengan pengalaman analitik lingkungan
5 tahun di bidang laboratorium
analitik (b) Pelatihan aplikasi statistik
di bidang analitik lingkungan
(c) Pelatihan uji banding
laboratorium lingkungan
(d) Pelatihan tentang perawatan
dan kalibrasi peralatan
4 Penyelia / pengawas Minimum SMU-IPA, SMF, (a) Pelatihan QA/QC di bidang
/ supervisor SAKMA, SMAK, STM-Kimia analitik lingkungan
dengan pengalaman 5 tahun
sebagai analisis (b) Pelatihan uji banding
laboratorium lingkungan
(c) Pelatihan tentang perawatan
dan kalibrasi peralatan
5 Analisis Pendidikan minimum SMU-IPA, Pelatihan analisis parameter
SMF, SAKMA, SMAK, STM-Kimia kualitas lingkungan
6 Petugas pengambil Pendidikan minimum SMU-IPA, Pelatihan pengambilan contoh
Contoh uji SMF, SAMAK, SMAK, STM-Kimia
7 Teknisi Pendidikan SMU-IPA / STM Teknik (a) Pemeliharaan dan perawatan
(mesin, listrik) peralatan laboratorim dan
utilitas
(b) Pelatihan tentang kalibrasi
peralatan laboratorium
(c) Pelatihan pengelolaan limbah
(d) Laboratorium
8 Penanggung jawab Pendidikan minimum SMU (a) Pelatihan manajemen /
Administrasi dengan pengalaman 5 tahun di Administrasi (surat menyurat,
bidang laboratorium keuangan, dokumentasi,
inventory)
(b) Pelatihan komputer
336
Tabel 3 : Persyaratan Peralatan Teknis Laboratorium Lingkungan
No. Jenis Peralatan Keterangan
I Analisis air pemukaan, air limbah dan air
laut
A) Peralatan Lapangan
1 pH meter 1 buah
2 DO meter 1 buah
3 Termometer 1 buah
4 Turbidimeter 1 buah
5 Konduktivity meter 1 buah
6 Water Sampler
- Horisontal 1 buah
- Vertikal 1 buah
7 Current meter 1 buah
8 Stop watch 1 buah
9 theodolit 1 buah
10 Ice box 1 buah
11 Secchi dish 1 buah
12 Salino meter 1 buah
13 Nansen / Kundsen 1 buah
14 Van dorn 1 buah
15 Niskin 1 buah
16 Global Positioning system (GPS) 1 buah
B) Peralatan Laboratorium
1 pH meter 1 buah
2 DO meter 1 buah
3 Termometer 1 buah
4 Turbidimeter 1 buah
5 Konduktivity meter 1 buah
6 Spektrofotometer UV/Vis 1 buah
7 Gas kromatografi (FID, ECD, FPD) 1 buah
8 Spektrofotometer serapan atom (AAS) 1 buah
9 Total Karbon Sink (TOC) 1 buah
C) Peralatan Penunjang
1 Refrigerator 1 buah
2 Lemari asam 1 buah
3 BOD inkubator 1 buah
4 Penagas air 1 buah
5 Hot plate 1 buah
6 Timbangan analitis 1 buah
7 Timbangan teknis 1 buah
8 Dsikator 1 buah
9 Perangktat tirasi 1 buah
10 Furnace 1 buah
11 Magnetic stirer 1 buah
12 Centrifuge 1 buah
13 Kyehdalh 1 buah
14 Blender / Mixer / Homogenizer 1 buah
15 Alat destruksi 1 buah
16 Oven 1 buah
17 Alat destilasi 1 buah
18 Botol BOD 20 buah
19 Aerator 3 buah
20 Alat gelas Secukupnya
337
Tabel 3 : Persyaratan Peralatan Teknis Laboratorium Lingkungan (Lanjutan)
No. Jenis Peralatan Keterangan
II Analisis udara ambien, emisi dan kebisingan
A. Peralatan Lapangan
1 Water Instrumen
- windmater / anemometer 1 buah
- hygrometer / RH meter 1 buah
- termometer 1 buah
- barometer 1 buah
2 Pompa vakum 1 buah
3 Gas bag 1 buah
4 Flow meter 1 buah
5 Gen set (min 2k VA) 1 buah
6 Gas sampler 1 buah
7 Dust sampler 1 buah
8 Flow meter 1 buah
9 High Volume Air Sampler (HVS) 1 buah
10 Thermokopel 1 buah
11 Inelined manometer 1 buah
12 Mercury manometer 1 buah
13 Impinger glass 4 buah
14 Probe 2 buah
15 NOx sampling bottle 4 kotak
16 SOx sampling bottle 4 kotak
17 Filter paper 4 buah
B) Peralatan Laboratorium
1 Spektrofotometer UV/Vis 1 buah
2 GC (Getector FID dan FPD) 1 buah
3 Spektrofotometer Serapan Atom 1 buah
4 Non dispersive Infra Red Analyzer 1 buah
