Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Hortikultura, Tahun 1997, Volume 7, Nomor (2): 710-721

IDENTIFIKASI KELEMBAGAAN WILAYAH PENGEMBANGAN USAHATANI


TANAMAN HIAS
Witono Adiyoga, Oemi Koesmawardhani, Rachman Suherman, Thomas Agoes S.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W.; Koesmawardhani, O.; Suherman, R. dan Soetiarso, T. A. 1995. Identifikasi Kelembagaan Wilayah
Pengembangan Usahatani Tanaman Hias. Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji aspek kelembagaan dalam kaitannya
dengan program pengembangan tanaman hias. Metode pengkajian pedesaan secara cepat digunakan untuk menghimpun
data dari sentra-sentra produksi tanaman hias yang tersebar di enam propinsi (DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan). Berbagai jenis kelembagaan yang diamati adalah kelembagaan penguasaan
lahan, sistim produksi, tenaga kerja, pasar sarana produksi, pasar hasil produksi, permodalan, ketatalaksanaan, penelitian
dan penyuluhan, serta kelompok tani dan koperasi. Tingkat perkembangan kelembagaan, ditinjau dari peran dan fungsinya,
sangat dipengaruhi oleh status usahatani tanaman hias sebagai cabang usaha yang dapat diandalkan di masing-masing
sentra propinsi. Tampaknya terdapat hubungan yang erat antara tingkat teknologi usahatani tanaman hias dengan
perkembangan tatanan kelembagaan yang ada. Walaupun tetap masih memerlukan perbaikan dan pembinaan, beberapa
indikator menunjukkan bahwa kelembagaan di sentra produksi tanaman hias di Jawa menjanjikan respon dukungan yang
lebih baik terhadap program pengembangan, dibandingkan dengan di luar Jawa.

Kata kunci: Kelembagaan, Wilayah pengembangan, Usahatani tanaman hias, Teknologi budidaya, Penguasaan
sumberdaya.

ABSTRACT. Adiyoga, W.; Koesmawardhani, O.; Suherman, R. dan Soetiarso, T. A. 1995. Identification of institutions
supporting ornamental farming regional development. This study was aimed to examine the roles of institutions and their
functions, in relation to ornamental crops development program. Rapid rural appraisal method was used for collecting data
from some ornamental production centers scattered over six provinces (DKI Jaya, West Java, Central Java, East Java, North
Sumatera, and South Sulawesi). Several types of institutions that had been observed were: land tenure, production system,
labor, factor markets, product markets, credit, governing and/or planning, research and extension, and group farming and
cooperatives. The results indicate that, the development of institutions, in terms of their roles and functions, is most likely
influenced by the extent to which ornamental farming has been practiced as a dependable income-generating source for
farmers. There is a close relationship between the existing ornamental farming technology and the demand for institutional
development. Even though, they still need improvements, some indicators suggest that supporting institutions in Java seem
more reasonably established than those in outer Java in accelerating ornamental crops development program.

Key words: Institution, Regional development, Ornamental farming, Cultural practices, Resource endowment.
Tinjauan peranan kelembagaan dalam menunjang keberhasilan perbaikan teknologi usahatani
tanaman hias masih belum banyak mendapat perhatian. Sementara itu, kelembagaan atau institusi-
institusi yang ada, sebenarnya tidak hanya berperan dalam menentukan keberadaan sumberdaya, tetapi
juga memiliki kapasitas dalam menentukan batas-batas pengunaan sumber daya tersebut (Barkley,
1988). Dengan demikian, setiap perubahan yang terjadi dalam kelembagaan akan berpengaruh terhadap
tingkat keberhasilan perbaikan teknologi.
Berdasarkan fungsinya, kelembagaan dapat dikategorikan ke dalam: (1) institusi penguasaan
tanah, (2) institusi pasar input, (3) institusi pasar produk, (4) institusi kredit, (5) institusi penyuluhan, (6)
institusi penelitian, (7) institusi perencanaan, (8) institusi pemerintahan lokal, dan (9) institusi tradisional
lainnya (Blase, 1971). Kesemua institusi tersebut memiliki karakteristik yang sama ditinjau dari
potensinya dalam memberikan pelayanan yang diperlukan untuk tranformasi teknologi. Oleh karena itu,
secara konsepsional pelayanan dari institusi-institusi yang ada dapat dipandang sebagai input produksi
yang akan memberikan nilai produk marjinal yang berbeda-beda.
Pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk pertumbuhan yang proses dinamikanya
selalu diimbangi oleh perubahan-perubahan kelembagaan (Schultz, 1968). Pola pengembangan
usahatani tanaman hias yang efektif dan efisien tidak mungkin tercapai jika hanya mengandalkan
perbaikan teknologi saja. Pengkajian kelembagaan menyangkut institusi-institusi yang memiliki potensi
strategis dalam menunjang usaha pengembangan merupakan salah satu syarat kecukupan untuk
mempercepat adopsi paket-paket teknologi. Berkaitan dengan hal ini, dinamika pengembangan wilayah
usahatani tanaman hias juga akan mendorong petani untuk meminta adanya perubahan-perubahan
kelembagaan/institusi. Misalnya, petani mungkin akan menghendaki perolehan jumlah kredit yang lebih
tinggi serta proses penyalurannya yang lebih lancar atau menghendaki sistim pemasaran yang lebih baik
dan terencana. Dengan demikian, keputusan petani untuk menerapkan paket-paket teknologi tidak
terlepas dari bentuk, struktur, peranan, dan kesiapan institusi-institusi yang ada.
Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh: (1) deskripsi kelembagaan (jenis, bentuk, dan
peranan) dari institusi-institusi di lokasi yang berpotensi sebagai wilayah pengembangan tanaman hias,
dan (2) identifikasi kendala kelembagaan serta alternatif usulan pemecahan masalah sehubungan
dengan rencana pengembangan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan penaksiran pedesaan secara


