Anda di halaman 1dari 10

Relasi Dasar antara Metafisika dan Sains adalah

Separasi dan Interaksi, Bukan Integrasi


Cipta Bakti Gama ICAS MA Islamic Philosophy - New Theology

Pengantar Pandangan umat Islam tentang relasi antara sains dan metafisika (filsafat dan teologi Islam) bisa dibagi ke dalam dua kategori umum: 1.) Separasi, seperti: instrumentalisme dan netralisasi sains dari metafisika; dan 2.) Integrasi, seperti: Islamisasi sains, sains Islami, Bucaillisme, dan Harun-Yahyaisme (Bagir 2005; Kalin 2002)1. Perdebatan panjang sudah berlangsung antara kedua kubu tersebut, paling tidak sejak tiga dekade yang lalu, dan belum menghasilkan kesepakatan. Dalam konteks ini, buku Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question (2011), bisa dinilai sebagai salah satu karya terkini yang serius. Yang menarik pada Guessoum adalah di satu sisi ia mendukung adanya sejenis integrasi antara sains dan metafisika, seperti kosmologi teistik2; namun di sisi lain ia juga bergabung dalam semacam petisi aliansi saintis dari berbagai negara (diterbitkan oleh Le Monde, 23-2-2006) untuk menegaskan netralitas sains dari metafisika dan agama3. Petisi itu juga berisi ajakan kepada saintis untuk bersikap terbuka terhadap jalan pengetahuan selain sains, termasuk adanya refleksi atas implikasi metafisis dari sains. Ini mengindikasikan dua hal: pertama, sains tidak akan dipengaruhi metafisika apapun; dan kedua, integrasi yang dimaksud Guessoum mungkin hanya ada di ranah interpretasi atas sains. Jika memang benar demikian, menurut saya, sebenarnya Guessoum ada di pihak yang mendukung separasi, bukan integrasi. Posisi Guessoum tersebut memunculkan beberapa pertanyaan. Pertama, benarkah sains tidak dipengaruhi oleh metafisika? Kedua, apa implikasi jawaban atas pertanyaan pertama terhadap relasi antara sains dan metafisika? Berikut saya akan menelaah jawaban terhadap dua pertanyaan tersebut.

Sains, Metafisika, Filsafat, Agama, dan Pengaruh Sebelum membahas lebih jauh jawaban terhadap dua pertanyaan di atas, menurut saya ada beberapa istilah kunci yang perlu diklarifikasi dahulu maknanya, yaitu: sains, metafisika, agama, dan pengaruh. Istilah-istilah tersebut memiliki makna yang tidak disepakati. Hal ini pada faktanya menjadi salah satu sebab perbedaan konseptual tentang relasi antara metafisika dan sains. Di sini saya tidak akan melakukan analisa terhadap makna mana yang lebih baik digunakan. Saya hanya akan memilih makna tertentu saja terlepas dari apapun alasannya. Pertama, saya memilih pandangan Mario Bunge tentang makna sains. Menurutnya sains adalah pengetahuan (cognitive field) dengan fitur tertentu yang terangkum dalam F = <C, S, G, D, F, B, P, K, A, M> , di mana C (community) adalah komunitas ilmuwan F ; S (society) adalah masyarakat yang merupakan rumah C; G (general outlook) adalah konsep umum yang menjadi presuposisi dari F ; D (domain) adalah lingkup objek kajian yang digeluti C; F (formal background) adalah latar belakang pengetahuan formal seperti logika dan matematika yang digunakan pada F ; B (specific background) adalah sejumlah presuposisi yang ada pada F dan diambil dari bidang pengetahuan lainnya; P (problematics) adalah sejumlah masalah yang dikaji dalam F ; K (knowledge) adalah pengetahuan khusus yang diakumulasikan oleh C; A (aims) adalah tujuan dari C; M (methods) adalah metode yang digunakan pada F .4 Kesepuluh anggota F memiliki kriteria tertentu yang akan saya singgung seperlunya pada bagian lain dari makalah ini. Kedua, yang saya maksud dengan metafisika adalah: (1.) pandangan tentang realitas dan/atau wujud, baik (1.a.) realitas/wujud itu sendiri, ataupun (1.b.) realitas/wujud dari sesuatu. Secara umum klaim metafisis jenis ini bisa dicirikan dengan kategori-kategori metafisis pada proposisiproposisinya. Contoh kategori metafisis yang paling utama adalah ril (nyata), tidak ril (ilusi/penampakan/fenomena/konstruk mental). (2.) pandangan tentang entitas yang tidak terverifikasi secara langsung lewat pengalaman inderawi, seperti: Tuhan, malaikat, roh zaman, dan yang lainnya. 5 Setiap klaim metafisis bisa didasarkan pada pengetahuan rasional, teks agama, atau pengetahuan awam (common sense). Yang pertama bersifat filosofis, yang kedua religius, dan yang ketiga awam. Ini juga mengklarifikasi makna filsafat dan agama yang saya pilih, yaitu: filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh melalui rasio/logika yang premisnya hanya didasarkan pada pengetahuan a priori-aksiomatik dan/atau a posteriori-empirik; artinya ia tidak merujuk pada teks suci,