5 Sound LEvel Meter 1 buah
6 Sound calibrator + printer 1 buah
7 Integrated Sound LEvel meter + printer 1 buah
C) Peralatan Penunjang
1 Ultra mikro balance 1 buah
2 Refrigerator 1 buah
3 Desikator 1 buah
4 Partikel meter 1 buah
5 Hot plate 1 buah
6 Destruktor 1 buah
7 Perangkata titrasi 1 buah
8 hot plate 1 buah
9 Penagas air 1 buah
10 Furnace 1 buah
11 Oven 1 buah
12 Perangkat destilasi 1 buah
13 Bunsen Burner 1 buah
14 pH meter 1 buah
338
III Analisis Mikrobiologi B -3
A. Peralatan Lapangan
1 Plankton net 1 buah
2 Bacteriological water sampel 1 buah
3 Saringan bentos 1 buah
4 Ice box 1 buah
5 botol contoh uji (polietilen dan gelas) 20 buah
6 Sekop 1 buah
7 Eichnab grab 1 buah
8 Coliwasa 1 buah
9 Thief 1 buah
10 Auger 1 buah
11 Trier 1 buah
B. Peralatan Laboratorium
1 Mikroskop (monokuler dan binokuler) 1 buah
2 Counter 1 buah
3 Colony counter 1 buah
4 Sedwich raffer 1 buah
5 Tabel MPN 1 buah
6 Spektrofotmeter serapan atom (AAS) 1 buah
7 Kromatografi gas (ECD, FID, FPD) 1 buah
8 Spektrofotometer serapan atom (UV/Vis) 1 buah
9 Toxicity Characteristic Leaching
Produce 1 buah
10 Pensky Marten Closed Flash/seta Flash 1 buah
11 Kalorimetri bom 1 buah
C. Peralatan Penunjang
1 Timbangan Analitis 1 buah
2 Timbangan Teknis 1 buah
3 Refrigerator 1 buah
4 Inkubator :
- Aerob 1 buah
- Anaerob 1 buah
5 Autoclave 1 buah
6 Lampu spiritus 1 buah
7 Centrifuge 1 buah
8 Big Essay Test 1 buah
9 Hot plate 1 buah
10 Alat bedah 1 buah
11 Evaporator 1 buah
12 Sentrifuge 1 buah
13 Oven 1 buah
14 Cawan porselin 1 buah
15 Termometer 1 buah
16 Laminar air flow 1 buah
17 bunsen burner 1 buah
18 Colony counter 1 buah
19 Counter 1 buah
20 Tabel MPN 1 buah
21 Viskometer 1 buah
22 Alat gelas Secukupnya
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris Utama Bapedal
ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
Tabel 3 : Persyaratan Peralatan Teknis Laboratorium Lingkungan (Lanjutan)
No. Jenis Peralatan Keterangan
339
Tabel 4 : Kemampuan Analisis Air Sumber dan Limbah Cair
No. Parameter Teknik Peralatan
Fisika
1 Bau Organoleptik Indera pembau
2 Rasa Organoleptik Indera perasa
3 Derajad keasaman pH Potensiometri pH meter
4 Jumlah zat padat terlarut Gravimetri Timbangan analitis
5 Salinitas Salinometri Salinometri
6 Kekeruhan Turbidimetri Trubidimetri
7 Suhu Pemuaian Termometer
8 Warna Kolorimetri Spektofotometer
9 Daya Hantar Listrik Potensiometri Konduktivitimeter
Kimia Anorganik
1 Aluminium Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
2 Amoniak bekas Spektofotometri Spektofotometer
3 Arsen Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
4 Barium Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
5 Besi Spektofotometri serapan atom spektofotometer serapan atom
6 Boron Spektofotmetri Spektofotometer
7 Fluorida Spektofotometri Spektofotometer
8 Fosfat Spektofotometri Spektofotometer
9 Kadmium Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
10 BOD Titrimetri Buret
11 COD Titrimetri Buret
12 Kesadahan Titrimetri Buret
13 Klorida Titrimetri Buret
14 Klorida bebas Klorometer Spektofotometer
15 Kromium valensi 4 Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
16 Mangaan Spektofotometri serapan atom Spektofotmeter serapan atom
17 Natrium Flametometri Flametometer
18 Nikel Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
19 Nitrat N Spektofotometri Spketofotometer
20 Nitrit N Spektofotometri Spketofotometer