cepat (rapid rural appraisal). Pengumpulan data, khususnya yang menyangkut kelembagaan formal dan
informal serta pranata sosial lainnya, dilakukan melalui metoda triangulasi dan diskusi kelompok (Beebe,
1986). Lokasi penelitian mencakup enam propinsi, yaitu Sumatera Utara, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari setiap propinsi dipilih dua kabupaten, dua kecamatan,
dan minimal dua desa secara sengaja berdasarkan agroekosistem dan potensinya sebagai sentra
produksi tanaman hias (bunga potong, tanaman hias taman/pot). Sementara itu, responden (petani,
pedagang, dan institusi) dipilih secara sengaja (purposive).
Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, sedangkan data primer dikumpulkan dari
responden dan semua institusi/kelembagaan yang terlibat. Pengumpulan data primer ditempuh melalui
wawancara semi-berstruktur dengan penggunaan daftar topik pertanyaan singkat (Burgess, 1982). Hasil
wawancara juga dikonfirmasi melalui diskusi kelompok dengan petugas pertanian dan responden kunci.
Wawancara dan diskusi diarahkan sebagai suatu proses dimana informasi penting yang menyangkut
kelembagaan dapat digali berdasarkan topik pembicaraan ringan. Proses ini ditempuh untuk
mengarahkan responden agar dapat mengemukakan pendapat dan mendiskusikan persepsinya
mengenai topik kelembagaan tertentu (struktur dan bentuk kelembagaan, mekanisme dan peranan
kelembagaan, keterkaitan antar kelembagaan, serta mekanisme dan keragaan kelembagaan), bukan
hanya terbatas menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan baku. Data yang diperoleh kemudian diolah
dengan menggunakan metoda statistika deskriptif dan analisis isi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kelembagaan penguasaan lahan

Kelembagaan penguasaan lahan pada dasarnya merupakan suatu institusi yang terbentuk
mengacu kepada legalisasi dan kesepakatan (kontrak) atau kebiasaan, sehingga seseorang
mendapatkan kemudahan untuk dapat memanfaatkan kesempatan produktif dari sebidang lahan
pertanian. Pada kenyataannya, kelembagaan penguasaan lahan ini dapat menentukan pola distribusi
pendapatan di sektor pertanian (Dorner, 1971).
Pada usahatani tanaman hias, kelembagaan penguasaan lahan yang umumnya berlaku adalah
status milik dan status sewa. Sementara itu, status bagi hasil tampaknya kurang lazim dilakukan dalam
pengusahaan komoditas ini. Persentase terbesar petani tanaman hias dengan status lahan sewa
terdapat di Jawa Barat, sedangkan persentase penyewa terkecil terdapat di DKI Jaya. Hal ini ternyata
bukan merupakan indikasi lebih tingginya tingkat ketersediaan lahan, melainkan semata-mata
disebabkan oleh komposisi responden di DKI yang didominasi oleh petani tanaman hias pot/taman
(umumnya memanfaatkan halaman rumah milik sendiri). Penelitian intensif mengenai pasar lahan di
Jawa (Soentoro, Collier & Kliwon, 1981) mendefinisikan status sewa sebagai pemindahan fungsi
pengawasan atas sehamparan lahan dari petani pemilik kepada petani penyewa untuk suatu periode
waktu tertentu. Pemilik tidak memberikan input dan tidak menerima hasil panen dari usahatani yang
dilakukan oleh penyewa, serta sama sekali tidak dihadapkan pada resiko kegagalan panen. Penelitian di
atas menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pemindahan penguasaan sementara ini terjadi dari
petani miskin atau marjinal ke petani yang lebih kaya. Status penguasaan lahan sewa ini berhubungan
erat dengan pasar modal pedesaan (local/rural capital market), karena petani yang memiliki dana
menyewa dari petani yang kurang atau persediaan dananya sangat terbatas. Data dari beberapa
propinsi (Jabar dan Jatim) menunjukkan bahwa petani penyewa bukan hanya petani yang tidak memiliki
lahan, tetapi juga petani pemilik lahan yang melakukan perluasan usaha. Hasil penelitian ini memberikan
indikasi bahwa status sewa semakin berkembang di daerah-daerah dimana pengusahaan tanaman hias
sudah menjadi cabang usaha yang dapat diandalkan.
Tabel 1 Status penguasaan, kisaran luas dan nilai sewa lahan (Land tenure, land-holding size, and land rent value).
DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT SULSEL
n=14 (%) n=22 (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)
• Status penguasaan lahan
o Milik 92,9 31,8 75,0 44,4 60,0 67,0
o Sewa 7,1 63,6 25,0 44,4 30,0 33,0
o Milik dan sewa - 4,6 - 11,2 - -
o Bagi hasil - - - - 10,0 -
• Kisaran luas lahan Min. 0,04 Maks. 0,35
ha ha
• Kisaran nilai sewa (ribu Rupiah) 750 500 600 600 300 300
2.200 1.200 1.000 1.000 600 500
• Perkembangan luas lahan sewa 3 tahun terakhir
o Tetap 100,0 67,6 67,9 22,2 70,0 100,0
o Makin luas - 13,6 32,1 22,2 - -
o Makin sempit - 18,8 - 55,6 30,0 -

Luas penguasaan lahan berkisar antara 0.04-0.35 ha (terkecil di DKI dan terbesar di Sumut).
Sementara itu, nilai sewa lahan berkisar antara Rp. 300 000 - Rp. 2 200 000 per hektar per tahun
(kisaran terendah di Sumsel dan kisaran tertinggi di DKI). Berdasarkan besaran persentasenya, petani di
Sumut, Jatim dan DKI, secara berturut-turut merupakan tiga terbanyak yang menyatakan semakin
sulitnya memperoleh lahan sewa. Hal ini ternyata konsisten dengan pernyataan petani penyewa di
Sumut dan Jatim yang memberikan informasi bahwa selama tiga tahun terakhir, luas lahan yang disewa
semakin sempit.
Ditinjau dari sudut kelembagaan, status penguasaan lahan yang lazim pada pengusahaan
tanaman hias (milik dan sewa) tampaknya berjalan dengan baik dan bukan merupakan kendala
pengembangan. Walaupun demikian, keterbatasan penguasaan lahan yang juga tercermin dari
penelitian ini menyarankan bahwa pendekatan intensifikasi dalam pengembangan tanaman hias masih
merupakan alternatif terbaik yang dapat ditempuh.