pengetahuan awam, pengalaman mistik, dan yang semacamnya. Lalu, agama adalah pengetahuan yang diperoleh melalui teks suci agama tersebut (dalam konteks Islam: al-Quran dan Sunnah, termasuk perkataan para imam dalam ajaran Syiah), sekalipun teks suci tersebut dipahami secara logis. Ketiga, yang saya maksud dengan pengaruh mencakupwalau mungkin tidak terbatas pada, hal-hal berikut. (1.) inspirasi (makna awam); (2.) implikasi (istilah logika), (3.) biimplikasi (istilah logika), (4.) presuposisi (istilah logika), dan (5.) presedensi (istilah Mario Bunge 6). Contoh inspirasi adalah perumusan gaya gravitasi Newton diinspirasi oleh apel yang selalu jatuh ke bawah setelah dilempar ke atas. Contoh implikasi: jika mata kita normal (p) dan ada cahaya (q), maka kita bisa melihat (r) [simbolisasi: (p q) r]. Contoh biimplikasi: air ada (a) jika dan hanya jika atom hydrogen ada (b) dan atom oksigen ada (c) [simbolisasi: a (b c)]. Contoh presuposisi: pandangan bahwa alam ini diatur oleh mekanisme tertentu (x) adalah presuposisi dari usaha untuk mengetahui hukum alam yang merepresentasikan mekanisme tersebut(y) [simbolisasi: x y ]. Dan contoh presedensi (symbol: <), yaitu suatu pengetahuan yang mengandung proposisi yang digunakan oleh (epistemologis), berkonsekuensi pada (logis), atau menjadi unsur dari (ontologis) pengetahuan lainnya: pengetahuan tentang atom pada fisika (i) adalah presedensi dari pengetahuan tentang molekul pada kimia (j) [simbolisasi: i < j], karena atom adalah unsur dari molekul. Setelah konsep-konsep kunci di atas terklarifikasi, berikutnya saya akan masuk ke telaah jawaban terhadap dua persoalan utama dalam makalah ini.

Pengaruh Metafisika terhadap Sains Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sebagian kalangan (seperti Guessoum) memandang bahwa sains tidak dipengaruhi oleh metafisika. Petisi yang saya sebutkan di bagian pengantar juga menyebutkan, Kami sama-sama percaya bahwa pemikiran religius atau metafisis seharusnya tidak, a priori, menginterfensi kegiatan saintifik. 7 Pernyataan ini cukup menggambarkan apa yang saya maksud dengan sains tidak dipengaruhi oleh metafisika sebagai posisi yang mereka ambil. Mengapa demikian? Paling tidak saya mendapati dua argumen yang mendukung posisi ini:

