Anda di halaman 1dari 33

TINJAUAN PUSTAKA

Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.1 DBD merupakan salah satu bentuk spektrum klinis infeksi virus dengue yang mempunyai perjalanan penyakit yang sangat khas dan dapat dikatakan klasik. Dengan mempelajari patogenesis penyakit infeksi dengue, maka kita dapat memperkirakan perjalanan penyakit infeksi virus dengue. Mengingat DBD termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut terbanyak dan endemik di Indonesia serta saat ini menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah tertentu, maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau kegagalan pengobatan.
2

1.Etiologi 3
demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan virus Dengue yang merupakan kelompok B Arthopod Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seorang yang tinggal di daerah endemik dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukan manifestasi klinis yang berat.

2.Epidemiologi
Cara penularan Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada menusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan beberapa spesies lain juga dapat menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengundang virus dengue pada saat berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinxic incubation periode) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan selanjutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk. Nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama masa hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kapada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk mengigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. 4

Gambar 1. Nyamuk Aedes Aegypti 5


2

Penyebaran Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke 18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari ( vijfdaagse koorts), kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Dosebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta sebanyak 58 kasus, dengan jumlah kematian yang sangat tinggi yaitu 24 orang. (case fatality rate 41-43%). Dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah melaporkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Incidende rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 2005. Faktor-faktor yang memperngaruhi peningkatkan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemik. Dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mertalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang tinggi. Nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suku udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi, mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun. 4 Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada
3

tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 1

Angka Insiden (AI) /Incidence Rate (IR) Menurut Mc Michael (2006), perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas. Berdasarkan situasi di atas, terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai tahun 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus termasuk lemahnya upaya program pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu lebih mendapat perhatian terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas. Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembang biak. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD
4

cenderung pada kelompok umur >=15 tahun. Melihat data ini kemungkinan penularan tidak hanya di rumah tetapi di sekolah atau di tempat kerja. Sehingga gerakan PSN perlu juga digalakkan di sekolah dan di tempat kerja. Tampak telah terjadi perubahan pola penyakit DBD, dimana dahulu DBD adalah penyakit pada anak-anak dibawah 15 tahun, saat ini telah menyerang seluruh kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia produktif. Perlu diteliti lebih lanjut hal mempengaruhinya, apakah karena virus yang semakin virulen (ganas) atau karena pengaruh lain. Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. 1

Gambar 2. Angka Insiden DBD tahun 2009 1

3. Patofisiologi 2
Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul

antibodi, namun bila daya tahan rendah pejamu, maka perjalanan penyakit menjadi semakin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Patogenesis DBD dan SSD (sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adaalh hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog yang mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen sntibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel magrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akibat mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas. Dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak dapat ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok dangat penting guna mencegah kematian. Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik
6

pada tubuh manusia maupun pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologi dan laboratorium. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktifkan sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem kaugulasi memalui kerusakan sistem endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopienia. Agregasi tromobosit ini akan koagulopati konsumtif (KID = kaogulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit maaih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga mamacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

SECONDARY HETEROLOGOUS DENGUE INFECTION


Virus replication Annamnestic antibody response

Virus antibody complex

Platelet aggregation
Impaired platelet function Platelet removal by res Thrombocytopenia Platelet factor III release

Coagulation activation
plasmin

Complement activation

Activated hageman factor

Consumptive coagulopathy

Kinin system Kinin

Anaphylatoxin

Clotting factors FDP

Vascular permeability

EXCESSIVE HEMORRHAGE

SHOCK

Gambar Patogenesis Perdarahan Pada DHF

Bagan 1. Patogenesis Perdarahan pada DHF 2

4. Manifestasi Klinis
Demam Dengue 3 Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodormal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri belakang bola mata, punggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis dan disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelanis sign, sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789 melaporkan pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian meninggal. Bentuk perdarahan lain yang dilaporkan ialah menoragi dan mestruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan lahir rendah, mungkin sekali akibat perdarahan uterus. Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia disusul oelh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu. Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis atau ovaritis, keratitis dan rinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, di antara menurunnya kesadaran, paralisis, sensorium yang berhasil sementara, meningismus dan ensefalopati. Diagnosis banding mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chickungunya), bakteri dan parasit yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan adalah mustahil, terutama pada kasus-kasus sporadis. Demam Berdarah Dengue 6 a. Masa Inkubasi Masa inkubasi pada penyakit demam berdarah dengue biasanya sekitar 5 sampai 9 hari. Pada masa inkubasi ini tidak ada gejala.

