Anda di halaman 1dari 7

MALNUTRISI AKIBAT INFLASI HARGA BAHAN PANGAN

A. Pendahuluan Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar dalam menjaga keseimbangan baik secara fisiologis maupun psikologis yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Menurut teori maslow, kebutuhan fisiologis adalah tingkat pertama kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Kebutuhan fisiologis diantaranya yaitu pangan, sandang, papan dan lainnya. Salah satu kebutuhan fisiologis yang memiliki dampak langsung pada pemenuhan gizi manusia adalah pangan. Manusia mengonsumsi pangan untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi fisiologis tubuh agar dapat beraktivitas dengan baik. Jika asupan pangan tidak seimbang pemenuhannya akan menimbulkan masalah malnutrisi, kekurangan asupan pangan dalam waktu lama akan berakibat gizi buruk. Selain itu masalah gizi lebih juga akan timbul jika asupan pangan yang diterima berlebihan. Asupan pangan yang akan memengaruhi status gizi seseorang berkaitan dengan salah satu faktor yaitu ekonomi. Pemenuhan kebutuhan pangan memerlukan sumber daya untuk mendapatkannya. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan, meski begitu jelas ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Rendahnya peningkatan pendapatan orang miskin dan lemahnya daya beli mereka tidak memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makanan dan cara tertentu terutama untuk anakanak mereka (Alan Berg dan Sayogya, 1986). Harga pangan yang terus meningkat dapat mempersulit masyarakat ekonomi rendah untuk memenuhi kebutuhan gizinya karena daya beli rendah. Maka masyarakat miskin hanya mampu memenuhi kebutuhan gizinya dengan jumlah yang kurang dan tidak beragam. Keadaan ini akan menimbulkan ketidaksesuaian asupan makanan dalam waktu lama akan menyebabkan malnutrisi.

B. Rumusan Masalah Bagaimana Inflasi harga bahan pangan dapat mengakibatkan malnutrisi pada masyarakat miskin?

C. Konstruksi Argumen Malnutrisi merupakan masalah gizi akibat kekurangan asupan pangan dan kelebihan asupan pangan. Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan perkemb angannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal (Santoso, 2003). Berdasarkan riskesdas 2010, secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur) pada balita dari 18,4 persen tahun 2007 menjadi 17,9 persen tahun 2010. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010. Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Jika persentase penurunan dibandingkan dengan jumlah balita yang ada di Indonesia angka tersebut masih di kategorikan tinggi. Menurut sensus, tercatat jumlah balita di Indonesia sebanyak 26,7 juta. Dari jumlah tersebut, 17,9 persen atau 4,7 juta balita menderita gizi kurang dan 5,4 persen atau 1,3 juta balita menderita menderita gizi buruk. Berdasarkan data di atas berarti sekitar 6 juta balita yang masa depannya terancam akibat menderita gizi buruk. Masalah gizi buruk sebagian besar dialami oleh balita dari keluarga yang berpendapatan rendah, namun jumlah balita gizi lebih di kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan terendah itu mencapai 12,4 persen. Tidak terpaut terlalu jauh dibandingkan dengan kelompok masyarakat berpendapatan tertinggi (14,9 persen). Hal ini menunjukan tidak hanya jumlah asupan yang salah dikonsumsi melainkan pola konsumsi yang dilakukan masyarakat masih salah. Pola konsumsi berkaitan dengan pendapatan perkapita masyarakat. Menurut data BPS 2013, persentase pengeluaran rumah tangga untuk makanan sebanyak 50.66 persen. Penduduk menggunakan setengah dari pendapatan hanya untuk membeli makanan. Hal ini menunjukan masih banyak masyarakat yang memiliki pendapatan perkapita rendah. Jika masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi dimungkinkan persentase pengeluaran pangannya lebih kecil. Kenaikan harga pangan yang semakin meningkat menyulitkan masyarakat berpendapatan rendah untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarganya dengan daya beli rendah dalam

mendapatkan bahan pangan yang kualitas dan kuantitas baik. Kenaikan harga ini lazimnya disebut inflasi. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus (Sukirno 2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2000).