Pertama, metafisika tidak dibutuhkan dalam praktik sains. Barangkali pernyataan Leibniz (1646-1716), seorang filsuf-saintis ternama dari Jerman, mewakili argumen ini. Ia pernah menyatakan, Fisikawan bisa menjelaskan eksperimen-eksperimennya, [], tanpa harus mengajukan prinsipprinsip yang dibahas oleh ilmu yang lain (baca: teologi dan metafisika)8. Kedua, fakta bahwa dua orang yang pandangan metafisisnya berbeda namun kesimpulan saintifiknya sama. Contohnya adalah para peraih Nobel fisika tahun 1979, Abdussalam yang meyakini tauhid dan Steven Weinberg yang ateis, sampai pada kesimpulan yang sama tentang penggabungan gaya-gaya elektromagnetik lemah yang ada di alam. Contoh ini diajukan oleh fisikawan Pakistan, Pervez Hoodbhoy9. Menurut saya, dua argumen di atas sangat mudah dibantah. Fakta bahwa dua penganut metafisika yang berbeda menghasilkan kesimpulan saintifik yang sama tidak menunjukan bahwa kesimpulan mereka tidak dipengaruhi oleh pandangan metafisika. Kasus Abdussalam dan Weinberg, menurut saya, justru menunjukan bahwa pengaruh itu ada, khususnya berupa inspirasi. Abdussalam mengaku bahwa ia terinspirasi oleh pandangan tauhidnya dalam menyatukan gaya-gaya elektromagnetik lemah tadi.10 Weinberg juga menganggap bahwa ada pengaruh para filsuf atas para saintis di level prakonsepsi (istilah yang saya gunakan: presedensi logis). 11 Memang presedensi logisnya tidak terdapat pada rumusan dia tentang gaya elektromagnetik lemah, melainkan ada di konsep umum (G). Namun demikian, suatu pengetahuan saintifik harus memiliki konsep umum. Pandangan Leibniz bahwa saintis sudah tidak perlu mengetahui prinsip-prinsip metafisis sama sekali tidak menunjukan bahwa tidak ada pengaruh metafisis dalam sains (dalam konteks ini fisika). Pandangan Leibniz ini bisa jadi benar menunjukan bahwa metafisika tidak dibutuhkan dalam fisika (sebutlah: L) jika dan hanya jika konsep umum (G) dari fisika dipandang bukan bagian dari fisika (dalam konteks yang lebih umum: sains, sebutlah: S); atau tidak perlu tahu G (sebutlah: m) sama dengan tidak ada G. [Simbolisasi: L {(G < S) (m G)}]. Hanya saja, (m G) salah, karena tidak perlu tahu (m) tidak berarti tidak ada (G). Di sisi lain, (G < S) juga salah atas dasar definisi sains yang saya pegang. Di sinilah justru persoalan utamanya: definisi sains tidak disepakati. Terlepas dari itu, karena baik (m G) ataupun (G < S) salah, maka {(G < S) (m G)} juga salah. Dan karena {(G < S) (m G)} salah, maka L (yaitu: metafisika tidak dibutuhkan dalam fisika/sains) juga salah. Jadi yang benar adalah metafisika dibutuhkan dalam sains.

Sebenarnya pernyataan Leibniz itu sendiri tidak salah (m benar). Pernyataan m lebih baik dikaitkan dengan masalah relasi antara G dengan unsur-unsur sains (F ) yang lainnya (khususnya: D, F, B, P, K, A, M). Ini berarti kita harus masuk ke persoalan berikutnya: apa relasi yang benar antara metafisika dan sains? Sebagai pertanyaan penghubung antara subtopik ini dengan yang berikutnya, ada satu persoalan yang juga penting: bukankah definisi sains yang saya pilih di makalah ini menunjukan integrasi metafisika dan sains?