b. Masa Akut Masa akut pada demam berdarah dengue sekitar 1 sampai 3 hari. Pada masa akut muncul gejala subyektif dan obyektif. Oleh karena infeksi dengue bersifat sistemik, maka semua sistem organ dapat diserang. Gejala pada demam berdarah dengue bermacam-macam. Gejala subjektif yang dapat terjadi pada demam berdarah dengue adalah lemas, anoreksia,
9

muntah, nyeri pada perut, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri pada punggung. Gejala objektif yang dapat terjadi yaitu demam, flushing, bercak merah, petekie, ekimosis, epiktasis, melena, hematemesis, hepatomegali, limfadenopati. Pada penderita usia remaja dan dewasa gejala nyeri kepala, mual, muntah, nyeri otot, nyeri sendi lebih nyata dibanding dengan penderita anak-anak.

c. Masa Kritis Biasanya berkisar 1 sampai 3 hari. Semua gejala pada masa akut berkembang dan diikuti gejala-gejala syok, seperti penurunan kesadaran, ekstremitas dingin, kulit lembab, dan hipotensi. Kelainan organ muncul pada masa ini. Perfusi jaringan otak berkurang menimbulkan terjadinya edema otak, penurunan kesadaran, perdarahan otak dan kejang. Jantung dapat terjadi miokarditis, di paru terjadi edema paru dan efusi pleura apabila berat menyebabkan terjadinya sindrom distres respirasi. Di hati terjadi hepatitis sampai gagal fungsi hati, di ginjal bisa terjadi gagal ginjal akut dan di usus terjadi perdarahan gastrointestinal. DIC mungkin berkembang pada stadium ini dan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Penderita meninggal pada masa ini.

d. Masa penyembuhan Setelah melewati fase kritis penderita memasuki masa penyembuhan dan cepat sekali membaik. Masa penyembuhan berlangsung sekitar 1 sampai 2 hari. Semua gejala hilang tetapi kadang-kadang muncul bercak kemerahan yang disebut rash rekovalesen. Rash rekovalesens ini terjadi selama dua sampai tiga hari, tetapi ada juga yang sampai dua minggu. Ciri khas adalah bercak merah yang diselingi adanya pulau-pulau warna putih di kulit.

Gambar 3. Rash rekovalesen7

10

Sindrom dengue syok 3 Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunitas (the immunological enhancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan perdarahan darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk ke dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeru di daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yan hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis yang buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai dengan nadi lemah, cepat, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik turun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien akan mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menyebabkan asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointetinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok yang berat) segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.

11

Tabel 1.1 Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue 4 Demam dengue (DD) Gejala klinis ++ Nyeri kepala +++ Muntah + Mual ++ nyeri otot ++ ruam kulit ++ Diare + Batuk + Pilek ++ Limfadenopati + Kejang 0 kesadaran menurun 0 Obstipasi + uji torniquet positif ++++ Ptekie 0 perdarahan saluran cerna ++ Hepatomegali + nyeri perut ++ Trombositopenia 0 Syok Keterangan: (+):25%, (++):50%, (+++):75%, (++++):100%

Demam berdarah Dengue + ++ + + + + + + + + ++ + ++ +++ + +++ +++ ++++ +++

Gambar 4. Gejala Demam Berdarah Dengue 8

12

5. Pemeriksaan Penunjang 4
A. Hematologi 1. Jumlah Leukosit Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel netrofil. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel netrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat. Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) > 4% di daerah tepi dapat dijumpai pada hari seakit ketiga sampai hari ke tujuh.

2. Jumlah Trombosit Punurunan jumlah trombosit menjadi 100.000/l atau kurang dari 1-2 trombosit/ lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb. Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit 100.000/l biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai ke tujuh. Pemeriksaan trombosit perlu diulang samapi terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaaan dilakukan pertama pada saat-saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari sakit ke tiga, tetapi bila perlu, diulang setiap hari sampai suhu turun.

3. kadar hematokrit Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalnya 35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.

B. Radiologi Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagaian besar derajat II) didapatkan efusi pleura, terutama di sebelah hemitoraks kanan. Pemeriksaan foto toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dikubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan). Asites dan efusi pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG).
13

Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara, deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien (serologis), deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh (PCR), dan isolasi virus. C. Diagnosis Serologis 9 Dikenal 5 jenis uji serologis yang dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, misalnya : 1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Heamagglutination Inhibition test = HI test) 2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test) 3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT Test) 4. IgM Elisa (IgM Captured Elisa. Mac Elisa) 5. IgG Elisa

1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Heamagglutination Inhibition test = HI test) Diantara uji serologis yang tersebut diatas, uji HI adalah uji serologis yang dianjurkandan sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standart pada pemeriksaan serologis. Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini, yaitu : Uji HI ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukan tipe virus yang menginfeksi. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (>48 th), maka uji ini baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesens 4x lipat dari titer serum akut atauu titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesens dianggap sebagai

presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue baru terjadi (recent dengue infection).