Inflasi Menurut Pengeluaran

Tahun 2011 2012 2013

Food Stuff 3.64 5.68 7.19

Sumber: http://www.kemendag.go.id

Berdasarkan data diatas menunjukan inflasi pengeluaran untuk pangan meningkat setiap tahun. Inflasi mempengaruhi daya beli, semakin tinggi pendapatan perkapitanya semakin tinggi pula daya beli terhadap bahan pangan, sehingga masyarakat cenderung membeli bahan pangan dengan jumlah yang lebih banyak dan beragam. Maka sebaliknya semakin rendah pendapatan perkapita semakin rendah daya beli terhadap pangan sehingga masyarakat hanya dapat memperoleh sedikit bahan pangan. Masyarakat berpendapatan tinggi biasa lebih mengutamakan kepuasan dan prestise dalam memilih makanan. Padahal makanan tersebut belum tentu mengandung kaya zat gizi. Sedangkan masyarakat yang berpendapatan rendah hanya bisa memilih makanan dengan jenis yang sedikit dan mayoritas adalah makanan pokok beras yang menjadi sumber energi utama. Menurut WNPG (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi) IX tahun 2008 anjuran konsumsi kalori masyarakat Indonesia sebesar 2.200 kkal/kap/hari. Sedangkan data BPS menunjukan tingkat konsumsi kalori per kapita sehari dari tahun 2011 s.d 2013 mengalami penurunan 1852 kkal/kap/hari hingga 1842 kkal/kap/hari. Data tersebut menunjukan bahwa setiap kenaikan inflasi harga pangan mempengaruhi tingkat konsumsi kalori masyarakat Indonesia yang menurun. Sehingga asupan kalori masyarakat setiap harinya tidak bisa terpenuhi dan jika terjadi dalam waktu lama bisa menimbulkan masalah malnutrisi di masyarakat.

D. Kesimpulan Berdasarkan argument diatas dapat simpulkan bahwa persentase anak Indonesia secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Masalah malnutrisi tidak hanya di alami oleh balita dari keluarga yang berpendapatan rendah tetapi juga dari keluarga berpendapatan tinggi. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi pangan masyarakat yang berkaitan dengan pendapatan dan adanya peningkatan inflasi harga pangan setiap tahun. Sehingga masyarakat berpendapatan rendah untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarganya dengan daya beli rendah dalam mendapatkan bahan pangan yang kualitas dan kuantitas baik serta hanya bisa memilih makanan dengan jenis yang sedikit dan mayoritas adalah makanan pokok beras yang menjadi sumber energi utama. Jika balita terus menerus diberi hanya makanan berkarbohidrat dan asupan zat gizi lainnya kurang bisa menimbulkan masalah gizi lebih.

Daftar Pustaka
Ariani, Mewa. 2010. Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan. http://www.persagi.org/document/makalah/67_makalah.pdf. Diakses pada 8 November 2013 Badan Pusat Statistik. 2013. Indikator Konsumsi Terpilih, Indonesia 1999, 2002-2013. http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=05%20&notab=8. Diakses pada 9 November 2013 Boediono. 2000. Ekonomi Moneter, edisi 3, BPFE, Yogyakarta. dalam Daulay, Murni. 2010, Metodologi Penelitian Ekonomi, USU Press Departemen Kesehatan. 2010. Laporan Riskesdas 2010. http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/buku_laporan/lapnas_riskesdas2010/Lap oran_riskesdas_2010.pdf. Diakses 8 November 2013 Resnia, Ranni. 2012. Fluktuasi Harga Bahan Pangan Pokok (Bapok) Dan Daya Beli Kelompok Masyarakat Berpendapatan Rendah. http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/06/26/1372216668.pdf#view=Fit. Diakses pada 9 November 2013 Kementerian Perdagangan. 2013. Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran. http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/economic-indicators/inflation. Diakses pada 9 November 2013 Santoso. 2003. Kesehatan dan Gizi. Rineka Cipta. Jakarta Sukirno, Sadono. (2002). Pengantar Teori Mikro ... Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Cetakan ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

EKONOMI PANGAN DAN GIZI MALNUTRISI AKIBAT INFLASI HARGA BAHAN PANGAN

Oleh : Shasanti Ismi Pramesti G1H011012

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMI-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU GIZI 2013

Anda mungkin juga menyukai