Relasi Metafisika dan Sains: antara Separasi, Interaksi, dan Integrasi Tak perlu dipungkiri lagi, bahwa pada faktanya, dalam kasus fisika (seperti yang banyak disinggung dalam makalah ini), G fisika umumnya sudah diabaikan oleh para fisikawan saat ini. G fisika saat ini digeluti oleh para peminat filsafat sains (baik fisikawan ataupun bukan). Dengan kata lain, G adalah urusan filsafat, bukan sains. G memang persoalan filosofis, karena G adalah metafisika itu sendiri (dengan makna 1.b). Namun saya tetap mendukung posisi bahwa G saat ini pada dasarnya dilihat dari beberapa aspek terpisah dan harus dipisahkan dari D, F, B, P, K, A, M, namun tetap berinteraksi (saling mempengaruhi). Saya tidak setuju dengan gagasan integrasi khususnya versi Al-Attas 12 , Nasr13, dan Faruki14. Argumen saya adalah sebagai berikut: Pertama, persoalan G sendiri sudah menjadi sangat kompleks dan pernyataan m dari Leibniz benar khususnya untuk ilmu alam yang sudah berkembang sangat jauh. Seperti kata Bunge, G (termasuk D, F, B, P, K, A, M) butuh banyak dibicarakan di tahap awal pembangunan suatu disiplin sains.15 (Berbeda dengan ilmu alam, ilmu sosial masih terus mencari bentuk hingga sekarang, jadi masih sangat perlu pematangan di masalah G yang akan berpengaruh pada D, F, B, P, K, A, M 16). Untuk kepentingan penyederhanaan kompleksitas ini (aspek pragmatis), maka separasi bisa diambil sebagai strategi yang baik. (Saya tidak anti integrasi). Kedua, integrasi versi Al-Attas, Nasr, dan Faruki bisa dibilang bergerak sangat lambatjika tidak disebut stagnan, atau paling tidak, kurang mendapat sokongan yang cukup dari masyarakat (S), padahal S harus kondusif untuk perkembangan F. Persoalan Faruki berawal dari kesulitan memunculkan saintis (C) yang menguasai dua bidang pengetahuan: Islam dan Barat. Ditambah lagi sains modern sendiri terus berkembang. Seperti pernah dikatakan oleh Abdul Hamid Abu Sulayman, mantan rektor IIUM dan direktur IIIT, bahwa proses Islamisasi ibarat moving towards a moving
5

target.17 Di sisi lain, masalah utama gagasan Al-Attas dan Nasr, menurut saya, adalah sifatnya yang terlalu elitis karena mendasarkan metafisikanya pada metafisika sufistik. Selain itu, pembahasan wujud qua wujud (metafisika dengan makna 1.a.) sufistik malah mengantarkan sebagian penganutnya seperti William Chittick (bahkan Nasr sendiri) menjadi anti sains modern.18 Jika sains modern ditolak, berarti gagasan integrasi sains itu sendiri menjadi gugur. Ketiga, ada persoalan mendasar dalam interaksi metafisika dengan sains, yaitu masalah ambiguitas. Z. A. Bagir sudah mengangkat persoalan ambiguitas ini dalam konteks implikasi metafisis dari suatu teori sains. 19 Di sini saya ingin memperluas masalah ambiguitas tersebut ke seluruh interaksi antara sains dan metafisika. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pengaruh metafisika (G) terhadap sains (unsur-unsur sains selain G) bisa berupa inspirasi, implikasi, biimplikasi, presuposisi, dan presedensi. Hal paling utama yang menyebabkan ambiguitas ini adalah keragaman proposisi yang ada pada metafisika (baik filosofis ataupun religius). Jika jalan integrasi yang diambil, maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan problem keragaman proposisi ini: (a.) memilih proposisi metafisis yang benar atas dasar keahlian di bidang metafisika (bisa filosofis, religius, atau keduanya), atau (b.) memilih proposisi metafisis yang benar atas dasar kesesuaian dengan sains. Yang terbaik adalah pilihan a, namun faktanya umumnya orang ada di posisi b. 20 Walau bagaimanapun, hasil dari integrasi tidak akan tunggal, karena perbedaan berbagai proposisi metafisis sangat sulit untuk diseragamkan. Keempat, ada aspek dari sains yang memang bisa dinetralkan dari pilihan proposisi metafisis (sebagian penulis penyebutnya dengan Duhemian science 21 ). Integrasi justru akan menghambat perkembangan aspek sains yang netral (lebih tepatnya: cocok dengan banyak pandangan metafisis) ini. Contohnya adalah masalah evolusi manusia. Di dunia Islam, kubu anti evolusi yang direpresentasikan oleh gerakan Harun Yahya, sejak dekade 1980-an, cukup vokal dalam menyatakan pendapatnya hingga mempengaruhi kebijakan penyusunan kurikulum pendidikan biologi di sebagian negara Arab.22 Sudah cukup diketahui umum, ia mengklaim bahwa teori evolusi tidak saintifik dan identik dengan ateisme, yang oleh karena itu bertentangan dengan Islam dan harus ditolak. Salah satu kritik penting terhadap pandangan Harun Yahya adalah bahwa ia seharusnya memisahkan antara klaim metafisis (ateisme) dengan klaim saintifik (teori evolusi dalam biologi).23 Dengan kata lain, sebenarnya G dari teori evolusi biologis bisa dinetralkan dari ateisme, karena bisa cocok juga dengan teisme, panteisme, dan panenteisme. Jika kita mengikuti jalan Harun Yahya, maka
6