Kelembagaan sistem produksi

Pemahaman mendetil mengenai sistem produksi serta pengambilan keputusan usahatani pada
setiap wilayah pengembangan sangat diperlukan dalam menentukan kesesuaian, kemudahan dan
potensi keberhasilan perubahan teknologi yang direkomendasikan maupun inovasi dibidang pertanian
lainnya (Norman, 1977). Sebagian besar responden, kecuali di Sulsel, menyatakan bahwa tanaman hias
merupakan usaha pokok. Secara berturut-turut, responden secara konsisten menyebutkan bahwa alasan
utama memilih tanaman hias sebagai usaha pokok adalah: (a) tingkat permintaan yang relatif stabil,
bahkan cenderung meningkat, sehingga dapat menjamin kontinuitas pendapatan, (b) kemudahan pasar,
terutama disebabkan oleh telah terjalinnya hubungan baik dengan konsumen tetap, dan (c) kebiasaan
menanam tanaman hias yang sudah turun temurun sehingga pengusahaan tanaman lain dianggap lebih
banyak

Tabel 2 Kategori sistem produksi dan alasan pemilihannya (Production system category and some reasons for choosing
ornamental farming).
DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT SULSEL
n=14 (%) n=22 (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)
• Tanaman hias sebagai mata pencaharian:
o Pokok 85.7 68.2 57.1 66.7 90.0 10.0
o Sampingan 14.3 31.8 42.9 33.3 10.0 90.0
• Alasan memilih tanaman hias:
o Permintaan meningkat 57.1 63.6 46.0 40.0 50.0 57.1
o Kemudahan pasar 14.3 27.3 38.0 40.0 20.0 14.3
o Kebiasaan 28.6 9.1 16.0 20.0 30.0 28.6

mengandung resiko. Sementara itu, petani Sulsel yang kebanyakan menyatakan bahwa tanaman hias
merupakan usaha sampingan mengemukakan alasan sebagai berikut: (a) tingkat permintaan yang relatif
masih rendah dan tidak stabil sehingga belum dapat menjamin kontinuitas pendapatan, (b) kesulitan
pemasaran yang sering menyebabkan ketidakpastian harga jual, dan (c) pilihan usahatani lain (sayuran
atau buah) yang lebih menguntungkan.
Disamping menanam tanaman hias, kedua kategori petani di atas juga mengusahakan tanaman
lain sebagai tanaman rotasi maupun tumpangsari. Sesuai dengan agroekologinya, petani tanaman hias
di dataran tinggi juga menanam sayuran, sedangkan petani tanaman hias di dataran rendah juga
menanam padi, palawija, sayuran dan buah-buahan.
Menarik untuk dicatat bahwa berbagai alasan yang dikemukakan oleh petani berkenaan dengan
status usaha tanaman hias (usaha pokok maupun sampingan) pada dasarnya merupakan alasan non-
teknis (sosial ekonomi). Pengambilan keputusan sebagian besar petani untuk memilih tanaman hias
sebagai usaha pokok ternyata sangat dipengaruhi oleh kelayakan dan prospek ekonomis komoditas
tersebut. Sistem produksi yang secara kelembagaan bersifat sebagai usaha pokok dapat mempercepat
keberhasilan usaha pengembangan, terutama dikaitkan dengan difusi dan adopsi inovasi.
Kelembagaan tenaga kerja

Mengkaji pranata hubungan kerja dalam usahatani berarti menelusuri hubungan antara
produsen sebagai pengelola usahatani dengan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan. Hal ini
menyangkut aturan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi tenaga kerja.
Soentoro (1989) menunjukkan bahwa hubungan kerja di suatu daerah dipengaruhi oleh penyediaan dan
permintaan tenaga kerja, pembagian resiko dan tingkat kelangkaan sumberdaya lainnya. Rata-rata di
atas 50% responden, kecuali di Sulsel, menggunakan tenaga kerja luar keluarga, baik sebagai pegawai
harian maupun bulanan (tetap). Tenaga kerja luar keluarga ini dilibatkan hampir untuk semua
jenis/tahapan pekerjaan. Khususnya dalam tahapan pengolahan tanah, tenaga kerja luar keluarga
umumnya disewa secara borongan. Upah harian berkisar antara Rp. 1 500 - Rp. 3 500 per hari (untuk
tenaga kerja pria), sedangkan upah untuk tenaga tetap berkisar antara Rp. 45 000 - Rp. 125 000 per
bulan.

Tabel 3 Penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan tingkat upah (The use of hired labor and its wage rate)

DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT SULSEL


n=14 (%) n=22 (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)

• Menggunakan tenaga kerja luar keluarga 57.1 86.4 67.9 100.0 70.0 44.0
• Kisaran upah (ribuan Rupiah)
o Harian 2.5-3.5 2.5-3.5 2.5-3.0 1.5-2.5 2.0-3.0 1.5-2.5
o Bulanan 45.0-75.0 45.0-75.0 60.0-100.0 75.0-125.0 75.0-125.0 75.0-125.0
• Pernah mengalami kesulitan memperoleh t. kerja 75.0 45.5 21.4 55.6 12.7 18.6

Pranata hubungan kerja sambat sinambat sudah jarang dilakukan oleh petani karena menjadi
semakin mahal dan kurang efisien. Seluruh responden menyatakan pernah mengalami kesulitan dalam
memperoleh tenaga kerja luar keluarga, terutama di Jatim dan Jabar. Usaha pengembangan tanaman
hias akan menghadapi tantangan yang cukup berat seandainya upah tenaga kerja pertanian lebih
rendah dibandingkan dengan upah tenaga kerja non-pertanian. Sementara itu, seandainya upah
dinaikkan, biaya produksi akan membengkak dan mengurangi profitabilitas usahatani. Implikasi dari
dilema ini adalah terciptanya suatu keadaan dimana pengelola usahatani "terpaksa" menyewa tenaga
kerja luar keluarga yang produktivitasnya rendah dan keakhliannya (untuk usahatani tanaman hias)
sangat terbatas.