2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test) Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnosis secara rutin, oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).

14

3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT Test) Uji netralisasi (NT) adalah uji yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya ujinetralisasi memakai cara yang disebut sebagai Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-8 th). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

4. IgM Elisa (IgM Captured Elisa. Mac Elisa) Mac Elisa pada tahun terahir ini merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Mac Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa. Sesuai namanya, tes tersebut akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji Mac Elisa ialah : Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan timbulnya IgG. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang tepat. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan di dalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas, maka uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnosis untuk pengelolaan kasus. Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI. Pada saat ini juga telah beredar uji IgM/IgG Elisa yang sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kit uji untuk infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM Elisa, telah beredar di pasaran.

15

D. Isolasi Virus Ada beberapa cara isolasi dikembangkan yaitu : Inokulasi intraserebral pada bayi tikus putih albino umur 1-3 hari Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKM2) dan nyamuk A.Albopictus Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva

6. Diagnosis 4
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).

Bagan 2. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue 4

Demam Dengue (DD) 1. Probable Demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut : Sakit kepala Nyeri belakang kepala Mialgia, dan atralgia
16

Ruam Manifestasi perdarahan Leukopenia

Dan Didukung hasil pemeriksaan laboratorium serologis (titer antibodi dengantes hemaglutinasi-inhibisi 1280, yang sebanding dengan IgG enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau Test antibodi IgM positif pada spesimen serum akut atau konvalesen). Atau Pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed DD.

2. Confirmed/diagnosis pasti Kasus yang telah dikonfirmasi dengan kriteria laboratorris. Sebagai berikut : Isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi Peningkatan titer antibodi 4 kali pada pasangan serum akut dan konvalesen Positif antigen dengue virus pada pemeriksaan otopsi jaringan, serum atau cairan serebrospinal dengan metode immunochemisry, immunofluoressence atau ELISA. Pemeriksaan Polymerase Chain Peaction (PCR positif).

Demam Berdarah Dengue (DBD) Dasar diagnosis demam berdarah dengue menurut WHO (1975) : Gejala klinik : 1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari 2. Manifestasi perdarahan, termasuk uji torniquet positif, petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena. 3. Pembesaran hati 4. Renjatan : nadi lemah, cepat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, tekanan darah menurun sampai tekanan sistolik <80 mmHg. Kulit teraba dingin dan lembab, sianosis di sekitar mulut dan penderita menjadi gelisah. 10 Derajat Penyakit Demam Berdarah menurut WHO (1997) 10 : Derajat I :Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji tourniquet.

17

Derajat II

:Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.

Derajat III

: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.

Derajat IV

: Syok berat (prefound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak teraba.

Bagan 3. Derajat Penyakit Demam Berdarah 11

1. Klinis Gejala klinis berikut harus ada, yaitu : Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: Uji torniquet positif Petekie, ekimosis, purpura Perdarahan mukosa, epiktasis, perdarahan gusi
18

Hematemesis dan atau melena

Pembesaran hati Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.

Laboratorium Trombositopenia (100.000/l atau kurang) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler Dengan manifestasi sebagai berikut : Peningkatan hematokrit 20% Penurunan hematokrit 20% dari nilai standar, setelah dilakukan penggantian volume plasma.

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratoris (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakan diagnosis sementara DBD. Seperti telah adanya anemnia sebelumnya, perdarahan berat atau telah dilakukannya penggantian volume plasma. Efusi pleura yang terlihat pada pemeriksaan Radiologi atau hipoalbuminemia dapat memperkuat terjadinya kebocoran plasma. Gejala klinis DBD diawali dengan demam mendadak, disertai dengan muka kemerahan (flushed face) dan gejala klinis lain yang tidak khas, menyerupai gejala demam dengue, seperti anoreksia, muntah, nyeri kepala, dan nyeri pada otot dan sendi. Pada beberapa pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada pemeriksaan ditemukan faring hiperemis, gejala lain yaitu perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkungan iga kanan, kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut.,

DSS (Dengue Syok Sindrom) Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan : Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, perfusi perifer Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah. menurun

19

7.Komplikasi 4
Ensefalopati Dengue Pada umumnya ensefalopati dengue diduga terjadi sebagai komplikasi syok dengan berkepanjangan, disfungsi hati, udema otak, perdarahan kapiler serebral, gangguan metanolik seperti hipoksemia atau hiponatremia serta trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari kaugulasi intravaskular deseminata (KID). Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen, dengan atau tanpa disertai kejang, dan dapat terjadi pada DBD/SSD. Untuk memastikan adanya ensefalopati, bila ada syok harus diatasi terlebih dahulu. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah diatasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila jumlah trombosit <50.000/l). Pada ensefalopati dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transminase (SGOT/SGPT), PT, dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah, dan hiponatremia.