riset di bidang evolusi biologis akan terhenti, padahal itu adalah suatu bidang yang sangat penting, dan belum memiliki teori saintifik tandingan yang serius.24 Singkat kata, sekali lagi, saya mendukung separasi-interaksi metafisika dan sains, dan tidak setuju dengan integrasi (Islamisasi, sains Islami). Terakhir, saya ingin lebih memperjelas apa yang saya maksud dengan separasi dan interaksi. (1.) Maksud separasi adalah bahwa metafiska (G) dan sains (unsur-unsur sains selain G) adalah unit-unit tersendiri yang bisa berkembang sesuai pendekatan masing masing (seperti telah disinggung sebelumnya, saya membedakan antara pendekatan religius dan filosofis). Contoh: untuk menjawab persoalan apakah evolusi memiliki tujuan bisa dibahas secara filosofis ataupun religius, bersamaan dengan pengembangan teori evolusi yang dibahas oleh biologi yang terlepas dari jawaban apapun terhadap pertanyaan tersebut. Contoh lainnya adalah pertanyaan apakah medan elektromagnetik itu materi atau immateri? Pertanyaan ini bisa dikembangkan dalam metafisika, bersamaan dengan pengembangan riset fisika di bidang elektromagnetisme terlepas dari apapun kesimpulan metafisis yang dihasilkan (tentu selain kesimpulan metafisis bahwa medan elektromagnetik itu tidak ada; ambiguitas bukanlah relatifisme yang memandang semua klaim benar karena relatif bagi setiap individu). (2.) Interaksi maksudnya adalah bahwa G dan unit-unit sains yang lain tersebut bisa saling mempengaruhi (dengan makna pengaruh yang sudah dijelaskan sebelumnya). Contohnya adalah masalah jiwa-raga dalam metafisika: apakah jiwa merupakan substansi yang berbeda dari raga (dualisme) ataukah hanya fungsi dari raga/proses kerja otak (monism materialis)? Seperti dikatakan oleh Nancey Murphy, seorang ahli filsafat sains dan teologi Kristen, bahwa perkembangan mutakhir di bidang neurobiologi (studi atas image fungsi otak) telah mendorong banyak filsuf meninggalkan dualisme25 seperti yang dianut oleh Descartes ketika mengetuk gong filsafat modern. Ini merupakan salah satu bentuk pengaruh sains (K) atas metafisika (G) yang ditimbulkan oleh interaksi keduanya. Contoh lainnya adalah masalah apakah ilmu sosial harus didekati dengan metode yang samasekali berbeda dengan ilmu alam? Ada yang menjawab, Ya (seperti Verstehen-nya Delthey), ada yang menjawab, Sama sekali tidak (seperti pandangan the Acadmie Franaise di awal era pencerahan), dan ada yang menjawab, tidak secara keseluruhan (seperti sistemismenya Bunge).26 Perbedaan pendekatan (M) seperti ini memiliki presedensi metafisis, yaitu soal: Apakah masyarakat itu
7

merupakan entitas spiritual (aliran Geisteswissenschaften), natural murni (aliran naturalis), ataukah suatu set unit-unit natural yang memiliki emergent properties tertentu (aliran sistemis)?