Kelembagaan pasar sarana produksi

Penataan kelembagaan pasar sarana produksi sangat diperlukan dalam pembangunan


pertanian karena berkaitan erat dengan ketersediaan input yang dibutuhkan untuk memacu produktivitas
usahatani. Dengan demikian, kelembagaan ini secara normatif berfungsi sebagai stimulan dan fasilitator
keberhasilan peningkatan produktivitas (Witt, 1971). Toko atau kios sarana produksi merupakan sumber
paling dominan bagi petani untuk mendapatkan/membeli sarana produksi. Sementara itu, kontribusi
koperasi dalam kepentingan ini ternyata masih relatif rendah. Pertimbangan kemudahan yang
mencakup: (a) tidak adanya keterikatan yang berkaitan dengan keanggotaan, (b) ketersediaan sarana
produksi yang dibutuhkan dan (c) ketepatan waktu memperoleh saprodi pada saat dibutuhkan,
merupakan pertimbangan utama petani untuk membeli sarana produksi di toko/kios. Beberapa kasus
bahkan menunjukkan bahwa pembelian sarana produksi dari toko/kios juga memberikan kemungkinan
untuk pembayaran kemudian. Perbedaan harga (harga di koperasi sedikit lebih rendah) tampaknya
bukan faktor penentu bagi petani untuk memilih koperasi sebagai sumber sarana produksi.
Tabel 4 Sumber pembelian dan masalah sarana produksi (Source of inputs purchase and some problems perceived by
farmers)
DKI JABAR n=22 JATENG JATIM SUMUT SULSEL
n=14 (%) (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)
• Sumber pembelian sarana produksi
o Kios 100,0 90,9 92,9 77,8 90,0 77,8
o Koperasi - 9,1 7,1 22,2 10,0 22,2
o Petani bibit bibit bibit bibit bibit
ppk kandang ppk kandang ppk kandang

Bandung Jakarta
Bogor Malang
Sukabumi
Palembang
Lampung
Jambi
• Masalah • harga sarana produksi yang semakin meningkat
• ketersediaan sarana produksi, terutama bibit
• kualitas sarana produksi, terutama bibit

Secara umum, kelembagaan pasar sarana produksi yang ada sudah berfungsi dengan baik
dalam mendukung program pengembangan. Satu hal esensi yang tampaknya masih perlu mendapat
perhatian lebih besar adalah penataan kelembagaan pasar bibit/benih.

Kelembagaan pasar hasil produksi

Perencanaan efektif dalam pembangunan ekonomi harus memberikan perhatian yang besar
terhadap pengembangan kelembagaan pemasaran untuk melengkapi program-program yang berkaitan
dengan perluasan produksi fisik (Riley & Weber, 1983). Kelembagaan pemasaran harus dipandang
secara lebih luas dan lebih dinamis sebagai salah satu elemen utama dalam pembangunan sektor
pertanian serta keselarasannya dengan pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor lainnya.
Pengembangan dan perluasan pasar dapat mendorong meningkatkan sensitivitas produsen terhadap
harga dan menciptakan tingkat spesialisasi yang lebih tinggi sehingga zona geografis tertentu dapat
memiliki suatu keunggulan komparatif (Scarborough dan Kydd, 1992). Secara umum, transaksi jual beli
tanaman hias sudah merupakan kegiatan yang melembaga. Walaupun demikian, kelengkapan
infrastruktur yang menunjang pengembangan komersialisasi dan spesialisasi usahatani tanaman hias
(terutama pasar) tampaknya masih sangat terbatas (kecuali untuk DKI dan propinsi lain di Jawa pada
umumnya).
Selama tiga tahun terakhir, sebagian besar responden (di atas 60%) menyatakan bahwa
permintaan terhadap tanaman hias meningkat dengan harga yang relatif stabil. Terdapat suatu
kecenderungan bahwa semakin berkembang usahatani tanaman hias di suatu daerah, semakin lazim
pula berlakunya sistim pembayaran kemudian. Melalui sistim pembayaran ini, secara implisit pedagang
membebankan sebagian resiko usahanya kepada petani. Sementara itu, pada rantai pemasaran yang
ada, peran pedagang perantara (lokal dan antar daerah) tampaknya sangat dominan dalam
menjembatani produsen dan konsumen tanaman hias. Walaupun demikian, pengamatan selintas tidak
memperlihatkan indikasi adanya pembebanan marjin yang tinggi oleh pedagang perantara. Observasi ini
memberikan suatu gambaran bahwa usaha perbaikan
Tabel 5 Pemasaran, sistem pembayaran dan perkembangan harga (Marketing, mode of payments, and price trends)
DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT SULSEL
n=14 (%) n=22 (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)
• Pengamatan petani terhadap permintaan
o Meningkat 78,6 40,9 78,6 66,7 60,0 77,8
o Stabil 21,4 59,1 21,4 11,1 40,0 22,2
o Menurun - - - 22,2 - -
• Petani menjual kepada
o Pedagang perantara - 45,5 89,3 66,7 30,3 11,1
o Konsumen 14,3 - - - 10,0 22,2
o Pedagang besar 21,4 - - - - -
o Pedagang perantara, toko bunga, 14,3 18,2 - - - -
konsumen
o Pedagang perantara, konsumen 35,7 27,2 3,6 22,2 40,0 55,6
o Toko bunga 14,3 9,1 7,1 11,1 20,0 11,1
• Ranti tataniaga • produsen - pengumpul lokal – konsumen
• produsen - pengumpul antar daerah - toko bunga – konsumen
• produsen - pedagang pengumpul - pedagang besar/menengah - pengecer
- konsumen
• Sistem bayar
o Tunai 42,8 18,2 96,4 66,7 30,0 33,4
o Kemudian 7,1 40,9 - - 20,0 33,3
o Tunai dan kemudian 50,1 40,9 3,6 33,3 50,0 33,3
• Pengamatan petani terhadap perkemb harga
o Meningkat - 22,7 39,3 22,2 30,0 11,1
o Menurun - 4,6 7,1 33,3 10,0 22,2
o Stabil - 72,7 53,6 44,5 60,0 66,7
• Masalah utama • fluktuasi harga yang tajam
• tidak adanya informasi pasar