Kelainan Ginjal Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah diatasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan >1 ml/kgbb/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat seringkali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Udem Paru Udem paru komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan berlebihan (overload). Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masuk terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperlihatkan hari sakit). Pasien akan mengalami distres
20

pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto dada.

2.7.

Penatalaksanaan4

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

1. Demam dengue Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan : Tirah baring, selama masih demam. Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu
21

turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan,

perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.

2. Demam Berdarah Dengue Ketentuan Umum Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (ratarata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41.

Demam Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.
22

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam. Tabel 2. Dosis parasetamol menurut kelompok umur 4 Umur (tahun) Parasetamol ( tiap kali pemberian ) Umur (tahun) <1 1-3 4-6 7-12 Dosis (mg) 60 60-125 125-250 250-500 Tabel (1 tab = 500 mg) 1/8 1/8-1/4 -1/2 -1

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.

Penggantian Volume Plasma Patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,

sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah

23

volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, 2) tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%). Tabel 3. Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit cairan 5-8%) 4 Berat badan waktu masuk RS (kg) <7 7-11 12-18 >18 Jumlah cairan ml/kgBB per hari 220 165 132 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan. Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 8 % ) dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Tabel 4. Kebutuhan cairan rumatan 4 Berat badan (kg) 10 10-20 >20 Jumlah cairan (ml) 100 per kg BB 1000+50xkg (diatas 10 kg) 1500+20xkg (diatas 20 kg)

24

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.

Jenis Cairan (rekomendasi WHO) Kristaloid. Larutan ringer laktat (RL) Larutan ringer asetat (RA) Larutan garam faali (GF) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), larutan ringer asetat (D5/RA), 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF) (Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstran) Koloid. Dekstran 40 Plasma Gelatin Hydroxy Ethyl Starch (HES)

3. Sindrom Syok Dengue Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD
25

dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.

Penggantian Volume Plasma Segera Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kgBB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 ml/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.

26

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi Darah Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien

syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi

terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.

Kriteria Memulangkan Pasien Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini 1.Tampak perbaikan secara klinis 2.Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik 3.Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
27

4. Hematokrit stabil 5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/l 6. Tiga hari setelah syok teratasi 7. Nafsu makan baik Bagan 4. Tatalaksana kasus tersangka DBD pada anak 2

28

Bagan 5. Tatalaksana Kasus DBD derajat I dan II 2

29

Bagan 6. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan Hematokrit >20% 2

30

Bagan 7. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV (Sindrom Syok Dengue/DSS) 2

31

Kesimpulan
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan virus Dengue yang merupakan kelompok B Arthopod Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). Menurut WHO (1997), Derajat Penyakit Demam Berdarah dibagi menjadi 4 derajat, Derajat I (Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji tourniquet), Derajat II (Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.), Derajat III (Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.), Derajat IV (Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak teraba). Penatalaksaan pada DBD, sesuai dengan derajat penyakitnya.

32

Daftar Pustaka
1. http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20DBD.pdf diunduh pada tanggal 29 agustus 2012. 2. Hapsari, MMD. Tatalaksana infeksi kumpulan tips pediatri. Dalam: Kumpulan Tips Pediatric. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2011.h.115-28. 3. Soedarmo SP, Garna H, Hadinugroho SR, Satari HI. Infeksi Virus Dengue: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropik. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2011. h.155-81. 4. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Thomas S. Tata laksana Damam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2006. h.1-43 5. http://medicsites.com/wp-content/uploads/2010/03/aegypti.jpg diunduh pada tanggal 29 Agustus 2012. 6. Sutaryo. Dengue. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran UGM; 2004. H.116-9. 7. http://infomationhealth.blogspot.com/2010/08/measles-child-disease-that-can-befatal.html 8. http://www.aboutdiseases.info/2011/10/breakbone-fever-causes-symptoms.html diunduh pada tanggal 29 agustus 2012. 9. Hadinegoro SR. Naskah Lengkap Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 1999. 10. Hasan R, Alatas H. Dengue. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 1985. h. 607-21. 11. http://www.health-pic.com/pathophysiology-of-dengue-hemorrhagic-fever/ diunduh pada tanggal 29 Agustus 2012. 12. Pudjiadi AH, Hegar B, dkk.Infeksi Virus Dengue. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Balai Penerbitan IDAI; 2010. H.141-9.

33

Anda mungkin juga menyukai