Kesimpulan Perbedaan pandangan soal relasi antara metafisika dan sains: apakah integrasi, separasi-non interaksi, ataukah separasi-interaksi berakar pada perbedaan pemaknaan terhadap istilah-istilah kunci yang digunakan (sains, metafisika, agama, filsafat, integrasi, separasi, interaksi, dan pengaruh). Saya sudah memilih makna tertentu dari istilah-istilah itu dalam menjawab persoalan ini. Dengan pilihan makna tersebut, saya sampai pada kesimpulan bahwa baik metafisika ataupun sains bisa saling mempengaruhi, baik berupa inspirasi, implikasi, biimplikasi, presuposisi, presedensi epistemologis, presedensi logis, ataupun presedensi ontologis (Secara khusus saya sudah menunjukan pengaruh interaksi K-G dan G-M) . Ini berarti saya tidak setuju dengan posisi Guessoum yang tampaknya memandang bahwa sains tidak dipengaruhi oleh metafisika, yang ada adalah implikasi metafisis dari sains, dan integrasi sains dan metafisika terletak pada interpretasi metafisis atas suatu teori saintifik. Saya juga memilih posisi yang berbeda dengan integrasi sains-metafisik Faruki (Islamisasi epistemologis-metodologis), Nasr (sains Islami), dan Al-Attas (Islamisasi metafisika), bukan karena pandangan mereka samasekali salah, tapi karena persoalan kesulitan (pragmatis) yang berkaitan dengan kondusifitas S dan ambiguitas integrasi (termasuk interaksi). Separasi-interaksi sains dan metafisika lebih cocok dengan situasi S saat ini yang kapabilitasnya sangat beragam (ada yang saintis saja, filsuf saja, religius saja, dan hanya sedikit kapabel lintas bidang), juga lebih cocok untuk memberi ruang pada beragam hasil interaksi yang disebabkan oleh keragaman pandangan metafisis dan kapabilitas itu.

Lihat: Z. A. Bagir, Islam, Science, and Islamic Science: How to Integrate Science and Religion?, h. 4-5, dipublikasikan dalam Z. A. Bagir (ed.), Science and Religion in the Post-colonial World: Interfaith Perspectives, (ATF

Press, 2005); Ibrahim Kalin, Three Views of Science in the Islamic World, dipublikasikan dalam Ted Peters, Muzaffar Iqbal, S. N. Haq (eds.), God, Life, and the Cosmos, (Ashgate, 2002).
2

Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science, (London-New York: I.B. Tauris, 2011), h. 217-218. Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 357-360. Lihat: Mario Bunge, Diagnosing Pseudoscience, dalam Mario Bunge, Philosophy in Crisis, (New York: Prometheus Books, 2001), h. 167.

3 4

Tidak semua aliran filsafat membahas metafisika dalam arti 1.a. Pembahasan metafisika seperti ini paling tidak tampak menonjol pada tiga aliran besar Peripatetik, Isyroqi dan Hikmah Mutaaliyah di tradisi filsafat Islam. Metafisika dalam arti 1.b. dibahas oleh semua filsafat yang menggeluti ontologi. Sedangkan metafisika dengan pengertian 2 bisa didapati pada agama, mistisisme, dan pengetahuan awam.

Mario Bunge, Knowledge Pyramids or Rossettes?, dalam Mario Bunge, Evaluating Philosophies, (Dordrecht: Springer, 2012), h. 167-169. Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 357. Leibniz, Discourse on Metaphysics, dalam Roger Ariew & Daniel Garber (terj., ed.), G. W. Leibniz: Philosophical Essays, (Indianapolis & Cambridge: Hackett Publishing Company, 1989), h. 43.