pemasaran tanaman hias tidak dapat hanya didasarkan pada asumsi keberadaan pedagang perantara
sebagai penyebab inefisiensi.
Informasi harga juga merupakan salah satu fasilitas yang dirasakan sangat dibutuhkan oleh
sebagian besar responden. Seringkali informasi mengenai harga yang berlaku di daerah konsumen
justru diperoleh dari pihak pedagang, sehingga memperlemah posisi tawar menawar petani. Disamping
itu, fasilitas pasar (kecuali DKI Jaya) yang sangat sederhana, bahkan terkadang bersifat temporer,
dirasakan kurang mendukung kemungkinan perluasan usaha baik oleh petani maupun pedagang.
Perbaikan infrastruktur (fisik dan non-fisik) tampaknya merupakan kebutuhan yang bersifat vital dan
segera agar kelembagaan pasar hasil produksi dapat memberikan kontribusi optimal terhadap
pengembangan tanaman hias.

Kelembagaan permodalan

Permodalan merupakan unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup
masyarakat, khususnya di pedesaan. Keterbatasan modal merupakan kendala ruang gerak aktivitas
usaha, sementara itu dana dari luar yang dapat membantu pemecahan masalah ternyata tidak mudah
diperoleh (Hamid, 1986).
Secara umum, hanya sebagian kecil responden yang memanfaatkan bantuan pinjaman
tambahan modal dari luar. Pinjaman ini berasal dari lembaga keuangan formal (bank), koperasi dan
pedagang. Responden yang mendapatkan pinjaman dari bank pada umumnya adalah petani tanaman
hias taman/pot (Jabar dan Jatim). Sementara itu, dengan jumlah pinjaman yang relatif kecil (maksimal
Rp. 300 000), beberapa responden di DKI dan Jateng memperoleh pinjaman dari koperasi (Koperasi
Karyawan, Koperasi Pasar). Responden yang memperoleh pinjaman (dapat berupa uang tunai, bibit
maupun sarana produksi lainnya) dari pedagang ditemui pada usahatani melati di Jawa Tengah. Salah
satu
Tabel 6 Sumber dan persyaratan peminjaman modal produksi (Source and requirements for borrowing capital)
DKI n=14 (%) JABAR n=22 (%) JATENG n=28 (%)
• Sumber pinjaman modal
o Koperasi 14,3 - 7,1
o Bank - 4,6 -
o Pedagang - 9,1 17,9
o Syarat peminjaman modal • Anggota koperasi • Keragaman usahatani • Pengajuan
• Simpanan pokok Rp. • Rekomendasi • Legalisasi
20.000 • Agunan • Seleksi
• Simpanan wajib Rp. • Masa pinjan 1-2 tahun • Kelayakan
5.000 • Jumlah kredit=estimasi • Agunan
• Pinjaman maksimal
Rp. 300.000 • Jual hasil kepada • Jual hasil kepada
• Bunga 3% per bulan pemberi pinjaman pemberi pinjaman

kewajiban dari petani peminjam adalah keharusan menjual produknya kepada pedagang pemberi
pinjaman. Dalam sistim ini, secara tidak langsung pedagang pemberi kredit terlibat dalam proses
produksi, termasuk dalam pembagian resiko dengan petani. Walaupun demikian, pemberi pinjaman
memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan dan menanggung resiko lebih kecil karena sangat
menentukan dalam proses determinasi harga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan permodalan, khususnya lembaga kredit
formal di daerah pedesaan dengan berbagai jenis pinjaman yang ditawarkan, belum mencapai sasaran
yang diharapkan. Rendahnya minat petani untuk memanfaatkan kredit formal ini terutama disebabkan
oleh prosedur yang berbelit-belit, persyaratan administratif yang ketat, serta keharusan untuk
memberikan jaminan/agunan. Tingkat bunga yang relatif rendah tampaknya tidak cukup menjadi
perangsang bagi masyarakat pedesaan untuk meminjam di lembaga kredit formal. Sementara itu, pihak
lembaga keuangan formal sendiri seringkali tidak mampu menjangkau usaha-usaha masyarakat
pedesaan (khususnya pertanian) karena secara operasional tidak mampu membayar biaya transaksi
untuk memantau kredibilitas usaha (Anwar, 1992). Konsekuensinya, kekosongan segmen pasar
keuangan ini seringkali pada akhirnya diisi oleh lembaga permodalan informal. Kontribusi kelembagaan
permodalan terhadap pengembangan usahatani akan lebih terasa seandainya mekanisme yang
ditempuh tidak hanya terpaku pada aspek efisiensi (perbankan), tetapi juga mempertimbangkan
tercapainya efektivitas optimal yang merupakan tujuan dari kredit pedesaan.

Kelembagaan ketatalaksanaan

Kelembagaan ketatalaksanaan pada penelitian ini dibatasi pada pengamatan kelembagaan