21 Oksigen terlarut Titrimetri Buret
22 Perak Spketofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
23 Raksa Spketofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
24 RSC Titrimetri Buret
25 Salinitas Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
26 Seng Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
27 Sianida Spektofotometri Spektofotometer
28 SAF Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
29 Sulfida sebagai H
2
S Spektofotometri Spektofotometer
30 Sulfat Spektofotometri Spektofotometer
31 Tembaga Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
32 Timbal Spektofotometri serapan atom Spektofotometer serapan atom
33 Nilai Permanganat Titrimetri Buret
34 Senyawa aktif biru Spektofotometri Spektofotometer
35 Fenol Spektofotometri Spektofotometer
36 Minyak dan lemak Gravimetri Neraca analitis
37 Detergen Spektofotometri Spektofotometer
Pestisida
1 DDT Kromatografi Kromatografi gas
2 Endriase Kromatografi Kromatografi gas
3 BHC Kromatografi Kromatografi gas
4 Metil partion Kromatografi Kromatografi gas
5 Malenon Kromatografi Kromatografi gas
6 Aldrin dan Dietil Kromatografi Kromatografi gas
7 Klor Kromatografi Kromatografi gas
8 Benzena Kromatografi Kromatografi gas
Heptaklor dan Heptoklor Kromatografi Kromatografi gas
9 Epoksi
10 Berxy (a)pyxen Kromatografi Kromatografi gas
11 Lindane (BHC) Kromatografi Kromatografi gas
12 Metoxychlor Kromatografi Kromatografi gas
13 Organofosfat Kromatografi Kromatografi gas
14 Karbamat Kromatografi Kromatografi gas
15 Toxaphene Kromatografi Kromatografi gas
16 2,4 D Kromatografi Kromatografi gas
17 1,2 dikloro ethane Kromatografi Kromatografi gas
18 1,1 diloro ethane Kromatografi Kromatografi gas
19 Hexachlorobenzene Kromatografi Kromatografi gas
20 Pentachloropenol Kromatografi Kromatografi gas
21 2,4,6 Trichloropenol Kromatografi Kromatografi gas
340
Tabel 5 : Kemampuan Analisis Udara Ambient
No. Parameter Teknik Peralatan
Udara Ambient
1 Amonia Spektofotometri Spektofotometer
2 Debu Gravimetri High volume air sampler
3 Hidrogen Sulfida Spektofotometri Spektofotmeter
4 Hidrokarbon Kromatografi Kromatografi gas
5 Karbon Monoksida NDIR NDIR Analyzer
6 Oksigen nitrogen Spektofotometri Spektofotometer
7 Oksigen Spektofotometri Spektofotometer
8 Sulfur dioksida Spektofotometri Spektofotmeter
9 Timbal Gravimetri High volume air sampler
Tabel 6 : Kemampuan Analisis Emisi
No. Parameter Teknik Peralatan
Emisi
1 Amonia Spektofotometri Spektofotometer
2 Partikel Gravimteri HIgh volume air sampler
3 Hidrogen Sulfida Spektofotometri Spektofotometer
4 Hidrogen Oksida Spektofotometri Spektofotometer
5 Opasity Visual Indera penglihatan
6 Oksida Nitrogen Spektofotometri Spektofotometer
7 Hidrogen klorida Spektofotometri Spektofotometer
8 Sulfida dioksida Spektofotometri Spektofotometer
9 Klorin dan Klor Dioksida Titrimetri Buret
10 Timbal Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom
11 Raksa Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom
12 Arsen Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom
13 Antimon Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom
14 Kadmium Spektofotometri serapan atom Spektofotometri serapan atom
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf.
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris Utama Bapedal
ttd
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
341
342

Anda mungkin juga menyukai