7 8

Dikutip dari U. Maman Kh., Pola Berpikir Sains: Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam , (Bogor: QMM Publishing, 2012), h. 67. Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 130-131. Lihat: Steven Weinberg, Dreams of A Final Theory: The Scientists Search for The Ultimate Laws of Nature , (New York: Vintage Books, 1993), h. 166-167.

10 11

12 13 14

Lihat: Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Lihat: S. H. Nasr, Religion and the Order of Nature, (New York: OUP, 1996). Lihat: Abdul Hamid Abu Sulayman (ed.), Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan , 2nd edition, (Herndon: IIIT, 1988).

15 16

Lihat: Mario Bunge, Philosophy of Science, vol. I, (New Brunswick-London: Transaction Publishers, 2009), h. 13. Tentang perdebatan filosofis dalam soal fondasi ilmu sosial saya merujuk Mario Bunge, Social Science under Debate: A Philosophical Perspective, (Toronto-Buffalo-London: University of Toronto Press, 1999).

17

Dikutip dari Mohamed Aslam Haneef, A Critical Survey of Islamization of Knowledge, (Kuala Lumpur: IIUM, 2005), h. 51. Tentang pandangan Chittick saya merujuk Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 73. Tentang Nasr, saya mendapat kesan yang berbeda ketika membaca Man and Nature dan wancara oleh Ramin Jahanbegloo yang dipublikasikan pada 2010, walau sebenarnya tidak menunjukan pertentangan antara padangan Nasr dalam dua buku tersebut. Pada Man and Nature, Nasr tampak hanya berusaha untuk menjelaskan pentingnya rediscovery metafisika yang diantara perannya adalah menjelaskan batasan-batasan sains modern (Chap. 4). Namun dalam wawancara, ia tampak menekankan perlawanannya pada modernitas sebagai pandangan dunia (filsafat/metafisika). Ia menyatakan bahwa ia tidak percaya tentang kemungkinan menjembatani antara filsafat modern dan Islam (h. 209). Jika sains

18

modern dipahami sebagai sains yang G-nya disuplai oleh filsafat modern, cukup jelas lah bahwa Nasr akan menolak sains modern dalam pengertian ini. Lihat: S. H. Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Mandala, 1990); Ramin Jahanbegloo, In Search of the Sacred: A Conversation with SHN on His Life and Thought, (Santa Barbara: Preager, 2010).
19 20

Z. A. Bagir, Islam, Science, and Islamic Science, h. 15-22. Di sini saya berbeda pandang dengan tokoh-tokoh (seperti Guessoum) yang menganggap memilih suatu teori saintifik atas dasar pandanga religius sebagai kesalahan metodologis. Menurut saya, cara seperti itu sah bagi orang-orang yang bukan saintis. Bahkan sebenarnya pendekatan seperti ini bisa digeneralisasi dengan klasifikasi seperti yang saya tulis di main text di atas. Guessoum sendiri yang bukan ahli filsafat sebenarnya menggunakan pendekatan seperti ini. Ketika ia berbicara masalah kosmologi teistik. Ia berandai bahwa metafisika yang cocok untuk teologi teistik bisa versi Ibn Rusyd atau Sufistik. Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 217-218.

21 22 23 24

Soal Duhemian sains ini saya merujuk Z. A. Bagir, Islam, Science, and Islamic Science, h. 10-13. Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 319-321. Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 323-324. Seperti dikatakan Guessoum, saat ini secara saintifik evolusi sudah menjadi fakta kokoh (established fact), bukan

sekedar teori. Lihat: Nidhal Guessoum, Islams Quantum Question, h. 323.


25

Nancey Murphy & Warren S. Brown, Did My Neuron Make Me Do It? Philosophical and Neurobiological Perspectives on Moral Responsibility and Free Will, (Oxford: OUP, 2007), h. 6.

26

Lihat: Mario Bunge, Social Science under Debate, h. 10-21.

10

Anda mungkin juga menyukai