perencanaan tingkat propinsi di bidang pertanian, yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Persentase
responden yang mengetahui atau pernah terlibat dalam program pengembangan yang dilaksanakan oleh
Dinas masih relatif rendah (maksimal 35%). Pada umumnya, responden menerima bimbingan teknis dan
non-teknis usahatani tanaman hias melalui pendekatan kelompok. Disamping itu, petani juga
memperoleh bantuan sarana produksi kimiawi dan bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot
program pengembangan yang dilakukan oleh Dinas berbeda antar satu propinsi dengan propinsi lainnya,
tergantung dari prioritas masing-masing. Sebagai contoh, DKI Jaya memiliki program intensifikasi
tanaman hias (terutama anggrek), sedangkan Jawa Timur memiliki program intensifikasi sedap malam
dan melati. Masing-masing propinsi lainnya juga memiliki program pengembangan walaupun
intensitasnya masih lebih rendah. Sementara itu, kontribusi kelompok-kelompok hobby (PAI, PPT, PPBI,
dsb) tampaknya lebih mengarah pada usaha promosi dan pemasyarakatan tanaman hias.
Beberapa kendala yang dihadapi oleh pihak Dinas dalam usaha pengembangan tanaman hias
adalah: (a) prioritas program yang masih lebih rendah dibandingkan dengan program komoditas lainnya,
terutama pangan, sehingga sangat berpengaruh terhadap aspek pendanaan, (b) kesulitan dalam
menyediakan bibit/benih tanaman
Tabel 7 Program kegiatan dan kendala pengembangan (Programs and some constraints to development)
DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT SULSEL
n=14 (%) n=22 (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)
• Keterlibatan petani dlm program pengembangan 35,7 27,3 27,9 33,3 - 22,2
• Kegiatan • bimbingan teknis (pembibitan, budidaya)
• bimbingan non-teknis (pemasaran, motivasi kelompok)
• Program Intensifikasi - - Intensifikasi - Pembibitan
tanaman sedap
hias malam dan
melati
• Bantuan Saprotan Saprotan Saprotan Saprotan - -
dan bibit
• Masukan petani utk perbaikan program
o Penyelenggaraan latihan 28.6 40.9 33.3 44.4 30.0 35.5
o Pemberian penyuluhan 21.4 13.6 16.2 11.1 10.0 12.5
o Pengadaan/ketersediaan bibit 50.0 45.5 50.5 44.5 60.0 52.0
• Kendala utama pengembangan • prioritas pengembangan tanaman hias atau hortikultura masih di bawah padi
dan palawija

hias yang berkualitas baik dalam jumlah banyak, dan (c) keterbatasan sumberdaya manusia, terutama
penyuluh, yang memiliki pengetahuan memadai mengenai usahatani tanaman hias. Hal ini tampaknya
sejalan dengan pendapat Schuh (1971) yang menyatakan bahwa usaha pengembangan yang dilakukan
oleh institusi peren-canaan seringkali kurang efektif karena adanya: (a) inkonsistensi penetapan prioritas,
(b) keterbatasan sumberdaya manusia yang kompeten dibidangnya, (c) keterbatasan ketersediaan data
dasar, (d) keterbatasan yang menyangkut ketersediaan informasi dan hasil penelitian, dan (e) ketidak-
tepatan penentuan target. Sementara itu, masukan dari petani berkenaan dengan usaha pengembangan
tanaman hias yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh Dinas mencakup: (a) penyelenggaraan pelatihan
usahatani tanaman hias yang mencakup perbaikan budidaya dan pemasaran (35.36%), (b) pemberian
penyuluhan yang terprogram agar dinamika teknis dan non-teknis pengusahaan tanaman hias dapat
terus diikuti (14.13%), (c) penyediaan bibit/benih tanaman hias yang berkualitas baik (50.41%). Menarik
untuk dicatat bahwa masukan petani yang menyangkut penyediaan bibit/benih menempati urutan
teratas. Bagi kelembagaan ketatalaksanaan, khususnya pihak Dinas Pertanian, masukan ini tampaknya
perlu diberi penekanan pada saat menyusun perencanaan program pengembangan.

Kelembagaan penelitian dan penyuluhan

Sebagian kecil responden (hanya di Jawa) menyatakan pernah terlibat dalam kegiatan penelitian
yang dilaksanakan oleh Balitbang Pertanian atau Perguruan Tinggi. Keterlibatan tersebut menyangkut
penggunaan lahan petani untuk penelitian lapangan atau sebagai responden dalam kegiatan survai,
dengan intensitas yang sangat rendah. Kondisi ini terutama disebabkan oleh status balai penelitian yang
masih baru dan keberadaan balai pengkajian di setiap propinsi yang belum sepenuhnya berfungsi.
Dalam rangka penyusunan program penelitian tanaman hias tahun-tahun mendatang, keterlibatan petani
perlu terus ditingkatkan, karena semakin disadari bahwa keberhasilan teknologi baru yang dirancang
oleh lembaga penelitian akan lebih terjamin, jika teknologi tersebut mengandung muatan perspektif
pengguna yang lebih tinggi.
Sementara itu, hanya petani di Jawa yang menyatakan pernah mendapat penyuluhan usahatani
tanaman hias. Dalam satu tahun terakhir, petani tersebut bertemu/dikunjungi dengan/oleh penyuluh 1-4
kali. Sumber informasi usahatani tanaman hias bagi petani pada umumnya adalah: (a) petani lain
(60.36%), (b) media cetak (28.41%), dan (c) media audio-visual (11.23%). Secara implisit, hal ini
menunjukkan bahwa program penyuluhan dengan pendekatan kelompok merupakan cara yang tepat
untuk mempercepat difusi teknologi baru. Walaupun demikian, program yang disusun harus bersifat
aktual dan inovatif agar dinamika perkembangan usahatani tanaman hias dapat terus diikuti.
Tabel 8 Intensitas penyuluhan dan sumber informasi lain (Extension intensity and other sources of information)
DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT SULSEL
n=14 (%) n=22 (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)
• Mendapatkan penyuluhan 42,5 9,1 7,1
• Frekuensi 1x per 1-3 x per 3-4 x per
bulan tahun tahun
• Sumber informasi lain
o Petani 64.3 45.5 64,3 55,6 60.0 77,8
o Media cetak 28.6 36.4 25,0 33,3 30.0 11,1
o Media elektronik 7.1 18.1 10,7 11,1 10.0 11,

Kelembagaan kelompok tani dan koperasi

Proporsi responden yang menjadi anggota kelompok tani sangat bervariasi dan berkisar antara
11.2%-80.0%. Sebagian diantaranya sebenarnya tergabung dalam kelompok tani tanaman pangan,
bukan khusus kelompok tani tanaman hias. Kelompok tani khusus tanaman hias pada umumnya
terbentuk di daerah sentra yang sudah cukup berkembang (DKI Jaya, Jabar, Jateng, Jatim dan Sumut),
walaupun beberapa diantaranya belum berfungsi optimal. Kelompok-kelompok ini umumnya terdiri dari
para petani yang mengusahakan tanaman hias bunga potong, sedangkan kelompok tani tanaman hias
taman/pot masih jarang dijumpai. Kegiatan kelompok pada umumnya mencakup: (a) kegiatan kolektif
usahatani tanaman hias, (b) kegiatan simpan pinjam, dan (c) kegiatan sosial. Selama satu tahun terakhir,
intensitas kehadiran responden dalam pertemuan kelompok berkisar antara 2 - 10 kali. Kelembagaan
kelompok tani ini bahkan ada yang mampu mendorong petani secara bersama memasarkan hasil
produksinya (Jabar) dan melakukan pengaturan produksi (jenis dan luasan) secara bergiliran diantara
anggota kelompok (Sumut).
Penelitian mengenai kelompok tani di Asia menunjukkan bahwa tidak ada "single blueprint" yang
dapat digunakan untuk menjamin keberhasilan kelompok tani. Walaupun demikian, pengalaman di
Taiwan dan Korea Selatan menunjukkan bahwa keberhasilan pembinaan kelompok tani di dua negara
tersebut ditunjang oleh keberadaan infrastruktur di daerah pedesaan yang mantap dan kesuksesan
pelaksanaan reformasi lahan (Wong, 1979). Meskipun pengalaman sukses di atas tidak selalu
sepenuhnya dapat ditransfer ke negara lain, minimal kasus-kasus tersebut dapat memberikan gambaran
bahwa pembinaan kelembagaan kelompok tani harus diarahkan pada terciptanya suasana kondusif yang
dapat memberikan keyakinan bagi petani bahwa keterlibatannya dalam kelompok dapat memperbaiki
kesejahteraan ekonomi dan meningkatkan kemandirian kolektif.

Tabel 9 Kegiatan kelompok tani dan koperasi (Group farming ctivities and farmers cooperative)
DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT SULSEL
n=14 (%) n=22 (%) n=28 (%) n=9 (%) n=10 (%) n=9 (%)
• Keanggotaan kelompok tani (%) 57.1 22.7 21.4 44.4 80.0 11.2
• Kegiatan kelompok tani • aktivitas usahatani (pengaturan produksi)
• aktivitas non usahatani (gotong royong)
• aktivitas sosial
• simpan pinjam
• Intensitas kehadiran per tahun 4x 4x 3x 4x 6x -
• Keanggotaan koperasi (%) 57.1 54.6 14.3 22.2 40.0 11.2
• Kegiatan koperasi • usaha simpan pinjam
• usaha sarana produksi
• penampungan hasil
• Masalah koperasi • kemampuan pemupukan modal yang terbatas
• sistem pengelolaan yang masih lemah
• belum mampu menyediakan jasa pemasaran hasil
Keterlibatan responden dalam kelembagaan koperasi cukup bervariasi antar propinsi dan
berkisar antara 11.20% - 57.14%. Dengan segala keterbatasannya, beberapa koperasi bunga telah
berjalan dengan baik (DKI dan Jabar). Kegiatan koperasi-koperasi tersebut mencakup: (a) penyediaan
sarana produksi, (b) kegiatan simpan pinjam, dan (c) kegiatan bersama yang menyangkut usahatani dan
kegiatan sosial lainnya. Dua masalah utama kelembagaan koperasi yang terungkap dalam penelitian ini
adalah: (a) keterbatasan modal kerja - kemudahan untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan
formal cukup terbuka, tetapi tingkat resiko yang masih tinggi menyebabkan koperasi lebih cenderung
mengandalkan sumber dana dari anggota, dan (b) kapasitas manajerial yang terbatas - kemampuan
pengelolaan yang belum optimal, seringkali disertai pula dengan komitmen pengurus yang kurang kuat.
Faktor lain yang secara sepintas terlihat berpengaruh terhadap keberhasilan kelembagaan koperasi
menjalankan fungsinya adalah asal mula pembentukannya. Koperasi yang terbentuk atas inisiatif dari
bawah/kelompok tani (Jawa Barat) ternyata berfungsi lebih baik dibandingkan dengan koperasi yang
dibentuk dari atas (Jateng). Saran dari Lamming (1980) yang tampaknya masih sangat relevan terhadap
pengembangan kelembagaan koperasi di Indonesia agar menjadi tulang punggung kegiatan
perekonomi-an di sektor pertanian adalah: (a) perbaikan aspek keorganisasian, (b) pembinaan
berkelanjutan terhadap kemampuan manajerial, (c) pengembangan kepemimpinan, dan (d) peningkatan
partisipasi petani terutama dalam proses pengambilan keputusan.

KESIMPULAN

1. Tingkat perkembangan setiap jenis kelembagaan penunjang usahatani ditinjau dari peran dan
fungsinya, sangat dipengaruhi oleh status komoditas bersangkutan, baik secara teknis dan non-
teknis, sebagai cabang usaha (income-generating source) yang dapat diandalkan. Kondisi usahatani
tanaman hias yang semakin berkembang di suatu lokasi akan diimbangi dengan semakin
berfungsinya kelembagaan-kelembagaan penunjang yang ada. Hal ini tercermin dari relatif lebih
baiknya fungsi dan kontribusi kelembagaan di sentra-sentra produksi tanaman hias di Jawa
dibandingkan dengan di luar Jawa.
2. Pergeseran permintaan kelembagaan terjadi karena adanya perubahan kepemilikan sumberdaya
dan perubahan teknologi. Sementara itu, penawaran kelembagaan sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pengetahuan (teknis, sosial dan ekonomi) serta perubahan kebiasaan (cultural
endowment). Dengan demikian, program pengembangan tanaman hias di wilayah tertentu, harus
menempatkan kelayakan dari komponen-komponen teknologi yang dirancang (technically feasible-
economically profitable-socially acceptable) sebagai pertimbangan utama. Sepanjang perbaikan
teknologi yang disarankan dapat diterima oleh petani secara teknis, sosial dan ekonomis,
kelembagaan yang pada awalnya belum berfungsi optimal akan terdorong untuk terus memperbaiki
diri sebagai cerminan dari realisasi pilihan sosial (social choice) dan tindakan kolektif (collective
action) masyarakat/petani.
3. Hampir semua jenis kelembagaan yang ada masih menunjukkan kelemahan ditinjau dari fungsi dan
potensi kontribusinya terhadap program pengembangan tanaman hias. Beberapa contoh yang
tampaknya memerlukan prioritas pembinaan diantaranya adalah kelembagaan pasar sarana
produksi (khususnya untuk bibit/benih) dan kelembagaan pasar hasil produksi (baik di Jawa dan luar
Jawa). Pembinaan kelembagaan tersebut harus berawal dari rencana dan prioritas pengembangan
tanaman hias di masing-masing sentra produksi (wilayah pengembangan). Rencana pengembangan
ini perlu disusun berdasarkan pertimbangan yang mengacu pada keberimbangan tinjauan antara sisi
penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side) dari komoditas bersangkutan.
4. Fungsi dan kontribusi kelembagaan, walaupun untuk jenis kelembagaan yang serupa, seringkali
sangat spesifik untuk setiap sentra produksi. Oleh karena itu, rekomendasi konklusif untuk perbaikan
peranan kelembagaan harus didasarkan pada hasil penelitian spesifik untuk setiap jenis
kelembagaan. Ditinjau dari perannya yang dapat dipandang sebagai salah satu input produksi,
kebutuhan terhadap kelembagaan yang berfungsi optimal tidak berbeda dengan dengan kebutuhan
terhadap input-input produksi lainnya. Dengan demikian, program pengembangan tanaman hias,
misalnya melalui program intensifikasi, harus pula diikuti dengan intensifikasi pembinaan
kelembagaan.

PUSTAKA

Anwar, A. 1992. Memahami sistem pasar keuangan di wilayah pedesaan. Bahan ceramah Sistem
Keuangan Pedesaan di Fakultas Pertanian, UNPAD, Bandung.
Barkley, P. W. (1988). Institusions, institusionalism and agricultural economics in the twenty-first century.
Dalam R.J. Hildreth (Ed). Agriculture and rural areas approaching the twenty-first century. The
Iowa State University Press, Ames, Iowa.
Beebe, J. 1986. Information collection: Rapid appraisal and related methodologies. Dalam CGPRT
Center. Socio-economic research in food legumes and coarse grains: Methodological issues.
CGPRT No. 4, Bogor, Indonesia.
Blase, M.G (1971). Role of institusions in agricultural development. The Iowa State University Press,
Ames, Iowa.
Burgess, R. 1982. The unstructured interview as a conversation. Dalam R. Burgess (Ed.). Field research:
A sourcebook and field manual. George Allen & Unwin, London.
Cabang Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Semarang. 1994. Pengembangan wilayah
komoditas. Ungaran.
Cabang Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Semarang. 1994. Program dan proyek tanaman
pangan 1994/1995. Ungaran.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan DKI Jaya. 1993. Rencana kerja lima tahunan 1994/1995 - 1998/1999.
Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Bandung. 1994. Program kegiatan Sub Seksi Tanaman Hias
1993/1994. Bandung.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Bandung. 1994. Capita selecta: Perkembangan tanaman hias di
sentra Cihideung. Bandung.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Tengah. 1993. Laporan tahunan. Ungaran.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Malang. 1994. Laporan Tahunan. Malang.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Sumatera Utara. 1993. Pengembangan hortikultura di
Sumatera Utara. Medan.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Sumatera Utara. 1992. Pengembangan pola kemitraan
hortikultura di Sumatera Utara. Medan.
Dorner, P. 1971. Land tenure institutions. Dalam M. G. Blase (Ed.). Role of institusions in agricultural
development. The Iowa State University Press, Ames, Iowa.
Hamid, E. S. 1986. Pendahuluan: Rekaman dari seminar. Dalam Mubyarto dan E. S. Hamid.
(Penyunting). Kredit pedesaan di Indonesia. BPFE, Yogyakarta.
Lamming, G. N. 1980. Promotion of small farmers' cooperatives in Asia. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome.
Muslimin. 1989. Persepsi masyarakat terhadap taman dan lingkungan hidup. Sripsi Sarjana Pertanian.
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ujung
Pandang.
Norman, D. W. 1977. Economic rationality of traditional Hausa dryland farmers in the North Nigeria.
Dalam R. D. Stevens (Ed.). Tradition and dynamics in small farm agriculture. The Iowa State
University Press. Ames, USA
Riley, H. M. and Weber, M. T. 1983. Marketing in developing countries. Dalam P. L. Farris (Ed.).
Agricultural Marketing Research. The Iowa State Univ. Press, Ames, USA.
Scarborough, V. & Kydd, J. 1992. Economic analysis of agricultural markets: A manual. Marketing Series
Volume 5. Natural Resource Institute, ODA, Great Britain.
Schuh, G. E. 1971. Planning institutions: Discussion. Dalam M. G. Blase (Ed.). Role of institusions in
agricultural development. The ISU Press, Ames, Iowa.
Schultz, T. W. (1968). Institusions in the rising economic value of man. American Journal of Agricultural
Economics, 50, no. 5: 1113-1122.
Soentoro. 1989. Keragaan hubungan kerja dan penguasaan tanah pada pasca adopsi teknologi: Kasus
di Sulawesi Selatan. Dalam E. Pasandaran, M. Gunawan, A. Pakpahan, Soentoro & A. Djauhari
(Penyunting). Evolusi kelembagaan pedesaan di tengah perkembangan teknologi pertanian.
Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor.
Suku Dinas Pertanian Kotamadya Jakarta Barat. 1994. Laporan tahunan 1993/1994. Jakarta.
Witt, L. 1971. Factor markets. In M. G. Blase (Ed.). Role of institusions in agricultural development. The
Iowa State University Press, Ames, Iowa.
Wong, J. 1979. Group farming in Asia: Experiences and potentials. Singapore University Press,
Singapore.

Anda mungkin juga menyukai